• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Institusi Intermediary dalam Gerakan Sosial Baru: Studi tentang OTL Lidah Tani di Randublatung T1 352008001 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Institusi Intermediary dalam Gerakan Sosial Baru: Studi tentang OTL Lidah Tani di Randublatung T1 352008001 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

“Soal Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup yang seharusnya,” (Tauchid, 1952)

Kutipan diatas sekiranya cukup memberikan gambaran munculnya berbagai gerakan petani di tanah air. Menurut Topatimasang (dalam Mustain 2007: 13) keberadaan tanah bagi petani, selain bernilai ekonomis sebagai sumber kehidupan, juga bermakna magis religion-kos-mis dan bahkan idiologis. Ironisnya, sejak zaman colonial, bahkan jauh sebelumnya yakni dimasa kerajaan, hingga kini sejarah pertanahan (yang identic dengan nasib kehidupan petani) tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan. Kehidupan petani selalu terombang-ambing oleh ketidakpastian akibat kebijakan Negara tentang pertanahan yang sering berubah-ubah.

(2)

2 berkepentingan untuk menhancurkan kelas-kelas atas sebagai satu-satunya jalan yang harus di tempuh agar dapat membebaskan diri dari penindasan.

Pada umumnya jika diperhatikan secara cermat, latar belakang konflik pertanahan di pedesaan bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan ( baik yang difasilitasi oleh Negara maupun swasta) dan rakyat petani. Scott (1993: 61) menulis, bahwa akibat pertanian komersial dan perkebunan Negara, kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai menurun dan petani tak punya pilihan lain kecuali melawan. Perlawanan (resistensi) petani banyak ditemukan pada daerah-daerah yang kemajuan komersialnya paling menonjol. Hal ini disebabkan didaerah-daerah pusat komersialisasi tersebut, sumbangan terhadap kesejahteraan petani semakin kecil akibat naiknya posisi tawar pemilik tanah. Keadaan ini memicu timbulnya gerakan perlawanan oleh petani dalam berbagai bentuk seperti halnya aksi protes dan kekerasan sebagai manifestasi dari ketidakpuasan petani akibat hubungan ekploitasi yang dirasa tidak adil.

(3)

3 memanfaatkan dan menggunakan sumber daya hutan tanpa izin oleh pihak yang berwenang.

Setelah masa kolonialisme berakhir dan negara baru dengan nama Indonesia lahir. Pada masa Soekarno dalam konteks kebijakan penggelolaan sumberdaya alam kaitanya dengan pertanahan, terdapat pandangan populis tertuang dalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) 19601 yang merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 UUD 19452. Dengan dasar konstitusi tersebut, ini berarti bahwa arah kebijakan negara adalah kemakmuran seluruh rakyat, bukan kemakmuran orang per orang. Dalam hal ini negara memiliki kekuasaan hanyalah untuk mengatur dalam upaya pencapaian kemakmuran tersebut.

Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) hasil kerja panitia bentukan pemerintah Soekarno diakui secara legal sebagai landasan hukum pertanahan yang sah (Tap MPR No,IV/1978). Namun setelah era orde baru kebijakan agraria tersebut diganti karena rezim ini mempunyai

1

Beberapa point penting dalam UUPA adalah: (1) Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini seperti hak ulayat pada masyarakat adat yang memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan ataupun badan hukum; (2) Hanya warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21 ayat 1 UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan; (3) Warga negara asing tidak dapat memiliki hak atas dasar hak milik (pasal 26 ayat 6 UUPA); (4) Asas domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti dengan hak menguasai dari negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA). Hak menguasai ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas adat; (5) Tanah mengandung fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Fauzi (1999) menuliskan bahwa prinsip tanah berfungsi sosial ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok) tidak dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum; (6) Prinsip land reform. Prinsip ini terdapat pada pasal 13 dan pasal 17, tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh seorang petani, supaya dapat hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Pada undang-undang ini tercantum pula batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (pasal 17 UUPA). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penguasaan tanah yang luas pada tangan segelintir orang. Selanjutnya, pada pasal 7 UUPA dinyatakan pula pelarangan pemilikan tanah yang melampaui batas, karena bisa merugikan kepentingan umum, khususnya rakyat petani (Hendarto, 2005: 5-6 dalam: www.dephut.go.id).

2

(4)

4 pandangan berbeda dalam melihat pembangunan. Pada awal kekuasaan orde baru, pertumbuhan ekonomi yang disertai upaya stabilitas politik menjadi prioritas utama. Atas dasar tersebut beberapa kebijakan yang diambil pada masa orde baru diantaranya, Pertama, pembekuan UUPA yang merupakan

dasar kebijakan masa orde lama. Kedua, mendorong terjadinya eksploitasi

terhadap sumberdaya alam untuk membiayai pembangunan. Kebijakan eksploitasi terhadap sumberdaya alam tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) tahun 1967, Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968, diikuti kebijakan lain seperti UU.No.5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, UU.No.11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU.No.11/1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi (Suhendar, 1996 : 64-76).

Adanya pemberian hak pengelolaan kawasan oleh pemerintah kepada pihak swasta atupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang marak pada masa Orde Baru, merupakan bentuk konversi dari hak erfpacht

yang ada pada massa kolonial. Sejalan dengan itu, Mustain (2007) menyatakan bahwa pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sehingga memicu manifestasi konflik.

(5)

5 ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di tingkat akar rumput.

Dalam sejarah Gerakan petani di indonesia, paling tidak bisa dibedakan menurut masanya, misalnya antara masa kolonial,Orde lama, Orde baru dan masa transisi (reformasi) yang memiliki ciri atau corak yang berbeda. Pola gerakan sosial petani pada era kolonial berupa pemberontakan-pemberontakan sekala mikro yang dipimpin oleh seorang tokoh yang diistilahkan dengan Ratu adil3 untuk mendapatkan kembali tanah adat yang diambil secara paksa oleh negaran untuk kepentingan penguasaan tanah oleh kolinal Belanda dalam aktivitas perkebunan. Sementara itu pada era Orde lama gerakan petani lebih diakibatkan oleh interfensi partai politik dalam memblow-out masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Berlainan dengan masa Orde Baru, karakteristik gerakan petani lebih bersifat vertikal antara pemegang hak dengan pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa(Noer Fauzi,1997). Berlainan lagi dengan pada era reformasi saat ini, gerakan petani lebih dicirikan dengan reklaming tanah sebagai akibat dari tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor pertanian sehingga nasip petani tetap termajinalkan oleh pemilik modal(Siahaan,1997:17).

Kedepan gerakan petani belumlah akan terhenti mengingat tekanan terhadap petani tidak saja dilakukan oleh negara, melainkan juga oleh pasar yang dengan leluasa menggunakan siapa saja untuk menekan petani. Ungkapan ”rich forest, poor people”4, mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi hutan kaitannya dengan kondisi ekonomi masyarakat khususnya masyarakat desa hutan. Dimana, hutan telah dieksploitasi bahkan selama beberapa abad dari masa kolonialisme sampai indonesia merdeka hingga saat ini, lingkungan sudah mengalami

3

Seperti yang digambarkan oleh Kuntowijoyo dan Kartodirjo dalam: PETANI vs NEGARA, Dr Mustain, Ratu adil atau Imam Mahdi, yaitu seorang yang mengemban misi membebaskan rakyat dari kesengsaraan dan akan memimpin masyarakat secara arif bijaksana.

4

(6)

6 kehancuran, dan berbagai kebijakan oleh Perhutani telah dikeluarkan, akan tetapi kondisi masyarakat khususnya masyarakat desa hutan tetaplah pada kondisi miskin. Hal tersebut ditunjukan oleh kondisi dimana terdapat sekitar 6000 desa hutan atau desa yang berbatasan dengan hutan di bawah penggelolaan Perum Perhutani, pada kenyataan masih dalam kondisi miskin (Awang, 2004: 134).

Dalam konteks ini peneliti melihat suatu kasus yang terjadi pada salah satu desa hutan di Jawa tengah tepatnya desa-desa hutan yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan di KPH Randublatung dimana mereka telah menyatukan diri dalam sebuah wadah organisasi petani, Lidah Tani dalam proses perlawanan mereka menuntut keadilan.

Randublatung adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa tengah. Dinamika pengelolaan dan konflik hutan jati di Blora memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejak zaman kerajaan Mataram, Blora terkenal sebagai daerah penghasil kayu jati. Waktu itu, masyarakat sekitar hutan bebas membabat hutan untuk lahan pertanian dan memanfaatkan kayunya untuk dijual atau untuk tempat tinggal. Keadaan menjadi berubah ketika Belanda datang dan mulai memberlakukan peraturan yang macam-macam terhadap daerah koloninya. Belanda mulai membentuk dinas kehutanan modern yang bernama Dienst van het Boshwezen. Dinas ini yang menerapkan peraturan hak atas tanah, pohon dan buruh. Setiap petani yang dengan tanpa izin memasuki hutan akan ditangkap dan dikriminalisasikan (Rahma, 2007:64). Warga sekitar hutan di Blora terusir dari tanahnya sendiri.

(7)

7 merdeka, lahan hutan yang dulu milik rakyat dan kemudian dirampas oleh Belanda, dinasionalisasi oleh pemerintah. Sayangnya, lahan hutan tersebut tidak dikembalikan kepada rakyat setempat. Sejak tahun 1961, penguasaan hutan jati jatuh ke Jawatan kehutanan. Luas lahan yang dikuasai Perhutani mencapai 49,118 % dari total wilayah Blora. Lahan tersebut hampir semuanya ditanami pohon jati (Rahma, 2007:61). Dengan penguasaan lahan seluas itu dengan produksi kayu jati yang sangat strategis, Perhutani sebenarnya telah menggenggam separuh nyawa Kabupaten Blora. Resistensi masyarakat Blora terhadap pola-pola pengelolaan hutan oleh Perhutani terus berlanjut di masa Orde Baru. Bentrok fisik langsung antara petani dengan Perhutani terjadi berkali-kali. Sikap represif negara, dalam hal ini Perhutani, ditunjukkan dengan adanya penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang-orang yang diduga membabat hutan dan mencuri hasilnya.

49,66 % luas kabupaten Blora merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani I Jawa Tengah dan terbagi atas tiga kesatuan pemangkuan hutan (KPH), yaitu KPH Randublatung, KPH Cepu dan KPH Blora. Produksi kayu jati bundar terbanyak berasal dari Kecamatan Randublatung yakni sebesar 35.310,000 m3 yang termasuk di wilayah Randublatung. Total produksi kayu jati bundar di Kabupaten Blora tahun 2002 sebesar 85.950,197 m3 atau turun sebesar 14,28 persen dari tahun sebelumnya. Dengan tanah kawasan hutan yang luas tersebut,sengketa tidak dapat terhindarkan.5

Di antara 3 KPH lainnya (KPH Blora, KPH Cepu), KPH Randublatung adalah yang paling banyak timbul masalah. Dengan jumlah penduduk sekitar 73 ribu jiwa (17 ribu KK atau 4 jiwa/RT), yang berarti kepadatan sebesar 300 jiwa/km2, terlihat bahwa Randublatung tergolong padat penduduk. Secara geografis, interaksi masyarakat desa hutan (MDH) di Randublatung dengan hutan di sekitar tempat hidup mereka sangat tinggi. Salah satu indikatornya adalah bahwa dari wilayah Kecamatan

5

(8)

8 Randublatung seluas 21.113,097 hektare, 13.366,605 hektar di antaranya (64%) merupakan kawasan hutan Perum Perhutani.

Rentan waktu kurang dari setengah abad―semenjak mandat pengelolaan pertama kali diserahkan pada 1961―tentu menyiratkan keyakinan negara akan kinerja positif Perhuntani dalam mengelola sumber daya hutan (Maryudi, 2011:76). Tetapi, setelah Orde Baru yang memiliki karakter kekuasaan otoriter dalam mengelola pemerintah ambruk, terjadi fenomena kekacuan dibidang pengelolaan sumber daya hutan di kawasan KPH Radandublatung. Konflik-konflik perebutan sumber daya hutan terjadi bahkan merebak. Berbagai masyarakat desa hutan yang sebelumnya pasif menjadi merasa kuat bila berhadapan dengan negara. Perlawanan terbuka dengan aksi penjarahan kayu terjadi di seluruh kawasan hutan wilayah kerja Perum Perhutani KPH Randublatung dan kawasan-kawasan hutan lainya.

Pada mulanya aksi penjarahan kayu terjadi di kawasan RPH Kedungsambi, tetapi kemudian dalam prosesnya meluas ke wilayah kawasan hutan negara di Randublatung, Cepu, bahkan Blora. Ribuan penjarah secara leluasa melakukan “panen raya‟(penebangan liar) tanpa ada yang dapat menghentikanya. Bahkan, pihak Perum Perhutani KPH Randublatung pun telah melakukaan operasi-operasi dalam upaya pengamanan hutan, baik dengan Polhutanya maupun bersama pihak Kepolisian, Militer maupun Brimob.

(9)

9 Kondisi tersebut menempatkan Perum Perhutani dalam situasi kesulitan mengatasi persoalan aksi penjarahan kayu, aksi perambahan lahan dan diikuti dengan aksi kekerasan yang terjadi secara masif di semua wilayah kerja Perum Perhutani KPH Randublatung. Kondisi itu juga menjadikan masyarakat desa hutan yang sebelumnya cenderung diam di era Orde Baru berubah menjadi masyarakat yang secara “liar” untuk masuk ke dalam hutan tanpa dapat diatasi oleh aparat negara pada awal era Reformasi. Oleh karena itu sangat wajar jika perlawanan terbuka di sekitar hutan KPH Randublatung di era Reformasi cenderung menonjolkan sifat anarkhis dan memilih berkonfrontasi langsung secara terbuka dengan kekuatan negara.

Pada tahun 1998, Perhutani menembak dua orang warga yang sedang mencari kayu di Hutan. Dua orang tersebut adalah Darsit dan Rebo. Setelah kejadian salah tembak itu, masyarakat melakukan pengrusakan bangunan Perhutani yang ada di Randublatung dan melakukan tindakan pembalasan dengan mengambil kayu di hutan jati. Pada tahun 2000 kekerasan oleh Polisi Hutan kembali terjadi. Kali ini di KPH Cepu yang menewaskan Djani. Djani ditembak saat Polisi Hutan sedang melakukan operasi pengamanan hutan. Padahal Djani bukanlah pencuri kayu. Pagi itu dia pergi ke sawah membawa cangkul. Kebetulan polisi hutan sedang mengejar pencuri kayu dan mendapati Djani di lokasi, polisi hutan menembaknya sampai tewas. Kekerasan yang sama terus berulang di Blora, baik yang menyebabkan tewasnya warga masyarakat maupun yang luka-luka. Korban-korban yang tewas di Blora dalam rentang waktu 1998-2008 dijelaskan di bawah6:

No

Na

ma

Modus KPH Waktu

Darsit Penembakan Randublatung 28 Juni 1998

6

(10)

10 1

2

Rebo Penembakan Randu Blatung 28 Juni 1998

3

Djani Penembakan Cepu 5 November 200

4

Wiji Penganiayaan Cepu 14 Oktober 2002

5

Mursi Penembakan Randublatung 16 Desember

2003

6

Nurhadi Penganiayaan Randublatung 13 Juni 2006

7

Pariyono Penaniayaan Randublatung 18 November

2006

Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa sengketa hutan cenderung terjadi tindak kekerasan di antara para pihak yang terlibat sengketa. Catatan dari Arupa menguatkan asumsi itu.7 Dalam sepuluh tahun terakhir sudah 7 (tujuh) orang tewas ditangan Perhutani di Blora. Apabila dikalkulasikan untuk Jawa Tengah (Wilayah I Perhutani), sebagaimana ditabulasikan oleh LBH Semarang dan Lidah Tani, dalam sepuluh tahun terakhir (1998-2008.) sudah 31 orang tewas dan 69 orang luka-luka akibat pendekatan keamanan yang dilakukan oleh Perhutani.

Dalam perkembangannya, Perlawanan petani di Randublatung menunjukkan dinamika kelangsungan perlawanannya itu sendiri. Penggunaan organisasi atau paguyuban atau forum sebagai suatu strategi untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah adalah gejala baru gerakan hukum petani sebagai upaya untuk ’memaksa’ pihak yang berlawanan mau duduk berunding dan mencari penyelesaian sengketa yang saling

7

Edi Suprapto, “Konflik Kehutanan yang Berbuah Kekerasan,“ dalam http://www.

(11)

11 menguntungkan. Para petani yang berseteru dengan Perhutani membentuk kelompok-kelompok tani yang disebut Lembaga Rembug Hutan (LRH). Kelahirannya difasilitasi oleh Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (Arupa; suatu aliansi yang terdiri dari beragam latar belakang, termasuk para mahasiswa). Pada tahun 2003, setelah melakukan studi banding di beberapa daerah dan berdiskusi panjang, petani membentuk Organisasi Tani Lokal (OTL) yang bernama Lidah Tani yang berarti “Api Perlawanan Petani.” Lidah Tani mengorganisir petani hutan, belajar bersama, dan membangun jaringan dengan petani se-Jateng dengan satu tujuan utama agar yakni memperjuangkan keadilan petani yang tinggal di sekitar kawasan hutan (Rahma, 2007: 74).

Tanpa mengorganisir diri atau bergerak secara individual, protes dan tuntutan para petani tak akan digubris oleh Perhutani. Gerakan, protes atau tuntutan yang dilakukan dengan menggunakan wadah atau institusi tertentu kemungkinan besar akan direspon oleh pihak yang dituntut. Institusi atau organisasi tersebut dalam istilah sosiologi Berger dan Neuhaus disebut sebagai ’mediating structures’ (institusi-institusi mediasi) yang wujud konkretnya merujuk pada lembaga keluarga, ketetanggaan, keagamaan dan juga asosiasi keswadayaan.

(12)

12 tatanan sosial yang dilakukan oleh negara, menciptakan ketegangan dengan masyarakat, sehingga peran-peran dari aktor intermediary akan sering terlihat. Terkait dengan ketegangan yang terjadi antara negara dan masyarakat, dan peran aktor intermediary didalamnya ditemukan pada Perlawanan Petani Hutan di Randublatung. Hal ini menarik untuk diteliti dikarenakan Perlawanan Petani Randublatung ternyata banyak menggunakan strategi yang terkonstruksi dan dimobilisasi oleh ARUPA. Berdirinya Lidah Tani sebagai wadah perlawanan petaani Randublatung dapat dikategorisasikan sebagai bagian dari gerakkan sosial yang dilakukan oleh masyarakat untuk melawan negara, melalui aktor

intermediary. Olehnya itu dalam penelitian ini, penulis ingin menjelaskan bagaimana peran aktor intermediary dalam perlawanan petani Randublatung dilihat dari perspektif gerakan sosial baru. Sehingga, dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana peran aktor intermediary

dalam ranah gerakan sosial baru.

1.2 Rumusan Masalah

(13)

13 Organisasi Petani (lidah Tani) sebagai institusi Intermediary dalam peran dan fungsinya sebagai state society relation.

Untuk mempertajam rumusan masalah tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan yang lebih spesifik lagi diantaranya:

1. Bagaimana perlawanan petani Randublatung atas kekerasan yang dialami?

2. Bagaaimana peran Institusi Intermediary dalam prespektif gerakan social baru?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang: 1. Bagaimana gambaran perlawanan petani Randublatung atas

kekerasan yang dialami?

2. Bagaimana peran aktor (institusi) intermediary dalam perlawanan petani menghadapi kekerasan?

1.4 Manfaat penelitian

Denganadanya penelitian ini diharapkan mampu:

- Menambah khasanah baru bagi study sosiologi sekaligus sebagai bentuk kontribusi terhadab study-study tentang perlawanan petani di Indonesia yang sedeng berkembang .

- Sebagai masukan bagi institusi-institusi terkait atau lembaga-lembaga formal maupun informal agar lebih memaksimalkan perannya terutama dalam pendampingan masyarakat dan terlebih pada advokasinya terhadap petani.

- Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan merupakan faktor yang sangat penting pengaruhnya pada motivasi karyawan, hal ini dapat memberikan dorongan terhadap karyawan agar dapat berkerja memenuhi

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah

Atribut-atribut tersebut adalah kualitas grafis, tidak sering crash,tidak sering hang, tidak sering lag, kapasitas baterai, kualitas gambar yang ditangkap/diambil,

1. Kecemasan keluarga pedagang pasar terhadap belajar daring di era covid- 19 di Desa arungkeke pallantikang Kab Jeneponto yakni, 1) Kurangnya pemahaman dan minat belajar

Sumber data dalam penelitian ini merupakan sumber dari mana data akan diperoleh. Sumber data pada penelitin ini merupakan hasil penulusuran melaluli sumber-sumber yang lain

Gambar 8 FluktuasiTingkat Pelayanan Ruas Jalan di Lokasi Penelitian Tingkat pelayanan ruas jalan lajur kiri terburuk terjadi di Jalan Utama Gerbang Depan dengan

angka keluaran hongkong tahun 2004 sampai dengan thn 2005, arsip data paito result pasaran togel dan pengeluran togel hkg pools.. 2.1 Aset 2.2 Liabiliti 2.3 Ekuiti Pemilik 2.4 Hasil

Kandou dalam hal ini aset tetap telah menuju pada kesiapan implementasi penerapannya karena telah ada kebijakan dari Kementrian Kesehatan RI bagi entitas mengenai penurunan nilai