• Tidak ada hasil yang ditemukan

BRIEF Volume 11 No. 08 Tahun 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BRIEF Volume 11 No. 08 Tahun 2017"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

POLICY BRIEF

Ringkasan Eksekutif

Program Perhutanan Sosial (PS) yang merupakan wujud dari reformasi agraria di bidang kehutanan memiliki potensi yang signifikan untuk menciptakan alternatif sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar hutan. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah membuka akses kepada masyarakat, khususnya yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan untuk mengelola dan memanfaatkan wilayah hutan di sekitarnya. Meskipun telah didukung oleh berbagai payung hukum baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri serta Peraturan Direktur Jenderal, realisasi keberhasilan pengembangan program Perhutanan Sosial masih sangat rendah, bahkan jauh dari target yang ditetapkan. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendukung percepatan realisasi program Perhutanan Sosial antara lain melalui pendekatan pro-aktif dari pihak pengelola dan pemegang izin untuk menginisiasi pengembangan skema-skema PS; Telaah dan penataan ulang terhadap pencadangan areal untuk PS dengan melibatkan masyarakat untuk mereduksi insiden konflik tenurial serta overlapping klaim atas areal yang dialokasikan bagi pengembangan PS;

Pengembangan usaha agribisnis berbasis hutan yang memiliki backward linkage dan

forward linkage; serta peningkatan peran aktif Kelompok Kerja Program Perhutanan

Sosial (Pokja-PPS) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) serta para pihak terkait untuk memfasilitasi pengembangan program.

Volume 11 No. 08 Tahun 2017

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Sri Suharti, Kirsfianti L Ginoga, Murniati, Dona Octavia, Ayun Windyoningrum

Sumber foto: www.mongabay.co.id

Langkah Strategis Menuju Percepatan

Realisasi Capaian Program Perhutanan Sosial

(2)

Pernyataan Masalah

Perhutanan Sosial (PS) adalah sistem p e n g e l o l a a n h u t a n l e s t a r i y a n g dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan adat/hutan hak yang pelaku utamanya adalah masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat dengan tujuan untuk meningkatkan k e s e j a h t e r a a n m a s y a r a k a t , s e r t a menjamin keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial . Selama periode

1 0

2 0 1 5 – 2 0 1 9 , p e m e r i n t a h t e l a h mencanangkan alokasi lahan hutan negara untuk pengembangan program PS seluas 12,7 juta ha. Hingga tahun 2019 pemerintah menargetkan sebanyak 5.000 kelompok usaha sosial dan kemitraan akan dikembangkan melalui program Perhutanan Sosial .

11

Walaupun sudah didukung oleh berbagai payung hukum baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri serta Peraturan Direktur Jenderal, hingga saat ini realisasi keberhasilan pengembangan program Perhutanan Sosial masih sangat rendah, b a h k a n j a u h d a r i t a r g e t y a n g

4,7,11

dicanangkan . Rendahnya capaian realisasi Perhutanan Sosial tersebut disebabkan beberapa masalah, terutama pada level hulu (tahap persiapan dan perencanaan kegiatan) yang terkait dengan proses perizinan dan melibatkan p e m e r i n t a h p u s a t , p r o v i n s i d a n kabupaten. Di sisi lain persoalan terbatasnya anggaran yang dialokasikan

untuk pengembangan program PS (cenderung menurun dari tahun ke tahun;

Rp308,12 miliar untuk 2015, Rp249,58 untuk 2016, dan Rp165,17 miliar untuk 2017), persoalan kapasitas masyarakat untuk mempersiapkan pengelolaan hutan,

4 , 1 6

proses yang panjang serta biaya transaksi untuk pengurusan izin yang besar juga menjadi masalah mendesak

1,6

untuk segera diatasi. Selain biaya tersebut, masih diperlukan pula biaya u n t u k p e n g e m b a n g a n u s a h a y a n g besarnya tergantung skala serta bentuk

8 , 5

usaha yang akan dikembangkan . Berbagai strategi, pendekatan dan langkah-langkah taktis sebenarnya sudah d i l a k u k a n p e m e r i n t a h u n t u k meningkatkan capaian target, mulai dari pencadangan calon areal yang telah dipetakan pada Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), upaya koordinasi dan komunikasi dengan para pihak terkait serta yang terbaru adalah percepatan dan penyederhanaan proses p e n g a j u a n s e r t a p e n g e s a h a n i z i n pengelolaan (Hak Pengelolaan Hutan Desa/HPHD, Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan/IUPHKm, Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu- Hutan Tanaman Rakyat/IUPHHK- HTR) . Namun berbagai upaya tersebut

10

nampaknya belum secara signifikan meningkatkan capaian keberhasilan program Perhutanan Sosial.

P e n e t a p a n P I A P S m e m e r l u k a n verifikasi untuk mencegah konflik tenurial

Pencadangan areal untuk pengembangan PS disampaikan dalam bentuk Peta I n d i k a s i A r e a l P e r h u t a n a n S o s i a l (PIAPS). Melalui PIAPS, indikasi sebaran lokasi perhutanan sosial yang m e n j a d i p e d o m a n K e m e n t e r i a n Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam melakukan penataan hak dan akses rakyat terhadap kawasan hutan d a p a t d i d e s k r i p s i k a n . N a m u n pencadangan areal PS melalui PIAPS ternyata menyimpan berbagai persoalan yang muaranya adalah ketidaksesuaian antara areal yang dicadangkan PIAPS dengan kondisi dan status tenurial di

lapangan. Contoh ketidaksesuaian antara pencadangan areal untuk implementasi program PS dengan kondisi di tingkat tapak adalah dalam pengembangan HD.

Pada banyak kasus, kawasan hutan yang diusulkan untuk HD ternyata berkonflik dengan kawasan permukiman, pertanian bahkan penguasaan lahan oleh pihak lain . Di areal HD Bantaeng, Sulawesi

15

Selatan masyarakat yang menerima Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) ternyata bukan kelompok masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan pemanfaatan hutan di daerah tersebut.

Pemberian status HD tanpa proses verifikasi yang layak terkait batas-batas desa atau tanpa mempertimbangkan hak dan tradisi lokal justru telah memicu terjadinya konflik antara institusi .

2

Fakta atau

Kondisi Saat

Ini

(3)

Pencadangan areal yang disiapkan melalui PIAPS umumnya bersifat top-

down, tanpa melibatkan masyarakat

setempat sehingga sering mengabaikan status tenurial yang sudah lebih dahulu a d a . P I A P S b e l u m m e m u a t d a n memperlihatkan informasi tata guna lahan masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya hutan dalam pengambilan keputusan tentang status tenurial lahan dan memungkinkan terjadinya pengambilan keputusan yang diskretif dan tidak rasional dari Panitia Tata Batas (PTB).

Pemberlakuan Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 dan pergeseran kewenangan dalam administrasi pengurusan hutan

Pada banyak kasus, program PS sering lebih dianggap sebagai “program pusat”

o l e h p e m e r i n t a h d a e r a h s e h i n g g a d u k u n g a n y a n g d i b e r i k a n k u r a n g optimal . Beberapa titik lemah pelayanan

11

birokrasi terletak pada ketidaksiapan provinsi dan kabupaten untuk memasuki era desentralisasi . Apalagi dengan

1 4

diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2 0 1 4 m a k a k e w e n a n g a n t e r k a i t pengurusan administrasi kehutanan termasuk juga perluasan hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan berada di tingkat provinsi sehingga menghilangkan kewenangan instansi d i n a s k e h u t a n a n d i w i l a y a h kota/kabupaten.

Hasil kajian pada pengembangan HKm di K a b u p a t e n K u b u R a y a , P r o v i n s i K a l i m a n t a n B a r a t m e n d a p a t k a n t e r j a d i n y a s t a g n a s i d a l a m p r o s e s pengurusan ijin HKm sebagai dampak dari pemberlakukan UU Nomor 23 Tahun 2014 . Pemerintah daerah baik di level

18

provinsi maupun kabupaten tampak belum siap menghadapi pergeseran kewenangan terkait pengurusan ijin PS.

Proses pengajuan ijin HKm yang sedang berproses dan sebelumnya difasilitasi oleh dinas tingkat kabupaten menjadi terhenti karena terjadinya pergeseran kewenangan. Di sisi lain dinas tingkat provinsi juga nampak masih gamang

untuk melanjutkan proses yang telah berjalan. Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUP-H) yang kewenangannya berada di tangan gubernur belum dikeluarkan sehingga berimplikasi pada tersendatnya p e l a y a n a n p e m e r i n t a h t e r h a d a p masyarakat sekitar hutan.

Pemerintah daerah (Dinas Provinsi) terlihat masih enggan menempatkan agenda program PS menjadi agenda p r i o r i t a s d e n g a n d a l i h p r o g r a m perencanaan kegiatan telah disusun satu tahun sebelumnya sehingga belum dapat mengakomodir pengembangan program PS dalam rencana kegiatan tahunannya.

Nampaknya pada titik ini Perhutanan Sosial dianggap sebagai beban tambahan dalam perencanaan program kegiatan secara keseluruhan.

Pengembangan agribisnis berbasis hutan kurang sesuai dengan tipologi biofisik dan sosekbud masyarakat Berdasarkan pencadangan areal untuk pengembangan program Perhutanan Sosial, alokasi PIAPS terbesar berada di hutan lindung. Komposisi sebaran peta PIAPS terhadap kawasan hutan terdiri atas 12,4 juta ha (67%) berada di hutan lindung, 2,8 juta ha (15%) berada di hutan produksi, 2,6 juta ha (14%) berada di hutan produksi terbatas dan selebihnya berada di kawasan konservasi. Dibanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang berhasil didata melalui peta partisipatif, maka alokasi peta PIAPS ini juga berada di 4,4 juta ha wilayah kelola masyarakat .

3

Alokasi areal yang dominan pada kawasan hutan lindung mengindikasikan bahwa hak akses masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan terbatas pada komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan.

Dalam menentukan jenis komoditi

(spesies) yang akan dimitrakan perlu

mempertimbangkan tipologi biofisik,

kesiapan sarana dan prasarana (sarpras)

dan sosial ekonomi masyarakat yang akan

menjadi pelaku utamanya. Pemilihan

jenis ini pada banyak kasus belum

m e m p e r t i m b a n g k a n b e b e r a p a h a l

tersebut. Salah satu contoh adalah dalam

(4)

pengembangan Kemitraan Kehutanan antara KPH Batutegi dengan Gapoktan Cempaka di Lampung. Pala dipilih sebagai komoditi yang disepakati akan dikembangkan melalui kerja sama kemitraan tersebut. Namun, sebagian bibit pala yang ditanam tidak tumbuh dengan baik karena berberapa persoalan antara lain; penanaman dilakukan bukan pada musim hujan; sebagian pohon pala ditanam pada dataran rendah yang tidak sesuai dengan persyaratan tumbuhnya (>500 m dpl) dan pendampingan dari pihak mitra (KPH) terbatas; penanaman pala sudah dimulai tahun 2015, namun penyulaman bibit yang mati baru akan dilakukan tahun ini. Selanjutnya terkait dengan pemasaran hasil, masyarakat mengharapkan hasil buah pala nanti tidak dijual dalam bentuk mentah namun diolah menjadi minyak yang memiliki nilai tambah yang tinggi dan masyarakat memerlukan pelatihan pengolahan biji dan daun menjadi minyak atsiri. Namun pihak KPH nampaknya belum memiliki perencanaan tentang hal ini.

Sesuai perjanjian kerja sama kemitraan, masyarakat mitra diminta menanam dan memelihara pohon pala sebanyak 100 pohon per ha, sementara biaya bibit dan p e n a n a m a n d i f a s i l i t a s i o l e h K P H Batutegi. Namun, karena persyaratan tumbuh pohon pala tidak dipenuhi, maka persen tumbuh pohon pala yang ditanam sangat rendah (19 pohon/ha). Hal ini nantinya akan berimplikasi pada hak a k s e s p e t a n i m i t r a , k a r e n a u n t u k mendapatkan hak garap atas lahan pihak KPH Cempaka mensyaratkan adanya populasi pohon pala pada areal lahan garap masing-masing petani.

Persyaratan untuk menyusun Rencana Umum dan Rencana Operasional serta kapasitas masyarakat yang terbatas Perencanaan Pengelolaan Hutan Desa (RPHD) dan Rencana Usaha Kerja (HKm dan HTR) merupakan tahapan yang sangat krusial yang akan menentukan keberhasilan skema Perhutanan Sosial yang dikembangkan . Hasil diskusi

6

multipihak di tiga lokasi pengembangan skema Perhutanan Sosial (HKm Tuartana, Sikka; Hutan Desa Paru, Sijunjung dan

Kemitraan Kehutanan KPH Batutegi- Gapoktan Cempaka) didapatkan bahwa walaupun izin pengelolaan sudah diperoleh beberapa tahun sebelumnya, namun masyarakat belum memiliki perencanaan kegiatan untuk jangka waktu 10 dan satu tahun. Perencanaan yang sudah ada di masing-masing lokasi baru sebatas perencanaan 35 tahun yang dibuat saat pengajuan izin Penetapan Areal Kerja (PAK) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun IUPHKm dari g u b e r n u r d a n s a m a s e k a l i b e l u m diterapkan dalam pengelolaan langsung di l a p a n g a n . K e n d a l a y a n g d a p a t diidentifikasi adalah kurangnya fasilitasi, belum kuatnya kelembagaan, tidak adanya koperasi, belum jelasnya arah p e n g e m b a n g a n h u t a n b e r b a s i s masyarakat, lemahnya pemasaran produk maupun belum tergalinya potensi-potensi sumber daya hutan yang ada. Latar belakang dan kapabilitas masyarakat yang mendapat peluang untuk memperoleh hak akses dalam pengelolaan hutan sangat beragam. Untuk kelompok masyarakat yang relatif lebih maju, baik dari segi pendidikan dan pengalaman akan memiliki kemampuan untuk merumuskan rencana pengelolaan hutan baik jangka panjang, menengah maupun tahunan.

Fasilitas pendampingan dari pihak luar (pemerintah daerah, Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), mitra pengelola, swasta) hanya diperlukan sebagai pendorong di tahap awal. Namun untuk kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan (pendidikan, keterampilan, akses informasi dan pendanaan) yang terjadi di sebagian besar wilayah pengembangan PS, akan menghadapi banyak kesulitan dalam mempersiapkan rencana kegiatan pengelolaan. Selain itu, tingginya persyaratan yang harus dipenuhi dalam menyusun Rencana Umum (RU) dan Rencana Operasional (RO) menjadi kendala bagi kelompok walaupun telah mengantongi izin pengelolaan , . Ketiadaan fasilitasi

9 11

pendampingan dalam penyusunan RO dan RU menjadikan kelompok tidak dapat m e n j a l a n k a n i z i n y a n g t e l a h diperolehnya. Padahal, pemerintah berkewajiban dalam meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat.

Kenyataanya, berdasarkan pembelajaran

(5)

dari beberapa kelompok HKm yang sudah berjalan, percepatan penyusunan RU dan RO justru banyak difasilitasi oleh LSM .

12

Hingga saat ini fasilitasi pendampingan untuk penyusunan rencana pengelolaan baik dari pemerintah daerah maupun dari institusi terkait lainnya (LSM, Badan Penyuluhan, Pokja-PPS) masih terbatas.

Penyusunan rencana pengelolaan sangat penting disiapkan secara hati-hati dan matang karena akan menentukan arah serta keberhasilan kegiatan pengelolaan

secara keseluruhan. Belum adanya rencana kegiatan (RP dan RKU) dapat menghambat pelaksanaan kegiatan teknis kehutanan. Jika rencana pengelolaan dibuat secara tidak hati-hati dan pada tahap evaluasi kegiatan (lima tahunan) dianggap tidak mampu menunjukkan indikasi keberhasilan (peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan), bukan tidak mungkin izin pengelolaan yang sudah dengan susah payah diperoleh akan dicabut.

Kajian ini dilakukan pada tiga skema model implementasi Perhutanan Sosial yang dipilih secara purposive yaitu di HKm Tuartana di Desa Hikong, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur;

Hutan Desa Paru, Kabupaten Sijunjung, S u m a t e r a B a r a t d a n K e m i t r a a n Kehutanan di Desa Sumberbandung, K a b u p a t e n P r i n g s e w u , L a m p u n g . Pengumpulan data sekunder/desk study dilakukan dari berbagai referensi seperti

buku, jurnal, makalah, artikel, serta halaman web yang terkait dengan upaya percepatan capaian realisasi Perhutanan Sosial serta peraturan/kebijakan yang t e r k a i t i s u p e n g e m b a n g a n d a n implementasi Program Perhutanan Sosial (UU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PerMenLHK) dan Peraturan Direktur Jenderal (PerDirJen).

Metode

Pilihan dan Rekomendasi Kebijakan

Ta n t a n g a n d a n p e r s o a l a n d a l a m implementasi konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat tidak hanya terletak p a d a t a h a p a n p e r e n c a n a a n d a n panjangnya proses birokrasi yang rumit dan mahal yang harus dilewati, namun juga pada persoalan kepastian tata batas dan status lokasi hutan calon areal yang akan dikembangkan. Belajar dari pengalaman tentang banyaknya tumpang tindih status kewenangan serta klaim terhadap suatu kawasan hutan maka penetapan lokasi secara hati-hati merupakan langkah awal yang akan menentukan keberhasilan program PS.

Selain itu keterbatasan kapasitas masyarakat yang akan menjadi pelaku utama dalam pengelolaan hutan serta terbatasnya fasilitasi dan pendampingan yang dapat diakomodasi oleh parapihak terkait (pemerintah daerah (Pemda), Pokja-PPS, LSM, Swasta) juga menjadi persoalan yang perlu diantisipasi sebelumnya . Beberapa langkah strategis

19

yang perlu dilakukan adalah:

1. Pemerintah daerah bersikap pro- aktif menginisiasi pengembangan PS Untuk meningkatkan realisasi capaian target program PS, proses implementasi mestinya tidak hanya menunggu usulan dari kelompok masyarakat (bottom-up).

Para pengelola maupun pemegang izin perlu berinisiatif menjemput bola pada areal yang secara de jure dan de facto merupakan areal yang sudah clear &

clean serta kondisi tipologi biofisik dan

s o s i a l e k o n o m i m a s y a r a k a t n y a

( k a p a s i t a s , k o n d i s i s a r p r a s ,

ketergantungan terhadap sumber daya

h u t a n ) m e m i l i k i p o t e n s i u n t u k

pengembangan skema-skema PS. Untuk

Pemda yang bersedia menginisiasi

menjemput bola untuk pengembangan

program PS perlu mendapat insentif dan

penghargaan agar menjadi pendorong

bagi daerah-daerah lain untuk bersikap

pro-aktif dalam pengembangan program

PS.

(6)

2. Penataan ulang pencadangan areal Perhutanan Sosial secara partisipatif Terkait dengan persoalan status tenurial dan tata batas kawasan, selama ini pemberian izin HPHD, IUPHKm dan I U P H H K - H T R d i d a s a r k a n p a d a pencadangan areal berdasarkan PIAPS, dimana peta PIAPS ini ditetapkan melalui harmonisasi peta yang dimiliki oleh KLHK dg peta yang dimiliki LSM dan sumber-sumber lain serta melalui konsultasi dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan para p i h a k t e r k a i t . U n t u k m e n g u r a n g i

overlapping status tenurial serta klaim

atas lahan, peta hasil harmonisasi antar pihak perlu dikomunikasikan dengan masyarakat setempat dimana tata batas akan ditetapkan . Dalam penentuan areal

17

yang akan diajukan dalam skema perhutanan sosial, perlu diawali dengan proses identifikasi, verifikasi dan klasifikasi areal (FPIC/free prior

informed concent) agar tidak tumpang

tindih dan memasuki wilayah kelola masyarakat baik yang sedang berkonflik akibat klaim kawasan hutan maupun di areal yang non konflik (Areal Penggunaan lain/APL). Selain itu proses padu serasi juga perlu dilakukan antara areal Perhutanan Sosial yang dicadangkan melalui PIAPS dengan peta usulan masyarakat (jika ada).

3. Meningkatkan peran aktif Pokja- PPS dan KPH serta Parapihak terkait dalam Penyusunan Rencana Umum dan Rencana Operasional

Peran Pokja-PPS sangat dominan sebagai fasilitator dan verifikator teknis sejak dari t a h a p p e n g a j u a n i z i n , p e r b a i k a n p e r m o h o n a n u n t u k m e l e n g k a p i persyaratan administrasi, termasuk juga saat mengajukan revisi jika lokasi yang diusulkan masyarakat berada di luar PIAPS . Pokja-PPS juga mempunyai

10

tugas untuk melakukan monitoring i m p l e m e n t a s i k e g i a t a n s e r t a memfasilitasi pelaksanaan pemenuhan kewajiban dari para pemegang ijin pengelolaan PS.

Namun dari hasil kajian di tiga lokasi pengembangan skema perhutanan Sosial ( S i k k a , S i j u n j u n g d a n B a t u t e g i -

Lampung), peran aktif Pokja-PPS masih sangat minimal. Kegiatan fasilitasi terhadap kelompok masyarakat yang mengajukan izin pengelolaan justru lebih banyak dilakukan oleh LSM lokal, baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Oleh Karena itu penguatan peran Pokja-PPS sebagai pendamping utama pemerintah d a l a m p e n g e m b a n g a n P S p e r l u ditingkatkan.

Selain Pokja-PPS, keberadaan dan kapasitas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) serta peran aktifnya (terutama KPH yang sudah operasional) juga akan s a n g a t m e n e n t u k a n k e b e r h a s i l a n pengelolaan hutan di tingkat tapak, termasuk keberhasilan pengembangan skema-skema PS . KPH tidak saja

1 3

merupakan institusi yang didirikan secara permanen dan bertanggung gugat melainkan juga merupakan penyedia layanan publik yang beroperasi di lingkungan hutan yang batas-batasnya t e l a h d e n g a n j e l a s d i t e t a p k a n . Pengembangan PS akan diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan KPH. KPH b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k memberdayakan masyarakat yang bergantung pada hutan, menjadi mitra, memberikan pendampingan dan layanan teknis, menyetujui, memantau dan mengendalikan rencana pengelolaan serta implementasi berbagai skema PS.

Untuk KPH yang sudah operasional baik yang sudah mempunyai dokumen Rencana Pengelolaan Hutan jangka Panjang (RPHJP) maupun belum, dapat d i m i n t a o l e h D i r e k t o r a t J e n d e r a l Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan untuk segera mengajukan usulan areal PS yang berada di dalam kawasan hutannya. Areal PS yang diusulkan tersebut sudah merupakan hasil identifikasi luas dan batas kawasan hutan bersama-sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa.

KPH perlu melakukan pembinaan teknis,

kelembagaan dan manajemen bisnis

kepada kelompok masyarakat yang

mengajukan izin pengelolaan hutan

dalam skema PS. Pembinaan teknis

(7)

sumber daya hutan (kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan p e r l u s e g e r a d i l a k u k a n u n t u k membangkitkan pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu penguatan kelembagaan masyarakat desa, misalnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes ), peraturan desa atau aturan- aturan adat untuk pengelolaan hutan.

Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam struktur organisasi KPH yang selama ini menjadi kendala utama dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KPH seharusnya sudah b a n y a k d i p e r b a i k i m e l a l u i u p a y a penataan SDM serta proses mutasi terutama dengan telah diberlakukannya UU Nomor 23 tahun 2014. Selain itu peningkatan fasilitas sarpras yang menjadi modal dalam kegiatan pelayanan K P H k e p a d a m a s y a r a k a t p e r l u diakomodasikan secara cepat dan tepat.

Dukungan aktif KPH diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung pihak pengelola hutan dengan entitas bisnis dalam mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Selain itu, berbagai forum seperti LSM dan universitas yang selama ini ikut mengawal pengembangan berbagai skema PS diharapkan menjadi jembatan penghubung antara sistem manajemen hutan modern yang bersifat formal dalam b e n t u k d o k u m e n t e r t u l i s d e n g a n kebiasaan masyarakat yang cenderung menggunakan bahasa dan pelaporan lisan. Peran penyuluh juga perlu dioptimalkan untuk memfasilitasi pengelola kehutanan masyarakat dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan. Dalam

PerMenLHK Nomor P.83/Menlhk/

Setjen/Kum.1/10/2016, disebutkan bahwa pengesahan Rencana Pengelolaan dan Rencana Kerja Usaha areal PS jika berada dalam satu desa cukup dilakukan oleh penyuluh, sementara jika areal PS berada pada lintas desa disahkan oleh kepala KPH yang sudah operasional.

S e m e n t a r a a p a b i l a d i a r e a l pengembangan PS belum ada KPH yang o p e r a s i o n a l , m a k a p e n g e s a h a n perencanaan disahkan oleh Kepala Dinas Provinsi.

4. Pengembangan usaha agribisnis berbasis hutan

Setelah izin pengelolaan diperoleh oleh satu kelompok masyarakat (HPHD IUPHKM, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan, Hutan Adat/Hutan Hak) hal yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengembangan berbagai usaha agribisnis berbasis hutan sesuai dengan potensi biofisik areal serta tipologi masyarakat setempat. Sebagaian besar areal yang dicadangkan dalam PIAPS merupakan areal hutan lindung, oleh karena itu kegiatan pemanfaatan dan pemungutan hasil dari pengelolaan hutan lebih difokuskan pada komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan.

Dalam pengembangan usaha agribisnis,

perlu diantisipasi peluang dan potensi

pengembangan berbagai usaha ikutan

baik yang bersifat mendukung usaha

agribisnis yang dikembangkan, maupun

peluang usaha yang muncul sebagai hasil

ikutan dari usaha agribisnis yang

dikembangkan (forward linkage dan

backward linkage).

(8)

Rujukan Untuk Konsultasi

1. Sri Suharti suharti23@yahoo.co.id 2. Kirsfianti L Ginoga

klginoga@gmail.com

3. Murniati murni3008@yahoo.com

4. Dona Octavia

dona_ksh32@yahoo.com 5. Ayun Windyoningrum

ayunjogja@gmail.com

Referensi

1. Amru 2015. Kajian Implementasi Kebijakan Hutan Desa di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi serta Kesiapannya Dalam REDD+. Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung.

2. Balang 2013. Laporan kegiatan lapangan di Bantaeng, Unpublished Agroforestry and Forestry in Sulawesi project report. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.

3. Kementerian Kehutanan. 2014. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2013. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

4. Kemitraan 2011.Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Partnership Policy Paper No. 4. The Partnership for Governance Reform in Indonesia. Jakarta.

5. Kemitraan 2013. Planning and Budgeting in Community-based Forest Management through Community Forestry and Village Forest Scheme.

Partnership Policy Paper No 5. Partnership for governance reform in Indonesia. Jakarta.

6. Moeliono M, Mulyana A, Adnan H, Yulianti EL, M a n a l u P & B a l a n g . 2 0 1 5 . H u t a n D e s a : Pemberdayaan, Bisnis, atau Beban? Brief 52. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.

7. Muhshi MA, Siscawati M & Santosa H. 2011. The Challenge of Community Based Forest management after a decade of forestry reform in Indonesia.

International Conference on Forest tenure, Governance and Enterprise in Lombok 11 – 15 July 2011.

8. Muhsi M A. 2016. Wajah Perhutanan Sosial dan Kehutanan Masyarakat Hari Ini. FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat). Bogor.

fkkm.org/2016/04/04/wajah-perhutanan-sosial-dan- kehutanan-masyarakat-hari-ini

9. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan K e m i t r a a n L i n g k u n g a n N o m o r P.16/PSKL/SET/PSL.0/12/2016. Jakarta.

10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor. P. 83/MENLHK/SETJEN/KUM-1/10/2016.

Jakarta.

11. Praputra A.V., Sahide M.A.K & Santosa A. 2015.

Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat. FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat). Bogor.

12. Prasetyo AB. 2014. HutanTanaman Rakyat. Warta BP2SDM. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. .

13. Rahmina 2012. Pilihan Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Dalam Mitigasi Perubahan Iklim. FORCLIME, Jakarta.

14. RECOFTC – The Center for People and Forests 2014.

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat: Status Kini dan Masa Depan. Bangkok, Thailand.

15. Royo N & Wells A. 2012. Community Based Forest Management in Indoneia: a review of current practice and regulatory frameworks. Background paper for The Forest Dialogue on Investing in Locally C o n t ro l l e d F o re s t r y ( I L C F ) , Yo g y a k a r t a (unpublished).

16. Santosa A & Silalahi M. 2011. Laporan kajian kebijakan kehutanan masyarakat dan kesiapannya d a l a m R E D D + . B o g o r, I n d o n e s i a : F o r u m Komunikasi Kehutanan Masyarakat.

17. Sawitri M., Muhshi MA, Muhajir M, Shohibuddin M, Arizona Y, Sirait M, Nagara G, Andiko, Moniaga S, Berliani H, Widawati E, Rakhma S, Galudra G, Suwito, Santosa A & Santoso H. 2011. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial. Civil Society Coaliton for Forest Tenure Reform, Jakarta.

18. Suharti S, Maharani KU, Sutisna U & Robini A. 2015.

Model Restorasi Mangrove Berbasis Masyarakat.

Laporan Hasil Penelitian Tahun 2015. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor (Unpublished).

19. Suharti S, Murniati & Octavia D. 2017. Paru Village Forest: Some Opportunities and Challenges. Paper presented at IUFRO-INAFOR Joint International Conference 24-27 July, Yogyakarta, Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

pelaksanaan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia yang ketiga pada tanggal 15 Oktober 2010 yang akan datang, akan dilaksanakan puncak acara secara nasional dengan menghadirkan

Tujuan kajian ini dilaksanakan adalah untuk mengukur perubahan diri pelatih di awal dan akhir program pemulihan berbantukan teknik biofeedback di mana skor VLF pelatih yang

“Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara price earning ratio metode FIFO dan rata-rata yang diukur dari variabilitas laba akuntansi, variabilitas persediaan,

Perseroan menghimbau kepada Pemegang Saham yang berhak hadir dalam RUPST yang sahamnya dimasukan dalam penitipan kolektif KSEI untuk memberikan kuasa melalui fasilitas

Permasalahan pada penggunaan algoritme particle swarm optimization dapat diselesaikan dengan beberapa tahapan diantaranya melakukan inisialisasi kecepatan, inisialisasi

Ketiga kumparan pada transformator tiga fasa dapat dihubungkan dengan sebuah tegangan nominal ∆ dan ketiga gulungan dengan tegangan nominal yang lain di hubung Y sehingga

Sedangkan siswa tipe Climber mampu memenuhi semua indikator berpikir reflektif yang ditunjukkan dengan mampu mengumpulkan informasi dari soal dan menghubungkannya

Penelitian lain menunjukkan intervensi yang diberikan 2 jam sebelum operasi, kemudian dilakukan pengukuran skala kecemasan 1 jam sebelum operasi disimpulkan intervensi