• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802011127 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802011127 Full text"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN

SELF-FORGIVENESS

DENGAN

PSYCHOLOGICAL

WELL-BEING

PADA EKS SEMINARIS SEMINARI TINGGI

ANGKATAN 2007-2011

OLEH

ROCKY LEO SILALAHI 802011127

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN

SELF-FORGIVENESS

DENGAN

PSYCHOLOGICAL

WELL-BEING

PADA EKS SEMINARIS SEMINARI TINGGI

ANGKATAN 2007-2011

Rocky Leo Silalahi Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara self-forgiveness dengan psychological well-being pada Eks Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011. Sebanyak 38 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel snow ball. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data yakni dengan metode skala, yaitu Heartland Forgiveness Scale dan skala Psychological Well-Being. Teknik analisis data yang digunakan untuk melihat hubungan antar variabel menggunakan analasis korelasi Pearson Product Moment. Dari hasil analisis data diperoleh hasil koefisien korelasi r = 0,925 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang berarti terdapat hubungan positif yang signifikan antara

self-forgiveness dengan psychological well-being pada eks seminaris seminari tinggi angkatan 2007-2011.

(9)

ii Abstract

This research is aimed at knowing the significant relationship between self-forgiveness

and psychological well-being in Ex-Seminarian of High Seminary batch 2007-2011.

Thirty eight people were taken as the sample which was done by using snow ball sample

technique. The method used in this research is the scale method, which is Heartland

Forgiveness-Scale and Psychological Well-Being Scale. Data analysis technique used

to see the correlation of the variable uses Pearson Product-Moment correlation

analysis. From the data analysis obtained that the result of coefficient correlation r =

0,925 with the significance ammount 0,000 (p < 0,05) which means there is a positive

correlation between self-forgiveness and psychological well-being in ex-seminarian of

high seminary batch 2007-2011.

(10)

1

PENDAHULUAN

Perjalanan hidup mempunyai banyak jalan dan pilihan masing-masing. Setiap pribadi memilih peranan masing-masing sesuai dengan keinginan, bakat dan niatnya. Gereja Katolik memiliki makna atau pandangan sendiri mengenai perjalanan hidup setiap orang beriman. Pandangan ini disebut dengan panggilan. Dalam bahasa Inggris panggilan disebut vocation yang berasal dari kata Latin vocare yang berarti “memanggil” (Lonsdale dalam yesaya.indocell.net). Dalam iman Kristiani, Tuhan

memanggil semua umatnya untuk mengambil bagian dalam pelayanan Kristiani, tetapi Tuhan memanggil sebagian dari umat-Nya untuk mengabdikan diri secara istimewa sebagai imam, biarawan dan biarawati. Dalam pengabdian diri menjadi imam, biarawan dan biarawati memiliki tempat pembinaan yang disebut dengan seminari.

Ponomban (2005) dalam artikelnya menjelaskan bahwa seminari berasal dari kata Latin yakni semen yang berarti benih atau bibit. Di samping itu, seminari juga berasal dari kata Latin seminarium yang berarti tempat pembibitan, tempat persamaian benih-benih sehingga seminari merupakan sebuah tempat yang di dalamnya terdiri dari sebuah sekolah yang sekaligus asrama: tempat belajar dan tempat tinggal dimana benih-benih panggilan menjadi imam dan biarawan yang dimiliki oleh anak-anak muda disemaikan secara khusus untuk jangka waktu tertentu dengan tata cara hidup yang khas, dengan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para imam/biarawan dan awam juga tentunya memiliki peranan sebagai pengajar. Anak-anak muda yang tinggal dalam seminari disebut dengan seminaris.

(11)

2

Menengah harus menempuh pendidikan selama 4 tahun. Ponomban (2005) menambahkan bahwa seminari tinggi merupakan jenjang pembinaan terakhir dari para calon imam sesudah mereka melalui atau mengikuti pendidikan di Seminari Menengah dan Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) atau sering disebut masa novis. Biasanya pendidikan yang ditempuh di sini selama enam tahun kuliah ditambah satu tahun praktek Tahun Orientasi Pastoral. Di Indonesia terdapat 31 Seminari Menengah, 3 Kelas Persiapan Atas, 12 Tahun Orientasi Rohani, dan 13 Seminari Tinggi.

Seminari bertujuan untuk mengajarkan para seminaris untuk hidup sebagai pelayan sesama umat manusia dan memiliki perilaku moral yang lebih tinggi dibandingkan jemaat biasa sehingga para seminaris tidak diperbolehkan untuk menikah (Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001). Di samping itu, dalam hal pendidikan di seminari tuntutan yang diberikan kepada seminaris memiliki perbedaan dibandingkan tuntutan yang diberikan kepada siswa-siswa pada umumnya (Liestyani, 2007). Tuntutan yang dialami oleh seminaris tidak hanya menguasai pengetahuan saja, namun juga dituntut untuk menjalankan tiga bidang hidup pokok yang harus ditaati yaitu hidup rohani, hidup studi, dan hidup komunitas (Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001).

Salah satu teks Kitab Suci (KS) yang menjadi patokan dalam proses menanggapi panggilan untuk menjadi imam atau biarawan/biarawati pada Seminaris adalah “Banyak

yang dipanggil, sedikit yang dipilih” (Matius 22:14). Simbolon (2015) menuliskan di

(12)

3

dari seminari sekurang-kurangnya telah menerima banyak ilmu, tuntutan, serta pengalaman hidup yang diajarkan khas oleh seminari seperti yang telah dijabarkan di atas. Oleh karena itu dengan telah diterimanya ilmu, tuntutan, serta pengalaman hidup yang diajarkan para mantan seminari diharapkan memiliki psychological well-being

yang baik untuk menyejahterakan hidupnya dan memiliki kepuasan hidup di masa depan.

Seseorang yang memilih untuk keluar dari seminari atau memilih untuk menjadi seorang imam atau biarawan disebabkan oleh beberapa hal, seperti melakukan pelanggaran dari aturan-aturan yang sudah diterapkan di Seminari atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai sebagai calon imam atau biarawan, tidak memperoleh nilai studi dan kepribadian yang baik. Seorang eks seminaris memilih untuk keluar dari Seminari atau tidak menjadi seorang imam atau biarawan karena keinginan sendiri yang sering disebut “menarik diri” oleh kalangan seminaris. Berdasarkan pengamatan,

(13)

4

perasaan dan keadaan dirinya setelah keluar dari seminari/biara. Ia sejak kelas tiga SD memiliki keinginan dan mimpi untuk menjadi imam (pastor). Kemudian dia menjalani pendidikandi Seminari Menengah selama empat tahun tanpa kesulitan dan kemudian memilih untuk melanjutkan perjalanan “panggilannya” dengan bergabung di Ordo

Kapusin. Di sini ia menjalani pendidikan hampir setahun kemudian ia keluar dari ordo. Setelah ia keluar dan berdasarkan hasil wawancara, ia mengatakan bahwa iamengalami kehilangan arah dan tujuan hidup dan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya setelah keluar dari seminari/biara dan memiliki kesulitan dalam hal berelasi dengan orang lain, ia kerap merasakan emosi-emosi negatif pada dirinya dan orang lain. Fenomena yang terjadi pada mantan Seminaris ini merujuk pada kondisi terganggunya

psychological well-being di dalam dirinya

Konsep mengenai psychological well-being (PWB) secara teoritis didasarkan dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam psikologi perkembangan klinis dan dewasa. Teori ini menekankan potensi individu untuk kehidupan yang bermakna dan realisasi diri dalam menghadapi tantangan (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002). Ryff, Keyes, dan Shmotkin (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa psychological well-being menunjukkan arti pemenuhan diri dari potensi manusia. Dalam hal ini individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi memiliki perasaan senang, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, merasa puas dengan kehidupan dan sebagainya.

(14)

5

atau pertumbuhan diri (personal growth) yang ditandai dengan perasaan dan mampu melewati tahap-tahap perkembangan, terbuka terhadap pengalaman baru serta menyadari setiap potensi yang ada di dalam dirinya dan melakukan perbaikan pada diri setiap waktu. Kemudiankondisi lainnya ialah c) keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life)yang merupakan dimensi yang mengacu pada kemampuan individu untuk mencapai tujuan hidup dan memiliki target yang ingin dicapai dalam kehidupan dan dengan dengan memiliki perubahan tujuan menjadi lebih produktif dan kreatif,d) kapasitasuntuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif (enviromental mastery)merupakan kondisi yang menggambarkan adanya suatu perasaan yang kompetendan penguasaan mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal di luar diri, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas, serta mampu mengendalikannya, e) hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others) adalah salah satu dimensi psychological well-being yang ditandai dengan memiliki perasaan empati dan kasih sayang pada orang lain, saling percaya dengan orang lain, serta memiliki hubungan persahabatan yang lebih dalam, f) kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy) yang dijelaskan oleh Ryff menjelaskan bahwa pribadi yang mandiri adalah pribadi yang dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri yang berarti individu tersebut berfungsi sepenuhnya seperti memiliki evaluasi pribadi terhadap diri, dimana individu tersebut mampu menolak tekanan sosial untuk berpikiri dan bertingkah laku dengan cara tertentu, di samping itu juga ia tidak mudah setuju pada orang lain serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi.

(15)

6

faktor usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya. Menurut Davis (dalam Rahayu, 2008), individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat

psychological well-being yang tinggi. Hal ini merupakan faktor kedua yang dimana diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, pengharapan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat dari orang lain atau kelompok. Faktor ketiga yang memengaruhi PWB seseorang ialah evaluasi terhadap pengalaman hidup. Hal ini dikemukakan oleh Ryff (1989) bahwa pengalaman hidup tertentu dapat memengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Faktor ke empat ialah

Locus of Control (LOC) yang didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu (Rotter, dalam Rahayu). Faktor kelima ialah religiusitas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Levin (Chatters & Taylor, dalam Rahayu) ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama, yaitu doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, kemudian partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, dan selanjutnya keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.

(16)

7

kecewa pada kehidupan masa lalu, merasa khawatir dengan kualitas-kualitas pribadi tertentu, memiliki sedikit hubungan yang dekat, sulit untuk bersikap hangat dan terbuka serta khawatir tentang orang lain, hidup bergantung terhadap penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, merasa kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk merubah atau meningkatkan konteks di sekitarnya, kurang memiliki kontrol terhadap dunia eksternal, kurang memiliki rasa arti dalam hidup, serta tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberikan arti hidup. Dari efek atau pengaruh-pengaruh dari individu yang rendah dalam PWB perlu dicapai psychological well-being yang baik. Salah satu cara yang perlu dilakukan ialah melalui self-forgiveness.

(17)

8

konsep psychological well-being yang dijelaskan dalam dimensi-dimensinya, seperti

self-acceptance, yang dimana ditandai dengan kemampuan penerimaan diri yang mengandung arti positif terhadap diri sendiri seperti mengenali dan menerima aspek positif dan negatif di dalam diri, serta memiliki pandangan yang positif terhadap masa lalunya. Di samping itu dimensi PWB yang sejalan dengan konsep yang dijelaskan di atas ialah autonomy yakni individu yang otonom merupakan pribadi yang dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri, dan juga orang yang berfungsi yang digambarkan memiliki evaluasi terhadap diri. Hal ini merupakan implikasi dari konsep memaafkan yang dimana tetap mengandalkan bahwa transgressor bertanggungjawab secara personal atas perbuatannya. Di samping itu juga komponen-komponen memaafkan seperti afektif, kognitif dan behavioral juga merupakan implikasi dan sebagai pemenuhan terhadap self-acceptance dalam dimensi psychological well-being.

(18)

9

penurunan motivasi untuk menghindari rangsangan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap dirinya sendiri dan semakin menurun motivasi untuk membalas terhadap diri sendiri dan semakin termotivasi untuk bertindak murah hati terhadap diri sendiri.

Enright (1996) berpendapat bahwa terdapat tiga aspek dalam self-forgiveness.

Aspek yang pertama ialah aspek menghindar. Aspek ini merupakan aspek yang melibatkan motivasi untuk menghindari korban dan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, serta situasi yang terkait dengan pelanggaran. Aspek yang kedua dalam self-forgiveness

melibatkan beberapa faktor, seperti membuat perbaikan yang berkelanjutan dan menyelesaikan masalah, serta tidak bersedia melakukan kesalahan itu lagi. Aspek yang terakhir ialah berdamai dengan diri sendiri. Aspek ini merupakan aspek yang paling penting dalam pemaafan.Thompson, Snyder, Hoffmann, Michael, et al. (2005) mendefinisikan pemaafan merupakan sebuah konsep atau metode menanggapi transgresi atau pelanggaran yang dimana individu mengubah respon negative mereka dan mengatasi disonansi dan tekanan yang dibarengi peristiwa hidup yang negative. Mauger (dalam Thompson, 2005) menambahkan bahwa pemaafan diri merupakan aspek yang paling berkaitan dengan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan kemarahan.

(19)

10

mengacu pada apakah pikiran, perasaan, atau perilaku bersifat negative, netral, atau positif. Sedangkan strength mengacu pada intensitas dan campur tangan dari pikiran, perasaan, atau perilaku, dan hal ini dapat bervariasi hasilnya. Individu yang memaafkan bisa mengubah respon negative yang disebabkan oleh transgresi dengan mengubah valensi dari negative menjadi netral atau positif dan bisa dengan mengubah keduanya, valensi dan strength dari respon.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hanna (2012) terkait manfaat self-forgiveness pada well-being yang dilakukan pada 61 orang partisipan yang telah menyelesaikan program intervensi psiko-edukasi di London, UK. Partisipan dalam penelitian ini merupakan mantan pengguna zat kimia dengan riwayat gangguan pengguna alkohol dan obat-obatan jenis lainnya yang termotivasi untuk meningkatkan kualitas subjektif hidup. Hasil dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan antara tingkat disposisonal self-forgiveness dan hasil well-being yang meningkat.

Melihat fenomena dan hasil penelitian yang ada maka penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai self-forgiveness dan psychological well-being (PWB). Alasan penulis memilih judul ini karena sejauh pengamatan penulis, penelitian ini tidak banyak dilakukan terutama pada eks Seminaris sehingga penulis tertarik untuk meneliti secara langsung ”Hubungan self-forgiveness dengan psychological well-being (PWB)

pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011”.

(20)

11

tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui signifikansi hubungan antara self-forgiveness dengan psychological well-being (PWB) pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011.

Penelitian ini berusaha untuk mengukur hubungan antara self-forgiveness dan

psychlogical well-being pada eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011, sehingga apakah self-forgiveness eks-seminaris berkorelasi dengan psychological well-being seseorang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. H0: Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara self-forgiveness dengan

psychological well-being eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011.

b. H1: Ada hubungan positif dan signifikan antara self-forgiveness dengan

psychological well-beingeks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011.

METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel

(21)

12

sebelumnya, demikian seterusnya (Poerwandari, 2007) hingga peneliti menganggap bahwa jumlah sampel dipandang memadai. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Eks Seminari Tinggi. Sedangkan sampel yang diambil dalam penelitian ini merupakan mantan seminaris seminari tinggi angkatan 2007-2011 yang telah yang pernah melanjutkan pendidikan Tahun Rohani dan Pendidikan Tinggi Filsafat dan Teologi.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi korelasional. Studi korelasional bertujuan mengkaji hubungan antara variabel dan memprediksikan nilai dari satu variabel pada variabel lainnya. Variabel merupakan karakteristik atau fenomena yang dapat berbeda di antara organisme, situasi, atau lingkungan (Christensen, 2001). Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah

1. Variabel bebas yakni self-forgiveness.

2. Variabel terikat yakni psycological well-being.

Instrumen Pengambilan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan skala pengukuran psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala Pemafaan diri dari Heartland(Heartland Forgiveness Scale/HFS)dan skala PWB. Item dalam skala-skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan unfavorable dengan menggunakan 4 alternatif jawaban dari skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan

(22)

13

Skor individu pada skala sikap, yang merupakan skor sikapnya, adalah jumlah skor dari keseluruhan pernyataan yang ada dalam skala. Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah dibagikan kepada subjek.

1. Teknik pengumpulan data variabel self-forgiveness digunakan dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang diberikan adalah Skala Pemaafan Heartland(Heartland Forgiveness Scale/HFS) merupakan kueseioner self-report yang mengukur dispositional forgiveness, yaitu kecenderungan umum untuk memaafkan terhadap diri, orang lain, dan situasi di luar kendali seseorang seperti bencana alam atau penyakit. HFS dibuat berdasarkan definisi forgiveness dan model forgiveness yang merupakan kerangka/susunan dari transgresi yang dirasakan sehingga respons terhadap transgresor, transgresi, dan gejala sisa dari transgresi diubah dari respon negative menjadi respon yang netral atau respon yang positif (Thompson et al., 2005). Dalam penelitian ini penulis mengukur self forgiveness

menggunakan 6 item HFS yang berfokus pada pemaafan terhadap diri atau

(23)

14

2. Sedangkan untuk variabel psychological well-being diukur dengan menggunakan Ryff scale of Psychological Well-Being (RPWB) milik Ryff (1989) yang terdiri dari 42 item. Adapun item-itemnya dibuat berdasarkan 6 dimensi yaitu, self acceptance, autonomy, positive relations with others, environmental mastery, purposive of life, dan personal growth.Perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas kelompok skala PWByang terdiri dari 42 item, diperoleh 11 item yang gugur, sehingga tersisa 31 item yang dapat di gunakan setelah dua kali putaran, dengan koefisien korelasi item total bergerak antara 0,330-0,702, dan koefisien Alpha pada kelompok skalaPWB sebesar 0,921 yang artinya kelompok skala tersebut reliabel.

Analisis Data

Analisis korelasional adalah analisis statistik untuk mencari hubungan antara dua buah variabel atau lebih (Creswell, 2010). Untuk melihat hubungan antar variabel dilakukan dengan analisis korelasi PearsonProduct Moment dilakukan dengan menggunakan program SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Deskriptif

(24)

15

Dari tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar Eks-Seminaris memiliki

Self Forgiveness yang berada pada kategori sedang yaitu 15 orang atau sebesar 39,47 %. Kemudian juga Eks-Seminaris yang memiliki Self Forgiveness pada kelompok yang sangat tinggi yaitu 1 orang atau sebesar 2,63%. Lalu pada Seminaris dengan tingkat Self Forgiveness yang tinggi yaitu 20 orang atau sebesar 52,63 %. Kemudian di tingkat Self Forgiveness yang rendah pada seminaris sebesar 2 orang atau sebesar 5,26 %. Sementara itu tidak ada Eks-Seminaris yang berada pada tingkat Self Forgiveness yang sangat rendah. Skor paling rendah adalah 10, skor paling tinggi adalah 22, dan rata-ratanya sebesar 16,8684dengan standar deviasi 2,08172.

Selanjutnya hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar deviasi sebagai hasil pengukuran skala PWBdapat dilihat pada tabel di bawah ini:

(25)

16

Dari tabel 1.2 di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar Seminaris memiliki PWB yang berada pada kategori sedang yaitu 18 orang atau sebesar 47,36%. Kemudian juga Seminaris yang memiliki PWB pada kategori yang sangat tinggi yaitu 1 orang atau sebesar 2,63%. Lalu pada Seminaris dengan PWB yang tinggi yaitu 17 orang atau sebesar 44,73%. Kemudian di tingkat PWB yang rendah pada Seminaris sebesar 2 orang atau sebesar 5,26%. Dan yang terakhir, tidak ada seminaris yang berada dalam kategori yang sangat rendah. Skor paling rendah adalah 56, skor paling tinggi adalah 111, dan rata-ratanya sebesar 86,368 dengan standar deviasi 9,7410.

Uji Asumsi

Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas dapat dilihat pada tabel 1.3 di bawah ini:

Tabel Skala 1.3 Uji Normalitas

Pada Tabel Skala 1.3dapat dilihat nilai K-S-Z Self Forgivenesssebesar 1,112 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,169(p>0,05). Sedangkan nilai K-S-Z PWB sebesar 0,819 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,513. Dengan demikian kedua variable berdistribusi normal.

Sementara itu, hasil uji linearitas dapat dilihat pada tabel 1.4 di bawah ini :

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

VAR00001 VAR00002

N 38 38

Normal Parametersa Mean 16.8684 86.3684

Std. Deviation 2.08172 9.74103

Most Extreme Differences Absolute .180 .133

Positive .135 .083

Negative -.180 -.133

Kolmogorov-Smirnov Z 1.112 .819

Asymp. Sig. (2-tailed) .169 .513

(26)

17

Tabel Skala 1.4 Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara

variabel bebas dengan variabel tergantung. Hubungan yang linear menggambarkan bahwa perubahan pada variabel bebas akan cenderung diikuti oleh perubahan variabel tergantung dengan membentuk garis linear. Uji lineritas hubungan antara Self Forgiveness dengan PWB diperoleh nilai Fhitung sebesar 1,652dengan nilai probabilitas sebesar 0,155 atau p> 0,05.Dari data di atas dapat dikatakan bahwa variabel Self Forgivenessmempunyai korelasi yang linear dengan variabel PWB.

Korelasi Self Forgiveness dan Psychological Well-Being

Korelasi antara variabelSelf Forgiveness dengan variabrl PWB dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

Tabel Skala 1.5 Uji Korelasi

VAR00001 VAR00002

VAR00001 Pearson Correlation 1 .925

**

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

(27)

18

Pada Tabel 1.5 di atas dapat dilihat bahwa korelasi antara variable Self Forgiveness dengan PWB memiliki skor pearson correlation adalah sebesar 0,925dengan signifikan antara keduanya adalah 0,000. Hal tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara Self Forgiveness dengan PWB pada Eks Seminaris Seminari Tinggi.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Hubungan Self Forgiveness dengan

Psychological Well-Being (PWB)Pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011 dengan menggunakan program SPSS versi 16.0diperoleh hasil perhitungan koefisien korelasi (r) sebesar 0,925 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara Self Forgiveness

dengan PWB pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011 artinya semakin tinggi pemaafan diri padaeks seminaris, maka semakin tinggi pula PWB eks seminaris. Sebaliknya semakin rendah pemaafan diri pada eks seminaris, maka semakin rendah pula PWB pada eks seminaris.

Hasil penelitian ini mendukung riset yang pernah dilakukan oleh Hanna (2012) yang dalam penelitiannyamenuliskan bahwa terdapat hubungan antara self forgiveness

(28)

19

Adanya korelasi antara pemaafan diri dengan PWB mungkin bisa sejalan sebagai berikut bahwa pemaafan diri mampu menurunkan kecemasan, depresi serta kemarahan pada diri individu sehingga membuat individu lebih sejahtera (Thompson et al, 2005). Individu yang memiliki pemaafan diri yang baik akan mampu menerima diri dan masa lalu yang pernah dilalui. Individu menerima rasa sakit dan rasa bersalah dari kejadian yang pernah dialami(Wohl, Deshea, & Wahkinney, 2008). Hal ini akan mampu meningkatkan PWB terhadap individu tersebut yang dimana kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupan di masa lalu (self-acceptance) merupakan salah satu aspek yang menunjukan kondisi PWB seseorang.Memaafkan diri dianggap mampu mereduksi respons-respons negative terhadap suatu pelanggaran, kesalahan; maupun sebaliknya, memaafkan memperbesar berkembangnya respons positif dalam diri seseorang terhadap suatu pelanggaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memaafkan terdapat komponen-komponen afektif, kognitif, dan perilaku dan strategi koping yang tak lepas dari motivasi. Dengan kemampuan memaafkan diri seperti yang dijelaskan diatas, individu diharapkan akan mampu mengalami pengembangan atau pengembangan diri (personal growth) yang ditandai dengan perasaan serta mampu melewati tahap-tahap perkembangan, terbuka terhadap pengalaman baru serta melakukan perbaikan diri setiap waktu.

(29)

20

hidup dan lebih leluasa melakukan kegiatan untuk mengembangkan diri seperti kegiatan aksi sosial, pecinta alam, dan kegiatan lain yang mereka minati yang dilakukan dengan leluasa tanpa adanya peraturan atau batasan seperti yang mereka alami selama hidup tinggal di Seminari/Biara. Kendala atau batasan yang dialami oleh eks-seminaris berbeda, karena eks-seminaris berasal dari ordo atau konggregasi yang berbeda dan memiliki peraturan dan anggaran rumah tangga yang berbeda. Di samping itu berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukan terhadap Eks-Seminaris, kebanyakan dari mereka merupakan orang yang berhasil dalam kehidupan di masa mendatang.

(30)

21

diungkapkan oleh Enrigth (dalam Worthington, 2005) yang mendefinisikan pemaafan diri merupakan sebagai bentuk kesediaan untuk melepaskan rasa kebencian diri sendiri dan mengakui bahwa dirinya bersalah.

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara Self Forgiveness dengan Psychological Well-Being pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi angkatan 2007-2011. Hal ini dapat terlihat dari sumbangan efektif dariself-forgiveness

dalam psychological well-being sebanyak 85,5% dari seluruh sumbangan efektif yang ada (100%) sementara 14,5% berasal dari factor lainnya. Factor lain ini mungkin bisa berupa self-esteem, dukungan significant others para eks-seminaris, resistensi dalam diri eks-seminaris dan lain-lain (Hanna, 2011).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan tentang mengenai Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being diperoleh kesimpulan hasil perhitungan koefisien korelasi (r) dan signifikansi yang dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara Self Forgiveness dengan PWB pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011.

(31)

22

Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung di lapangan serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis ajukan:

1. Bagi subjek penelitian. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan bagi subjek penelitian (eks-seminaris) agar mampu mempertahankan PWB mereka yang sudah baik dengan mengembangkan kemampuan diri, membangun hubungan yang positif dengan orang lain, membangun hidup bermakna dan memiliki tujuan agar lebih kreatif, dan kemandirian diri.

2. Bagi peneliti selanjutnya.

a. Disarankan untuk mencari dan menggunakan alat ukur self-forgiveness dengan item yang lebih banyak dari penelitian ini. Alat ukur dengan item lebih sedikit kurang presentatif atau kurang menggambarkan keadaan variabel sebenarnya. Dalam penelitian ini diperoleh hasil alpha cronbach sebesar 0,665 dari 6 item. b. Dapat melakukan atau mengukur lebih mendalam tentang hubungan

self-forgiveness dengan psychological well-being dengan mengambil populasi atau sampel pada mantan biarawati, untuk melihat perbandingan hubungan apakah hasilnya sama dengan populasi atau sampel pada eks-seminaris.

c. Dapat melakukan penelitian mengenai self-forgiveness dan psychological well-being pada eks-seminaris dengan menggunakan metode penelitian yang lainnya, seperti menggunakan metode penelitian kualitatif.

(32)

23

(33)

24

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Christensen, Larry.B. (2001). Experimental Methodology – Fourth Edition.

Creswell, J.W. (2010).Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Cyndy, M.K. (2013). Resiliensi Korban Perilaku School Bullying Verbal Pada Siswi Remaja Sekolah Menengah Atas.Skripsi. Sarjana Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.

Enright, R.D. (1996). Counceling Within The Forgiveness Traid: on forgiving, receiving forgiveness, and self-forgiveness. Counceling & Values, 40(2), 107-127. Fincham, F.D., Hall, J., & Beach, S.R.N. (2006). Forgiveness ini marriage: current

status and future direction.Family Relations, 55(4), 415-426.

Hanna, W. (2012). Benefits of Self-Forgiveness on Well-Being and Self-Forgiveness Facilitating Factors. University of Windsor. Electronic Theses and Dissertation. Hall, J.H., & Fincham, F.D. (2008). The Temporal Course of Self-Forgiveness. Journal

of Social and Clinical Psychology, 27(2), 174-202.

Keyes, Corey Lee M., Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82(6), 1007-1022.

Liestyani, S.H. (2007). Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Self-Regulation Pada

Siswa Seminari di Sekolah Seminari Menengah “X” Jakarta.Skripsi. Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Bandung.

Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, Ed. (2005). The Benefits of Frequent Positive Affect: Does Happiness Lead to Succes?. Psychological Bulletin, 131(6), 803-855.

Mgr. Blasius Pujaraharja, Pr. (2001). Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian Seminari Menengah. Komisi Konferensi Waligereja Indonesia: Jakarta. Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.

Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: Depok.

(34)

25

Rahayu, M.A. (2008). Psychological Well-Being pada Istri Kedua dalam Pernikahan Poligami: Studi Kasus Pada Dewasa Muda. Skripsi. Sarjana Psikologi Universitas Indonesia: Depok.

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological well-being. Journal of personality and social psychology, 57(6),

1069-1081.

Ryff, C.D.& Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of personality and social psychology, 69(4), 719-727.

Simbolon, S. (2015). Y Generation Menjadi Imam?: Pendidikan Calon Imam Katolik di Indonesia dalam Terang Dekrit Optatam Totius. Lomba Karya Tulis Globethics.net.

Soesilo, A. (2013). Forgiveness dan Kesehatan: Forgiveness sebagai strategi koping untuk promosi kesehatan dan reduksi resiko-resiko kesehatan.Dipresentasikan dalam Seminar/Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata: Semarang.

Sumule, R. (2008). Psychological Wellbeing Pada Guru yang Bekerja di Yayasan PESAT Nabire.Skripsi Sarjana Psikologi Universitas Gunadarma: Jakarta.

Terzino, K.A. (2010). Self-Forgiveness for Interpersonal and Intrapersonal Transgressions. Graduate Theses and Dissertations Iowa State University.

Thompson, L.Y. et al. (2005). Dispositional Forgiveness of Self, Others, and Situations.

Journal of Personality, 73(2), 313-359.

Wenzel, Woodyatt, & Hedrick, K. (2012). No Genuine Self-Forgiveness without accepting responsbility: Value reaffirmation as a key to maintaining positive self-regard. European Journal of Social Psychology. 42, 617-627.

Wohl, M.J.A., DeShea, L., & Wahkinney, R.L. (2008). Looking Within: Measuring State Self-Forgiveness and Its Relationship to Psychological Well-Being.

Canadian Journal of Behavioural Science. 40(1), 1-10.

Worthington, Jr., Langberg, D. (2012). Religious Consideration and Self-Forgiveness in Treating Complex Trauma and Moral Injury in Present and Former Soldiers.

Gambar

Kategori Tabel 1.1 Self Forgiveness
Tabel Skala 1.3 Uji Normalitas
Tabel Skala 1.5 Uji Korelasi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian untuk mengevaluasi pengaruh kedalaman muka air tanah pada lahan gambut terhadap lilit batang karet PB260 TBM (umur 2-3 tahun) dan sifat kimia tanah gambut

LMNO LPPI QRS TUV WLP... ikh

Dari segi lain, filsafat juga bisa kita pahami sebagai suatu sikap hidup, sebagai suatu metode, sebagai kelompok persoalan, sebagai kelompok teori atau sistem pemikiran,

Kompetensi guru harus betul-betul memahami materi yang yang akan disampaikan. Selain itu, guru harus memahami karakteristik siswa yang akan diajar. Guru harus

Pada penelitian ini tidak menggunakan delone dan mclean melainkan penelitiannya menggunakan metode WebQual 4.0 yang terdiri dari 3 variabel yaitu kualitas kegunaan, kualitas

Bermain adalah hal yang paling disukai oleh anak dan menjadi fitrahnya. Beragam permainan menjadi pesona dan daya tarik anak, baik itu permainan yang dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian, besarnya faktor lain (faktor residu) yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pada BFI Finance cabang Garut dapat diartikan bahwa insentif dan

JAWA TIMUR Tanggal Pencairan Dana dari BKM ke KSM CAPAIAN Perkembangan Kelompok No.. Provinsi Kota /