• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampul. Collaborative Governance. dalam Perspektif Administrasi Publik. Retno Sunu Astuti Hardi Warsono Abd. Rachim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sampul. Collaborative Governance. dalam Perspektif Administrasi Publik. Retno Sunu Astuti Hardi Warsono Abd. Rachim"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sampul

Collaborative Governance

dalam Perspektif Administrasi Publik

Retno Sunu Astuti Hardi Warsono

Abd. Rachim

(3)

Collaborative Governance

dalam Perspektif Administrasi Publik

@2020

Penulis :

Retno Sunu Astuti Hardi Warsono Abd. Rachim

Editor

Tim DAP Press

Perancang Sampul

Fauzy Gustaman

Penata Letak

Tim DAP Press

Cetakan pertama : Juni 2020

xv + 142 halaman + daftar pustaka

ISBN : 978 623 91158 5 2

Penerbit :

Program Studi Doktor Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Press

Jalan Erlangga Barat VII No. 35 - Semarang

Telp. (024) 8451567 - email: prodidap@gmail.com website: dap.undip.ac.id

(4)
(5)

Kata Pengantar

Buku ini merupakan hasil proses panjang dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh Tim Penulis, utamanya penelitian yang dilakukan untuk mengeksplorasi kolaborasi antar stakeholders dalam penanganan banjir paparan Danau Tempe yang setiap tahun datang dua kali. Kesiapan dan kesigapan masyarakat menghadapi “bencana”, dalam studi administrasi publik merupakan daya tarik untuk melihat lebih dalam bagaimana model kolaborasi yang selama ini dilakukan. Buku ini terdiri dari enam Bab yang terbagi atas dua bagian. Bagian pertama berisi tinjauan teoritis collaborative governance dalam studi administrasi publik dan bagian kedua menyajikan studi kasus berbagai kolaborasi baik bersifat praktis maupun dalam bentuk rekomendasi.

Pada bagian pertama, bab I dipaparkan tentang konsep administrasi yang diawali dengan pergeseran Paradigma Administrasi Publik dalam pandangan Nicholas Henry yang mengantar pada bab II yaitu membahas tentang konsep, karakter dan isu-isu governance. Selanjutnya, pada bab III diuraikan tentang pemahaman, pendekatan, model, kriteria dan diakhiri dengan uraian tentang collaborative governance dalam perspektif administrasi publik. Bagian pertama buku ini, diakhiri dalam bab IV yang membahas tentang pemangku kepentingan dan bagaimana para pemangku kepentingan terlibat dalam kolaborasi penta helix. Pada bagian kedua buku ini, memaparkan studi kasus existing model kolaborasi dalam penanganan

(6)

pengelolaan banjir paparan Danau Tempe di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan dan bab terakhir usulan model kolaborasi dalam advokasi kebijakan pemberian ASI Eksklusif di Kota Semarang.

Dalam kesempatan ini Tim Penulis selain mengucapkan puji syukur terhadap Tuhan penguasa segala ilmu, terima kasih juga kami sampaikan khususnya kepada Prof. Y. Warella, MPA, Ph.D., Dr. Suharyanto, M.Sc., serta Prof. Dr. rer. nat. Muh. Aris Marfai, M.Sc. yang telah memberi warna sesuai perspektif dalam bidang keilmuan masing-masing untuk penulisan buku ini, dan Bianglala sebagai partner dalam penulisan penelitian dan publikasi Collaborative Governance dalam Advokasi Kebijakan Pemberian ASI Eksklusif. Semoga buku kecil ini bermanfaat sebagai pemantik pengembangan ilmu administrasi publik di era governance dewasa ini.

Semarang, Juni 2020

Tim Penulis

(7)

Daftar Isi

Sampul ... i

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

Daftar Singkatan dan Akronim ... xii

Bab I Administrasi Publik ... 16

1.1. Konsep Administrasi Publik ... 16

1. Arti Administrasi secara Etimologis ... 17

2. Administrasi dalam Arti Sempit ... 19

3. Administrasi dalam Arti Luas ... 20

1.2. Pergeseran Paradigma Administrasi Publik ... 21

1.3. Administrasi Publik di Indonesia ... 25

1. Istilah Administrasi Negara vs. Administrasi Publik ... 26

2. Perkembangan Administrasi Publik sebagai Ilmu, Pemikiran dan Teori ... 27

3. Perkembangan Studi Administrasi Publik di Indonesia ... 30

Bab II Governance ... 32

2.1. Konsep Governance ... 32

2.2. Karakter Governance ... 33

2.3. Isu Studi Governance ... 36

(8)

Bab III Collaborative Governance ... 41

3.1. Pemahaman tentang Collaborative Governance ... 41

3.2. Pendekatan Collaborative Governance ... 48

3.3. Tantangan Collaborative Governance ... 65

1. Tantangan dalam Pemecahan Masalah ... 65

2. Tantangan dalam Proses Berkolaborasi ... 67

3. Tantangan Akuntabilitas dengan Multi- Relasi ... 69

3.4. Model Prinsip Collaborative Governance ... 71

1. Vigoda (2002) ... 73

2. Weber, Lovrich, dan Gaffney (2005) ... 74

3. Ansell dan Gash (2008) ... 75

4. Ratner (2012) ... 79

5. Emerson, Nabatchi, dan Balogh (2012) ... 81

6. Saigler (2011) ... 87

7. Koschmann, Kuhn, dan Pfarrer (2012) ... 88

8. Schottle, Haghsheno dan Gehbauer (2014) ... 89

3.5. Kriteria Keberhasilan dan Kegagalan Collaborative Governance ... 92

3.6. Collaborative Governance dalam Perspektif Administrasi Publik ... 97

Bab IV Kolaborasi Penta Helix ... 99

4.1. Pemangku Kepentingan ... 99

4.2. Konsep Kolaborasi Penta Helix ... 100

4.3. Analisis Pengaruh dan Kepentingan (Power and Interest) Pemangku Kepentingan ... 105

4.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Kajian Administrasi Publik ... 107

(9)

Bab V Hexa Helix: Model Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Banjir Paparan Danau Tempe: Studi

Kasus ... 111

5.1. Pengantar ... 111

5.2. Metode Penelitian ... 118

5.3. Diskusi... 119

5.4. Kesimpulan ... 124

5.5. Analisis Statistik (Lampiran) ... 126

Bab VI Collaborative Governance dalam Advokasi Kebijakan Pemberian ASI Eksklusif: Studi Kasus ... 131

6.1. Pengantar ... 131

6.2. Landasan Teori ... 133

1. Teori Perilaku Lawrence Green ... 133

2. Collaborative Governance ... 134

6.3. Metode Penelitian ... 136

6.4. Hasil dan Diskusi ... 137

1. Pengetahuan terhadap ASI Eksklusif ... 137

2. Kesediaan dalam Memberikan ASI Eksklusif ... 137

3. Self-efficacy dalam Pemberian ASI Eksklusif ... 138

4. Collaborative Governance dalam Advokasi Pemberian ASI Eksklusif ... 139

6.5. Kesimpulan ... 141

Daftar Pustaka ... 143

Biodata Tim Penulis ... 161

(10)

Daftar Tabel

Tabel 2. 1. Karakteristik Model Governance ... 34 Tabel 4. 1. Pemangku Kepentingan Triple Helix, Quadra

Helix dan Penta Helix ... 101 Tabel 5. 1. Model Summary ... 127 Tabel 5. 2. Hasil Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) .... 128 Tabel 5. 3. Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Parsial (Uji t) ... 129 Tabel 6. 1. Model Collaborative Governance Advokasi

Pemberian ASI Eksklusif ... 141

(11)

Daftar Gambar

Gambar 3. 1. Kerangka Kerja Memahami Kolaborasi

Lintas Sektor ... 48 Gambar 3. 2. Model Kolaborasi Weber, Lovrich, dan

Gaffney ... 75 Gambar 3. 4. Model Collaborative Governance ... 76 Gambar 3. 5. Tiga Tahap Penilaian Collaborative

Governance dan Perencanaan Tindakan ... 81 Gambar 3. 6. Kerangka Kerja Integratif untuk

Collaborative Governance ... 82 Gambar 3. 7. Kompromi Jangka Panjang dalam Bentuk

Otonomi, Kerja Sama dan Kolaborasi ... 90 Gambar 3. 8. Klasifikasi dan Faktor Keberhasilan Sebuah

Collaboration ... 95 Gambar 4. 1. Matriks Power versus Interest Grids ... 106 Gambar 5. 1. Peta Lokasi Danau Tempe, Kabupaten

Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia 116 Gambar 5. 2. Kondisi Banjir Danau Paparan Tempe pada

Tahun 2019, Provinsi Sulawesi Selatan -

Indonesia ... 117 Gambar 5. 3. Konsep Baru Pemangku Kepentingan “Hexa

Helix” ... 125 Gambar 5. 4. Kerangka Model Konseptual Analisis ... 126 Gambar 5. 5. Persentase Keterlibatan Pemangku

Kepentingan terhadap Pengelolaan

Bencana Banjir Paparan Danau Tempe ... 128

(12)

Daftar Singkatan dan Akronim

Advokasi Advokasi merupakan suatu usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju.

Anova Analysis of variance (Anova) merupakan

prosedur uji statistik yang mirip dengan t test, namun kelebihan dari Anova adalah dapat menguji perbedaan lebih dari dua kelompok.

ASI Air Susu Ibu (ASI) adalah susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan

merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat mencerna makanan padat.

ASI Eksklusif ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja selama enam bulan pertama tanpa minuman atau makanan tambahan lain. Setelah 6 bulan, pemberian ASI dengan makanan pendamping ASI, lalu ASI dilanjutkan sampai dengan dua tahun atau lebih

banjir paparan (floodplain)

Banjir paparan adalah banjir yang terjadi akibat luapan air sungai atau danau di daerah

sekitarnya dan biasanya terjadi cukup lama.

BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah lembaga Pemerintah Non

Departemen yang mempunyai tugas membantu Presiden Republik Indonesia dalam:

mengkoordinasikan perencanaan dan

pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu; serta

melaksanakan penanganan bencana dan

kedaruratan mulai dari sebelum, pada saat dan

(13)

setelah terjadi bencana yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan pemulihan.

BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah lembaga pemerintah non-departemen yang melaksanakan tugas penanggulangan bencana di daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

CSR Corporate Social Responsibility (CSR)/ tanggung jawab sosial perusahaan adalah suatu konsep atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai rasa tanggung jawab perusahaan

terhadap sosial maupun lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada.

et al. et alii atau et alia (et al.), artinya “dan kawan- kawan”. Singkatan ini dalam hal ini penulis lain (tim penulis buku)

IMD Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan. Bayi

dibiarkan mencari puting susu ibu sendiri dan tidak disodorkan langsung ke puting susu Ibu.

KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kamus resmi bahasa Indonesia yang disusun oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

LMKM Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM) adalah regulasi dalam bentuk

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/

Menkes/ SK/ IV/ 2004; Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penerapan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui.

LAN-RI Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) merupakan salah satu Lembaga Pemerintah Nonkementerian untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang administrasi negara sesuai dengan ketentuan

(14)

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

mdpl Singkatan dari “meter di atas permukaan laut”

NGOs Non-Government Organization (NGOs) adalah suatu organisasi atau kelompok, beraktivitas di luar struktur politik. Dalam buku ini disebut juga Lembaga Non Pemerintah.

NPM New Publik Management (NPM) adalah manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan.

PP Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Pusdalops Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) adalah organisasi yang bertanggung jawab sebagai Pengelola Informasi Bencana (disaster

information manager) sekaligus berfungsi sebagai Pengendali Koordinasi antar instansi dan lembaga baik pemerintah maupun

masyarakat, untuk penanganan bencana di kabupaten/ kota.

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah unit fungsional pelayanan kesehatan terdepan sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kota atau kabupaten yang

melaksanakan upaya penyuluhan, pencegahan dan penanganan kasus-kasus penyakit di

wilayah kerjanya, secara terpadu dan terkoordinasi.

Ruang laktasi

Ruang laktasi adalah ruangan yang dilengkapi dengan prasarana menyusui dan memerah ASI yang digunakan untuk menyusui bayi, memerah ASI, menyimpan ASI perah, dan/ atau konseling menyusui/ ASI.

s.d. Singkatan dari “sampai dengan”

Satpol PP Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) adalah perangkat pemerintah daerah dalam

memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah.

(15)

SDGs Sustainable Development Goals (SDGs) adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk

kemaslahatan manusia dan planet bumi.

Sembako Sembilan Bahan Pokok (sembako) adalah sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat, yang terdiri dari: beras; gula pasir; minyak goreng dan mentega; daging sapi dan ayam;

telur ayam; susu; jagung; minyak tanah; dan garam beryodium

SOP Standard Operating Procedure (SOP) adalah dokumen yang berkaitan dengan prosedur yang dilakukan secara kronologis untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memperoleh hasil kerja yang paling

efektif dari para pekerja.

Susu formula

Susu formula adalah susu yang dibuat dari susu sapi atau susu buatan yang diubah

komposisinya hingga dapat dipakai sebagai pengganti ASI.

Tenaga konselor

Tenaga konselor adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam melakukan konseling/ penyuluhan.

(16)

Bab I Administrasi Publik

1.1. Konsep Administrasi Publik

Masyarakat Indonesia pada zaman kolonial Belanda telah akrab dengan istilah administrasi karena adanya fakta terkait dengan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Kegiatan sosial dan ekonomi ini telah menjadi sarana memperkenalkan ataupun diperkenalkan secara tidak langsung terhadap istilah administrasi. Beberapa karya ilmiah memberikan bukti terhadap hal tersebut.

Masyarakat Indonesia mengenal atau secara terpaksa mengenal istilah “administrasi” ketika mereka harus berurusan dengan pemerintah setempat setingkat desa/ kelurahan dalam rangka memperoleh pelayanan surat-surat keterangan berupa keterangan penduduk yang sekarang dikenal dengan nama kartu tanda penduduk; surat keterangan ketika penduduk setempat ingin menjual hasil ternaknya agar tidak disangka hewan curian, demikian pula bagi penduduk yang akan menikah harus mengurus surat keterangan nikah dari pemerintah setempat atau ketika orang tua mendaftarkan anak-anaknya pada sekolah pemeriksaan kesehatan dan pengobatan anggota masyarakat pada rumah sakit dan lain-lain kebutuhan masyarakat yang berhubungan dengan kantor pemerintah semuanya diwajibkan membayar sejumlah uang yang disebut sebagai “biaya administrasi” (Thoha, 1983).

(17)

Pemahaman istilah administrasi bagi masyarakat umum di Indonesia adalah praktik ketatausahaan seperti tulis-menulis maupun catat-mencatat, yang dilakukan oleh pegawai kantor pemerintah. Pemahaman tersebut tampaknya telah berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat biasa maupun masyarakat yang belum pernah mempelajari atau mendalami ilmu administrasi secara teoritis (Silalahi, 2009).

Kecenderungan dalam masyarakat luas di Indonesia mempersepsikan administrasi dalam pengertian yang keliru.

Administrasi dikenal hanya sebagai aktivitas kantor maupun urusan surat-menyurat yang sering disebut tata usaha.

Alasannya karena kajian secara ilmiah menunjukkan bahwa cakupan ilmu administrasi sangat luas yaitu sebagai proses, sebagai fungsi dan sebagai institusi dari setiap kegiatan kerjasama. Secara definitif juga dengan tegas menyatakan bahwa administrasi adalah organisasi dan manajemen dari setiap kerjasama dalam rangka mencapai tujuan.

Pandangan yang diuraikan di atas tidak dapat juga disalahkan sepenuhnya, namun yang lebih penting adalah tanggung jawab moral dan akademik bagi para ilmuwan atau pakar ilmu administrasi untuk memperkenalkan arti administrasi menurut pandangan ilmiah.

Konsep administrasi secara garis besar dapat dipahami melalui (1) arti administrasi secara epistemologi; (2) administrasi dalam arti sempit; dan (3) administrasi dalam arti luas.

1. Arti Administrasi secara Etimologis

Memahami istilah administrasi sebagai sebuah konsep ilmiah bagi masyarakat Indonesia dapat ditelusuri dari asal lahirnya istilah tersebut. Pengertian administrasi dapat ditelusuri dari:

▪ Bahas Latin, yakni “ad” dan “ministrare”. “Ad” berarti intensif dan “ministrare” berarti melayani atau memenuhi,

(18)

sehingga “administrare” dapat diartikan melayani atau memenuhi secara intensif (Thoha, 1983).

▪ Bahasa Belanda, yakni “administratie” dan dari bahas Inggris, yakni “administration”, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah “administrasi” (Thoha, 1983).

▪ Herbert A. Simon, Donald W. Smithburg, dan Victor A.

Thompson, menyatakan administrasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan dari kelompok orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama (Simon et al., 1950).

▪ Ordway Tead, menyatakan administrasi meliputi kegiatan- kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh pejabat-pejabat eksekutif dalam suatu organisasi yang bertugas mengatur, memajukan dan melengkapi usaha kerjasama kelompok orang yang sengaja dihimpun untuk mencapai tujuan tertentu (Tead, 1951).

▪ Leonard D. White, menyatakan administrasi adalah suatu proses yang biasanya terdapat pada semua usaha kelompok, baik usaha pemerintah maupun swasta, sipil atau militer, dalam ukuran besar atau kecil (White, 1955).

▪ J. E. Walters, menyatakan administrasi adalah proses perencanaan pengorganisasian, pengelolaan, penafsiran dan pengawasan suatu usaha (Walters, 1959).

▪ John Mcdonald Pfiffner, menyatakan administrasi dapat didefinisikan sebagai pengorganisasian dan menggerakkan sumber daya manusia dan materiil untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Pfiffner, 1960).

▪ Sondang P. Siagian, menyatakan administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu bentuk usaha kerjasama demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2008).

(19)

2. Administrasi dalam Arti Sempit

Berbagai tulisan oleh pakar ahli ilmu administrasi menggunakan istilah administrasi dalam arti sempit berdasarkan pendekatan teori administrasi dan mencoba mengakomodasi pemahaman istilah administrasi yang telah dipahami oleh masyarakat umum. Berikut beberapa pendapat administrasi dalam arti sempit yang dikemukakan oleh beberapa ahli administrasi:

▪ J. Wajong, menyebut administrasi secara sempit sebagai pekerjaan tata usaha yang bersifat mencatat segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi untuk menjadi bahan keterangan bagi pimpinan (Wajong, 1962).

▪ S. Prajudi Atmosudirjo, mengartikan administrasi merupakan tata usaha sebagai pengendalian informasi (the handling of information) (Atmosudirjo, 1980).

▪ Ulbert Silalahi, menjelaskan bahwa administrasi lebih tepat disebut tata usaha (clerecal work or office work) berupa pengelolaan data dan informasi yang keluar dari dan masuk ke organisasi, di mana keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut terdiri dari atas penerimaan, pencatatan, pengklasifikasian, pengolahan, penyimpanan, pengetikan, penggandaan, pengiriman informasi dan data secara tertulis yang diperlukan oleh organisasi (Silalahi, 2003).

▪ Wempy Banga, menjelaskan administrasi sebagai keseluruhan aktivitas yang bersifat ketatausahaan, yaitu mencakup kegiatan surat-menyurat, mulai dari pencatatan atau agenda surat masuk dan surat keluar, pengetikan, penggandaan, pendistribusian, dan pengarsipan surat, termasuk pencatatan dan pengelolaan data dan informasi yang diperlukan oleh pimpinan dalam rangka penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan tugas dan fungsi organisasi (Banga, 2018).

(20)

3. Administrasi dalam Arti Luas

Administrasi dalam arti luas ditandai dengan lahirnya pemikiran ilmiah dalam dunia administrasi di Amerika Serikat dan Eropa yang ditandai karya ilmiah yang berjudul “shop management” (Taylor, 1911) dan “general and industrial management” (Henry Fayol, 1930). Kedua karya ilmiah ini menjadi titik awal berkembangnya administrasi sebagai ilmu.

Administrasi sebagai suatu disiplin ilmu atau pemahaman administrasi berdasarkan telaah secra ilmiah merupakan pengertian administrasi dalam arti luas.

Konsep administrasi dalam arti luas, dapat dilihat dari definisi administrasi dari sejumlah pakar dalam ilmu administrasi, antara lain sebagai berikut:

▪ Dwight Waldo, administrasi adalah suatu daya upaya manusia yang kooperatif, yang mempunyai tingkat rasionalitas yang tinggi (Waldo, 1971).

▪ The Liang Gie, administrasi adalah segenap rangkaian penataan terhadap pekerjaan pokok yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Gie, 1980).

▪ Stephen P. Robbins, administrasi adalah keseluruhan proses dari aktivitas-aktivitas pencapaian tujuan secara efisien dengan dan melalui orang lain (Robbins, 1983).

▪ Ralph C. Chandler dan Jack C. Plano, administrasi adalah proses dimana keputusan dan kebijakan diimplementasikan (Chandler dan Plano, 1988).

▪ Francis Donovan dan Alun C. Jackson, administrasi diartikan sebagai arahan, perintahan, kegiatan implementasi, penciptaan prinsip implementasi kebijakan, kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan individu dan kelompok dalam

(21)

menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang kerja akademik dan teoritis (Donovan dan Jackson, 1991).

▪ Wempy Banga, administrasi sebagai suatu telaah ilmiah memperhatikan adanya sejumlah komponen pokok yang harus terpenuhi, antara lain sebagai berikut:

a. mutlak adanya dua orang atau lebih yang disebut kelompok;

b. mutlak adanya kesepahaman dan kesepakatan untuk bekerja secara bersama-sama;

c. kerjasama itu didasarkan pada pertimbangan yang rasional dalam arti: (1) suatu pertimbangan yang memastikan bahwa kerjasama itu akan memberi keuntungan dan manfaat secara bersama; dan (2) kerjasama itu terukur, artinya ada kepastian tentang hak- hak dan kewajiban dalam proses kerjasama itu, serta ada sejumlah aturan dan prosedur yang telah disepakati bersama untuk dipedomani dan ditaati bersama;

d. mutlak adanya tujuan bersama yang hendak dicapai dan tujuan itulah yang menjadi pembangkit spirit kerjasama;

e. dalam proses kerjasama itu; mutlak adanya struktur dan fungsi sebagai penggerak dan pelaksana kerjasama;

f. dalam rangka praktik kerja sama yang rasional itu, diperlukan ketersediaan sumber daya yang memadai (Banga, 2018).

1.2. Pergeseran Paradigma Administrasi Publik

Paradigma perkembangan administrasi publik dimulai dari era “administration dichotomy” sampai dengan era

“governance” hingga sampai akhirnya lahirnya konsep

“collaborative governance”.

(22)

Para ilmuwan sampai batas tertentu menyepakati beberapa pemikiran mengenai pandangan terhadap paradigma perkembangan administrasi publik. Nicholas Henry misalnya, beberapa kali merevisi paradigma administrasi publik sejak tahun 1975, dimana pada awalnya ia menyatakan bahwa ada empat perkembangan paradigma akan tetapi pada akhirnya merevisi kembali dengan pengakuan bahwa paradigma perkembangan administrasi publik menjadi enam (Henry, 2007).

Pergeseran paradigma administrasi publik menurut Nicolas Henry adalah sebagai berikut:

1. The Politics - Administration Dichotomy, (1900 – 1926);

2. The Principles of Administration, (1927 – 1937);

3. Public Administration as Political Science, (1950 – 1970);

4. Public Administration as Management, (1956 – 1970);

5. Public Administration as Public Administration, (1970 – sekarang);

6. Governance, (1990 – sekarang).

Seiring waktu, perkembangan paradigma “governance” terus mengalami penekanan yang berbeda pada tiap konteks penerapannya. Beberapa penekanan yang berkembang saat ini antara lain:

1. Governance as Government;

2. Good Governance;

3. Governance as Good Enough Governance;

4. Governance as System Socio Cybernetic;

5. Collaborative Governance;

6. Partnership;

7. Consensus Building;

8. Network Collaborative dan banyak lainnya.

Asumsi utama dari paradigma “The Politics Administration Dichotomy” yakni memisahkan politik dan fungsi pemerintahan sebagai bentuk strategi untuk meningkatkan efisiensi dan

(23)

efektifitas. Pemikiran ini dipelopori oleh Woodrow Wilson dalam publikasi esai “The Study of Administration” yang dimuat di Political Science Quarterly, tahun 1897 (Basheka, 2012).

Woodrow Wilson menyatakan bahwa ada empat persyaratan administrasi publik yang efektif, yaitu, (1) pemisahan politik dan administrasi; (2) analisis komparatif dari organisasi politik dan swasta; (3) Meningkatkan efisiensi dengan praktik dan sikap yang mirip dengan bisnis terhadap operasi harian dan (4) meningkatkan efektivitas layanan publik melalui manajemen dan pelatihan pegawai negeri, serta mendorong penilaian berdasarkan prestasi. Paradigma ini memberikan landasan yang kuat terhadap teori administrasi publik. Lebih penting dari itu, paradigma ini memberikan orientasi ilmiah dengan berusaha membedakan antara “fakta” dan “nilai” (Henry, 2007).

Paradigma kedua “The Principles of Administration”

membahas tentang prinsip-prinsip administrasi. Paradigma ini diawali dengan terbitnya buku “Principles of Public Administration” karya W. F. Willoughby pada tahun 1927 (Willoughby, 1927). Selain itu beberapa karya lain yang menonjol adalah “Creative Experience” oleh Mary Parker Follett (Follett, 1924); “Industrial and General Management” oleh Hendry Fayol (Henri Fayol dan Coubrough, 1930); “Principles of Organization”

karya James D. Mooney dan Alan C. Riley (Mooney dan Riley, 1939); dan yang paling dikenal adalah tujuh prinsip administrasi (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting) dalam buku “Paper on the Science of Administration” karya Lucther H. Gulick dan Lyndall F. Urwick, (Gulick dan Urwick, 1937). Paradigma kedua ini fokusnya pada prinsip-prinsip administrasi yang dipandang dapat berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan setiap lingkungan sosial budaya.

Paradigma yang ketiga “Public Administration as Political Science”, digambarkan oleh Henry sebagai paradigma

(24)

administrasi publik sebagai ilmu politik (Henry, 2007). Henry melihat adanya keinginan yang kuat oleh ilmuwan politik untuk merebut kembali administrasi publik sebagai bagian dari ilmu politik. Pada periode yang sama, ada pula peningkatan upaya dari ilmuwan manajemen juga mengklaim disiplin ilmu administrasi publik menjadi bagian dari ilmu manajemen.

Paradigma ini mengimplementasikan upaya untuk membangun kembali hubungan konseptual antara administrasi pada waktu itu, karena itulah mengapa administrasi kembali untuk bertemu induk ilmunya yaitu ilmu politik, sebagai hasil dari perubahan dan pembaruan.

Henry menetapkan paradigma ke empat “public administration as management” atau administrasi publik sebagai manajemen. Periode ini sebagai kemenangan para ilmuwan manajemen untuk membawa administrasi publik bagian dari ilmu manajemen. Pada paradigma ketiga dan keempat ini, dua disiplin keilmuan yakni politik dan manajemen bersaing menempatkan diri paling berhak mengakui bagian keilmuan dari administrasi publik.

Pada tahap “public administration as public administration”

adalah tahap “new publik management” (NPM). Pada periode ini administrasi publik ditegakkan sebagai bidang studi keilmuan yang otonom. Fokus diidentifikasi berada pada hierarki, birokrasi bergeser ke pasar dan organisasi sektor swasta. Dengan kata lain, ada perpindahan dari model administrasi publik tradisional ke model NPM. Dari berbagai tahap perkembangan administrasi publik, tahapan inilah yang paling diakui oleh Hendry. Pada tahap ini, sangat nyata dan jelas perubahannya. NPM juga menghadapi masalah juga yakni ketakefisienan dalam sistem administrasi. Hal ini berasal dari konsep perpaduan teori ekonomi dan teknik manajemen sektor swasta. Paradigma NPM adalah pergeseran untuk menggunakan sektor swasta. NPM memindahkan manajemen sektor publik ke arah sektor swasta dengan konsep

(25)

model bisnis. Model hubungan ini dikenal sebagai konsep

“governance”.

Paradigma yang terakhir adalah “governance”. Governance didefinisikan sebagai pelaksanaan kekuasaan atau otoritas oleh pemimpin politik untuk kesejahteraan warga negara, memiliki proses yang kompleks di mana beberapa sektor masyarakat memegang kekuasaan, memberlakukan dan menyebarluaskan kebijakan publik yang secara langsung berpengaruh kepada masyarakat dan lembaga serta berpengaruh pula pada pembangunan ekonomi dan sosial (Tamayao, 2014). Istilah

“governance” digunakan untuk menggambarkan proses mendasar dari pemerintahan modern yang berbeda dengan pemerintahan tradisional. Proses politik dipandang lebih luas dimana warga negara maupun kelompok masyarakat ikut dalam pembuatan kebijakan publik yang penting (Ikeanyibe, 2016).

Governance memerlukan sektor lain (menguntungkan secara keuangan dan atau tidak) untuk menyediakan layanan, sementara pemerintah hanya mengatur dan mengarahkan.

Secara keseluruhan, “governance” mensyaratkan penyerahan pelayanan (desentralisasi/ pembagian kekuasaan dan fungsi) kepada jaringan organisasi nirlaba, perusahaan swasta maupun kepada tingkat pemerintahan lainnya (Ewalt, 2001). Pada dasarnya, “governance” melibatkan kemitraan dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Kemitraan ini termasuk melibatkan penduduk lokal, organisasi masyarakat, sektor publik maupun swasta (Gibson, 2011).

1.3. Administrasi Publik di Indonesia

Administrasi publik di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya: (1) istilah administrasi negara vs. administrasi publik, (2) perkembangan administrasi publik sebagai ilmu, pemikiran dan teori, dan (3) perkembangan studi administrasi publik di Indonesia.

(26)

1. Istilah Administrasi Negara vs. Administrasi Publik

Istilah “administrasi negara” dan “administrasi publik”

merupakan dua istilah yang sudah biasa digunakan di Indonesia.

Istilah ini digunakan dalam dunia akademis maupun dalam dunia birokrasi. Memahami istilah ini dapat ditelusuri proses perkembangannya dari aspek terminologi historis.

Aspek terminologi historis istilah administrasi negara maupun administrasi publik berasal dari Eropa dan Amerika (Indradi, 1986), yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

▪ Istilah “bestuurs kunde, bestuurs wetenshap, betuurs leer”

dari Belanda, dan istilah “verwaltungslehre” dari Jerman, yang masing-masing bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “management”.

▪ Istilah “public administration” di Amerika sudah dikenal khususnya pada Anglo Saxon Amerika.

▪ Istilah “public administration” di Indonesia lebih banyak dikenal dan diartikan menjadi “administrasi negara”. Istilah ini kemudian dalam dunia pendidikan menjadi “ilmu administrasi negara”. Beberapa istilah lainnya di Indonesia yang disejajarkan dengan istilah “ilmu administrasi negara”

antara lain:

- Ilmu Pemerintahan;

- Ilmu Tata Praja;

- Ilmu Administrasi Tata Praja;

- Ilmu Administrasi Tata Pemerintahan;

- Ilmu Usaha Negara;

- Ilmu Ketatanegaraan; dan - Ilmu Administrasi Negara.

Perkembangan terakhir di Indonesia, banyak akademisi dan pakar lebih cenderung menggunakan istilah “administrasi publik”

daripada “administrasi negara” dengan berbagai alasan dan sudut pandang. Alasan yang paling sering dikemukaan adalah

(27)

secara filosofis dan esensi dari administrasi publik adalah pelayanan publik. Berbagai argumentasi dikemukakan sebagai alasannya, antara lain: administrasi negara lebih menonjolkan aspek negara dan aspek kekuasaan negara, sedangkan administrasi publik lebih menonjolkan aspek masyarakat atau publik, aspek pelayanan, ada keseimbangan antara antara hak dan kewajiban negara dam masyarakat. Selain hal tersebut, istilah administrasi publik kebih umum secara global dipergunakan.

2. Perkembangan Administrasi Publik sebagai Ilmu, Pemikiran dan Teori

Sebagian besar permasalahan administrasi negara bersumber dari persoalan masyarakat. Administrasi negara adalah suatu sistem yang berusaha menjawab permasalahan masyarakat tersebut (Warsono, 2019; 28). Selanjutnya Warsono mengutip pernyataan Gerald Caiden (1982) yang menandaskan bahwasanya disiplin administrasi negara pada hakekatnya adalah disiplin yang menanggapi masalahmasalah pelaksanaan persoalan masyarakat (public affairs) dan manajemen dari usaha-usaha masyarakat (public business).

Administrasi sebagai ilmu atau mendapat perhatian sebagai salah satu kajian ilmiah dapat dikatakan dimulai dan dipelopori oleh karya ilmiahnya Taylor (1911) dan Fayol (1930) yang dikenal sebagai gerakan manajemen ilmiah “scientific Management”.

Meski banyak varian dari fungsí manajemen yang dikemukakan oleh banyak ahli, namun secara umum manajemen diartikan sebagai “what manager do”. Orientasi ke arah publik dan bisnis menjadikan konsentrasi ilmu manajemen menjadi dua ranah yakni manajemen publik dan manajemen bisnis.

(Warsono, 2015; 40).

Perkembangan administrasi sebagai ilmu diklasifikasi yang dikemukakan oleh para ahli (Silalahi, 2003), antara lain:

(28)

▪ Herbert G. Hicks (1972)

Menurut Herbert G. Hicks, tahapan perkembangan administrasi publik sebagai ilmu (Hicks, 1972), sebagai berikut:

1) Periode I disebut Prescientific Management;

2) Periode II disebut Scientific Management;

3) Periode III disebut Human Relation; dan

4) Periode IV disebut Refinement, Extension and Synthesis.

▪ George R. Terry (1977)

Menurut pandangan George R. Terry, tahapan perkembangan administrasi sebagai ilmu (Terry, 1977), berupa:

1) Management by Custom;

2) Scientific Management;

3) Behavioral School;

4) Social School;

5) System School;

6) System Management School;

7) Decisional Management School;

8) Quantitative School;

9) Management Process School; dan 10) Contingency Management School.

▪ John B. Miner (1978)

Menurut John B. Miner, administrasi publik sebagai ilmu (Miner, 1978) dapat dibagi menjadi:

1) Tahap Clasical;

2) Tahap Human Relation;

3) Tahap Structuralist;

4) Tahap Behavioral Humanist; dan 5) Tahap Decision Making.

▪ Stephen P. Robbins (1982)

(29)

Menurut Stephen P. Robbins, klasifikasi perkembangan administrasi sebagai ilmu (Robbins, 1982), meliputi:

1) Scientific Management;

2) General Administrative Theories;

3) Human Relations Movement;

4) Decision Science Movement;

5) Behavior Movement;

6) Organization Human Movement;

7) System Movement;

8) Power Dynamic Movement; dan 9) Contingency Movement.

▪ James A. F. Stoner (1982)

Menurut James A. F. Stoner, klasifikasi perkembangan administrasi sebagai ilmu (Stoner, 1982), meliputi:

1) The Classical Management , terbagi atas:

- Theory Scientific Management; dan - Classical Organization.

2) Theory Behavior School, meliputi:

- The Human Relations Movement; dan - The Behavioral Science Approach.

3) The Quantitative School, mencakup:

- Operational Research; dan - Management Science.

4) The System Approach.

5) The Contingency Approach.

▪ Harold Koontz (1989)

Menurut Harold Koontz, klasifikasi perkembangan administrasi sebagai ilmu (Koontz et al., 1982), meliputi:

1) The Empirical or Case Approach;

2) The Interpersonal Behavior Approach;

3) The Group Behavior Approach;

(30)

4) The Cooperative Social System Approach;

5) The Socio-Technical Systems Approach;

6) The Decision Theory Approach;

7) The System Approach;

8) The Mathematical or Management Science Approach;

9) The Contingency or Situational Approach;

10) The Managerial Roles Approach; dan 11) The Operational Theory Approach.

Perkembangan administrasi dilihat dari perkembangan pemikiran dan teori terdiri dari kategori antara lain:

▪ Teori Klasik

Teori klasik atau biasa juga disebut sebagai fase ilmiah (scientific), terdiri dari:

- Manajemen Ilmiah (scientific management);

- Teori Administrasi (administratif theory); dan - Teori Birokrasi (bureaucratic theory).

▪ Teori Neo Klasik

Teori neo klasik merupakan teori yang menekankan pada pendekatan hubungan kemanusiaan (human relation approach).

▪ Teori Modern atau Kontemporer

Terori modern atau kontemporer dapat dilihat dari beberapa pendekatan, antara lain:

- Pendekatan Prilaku (behavioral approach);

- Pendekatan Proses (process approach);

- Pendekatan Kuantitatif (quantitatif approach);

- Pendekatan Sistem (system approach); dan - Pendekatan Kontijensi (contingency approach).

3. Perkembangan Studi Administrasi Publik di Indonesia

(31)

Sejarah perkembangan studi ilmu administrasi publik di Indonesia dapat ditelusuri sejak kapan dan siapa yang terlibat dalam pekermbangannya. Berikut ini perkembangan studi ilmu administrasi publik di Indonesia:

▪ Pada tahun 1954, studi ilmu administrasi publik mulai dirintis oleh lembaga pendidikan swasta, kemudian dua tahun kemudian diikuti pendirian fakultas/ jurusan studi ilmu administrasi negara di kampus swasta maupun pendirian perguruan tinggi khusus studi ilmu administrasi negara.

Perguruan tinggi yang memiliki studi administrasi publik diawal, antara lain:

- Fakultas Praja, Universitas Krisna Dwi Payana, di Jakarta;

- Fakultas Tata Praja, Universitas 17 Agustus, di Makassar;

dan

- Perguruan Tinggi Ketatanegaraan dan Ketataprajaan, di Jakarta.

▪ Pada 5 Mei 1957, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) didirikan. Lembaga ini memiliki fungsi pokok untuk memajukan ilmu administrasi negara di Indonesia, untuk pengembagan sebagai ilmu pengetahuan maupun pengembangan dalam dunia praktis atau prakteknya.

▪ Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik membuka Jurusan Ilmu Usaha Negara.

▪ Pendirian Balai Pembinaan Administrasi (BPA) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan pendirian Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM).

▪ Pendirian berbagai pendidikan tinggi (unibersitas, sekolah tinggi, institut maupun akademi) di seluruh Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan formal ilmu admistrasi negara baik negeri maupun swasta.

(32)

Bab II Governance

2.1. Konsep Governance

Governance banyak dipergunakan sebagai padanan untuk menggantikan istilah “administrasi publik” atau setidak tidaknya merujuk pada padanannya cukup banyak (Lan dan Rosenbloom, 1992; Peters dan Savoie, 1995; Salamon, 1989). Istilah

“governance” sebagai bentuk kata ganti dari “government”, pemahaman ini sangat umum ditemukan akan tetapi perlu dipahami bahwa “governance” bukanlah sinonim dari

“government”. Governance memiliki perhatian terhadap pentingnya keterlibatan para pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan, hal ini disebabkan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya sudah semakin kompleks akan tantangan dan masalah yang dihadapi (Dwiyanto, 2018).

Menurut Roderick Arthur William Rhodes, mengatakan bahwa governance merujuk pada perubahan dari tata kelola pemerintahan yang bermakna lebih luas meliputi sebuah proses baru pengaturan (new process of governing), perubahan kondisi kaidah pengaturan (a changed condition ordered rule), atau sebuah metode baru dimana masyarakat diatur (new method by which society is governed) (Rhodes, 1996).

Governance secara umum dapat di pahami bentuk peralihan dalam “penyelenggaraan kebijakan publik” yang tidak hanya pada berpusat pada pemerintah, namun melibatkan aktor lain

(33)

untuk turut berpartisipasi baik dari masyarakat, swasta, dan lainnya.

2.2. Karakter Governance

Roderick Arthur William Rhodes menjelaskan beberapa karakter dominan dari governance dari hasil penelitian yang dilakukannya (Rhodes, 1996). Karakter tersebut terdiri dari 4 (empat), meliputi:

1. “governance” bermakna lebih luas daripada government dengan melibatkan aktor non-negara yang menjadikan ada hubungan saling ketergantungan antar organisasi;

2. keberlanjutan hubungan interaksi antar anggota karena dilatarbelakangi kebutuhan pertukaran sumber daya dan negosiasi untuk membagi bersama;

3. berakar pada hubungan saling percaya dan diregulasikan dengan peraturan akibat dari negosiasi dan kesepakatan antar aktor; dan

4. memiliki derajat signifikan untuk terlepas atau otonom dari pemerintah.

Pada dasarnya karakteristik sebuah governance akan berbeda pada siapa yang memiliki pengaruh/ kekuatan untuk mengatur dan mengoordinasikan sebuah kebijakan, program, dan proyek, atau lebih khusus mengenai lagi: bagaimana dasar hukum dan peraturan yang ada; orientasi demokratis; hubungan prinsipal antara anggota/ agen; proses implementasi; dan bentuk/ kondisi akuntabilitasnya (Hanberger, 2004).

Klasifikasi model “karakteristik governance” administrasi publik atau kebijakan dapat dibagi menjadi: (1) terkoordinasi oleh negara (state-coordinated); (2) terkoordinasi oleh pemerintah daerah (local government coordinated); dan (3) terkoordinasi oleh multi-aktor (multi-actor-coordinated).

Karakteristik setiap model dapat dilihat pada tabel 2.1.

(34)

Tabel 2. 1.

Karakteristik Model Governance

Characteristics

Model Governance State

Coordinated

Local Government Coordinated

Multi-Actor Coordinated Legal ground/

regulations

State decisions Local government, (state, province decisions)

Partnership agreements/

contracts Democratic

orientation

Representative/

elitist

Representative/ elitist or discursive

Participatory or discursive Principal State Local government,

(state, province)

Participating actors Agents Municipalities,

firms,

organizations

State, firms, citizens, organizations, (local government)

Participating actors, external actors Type of policy

problems

Tame/ gentle Wicked/ complex Wicked/ complex Implementation

process

Top-down, strong

management control

Top-down/bottom-up, intentions adjusted to local conditions

Bottom-up,

achieving consensus on some goals, collective learning Conditions for

accountability

Clear: National politicians and officials

Divided: Local/

national politicians or province officials

Divided or unclear:

partnership members

Sumber: Hanberger (2004), “Democratic Governance and Evaluation”

State-coordinated merupakan model yang paling banyak dikenal dan masih mungkin paling umum di temui di beberapa negara. Model ini biasanya melibatkan banyak aktor, akan tetapi pengelolaan masih seperti pemerintahan konvensional.

Governance dimulai dengan “keputusan negara”, yang dibuat oleh perwakilan rakyat atau elit politik (Dryzek, 1996). Dengan kata lain, negara adalah pelaku utama dan pemerintah/ aktor di tingkat bawah adalah perantaranya. Masalah-masalah kebijakan yang sifatnya masih “tidak terlalu rumit/ tidak rumit” dapat ditangani dengan cara ini secara efektif. Proses implementasi kebijakan bersifat top-down dan menuntut adanya kontrol manajemen yang kuat agar dapat berjalan dan bekerja dengan baik. Keuntungan dari model ini adalah bahwa akuntabilitas lebih

(35)

jelas, yaitu politisi dan pejabat dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan yang diambil atau tidak diambil.

Local government coordinated merupakan model dimana pemerintah daerah telah mengambil peran atau diberi peran.

Keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah adalah landasan hukumnya, atau dapat pula dimulai dari mandat keputusan yang diambil di tingkat pusat/ provinsi kemudian didelegasikan kepada pemerintah daerah. Kekuasaan dan tanggung jawab atau koordinasi pelaksanaan suatu program di rumuskan dengan bentuk desentralisasi. Model ini pada dasarnya adalah dari demokrasi representatif atau elitis.

Program dan tindakan dapat dilegitimasi melalui proses perwakilan nasional atau daerah atau berorientasi pada konsep demokrasi diskursif (deliberatif). Model ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah sosial yang kompleks dan kondisi setempat sangat bervariasi; kebutuhan akan penyesuaian daerah/ lokal sangat besar. Proses implementasi dapat digambarkan sebagai proses gabungan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas di mana niat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat baik dari atas maupun dari bawah.

Hubungan antara negara dan pelaksana biasanya rumit dalam model ini karena terdapat berbagai tingkat pemerintahan terlibat dalam pembuatan dan implementasi kebijakan publik.

Ketika kekuasaan dan tanggung jawab dibagi, kondisi untuk akuntabilitas dapat menjadi tidak jelas.

Multi-actor coordinated mewakili suatu situasi dimana pemerintah pusat dan daerah hanya dua di antara beberapa aktor yang berusaha mengarahkan dan mengoordinasikan sumber daya secara kolektif. Landasan hukum dari model ini adalah perjanjian dan atau kontrak antara aktor yang berpartisipasi. Bergantung pada ruang lingkup dan kedalaman governance dan kolaborasi, orientasi dapat berupa partisipatif atau diskursif (deliberatif). Mirip dengan local government

(36)

coordinated, anggota yang utama tidak begitu jelas dalam model ini. Konsep principal-agent (utama-pelaksana) tidak relevan diterapkan karena para peserta dapat menjadi principal-agent sekaligus, di mana program dikembangkan dan diimplementasikan dalam bentuk kolaborasi. Model ini dapat dilakukan dalam situasi di mana masalah yang dihadapi sifatnya

“rumit atau sangat rumit”, di mana para aktor perlu mendiskusikan dan sampai pada bagaimana penilaian publik tentang masalah tersebut dan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya. Akuntabilitas adalah titik lemah dalam model ini.

Semua peserta bertanggung jawab atas “tindakan bersama” atau

“tidak bertindak”, dan pada saat yang sama setiap aktor juga bertanggung jawab kepada organisasi yang diwakilinya, tetapi dalam skenario terburuk, tidak ada yang bertanggung jawab dan karenanya tidak dapat juga dimintai pertanggungjawaban.

Model ketiga adalah model di mana otoritas pemerintah nasional dan lokal didistribusikan naik, turun atau keluar dan karenanya merupakan model yang dapat berfungsi sebagai tolok ukur untuk analisis empiris tanpa memberikan bias kepada lembaga dan aktor publik.

2.3. Isu Studi Governance

Studi governance umumnya memiliki perhatian setidaknya pada 3 (tiga) isu penting, yang membedakannya dengan tradisi administrasi publik yang konvensional (Dwiyanto, 2018). Isu tersebut antara lain pada:

1. Dimensi kelembagaan dipahami sebagai sebuah sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku, baik dari pemerintah maupun di luar pemerintah (Dwiyanto, 2003).

Isu tentang kelembagaan menjadi tema yang cukup banyak dikaji khususnya pada bagaimana memetakan atau mengidentifikasi para pemangku kepentingan yang terlibat dalam suatu kegiatan. Kajian tentang pemangku kepentingan

(37)

cukup banyak diteliti dari berbagai sudut keilmuan termasuk kebijakan publik. Studi tentang pemangku kepentingan awalnya berasal dari studi ilmu manajemen dan administrasi bisnis (Brugha dan Varvasovszky, 2000), tetapi studi ini kemudian berkembang diaplikasikan dalam kajian keilmuan yang lebih luas, misalnya dalam ilmu politik, kebijakan publik, studi pengembangan dan studi lingkungan. Billgren dan Holmén berpendapat bahwa konsep maupun pengertian pemangku kepentingan akan sangat tergantung pada kepentingan akademis atau persepsi ilmuwan yang mengkajinya (Billgren dan Holme, 2008). Christopher Stoney dan Diana Winstanley berpendapat bahwa para peneliti harus mengklarifikasi posisinya sehubungan dengan keyakinan dan posisi mereka tentang siapa yang dapat dipandang sebagai pemangku kepentingan yang valid agar tidak terjadi bias dalam kajiannya (Stoney dan Winstanley, 2001).

2. Dimensi nilai adalah dasar dalam penggunaan kekuasaan.

Mengenal nilai apa yang sebaiknya dipergunakan bisa berbeda antara ruang dan waktu tergantung pada sejarah dan pengalaman masing-masing negara. Nilai yang menggambarkan local wisdom dalam praktik governance kemudian tergusur ketika model birokrasi Weberian dengan segala karakteristiknya dilembagakan (Dwiyanto, 2018).

Pada pemahaman lainnya, dimensi nilai dipandang sebagai seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku yang telah mempribadi dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang ketika berpikir atau bertindak. Umumnya, nilai dipelajari sebagai hasil dari pergaulan atau komunikasi antar individu dalam kelompok seperti keluarga, himpunan keagamaan, kelompok masyarakat atau persatuan dari orang orang yang satu tujuan (Adisusilo, 2014). Nilai dapat dibedakan atas nilai subtantif dan nilai prosedural.

(38)

Nilai substantif adalah keyakinan yang telah dipegang oleh seseorang dan umumnya hasil belajar, bukan sekedar menanamkan atau menyampaikan informasi semata. Setiap orang memiliki keyakinan atau pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya tentang sesuatu hal, sedangkan nilai prosedural merupakan nilai yang perlu dilatih atau dibelajarkan antara lain: nilai kemerdekaan, toleransi, kejujuran, menghormati kebenaran dan menghargai orang lain. Nilai-nilai kunci ini merupakan nilai yang menyokong masyarakat demokratis, seperti: toleran terhadap pendapat yang berbeda, menghargai bukti yang ada, kerja sama, dan menghormati pribadi orang lain.

Salah satu kajian tentang nilai sosial yang ada di tengah masyarakat mengenai nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) atau nilai modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh masyarakat.

3. Dimensi ketiga ialah dimensi proses, yang coba menjelaskan bagaimana berbagai unsur dan lembaga memberi respons terhadap berbagai masalah publik yang muncul di lingkungannya (Dwiyanto, 2018).

Proses merupakan mengambarkan urutan pelaksanaan atau kejadian yang saling terkait yang bersama-sama mengubah masukan menjadi keluaran. Pengertian lainnya menyebutkan bahwa proses adalah serangkaian langkah sistematis, atau tahapan yang jelas dan dapat ditempuh berulangkali, untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika ditempuh, setiap tahapan itu secara konsisten mengarah pada hasil yang diinginkan (Eades, 2003).

Contoh proses dalam kajian kebijakan yang diungkapkan Thomas R. Dye dalam bukunya “Understanding Public Policy”

yakni melalui tahapan: (1) Identifikasi masalah kebijakan; (2) Penyusunan agenda; (3) Perumusan kebijakan; (4)

(39)

Pengesahan kebijakan; (5) Implementasi kebijakan dan (6) Evaluasi kebijakan (Dye, 1987; Parsons, 2008).

(40)
(41)

Bab III Collaborative Governance

3.1. Pemahaman tentang Collaborative Governance

Istilah collaborative governance merupakan cara pengelolaan pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan di luar pemerintahan atau negara, berorientasi pada konsensus dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik serta program-program publik (Ansell dan Gash, 2008).

Kolaborasi yaitu suatu kegiatan yang secara fundamental terletak pada pengelolaan jaringan sosial. Jaringan sosial yakni hubungan simpul-simpul komunikasi para pemangku kepentingan. Atas pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa teori kolaborasi yakni analisis dari proses tata kelola dengan sudut pandang pada jaringan sosial. Model tata kelola kolaboratif mengharuskan seluruh pemangku kepentingan terlibat dalam dialog, dimana para pemangku kepentingan ini mewakili diri mereka sendiri dalam mengungkapkan kepentingannya (Booher dan Innes, 2002).

Fokus collaborative governance ada pada kebijakan dan masalah publik. Institusi publik memang memiliki orientasi besar dalam pembuatan kebijakan, tujuan dan proses kolaborasi adalah mencapai derajat konsensus diantara para pemangku kepentingan. Collaborative governance menghendaki terwujudnya keadilan sosial dalam memenuhi kepentingan

(42)

publik. Menurut O’Leary dan Bingham (Sudarmo, 2015) kolaborasi merupakan konsep yang menggambarkan proses memfasilitasi dan pelaksanaan yang melibatkan multi organisasi untuk memecahkan masalah yang tidak bisa atau tidak dengan mudah dipecahkan oleh sebuah organisasi secara sendirian.

Pendapat ini didukung oleh Bardach (Sudarmo, 2015) yang mendefinisikan collaboration sebagai bentuk aktivitas bersama oleh dua institusi atau lebih yang bekerja sama ditujukan untuk meningkatkan “public value” ketimbang bekerja sendiri-sendiri.

Collaborative governance adalah serangkaian pengaturan dimana satu atau lebih lembaga publik yang melibatkan secara langsung Pemangku kepentingan “non-state” di dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat formal, berorientasi konsensus dan deliberatif yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau mengatur program publik atau aset (Ansell dan Gash, 2008).

Edward DeSeve (Sudarmo, 2015) mendefinisikan collaborative governance adalah sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dengan hubungan yang dikelola melintasi batas- batas organisasi formal dan informal dengan prinsip-prinsip organisasi yang direkonsepsi dan definisi kesuksesan yang jelas.

Selanjutnya Agrawal dan Lemos (Subarsono, 2011) mendefinisikan collaborative governance tidak hanya berbatas pada pemangku kepentingan yang terdiri dari pemerintah dan non-pemerintah tetapi juga terbentuk atas adanya “multi- partner governance” yang meliputi sektor privat/ swasta, masyarakat dan komunitas sipil dan terbangun atas sinergi peran pemangku kepentingan dan penyusunan rencana yang bersifat

“hybrid” seperti halnya kerja sama publik-privat-sosial. Sejalan dengan itu Balogh dkk (Subarsono, 2011) mendefinisikan collaborative governance sebagai sebuah proses dan struktur dalam manajemen dan Perumusan keputusan kebijakan publik yang melibatkan aktor-aktor yang secara konstruktif berasal dari

(43)

berbagai level, baik dalam tatanan pemerintahan dan atau instansi publik, instansi swasta dan masyarakat sipil dalam rangka mencapai tujuan publik yang tidak dapat dicapai apabila dilaksanakan oleh satu pihak.

Robertson dan Choi (2010) mendefinisikan collaborative governance sebagai proses kolektif dan egalitarian dimana setiap partisipan di dalamnya memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan dan setiap pemangku kepentingan memiliki kesempatan yang sama untuk merefleksikan aspirasinya dalam proses tersebut. Bovaird mendefinisikan kemitraan antara pemerintah dan swasta secara sederhana sebagai pengaturan pekerjaan berdasarkan komitmen timbal balik, melebihi dan di atas yang diatur dalam setiap kontrak antara satu organisasi di sektor publik dengan organisasi di luar sektor publik (Dwiyanto, 2011).

Dari definisi yang dikemukakan oleh Bovaird, jelas dikatakan bahwa kemitraan melibatkan bentuk kerja sama yang lebih dari sekadar kontrak kerja sama. Kerja sama yang dijelaskan dalam konsep kemitraan antara sektor publik dan swasta adalah kerja sama masing-masing pihak yang memiliki keprihatinan di luar apa yang tertulis dalam kontrak.

Kemitraan antara pemerintah dengan swasta berbeda dengan bentuk kerja sama lainnya, seperti kontrak kerja, swastanisasi dan outsourcing. Tipe kerja sama seperti itu lebih merupakan kerja sama antar pemerintah dan swasta untuk menyelesaikan masalah dari satu pihak, bukan bekerja sama untuk menyelesaikan masalah bersama dari kedua pihak (Dwiyanto, 2011)

Kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah dengan institusi di luar pemerintah dapat dibagi menjadi beberapa arena kemitraan, yaitu: (1) kolaborasi antara institusi pemerintah (internal), (2) kolaborasi antara institusi pemerintah dan institusi

(44)

bisnis; dan (3) kemitraan antara pemerintah dan lembaga masyarakat sipil.

Kolaborasi antara institusi pemerintah (internal) dalam pelaksanaan penyelesaian permasalahan, pemerintah memiliki departemen-departemen yang fokus terhadap satu sektor, tetapi ada pula instansi pemerintah yang menangani pelayanan publik secara bersama-sama (lintas sektor) dikarenakan diperlukannya keterlibatan antar instansi.

Kolaborasi antara lembaga pemerintah dan lembaga bisnis, banyak literatur mengatakan bahwa kemitraan antara lembaga pemerintah dan bisnis pertama kali dikembangkan sebelum kemitraan antara lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat.

Lembaga bisnis sering dianggap memiliki tradisi dan nilai efisiensi dan inovasi yang lebih baik daripada lembaga pemerintah.

"Positive Image" yang dimiliki oleh bisnis sering disebut sebagai pertimbangan pemerintah untuk berkolaborasi dengan institusi bisnis. Selain menjadi instrumen kebijakan untuk meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah, kemitraan antara keduanya sering merupakan simbol politik untuk menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap upaya meningkatkan efisiensi pemberian layanan publik. Melalui kemitraan ini mereka berharap bahwa mereka akan dievaluasi secara positif oleh warga, misalnya, mereka dianggap memiliki upaya serius untuk menjadi lebih efisien, responsif dan mampu memberikan layanan publik yang baik. Di sisi lain, motivasi utama bagi lembaga bisnis untuk melakukan kemitraan, secara umum, adalah untuk mengakses sumber daya pemerintah. Melalui kemitraan, mereka dapat mengakses sumber daya yang tersedia di lembaga pemerintah yang dapat digunakan untuk mengatasi sejumlah masalah publik yang sering terjadi di sekitar mereka.

Kemitraan antara pemerintah dan institusi masyarakat sipil.

Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa pemerintah seringkali memfasilitasi munculnya institusi

(45)

masyarakat sipil karena pertimbangan tertentu. Beberapa istilah yang digunakan menurut Selsky dan Parker untuk menyebut institusi masyarakat sipil atau plat merah adalah “manufactured civil society”, “shadow state”, atau “the third party of government”, yang semuanya menunjuk pada institusi masyarakat sipil yang inisiatif pendiriannya dan pembiayaannya setidaknya pada awalnya berasal dari pemerintah (Dwiyanto, 2011).

Kemitraan antara pemerintah dan lembaga masyarakat sipil dapat mencakup kedua jenis lembaga dalam masyarakat, baik yang independen atau yang menjadi binaan pemerintah.

Perbedaan sifat dari kedua jenis lembaga dan masing-masing dari keduanya juga memiliki perbedaan dalam beberapa cara, seperti motif untuk kerja sama, sifat kerja sama, bidang kerja sama dan sebagainya. Kemitraan antara pemerintah dan lembaga masyarakat sipil yang pembentukannya di sponsori oleh pemerintah cenderung lebih terlibat dalam kegiatan yang menyangkut pemerintah. Dengan berkolaborasi dengan lembaga yang pendiriannya (di sponsori), pemerintah berharap untuk memberdayakan lembaga dan menjadikannya perpanjangan pemerintah dalam menanggapi masalah-masalah tertentu atau dalam menyebarluaskan nilai-nilai dan kepentingan pemerintah.

Kerja sama antara lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat sipil independen biasanya didorong oleh keyakinan dalam mewujudkan pemberian layanan publik dan kegiatan pemerintah partisipatif, yang bertujuan memberdayakan warga negara, atau pada pertimbangan etis yang penting adalah keyakinan bahwa penyelenggara kegiatan pemerintah dan layanan publik harus menempatkan warga negara dan pengguna layanan sebagai subjek yang perlu terlibat aktif dalam seluruh proses pelaksanaan kegiatan ini.

Dilihat dari dampaknya dalam meningkatkan citra dan kepercayaan publik pada lembaga pemerintah, kemitraan antar

(46)

pemerintah dan lembaga masyarakat independen tentu memiliki kontribusi yang lebih besar daripada lembaga masyarakat sipil plat merah.

Burgess mengemukakan bahwa amat mungkin untuk membawa atau melibatkan lebih banyak pihak dalam pembuatan kebijakan dan beragam dispersi kepentingan publik untuk menghasilkan secara bersama kebijakan publik, proses musyawarah deliberatif ini berupaya menggabungkan perspektif sosial yang luas dan secara eksplisit melibatkan publik dalam keputusan kunci (Burgess dan Curry, 2014). Selanjutnya, proses musyawarah yang melibatkan publik mampu menjadi dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan untuk meningkatkan kapasitas untuk merespons isu-isu yang muncul dengan tingkat keterlibatan publik yang proporsional. O‟doherty (2012) menekankan pula pentingnya keterlibatan banyak kelompok kepentingan yang dimaksudkan untuk mewakili publik, untuk berdebat sebagai legitimasi proses musyawarah, setiap anggota sidang harus memposisikan forum di luar kepentingan partisan. Untuk menerapkan forum Public Deliberative, O‟doherty memandang perlu memperhatikan beberapa aspek penting, antara lain: representation (keterlibatan dan legitimasi peserta), framing (penekanan isu kebijakan), forum design (desain pertemuan) dan upaya memfasilitasi percakapan.

Sementara itu, Winkler mengemukakan beberapa alasan sehingga terjadi partisipasi efektif, antara lain: (1).

memperdalam sentralisasi pengambilan keputusan; (2). fokus pada manajemen kinerja; dan (3) peran yang kuat dari politik dalam perencanaan. Tanpa kemauan politik (political will) yang diperlukan untuk menjamin hak-hak warga negara tidak hanya untuk berpartisipasi dalam perencanaan tetapi juga untuk mengubah kebijakan, potensi transformatif kewarganegaraan aktif tetap belum dapat di realisasi.

Referensi

Dokumen terkait