• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KONSENTRASI CO2 DI INDONESIA SECARA MUSIMAN DAN TAHUNAN PADA KURUN BERDASARKAN DATA AIRS DAN TRMM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KONSENTRASI CO2 DI INDONESIA SECARA MUSIMAN DAN TAHUNAN PADA KURUN BERDASARKAN DATA AIRS DAN TRMM"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

45

ANALISIS KONSENTRASI CO

2

DI INDONESIA SECARA MUSIMAN DAN TAHUNAN PADA KURUN 2003-2016

BERDASARKAN DATA AIRS DAN TRMM

Amalia Nurlatifah, Sri Kaloka

1

, Laras Tursilowati, Bambang Siswanto, Indah Susanti, Fanny Aditya Putri

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

1

e-mail: amalianurlatifah92@gmail.com RINGKASAN

Karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang dapat menyebabkan peningkatan temperatur global atau penyebab terjadinya global warming. Hal itu perlu diadakan upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun telah terjadi upaya penurunan konsentrasi CO

2

, namun konsentrasi gas rumah kaca ini tetap tinggi dan meningkat di atmosfer. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola musiman dan tahunan konsentrasi CO

2

berdasarkan data AIRS sehingga kedepan dapat diketahui penyebab terjadinya peningkatan konsentrasi CO

2

. Data yang digunakan adalah data konsentrasi CO

2

di Indonesia dari AIRS (Atmospheric Infrared Sounders) serta data curah hujan dari TRMM (The Tropical Rainfall Measuring Mission). Sementara metode yang digunakan adalah analisis komposit konsentrasi CO

2

baik bulanan, musiman, maupun tahunan. Berdasarkan analisi tahunan, diketahui bahwa CO

2

meningkat sekitar 2 ppm per tahun. Sementara pada analisis musiman, konsentrasi CO

2

terbesar ada pada musim SON (September, Oktober, November) dan konsentrasi terkecil ada pada musim Desember- Januari-Februari. Konsentrasi CO

2

bulanan tertinggi terjadi pada Bulan November dan Bulan Desember sedangkan konsentrasi CO

2

bulanan terendah pada kurun 2003-2016 terjadi pada Bulan Januari. Fakta tersebut memperkuat salah satu analisis bahwa rendahnya konsentrasi CO

2

pada musim DJF kemungkinan disebabkan tingginya kejadian deposisi basah yang diakibatkan tingginya curah hujan di Indonesia karena pada Bulan Januari curah hujan di kebanyakan wilayah Indonesia mencapai titik tertingginya.

1 PENDAHULUAN

Karbon dioksida merupakan salah satu gas pencemar yang tak hanya dapat merusak kesehatan namun juga tergolong menjadi salah satu gas rumah kaca. Rata-rata konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi kira-kira 387 ppm (parts per million) berdasarkan volume (Whorf dan Keeling, 2005).

CO

2

mempunyai potensi dalam meningkatkan temperatur global karena sifatnya sebagai gas rumah kaca. Hal ini disebabkan GRK atau gas rumah kaca sendiri merupakan gas yang akan memancarkan energi ke segala arah.

Bagian dari radiasi ini diarahkan ke permukaan bumi, lalu menghangatkan permukaan bumi itu (Smil, 2003).

Peningkatan gas CO

2

sendiri oleh karena itu diperkirakan dapat meningkatkan temperatur global atau menyebabkan peristiwa global warming.

Dalam rangka mencegah terjadinya peristiwa pemanasan global, pada tanggal 25 September 2009, Indonesia yang diwakili oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi Bussiness as Usual (BAU/Tanpa Rencana Aksi). Hasil penelitian 2017 menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah berupaya menurunkan emisi CO

2

, namun tidak serta merta konsentrasi CO

2

di atas atmosfer Indonesia mengalami penurunan.

Sebaliknya, pengamatan konsentrasi

(2)

46

CO

2

berdasarkan satelit Aqua-AIRS menunjukkan trend meningkat dari 2003 hingga 2016.

Beberapa dugaan yang muncul yang menjadi penyebab terus meningkatnya konsentrasi CO

2

diatas atmosfer Indonesia adalah karena:

 Life time CO

2

yang lama (5 – 200 tahun) sehingga akan lama mengambang di atmosfer. Penelitian mengemukakan bahwa efek CO

2

terhadap perubahan iklim akan berhenti setelah 1.000 tahun setelah CO

2

itu diemisikan (Solomon dkk, 2009),

 Adanya proses transport di atmosfer seperti sirkulasi sel Hadley yang membawa aliran udara dari lintang menengah (sekitar 30

o

) ke arah khatulistiwa (0

o

),

 Masuknya CO

2

sebagai akibat kebakaran hutan atau faktor lain.

Kebakaran hutan sendiri tak hanya mengemisikan CO

2

namun pengurangan lahan hujaunya pun dapat mengurangi penyerapan CO

2

pula (Werf dkk, 2009).

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis musiman dan tahunan konsentrasi CO

2

berdasarkan data AIRS.

2 DATA DAN METODE

Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 1 bulan untuk proses pengolahan data dan penulisan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dalam kurun 2003-2016 yang meliputi:

 Data konsentrasi CO

2

rata-rata bulanan wilayah Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2016 yang diamati dari satelit Aqua-AIRS,

 Data curah hujan dari TRMM dengan resolusi spasial 0.25

o

x 0.25

o

dengan resolusi temporal perbulan pada tahun 2003-2016.

Metode yang digunakan untuk penelitian ini yaitu:

 Analisis tren konsentrasi CO

2

musiman pada musim DJF (Desember, Januari,

Februari), MAM (Maret, April, Mei), JJA (Juni, Juli, Agustus), dan SON (September, Oktober, November) tahun 2003-2016

 Analisis komposit konsentrasi CO2 bulanan 2003-2016,

 Analisis Konsentrasi CO

2

tahunan 2003-2016.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum, dari tahun ke tahun konsentrasi CO

2

terlihat menunjukan tren peningkatan (Gambar 3-1). Bila dilakukan regresi linier terhadap data tahunan ini (Gambar 3-1) dengan tahun sebagai axis variabel independen, didapat persamaan regresi yaitu y = 2,1012x + 372,4 . Hal ini berarti diperkirakan terjadi kenaikan konsentrasi CO

2

sebesar 2,1012 ppm per tahun berdasarkan analisis regresi linier ini.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kenaikan ini kemungkinan disebabkan beberapa hal diantaranya waktu lifetime CO

2

yang lama sehingga meskipun upaya penurunan telah dilakukan namun CO

2

di udara tetap tinggi karena adanya CO

2

yang telah teremisi sebelumnya, adanya transport CO

2

ke Indonesia disebabkan CO

2

dapat melakukan long range transport, dan kegiatan antropogenik dan biogenik lainnya seperti transportasi dan industri, serta kebakaran hutan dan letusan gunung merapi.

Gambar 3-1: Grafik konsentrasi CO2 tahunan tahun 2003-2016

Sementara pada plot grafik konsentrasi musiman CO

2

tahun 2003-

360 370 380 390 400 410

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Grafik Konsentrasi CO

2

2003-2016

(3)

47 2016 terlihat bahwa umumnya tren

konsentrasi CO

2

juga terlihat meningkat meskipun di beberapa waktu terlihat menurun (Gambar 3-2). Tercatat terjadi beberapa kali penurunan dari tren terjadi. Penurunan terbanyak terjadi pada musim SON 2016 dengan nilai konsentrasi CO

2

mencapai 398,9 ppm dan DJF 2014 dengan nilai konsentrasi CO

2

mencapai 395,9 ppm (Gambar 3-2).

Sementara penurunan lainnya terjadi pada DJF 2015, DJF 2013, SON 2006, dan DJF 2010. Pada hasil plot tersebut diketahui bahwa kebanyakan penurunan terjadi pada musim DJF. Untuk lebih memahami dan memastikan fenomena ini, dilakukan analisis komposit musiman pada kurun 2003-2016.

Gambar 3-2: Grafik konsentrasi CO2 musiman tahun 2003-2017

Pada analisis komposit musiman DJF, MAM, JJA, dan SON terlihat bahwa konsentrasi CO

2

tertinggi terdapat pada musim SON (September-Oktober- November) yaitu sekitar 388,5 ppm (Gambar 3-3). Sementara pada musim DJF (Desember-Januari-Februari) konsentrasi CO2 mencapai titik terendah yaitu sekitar 387,8 ppm (Gambar 3-3).

Hal ini turut mendukung hasil analisis pada Gambar 3-2.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan pada musim DJF, kondisi curah hujan di Indonesia cukup tinggi disebabkan kebanyakan wilayah

Indonesia mempunyai type curah hujan monsunal (Aldrian dkk, 2003). Kondisi curah hujan sendiri berdampak pada minimnya kejadian kebakaran hutan di Indonesia sehingga emisi CO

2

akibat kebakaran hutan pada musim ini cukup rendah. Curah hujan juga dapat menjadi penyebab terjadinya deposisi basah dari CO

2

sehingga konsentrasi CO

2

di udara menurun.

Sebaliknya dengan kondisi pada musim SON, pada musim ini kejadian kebakaran hutan cukup banyak terjadi dan mencapai puncaknya. Pada tahun 2015 terjadi kebakaran hutan di Indonesia yang mencapai puncak pada Bulan Oktober dan November dan hal ini diperkirakan menyumbang banyak emisi CO2 ke atmosfer khususnya atmosfer Indonesia.

Gambar 3-3: Grafik komposit CO2 musiman pada tahun 2003-2016

Pada analisis kondisi komposit konsentrasi CO

2

, terlihat bahwa konsentrasi CO

2

tertinggi ada pada Bulan November dan Desember yang mencapai 453,79 ppm dan 453,80 ppm.

Sementara konsentrasi terendah mencapai 451,26 ppm (Gambar 3-4).

Nilai ini terhitung tinggi sekali karena rata-rata konsentrasi CO

2

di dunia sendiri hanya mencapai kisaran 387 ppm (Whorf dan Keeling, 2005).

Sementara pada Bulan Oktober- November nilai konsentrasi CO

2

di Indonesia juga cukup tinggi (Gambar 3- 340

360 380 400 420

DJF -2003 DJF -2004 DJF -2005 DJF -2006 DJF -2007 DJF -2008 DJF -2009 DJF -2010 DJF -2011 DJF -2012 DJF -2013 DJF -2014 DJF -2015 DJF -2016 DJF -2017

Grafik Konsentrasi CO

2

Musiman Tahun 2003-2017

387 387,2 387,4 387,6 387,8 388 388,2 388,4 388,6

DJF MAM JJA SON

K o ns ent ra si C O 2 ( pp m )

(4)

48

4). Hal ini kembali memperkuat analisis bahwa CO

2

di Indonesia pada kurun 2003-2016 banyak disebabkan oleh kebakaran hutan yang banyak terjadi pada Bulan Oktober dan November.

Rendahnya konsentrasi CO

2

pada Bulan Januari dan Februari juga membentuk indikasi bahwa pada bulan ini terjadi banyak deposisi basah CO

2

karena pada bulan ini curah hujan di Indonesia cenderung tinggi.

Pada analisis Gambar 3-3 disebutkan bahwa konsentrasi CO

2

mencapai terendah sementara pada analisis gambar 3-4 menyatakan bahwa konsentrasi CO

2

di Bulan Desember cukup tinggi. Hal tersebut terjadi kemungkinan meskipun konsentrasi CO

2

mencapai maksimum pada Bulan Desember, namun pada Bulan Januari- Februari konsentrasi CO

2

mencapai titik minimumnya sehingga konsentrasi CO

2

tetap mencapai minimum pada musim DJF. Hal ini kembali mendukung fakta bahwa kemungkinan besar rendahnya konsentrasi CO

2

pada Bulan Januari dan Bulan Februari disebabkan adanya kejadian deposisi basah karena pada bulan ini curah hujan di Indonesia mencapai titik tertingginya.

Konsentrasi CO

2

bulanan tertinggi berada di Bulan November dan Bulan Desember, sementara konsentrasi CO

2

musiman terkecil ada pada musim DJF (Desember-Januari-Februari). Meskipun nilai konsentrasinya sangat tinggi pada Bulan Desember, namun pada musim DJF konsentrasinya masih rendah disebabkan pada Bulan Januari dan Bulan Februari konsentrasi CO

2

bulanan mencapai titik minimum.

Pada plot rata-rata curah hujan di Indonesia dari TRMM Bulan Januari 2003-2016 terlihat bahwa curah hujan yang cukup tinggi mencapai diatas 450 mm terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia (Gambar 3-5). Hal ini memperkuat analisis bahwa kemungkinan rendahnya konsentrasi CO

2

di Bulan Januari disebabkan oleh

adanya deposisi basah yang ditandai dengan tingginya curah hujan.

Gambar 3-4: Grafik komposit CO2 bulanan pada tahun 2003-2016

Gambar 3-5: Rata-rata curah hujan di Indonesia pada Januari 2003-2016 berdasarkan data TRMM

Sementara pada Bulan Oktober dimana konsentrasi CO

2

cukup tinggi terlihat bahwa curah hujan di Indonesia umumnya juga kecil dengan nilai mencapai dibawah 150 mm untuk Pulau Jawa, Maluku, dan sebagian Sulawesi (Gambar 3-6). Hal ini memperkuat analisis bahwa terdapat kemungkinan pada Bulan Oktober tingginya konsentrasi CO

2

disebabkan oleh rendahnya curah hujan di Indonesia yang mengakibatkan rendahnya kejadian deposisi.

449,5 450 450,5 451 451,5 452 452,5 453 453,5 454

Ja nu ar y Feb ruar y Ma rch A pr il Ma y June Jul y A ugu st Sep te m ber O ct ober N ovem b er D ecem be r

(5)

49

Gambar 3-6: Rata-rata curah hujan di Indonesia pada Oktober 2003- 2016 berdasarkan data TRMM Hal yang berbeda terjadi pada Bulan Desember dimana konsentrasi CO2 mencapai titik terendah, terlihat bahwa curah hujan di Indonesia umumnya mencapai nilai tinggi yaitu rata-rata di hampir seluruh wilayah Indonesia adalah diatas 400 mm kecuali untuk sebagian Sulawesi (Gambar 3-7).

Hal ini memperkuat analisis bahwa terdapat kemungkinan pada Bulan Desember rendahnya konsentrasi CO2 disebabkan oleh tingginya curah hujan di Indonesia yang mengakibatkan tingginya kejadian deposisi.

Gambar 3-7: Rata-rata curah hujan di Indonesia pada Desember 2003- 2016 berdasarkan data TRMM

4 PENUTUP

Berdasarkan analisis tren tahunan karbon dioksida terlihat bahwa konsentrasi CO

2

diatas atmosfer Indonesia cenderung meningkat per

tahun. Analisis regresi linier menyatakan kenaikannya sekitar 2 ppm/tahun.

Pada pola musiman, didapat fakta bahwa konsentrasi gas CO

2

tertinggi berada pada musim SON dan sebaliknya, yang terendah berada pada musim DJF.

Hal ini kemungkinan disebabkan pada musim DJF curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia cukup tinggi sehingga kemungkinan terjadi deposisi basah pada gas CO

2

di musim DJF juga tinggi.

Untuk mendukung fakta tersebut, dilakukan analisis terhadap komposit rata-rata bulanan data konsentrasi CO

2

pada kurun 2003-2016 di Indonesia.

Rata-rata bulanan data konsentrasi CO

2

menyatakan bahwa pada Bulan Januari konsentrasi CO

2

di Indonesia mencapai konsentrasi terendah dan tertinggi pada Bulan November dan Desember. Hal ini cukup sesuai dengan fakta bahwa pada Bulan Januari curah hujan di sebagian wilayah di Indonesia cukup tinggi sehingga kemungkinan terjadi deposisi basah CO

2

juga cukup tinggi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih pada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN yang telah memberikan dukungan dan fasilitasi sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

DAFTAR RUJUKAN

Data curah hujan bulanan TRMM 3B43 didapat dari situs web https:// mirador. gsfc.

nasa.gov/collections/TRMM_3B43__007.

shtml.

Data Karbondioksida AIRS didapat dari https://

www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/da ta. html.

Edvin Aldrian dan Dwi Susanto, 2003.

Identification of Three Dominant Rainfall Region Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature.

International Journal of Climatology.

R. van der Werf, D. C. Morton, R. S. DeFries, J.

G. J. Olivier, P. S. Kasibhatla, R. B.

Jackson, G. J. Collatz & J. T. Randerson,

2009. CO

2

Emissions From Forest Loss.

(6)

50

Nature Geoscience volume 2, pages 737–

738.

Susan Solomon, Gian-Kasper Plattner, Reto Knutti, and Pierre Friedlingstein, (2009).

Irreversible Climate Change Due to Carbon Dioxide Emissions. PNAS January 28, 2009. pnas.0812721106.

Vaclav Smil, 2003. The Earth's Biosphere:

Evolution, Dynamics, and Change. MIT Press. p. 107. ISBN 978-0-262-69298-4.

Whorf, T.P., Keeling, CD, 2005. Atmospheric CO

2

Records from Sites in the SIO Air Sampling

Network. Trends: A Compendium of Data

on Global Change. Carbon Dioxide

Information Analysis Center, Oak Ridge

National Laboratory, U.S. Department of

Energy, Oak Ridge, Tenn., U.S.A. Period

of record: 1958-2004.

Referensi

Dokumen terkait

So, to predict what will occur in 6 hour time using 30X8 mHGN architecture, the recognizer need to be fed with data measurement recorded from 7 days and 6 hours ago until now..

Berdasarkan hasil dari wawancara dengan narasumber, penulis dapat mengetahui bahwa narasumber sudah dapat menilai bahwa gaya kepemimpinan nya sudah efektif dilihat dari

Bobot uterus dan ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode yang berbeda dalam dua siklus berahi yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus disajikan pada Tabel

Melaksanakan kegiatan hendaknya sesuai dengan program kerja yang telah disusun serta diketahui BEM dan disetujui Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan Politeknik

kawasan serta mata pencahariannya yang merupakan berdagang. Kawasan Pecinan Glodok Petak Sembilan memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangannya sebagai

• Mempu menghasilkan gambar pencitraan ultrasonik dengan berbagai mode • Mampu menjelaskan kelebihan dan kekurangan teknik Doppler pada pencitraan ultrasonik • Able

[r]

menggunakan pelindung telinga terhadap fungsi pendengaran pada siswa Diktuba Polri belum pernah dilaporkan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan