• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANTUAN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBANTUAN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn) SKRIPSI"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

PUTRI SITANGGANG NIM : 150200320

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

(2)
(3)

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pembantuan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan No. 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn Tahun 2018”. Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi tugas akhir dan bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara (USU), Medan.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan, motivasi, semangat, arahan, bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. O.K Saidin, SH., M,Hum., Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S, selaku Dosen Pembimbing I yang banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

9. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan serta bimbingan dan perhatian di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

10. Bapak Hemat Tarigan, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberi arahan, bimbingan, dan motivasi selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Kepada Bapak Alm. Rafael Sitanggang, SH., dan Mama Relly Naibaho, SH., tercinta yang selalu memberi perhatian lebih, semangat, mendoakan, dan mendukung secara moral ataupun material selama penulisan skripsi dan proses pendidikan sarjana hukum. Terima kasih atas cinta, kasih sayang dan kesabaran dalam menghadapi penulis selama ini. Penyusunan skripsi ini menjadi salah satu langkah penulis dalam mengabdikan diri untuk senantiasa membahagiakan kalian. Mudah-mudahan dengan selesainya skripsi ini menjadi salah satu kado terbaik atas perjuangan Mama dalam membesarkan penulis hingga menjadi seperti sekarang ini.

(5)

14. Kepada abang-abang penulis tercinta yaitu Poltack Sitanggang, SH., dan Manahan Sitanggang yang senantiasa memberi doa, dukungan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

15. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan

,

akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu karya ilmiah yang dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang akan datang.

Medan, Januari 2019 Penulis,

Putri Sitanggang

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Tindak Pidana ... 9

2. Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 12

3. Penyertaan... 17

4. Pembantuan Tindak Pidana ... 22

G. Metode Penelitian ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 30

BAB II BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN ORANG DAN PENGATURAN HUKUMAN DALAM UU NO. 21 TAHUN 2007 A. Bentuk-bentuk Perdagangan Orang Secara Umum ... 32

B. Bentuk-bentuk Perdagangan Orang dalam UU No. 21 Tahun 2007 ... 47

C. Ketentuan Sanksi Pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007 ... 50

BAB III BENTUK-BENTUK PENYERTAAN DAN KETENTUAN SANKSI PIDANA DALAM KUHP DAN DI LAUR KUHP A. Bentuk-bentuk Penyertaan Dalam KUHP ... 54

B. Bentuk-bentuk Penyertaan di Luar KUHP ... 61

C. Ketentuan Sanksi Pidana Dalam KUHP ... 62

D. Ketentuan Sanksi Pidana di Luar KUHP ... 66

BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PEMBANTUAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN NO. 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn Tahun 2018 A. Gambaran Kasus ... 69

1. Kronologi ... 69

2. Dakwaan ... 71

3. Tuntutan Pidana ... 73

4. Fakta Hukum ... 74

5. Putusan ... 77

(7)

B. Analisis Putusan... 79

1. Dakwaan ... 79

2. Tuntutan ... 80

3. Putusan ... 81

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(8)

Kebijakan Hukum Pidana dalam menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan usaha-usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana tentang perdagangan orang yang terdiri dari proses pembuatan peraturan hukum, proses penegakan hukum dan proses dilakukan pelaksanaan pidana . Adapun permasalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini yaitu bentuk – bentuk perdagangan orang , bentuk-bentuk penyertaan ,ketentuan sanksi pidana didalam dan di luar KUHP serta ketentuan dan penerapan sanksi pidana bagi pembantuan dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan NO.667/Pid.Sus/2018/PN Mdn. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif. dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Metode Pendekatan Penelitian yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah Pendekatan yuridis normatif. Alat Pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan studi dokumen atau bahan pustaka yang disusun secara metodologi guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Jenis Data yang diperlukan dalam skripsi ini berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana yang mengatur tindak pidana perdagangan orang dalam literatur atau sumber bacaan hukum pidana. Bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang yakni pekerja migran , pekerja anak, kejahatan prostitusi, pengangkatan anak, dan pengantin pesanan. Penyertaan digolongkan sebagai orang yang turut melakukan tindak pidana yaitu yang melakukan perbuatan, yang menyuruh melakukan perbuatan, yang turut melakukan perbuatan, yang membujuk supaya perbuatan dilakukan, dan yang membantu perbuatan. Begitu juga dengan pengaturan hukum mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang didalam KUHP yakni Pasal 55 dan 56 KUHP dan dalam Undang-undang No.21 Tahun 2007. Pembahasan terakhir dalam penulisan ini mengenai ketentuan dan penerapan sanksi pidana pembantuan dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan No. 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn

sudah tepat dalam penerapan pasalnya.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar undang-undang maka ia akan dihukum. Selain itu kejahatan juga merupakan suatu bentuk dari pelanggaran kaidah sosial. Pelanggaran ditentukan dalam batas nilai-nilai yang dijunjung tinggi pada suatu masyarakat. Pada hampir segenap masyarakat hidup dan harta benda dinilai tinggi.1Masalah kejahatan adalah masalah manusia yang merupakan kenyataan sosial yang masalah penyebabnya kurang dipahami karena studinya belum pada proporsi yang tepat secara dimensial.

Perdagangan orang bukanlah hal yang baru terjadi. Di Indonesia jumlah kasus perdagangan orang yang terjadi dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya , jaringan perdagangan orang ini juga tidak bisa dipisahkan dari batas- batas negara yang semakin mudah dilintasi melihat Indonesia adalah merupakan negara kepulauan terbesar se Asia bahkan didunia sehingga mudah diakses dan dilintasi . Hal ini mengakibatkan mereka mempunyai jaringan lintas negara yang terstruktur rapi dan sangat rahasia keberadaannya .

Pada umumnya dalam kasus perdagangan manusia korban yang paling rentan adalah perempuan. Perempuan biasanya diperjualbelikan untuk tujuan seksual dengan dijadikan pekerja seks komersial dan tenaga kerja di sektor

1Soedjono Dirdjosiswoyo, Ruang Lingkup Krimonologi, Remaja Karya, Bandung,1984, Halaman 27.

(10)

lain.Pada saat ini, bentuk- bentuk perdagangan orang di Indonesia sudah bermacam-macam2. Salah satubentuk perdagangan orang adalah perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri atau yang biasa disebut Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Perdagangan orang atau lebih dikenal “human trafficking” khususnya yang berkaitan dengan perempuan,merupakan bisnis terbesar ketiga setelah “drug trafficking” dan“traffickinginweapons”. “humantrafficking” merupakan bisnis yang menguntungkan karena “low risk,expendable,reusable and resellable”.3Perdagangan orang menunjukkan masalah yang menjadi perhatian luas di Asia bahkan seluruh dunia.Perdagangan orang terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negara Indonesia saja yaitu perdagangan orang antar pulau, tetapi juga perdagangan orang di luar negara Indonesia di mana terjadi perdagangan orang ke negara-negara lain. Melihat hal ini perdagangan orang benar-benar merupakan kejahatan yang meresahkan bukan hanya di Indonesia tapi bahkan sampai negara-negara yang lain di dunia .

Upaya menanggulangi kejahatan perdagangan orang memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan kejahatan transnasional yang terorganisir. Sehingga diperlukan konsolidasi antara unsur-unsur penyelenggara negara dan juga kerja sama dengan negara-negara lain agar upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang dapat berjalan dengan efektif. Dengan usaha bersama sehingga lahirnya Undang-undang diantaranya

2 Siti Rochmiyatun, Perdagangan Perempuan dan Anak Di Indonesia , USAID, Jakarta, 2003, Halaman 21

3Moh. Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori dan Praktek, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, Halaman 2

(11)

adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Keppres Nomor 88 Tahun 2002. Oleh karena itu untuk melengkapi segala kekurangan-kekurangan dalam Undang-Undang sebelumnya sehingga diperlukan Undang-Undang yang lebih rinci membahas mengenai perdagangan orang. Dengan sudah disahkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang , maka masalah kekurangan-kekurangan dalam Undang- Undang sebelumnya telah dapat teratasi.

Dalam Undang-undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. LN nomor 58, Pasal 1 angka 1 menyebutkan

“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”

Sehingga dapat dilihat jika tindak pidana perdagangan orang tidak selalu harus lintas Negara namun jika antar daerah di dalam Negara juga dapat dikategorikan sebagai perdagangan orang namun pemahaman kebanyakan masyarakat dan tidak menutup kemungkinan aparat penegak hukum kita yang sering membatasi diri sendiri terhadap pengertian bahwa tindak pidana orang harus melalui lintas Negara sehingga banyak kasus yang sebenarnya terjadi didalam negeri malah tidak terselesaikan.

Menelaah UU No. 21 Tahun 2007 secara sepintas sudah bersifat komprehensif dalam pencegahan dan penanggulangannya. Pengenaan sanksi bagi pelaku (trafficker) sudah sangat berat jika dibandingkan dengan sanksi dalam

(12)

KUHP.Namun dalam pelaksanaannya, proses penegakan hukum masih belum berjalan sesuai dengan semangat dan amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tersebut. Kendala yang utama adalah belum dipahami oleh masyarakat terhadap bahaya dan dampak dari perdagangan orang, disamping dari segi ekonomi usaha/bisnis ini dianggap dapat mendatangkan keuntungan besar dari segi ekonomi. Demikian juga dari segi korban/calon korban adanya faktor-faktor sistemik yang menjadi penyebab tersebut adalah kemiskinan/faktor ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, budaya/pola hidup masyarakat yang konsumtif, tingkat pengangguran yang tinggi/penyerapan tenaga kerja lokal yang relatif terbatas, faktor lingkungan dan masih banyak faktor lainnya.4

Sekarang ini subjek hukum yang terlibat dalam tindak pidana tidak hanya satu orang saja tapi sekarang ini sudah dilakukan secara bersama-sama atau lebih dari satu orang, ada yang melakukan tindak pidana dan ada yang sebagai penyuruh untuk melakukan tindak pidana, baik itu yang menyuruh untuk melakukan, turut serta melakukan, membujuk untuk melakukan atau bahkan melakukan perbuatan itu sendiri dan adapula yang melakukan pembantuan dalam tindak pidana. Sehingga dengan melihat pernyataan atau cara melakukan tindak pidana diatas dibutuhkan penjelasan yang lebih merinci mengenai pertanggungjawaban pidana dari orang yang melakukan, menyuruh untuk melakukan, turut serta melakukan, membujuk untuk melakukan adapula yang

4 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Halaman 82

(13)

melakukan pembantuan dalam tindak pidana atau mereka semua disebut dengan penyertaan tindak pidana.

Dalam Penyertaan ini mempersoalkan pertanggungjawaban dari tiap tiap peserta didalam pelaksanaan suatu tindak pidana, karenanya dipersoalkan bagian hukum apa yang harus dijatuhkan kepada tiap-tiap peserta dalam pelaksanaan suatu tindak pidana, karenanya dipersoalkan bagian hukum apa yang harus dijatuhkan kepada tiap-tiap peserta dalam pelaksanaan tindak pidana itu, dan melihat sumbangan apa yang diberikan oleh tiap-tiap peserta didalam pelaksanaan suatu tindak pidana, karenanya dipersoalkan bagian hukum apa yang harus dijatuhkan kepada tiap-tiap peserta dalam pelaksanaan tindak pidana itu, dan melihat sumbangan apa yang diberikan oleh tiap-tiap peserta, agar tindak pidana itu dapat dilaksanakan/diselesaikan serta pertanggungjawabannya atasperan/bantuan itu. Sehingga dalam penyertaan diatur dan dijelaskan secara jelas dalam Pasal 55 KUHP dan dalam hal pembantuan di atur dalam Pasal 56 KUHP dan Pasal 57 KUHP untuk hukuman/pertanggungjawaban pidana bagi orang yang membantu melakukan tindak pidana.

Melihat dalam Pasal 57 KUHP terjadi ketidak larasan atau terjadi ketimpangan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu kejahatan. Dalam Pasal 57 KUHP menjelaskan bahwa dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurang sepertiga sedangkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 10 menjelaskan bahwa setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan

(14)

untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dalam Pasal 2,Pasal 3,Pasal 4,Pasal 5, dan Pasal 6 Undang- undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam Pasal ini orang yang membantu melakukan kejahatan di hukum atau pertanggungjawabannya itu disamakan dengan orang yang melakukan secara langsung atau disebut sebagai pelaku kejahatan.

Walaupun peraturan sudah dibuat dengan jelas namun pada kenyataanya perdagangan orang dari tahun ke tahun semakin meningkat dan sangat memperhatikan di Indonesia, menurut data yang tercantum di National Project Coordinatorfor Counter Trafficking and Labor Migration Unit International Organization for Migration IOM) Indonesia merupakan negara Human Trafficking tertinggi di dunia. Jumlah perdagangan manusia atau human trafficking yang terjadi di Indonesia mencapai 6.651 orang pada periode Maret 2005 hingga Desember 2014. Menurut OIM menambahkan jumlah 6.651 Korban perdagangan orang tersebut adalah wanita usia dewasa sebanyak 4.888 orang.

Dari jumlah tersebut 82% adalah perempuan yang telah bekerja di dalam dan di luar negeri untuk eksploitasi tenaga kerja.5

Berdasarkan uraian singkat diatas dapat diketahui bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan suatu tindak pidana yang perlu dikaji secara khusus dan mendalam. Dan Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk

5 http://news.okezone.com/read/2015/06/11/337/1163986/human-trafficking-di-indonesia- tertinggi-di-duniaartikel “Human Trafficking di Indonesia Tertinggi di Dunia.” Diakses pada Sabtu, 06 Oktober 2018, 14:20 WIB

(15)

mengangkat skripsi dengan judul : “ Pembantuan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

667/Pid.Sus/2018/PN Mdn “

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Bentuk-bentuk Perdagangan Orang dan Pengaturan Hukum dalam UU NO.21 Tahun 2007 ?

2. Bagaimana Bentuk-bentuk Penyertaan dan Ketentuan Sanksi Pidana di dalam dan di luar KUHP ?

3. Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana bagi Pembantuan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Putusan NO.667/Pid.Sus/2018/PN Mdn Tahun 2018 ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perdagangan orang dalam Pengaturan UU NO.21 Tahun 2007.

2. Untuk mengetahui Bentuk-bentuk Penyertaan dan Ketentuan Sanksi Pidana di dalam dan di luar KUHP.

3. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana bagi pembantuan tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Putusan NO.667/Pid.Sus/2018/PN Mdn.

(16)

D. Manfaat Penulisan

Selanjutnya penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teoritis

Penulisan skripsi ini kiranya dapat memberikan sumbangsi teoritis bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini perkembangan ilmu hukum pidana serta dijadika kajian terhadap perkembangan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia khususnya di Kota Medan.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang serta menjadi informasi bagi masyarakat yang menjadi dasar pemikiran bagi pelaksanaan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “ Pembantuan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn “ merupakan hasil pemikiran penulisan sendiri tanpa adanya penjiplakan dan Skripsi yang berjudul “ Pembantuan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn “ belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah dan secara akademik.

(17)

F.Tinjauan Pustaka 1. Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana ( strafbaarfeit ) menurut W.J.P Pompe adalah : “ tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang- undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.6Menurut Simons pengertian tindak pidana adalah “ Sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dapat dihukum.7

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.8

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang- undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai

6 Mohammad Eka Putra, Dasar-dasar Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, Halaman 81.

7P.A.Flamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997,Halaman 185

8 Ibid

(18)

kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.9

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:

a. Menurut Kitab Undang

Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang- undangan secara keseluruhan.

b. Menurut cara merumuskannya,

Dibedakan dalam tindak pidana formil (Formeel Delicten)dan tindak pidana materil (Materiil Delicten).Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena

9Andi Hamzah,Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, Halaman 22

10P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Aditya Bakti, 1997,Halaman 16

(19)

itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Menurut bentuk kesalahan,

Tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus)yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d. Menurut macam perbuatannya,

Tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP).Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murnidan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat,

(20)

misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal11

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut;

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d.Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

2. Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan Orang Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain

11Andi Hamzah,Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia , 2001, Halaman 25-27.

(21)

tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu: unsur proses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang.

1. Proses : tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut

2. Cara : ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.

3. Eksploitasi : tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

(22)

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah

“trafficking” adalah :

“Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largely from developing countries and some countries with economies in transition, will the end goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppresivve and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic Labour, false marrriages, clandestine employment and false adoption.”12 (Perdagangan adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penyalur, dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap, dan adopsi)

Perdagangan orang sendiri sesungguhnya telah lama dikriminalisasi dalam hukum Indonesia. Perdagangan tersebut secara eksplisit dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:

Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa : “ perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.13

Pasal 65 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia menyatakan bahwa : “ setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta

12Protokol Palermo, Article 3

13KUHP Pasal 297.

(23)

dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika dan zat adiktif lainnya”.14

Walaupun perdagangan orang telah secara eksplisit dikriminalisasi, tetapi tidak ada definisi resmi tentang perdagangan dalam pasal 297 KUHP sehingga dalam praktiknya pasal-pasalnya sulit untuk digunakan. Disamping itu pasal-pasal ini tidak memberikan perlindungan terhadap korban dan saksi-saksi serta kompensasi untuk korban.

Tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang dianggap baru dalam system hukum di Indonesia, sekalipun bentuk perbuatan sudah ada sejak lama ada. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang baru muncul dan disahkan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan diundangkan pada tanggal 19 April 2007 dalam Lembaran Negara tahun 2007 Nomor 58.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

14Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, LN No. 208

(24)

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskanpengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu,diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus.

Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti

(25)

kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.

3. Penyertaan

Penyertaan ( deelneming) diatur dalam Buku Kesatu tentang Aturan Umum, Bab V Pasal 55-62 KUHP. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat dilakukan secara psikis maupun fisik, sehingga harus dicari pertangggungjawaban masing-masing orang yang terlihat dalam peristiwa pidana tersebut. Harus dicari sejauh mana peranan masing-masing, sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya.15

Menurut Van Hamel dalam Moch.Anwar penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindakpidana yang menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri16

Menurut Utrecht, pelajaran umum tentang turut serta (penyertaan) ini justru dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan (bukan pembuat).

Biarpun mereka bukan pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka (turut) bertanggung jawab atau dapat dituntut pertanggungjawaban mereka atas dilakukannya peristiwa pidana

15Mohammad Eka Putra, Percobaan dan Penyertaan,Medan, Usu Press,2016, Halaman 39

16Moch.Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP,Bandung, Alumni,1982,Halaman 3

(26)

itu, karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Inilah ratio Pasal 55 KUHP17

Menurut Satochid,hubungan tiap-tiap peserta (orang-orang yang terlibat) dalam penyelesaian tindak pidana itu dapat berbentuk sebagai berikut:

a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik atau

b. Mungkin hanya seorang saja yang berkehendak (berniat) dan merencanakan delik, tetapi delik tersebut tidak dilakukannya tetapi ia mempergunakan orang lain untuk mewujudkan delik tersebut,

c. Mungkin seorang saja yang melakukan delik sedang orang lain orang itu dalam mewujudkan delik.

Penyertaan (Deelneeming) dipermasalahkan dalam hukum pidana karena berdasarkan kenyataan sering suatu tindak pidana dilakukan bersama oleh beberapa orang. Jika hanya satu orang yang melakukan suatu tindak pidana, pelakunya disebut allen dader.

Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP mengenai golongan yang disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 KUHP mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).

Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berikut:

17E. Utrecht, Rangkuman Sari Kuliah Hukum Pidana II, Bandung:, Universitas,1965, Halaman 9

(27)

a. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

b. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut:

a. Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

2. Mereka yang sengaja member kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dari kedua Pasal (Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP pembagian golongan peserta terhadap tindak pidana penyertaan ini, yaitu:

a. Mereka yang Melakukan (Pembuat Pelaksana Pleger)

Pleger adalah orang yang karena perbuatannya melahirkan tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut pandang ini pleger harus sama dengan syarat dader.

(28)

Perbuatan seorang pleger juga harus memenuhi semua unsur tindak pidana, sama dengan perbuatan seorang dader. Perbedaan pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih diperlukan keterlibatannya minimal seorang lainnya baik secara psikis maupun fisik, misalnya dengan peserta atau pembuat pembantu.

b.Mereka yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh: Doen Pleger)

Wujud penyertaan (deelneming) yang pertama-tamadisebutkan oleh Pasal 55 KUHP adalah menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen). Penyuruh adalah merupakan tindak yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada orang lain itu tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidaktahuan, kekeliruannya atau dipaksa. Menyuruh melakukan ini biasa terjadi apabila seseorang menyuruh sipelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal sipelaku itu tidak dikenal hukuman pidana. Jadi sipelaku seolah-olah cuma menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh sipenyuruh. Pelaku semacam ini dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakanmanus manistra (tangan yang dikuasai), dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).

c.Mereka yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta:Medepleger)

Dalam hukum pidana/KUHP tidak memberikan penerusan bila manakah dapat dikatakan sebagai orang turut serta melakukan suatu tindak pidana tetapi hal ini timbul didalam praktek-praktek pendapat,melalui putusan pengadilan maupun doktrin dari pakar hukum pidana. Pendapat beberapa ahli tentang medepleger adalah;

(29)

1. Menurut M.v.T

Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja, turut berbuat atau turut serta mengerjakan terjadinya sesuatu.

2. Menurut Pompe

Turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidanaitu ada tiga kemungkinan;

a) Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. Misal dua orang dengan bekerjasama melakukan pencurian disebuah gudang beras.

b) Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lain tidak. Misal dua orang pencopet (A dan B) saling bekerjasama, A yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu.

c) Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. Misal dalam pencurian dengan merusak (Pasal 363 ayat 1 ke-5 KUHP salah seorang melakukan penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada kawannnya yang menggansir tadi.

d. Orang yang Sengaja Menganjurkan (PembuatPenganjur:Uitlokker)

Orang yang sengaja mengajurkan (pembuat penganjur, disebut juga auctor intelellectualis), seperti juga pada orang yang menyuruh melakukan, tidak mewujudkan tindak pidana secara materil, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) dengan sangat singkat, ialah yang menyuruh melakukan (doen plegen), tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan lebih lengkap, dengan

(30)

menyebutkan unsur objektif yang sekaligus unsur subjektif. Rumusan ini selengkapnya ialah “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, sengaja mengajurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”

Kemudian, dalam menguraikan penyertaan melakukan tindak pidana, harus diketahui lebih dahulu siapa pelaku tindak pidana, sebab pada hakekatnya penyertaan dalam suatu tindak pidana akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya tindak pidana.18Pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah mereka yang telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan, sedangkan pelaku menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam KUHP, sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku.

4. Pembantuan Tindak Pidana a. Pengertian Pembantuan

Pengertian orang yang membantu adalah mereka yang dengan sengaja memberi bantuan untuk melakukan kejahatan, sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut :Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana :

18Mohammad Eka Putra, Percobaan dan Penyertaan,Medan, Usu Press,2016, Halaman 41

(31)

1. Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan

2. Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu,

Pasal 56 KUHP menjelaskan tentang medeplichtigheid atau pembantuan dimana ancaman pidana bagi mereka yang terlibat dalam tindak pidana kejahatan, secara sengaja memberikan bantuan atau memberikan kesempatan serta daya upaya atau keterangan sehubungan dengan pelaksanaan tindak pidana.

Medeplichtigheid atau pembantuan terjadi apabila terdapat 2 (dua) orang yang satu sebagai pembuat (dader) sedangkan yang lain sebagai pembantu (medeplichtigheid).

Unsur sengaja dalam medeplichtigheid ini merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan karena unsur sengaja ditujukan pada perbuatan atau sikap dalam memberi bantuan. Pembantuan dalam medeplichtigheid merupakan suatu keikut sertaan yang tidak dapat berdiri sendiri.

Membantu melakukan (medeplichtigheid) sama halnya dalam Undang- undang RI No.21 Tahun 2007 ada penambahan yaitu pembantuan tidak hanya sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang.

Perihal Pertanggung jawaban pidana bagi pembantuan sendiri dimuat dalam Pasal 57 KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :

1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiganya.

(32)

2. Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatannya sendiri.

4. Dalam menentukan pidana bagi si pembantu kejahatan, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Dalam hal pertanggung jawaban pidana bagi pembuat pembantu ituterbatas atau dibatasi, yakni hanya pada wujud perbuatan apa yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya saja. Akan tetapi di lain pihak, tanggung jawab pembuat pembantu dapat diperluas tergantung pada akibat yang ditimbulkan berupa keadaan-keadaan objektif yang memberatkan yang timbul setelah diwujudkannya perbuatan (kejahatan) yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya. Artinya bahwa pembuat pembantu itu adalah bergantung pada apa yang diperbuat oleh pelaksananya sehingga tanggung jawab pembuat pembantu tidak mungkin menyimpang atau melebihi apa yang telah diperbuat oleh pembuat pelaksana19

b. Bentuk-bentuk Pembantuan

Berdasarkan rumusan-rumusan pasal 56 KUHP ada dua jenis pembantuan yaitu:

19 A.Z . Abidin, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2006, Halaman 24

(33)

1. Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan

Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan caramemberi kesempatan, sarana atau keterangan. Kesempatan adalah memberikan peluang untuk seseseorang melakukan kejahatan. Sarana adalah memberikan alat yang digunakan untuk mempermudah kejahatan itu. Keterangan adalah menyampaikan ucapan-ucapan berupa nasihat kepada orang lain untuk melakukan kejahatan.

2. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan.

Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP.Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :

a. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaa.

b. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

c. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutandikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.

Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP tentang Pembantuan dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu

(34)

harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).

Misalnya, pencuri datang pada seorang pembantu rumah tangga memberitahukan, bahwa ia akan mencuri dirumah majikan pembantu rumah tangga itu, jika kemudian pembantu rumah tangga itu memberikan keterangan- keterangan letak berandkas atau memberikan kunci untuk membuka brandkas majikannya, maka pembantu rumah tangga salah “membantu melakukan”

pencurian, karena untuk mencuri bukan asal dari dia akan tetapi dari pencuri sendiri lain halnya apabila pembantu rumah tangga tersebut karena menyimpan kunci brangkas majikannya, ia berniat mencuri uang dari brangkas tersebut, tetapi tidak berani melakukan pencurian itu sendiri, kemudian ia datang pada seorang yang jahat, dengan menyerahkan kunci brangkas kepadanya orang itu dimita supaya menjalankan pencurian tersebut, maka pembantu rumah tangga itu

“membantu melakukan” (medeplichting), akan tetapi salah membujuk melakukan (uitlokking) pada pencuri oleh karena inisiatif untuk mencuri asalnya dari pembantu rumah tangga. Bantuan yang diberikan itu dapat berupa apa saja , baik moril ataupun materil, tetapi sifatnya harus hanya membantu saja.

Pemberian kesempatan, sarana atau keterangan adalah cara untuk menggerakkan seseorang. Jelas kiranya bahwa jika ada pembantu tentu ada yang dibantu, yaitu yang disebut sebagai pelaku utama atau petindak. Hubungan antara pembantu dengan petindak atau pelaku utama adalah pembantuan. Pembantuan ditentukan bersamaan dengan terjadinya kejahatan.

(35)

Ada 2 macam antara pembantuan yaitu pembantuan aktif dan pembantuan pasif:

1. Pembantuan aktif atau fisik (active medeplichtigheid) adalah benar-benar terjadi suatu gerakan untuk melakukan suatu tindakan(bantuan).

2. Pembantuan pasif atau non fisik (passive medeplichtigheid)adalah tidak melakukan suatu gerakan/tindakan, namun dengan kepasifannya itu ia telah dengan segaja memberi bantuan.20

Syarat-syarat pembantuan : 1. Dari sudut subyektif

Kesengajaan pembuat pembantu ini tidak ditujukan pada suatu pelaksanaan ataupenyelesaian kejahatan, melainkan hanya sekedar ditujukan pada mempermudah pelaksanaan kejahatan saja. Artinya juga ialah sikap bathin pembuat pembantu terhadap kejahatan tidak sama dengan dengan sikap bathin dari pembuat pelaksananya.

2. Dari sudut obyektif

Bahwa wujud dari perbuatan yang dilakuakan oleh pembuat pembantuhanyalah bersifat mempermudah atau memperlancar suatu pelaksanaan kejahatan. Pada kenyataannya menurut pengalaman manusia pada umumnya, mengenai wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu berperan atas mempunyai andil, atau memberi sumbangan dalam hal mempermudah atau memperlancar penyelesaian kejahatan. Artinya, wujud dari perbuatan pembuat pembantu itu, tidaklah dapat menyelesaikan kejahatan, yang menyelesaikan

20 Sianturi S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, Halaman 28

(36)

kejahatan itu adalah wujud perbuatan apa yang dilakukan sendiri oleh pembuat pelaksanaannya.21

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif.

Metode penelitian hukum normatif sering juga disebut “ penelitian hukum teoritis

22. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah Pendekatan yuridis normatif. Untuk itu diperlukan penelitian yang merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.23

21 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, Bandung, 1989, Halaman 108.

22 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Halaman 102

23 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Press, Jakarta, 2001, Halaman 13

(37)

Menurut Ronny Hanitijo Soemitro pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan kepustakaan yang berpedoman pada peraturan-peraturan, buku-buku atau literatur-literatur hukum serta bahan-bahan yang mempunyai hubungan permasalahan dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini dan pengambilan data langsung pada objek penelitian yang berkaitan dengan peranan Intelkam Polri dalam mengantisipasi konflik sosial.24

3. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian penulis dalam penyusunan skripsi adalah di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara dan Perpustakaan Universitas Sumatra Utara.

4. Alat Pengumpul Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul berupa25: a. Studi Kepustakaan atau Studi Dokumen

b. Wawancara (Interview)

c. Daftar pertanyaan (Kuisioner Angket) d. Pengamatan (Observasi)

Alat Pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan studi dokumen atau bahan pustaka yang disusun secara metodologi guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang

24 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, Halaman 10

25 Edywarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, PT.Softmedia, Medan, 2015, Halaman 99

(38)

telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.

5. Analisis Data

Data yang diperlukan dalam skripsi ini berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana yang mengatur tindak pidana perdagangan orang dalam literatur atau sumber bacaan hukum pidana.

H. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut ini penulis membuat sistematika penulisan atau gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan yang membahas tentang pengertian Tindak Pidana, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penyertaan, Pembantuan Tindak Pidana, yang diakhiri dengan Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

(39)

BAB II BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN ORANG DAN PENGATURAN HUKUMAN DALAM UU NO. 21 TAHUN 2007

Pada bab ini dibahas mengenai bentuk-bentuk perdagangan orang yang pengaturan hukumnya serta ketentuan sanksi pidana dalam Undang-undang No.21 Tahun 2017.

BAB III BENTUK-BENTUK PENYERTAAN DAN KETENTUAN SANKSI PIDANA DALAM KUHP DAN DILUAR KUHP

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai bentuk-bentuk penyertaan di dalam KUHP dan di luar KUHP serta kentuan sanksi pidana baik dari dalam KUHP maupun di luar KUHP.

BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PEMBANTUAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN NO : 667/Pid.Sus/2018/PN Mdn.

Pada bab ini membahas mengenai penerapan sanksi pidana bagi pembantuan tindak pidana perdagangan orang di Kota Medan berdasarkan Putusan PN Medan .

BAB V PENUTUP

Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.

(40)

BAB II

BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN ORANG DAN PENGATURAN HUKUMAN DALAM UU NO. 21 TAHUN 2007

A. Bentuk-bentuk Perdagangan Orang Secara Umum

Ada beberapa bentuk tindak perdagangan orang yang harus diwaspadai, karena terkadang masyarakat tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban dari perdagangan orang. Saat ini bentuk – bentuk dari tindak pidana perdagangan orang banyak mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dimana bentuk dari perdagangan orang yang paling mengerikan yakni implantasi organ, dimana organ tubuh seseorang diambil untuk diperjualbelikan di pasar internasional seperti ke daerah Malaysia, Belanda, Swedia, Prancis dan lain sebagainya. Hal ini merupakan perbuatan yang sangat tidak manusiawi lagi apabila dilihat masa sekarang yang sudah menjunjung tinggi hak asasi manusiaAdapun beberapa bentuk perdagangan orang secara umum yang ditemukan di Indonesia yakni antara lain :

1. Pekerja Migran

Pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Menurut Everet S. Lee dalam Muhadjir Darwin bahwa keputusan berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah lain adalah konsekuensi dari perbedaan dalam nilai kefaedahan antara daerah asal dan daerah

(41)

tujuan. Perpindahan terjadi jika ada faktor pendorong dari tempat asal dan faktor penarik dari tempat tujuan.26

Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe yakni : pekerj migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.27 Pekerja migran internal (dalam negeri) adalah orang yang berimigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan penduduk umumnya dari desa ke kota(rural-to-urban migration), maka pekerja migran internal seringkali diidentikkan dengan “ orang desa yang bekerja di kota.” Pekerja migran internasional ( luar negeri ) adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Karena persoalan TKI ini seringkali menyentuh para buruh wanita yang menjadi pekerja kasar di luar negeri, TKI biasanya diidentikkan dengan Tenaga Kerja Wanita (TKW atau Nakerwan).

2. Pekerja Anak

Perdagangan anak dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan perekrutan, transportasi baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan anak

26Muhadjir Darwin, Pekerja Migran dan Seksualitas, Yogyakarta ; Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2003, Halaman 3

27 Edi Suharto, Permasalahan Pekerja Migran : Perspektif Pekerjaan Sosial, Refika Aditama, Jakarta , 2013 , Halaman 24

(42)

dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau dengan pelibatan hutang untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapatkan bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas di mana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang tersebut pertama kali terjadi.Namun tidak jarang perdagangan anak ini ditujukan pada pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak.

Pengertian pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk unuk Anak di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk berikut :

a. Anak-anak yang dilacurkan.

b. Anak-anak yang di pertambangan.

c. Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara.

d. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi.

e. Anak-anak yang bekerja di jermal.

f. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah.

g. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak.

h. Anak-anak yang bekerja di jalan.

i. Anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

j. Anak-anak yang bekerja di industri rumah tangga.

(43)

k. Anak-anak yang bekerja di perkebunan.

l. Anak-anak yang bekerja di penerbangan, pengolahan dan pengangkutan kayu.

m. Anak-anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya.28

Pemerintah menetapkan prioritas penghapusan untuk fase lima tahun pertama hanya pada lime jenis pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu anak-anak yang terlibat dalam penjualan, produksi, dan pengedar narkotik (sale, production and traficking drugs), perdagangan anak (traficking of children), pelacuran anak (children of prostitution), anak-anak yang bekerja sebagai nelayan di lepas pantai (child labour in off-shore fishing), pertambangan (mining), dan anak-anak yang bekerja di industri sepatu (footwear).29

3. Kejahatan Protistusi

Secara harfiah, prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual dengan uangatau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Secara hukum, prostitusi didefinisikan sebagai penjualan jasa seksual yang meliputi tindakan seksual tidak sebesar kopulasi dan hubungan seksual. Pembayaran dapat dilakukan dalam bentuk uang atau modus lain kecuali untuk suatu tindakan seksual timbal balik.

Banyak yang merasa bahwa jenis defenisi dengan penegakan semua dukungan bahasa termasuk selektif hukum sesuai dengan keinginan dan angan-angan dari badan penegak terkemuka untuk mengontrol mutlak peremuan. Prostitusi dibagi ke dalam dua jenis, yaitu prostitusi di mana anak perempuan merupakan komoditi

28 Indonesia, Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Kppre No.59 Tahun 2002, Lampiran Bab I

29 International Labour Organization,Bunga-Bunga di Atas Padas : Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia, ILO-APEC,Jakarta, 2004 , Halaman 150

(44)

perdagangan dan prostitusi di mana wanita dewasa sebagai komoditi perdagangan.

Prostitusi anak dapat diartikan sebagai tindakan mendapatkan atau menawarkan jasa seksual dari seorang anak oleh seseorang atau kepada orang lainnya dengan imbalan uang atau imbalan lainnya.

Baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.

Sudah menjadi rahasia umum para perempuan yang bekerja di panti-panti pijat di Indonesia dapat diminta memberikan layanan seks kepada para pelanggan mereka. Tidak diketahui dengan jelas tentang kewajiban mereka untuk memenuhi permintaan tersebut, apakah karena ketertarikan mereka dengan tempat tersebut, atau karena kebutuhan akan pendapatan tambahan.

Dalam kasus lokalisasi, tempat-tempat pelacuran lainnya, serta prostitusi di warung penjual teh botol, ketika dipillih oleh seorang pelanggan, perempuan atau anak perempuan tersebut harus memberikan pelayanan seks dengan pembayaran di tempat, atau diluar, seperti di hotel, taman dan tempat terbuka. Ini adalah jenis prostitusi, yang mendorong cara perekrutan perempuan dan anak perempuan melalui praktik traficking, mengingat ini adalah sebuah sumber pendapatan yang besar bagi mereka yang terlibat di dalam proses perekrutan,

(45)

pengangkutan, dan penampungan para perempuan dan anak perempuan yang diperdagangkan selama beberapa tahun untuk menghasilkan uang tunai secara terus – menerus.

Ada dua negara yang dikenal sebagai tempat tujuan utama perdagangan orang untuk eksploitasi seksual komersial.. Kedua negara itu adalah Malaysia dan Jepang. Meskipun ada banyak laporan yang mengatakan bahwa eksploitasi seksual juga terjadi di Singapura. Namun ada perbedaan cara perekrutannya,yaitu:

a. Untuk tujuan Malaysia dan Singapura, korban direkrut dengan janji akan dipekerjakan di tempat-tempat karaoke, sebagai penyanyi di rumah makan, pelayan, dan hostes atau penghibur, atau bahkan dijanjikan sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).

b. Untuk Jepang mereka dibawa dengan alasan sebagai duta seni budaya atau penari tradisional, kemudian dipaksa untuk memberikan pelayanan seksual.

4. Perdagangan Anak Melalui Adopsi (Pengangkatan Anak)

Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah, tetapi kadang naluri ini terbentur pada takdir ilahi, dimana kehendak manusia dalam mempunyai anak tidak tercapai. Usaha yang dilakukan untuk memenuhi keinginan tersebut melalui adopsi atau pengangkatan anak.30

Pengaturan tentang pengangkatan anak di Indonesia diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1973 dan disempurnakan dengan SEMA RI Nomor 6 Tahun 1983. Isinya selain menetapkan pengangkatan yang

30 Farhana,Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2012, Halaman 46

Referensi

Dokumen terkait

Menurut British Standard BS EN ISO 7730, kenyamanan termal merupakan suatu kondisi dari pikiran manusia yang menunjukkan kepuasan dengan lingkungan termal.Definisi yang

Komposisi-komposisi tersebut dipilih dan disusun sesuai dengan periode musik yang berurutan secara periodik, dan ditutup dengan komposisi karya komponis

Hal terpening dalam membangun kemitraan antara satuan PAUD, orang tua/wali, dan masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan benar adalah pemahaman semua warga sekolah

Hal terpening dalam membangun kemitraan antara sekolah, orang tua/ wali, dan masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan benar adalah pemahaman semua warga sekolah tentang

Penerapan paradigma pendidikan pada ranah proses belajar mengajar, adalah sebuah syarat utama dalam tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebagaimana telah

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Dari beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa fungsi menulis itu sangat banyak, salah satunya bagi siswa Sekolah Dasar yaitu; dengan menulis siswa akan lebih