• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta."

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

BIAS GENDER DALAM STRUKTUR ORGANISASI KAMMI (KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA) KOMISARIAT

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh : Fitria Endah Lestari

NIM 09413244050

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ”

(QS Ar-Ra'd 13: 11)

“No one makes a lock without a key, that’s why Allah won’t give you problems

without solutions”

(Anonime)

“Follow your dream and transform yourself”

(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini Kupersembahkan teruntuk kedua orang tuaku:

Ibu Darningsih

Bapak Sakam

ku bingkiskan untuk kedua kakakku:

Weni Setyo Utami

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Atas izin-Nya skripsi yang berjudul “Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd. M. A., selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Universitas tercinta ini.

2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Univeritas Negeri Yogyakarta.

3. Bapak Grendi Hendrastomo, M.A., M.M. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta.

4. Ibu Poerwanti Hadi Pratiwi, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan serta bimbingan selama perkuliahan. 5. Ibu Nur Hidayah, M.Si yang telah memberikan masukan, pemikiran, serta

(8)

6. Ibu Puji Lestari, M.Hum selaku narasumber dan penguji utama, terima kasih atas bimbingannya selama ini sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.

7. Bapak Amika Wardana, Ph.D. selaku ketu penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan tugas akhir ini.

8. Seluruh dosen yang mengajar di Prodi Pendidikan Sosiologi yang telah

memberikan ilmu, wawasan, dan pengetahuan selama ini.

9. Kedua orang tuaku, Bapak Sakam dan Ibu Darningsih, yang telah memberikan do’a, semangat, dan materiil selama ini. Sungguh Ananda tidak akan sanggup membalas semua yang telah kalian berikan selama ini. 10.Kedua kakakku, Mba Weni Setyo Utami dan Mas Bambang Edi Purnomo, serta mba Atik dan mas Tri, yang selalu memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

11.Keponakan-keponakanku, Dilla, Zabi, Juan, Rara dan Azzam, terima kasih atas celotehan-celotehan kalian yang menggemaskan.

12.Teman-temanku tersayang, teh Nita, Fitri Dodolz, neng Vietha, yang telah berbagi kebahagiaan, kesedihan, dan kegilaan selama kita bersahabat, serta saling mendukung untuk menyelesaikan tugas akhir. Kalian Luar Biasa. 13.Teman-teman Intifadha Family, mba Dyah, mba Sashi, mba Nilon, mba

(9)
(10)

ABSTRAK

BIAS GENDER DALAM STRUKTUR ORGANISASI KAMMI (KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA) struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; (2) untuk mengetahui faktor penyebab bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; (3) untuk mengetahui apa saja dampak bias gender dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap para anggotanya.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan mengambil informan sebanyak 8 orang dalam melakukan penelitian yaitu 2 orang anggota laki-laki dan 6 orang anggota perempuan dari pengurus harian KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitafif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Validitas data yaitu triangulasi. Sedangkan untuk teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif model interaktif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, KAMMI belum menganut prinsip kesetaraan gender dalam kepengurusannya dan yang terjadi sebenarnya adalah bias gender dalam struktur organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Perempuan masih seringkali menempati jabatan-jabatan pada sektor domestik dan tidak memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan sebagai ketua. Faktor penyebab bias gender antara lain: a) penafsiran agama, b) konsep pembagian kerja, c) pengaruh budaya patriarkhi. Dampak bias gender dalam KAMMI antara lain akses perempuan dalam organisasi menjadi terbatas.

.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN. ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 11

A. Kajian Tentang Gender ... 11

(12)

2. Ideologi Gender ... 14

B. Kesetaraan Gender ... 16

C. Teori Struktural Fungsional ... 20

D. Organisasi KAMMI ... 24

E. Penelitian Relevan ... 26

F. Kerangka Berpikir ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN ... 32

A. Bentuk Penelitian ... 32

B. Lokasi Penelitian ... 33

C. Waktu Penelitian ... 33

D. Teknik Pengumpulan Data ... 33

E. Pemilihan Informan Penelitian ... 35

F. Validitas Data ... 36

G. Teknik Analisis Data ... 37

BAB IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS ... 41

A. Deskripsi Data ... 41

1. Profil Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ... 41

2. Deskripsi Informan ... ... 50

B. Pembahasan ... 53

(13)

2. Partisipasi Perempuan dalam Organisasi KAMMI

(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015 ... 63

3. Faktor Penyebab Bias Gender Dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015 ... 69

4. Dampak Bias Gender Dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015 ... 75

C. Pokok-pokok Temuan dalam Penelitian ... 76

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81

(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Pikir ... 31

Bagan 2. Model Analisis Miles dan Huberman ... 38

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Observasi 2. Pedoman Wawancara

3. Pengkodean Hasil Wawancara 4. Hasil Observasi

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembicaraan terhadap wacana gender, feminisme dan kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari emansipasi, demokratisasi dan humanisasi kebudayaan. Dari waktu ke waktu, gugatan dan pembongkaran terhadap struktur ketidakadilan, diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan nampaknya semakin meluas dan menggugat. Kaum feminis yang percaya bahwa masalah yang terjadi pada kaum perempuan diakibatkan ketidakadilan gender, menuding budaya masyarakat yang

patriarkhis cenderung menjadikan peran politik perempuan berada pada posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi subordinat bagi peran politik laki-laki (Afwan, 2008: 11).

(17)

Dalam sistem sosial (juga keagamaan), patriarkhi muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki (Rachman, 2004: 530). Ketimpangan peran sosial yang berdasarkan gender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama.

Siti Ruhaini Dzuhayatin (2006), menyatakan bahwa pada budaya

patriarkhi, agama berfungsi untuk melegitimasi kenormalan seksualitas dan status laki-laki. Konsekuensinya, seksualitas dan status perempuan tidak akan pernah menempati “kenormalan” laki-laki. Selama budaya

patriarkhi tetap dipertahankan, sejauh itu pula pandangan-pandangan mengenai ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kadar yang berbeda-beda tetap mewarnai kehidupan masyarakat (dikutip dari Abdullah, 2006: 62).

Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi dimana perempuan menganggap dirinya tidak setara dengan laki-laki. Berkaitan dengan keadilan gender, secara implisit maupun eksplisit, teks al-Qur’an juga banyak memberikan rambu-rambu. Konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam tercermin dalam QS At-Taubah : 71-72, QS al-Baqarah : 187, QS Al-Ahzab : 35, dan QS Al-Mu’minun :40, bahwa

(18)

Dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaannya. Sebagai manusia, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah, mereka dimuliakan sebagai keturunan Adam, diciptakan untuk menjadi hamba yang harus beribadah kepada-Nya, dan khalifah-Nya yang harus memakmurkan bumi (Purwaningsih, 2009: 68).

Di kalangan ulama sendiri timbul perbedaan pendapat antara

memperbolehkan dan tidak memperbolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan ada beberapa ulama yang menjadikan surat

An Nisaa' ayat 34 yang artinya "laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan..." sebagai dalil untuk melarang kepemimpinan perempuan. Pada ajaran agama Islam, perempuan mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak melupakan fungsi dan kedudukannya sebagai perempuan. Islam membebaskan perempuan dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Tidak ada perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, sebab sebagian mereka berasal dari sebagian yang lain, laki-laki dari perempuan dan perempuan dari laki-laki (Fauzi, 2008: 13).

Kenyataannya, masih terdapat perdebatan tentang jabatan-jabatan

(19)

perempuan yang berani memasuki area maskulinitas dan berani tampil di sektor publik. Tidak jarang pula kaum pria yang ikut mengerjakan tugas perempuan di sektor domestik.

Di dalam organisasi kemahasiswaan, kesetaran gender sudah menjadi wacana yang tidak asing lagi. Kesetaraan gender menjadi dasar semua aktifitas kegiatan keorganisasian. Pentingnya wacana kesetaran gender adalah untuk mengingatkan kepada seluruh anggota organisasi yang di dalamnya terdapat kaum perempuan dan laki-laki, agar di dalam semua aktifitas dan peran masing-masing anggota tidak menimbulkan ketidakadilan pada kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini tentu merupakan persoalan yang sangat penting mengingat paradigma pembangunan yang sekarang sedang digencarkan adalah paradigma pembangunan yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, artinya pembangunan belum berhasil ketika masalah-masalah ketidakdilan gender masih ada.

(20)

Seringkali arah kebijakan dan aturan dasar organisasi tidak sesuai dengan nilai-nilai yang menjunjung kesetaraan gender. Kebijakan yang melanggengkan kultur patriarkhi diantaranya; perempuan selalu ditempatkan pada sekretaris, seksi konsumsi, dan pengurus dapur, dan sebagainya. Contoh ketidakdilan tersebut merupakan kenyataan yang terjadi dalam organisasi, terutama ketika melaksanakan kegiatan praktis seperti pelantikan anggota baru, dan lain-lain.

Dari informasi awal yang diperoleh, terdapat fenomena yang kurang baik, antara lain setiap kali diadakan pemilihan ketua umum baru, para anggota yang nantinya akan memilih diarahkan untuk memilih salah satu calon ketua yang sebelumnya telah dipilih oleh para pengurus harian, dimana calon ketua yang telah disepakati untuk dipilih ini biasanya adalah laki-laki, meskipun terdapat calon-calon lain yang notebene tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Hal ini dikarenakan masih adanya anggapan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam menjalankan berbagai aktivitas apabila menduduki jabatan sebagai ketua umum dalam organisasi.

(21)

perempuan dalam organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dirasakan masih sulit untuk dapat menduduki jabatan sebagai ketua umum. Berbeda halnya apabila perempuan menduduki jabatan sebagai ketua bidang, yang dirasakan lebih mudah bagi perempuan untuk menjabat sebagai kepala bidang. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang bias gender dalam struktur organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Budaya masyakarat Indonesia yang relatif masih berbudaya patriarkhi

yang kental, memungkinkan kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi pada banyak sisi kehidupan.

2. Terdapat marginalisasi perempuan dalam memimpin organisasi, karena perempuan dianggap kurang kompeten serta kurang memiliki jiwa sebagai seorang pemimpin atau ketua organisasi.

3. Kultur patriarkhi yang masih melekat dalam setiap kebijakan pembentukan kegiatan yang dilaksanakan pengurus organisasi, menyebabkan terjadi bias gender dan marginalisasi perempuan. 4. Masih adanya subordinasi terhadap peran aktivis mahasiswa

(22)

5. Adanya ketimpangan peran sosial yang berdasarkan gender dengan dalih doktrin agama, yang umumnya masih di anut sebagian masyarakat, termasuk masyarakat kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

6. Masih terdapat bias gender dalam melihat status dan peran perempuan dalam penempatan pada struktur organisasi mahasiswa, seperti yang terjadi di organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

7. Adanya kegiatan program kerja yang dilaksanakan dalam struktur organisasi, aktivis mahasiswa perempuan hanya ditempatkan di wilayah domestik.

8. Terdapat faktor yang menyebabkan bias gender dalam organisasi KAMMI.

9. Adanya bias gender dalam organisasi membawa dampak bagi para anggotanya.

C. Batasan Masalah

(23)

organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah diatas, maka peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta?

2. Apa saja faktor yang menyebabkan bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta?

3. Apa saja dampak bias gender dalam struktur organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap para anggotanya?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

(24)

2. Untuk mengetahui faktor faktor yang menyebabkan bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. Untuk mengetahui apa saja dampak bias gender dalam organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap para anggotanya.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap kajian Sosiologi Gender mengenai bias gender dalam organisasi.

b. Dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian yang akan datang. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

(25)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk referensi dan sumber informasi serta menambah wawasan mengenai bias gender.

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Tentang Gender

1. Pengertian Gender

Konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui (Fakih, 2013: 8).

(27)

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, perkasa, tegas, dan rasional. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 2013: 9). Gender tidak sekadar merujuk pada perbedaan biologis semata, tetapi juga perbedaan perilaku, sifat, dan ciri-ciri khas yang dimiliki laki-laki atau perempuan. Lebih jauh, istilah gender menunjuk pada peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Fayumi, 2001: 57).

(28)

sebagainya – secara bersama-sama memoles “peran gender” kita (Mosse. 2007: 3). Gender tidak akan dapat dipahami secara sederhana hanya dengan membedakan kategori sex, yaitu laki-laki atau wanita. Gender adalah persoalan nonkodrati, menyangkut pembedaan tugas, fungsi, dan peran yang diberikan oleh masyarakat/budaya terhadap laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial (Umar, 2002: 167). Biasanya, gender dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat untuk laki-laki dan perempuan sehingga sebenarnya gender merupakan interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin, bukan alami dan bukan takdir Tuhan.

(29)

2. Ideologi Gender

Pemikiran mengenai relasi gender akan dipengaruhi oleh pemikiran dunia yang mendasarinya. Pandangan dunia tersebut pada gilirannya menciptakan upaya (cita-cita) pemahaman-pemahaman yang bersifat ideologis. Ideologi gender dapat dikenal dari aliran-aliran feminis mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan. Terdapat beberapa aliran feminisme yang berkembang, antara lain:

a. Feminisme Liberal

Aliran ini berasumsi bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan berakar pada perbedaan rasionalitas diantara mereka. Kemampuan rasionalitas perempuan dikatakan lebih lemah dibandingkan kaum laki-laki, sehingga perempuan menjadi tersubordinasi, tertindas dipelbagai lapangan kehidupan dan satuan kebudayaan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan akses dan pendidikan/SDM perempuan dan laki-laki oleh sebab itu maka agenda aksi yang dilakukan adalah memberi pendidikan pada kaum perempuan.

b. Feminisme Radikal

(30)

membongkar struktur sistem budaya patriarkhi tersebut, dengan program-program yang melibatkan secara langsung peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik.

c. Feminisme Marxis

Aliran ini berasumsi bahwa penindasan yang dialami kaum perempuan bersumber dan merupakan bagian eksploitasi kelas dalam cara produksi. Mereka berpendapat jatuhnya status perempuan bermula dari perubahan teknologi produksi yang pada akhirnya melahirkan organsasi kekayaan atau organisasi kepemilikan. Perubahan produksi yang mulanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi diperuntukkan pertukaran (pasar). Karena laki-laki mengontrol alat produksi untuk pertukaran tersebut, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan perempuan direduksi menjadi bagian dari kekayaan dan modal. Sehingga perempuan tersubordinat, seperti perempuan hanya menjadi tenaga kerja/buruh murah. Disini terdapat pertentangan kelas, laki-laki kelas pemilik modal (kekayaan) dan perempuan kelas pekerja (buruh). Adapun agenda aksi yang dilakukan adalah perlawanan terhadap kelas pemilik modal tersebut.

d. Feminisme Sosialis

Aliran ini berasumsi penindasan perempuan tidak hanya terjadi pada tatanan pertentangan kelas, melainkan adanya juga sistem

(31)

patriarkhi yang mengutamakan laki-laki. Masyarakat telah cukup lama terhegomoni oleh nilai-nilai yang bias gender tersebut. Hal yang seharusnya dilakukan dianggap sebagai kodrat perempuan, seperti mengasuh anak, melayani suami, menjadi pengurus rumah tangga dan sebagainya. Oleh sebab itu agenda aksi yang dijalankan para penganut aliran ini adalah membantu kesadaran kelas dan meningkatkan kualitas dan kuantitas keterlibatan kaum perempuan dalam setiap pengambilan keputusan.

B. Kesetaraan Gender

(32)

Patriarkhi menjadi faktor yang sulit diatasi untuk meningkatkan kesetaraan gender terhadap perempuan.

(33)

Menurut Riant Nugroho (2011: 29), kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan pertahanan dan keamananan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati pembangunan.

Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupuan perempuan. Dengan kata lain kesetaran gender dapat dikatakan sebagai persamaan hak dan derajat bagi kaum perempuan. Kesetaraan gender merupakan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam aktifitas kehidupan baik keluarga, masyarakat, dan bernegara. Keadilan gender merupakan proses menuju setara, selaras, seimbang, serasi, dan tanpa diskriminasi (Ch, 2003: 4-6).

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menurut perspektif Islam adalah kesetaraan dalam hal-hal yang mutlak. Sedangkan hal-hal yang bersifat relatif akibat perbedaan keduanya dalam beberapa pengecualian adalah bertujuan untuk menyempurnakan keduanya dalam merealisasikan kekhalifahan, dan menjadi standar ukuran dari kesetaraan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang dipikul keduanya dalam hubungan keimanan dan kekerabatan teologi (Sa’dawi, 2002: 132). Prinsip-prinsip kesetaraan

(34)

dan perempuan sebagai hamba (‘abd) Allah dan sebagai wakil Allah di bumi (khalifah Allah fi al-ardh) (Mubarak, 2006: 51).

Kesetaraan dan keadilan gender merupakan kondisi dimana porsi siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, seimbang, dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud jika terdapat perlakuan adil antara laki-laki dan perempuan. Persoalan kesetaraan gender yang paling mendasar adalah bahwa belum semua perempuan memiliki atribut-atribut sosial yang mendukung pemberdayaan dalam meraih kesetaraan berperan. Upaya yang paling tepat dilakukan untuk mensosialisasikan kesetaraan gender salah satunya adalah perencanaan pembangunan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan peran gender dan ketergantungan antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu hal yang dapat diubah dan akan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan.

(35)

struktur ekonomi, hubungan budaya, struktur politik dimana saling mendominasi perempuan menuju struktur yang membebaskan. Dalam konsep kesetaraan gender di sini, perempuan diberi hak dan kewajiban yang sama guna mengembangkan kualitas diri.

C. Teori Struktural Fungsional

Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Pemikiran teori ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, dapat diartikan bahwa teori ini adalah semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya dengan baik. 1. Struktural Fungsional Talcott Parsons

Menurut Parsons, terdapat 4 fungsi penting yang diperlukan oleh semua sistem, yang dikenal dengan skema “AGIL” (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency). Agar tetap bertahan, suatu sistem memerlukan empat fungsi ini:

a. Adaptation (Adaptasi): suatu sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

b. Goal attainment (Pencapaian Tujuan): sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.

(36)

juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,L).

d. Latency (Latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memlihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi (Ritzer, 2007: 121).

Parsons mencontohkan bagaimana penggunaan skema AGIL dalam bahasan tentang empat sistem tindakan, yakni sebagai berikut. a. Organisasi perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan

fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menjalankan fungsi interasi dengan mengendalikan setiap komponennya. Dan sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola.

(37)

Cara pandang Parsons secara sistem ini dan aliran fungsionalis yang dipegangnya melahirkan persyaratan sebuah sistem agar berkelanjutan:

1) Sistem harus terstruktur agar bisa menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampu harmonis dengan sistem lain. 2) Sistem harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem

lain.

3) Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara proporsional.

4) Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para aktornya.

5) Sistem harus mampu untuk mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.

6) Bila terjadi konflik menimbulkan kekacauan harus dapat dikendalikan.

7) Sistem harus memiliki bahasa.

(38)

d. Sistem kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat sistem, kultur menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial.

2. Fungsional Struktural Robert Merton

Merton menjelaskan bahwa struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kultur. Ia menyatakan bahwa, setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural-fungsional tentu mencerminkan hal yang standar (artinya terpola dan berulang). Sasaran studi struktural-fungsional antara lain: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya (Ritzer, 2007; 137).

Struktural fungsional berkaitan erat dengan struktur yang tercipta dalam masyarakat, dimana setiap masyarakat diibaratkan sebagai sebuah struktur dan setiap individu mempunyai peran sebagai bagian yang saling berhubungan untuk menjalankan stuktur tersebut. Dimana setiap struktur tidak mungkin akan berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya apabila setiap bagiannya saling terpisah dan tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganut sistem

(39)

besar kaum perempuan untuk dapat keluar dari bidang domestik dan berperan serta dalam bidang politik, seperti halnya menjadi pemimpin, dan menyebabkan ketidakadilan serta ketidaksetaraan gender. Ketidaksetaraan gender seringkali terjadi dalam organisasi mahasiswa. Ketidaksetaraan ini menimbulkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.

Kurangnya akses dan kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri dalam pengambilan keputusan bahkan menjadi pemimpin, membuat perempuan lebih memilih untuk bersikap pasif. Permasalahan ini akan dikaji melalui teori struktural fungsional dimana dalam setiap organisasi diperlukan adanya kerjasama antar masing-masing bagian atau struktur yang saling berkaitan untuk menjalankan sebuah fungsi, termasuk didalamnya untuk menjalankan sebuah fungsi organisasi.

Maka dari itu, teori struktural fungsional digunakan untuk menjelaskan mengenai akses dan kesempatan bagi perempuan untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin, faktor pendukung dan penghambat bagi perempuan dalam mengaktualisasikan diri dalam setiap kegiatan organisasi, serta dampak dari implementasi kesetaraan gender bagi para anggota organisasi.

D. Organisasi KAMMI

(40)

reformasi yaitu pada tanggal 29 Maret 1998 di Malang. Anggotanya sendiri tersebar di hampir seluruh PTN (Perguruan Tinggi Negeri)/PTS (Perguruan Tinggi Sipil) di Indonesia. Organisasi ini bersifat terbuka dan independen dengan status sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) kemahasiswaan ekstra kampus. Struktur organisasi terdiri atas KAMMI Pusat, KAMMI daerah, dan KAMMI Komisariat.

KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berasal dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktifis dakwah kampus. Organisasi ini dibentuk karena terdapat keprihatinan di kalangan mahasiswa yang tergabung dalam LDK (Lembaga Dakwah Kampus) terhadap kondisi negara Indonesia saat itu serta mahasiswa yang merasa diperlukannya sebuah wadah yang mengkonsentrasikan aksi pada agenda politik.

(41)

sebagai berikut (Saifulloh, http://www.kammi-uinsuka.com/p/filosofi-kammi_31.html).

1. Membina keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim Indonesia.

2. Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan politik mahasiswa.

3. Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang rabbani, madani (civil society).

4. Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan kerakyatan dan kebangsaan.

5. Mengembangkan kerjasama antar elemen masyarakat dengan semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar)

E. Penelitian Relevan

Penelitian yang serupa dengan topik yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Miftahudin, Nur Hidayah, dan Supardi (2008). Dengan judul Sensitivitas dan Aplikasi Kesetaraan Gender di Organisasi Kemahasiswaan Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut, lebih mengkaji tentang komposisi keterlibatan pengurus berdasarkan jenis kelamin, program maupun kegiatan yang terkait dengan wacana gender, akses dan kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan di organisasi, kesempatan perempuan dan laki-laki dalam memperoleh kedudukan di organisasi, dan kepemimpinan dalam organisasi.

(42)

tempat penentuan suatu kajian. Satuan kajian dalam penelitian ini merupakan subyek penelitian yaitu 27 organisasi mahasiswa yang terdiri atas 4 BEM fakultas, 15 HIMA, dan 8 UKM. Teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling atau menggunakan sampel bertujuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana gender sebagian besar sudah diakses oleh organisasi mahasiswa yang menjadi subyek penelitian. Hanya 9 organisasi yang benar-benar melakukan kegiatan terkait dengan wacana gender, sedangkan 18 organisasi lainnya belum pernah melakukannya. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kegiatan praktis kepanitiaan perempuan masih sering ditempatkan untuk mengurusi hal-hal yang masih bersifat domestik, sedangkan laki-laki sebaliknya. Dalam kepemimpinan organisasi, masih diutamakan laki-laki yang memegang jabatan penting.

(43)

dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Anggun Kusuma Wardani (2010). Dengan judul Peran Aktivis Mahasiswa Perempuan dalam Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa FISE UNY 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran aktivis mahasiswa perempuan dan peran perempuan dalam organisasi. Pendekatan metode dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif, dengan teknik

(44)

3. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Yogi Aprianto (2013). Dengan judul Peran Kesetaraan Gender dalam Organisasi Islam: Studi Pada Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Yoyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran kesetaraan gender Aisyiyah Kota Yogyakarta dalam organsiasi Muhamadiyah, faktor pendukung dan penghambat peran kesetaraan gender Aisyiyah dalam organisasi Muhamadiyah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran kesetaraan gender Aisyiyah Yogyakarta dalam organisasi Muhamadiyah yaitu sebagai mitra dalam setiap kegiatan dan pada rapat pleno pengambilan keputusan.

(45)

kesamaannya yaitu sama-sama meneliti mengenai kesetaraan gender dalam organisasi Islam. Persamaan lainnya yaitu penelitian ini sama-sama mengunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik purposive sampling. Adapun perbedaannya terletak pada organisasi yang berbeda yaitu Aisyiyah dan KAMMI, serta objek penelitian yang berbeda, dimana penelitian Wahyu Yogi Apriyanto meneliti mengenai peran kesetaraan gender, sementara penelitian ini meneliti mengenai bias kesetaraan gender.

F. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dijadikan pijakan atau pedoman dalam menentukan tujuan penelitian, hal ini berfungsi agar penelitian tetap terfokus pada kajian yang akan diteliti. Alur kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Organisasi KAMMI merupakan suatu organisasi mahasiswa yang berdasarkan pada landasan keagamaan yang cukup kuat walaupun aksi daripada organisasi ini lebih mengutamakan pada agenda politik. Selain itu, karena organisasi ini merupakan organisasi dimana agenda kerjanya tidak dibatasi oleh waktu, dan menuntut para anggotanya untuk melakukan aktivitas dalam berbagai kondisi.

(46)

kondisi yang rawan akan ketidaksetaraan gender seperti stereotype, marginalisasi, pembagian kerja, dan akses perempuan untuk menjadi pengurus atau pemimpin, bukan sekedar menjadi anggota dari organisasi tersebut.

Dalam penelitian ini juga akan dilihat faktor yang menyebabkan bias gender dalam organisasi, serta dampak apa yang dirasakan oleh para anggota dengan adanya bias gender tersebut dalam kehidupan organisasi.

Bagan 1: Kerangka Berpikir

Organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2015

Pembagian tugas dan pengambilan keputusan Akses dan kesempatan

Bias gender

Perempuan Laki-laki

Faktor penyebab

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Bentuk Penelitian

Sesuai dengan topik yang diangkat oleh penulis, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metodologi kualitatif sebagai produser penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu kebutuhan (Moleong, 2005: 4).

(48)

B. Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengambil lokasi di organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada organisasi tersebut dikarenakan ingin melihat gambaran tentang aktifitas organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta apakah didalam pelaksanaan kegiatannya masih mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bias gender terhadap para anggota organisasi tersebut. Sedangkan lingkup yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah para anggota organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang masih menjabat sebagai anggota maupun pengurus organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

C. Waktu Penelitian

Penelitian tentang Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, telah dilaksanakan selama kurang lebih 3 (tiga) bulan, yaitu terhitung mulai tanggal 28 Februari 2015 - 30 Mei 2015. D. Teknik Pengumpulan Data

(49)

1. Observasi

Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi merupakan proses yang kompleks, yang tersusun dari proses biologis dan psikologis. Dalam menggunakan teknik observasi yang terpenting ialah mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti (Sugiyono, 2010: 224). Observasi langsung dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama obyek yang diselidikinya.

Observasi tersebut dilakukan di organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam organisasi KAMMI tersebut terdapat anggota dan kepengurusan yang mempunyai berbagai spesifikasi. Peneliti ingin memaparkan bagaimana aktifitas kegiatan pada masing-masing anggota maupun para pengurus organisasi KAMMI apakah didalam aktifitas mereka masih ada kegiatan yang bias gender hal ini perlu dikaji dengan observasi atau pengamatan. 2. Wawancara

(50)

Wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara langsung yang dilakukan oleh peneliti terhadap informan terkait dengan bias gender dalam struktur organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Wawancara tersebut dilakukan dengan wawancara mendalam, yaitu bertanya dengan pertanyaan yang sejelas-jelasnya dan mengena, sehingga data dapat digali dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan data akan diperoleh sesuai dengan masalah yang ada.

3. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. Dokumentasi dalam penelitian ini didapat dari perangkat pengurus organisasi KAMMI, yaitu berupa AD/ART KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga itu sendiri dan data-data lain yang menunjang bisa didapat dari internet, foto, dan lainnya yang sangat berguna dalam proses penelitian ini. E. Penentuan Informan Penelitian

(51)

benar-benar dapat mewakili terhadap penelitian. Jika sudah terjadi pengulangan informasi, maka penarikan sampel harus diakhiri. Dalam penelitian ini informan yang dipilih sebagai obyek penelitian ini adalah pengurus inti dan pengurus harian KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta anggota tetap KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

F. Validitas Data

Validitas berkaitan dengan permasalahan “instrumen yang dimaksudkan untuk mengukur sesuatu itu memang dapat mengukur secara tetap sesuatu yang akan diukur tersebut”. Validitas penting untuk dilakukan agar data yang diperoleh di lapangan pada saat penelitian dilakukan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada empat cara yang dilakukan peneliti dalam validitas ini, yaitu:

1. Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu lain diluar data itu guna keperluan pengecekan atau pembandingan terhadap data tersebut (Arikunto, 1993: 330). Dalam teknik ini penemuan data tidak secara langsung digunakan tetapi perlu membandingkan dan mengecek kepercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan data hasil observasi (pengamatan) dengan hasil wawancara.

(52)

yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci (Arikunto, 1993: 330). Pengamatan yang dilakukan adalah dengan teliti dan rinci serta berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol untuk kemudian ditelaah secara rinci sehingga bisa dipahami.

3. Diskusi dengan rekan. Teknik ini dilakukan dengan cara

mendiskusikan dengan rekan-rekan dalam bentuk diskusi analitik seingga kekurangan dari penelitian ini dapat segera diungkap dan diketahui agar penelitian mendalam dapat segera ditelaah. Melalui tukar-menukar informasi maka peneliti akan mendapat masukan yang positif terhadap penelitian yang dilakukan.

G. Teknik Analisis Data

(53)

Bagan 2: Model Analisis Miles dan Huberman

1. Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi dicatat dalam catatan lapangan yang terdiri dari dua aspek, yaitu deskripsi dan refleksi. Catatan deskripsi merupakan data alami yang berisi tentang apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disaksikan, dan dialami sendiri oleh peneliti tanpa adanya pendapat dan penafsiran dari peneliti tentang fenomena yang dijumpai. Sedangkan catatan refleksi yaitu catatan yang memuat kesan komentar, dan tafsiran peneliti tentang temuan yang dijumpai dan merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk tahap berikutnya. Untuk mendapatkan catatan ini maka peneliti harus melakukan wawacara dengan berbagai informan.

2. Reduksi Data

Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan penulis di lapangan. Reduksi sudah dimulai sejak

Reduksi Data

Verifikasi/ Penarikan Pengumpulan

data

(54)

peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual tentan pemilihan kasus, pernyataan yang diajukan dan tentang cara pengumpulan data yang dipakai. Pada saat pengumpulan data berlangsung, reduksi data dapat berupa singkatan, coding, memusatkan tema, membuat batasan permasalahan, menuliskan memo. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung dan merupakan bagian dari analisis.

3. Penyajian Data

Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang sumber kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Agar sajian datanya tidak menyimpang dari pokok permasalahan maka sajian diwujudkan dalam bentuk matriks, grafis, jaringan atau bagan sebagai wadah panduan informasi tentang apa yang terjadi. Data disajikan sesuai dengan apa yang diteliti.

4. Penarikan Kesimpulan

(55)
(56)

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Deskripsi Data

1. Profil Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia atau yang biasa disingkat KAMMI, merupakan organisasi yang didirikan pada tanggal 1 Dzulhijjah 1418 atau bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1998. KAMMI ini merupakan cikal bakal berdirinya KAMMI-KAMMI lain di seluruh daerah di Indonesia, salah satunya adalah KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga sendiri berdiri pada tanggal 29 April 2000, organisasi ini merupakan salah satu bagian dari organisasi besar KAMMI.

(57)

masyarakat akan perlunya wadah bagi pembangunan kepemimpinan di kalangan pemuda terutama mahasiswa.

KAMMI berperan sebagai wadah dan mitra bagi mahasiswa Indonesia yang ingin menegakkan keadilan dan kebenaran dalam wadah negara hukum Indonesia melalui tahapan pembangunan nasional yang sehat dan bertanggung jawab. KAMMI mengambil peran sebagai mitra bagi masyarakat dalam upaya-upaya pembangunan masyarakat sipil, demokratisasi dan pembangunan kesatuan/ persaudaraan umat dan bangsa melalui pendampingan/advokasi sosial, kritisi/konstruktif terhadap kebijakan negara yang memarginalisasi masyarakat.

(58)

Kedua, kesepakatan di komisi pada acara FS LDK Nasional ke X yang berintikan diperlukannya koordinasi dan konsolidasi antar kampus, khususnya LDK, guna membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral terhadap pemerintah. Pada rapat pleno FS LDK tersebut juga disepakati dibentuknya wadah yang dapat mengkoordinasikan dan menyatukan berbagai LDK dan wadah tersebut harus berdiri sendiri dan tidak berada dalam FS LSK. Lembaga tersebut dibutuhkan sebagai wadah yang mengkonsentrasikan pada agenda politik. Wadah aksi ini dimaksudkan untuk berperan aktif dalam proses perubahan dan perbaikan. Seperti pada umumnya, KAMMI dalam menjalankan aktivitasnya juga memiliki komponen yang bertujuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi kelembagaan, kemasyarakatan, dan fungsi-fungsi lainnya.

a. Struktur Organisasi

(59)

dari para Pengurus Harian serta anggota-anggota KAMMI Komisariat yang telah mengikuti Daurah Marhalah II (DM II). Adapun struktur pengurus harian KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014-2015 adalah sebagai berikut:

(60)

b. Visi dan Misi

KAMMI komisariat Sunan Kalijaga periode tahun 2014-2015 selayaknya organisasi-organisasi lain, tentu memiliki visi dan misi sebagai acuan untuk melaksanakan program kerjanya.

 Visi

“Wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami”.

 Misi

1) Membina keislaman, keimanan, dan ketakwaan mahasiswa muslim Indonesia.

2) Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, politik, dan kemandirian ekonomi mahasiswa.

3) Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara.

4) Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang

rabbani, madani, adil, dan sejahtera.

5) Mengembangkan kerjasama antar elemen bangsa dan negara dengan semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).

c. Keanggotaaan

(61)

ingin meningkatkan status dan jabatan dalam KAMMI maka dapat mengikuti Daurah selanjutnya yaitu Daurah Marhalah 2 (DM 2), dan Daurah Marhalah 3 (DM 3). Anggota KAMMI terdiri atas Anggota Biasa dan Anggota Kehormatan. Anggota Biasa KAMMI terdiri dari beberapa jenjang, yaitu Anggota Biasa I, Anggota Biasa II, dan Anggota Biasa III. Ada beberapa syarat agar bisa diterima menjadi anggota KAMMI yaitu:

1) Yang dapat diterima menjadi Anggota Biasa adalah:

 Mahasiswa muslim Indonesia.

 Berusia setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) tahun.

 Menyatakan secara tertulis kesediaan keanggotaannya

kepada pengurus KAMMI Komisariat setempat. 2) Yang dapat ditetapkan menjadi Anggota Biasa adalah:

 Memenuhi persyaratan pada ayat (1).

 Lulus Daurah Marhalah I.

Dalam organisasi diatur masa keanggotaan untuk anggota biasa, yaitu sebagai berikut:

1) Sejak dinyatakan lulus Daurah Marhalah 1 (satu) hingga 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya masa studi S-0 (diploma dan Non Gelar).

(62)

3) 2 (dua) tahun bagi anggota biasa yang menempuh pendidikan di jenjang kependidikan pasca sarjana (S-2 dan S-3).

4) Masa keanggotaan Anggota Biasa, berakhir di usia 30 tahun. Anggota Biasa KAMMI terdiri dari beberapa jenjang, yaitu: 1. Anggota Biasa 1

Yang menjadi Anggota Biasa 1 adalah anggota yang telah lulus Daurah Marhalah 1 (DM 1). Anggota Biasa 1 (AB 1) biasanya terdapat di komisariat sebagai syarat untuk menjadi anggota KAMMI Komisariat.

2. Anggota Biasa 2

Anggota Biasa 2 adalah anggota yang telah lulus Daurah Marhalah 2 (DM 2). Anggota Biasa 2 (AB 2) biasanya menduduki jabatan diatas KAMMI Komisariat. AB 2 banyak menduduki jabatan di KAMMI Daerah.

3. Anggota Biasa 3

Anggota Biasa 3 adalah angota yang yang telah lulus

Daurah Marhalah 3 (DM 3). Anggota Biasa 3 (AB 3) biasa berkiprah dalam pemerintahan yang lebih tinggi.

Sementara untuk prosedur penetapan menjadi anggota kehormatan, diatur sendiri dalam ketetapan organisasi.

(63)

berpartisipasi, hak memilih dan dipilih dalam permusyawaratan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam ketetapan organisasi, dan hak mengikuti proses pengkaderan yang diselenggarakan. Sementara untuk Anggota Kehormatan mempunyai hak mengeluarkan pendapat dan mengajukan saran atau pertanyaan. Anggota organisasi KAMMI mempunyai kewajiban dalam organisasi. Untuk Anggota Biasa mempunyai kewajiban:

1) Mematuhi Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) dan ketetapan organisasi.

2) Berpartisipasi dalam kegiatan organisasi. 3) Menjaga dan menjunjung nama baik organisasi. 4) Membayar uang pangkal dan iuran anggota.

Sementara untuk Anggota Kehormatan mempunyai kewajiban : 1) Mematuhi Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga

(ART), dan ketetapan organisasi. 2) Berpartisipasi dalam kegiatan organisasi. 3) Menjaga dan menjunjung nama baik organisasi.

(64)

UIN Sunan Kalijaga periode 2014-2015 berjumlah 16 orang, terdiri dari 6 laki-laki dan 10 perempuan.

KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki sistem yang berbeda dari KAMMI Komisariat lainnya dalam hal pengelolaan anggotanya. Dalam KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta terdapat rumpun-rumpun yang membawahi anggota-anggota di bawah struktur Pengurus Harian. Rumpun di KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terbagi menjadi dua rumpun yaitu Rumpun Ibnu Khaldun dan Rumpun Ibnu Khaitam. Struktur masing-masing rumpun terdiri dari Ketua Rumpun, Departemen Pengkaderan Rumpun dan Madrasah Intelektual.

(65)

Tujuan dibentuknya rumpun-rumpun dalam KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah untuk memudahkan koordinasi ke pusat (ketua KAMMI Komisariat). Selain itu juga untuk memberdayakan memberikan ruang bagi kader untuk mengembangkan diri dan memberikan kontribusi untuk organisasi walaupun tidak termasuk dalam pengurus harian dalam Komisariat.

2. Deskripsi Informan a. IL

IL merupakan ketua umum KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga periode tahun 2014-2015. IL merupakan mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2011. Tugas yang dimiliki IL sebagai seorang ketua adalah menjadi koordinator, motivator, dan mobilisator pengurus KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga. Ketua umum juga memiliki tugas untuk mengawasi jalannya kegiatan pengurus KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga. b. RI

(66)

Pengembangan Organisasi (PO), RI bertugas mengembangkan organisasi dalam upaya mewujudkan visi dan misi gerakan organsasi.

c. NA

NA menjabat sebagai Ketua Madrasah Intelektual Rumpun Ibnu Khaldun. NA merupakan mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2013. Sebagai Ketua Madrasah Intelektual Rumpun Ibnu Khaldun, NA bertugas mengadakan pengkajian keilmuan dengan menciptakan kultur akademis yang kritis dalam organisasi.

d. IN

IN merupakan staff Pengembangan Organisasi KAMMI periode 2014-2015. IN adalah mahasiswi jurusan Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. IN memiliki pengetahuan dan gambaran mengenai kepengurusan dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta karena sebelumnya IN pernah menjabat sebagai ketua departemen dalam kepengurusan KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga sebelumnya dan ikut aktif dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

e. ER

(67)

Koordinator Biro Ekonomi KAMMI UIN Sunan Kalijaga periode tahun 2014-2015. Sebagai Koordinator Biro Ekonomi, ER bertugas untuk mengatur keuangan dalam organisasi KAMMI Komisariat serta mengumpulkan dana guna menunjang kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh KAMMI.

f. NU

NU merupakan mahasiswi UIN Sunan Kalijaga jurusan Ilmu Perpustakaan angkatan 2012. NU merupakan anggota KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga yang menjabat sebagai Kepala Departemen Pengkaderan Rumpun Ibnu Khaldun. Sebagai Kepala Departemen Pengkaderan Rumpun Ibnu Khaldun, NU bertugas untuk merekrut anggota-anggota baru, serta melakukan pembinaan, penjagaan, dan pengembangan anggota-anggota rumpun.

g. RY

RY merupakan mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Muamalat angkatan 2012. RY menjabat Ketua Rumpun Ibnu Khaldun KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagai Ketua Rumpun Ibnu Khaldun, NU mempunyai tugas untuk mengatur dan mengambil keputusan dalam wilayah rumpun Ibnu Khaldun.

h. WI

(68)

KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014-2015, WI menjabat sebagai Kepala Biro Kesekretariatan yang bertugas menginventaris dan mendokumentasi surat-surat, menyediakan pelengkapan, serta menginvenatris barang-barang KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

B. Pembahasan

1. Bias Gender Dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015

Bias gender merupakan ketidakjelasan pemahaman masyarakat atau individu mengenai perbendaan antara jenis kelamin (biologis) dengan gender (konstruksi sosial budaya). Masyarakat yang menganggap jenis kelamin dengan gender memiliki pengertian yang sama, akan meyakini bahwa sifat feminim dan maskulin berasal dari sifat dasar biologis yang sudah menjadi bawaan sejak lahir.

Pandangan seperti itu berdampak pada persepsi masyarakat yang

(69)

Hal-hal yang sudah dilekatkan sebagai sifat, hak, dan kewajiban laki-laki maupun perempuan menjadi pondasi untuk mengatur peranan sosial seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat menentukan apa yang pantas dan yang tabu dilakukan oleh seseorang yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan peranan sosial berpotensi melahirkan ketidakadilan gender, ketika perbedaan tersebut telah merugikan salah satu jenis kelamin.

Pernyataan akan kesetaraan gender dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, nyatanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dalam organisasi. Kesetaraan gender dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masih dibatasi pada hal-hal tertentu, sehingga kesetaraan gender yang selama ini dipercaya telah diterapkan dalam organisasi, dalam kenyataannya masih jauh dari kesetaraan gender dan masih bias gender dalam pelaksanaannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan tidak tertulis bahwa perempuan dilarang menduduki jabatan ketua umum. Jabatan sebagai ketua umum masih menjadi jabatan yang mutlak diperuntukkan untuk kaum laki-laki. Hal ini didasarkan pada pemahaman agama yang menyatakan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Hal ini seperti disebutkan oleh informan IL sebagai berikut, “...Kecuali ketua umum itu, itu sudah

(70)

tapi memang kita ya... seperti apa yang kita tahu di dalam al Qur’an ya

gitu, dari sananya ya kita tafsirkan ya laki-laki.” (hasil wawancara

dengan IL, tanggal 25 Februari 2015, pukul 13.00 WIB).

Pernyataan informan IL tersebut juga di dukung oleh pernyataan yang disampaikan oleh informan NA, “...memang untuk masalah pemimpin, setiap selama masih ada laki-laki yang bisa memimpin diutamakan laki-laki itu sendiri.” (hasil wawancara dengan NA, tanggal 25 Februari 2015, pukul 13.20 WIB). Selama masih ada laki-laki, setinggi-tingginya jabatan perempuan dalam organisasi, tampuk jabatan tertinggi masih dipegang oleh laki-laki.

Posisi perempuan yang dianggap lebih lemah dibandingkan laki-laki menjadikan kesempatan perempuan dalam mengaktualisasikan diri menjadi ketua umum terhambat. Perempuan dianggap tidak mempunyai kebebasan dalam bertindak sebagaimana laki-laki. Pandangan dan sikap bias gender ini yang kemudian menghambat kesetaraan gender dalam suatu kelompok.

Meskipun dalam AD/ART disebutkan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk berkontribusi dalam organisasi, namun dalam kenyataannya, perempuan masih sedikit tersisihkan untuk tepilih menempati jabatan sebagai ketua umum. Hal ini seperti diungkapkan oleh informan WI, ”...Jadi ketika memang ada

(71)

pasti seperti itu”. (hasil wawancara dengan WI, tanggal 28 Maret 2015, pukul 16.32 WIB).

Walaupun perempuan diikutsertakan menjadi calon dalam pemilihan bakal ketua umum organisasi, hasil akhirnya tetap tidak akan menempatkan perempuan untuk menjadi calon terpilih sebagai ketua umum. Hal ini dikarenakan sebagian besar pemegang hak pilih akan langsung memilih bakal calon laki-laki untuk didaulat sebagai pemimpin organisasi, walaupun bakal calon ketua perempuan yang dicalonkan juga mempunyai kualifikasi yang sama dengan bakal calon yang laki-laki. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh informan RY, “...misalnya yang menjadi bakal calon ketua misalnya. Itu ada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan ada. Perempuanpun bahkan dijadikan bakal calon. Tetapi ketika dipilih, maka semua secara otomatis memilih yang laki-laki gitu dan mengabaikan yang perempuan.” (hasil wawancara dengan RY, tanggal 25 Maret 2015, pukul 15.57 WIB).

(72)

Aliran Feminisme Radikal menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan berakar dari sistem budaya patriarkhi, sebab oleh masyarakat laki-laki dianggap sebagai kategori sosial tinggi, mampu mendominasi kaum perempuan yang dianggap mempunyai kategori sosial lebih rendah, karena itu laki-laki memiliki privilege terhadap kekuasaan dan ekonomi yang lebih besar dibandingkan perempuan. Dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta budaya patriarkhi memang masih membayangi dalam setiap kegiatan organisasi.

Laki-kaki dianggap lebih mumpuni dan dapat bergerak lebih bebas dalam menduduki jabatan sebagai ketua umum dibandingkan dengan perempuan. Walaupun perempuan diberikan akses dan kesempatan sebebas-bebasnya untuk mengeksplor potensi diri dalam organisasi, namun nyatanya hal itu tidak dapat mengubah “adat” yang ada, bahwa pemimpin tertinggi tetaplah dijabat oleh laki-laki.

(73)

AD/ART dibuat untuk memberi pengarahan, tuntunan, dan peraturan bagi setiap pengurus, tanpa memandang jenis kelaminnya.

AD/ART bersifat mengikat, sehingga anggota wajib mematuhi dan menjalankannya. Dalam AD/ART tidak terdapat peraturan yang mendiskriminasikan kelompok-kelompok tertentu. Semua pengurus mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan AD/ART organisasi. Pada kenyataannya, masih terdapat bias gender yang mana terdapat hal-hal tertentu dimana perempuan diberikan peraturan dalam pelaksanaannya.

Seperti yang diungkapkan oleh informan IL, “tidak ada syuro’ (rapat) berdua laki-laki dan perempuan misalkan. Atau tidak ada yang bersifat seperti itulah.” (hasil wawancara dengan IL, tanggal 25 Februari 2015, pukul 13.00 WIB). Hal ini dianggap sebagai bentuk peraturan dan penghormatan terhadap perempuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti timbulnya fitnah dan lain-lain. Syuro’ atau rapat antara laki-laki dan perempuan tidak boleh dilakukan secara berdua. Rapat berdua antara laki-laki dan perempuan, boleh dilakukan apabila didampingi oleh mahram salah satunya. Bentuk peraturan tersebut dianggap sebagai upaya untuk melindungi dan menghormati kaum perempuan.

(74)

perempuan apabila kaum perempuan berada di luar rumah sampai malam hari. Selain itu perempuan yang kodratnya sebagai makhluk yang menarik perhatian laki-laki, maka perempuan dianggap mempunyai mudarat apabila berada di luar rumah pada malam hari. Seperti yang diungkapkan oleh informan ER sebagai berikut:

“kita sebagai akhwat (perempuan) itu nggak boleh lebih dari jam 9 ya. Bahkan kalau di UIN sendiri, maghrib pun udah disuruh pulang kalau untuk syuro’-syuro’ (rapat-rapat) kaya gitu. Kecuali hal-hal yang sangat mendesak itu, batasan jam 9 malam. Tapi kalau untuk syuro’syuro’ (rapat-rapat) biasa dan sebagainya batasnya tuh

memang jam 6, jam 6 udah kelar. Maghrib lah, maghrib udah kelar” (hasil wawancara dengan ER, tanggal 21 Maret 2015, pukul 09.08 WIB).

(75)

Meski dalam AD/ART tidak menyebutkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan mengenai hak dan kewajibannya sebagai pengurus organisasi, tetapi dalam pelaksanaannya terdapat pembedaan dalam bidang-bidang tertentu. Bidang-bidang pekerjaan yang diidentikkan dengan jenis kelamin memang tidak disebutkan dalam aturan secara tertulis, namun pengidentikkan tersebut muncul secara lisan. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tanggung jawab, rasionalitas, dan ketegasan diidentikkan dengan pekerjaan laki-laki. Sebaliknya, pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan, kesabaran, keuletan, dan ketelitian selalu diidentikkan dengan pekerjaan perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh informan NA,

“ya kalau kami tidak mengidentikkan tapi memang itu bagi-bagi tugas gitu ya. Ya terutama untuk konsumsi, sebenernya untuk konsumsi laki-laki juga bisa masak, tapi laki-laki lebih dibutuhkan untuk yang lainnya gitu. Sedangkan sementara perempuan masih bisa disitu, kita bagi disitu gitu. Untuk sekretaris juga seperti itu. Setelah ketua ada laki-laki kita buat sekretaris dan bendahara itu perempuan. Jadi tetep sama gitu ya untuk perannya dalam kepanitiaan” (hasil wawancara dengan NA, tanggal 25 Februari 2015, pukul 13.20 WIB).

(76)

Penanaman dan pendiktean mengenai pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan oleh norma sosial dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, menjadikan setiap tindakan yang diambil dalam rangka perkembangan organisasi, secara tidak sadar masih membedakan antara peran laki-laki dan peran perempuan. Pembedaan peran atau tugas antara laki-laki dan perempuan mungkin tidak akan terlihat dalam kehidupan organisasi sehari-hari. Namun pembedaan peran ini akan terlihat secara kasat mata pada saat dilaksanakannya kegiatan seperti Daurah Marhalah. Perempuan akan secara otomatis ditunjuk dan ditempatkan pada bidang-bidang domestik, sementara laki-laki juga secara otomastis akan ditunjuk dan ditempatkan pada bidang-bidang yang berhubungan dengan fisik. Hal ini tentunya semakin memperkuat kenyataan bahwa masih terjadi bias gender dalam organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Informan ER menyatakan sebagai berikut, “...mesti sekretaris bendahara itu cewek. Rata-rata sih.. rata-rata. Kalau untuk yang bawah-bawah kayak danus dan apa...APDD. Kalau APDD lebih ke ikhwan

(laki-laki) ya karena fisiknya itu.” (hasil wawancara dengan ER,

Gambar

Gambar 1. Proses wawancara dengan informan, Dok. Pribadi peneliti pada
Gambar 3. Kondisi Komisariat KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dok.
Gambar 5. Pengurus Harian KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat, dan Persepsi Risiko Terhadap Perilaku Belanja Online Mahasiswi UIN Sunan Ampel Pada Produk Mode Muslim di Instagram” ini merupakan penelitian yang bertujuan

Penelitian ini bertujuan untuk men deskripsikan tentang kompetensi pedagogik guru dalam pembelajaran PAI sesuai kurikulum 2013 pada ke- giatan PLPG di FITK UIN

Berdasarkan data di atas Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki 41 orang SDM, dengan 36 orang staf yang bertanggung jawab untuk melakukan aktivitas

Para penyandang dsabilitas difabel Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, justru memiliki optimisme yang tinggi dan self-efficacy yang kuat dan mereka mampu untuk bisa beraktualisasi dalam