• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

1

TESIS

OLEH:

AGUSTIANDA

NIM: 91214013124

Program Studi

PEMIKIRAN ISLAM

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : AGUSTIANDA

Nim : 91214013124

Tempat / Tgl Lahir : Medan, 27 Agustus 1991

Pekerjaan : Mahasiswa Pascasarjana UIN – Sumatera Utara Alamat : Jln. Cucak Rawa III No.31 Perumnas Mandala

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul “PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN

MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN” benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya.

Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Medan, 09 Mei 2016 Yang membuat pernyataan

(3)

PERSETUJUAN

Tesis Berjudul:

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN

Oleh:

AGUSTIANDA Nim. 91214013124

Dapat disetujui dan disahkan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Pemikiran Islam (M.Pem.I) pada Program Studi Pemikiran Islam

Pascasarjana UIN Sumatera Utara

Medan,

Pembimbing I

Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag NIP. 19650212 199403 1 001

Pembimbing II

Dr. Irwansyah, M.Ag

NIP. 19611016 199203 1 001

(4)

Tesis ini berjudul ―PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN‖ an. Agustianda, NIM. 91214013124 Program Studi Pemikiran Islam telah dimunaqasyahkan dalam Sidang Munaqasyah Pascasarjana UIN-SU Medan pada tanggal 31 Mei 2016.

Tesis ini telah diterima untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Magister Pemikiran Islam (M.Pem.I) pada Program Studi Pemikiran Islam.

Medan, 31 Mei 2016

Panitia Sidang Munaqasyah Tesis Pascasarjana UIN-Sumatera Utara

Mengetahui,

Direktur Pascasarjana UIN-Sumatera Utara

Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA NIP. 19541212 198803 1 003

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Sukiman, M.Si NIP. 19570203 198503 1 003

Dr. Anwarsyah Nur, MA NIP. 19570530 199303 1 001

1. Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag NIP. 19650212 199403 1 001

2. Dr. Irwansyah, M.Ag

NIP. 19611016 199203 1 001

3. Prof. Dr. Sukiman, M.Si NIP. 19570203 198503 1 003

(5)

ABSTRAK

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN

Nama : Agustianda

Nim : 91214013124

Prodi : Pemikiran Islam

Pembimbing I : Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag Pembimbing II : Dr. Irwansyah, M.Ag

Syekh Burhanuddin adalah salah seorang ulama besar yang terkenal di Sumatera Barat yang telah mengembangkan ajaran Islam melalui ajaran tarekat Syattariyah yang sudah sampai di kota Medan. Syekh Burhanuddin mengembangkan pemikirannya melalui pendidikan di surau. Murid-murid yang belajar di surau Syattariyah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Bahkan sebagian besar masyarakat Minang telah mengenal dan mengamalkan ajaran yang dibawanya. Tidak terbatas dengan masyarakat Minang di Sumatera Barat, masyarakat Minang yang berada di luar Sumatera Barat sampai sekarang tetap menjadikan Syekh Burhanuddin sebagai Waliyullah

dan seorang ulama besar. Ajaran Syekh Burhanuddin terus dikembangkan oleh murid-muridnya sampai ke Medan.

Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui latar belakang Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin, untuk mengetahui proses berkembangnya pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin sampai ke Medan, dan untuk mengetahui Mengapa masyarakat Minang kota Medan mengikuti ajaran dari Syekh Burhanuddin. Tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang digolongkan kepada penelitian lapangan (field research), untuk melihat sejauh mana Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin di kalangan masyarakat Minang kota Medan.

(6)

ABSTRACT

THE DEVELOPMENT OF SUFISTIC THINKING SYEKH BURHANUDDIN AMONG MINANG COMMUNITY IN MEDAN CITY

Syekh Burhanuddin is one of the great famous Ulama in West Sumatra who has developed the teachings of Islam through the teachings of the congregation Syattariyah until delivered in Medan. Syekh Burhanuddin developed his thinking through education at the surau. The students who studied at the surau Syattariyah opened to learn a whole series of Islamic knowledge. Even as people Minang know and practice the knowledge. Not limited for Minang people in West Sumatra, Minang people in the out of West Sumatra until now still make Syekh Burhanuddin as Waliyullah and a great Ulama. Syekh Burhanuddin theory continues was developed by his students until go to Medan.

The purpose of this research is to know the background of Thought Sufism Sheikh Burhanuddin, to know the process of the Sufism Syekh Burhanuddin thought developement into Medan, and to find out why do minang people in Medan follow the teachings of Syekh Burhanuddin. This thesis uses descriptive qualitative approach which has been classified to the field research (field research), to see how far the development of Sufism Syekh Burhanuddin Thought among Minang people in Medan.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji penulis ucapkan kepada Allah SWT., yang telah menjadikan langit dan bumi beserta isinya sebagai pertanda kebesaran-Nya dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Rabb seluruh mahluk baik yang berada di langit maupun yang di bumi, atas berkah, nikmat, dan Rahmat-Nya yang telah diberikan kepada setiap makhluknya khususnya kesehatan dan kesempatan sehingga tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Shalawat dan salam disampaikan kepada Rasulullah Saw., Nabi akhir zaman penutup para Nabi, yang telah mengajak umat manusia kepada jalan kebenaran, menjadi suri teladan yang baik untuk menyempurnakan akhlak dalam kehidupan sehingga umat manusia menjadi umat yang berakhlak al-karimah

untuk menggapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.

Mengingat perlunya membuat suatu karya ilmiah sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Strata 2, maka penulis membuat Tesis yang berjudul

“PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN”. Untuk mengembangkan wawasan pengetahuan, pola pikir kritis dan melatih kemampuan menganalisis dan mengolah data sebagai kemampuan khusus bagi magister.

Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari semua pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang setulusnya kepada :

1. Kedua orang tua yaitu Muslim dan Neliaty, yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan moral maupun materil kepada saya sampai saya dapat menyelesaikan Tesis ini. Begitu juga dengan saudara kandung saya abang Chandra, abang Aidil Putra, abang Muhammad Adek dan adik saya paling bungsu Munawarotul Ardi yang selalu memberikan semangat kepada saya untuk menyelesaikan Tesis ini.

(9)

Tesis II, yang dengan tulus hati membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik.

3. Terima kasih juga kepada Bapak Prof. Dr. Sukiman, M.Si selaku Kepala Prodi Pemikiran Islam dan Bapak Dr. Anwarsyah Nur, MA selaku sekretaris dari Prodi Pemikiran Islam.

4. Tidak lupa pula terima kasih juga kepada seluruh Dosen dan pegawai Pascasarjana UIN Sumatera Utara yang telah membantu memberikan informasi dan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan persyaratan administrasi perkuliahan.

5. Terima kasih kepada seluruh narasumber yang telah membantu penulis dalam mencari informasi yang terkait dengan penelitian.

6. Terima kasih kepada abangda Heru Syahputra, M.Pem.I yang telah memberikatan motivasi kepada saya dalam menyelesaikan Tesis ini.

7. Penulis juga berterima kasih juga kepada orang-orang yang senantiasa bersama penulis teman-teman seperjuangan terkhusus Susianti Br Sitepu, Toguan Rambe, Yunita Novia, Siti Hardianti, Marlian Arif Nasution, Zulkarnain, abang Syarkawi, abang Safaruddin, serta teman-teman dari Prodi Pemikiran Islam konsentrasi Sospolis yang selalu saling memberikan semangat dalam menyelesaikan Tesis ini.

8. Terima kasih juga kepada Kepala SMKS IT Marinah Al-Hidayah beserta rekan Fungsional dan Guru yang selalu memberi semangat penulis dalam mengerjakan Tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga Tesis ini berguna bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Medan, 09 Mei 2016

(10)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Rumusan Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Hal-hal yang dirumuskan secara konkrit dalam pedoman Transliterasi Arab-Latin Meliput:

1. Konsonan

2. Vokal (tunggal dan rangkap)

3. Maddah

4. Ta Marbutah

5. Syaddah

6. Kata Sandang (di depan huruf syamsiah dan qamariah ) 7. Hamzah

8. Penulisan kata 9. Huruf Kapital 10.Tajwid

Berikut ini penjelasan secara beruntun: 1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab itu dan transliterasinya dengan huruf Latin.

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

Alif Tidak dilambangkan tidak dilambangkan

Ba B Be

Ta T Te

a es (dengan titik di atas)

(11)

Ha ha (dengan titik di bawah)

Kha Kh ka dan ha

Dal D De

Zal Ż zet (dengan titik di atas)

Ra R Er

Zai Z Zet

Sin S Es

Syim Sy es dan ye

Sad es (dengan titik di bawah)

Dad de (dengan titik di bawah)

Ta Ṭ te (dengan titik dibawah)

Za Ẓ zet (dengan titik di bawah)

‗ain ` koma terbalik di atas

Gain G Ge

Fa F Ef

Qaf Q Qi

Kaf K Ka

Lam L El

Mim M Em

Nun N En

Waw W We

Ha H Ha

Hamzah Apostrof

Ya Y Ye

2. Vokal

(12)

a. Vokal Tunggal

Vokal tunggal dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

ــــ fat ah A A

ـــِـــ Kasrah I I

ـــــ ammah U U

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu;

Tanda dan Huruf Nama Gabungan

Huruf Nama

ى ــ ــ Fat ah dan ya Ai a dan i

و ـ ــ Fat ah dan waw Au a dan u

Contoh:

Mauta :ِ ْ َ

Haiṡu : ِ ﺚْيَح

Kaukaba : َِ َكْ َك

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan

Huruf Nama

Huruf dan

Tanda Nama

Fataḥdan alif atau ya a dan garis di atas

ِKasrah dan ya i dan garis di atas

(13)

4. Ta Marbūtah

Transliterasi untuk ta marb tah ada dua:

1. Ta marbūtah hidup

Ta marb tah yang hidup atau mendapat Harkat fathah, kasrah dan dammah, transliterasinya adalah /t/.

2. Ta marbūtah mati

Ta marb tah yang mati mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah /h/.

3. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta marb tah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tamarb tah itu ditransliterasikan dengan ha /h/.

Contoh:

- rauḍah al-aṭfāl – rauḍatulaṭfāl : اـفـﻁآﺍِ ـــض

- al-Madīnah al Munawwarah : ـنـ ــ ﺍِ نـيدـ ــ ﺍِِ

- Talḥah : حـــ ـﻁِ

5. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang pada tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddahatau tanda tasydid, dalam transliterasi ini tanda tasydid tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

- rabbanā : ان

- nazzala : ن - al-birr :ِِ ا - al-hajj : ﺝح ﺍ

- nu‟ima : ن

6. Kata Sandang

(14)

1. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /I/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

2. Kata sandang diikuti oleh huruf qamariah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf qamariah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda

sempang. Contoh:

- ar-rajulu : ــج ــ ﺍِِ

- as-sayyidatu : دــيســ ﺍِِ

- asy-syamsu :ﺲـ ـشـ ﺍِِ

- al-qalamu : ــ ـقــ ﺍ

- al-badī‟u :عيدــ ﺍ

- al-jalālu : اــجــ ﺍِِ

7. Hamzah

Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof, akan tetapi itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Hamzah yang terletak di awal kata tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab sama dengan alif.

Contoh:

- ta‟khuzūna : ــخاِِ

- an-nau‟ :ء نــ ﺍِِ

- syai‟un :ءىيــشِِ

- inna ِ: ﺍ

- Umirtu : ــ ﺍِِ

- Akala :

8. Penulisan Kata

(15)

Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan tersebut dirangkaikan juga dengan kata yang mengikutinya.

Contoh:

- Wa innallāha lahua khairurrāziqīn ِ: يـــق ﺍ ــ ﺍِ يــخِ هــ ِهِ ﺍ ِِ

- Ibrāhīm al-Khalīl : ي ــخ ﺍِ يــهﺍ ــ ﺍِِ

- Bismillāhi majrehā wa mursāhā :اهــس ــ ِ ِاهﺍ جــ ِهِ ســ

- Walillāhi „alan-nāsiḥijju al-baiti : ي ـــ ﺍِجــحِسانــ ﺍِى ــعِه ِ

- Man istāṭa‟ailaihi sabīlā : ي ــــسِهيـ عاط ــسﺍِ ـــ ِِ

9. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan. Penggunaan huruf kapital seperti apa yang berlaku dalam EYD, di antaranya: huruf kapital digunakan untuk menulis huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri terdiri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal dari nama tersebut, bukan kata sandangnya.

Contoh:

- Wa mā Muḥammadun illā rasūl

- Inna awwala baitin wuḍi‟a linnāsi lallazi bi bakkata mubārakan

- Syahru Ramaḍān al-lazīunzila fīhi al-Qur‟anu

- Wa laqad ra‟āhu bil ufuq al-mubīn

- Alhamdulillāhirabbil –„ālamīn

Penggunaan huruf kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian. Apabila kata Allah disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak digunakan

Contoh:

- Naṣrun minalāhi wa fatḥun qarīb

- Lillāhi al-amru jamī‟an

- Wallāhu bikulli syai‟in „alīm

(16)
(17)

Halaman DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vii

TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI ... xvi

DAFTAR TABEL ... xviii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Kegunaan Penelitian ... 4

E. Kajian Terdahulu ... 5

F. Batasan Istilah ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

H. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II: BIOGRAFI SYEKH BURHANUDDIN ... 13

A. Latar Belakang Kehidupan Syekh Burhanuddin ... 14

B. Pendidikan Syekh Burhanuddin ... 17

C. Silsilah Syekh Burhanuddin dan Guru-gurunya ... 31

D. Karya-karya Syekh Burhanuddin ... 29

BAB III: TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN (TAREKAT SYATTARIYAH) ... 37

A. Sejarah Tarekat Syattariyah ... 38

(18)

C. Ajaran Tarekat Syattariyah ... 48

D. Silsilah Pengikut Syekh Burhanuddin ... 56

BAB IV: PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN ... 68

A. Sejarah Masuknya Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Di Kota Medan . 69 B. Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Yang Berkembang Di kalangan Masyarakat Minang Kota Medan ... 83

C. Argumentasi Mengapa Masyarakat Minang Kota Medan Memilih Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin ... 93

BAB V: PENUTUP ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran-saran ... 101

(19)

Halaman DAFTAR TABEL

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Minangkabau (Sumatera Barat), tak pelak telah memberikan kontribusi terhadap terciptanya tradisi dan wacana keilmuan Islam di dunia Melayu-Indonesia yang distingtif dan tak habis-babisnya memberi inspirasi bagi peneliti, sebab keragaman yang berada di dalamnya.

Masuknya Islam dan sejarah perkembangannya di Minangkabau sejajar dengan sejarah pertumbuhan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke VII atau abad I Hijriyah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam. Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Nusantara yang dipengaruhi pemikiran tasawuf di Aceh. Ini bisa dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tasawuf dan ordo tarekat di wilayah ini. Salah atu ordo tarekat yang berkembang pesat di Sumatera Barat yang bermula dari Aceh adalah Tarekat Syattariyah.

Gerakan pembaharuan di dalam kehidupan beradat dan beragama dapat dikatakan satu gerakan pembaharuan oleh para ulama, yakni para cendikiawan yang hidup dengan latar belakang kehidupan adat Minangkabau yang kuat dan kemudian menuntut ilmu pengetahuan agama Islam ke negeri-negeri sumber ilmu sampai ke Mekkah dan Madinah dan wilayah Timur Tengah lainnya yang kemudian diwarisi sambung bersambung membentuk mata rantai sejarah yang panjang dan berkelanjutan terus ke abad-abad sesudahnya.

Salah seorang ulama pembaharuan yang terkenal di Sumatera Barat adalah Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuan, baik dalam literatur maupun dari laporan bangsa Eropa lainnya. Salah satu sumber utama yang menjelaskan lahirnya pembaharuan Islam di Minangkabau berasal dari naskah kuno Arab Melayu.

(21)

Sintuak Lubuk Alung. Nama aslinya adalah Kanun, kemudian ketika ia berguru kepada Syekh Abdul Arif (Syekh Madinah), ia diberi gelar Pakih Pono1. Ayahnya bernama Pampak dan ibunya bernama Nili/Puteri Cukuep. Mereka adalah keluarga petani. Waktu kecil Kanun bertugas sebagai penggembala ternak orang tuanya. Dalam riwayatnya, Kanun yang kemudian menjadi Pakih Pono dan akhirnya menjadi Syekh Burhanuddin.2

Ketika masih kecil, Burhanuddin dan ayahnya menganut agama Buddha, namun kemudian atas ajakan dan dakwah seorang saudagar Gujarat yang menyebarkan agama Islam kepada penduduk di Pekan Batang Pengawas, Burhanuddin dan ayahnya meninggalkan agama Buddha dan masuk Islam dengan ikhlas.3 Setelah memeluk agama Islam, Burhanuddin meninggalkan kampung halamannya, Sintuak, untuk merantau ke Tapakis dan berguru dengan seorang ulama, Yahyuddin atau disebut juga Tuanku Madinah. Atas anjuran gurunya, Burhanuddin berangkat ke Aceh untuk belajar kepada Syekh Abdurrauf Sinkli.4

Setelah menuntut ilmu selama tiga puluh tahun di Aceh, akhirnya Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, yaitu Minangkabau, untuk menyebarkan agama Islam disana. Di Minangkabau, Burhanuddin mendirikan surau di Tanjung Medan yang terletak di dalam kompleks tanah seluas kurang lebih 5 hektar dan diberi nama Surau Ulakkan. Memang, ajaran dan dakwah Islam yang dibawa Burhanuddin diikuti dengan baik oleh masyarakat Minangkabau dan tarekat yang dikembangkannya (Tarekat Syattariyah). Tarekat ini ketika di Mekkah

1

Gelar Pakih Pono ini diperoleh Kanun karena kecerdasannya yang luar biasa. Pono berasal dari kata Sampurono (sempurna). Kebiasaan orang Minang dalam berbahasa selalu dipersingkat diksi kata dan intonasinya dipercepat, makanya samparono menjadi sampono, kemudian dalam panggilan sehari-hari diambil ujung katanya saja menjadi Pono (lihat naskah

Arab-Melayu, Imam Maulana Abdul Manaf: Sejarah Ringkas Aulia Allah Sholihin Syekh

Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau (Batang Kabung, Koto Tangah, Tebih, Padang, TP, TT, (telah diperbanyak oleh Dinas Kebudayaan Kota Padang tahun 2002), h. 12.

2

Gelar Syekh Burhanuddin ini diperoleh Kanun berdasarkan amanat guru Syekh

Abdurrauf yakni Syekh Ahmad al-Qasyasyih ―setelah engkau mengajar di Aceh akan datang

kepada engkau orang yang berlima dari Minangkabau. Ada seorang yang akan diberi kitab, artinya akan dijadikan khalifah. Ciri-cirinya yaitu jalannya pincang, karena kakinya tinggi sebelah dia dari Pariaman‖. Harun at Thobahi al-Faryani, Mubalighul Islam, Transliterasi Djafri, Sejarah Masuknya Agama Islam ke Minangkabau (Padang: 2001), h. 73.

3

Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h.

304.

4

(22)

dikembangkan oleh Mullah Ibrahim bin Hasan al-Kurani dan Ahmad Al-Qushashi. Kedua Syekh ini adalah juga guru dari Abdurrauf Sinkli dari Aceh. Dari kenyataan tersebut jelas bahwa pemikiran tasawuf yang berkembang di Sumatera Barat dipengaruhi dari pemikiran tasawuf Aceh. Syekh Burhanuddin Ulakkan merupakan murid dari Syekh Abdurrauf Singkil yang aktif mengembangkan Tarekat Syattariyah.5

Syekh Burhanuddin menjadi sosok terkenal di Minangkabau berkat ketinggian ilmu, serta menjadi tokoh penting penyebaran ajaran Syattariyah di penghujung abad 17 di mana dari beliau inilah kemudian muncul sederetan ulama-ulama besar yang dulunya belajar dan berguru kepadanya baik yang masih tetap menyebarkan ajaran Syattariyah atau yang pada akhirnya memilih tarekat lain selain Syattariyah. Dalam salah satu silsilah transmisi sanad dari Syekh Burhanuddin misalnya ada sosok yang bernama Tuangku Nan Tuo Mansiangan yang menjadi guru dari Tuangku Nan Tuo Cangkiang Ampek Angkek, yang pada akhirnya memilih mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyyah, pun dari Tuangku Nan Tuo Cangkiang ini juga ada murid yang bernama Tuangku Nan Renceh kelak jadi bagian dalam kisah perang paderi di ranah Minang.

Tarekat Syattariyah dengan segala kekhasannya memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di ranah Minang, Tarekat ini lebih dapat diterima oleh masyarakat dan cenderung tidak mengalami banyak penolakan dari orang Minang pada umumnya, karena metodenya yang lebih damai dan lembut menyikapi budaya lokal masyarakat Minangkabau.

Syekh Burhanuddin mengembangkan pemikirannya melalui pendidikan di surau. Murid-murid yang belajar di surau Syattariyah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Bahkan sebagaian besar masyarakat Minang telah mengenal dan mengamalkan ajaran yang dibawanya. Tidak terbatas dengan masyarakat Minang di Sumatera Barat, masyarakat Minang yang berada di luar Sumatera Barat sampai sekarang tetap menjadikan Syekh Burhanuddin sebagai Waliyullah dan seorang ulama besar. Pemikiran Tasawuf Syekh

5

Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h.

(23)

Burhanuddin terus dikembangkan oleh murid-muridnya sampai ke Medan. namun, apakah pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin di Ulakan sama dengan yang dibawa oleh murid-muridnya di Kota Medan?, maka dari itu penulis tertarik mencoba meneliti sejauhmana Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah:

1. Apa latar belakang pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin ?

2. Bagaimana proses berkembangnya Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin sampai ke Medan ?

3. Mengapa Masyarakat Minang kota Medan mengikuti ajaran dari Syekh Burhanuddin ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin. 2. Untuk mendeskripsikan proses berkembangnya pemikiran tasawuf Syekh

Burhanuddin sampai ke Medan.

3. Untuk menjelaskan Mengapa Masyarakat Minang kota Medan mengikuti ajaran dari Syekh Burhanuddin.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai Syekh Burhanuddin.

(24)

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat di kota Medan sebagai salah satu sumber informasi awal tentang Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan.

E. Kajian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis telah melakukan peninjauan kepustakaan, dimana dalam peninjauan ini penulis telah menelusuri beberapa koleksi, baik dalam bentuk buku, penelitian ilmiah dan karya lainnya. Sejauh ini penulis menemukan pokok pembahasan yang pernah dibahas mengenai Syekh Burhanuddin, antara lain:

Syekh Burhanuddin (1070-1111 H/1650-1691 M: Kajian Tentang

Islamisasi di Minangkabau yang ditulis Yoneka Putra. Skripsinya ini membahas seputar Islamisasi yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin di Minangkabau, khususnya tahapan-tahapan yang dilalui oleh Syekh Burhanuddin dalam Islamisasi. Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan dengan menggunakan pendekatan biografis dan keagamaan

Telaah Terhadap Konsep Pendidikan Tradisional Surau Syekh

Burhanuddin Ulakan Pariaman yang ditulis oleh Jusna Tunus dalam karya tesisnya. Tesis ini membahas sistem pendidikan yang diajarakan oleh Syekh Burhanuddin. Bagaimana kiprahnya dalam mengembangkan agama Islam di Minangkabau, permasalahan itu dapat dilacak melalui, pertama, latar belakang dan jaringan intelektual Syekh Burhanuddin. Kedua, sistem pendidikan yang pernah diikuti Syekh Burhanuddin semenjak dari kecil sampai ia diberi anugrah gelar Syekh oleh gurunya di Singkil Aceh. Ketiga, surau sebagai lembaga yang dipakaikan oleh Syekh Burhanuddin, siklus kehidupan surau sebagai lembaga keagamaan dan sosial dalam perspektif historis sosiologis.

(25)

Masih banyak tulisan yang menyinggung mengenai riwayat Syekh Burhanuddin. Secara keseluruhan karya tulis di atas memiliki kesamaan. Pembahasan mengenai riwayat Syekh Burhanuddin. Berbeda dengan tulisan penulis lakukan ini, penulis menyajikan seputar Perkembangan Pemikiran

Tasawuf Syekh Burhanuddin di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan.

F. Batasan Istilah

Dari judul di atas, pembahasan mengenai Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan, ada beberapa istilah yang perlu dibatasi pengertiannya agar istilah yang digunakan dalam judul tersebut di atas menjadi jelas dan tidak memberikan salah pengertian maupun tafsiran ganda, istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Tasawuf. Asal istilah Tasawuf merujuk ke bebebrapa kata:

a. Shaffa artinya suci bersih.6 Dalam pengertian ini orang yang ingin dekat dengan Allah Swt., aktifitasnya banyak diarahkan pada pensucian diri dalam rangka dekat dengan Allah Swt.7

b. Shafa artinya barisan atau barisan terdepan.8 Orang yang ingin dekat dengan Allah pasti sudah kuat imannya. Oleh karena itu selalu ada pada barisan terdepan dalam hal ibadah.9

c. Ahl Al- Shaffah artinya penghuni serambi (mesjid). Istilah ini disandarkan kepada orang ynag ingin selalu dekat dengan Allah Swt., maka mereka ikut juga hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah. Di Madinah mereka tinggalnya di Mesjid.10

d. Shaufa artinya wol, bulu binatang, kasar. Orang yang selalu dekat dengan Allah, hanya memakai pakaian dari bulu binatang yang kasar seperti domba, unta dan lainnya.11

6

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab Indonesia Lengkap, cet.

XIV (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 784.

7

Mir. Valiuddin, Tasawuf Dalam Qur‟an, cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 1.

8

Ahmad Warson Munawir, Ibid., h. 783.

9

Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, cet. II (Makasar: Yayasan Fatiyah Makasar, 2002)., h. 3.

10

Ibid,.

11

(26)

2. Syekh Burhanuddin yang memiliki nama kecil Pono lahir di Pariaman Padang Panjang tahun 1056 H/1646 M.12

3. Kota Medan merupakan ibu kota Sumatera Utara. Penduduknya berasal dari berbagai etnis, diantaranya etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Mandailing, Minangkabau, Melayu, Karo, Aceh, Sunda, Tamil dan lain-lain.13

G. Metode Penelitian

Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.14 Adapun dalam metodologi penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Penggunaan metode penelitian ini yaitu ingin mendeskripsikan dan menemukan makna serta pemahaman mendalam atas permasalahan penelitian yang diteliti berdasarkan latar sosialnya (natural setting).

Hadari Nawawi, mengungkapkan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui atau menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti atau penelitian yang dilakukan terhadap variabel tunggal tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Selain itu, penelitian deskriptif juga terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya, sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta dan memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti.15

Danim Sudarwan16 memberikan beberapa ciri dominan dari penelitian deskriptif, yaitu :

12

M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo,

2005), h. 69-71.

13

www.pemkomedan.go.id diakses pada tanggal 12 Februari 2016 pukul 13.45 WIB.

14

Hadari Nawawi, Metodologi penelitian sosial (Yogyakarta: Gajdah Mada, 2007), h. 33.

15

Ibid.

16

(27)

1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual. Adakalanya penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau narasi semata-mata dari suatu fenomena, tidak untuk mencari hubungan antarvariabel, menguji hipotesis dan membuat ramalan. 2. Dilakukan secara survey, oleh karena itu penelitian deskriptif sering

disebut juga sebagai penelitian survey. Dalam arti luas, penelitian deskriptif dapat mencakup seluruh metode penelitian, kecuali bersifat historis dan eksperimental.

3. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara mendetail. 4. Mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi

keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung.

5. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang tertentu dalam waktu yang bersamaan.

Bogdan dan Taylor menjelaskan bahwa metodologi penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Bogdn dan Biklen mengemukakan bahwa karakteristik dari penelitian kualitatif adalah

pertama, alamiah, kedua, data bersifat deskriptif, ketiga, analisis data dengan induktif, keempat, makna sangat penting dalam penelitian kualitatif.17

Pendekatan studi kasus dipilih dalam penelitian ini karena penelitian ditujukan untuk menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata dimana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak nampak dengan tegas dan multi sumber bukti dimanfaatkan, dan jumlah subjek penelitian relatif sedikit dan hasil penelitian tidak digeneralisasikan kepada subjek-subjek lain di luar subjek yang diteliti.18 Tujuannya agar dapat memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas, ataupun status dari objek.19

17

Robert C. Bogdan and Sari Knop Biklen, Qualitative Research For Education (London:

Allyn and Bacocn, inc, 1982), h. 42.

18

Robert K Yin, Case Study Research Design and Methods, terj. M. Djauzi Mudzakir

Studi Kasus: Desain dan Metode‖ (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 18.

19

(28)

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Mesjid/Surau yang ada keterkaitan dengan pengamalan ajaran Syekh Burhanuddin. Pusat penelitian dilakukan di Mesjid Raya Syekh Burhanuddin jalan Rawa II Gang Langgar Ujung. Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat Minang yang menjadi jamaah dari Mesjid Raya Syekh Burhanuddin atau pengikut dari Syattariyah.

3. Sumber Data

Lohanda menyatakan bahwa aspek pertama dan aspek kedua dalam metode sejarah berkaitan erat dengan sumber. Secara konvensional, sumber yang dimaksud adalah sumber primer yang lebih khusus lagi yang bersifat tertulis. Pandangan dasarnya ialah sumber primer yang merupakan bagian dari bukti tentang masa lampau yang menjadi bahan sumber kajian, yang menjadi tumpuan apakah suatu peristiwa, kejadian ataupun gejala sejarah yang dapat direkonstruksikan.20

Berdasarkan pendapat di atas, maka ada dua sumber data pada penelitian ini, yaitu:

a. Data primer yaitu hasil pengamatan dan keterangan yang diperoleh dari pengikut ajaran Syekh Burhanuddin, tokoh masyarakat Minang, pemuka adat masyarakat Minang di kota Medan, aparat pemerintah, dan masyarakat yang dipandang dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.

b. Data sekunder yaitu hasil data yang diperoleh dari dokumen-dokumen seperti buku, artikel, jurnal, karya ilmiah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memungkinkan tercapainya hasil yang diharapkan peneliti, adapun alat pengumpulan data yang penulis gunakan, yaitu:

20

Mona Lohanda, Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah (Depok: Pusat Penelitian

(29)

a. Observasi

Observasi yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya.21 Observasi dilakukan secara non partisipan, dimana peneliti berperan hanya sebagai pengamat fenomena yang diteliti. Pengamatan secara langsung untuk mendapatkan gambaran yang utuh terkait fokus penelitian mengenai ajaran tasawuf di Mesjid Syekh Burhanuddin. Hasil pengamatan disusun dalam catatan lapangan. Isi catatan lapangan berupa peristiwa rutin, temporal, interaksi dan interpretasinya.

Data yang diambil dalam Observasi ini adalah bentuk kegiatan tasawuf dilakukan masyarakat Minang di Mesjid Syekh Burhanuddin. Observasi ini dilakukan di daerah-daerah yang dipengaruhi pemikiran Syekh Burhanuddin di kota Medan, mesjid/mushalla Syekh Burhanuddin di kota Medan serta masyarakat Minang kota Medan yang mengikuti ajaran dari Syekh Burhanuddin.

b. Wawancara (interview)

Wawancara adalah suatu cara untuk mendapatkan dan mengumpulkan data melalui tanya jawab dan dialog untuk diskusi dengan informan yaitu beberapa informan yang dianggap mengetahui banyak informasi tentang Syekh Burhanuddin.

Wawancara ini merupakan suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam karena ingin menggali informasi secara langsung dan jelas dari informan. Berdasarkan cara pelaksaannya wawancara dibagi dua jenis yaitu :

1. Wawancara berstrukur adalah wawancara secara terencana yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data yang di dapat dari hasil wawancara berstruktur ini adalah data yang hanya menambah referensi atau bahan data yang diperlukan dalam penelitian ini.

21

(30)

2. Wawancara tidak bersturktur adalah wawancara yang tidak berpedoman pada daftar pertanyaannya. Data yang diperoleh dari wawancara tidak berstruktur merupakan data yang dapat menambah temuan-temuan dilapangan yang belum tentu ada di referensi mana pun.

Wawancara ini dilakukan secara tatap muka yaitu wawancara langsung dengan tokoh pengikut Syekh Burhanuddin serta dengan jamaah dari Tarekat Syekh Burhanuddin dengan cara Sarasehan (berkumpul di suatu majelis). Data yang diambil dalam dalam wawancara berupa penjelasan yang berkaitan dengan penelitian yang tidak terdapat dalam literatur seperti sejarah perkembangan pemikiran tasawuf Syekh Burhanuddin di Medan dan praktik tasawuf yang dilakukan masyarakat Minang di Medan.

c. Dokumentasi

Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen dan telaah pustaka baik berupa buku referensi guna melengkapi data-data yang berhubungan dengan penelitian ini.

Teknik ini dapat membantu peneliti dalam menelusuri pembahasan melalui tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya tentang Syekh Burhanuddin. Data yang diperoleh adalah biografi Syekh Burhanuddin dan Tarekat Syattariyah yang dikembangankan oleh Syekh Burhanuddin.

5. Teknik Analisis Data

Data penelitian yang dikumpulkan selama penelitian di analisis dengan menggunakan model analisis data kualitatif deskriptif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1994).22 Oleh karena itu jenis data yang berbentuk informasi baik lisan maupun tulisan yang sifatnya bukan angka. Proses analisis data berlangsung secara sirkuler selama penelitian berlangsung. Data dikelompokkan agar lebih mudah dalam menyaring mana data yang dibutuhkan

22

Salim dan Sahrum, Metodologi Penelitian kualitatif (Bandung: Cipta Pustaka Media,

(31)

dan mana yang tidak. Setelah dikelompokkan, data tersebut penulis jabarkan dengan bentuk teks agar lebih dimengerti. Setelah itu, penulis menarik kesimpulan dari data tersebut, sehingga dapat menjawab pokok masalah penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian terdahulu, batasan istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II Biografi Syekh Burhanuddin: Latar Belakang Kehidupan Syekh Burhanuddin, Pendidikan Syekh Burhanuddin, Silsilah Syekh Burhanuddin dan Guru-gurunya serta Karya-karya Syekh Burhanuddin

Bab III Tasawuf Syekh Burhanuddin (Tarekat Syattariyah): Sejarah Tarekat Syattariyyah, Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin dan Silsilah Pengikut Syekh Burhanuddin

Bab IV Perkembangan Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan: Sejarah Masuknya Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Di Kota Medan, Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Yang Berkembang Di Kalangan Masyarakat Minang Kota Medan, Argumentasi Mengapa Masyarakat Minang Kota Medan Memilih Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin.

(32)

BAB II

BIOGRAFI SYEKH BURHANUDDIN

Saat Islam datang ke Indonesia sufisme sedang mengalami masa kejayaannnya. Akibatnya, Islam yang kemudian datang ke Indonesia tidak lepas dari pengaruhnya. Hal ini terbukti dari perkembangan pemikiran Islam di Indonesia yang lekat dengan warna sufisme. Wacana pemikiran tasawuf di kalangan ulama Nusantara seperti Hamzah al-Fansuri, Syam al-D n al-Sumatrani, Nur al-D n al-Raniri, Abdurrauf, Muhammad Yusuf Makassari, Hamzah al-Fansuri dan Syam al-D n al-Sumatrani adalah dua tokoh yang banyak melahirkan karya besar dalam bentuk esai dan puisi dengan corak pemikiran Wahdah

al-Wujūd. Sedangkan tiga ulama terakhir cenderung kepada pemikiran yang

mengharmonisasikan antara syari‘ah dan tasawuf.

Polemik tasawuf heterodok (wujūdiah) dengan paham ortodoks yang berkembang di Aceh abad ke-16 dan 17 Masehi, dapat dimenangkan oleh ulama ortodoks Syekh Abdurrauf yang lebih terkenal sebagai Tuanku Syiah Kuala.

Sejarah Pengembangan Islam di Minangkabau punya relevansi yang kuat dengan Abdurrauf khususnya dengan murid-muridnya. Yang paling terkenal di antara para murid Abdurrauf di Sumatera adalah Burhanuddin, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Ulakan.

(33)

A. Latar Belakang Kehidupan Syekh Burhanuddin

Sebelum mengurai riwayat Syekh Burhanuddin, dapat kita meninjau keadaan alam Minangkabau sebelum datang Syekh Burhanuddin, apakah agama yang dianut oleh penduduk waktu itu. Agama penduduk Minangkabau sebelum datang agama Islam adalah agama Buddha dan Hindu.

Kerajaan Islam yang mulanya di Indonesia adalah Samudera Pasai di Aceh sekitar abad ke 13. Pada saat itu kerajaan Pasai saudagar-saudagar Islam Aceh telah sampai di pesisir barat pulau Sumatera. Waktu itu Adityawarman menjadi Yang Dipertuan di Minangkabau. Agama Budha dan Hindu menjadi anutan raja dan masyarakat Minangkabau waktu itu. Sehingga membendung akan kedatangan Islam pada waktu itu. Sebaliknya Aceh beruasaha meluaskan kekuasaannya di pantai barat pulau Sumatera.

Tiku dan Pariaman adalah dua pelabuhan dagang terpenting di bawah Aceh mengawasi perdagangan lada dalam usaha menunjang dominasi politiknya di kawasan ini. Pariaman dijadikan pusat perdagangan pesisir barat pulau Sumatera. Dengan munculnya pelabuhan itu arus perdagangan daerah pesisir semakin menjadi ramai. Melalui hubungan dagang inilah daerah ini akhirnya berkenalan dengan agama Islam. Disamping berdagang mencari untung, mereka berdakwah memenuhi tuntutan agama Islam, seiring dengan itu ikut pula para Mubaligh sebagai Da‘i.23

Pada abad ke 13 penyebaran Islam sebagian berlangsung melalui ajaran tasawuf yang berasal dari Pasai, karena ajaran tasawuf lebih diterima oleh masyarakat kita sebelumnya telah mempunyai dasar-dasar ajaran ke-Tuhanan.

Pada tahun 850 Hijriah datanglah seseorang yang berasal dari Arab yang bernama Saidi Abdullah ke daerah Lubuk Begalung. Beliau menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Lalu beliau mengajak masyarakat Lubuk Begalung dan Pauh untuk memeluk agama Islam. Namun tak lama beliau meninggal dunia. Namun disayangkan belum sempurnanya agama Islam yang dianut masyarakat Lubuk Begalung dan Pauh, mereka kembali menganut agama Buddha dan Hindu.

23

Boestami, Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin

(34)

Setelah berpuluh tahun juga, Minangkabau didatangi oleh saudagar-saudagar dari Arab, Persia dan Gujarat untuk menyebarkan agama Islam. Namun akibat pengaruh agama Buddha dan Hindu sangat kuat, masyarakat Minang yang beragama Islam kembali lagi menganut Buddha dan Hindu. Namun setelah kedatangan Syekh Burhanuddin di tahun 1070 Hijriah dari Aceh, barulah agama Islam tetap di Minangkabau sampai masa sekarang.24 Akhirnya Islam diterima menjadi anutan masyarakat. Adat disesuaikan dengan ajaran Islam karena pada hakikatnya fatwa adat itu sendiri sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut sumber dari beberapa ahli sejarah diantaranya Azyumardi Azra, menyebutkan bahwa Syekh Burhanuddin diperkirakan hidup antara tahun 1056-1111 Hijriah/1646-1699 Masehi.25 Boestami juga menyatakan Syekh Burhanuddin yang bernama kecil Pono lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066 Hijriah/1646 Masehi.26

Kedatangan Islam, pada dasarnya tidak melahirkan konflik dalam masyarakat Minangkabau. Sistim adat yang sudah ada dan berkembang tidak pernah diganggu oleh Islam, malah sebaliknya Islam memberikan pengakuan pada tatanan adat, khususnya yang berkaitan dengan Akhlak dan budi pekerti. Maka, adalah keliru pendapat yang menyebut bahwa adat Minangkabau dan agama Islam bertentangan, akan tetapi pertentangan antara pemangku adat dengan kalangan ulama memang pernah ada konflik. Dalam kenyataannya di masyarakat sejak dahulu sampai sekarang keduanya dapat berjalan secara bersamaan tanpa ada satu diantaranya yang ternafikan. Penulis sejarah Taufik Abdullah menyimpulkan bahwa adat dan agama di Minangkabau dapat berjalan secara seimbang dan saling isi mengisi. misalnya, ia menulis:

Dampak paling awal dari agama Islam adalah dalam formulasi adat yang baru, sebagai pola prilaku ideal, dalam arti bahwa unsur-unsur luar dapat seluruhnya diserap ke dalam orde yang berlaku sebagai bahagian dari suatu sistem yang koheren. Sangat sukar untuk mengetahui bagaimana

24

Addriyetti Amir, Syekh Burhanuddin Ulakan (Padang: Puitika, 2001), h. 4.

25

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru

(Jakarta: Logis Wacana Ilmu, 1999), h. 209.

26

Boestami, Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin

(35)

cara reformasi dari seluruh pola strukural masyarakat dicapai. Pertama, tidak ada sumber adat yang dikenal sebelum masuknya agama Islam, kecuali dalam informasi yang tersebut di sana sini dalam tambo, serta pepatah-petitih adat. Kedua, kodifikasi atau lebih tepat perumusan, adat yang sebenarnya baru mulai setelah masuknya tulisan Arab. Lagi pula, dasar logika dan formulasi adat bersandar pada hukum logika Islam atau ―mantik‖. Sikap Minangkabau terhadap adat di dasarkan pada posisi berdampingan dari keseinambungan yang imperatif dari adat –tak lakang dipaneh dan tak lapuk dek hujan- dengan pengakuan tentang pentingnya perubahan sakali air adang sakali tapian berubah.Maka secara implisit dalam adat harus ada perubahan serta penyesuaian terhadap keadaan –

usang-usang di pabaharui, lapuk-lapuk dikajangi- sedangkan

ketenggangan permanen dalam sistem tersebut berkat kebutuhan untuk menyesuaikan nilai dasar dengan keadaan yang berubah. Untuk menghadapi keadaan yang bertentangan ini, sistem diatur sedemikian rupa, sehinga reavaluasi yang tak dapat dicegah dapat berlangsung lancar, adat dibagi dalam berbagai kategori, dengan unsur-unsur tetap dan yang berubah, prinsip umum serta variasi lokal mendapat tempat masing-masing yang sewajarnya.27

Syekh Burhanuddin lahir dengan nama Pono.28 Ia lahir di Ulakan (Pariaman), sebuah desa di dekat Padang Panjang. Ayahnya bernama Pampak Sati Karimun Merah dan ibunya bernama Puteri Cukuik Bilangan Pandai.29

Pendapat lain menyebutkan bahwa Syekh Burhanuddin dilahirkan hari selasa tanggal 17 Syafar tahun 1026 Hijriah di sebuah desa yang bernama Guguk Sikaladi Kanagarian Pariangan Padang Panjang.30

Berdasarkan kedua pendapat ini, terdapat perbedaan pendapat mengenai kelahiran Syekh Burhanuddin, tetapi bisa disimpulkan bahwa ia diperkirakan lahir dan hidup pada awal abad ke-17 Masehi. 31

Kehidupan masa kecil Syekh Burhanuddin tidak berbeda dengan kehidupan anak-anak dikampung pada umumnya. Kedua orangtuanya bekerja

27

Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 114.

28

H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia,

2009), h. 286-289.

29

Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau: Syarak Mandaki Adat

Manurun (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2003), h. 19.

30

Yayasan Raudhatul Hikmah, Petunjuk Ziarah ke Maqam Syekh Burhanuddin (Jakarta:

Licah Stope, 1993), h. 33.

31

Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di

(36)

sebagai petani. Setiap harinya Syekh Burhanuddin (Pono) menngembala kerbau dan sapi.32 Sejak usia dini, Syekh Burhanuddin telah dididik oleh orangtuanya dengan pendidikan akhlak dan budi pekerti. Ketika Pono mengembala di padang rumput, Pono bertemu dengan seseorang yang sebaya dengannya yang bernama Idris Majolelo. Beliau juga memiliki budi pekerti yang halus.

Masa kecilnya juga belum banyak mengenal ajaran Islam, dikarenakan orang tua serta lingkungan masyarakatnya belum banyak mengenal ajaran tersebut. Ketika kecil, ia dan ayahnya masih memeluk agama Budha.

Pada waktu itu di Nagari Tapakis, berdiamlah seorang ulama yang berasal dari Aceh yang bernama Syekh Abdul Arif yang seangkatan dengan Syekh Abdurrauf ketika berguru dengan Syekh Ahmad al-Qushashi di Madinah. Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajarkan Islam kepada anak-anak yang ada di Nagari Tapakis. Hasilnya tidak menggembirakan. Anak-anak di Nagari Tapakis masih teguh memegang adat istiadat dan kepercayaan lamanya. Ulama ini terkenal dengan gelar Tuanku Madinah atau Tuanku Air Sirah33. Namun kemudian, atas ajakan dan dakwah dari Syekh Abdul Arif, Syekh Burhanuddin dan ayahnya kemudian meninggalkan agama Budha dan masuk agama Islam.34

Menginjak usia dewasa, Syekh Burhanuddin mulai merantau dan meninggalkan tempat orang tuanya. Syekh Burhanuddin pernah belajar di Aceh dan berguru kepada Syekh Abdurrauf, seorang Mufti Kerajaan Aceh yang berpegaruh, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad al-Qushashi dari Madinah. Oleh Syekh Ahmad al-Qushashi, Syekh Burhanuddin diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya.35

B. Pendidikan Syekh Burhanuddin

Syekh Burhanuddin dalam menuntut ilmu diawali dengan perkenalannya dengan seorang sahabat sesama pengembala di Tapakis yang berasal dari Ulakan

32

Addriyetti Amir, Syekh Burhanuddin Ulakan (Padang: Puitika, 2001), h. 7.

33

Tuanku Air Sirah adalah salah satu desa di Tapakis tempat tinggal dari Syekh Abdul Arif.

34

Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara,

2008), h. 304-307.

35

(37)

yang bernama Idris Majolelo. Kediaman Idris di Tanjung Medan. Idris terlebih dahulu belajar dengan Syekh Abdullah Arif atau Syekh Madinah. Lalu Idris mengajak Syekh Burhanuddin (Pono) berkenalan dengan Agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat Syahadat di hadapan Syekh Abdul Arif.36

Selama menuntut ilmu agama dengan Syekh Madinah, Syekh Burhanuddin (Pono) termasuk murid yang cerdas, patuh terhadap guru, rajin dan ilmu yang diajarkannya mudah diterima dan diamalkannya. Oleh karena itu Syekh Madinah sangat sayang kepadanya. Kemudian Syekh Burhanuddin (Pono) digelari oleh gurunya dengan Pakih Sempurna, sebab diantara muridnya yang lain hanya Ponolah yang terang hatinya dan sempurna ingatannya.37

Belajar dengan Syekh Madinah, Pono hanya tiga tahun dikarenakan gurunya tersebut meninggal dunia. Alangkah sedihnya Pono karena secara tak diduga sama sekali guru yang dihormatinya dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk menggali sebanyak mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal. Dengan perasaan hati hiba dan putus harapan, Pono kembali ke kampung orangtuanya Sintuk. Beliau sering termenung dan terharu atas kepergian Syekh Madinah (Syekh Abdul Arif).38

Sebelum meninggal Syekh Madinah berpesan kepada Syekh Burhanuddin (Pono) untuk melanjutkan pendidikannya kepada salah satu sahabatnya waktu di Madinah yaitu Syekh Abdurrauf39 yang sudah menjadi ulama terkenal di wilayah Aceh.

Di kampungnya Sintuk, Pono secara sembunyi-sembunyi mengajarkan serta meyakinkan ke teman-teman terdekatnya akan hakikat kebenaran ajaran Islam. Pono lalu menyampaikan pula ajarannya itu kepada orang tuanya. Pada akhirnya ajaran Islam lambat laun meresap di hati sebagian kecil masyarakat Sintuk.

36

Boestami, Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin

Ulakan (Padang: Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat, 1981), h.12.

37

Yayasan Raudhatul Hikmah, Petunjuk Ziarah ke Maqam Syekh Burhanuddin...., h.8.

38

Boestami, Ibid..., h.12.

39

(38)

Dakwah dari Syekh Burhanuddin (Pono) tidak berlangsung lama. Dari pemuka adat dan penghulu suku menasehati Pono agar meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannya. Akibatnya masyarakat yang tidak suka dengan kegiatan dakwahnya Pono, menganiaya ternak ayahnya dan mengancam akan di usir dari kampungnya. Sampai musyawarah Nagari memutuskan akan membunuh Pono bila tidak menghentikan kegiatan dakwahnya.

Pada saat itu Pono teringat akan pesan gurunya Syekh Abdul Arif untuk belajar menuntut ilmu Agama ke Aceh kepada Ulama Aceh Syekh Abdurrauf. Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian Pono. Pono melanjutkan pelajaran ke Aceh pada Syekh Abdurrauf pada tahun 1073 Hijriah/1662 Masehi yang saat itu sedang menjadi ulama dan mufti pada Kerajaan Aceh.

Selama di perjalanan menuju Aceh, Pono bertemu dengan 4 orang pemuda yang sebaya dengannya. Lalu mereka berkenala dan ternyata mempunyai niat yang sama dengan Pono ingin menuntut ilmu agama di Aceh kepada Syekh Abdurrauf. Mereka adalah Datuk Maruhun dari Padang Ganting Batusangkar, Tarapang fari Kubung Tigo Baleh Solok, Muhammad Nasir dari Koto Tangah Padang dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan.

Ketika sampai di Aceh (Singkil), mereka menjumpai Syekh Abdurrauf dan menyampaikan niatan untuk menuntut ilmu agama. Syekh Abdurrauf langsung menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya ini.

Abdurrauf al-Singkili merupakan seorang ulama besar dan juga termasuk ke dalam salah satu dari seratus tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia. Beliau merupakan keturunan Arab. Dan beliau merupakan tokoh tasawuf dari Aceh yang pertama sekali mengembankan paham tarekat Syattariyah di Indonesia.

(39)

Syekh Abdurrauf Singkel bahwa ia adalah anak pertama dari pada Syekh Al-Fansuri. Abdurrauf lahir sesudah tiga tahun sultan Sayyid al-Mukammil menaiki tahta.40

Abdurrauf berangkat ke Timur Tenggah untuk belajar agama, ia cukup lama belajar di Arab yaitu selama 19 tahun. Ia mengunjungi pusat-pusat pendidikan dan pengajaran Islam di sepanjang perjalanan haji antara Yaman dan Mekkah. Kemudian ia bermukim di Mekkah untuk memperdalam ajaran agama seperti Al-Qur‘an dan Hadis, Fiqih dan Tafsir dan secara khusus mempelajari tasawuf. Bersama dengan kawannya Syekh Abdullah Arif yang lebih dikenal dengan Syekh Madinah atau disebut juga dengan Tuanku Madinah di Tapakis, Pariaman. Ia belajar tarekat pada Syekh Ahmad al-Qushashi. Abdurrauf menceritakan tentang riwayat hidupnya dan guru-gurunya di akhir bukunya

Umdatul Muhtajīn. Dijelaskan pula bahwa dia sangat memuji gurunya Ahmad

al-Qushashi, sebgai pembimbing spritual dan guru di jalan Allah. Dia kemudian memperoleh ijazah dari guru tersebut, sehingga berhak untuk mengajarkan tarekat Syattariyah kepada murid-muridnya. Syattariyah adalah sebuah aliran tarekat yang muncul pertama sekali di India pada abad 15, nama tarekat ini dinisbatkan pada tokoh pertama yang mempopulerkannya yaitu Abdullah asy-Syatar. Tarekat ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran terhadap Allah SWT dalam batin manusia. Hal itu bisa dicapai melalui pengamalan beberapa macam zikir.41

Tarekat Syattariyah ini sangat besar pengaruhnya di dunia Islam termasuk di Indonesia. Scimmel yang sangat otoriatif dalam mengkaji sufisme, setelah membaca penafsiran sufistik Abdurrauf dalam karyanya Daqā‟iq al-hurūf, Scimmel menyimpulkan, sebagaimana diutarakan Azyumardi Azra bahwa Abdurrauf sangat sophisticated dalam menjelaskan dan menginterpretasikan

Wahdah al-Wujūd dalam kerangka syariah. Barangkali ada benarnya bila kemudian paham tasawuf Syattariyah disebut dengan Wihdatus Suhul melihat kemudahan konsepnya.42

40

Shalahuddin Hamid, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Cet I (Jakarta:

Intimedia Ciptanusantara), h. 56.

41

Ibid.

42

(40)

Abdurrauf kembali ke Aceh sekitar tahun 1662 M,dan setibanya di kampungnya segera mengajarkan dan mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Abdurrauf dinilai sebagai tokoh yang cukup berperan dalam mewarnai sejarah tasawuf Islam di Indonesia pada abad ke 17. Pada sekitar tahun 1643, saat kesultanan Aceh dipimpin oleh sultanah (ratu) Safituddin Tajul Alam (1641-1675), karena kedudukannya itu sering disebut dengan Syekh Kuala di Aceh saat menjadi mufti tersebut, dengan dukungan dari pihak kerajaan, ia berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tarekat yang sudah ada sebelumnya dalam masyarakat Aceh.43

Abdurrauf memiliki sekitar 21 karya tertulis yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasawuf. Kitab tafsirnya yang berjudul

Turjumān al-Mustafād (Terjemahan pemberi faedah) merupakan kitab tafsir

pertama yang dihasilkan di Indonesia yang berbahasa Melayu. Sedangkan kitab fiqh yang ditulisnya atas permintaan Sultanah Safiatuddin yang memuat tentang fiqh mazhab Syafi‘I sebagai panduan bagi para kadi, ia menulis Mirā‟at at-Tullāb

fi Tashīl Marifatul Ahkām as-syariyyah li malīk al-Wahhāb (Cermin bagi

Penuntut Ilmu Fiqh, untuk memudahkan mengenal segala hukum Syara‘ Allah), buku ini merupakan buku karangannya yang terkenal, yang disadurnya dari kitab

Fathul Wahhāb.44

Dalam bidang tafsir ia menulis Turjumān al-Mustafād, tafsir pertama dalam bahasa Melayu. Dalam bidang tasawuf ia menulis Bayān al-Tajallī

(keterangan tentang Tajallī), Kifayatul Muhtajīn (Pencukup Para Pengemban Hayat), Daqā‟iq al-hurūf (Detail-detail Huruf) dan Umdah al-Muhtajīn (Tiang orang-orang yang memerlukan). Buku ini terdiri dari tujuh bab, yang memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasulnya dan asal-usul ajaran mistik dalam Islam. Tiga kitab terakhir menjadi rujukan utama dalam kajian tarekat Syattariyah yang disadur oleh Syekh Burhanuddin Ulakan kemudian diwariskan secara turun-temurun sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip.45

43

Shalahuddin Hamid, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Cet I (Jakarta:

Intimedia Ciptanusantara, 2003), h. 57-58.

44

Ibid., h. 58.

45

(41)

Selama belajar dengan Syekh Abdurrauf termasuk murid yang disayangi tuan gurunya. Ketaatan Syekh Burhanuddin dengan kepada gurunya persis sama sebagaimana Abdurrauf taat kepada gurunya al-Qushashi:

―...adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syekh Abdurrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adabb dan tertib Syekh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syekh Ahmad al-Qushashi, yaitu mendukung dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar yaitu mesjid, selain itu mendukung guru, Burhanuddin juga menggembalakan ternak Syekh Abdurrauf yaitu kambing setiap hari dan lagi menggali tabat (kolam) ikan di sekeliling mesjid...‖46

Syekh Abdurrauf sangat mengabdi kepada gurunya Syekh Ahmad al-Qushashi. Syekh Abdurrauf melakukan perjalanan keilmuannya untuk belajar berbagai disiplin ilmu dan selanjutnya melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Saudi Arabia selama 19 tahun. Keberangkatannya dari Aceh ke Arabia diperkirakan tahun 1642 Masehi/1042 Hijriah47 dan tampaknya Syekh Abdurrauf menghabiskan waktu yang cukup panjang di Madinah untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Kota Nabi ini, Abdurrauf belajar kepada Ahmad al-Qushashi sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 1071 Hijriah/1660 Masehi, dan Khalifah Ibrahim al-Kurani.48

Dari Syekh Ahmad al-Qushashi ia belajar ilmu-ilmu batin, yaitu tasawuf dan ilmu yang terkait lainnya. Sebagai tanda selesainya dari pelajarannya dalam ilmu mistis, Ahmad Syekh al-Qushashi menunjuknya sebagai khalifah Syattariyah dan Qadiriyyah.

Semasa Abdurrauf mengabdi kepada Syekh Ahmad al-Qushashi sebagai khalifah, sang guru pernah memerintahkannya agar kembali ke Jawa (sebutan untuk Indonesia saat itu), untuk membantu perkembangan Islam di tanah kelahirannya. Namun, ia belum mau pulang saat itu karena masih ingin

46

Sri Mulyani, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. 167.

47

Abubakar dan Abdullah, Manuskrip Tanoh Abee: Kajian Keislaman di Aceh masa

Kesultanan, dalam Jurnal Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam, no. 2. (Darussalam Banda Aceh: IAIN Ar- Raniry, 1992), h. 4.

48

Muhammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, (Medan: Pengarang Sendiri), h. 415. Lihat:

Voorhoeve, Bayan Tajalli: Bahan-bahan Untuk Mengadakan Penyelidikan Lebih Mendalam

(42)

mendalami ilmu yang sudah diperolehnya. Setelah ia mendalami ilmu lebih dalam lagi dari Syekh Ahmad al-Qushashi dan sang guru pun menginggal dunia, barulah ia merasa puas dan ia pun meninggalkan Madinah menuju Aceh.49

Abdurrauf tidak memberikan angka tahun kembalinya ke Aceh, tanah airnya. Namun, ia mengisyaratkan bahwa ia kembali tidak lama setelah wafatnya Syekh Ahmad al-Qushashi, dan setelah al-Kurani mengeluarkan untuknya sebuah ijazah untuk menyebarkan pengajaran dan ilmu yang telah diterima daripadanya. Atas dasar ini, kebanyakan ahli yang mempelajari mengenai Abdurrauf berpendapat, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1584 Hijriah/1661 Masehi. Menurut riwayat, Abdurrauf mengambil tempat di Peunayong, sebuah daerah di Bandar Aceh Darussalam, di tepi sungai Aceh. Di tempat inilah ia tinggal sejak pertama kedatangannya dari Arab Saudi sampai ia meninggal dunia.50

Dari kisah di atas, samalah sifat dan wataknya Syekh Burhanuddin yang sangat mengabdi kepada gurunya Syekh Abdurrauf. Begitu juga Syekh Abdurrauf yang sangat mengabdi kepada gurunya Syekh Ahmad al-Qushashi.

Bersama gurunya Syekh Abdurrauf, Syekh Burhanuddin (Pono) mendapatkan pembelajaran yang istimewa. Murid-murid Abdurrauf mempelajari bebagai macam disiplin ilmu seperti Tafsir, Hadis, Mantiq, Ma‘ani, Bayan dan ilmu lainnya. Sedangkan Burhanuddin mendapatkan materi pelajaran hanya surah

al-Fatihah selama setahun dan kemudian naik ke surah al-Baqarah. Hal ini diceritakan:

―... Pono lebih banyak menghabiskan waktunya melayani guru dan pekerjaan rumahnya dengan penuh hormat serta patuh pada gurunya. Hampir saja hari-hari yang dijalani hanya mengabdi pada sang guru. Penutur sejarah menceritakan Pono hanya belajar Surah al-Baqarah sejak awal datangnya sampai ia mau pulang tidak ditambah pelajarannya. Ketika saat pulang Syekh Abdurrauf memanggilnya naik ke surau besar tempat Syekh Abdurrauf mengajar. Ia kemudian menyuruh pono membuka lembaran kitab dan mengajarkan satu kali, tetapi selanjutnya semua kitab yang ada pada Abdurrauf dapat dipahami oleh Pono berkat hidayah Allah.

49

Abubakar dan Abdullah, Manuskrip Tanoh Abee: Kajian Keislaman di Aceh masa

Kesultanan, dalam Jurnal Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam, no. 2. (Darussalam Banda Aceh: IAIN Ar- Raniry, 1992), h. 5.

50

(43)

Hampir semua penutur sejarah mengkisahkan tentang cara belajar seperti ini yang dialami oleh Pono dengan gurunya Syekh Abdurrauf.‖51

Suatu malam, Syekh Abdurrauf duduk di mihrab surau, ia memanggil Pono. Waktu itu murid-murid lain telah tidur di asrama. ―Pono, rasanya ilmu yang kuberikan kepadamu sudah cukup. Engkau telah mempelajari Nahu dan Syaraf, Tauhid dan Fiqih serta Tarekat Syattariyah. Tampaknya tidak ada lagi yang engkau pelajari di sini. Jadi sudah saatnya engkau kembali ke Minangkabau ‖ ujar Syekh Abdurrauf.

Namun ucapan yang disampaikan oleh gurunya itu, tidak ditelan mentah-mentah oleh Pono. Beberapa sejenak ia diam, kemudian menyampaikan keberatannya untuk kembali ke kampung halamannya. Karena ia masih ingin menetap di sini, terus menimba ilmu agama, yang dirasakan belumlah cukup.

Akhirnya, Syekh Abdurrauf menerima permintaan Pono. Suatu hari ia disuruh oleh gurunya mengambil jubah ke Masjid. ―Dalam perjalanan dari sini ke Masjid, berhentilah sejenak dan menengadahlah ke langit lalu menunduk ke bumi. Dan kemudian ceritakanlah padaku apa yang engkau alami,‖ kata Syekh Abdurrauf. Apa yang disuruh oleh gurunya itu, segera dilakukan Pono. Ia berangkat ke Mesjid untuk mengambil jubah. Di tengah perjalanan, Pono menadahkan tangan sambil berdoa. Selang beberapa saat ia melihat sebuah ―Tupah‖ seperti sebuah al-Quran terbentang yang terkembang di balik langit tujuh lapis. Lalu ketika ia menundukkan kepala ke bumi, tampaklah tujuh lapis pitalo

bumi (tujuh Lapis Bumi). Disanalah timbul kesadaranya, bahwa dibandingkan dengan kekuasaan Allah, dia hanyalah sebutir pasir yang tidak ada artinya. Banyak ujian yang diberikan Syekh Abdurrauf kepada muridnya Syekh Burhanuddin untuk melihat kepatuhannya kepada guru yang merupakan salah satu syarat mutlak di dalam tarekat.52

Sejak itulah, Syekh Abdurrauf berpendapat bahwa muridnya itu, Syekh Burhanuddin (Pono) sudah saatnya kembali pulang ke Minangkabau. Konon

51

Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau: Syarak Mandaki Adat

Manurun (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2003), h. 28.

52

(44)

kepada Pono diberikan jubah dari Syekh Ahmad al-Qushashi tanda tamat belajar dan berhak mengembang tarekat Syattariyah. Menurut hikayat, Syekh Abdurrauf dipesan oleh Syekh Ahmad al-Qushashi agar memberikan jubah tersebut pada seorang yang bernama Pono dari Minangkabau. Ia pun diberi gelar Syekh Burhanuddin. Maka tidaklah heran kepulangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan dipersiapkan oleh pihak Aceh dengan fasilitas yang boleh dikatakan berlebihan.

Tentang berapa lama Syekh Burhanuddin (Pono) belajar di Aceh ada beberapa riwayat menyebutkan, H.B.M Leter menyebut 2 tahun di Sinkil dan 28 tahun di Banda Aceh yang semuanya 30 tahun.53

Setelah Pono selesai mempelajari ilmu yang dirasanya perlu dalam agama Islam, maka pada suatu hari diadakanlah perpisahan antara guru dengan murid. Kata perpisahan itu berbunyi sebagai berikut: ―Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah

engkau lalui, sekarang pulanglah engkau ke tanah Minang untuk

mengembangkan agama Islam.‖54

Pada saat waktu keberangkatan Pono Pulang ke Minangkabau juga diberikan nama baru oleh gurunya Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin (Pembela agama). Sejak masa itu resmilah nama Pono menjadi Burhanuddin.55

Setelah sampai ke kampungnya, Syekh Burhanuddin mendirikan surau Syattariyah, sebuah lembaga pendidikan tradisional di Tanjung Medan yang saat itu segera termashur sebagai salah satu pusat keilmuan Islam di wilayah Tanjung Medan. Surau Syekh Burhanuddin ini pada mulanya diberi nama Surau Batang Jelatang, dan kini dikenal sebagai Surau Gadang.56

Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majolelo pemberian Raja Ulakan. Kesanalah Syekh Burhanuddin dibawanya. Dimulailah menunaikan tugas suci menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama adalah di lingkungan keluarga Idris Majolelo. Kemudian diikuti oleh para tetangga terdekat. Walaupun

53

Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau: Syarak M

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis penelitian, pembahasan dan juga simpulan yang telah di uraikan, terdapat beberapa saran yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan

Dengan demikian dapat diberikan penilaian dengan menggunakan kriteria kinerja keuangan maka tingkat efisiensi pengelolaan keuangan daerah Badan Pengelola Keuangan

Dalam lingkungan keluarga permasalahan yang menyebabkan melunturnya rasa cinta tanah air adalah kurang adanya perhatian dan komunikasi orang tua terhadap anak. Sebagian besar orang

Indikator handal suatu komponen dapat dilihat dari nilai reliability yang dicapai oleh suatu sistem, menurunnya downtime, meningkatnya waktu produksi, dan meningkatkan

Dari tabel di atas, diketahui bahwa F-hitung 56,186 dan kemudian nilai signifikansi (sig. 0,000) jika dibandingkan antara nilai signifikansi (sig) dengan nilai alpha (α = 0,05),

Adapun hasil yang dicapai dari pengabdian ini disimpulkan dari hasil temuan ketika para guru menggunakan aplikasi google translate, antara lain: kebiasaan para

prevalensi B. hominis pada pada wisatawan dan ekspatriat di Kathmandu, Nepal sebesar 30%, namun tidak didapatkan bukti parasit tersebut merupakan penyebab gangguan

suatu model estimasi biaya konstruksi pembangunan kantor pelayanan masyarakat di Kota Surabaya dengan mengambil sampel atau data sekunder dari 5 tahun kebelakang mulai