• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembaruan Pendidikan Islam Di Aceh: Studi Historis Tentang Jami’ah Almuslim 1929-2010 - Repository UIN Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembaruan Pendidikan Islam Di Aceh: Studi Historis Tentang Jami’ah Almuslim 1929-2010 - Repository UIN Sumatera Utara"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONDISI SOSIAL, KEAGAMAAN,

INTELEKTUAL DAN POLITIK DI ACEH MENJELANG BERDIRINYA JAMI’AH ALMUSLIM

Pembicaraan mengenai berdirinya Jami‟ah Almuslim mesti didahului dengan catatan-catatan tentang konfigurasi sosial, keagamaan, Intelektual dan politik di Aceh. Hal ini tidak lain karena eksistensi Jami‟ah Almuslim sendiri dan kegiatan-kegiatannya seringkali dirumuskan dalam konteks merespon kondisi yang berkaitan dengan fakta-fakta sosial, keagamaan, intelektual dan politik tersebut.

A. Kondisi Sosial

Aceh sebelum bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan wilayah berdaulat dengan bentuk pemerintahan kesultanan. Berawal dari kesultanan Pereulak yang didirikan pada tahun 840 H, kemudian kesultanan Samudra Pasai yang didirikan pada tahun 1264. Portugis menghancurkan kesultanan Pasai pada tahun 1514 dan sejak itulah mereka menduduki Pasai. Namun Sultan Ali al-Mughayat Syah (1507-1522), dari kesultanan Aceh Darussalam, mampu mengusir Portugis dari bumi Pasai dalam tahun yang sama, maka semenjak itu wilayah kesultanan Pasai jatuh ke tangan kesultanan Aceh Darussalam. Kesultanan Aceh Darussalam baru dihancurkan Belanda pada tahun 1912. Bekas wilayah kesultanan Pereulak, kesultanan Pasai dan kesultanan Aceh Darussalam itulah yang menjadi Provinsi Aceh sekarang.1

Aceh terletak paling Barat dari kepulauan Nusantara, tepatnya di ujung Barat laut pulau Sumatera antara 2-65° lintang Utara dan 95-98° bujur Timur dan letaknya sangat starategis pada jalur pelayaran dan penerbangan Internasional. Posisi geografisnya adalah: (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, (2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, (3) Sebelah Barat

1 Bandingkan dengan Abd. Mukti, Revitalisasi Kode Etik Guru menuju Pembentukan

Masyarakat Aceh yang Berperadaban (Makalah, tidak diterbitkan, 2010), h. 2-3.

(2)

berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan (4) Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka. Luas wilayah Aceh adalah 57.365,57 km² atau 5.736.557 Ha. Keseluruhan wilatah tersebut terdiri dari hutan, areal pertanian, padang rumput, rawa-rawa, kota, gampong, danau, sungai, bukit, dan pengunungan.2

Berdasarkan sensus pada tahun 1930, penduduk Aceh berjumlah 1.003.062 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 3,2 persen per-tahun. Pada tahun 1961 penduduk Aceh tercatat 1.628.983 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 1,6 persen. Rendahnya tingkat pertumbuhan penduduk selama periode ini, antara lain disebabkan kondisi keamanan di Aceh yang tidak stabil, terutama setelah pendudukan Jepang serta terjadinya pergolakan di daerah ini pada awal kemerdekaan dan pada tahun 1950-an yang terkenal dengan peristiwa DI-TII. Sensus penduduk pada tahun 1971 penduduk Aceh tercatat 2.008.595 jiwa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,14 persen per-tahun. Pada tahun 1980 jumlahnya meningkat menjadi 2.610.926 jiwa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,93 persen per-tahun. Sedangkan pada tahun 1990 jumlah penduduk Aceh sebanyak 3.415.875 jiwa yang terdiri dari 1.717.032 jiwa laki-laki dan 1.698.843 jiwa perempuan dengan tingkat pertumbuhan 2.72 persen. Pada tahun 2000 penduduk Aceh berjumlah 4.073.000 jiwa.3

2 Mulyadi Kurdi, Aceh di Mata Sejarawan; Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya, cet. 1 (Banda Aceh: Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009), h. 1.

3 Laporan Badan Pusat Statistik Aceh, bahwa Penduduk Aceh dari tahun 2000 sampai

(3)

Daerah Aceh termasuk wilayah tropis dengan musim kemarau tiap tahunnya berkisar anatara bulan Maret sampai Agustus, dan musim penghujan berkisar antara bulan September sampai Pebruari. Curah hujan berkisar antara 1.000 mm sampai 2.000 mm di pesisisr Utara dan Timur serta 2.000 mm sampai 3.000 mm di bahagian pedalaman dan sekitar 3.000 mm di bahagian pesisir Barat Selatan. Dengan demikian curah hujan tidak merata di seluruh Aceh, di mana pesisir Barat dan Selatan menerima curah hujan yang paling banyak.4 Di daerah-daerah pesisir Aceh pada umumnya berhawa panas dengan suhu berkisar antara 25-30º c dan di daerah-daerah pedalaman (daratan tinggi) berhawa sejuk atau dingin dengan temperatur rata-rata 20º c. Secara keseluruhan temperatur maksimum rata-rata sepanjang tahun antara 23-25º c dengan kelembaban nisbi berkisar antara 65 sampai 75 persen.

Kepulauan Nusantara dan semenanjung tanah Melayu sepanjang sejarah merupakan wilayah-wilayah yang sangat strategis, oleh karena terletak antara lautan Hindia dan laut Cina selatan yang menghubungkan negeri-negeri sebelah timur, seperti Cina, dan Jepang, dengan negeri-negeri sebelah barat, yaitu anak benua India, Parsi dan negara-negara Arab, Afrika, serta Benua Eropa. Kepulauan Nusantara menghasilkan rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya yang amat diminati oleh pedagang-pedagang dari timur dan barat. Di Selat Malaka, misalnya muncullah pelabuhan-pelabuhan transito tempat para pedagang dari segenap penjuru bersama kapalnya bertemu, mengadakan transaksi perdagangan, sambil menunggu giliran datangnya angin musim timur-laut dan barat-daya yang akan membawa mereka bersama barang-barang dagangannya ke tempat tujuan masing-masing.5

Menurut Harry Kawilarang, pengaruh Aceh pada abad ke-18 sampai awal abad ke-19 sangat kuat di seputar Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara, karena Aceh menguasai jaringan niaga lada sejak

4 Kurdi, Aceh di Mata, h. 1.

(4)

lama. Pada tahun 1820, Aceh adalah produsen lada hitam terbesar di dunia6 dan telah menjadi pusat perdagangan internasional yang salah satu ekspor utamanya adalah lada. Pedagang-pedagang dari anak benua India terdiri dari orang-orang Gujarat, Benggala, dan Keling serta pedagang-pedagang dari Peru, Siam, dan Kedah menjalankan kegiatan perdagangan di Selat Malaka, yang sebagian berdagang di wilayah Pasai, sebagian lagi di Aceh wilayah Pidie dan selebihnya menjalankan perdagangan di Selat Malaka. Hubungan perdagangan antara Pasai dan Jawa berkembang dengan pesatnya. Di Samudra Pasai pedagang-pedagang Jawa mendapat hak istimewa, yakni dibebaskannya mereka dari bea cukai impor dan ekspor atas brang-barang perdagangan yang dibawa mereka.7

Tome Pires memperkirakan bahwa Aceh mengekspor lada kira-kira 8.000 sampai 10.000 bahar setiap tahun, atau 15.000 bahar jika terjadi panen yang melimpah. Di samping mengekspor lada, Aceh juga mengekspor sutra, kapur barus, dan emas dari daerah-daerah pedalaman. Dipercanyai bahwa metode memeroses sutra diperkenalkan di Aceh oleh orang-orang Cina.8 Giovani da Empoli memberikan informasi bahwa kerajaan Aceh berjanji akan memberikan sutra kepada orang-orang Portugis untuk diekspor; sebelum itu Aceh memasok sutra kepada pedagang-pedangan Gujarat yang kemudian menukarkan sutra itu dengan berbagai bahan dari Cambay India dan barang-barang dagangan lainnya yang berharga 100.000 dukat.9

Pada awal akhir abad ke-18 kerajaan Aceh telah menukil sejarah baru dalam peta perdagangan dunia, yaitu dengan memperkenankan pedagang Inggris dan Belanda untuk membeli lada di wilayah kekuasaannya secara bebas, walaupun kerjasama dagang antara kedua negara tersebut telah terjalin lama.10 Di

6 Harry Kawilarang, Aceh Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, cet. 1 (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010), h. 30.

7Ibid., h. 2.

8 M.A.P. Meilink Roelofsz, Asian Trade and European Influence in The Indonesian

Archipelago between 1500 and 1630 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1962), h. 90. 9Idib., h. 350.

10 Kontak pertama antara orang-orang Belanda dengan kerajaan Aceh terjadi pada tanggal

(5)

samping itu Sultan juga memperkenankan orang Portugis berada di Aceh Darussalam sebagai tenaga ahli.11 Konsep perdagangan kemitraan antara kerajaan Aceh dengan Belanda tidak selalu terjalin dengan baik. Dua kapal Belanda di bawah pimpinan Admiral Paulus van Caerden menelusuri pantai Barat Sumatra dan sampai di pelabuhan Aceh. Ia telah melakukan kecorobohan dengan merampok kapal Aceh dan memunggah semua lada yang terdapat dalam kapal Aceh itu, menenggelamkannya, dan kemudian mereka melarikan diri. Akibat dari kejadian ini hubungan perdagangan antara Aceh, Belanda dan Inggris mengalami masa-masa suram, walaupun pada tahun 1824 dicapai suatu kesepakatan antara Aceh, Belanda dan Inggris yang terkenal dengan Perjanjian London (Treaty of London). Dalam sebuah Nota yang dilampirkan pada Traktat itu dinyatakan bahwa tindakan permusuhan tidak akan dilakukan terhadap kerajaan Aceh.12 Meskipun demikian dalam perjalanan sejarah setelah 1824, sejumlah komplik antara Belanda dengan kerajaan Aceh tidak dapat dihindari. Pada tahun 1829 Belanda menyerang Barus yang dikuasai Aceh. Serangan Belanda dapat dipatahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan Aceh. Pada tahun 1835 beberapa perahu Aceh di sekitar Pulau Poncang, teluk Tapanuli, ditahan oleh pihak Belanda. Awak perahunya sebagian ditangkap, sedangkan sebagian lagi dibunuh.13 Walaupun insiden-insiden kecil sering terjadi antara kerajaan Aceh dengan Belanda, namun pihak Belanda pada mulanya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Aceh, karena terikat perjanjian Traktat London tahun 1824 yang mengharuskan Belanda menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Beberapa puluh tahun kemudian Belanda berhasil membawa Inggris ke Meja perundingan hingga akhirnya tercapailah perjanjian 1871 yang terkenal dengan Traktat Sumatra. Leeuwin. de Houtman menghadap sultan dengan membawa bingkisan dan mohon izin Sultan agar memperkenankan berdagang di Kerajaan Aceh. Pihak Istana Aceh juga membalas bingkisan de Houtman dengan hadiah dari Sultan Aceh dan mereka diperkenankan berdagang di Aceh. Baca:

Ibid, h. 67. 11Ibid.

12 Lihat Traktat London beserta lampirannya dalam E.B.Kielstra, Beschrijving van Atjeh

Oorlog: met Gebruikmaking der Officieele Bronnen (Afgestaan: Departement van Kolonien Daartoe Jil. I, 1883), Lampiran I, h. 390.

(6)

Dalam Traktat ini antara lain dinyatakan, bahwa Belanda bebas untuk memperluas kekuasaannya di seluruh pulau Sumatra sehingga dengan demikian tiada kewajiban bagi Belanda untuk menghormati kedaulatan kerajaan Aceh sesuai dengan isi Traktat London.14

Tahun 1873 merupakan babak baru dalam kehidupan sosial Aceh, yaitu masuknya Aceh ke dalam kancah peperangan dengan Belanda, sebagai akibat dari perjanjian Sumatra (Traktat Sumatra) pada tahun 1871, maka pata tanggal 5 April 1873 Belanda siap di Perairan Aceh dengan enam kapal uap, dua kapal angkatan laut, lima kapal penumpang dan lima kapal layar. Pada tanggal 08 April 1873 mendaratlah pasukannya di Pandai Kuta Perwira Ceureumen, sebelah timur Ulee Lheue, dengan kekuatan 168 orang perwira serta 3.198 bawahan di bawah pimpinan Mayor Jendral J.H.R. Kohler.

Perang Aceh yang berlangsung dari tahun 1873 sampai dengan 1912, tentu telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan sosial masyaraka, baik di bidang ekonomi, kesehatan, maupun bidang-bidang lainnya. Sejak tahun 1874 situasi kesehatan masyarakat terus-menerus berada dalam kondisi tidak mengembirakan, dan mencapai puncaknya pada tahun 1901. Demam, biri-biri, kolera, sakit perut dan carar menyerang masyarakat Aceh. Hewan ternak juga ditimpa penyakit seperti pes sapi, demam Texas, lebih dahsyat dari tahun-tahun sebelumnya, yang mengakibatkan hewan-hewan ternak mati.15

Untuk mengantisipasi keadaan kesehatan masyarakat Aceh yang semakin hari semakin parah, pada tanggal 01 Juli 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan poliklinik pribumi di Peunayong, kemudian seiring dengan perkembangan kesehatan masyarakat, klinik-klinik kesehatan lainnya terus didirikan dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan kepada warga Aceh, sehingga sampai tahun 1942 Belanda telah mendirikan 80 klinik kesehatan di

14 Alfian, Wajah, h. 75.

(7)

seluruh Aceh. Sedangkan rumah sakit besar (rumah sakit rujukan) hanya ada di Kuta Raja (Banda Aceh sekarang).16

Di samping pelayanan kesehatan, Pemerintah Hindia Belanda juga melakukan pembangunan transportasi dan komunikasi di Aceh sejak tahun 1876. Dalam rangka menaklukkan Aceh, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu memperhatikan jaringan jalan yang bermanfaat untuk aksi militer. Pada awalnya jalan yang dibuka tanpa mengikuti sistem tertentu.17 Dalam setiap pembukaan jalan saat itu lebih diutamakan untuk kepentingan militer, di samping kepentingan ekonomi. Mulai tahun 1901 Gubernur Sipil dan Militer Aceh Van Heutz telah mulai membangun rel kereta api, sehingga pada tahun 1914, kereta api telah dapat mengangkut hampir tiga juta orang di Aceh. Di samping rel kereta api juga telah dilakukan pelebaran dan penambahan pembangunan jalan raya yang memuluskan dalam melakukan transportasi Aceh. Sampai tahun 1930-an sudah terdapat 1.500 kenderaan yang terdiri dari 756 kenderaan priabdi, 427 bus dan 258 truk.18 Pembangunan bidang transportasi ini, dalam proses spesifikasi daerah Aceh, Belanda menganggap penting, baik dari sudut pandang politik, militer dan ekonomi. Di samping itu, pemerintah Hindia Belanda juga telah melakukan berbagai pembangunan ekonomi lainnya.

Menurut Swart, pembangunan ini terus digalakkan oleh Belanda dengan harapan bahwa rakyat Aceh tidak lagi memusuhi Belanda, serta akan melupakan penderitaan yang dialaminya akibat perbuatan pemerintah Belanda dalam bentuk penindasan yang sangat menyakitkan hati dan merugikan rakyat Aceh yang telah berlangsung sekian lama.19

Pada tahun 1928 areal persawahan yang telah dibangun oleh Pemerintah Van Heutz di Aceh seluas 130.000 ha. Dengan hasil produksinya telah surplus beras, oleh Pemerintah telah diusahakan untuk diekspor ke daerah-daerah Sumatra

16Ibid., h.119-120.

17A.J. Vleer, “De Positie van de in het Toeha Peut in het Atjehsche Staatsbestel” dalam

Koloniaal Studien, Nomor 6 tahun ke-19, Desember 1935, h. 150.

18 J. Jonggesjans, Land en Volk van Atjeh; Vroeger en Nu (Hollandia Drukkerij: Baan, 1937), h. 240-241.

(8)

Timur sebagai bahan konsumsi karyawan-karyawan pada perkebunan yang berada di sana.20 Selain peningkatan usaha hasil produksi juga dilakukan peningkatan peremajaan pohon-pohon rakyat, seperti kelapa, pinang, dan lada, dan untuk menunjang usaha ini pemerintah memberikan pinjaman modal kepada rakyat yang menginginkan, tanpa dikenakan bunga, melalui bank-bank kecil yang khusus didirikan untuk menunjang usaha-usaha pertanian rakyat. Di walayah Aceh Besar dalam tahun 1916 telah didirikan 5 bank kecil, sementara di Aceh Utara, Bireuen dan Aceh Timur sejak tahun 1913 juga telah didirikan masing-masing satu bank. Dalam tahun 1918 jumlah bank yang didirikan telah meningkat menjadi 29 unit.21 Sebagai akibat dari bantuan dan kemudahan yang diberikan bank-bank ini terhadap perkebunan lada, maka pada tahun 1919 Aceh telah mampu mengeskpor lada sebanyak 4.340.000 kg. Lada hitam dan 1.000.000 kg lada putih.22 Di samping perkebunan lada, Pemerintah Hindia Belanda juga telah memperkenalkan perkebunan karet modern di Aceh sejak tahun 1908 seperti, Soengei Lipoet Cultuur Maatschappij, didirikan pada bulan Pebruari 1098, dengan modal £.750.000 dan luas 1.500 ha. Pada tahun 1908 didirikan pula perkebunan karet Rubber Cultuur Maatshappij, luas 14.184 ha, dengan modal £. 2.000.000. Pada bulan Juni 1910 didirikan perkebunan karet, Langsar Sumatra Rubber Maatschappij dengan modal £.1.500.00, pada bulan Januari 1911 didirikan perkebunan karet, Batang Ara Cultuur Mij, dengan modal £.500.000.23 Sampai tahun 1923 jumlah perkebunan ini di seluruh Aceh mencapai 20 buah.

Keberhasilan Belanda dalam melakukan pembangunan di berbagai sektor, baik transportasi, komonikasi, perkebunan, perbankkan, dan perekonomian di Aceh mulai tahun 1901,24 menyebabkan timbulnya kebutuhan akan tenaga kerja

20 Rusdi Sufi, Pernak-Pernik Sejarah Aceh (Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, 2009), h. 78.

21Ibid., h. 79.

22 K.A. James, “De Pepercultuur ter Oostkust van Atjeh”, Koloniale Studien (Weltevreden: G. Koe & Co, 1922), h. 375.

23 J. Langhout, Economosche Staatkunde in Atjeh (Den Haag: W.P. Van Stockum & Zoon, 1923), h. 84.

(9)

terampil. Tenaga kerja tersebut tidak dapat dihasilkan, kecuali setelah mendapatkan pendidikan. Karena itu Belanda mendirikan sekolah di berbagai daerah di Aceh. Sekolah pertama yang didirikan Belanda di Aceh adalah Volk School (sekolah desa) pada tanggal 30 Desember 1907 di Aceh Besar dengan murid perdana 30 orang yang diprakarsai oleh Gubernur Sipil dan Militer Van Daalen.25 Pada tanggal 1 Mei 1910 Belanda mendirikan sekolah khusus perempan (Maisje Scholen) di Ulee Lheue, tahun 1915 didirikan Hollands Inlandse School (HIS), pada tahun 1920 didirikan pula Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Kuta Raja.26 Dalam kenyataannya sekolah Belanda tersebut sangat diskriminatif terhadap masyarakat pribumi, tidak semua masyarakat Aceh mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan Belanda tersebut. Pembangunan pendidikan Barat di Aceh pada dasarnya didasari pada pertimbangan ekonomi, karena pada awal abad ke-20 banyak perusahaan-perusahaan Belanda dan yang berkolaborasi dengan Belanda didirikan di Aceh semakin membutuhkan pekerja-pekerja terampil. Banyak pegawai yang direkrut dari bumi putera dijadikan sebagai aparat yang efektif dalam melancarkan sistem ekonomi dan struktur birokrasi mereka. Untuk kepentingan inilah mereka mengembangkan sistem pendidikan kepada kalangan penduduk bumi putera. Penyelenggaraan sistem pendidikan kolonial di Aceh dilaksanakan penuh dengan diskriminatif, artinya tidak semua masyarakat Aceh mendapat tempat yang sama dalam memperoleh pendidikan Belanda. Sebagai respon terhadap kenyataan ini,

25 Sejarah Aceh mulai tahun 1907 dapat dianggap menarik, karena di samping masih

berperang melawan Belanda, sebagaian masyarakat Aceh sudah berkenalan dengan salah satu unsur Kebudayaan Barat, yaitu pendidikan modern yang dipaksakan dari luar. Akibat kontak kebudayaan ini timbullah perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat Aceh, terutama pendidikan, akibat dari kontak kebudayaan ini serta dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, maka sebagaian ulama Aceh terinspirasi untuk melakukan pembaruan pendidikan pribumi di Aceh dari lembaga pendidikan meunasah, rangkang dan dayah menjadi madrasa. Baca lebih jelas: Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Banda Aceh, 1999), h. 191 dan 195. Menurut Teuku Ibrahim Alfian ini merupakan sebuah penemuan. Penemuan adalah penting bagi suatu perubahan sosial. Penemuan tidak selamanya bersifat kebendaan, beberapa di antaranya dapat juga merupakan iea-idea. Tentang hal ini, lihat: William F. Ogburn, “Sosial Change”, Encyclopaedia of Sosial Sciences (New York: Macmillan, 1959), h. 313.

(10)

sejumlah ulama mengambil inisiatif untuk merekontruksi lembaga pendidikan tradisional di Aceh ke sistem madrasah yang modern. Inilah kondisi sosial di Aceh menjelang didirikannya Jami‟ah Almuslim pada tahun 1929.

B. Kondisi Keagamaan

Agama dalam kehidupan bermasyarakat berperan sebagai sarana pemersatu dan menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai kondisi dan situasi yang terjadi di sekelilingnya. Secara sosiologi, agama merupakan kategori sosial dan tidak empiris. Dalam konsteks ini, agama dirumuskan dalam tiga corak pengungkapan universal berupa pengungkapan teoritis berwujud sisitem kepercayaan (belief system), pengungkapan praktis sebagai sistem persembahan (system of worship), dan pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan masyarakat (system of sosial relation).27 Di sini agama secara teoritis merupakan sistem yang mempunyai daya bentuk sangat kuat dalam membangun ikatan sosial religius masyarakat. Bahkan agama mampu membentuk kategori sosial yang teroganisir atas dasar ikatan psiko-religius, kredo, dogma atau tata nilai speritual yang diyakini bersama.28 Dengan demikian, agama memiliki daya konstruktif, regulatif dan formatif membangun tatanan hidup masyarakat Aceh.29

Setting sosial keagamaan30 di Aceh pada abad ke-18 masih sangat

27Ahmad Syafe‟i (ed.), Penelitian Pengembangan Agama Menjelang Awal Milineum 3, cet.1 (Jakarta: Badan Litbang Agama, 1999), h. 2.

28Ibid.

29 Aceh sebelum kedatangan Islam merupakan wilayah kerajaan Hindu/Budha yang

penduduknya menganut agama Hindu, Budha dan Animisme (perbegu). Baca: Ali Hasjimy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh (Jakaarta: Bulan Bintang, 1978), h. 54.

30 Fakta sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat Aceh sudah bersentuhan dengan

Islam sejak abad pertama Hijriyah/ketujuh Masehi atau kedelapan Masehi, sebagaimana dikatakan oleh Armold, atau paling tidak masyarakat Aceh sudah bersentuhan dengan Islam pada abad ketigabelas Masehi, sebagaimana yang di sampaikan oleh Marrison. Akan tetapi kebanyakan para peneliti cendrung mengatakan bahwa sangat memungkinkan Islam sudah diperkenalkan ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah/ketujuh Masehi, tetapi hanyalah setelah abad keduabelas pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Baca: N.A. Baloch, Adven of Islam in Indonesia, Edisi I (Islamabad: Islamabad National Institute Historical and Cultural Research, 1980), h. 56-7. Menyangkut dengan daerah mana yang mula-maula menerima kedatangan Islam di Aceh juga masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa Perlak adalah daerah pertama yang menerima kedatangan Islam di Aceh. Sebagian ilmuan sejarah lainnya berpendapat bahwa daerah Aceh yang mula-mula menerima Islam adalah Pasai, pantai utara Aceh. Baca: Abd. Mukti,

(11)

diwarnai dan dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya, terutama masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636),31 karena pada masa ini Aceh mencapai puncak kejayaannya di berbagai bidang. Dakwah Islam pada periode ini sangat gencar dilakukan, baik di berbagai pelosok Aceh sendiri, maupun ke luar Aceh.32 Pelaksanaan ajaran Islam bukan hanya dalam bidang amar ma„ruf tetapi juga dalam bidang nahi munkar. Karena itu, di Aceh pada ketika itu, telah dikenal pengadilan yang berdasarkan agama yang dipegang oleh Qâd฀ î al-Mâlik al-’Âdil. Pengadilan ini mulai di tingkat pusat kerajaan, sampai ke mukim-mukim di mana Uleebalang sebagai pimpinan wilayahnya.33 Islam telah memiliki kekuatan politik ketika banyak pimpinan wilayah di berbagai pelosok Aceh memeluk agama Islam ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (sunni) dan menjadikan Islam ajaran sunni sebagai ideologi negara sehingga intervensi negara berjalan dengan lancar. Ajaran Islam dapat dilaksanakan sebagai hukum-hukum publik dan privat. Bahkan mulai menjadi norma yang mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat dan hukum yang hidup (living law) dan memiliki keterkaitan sosiolis sakralitas bagi masyarakat Aceh.34 Proses Islamisasi di berbagai bidang kehidupan tersebut telah membuat rakyat Aceh seluruhnya beragama Islam, mereka terkenal patuh dan taat kepada agamanya. Islam telah berabad-abad menjadi agama rakyat. Banyak unsur-unsur Islam terdapat dalam adat istiadat mereka, dalam bahasa, kesenian, tata cara berpakaian, cara perkawinan, dalam hukum pewarisan, kekerabatan dan dalam kehidupan sosial lainnya.

Pendapat yang menyatakan bahwa agama rakyat tergantung kepada agama

31 Pada masa kerajaan Aceh Darussalam ini hidup empat ulama besar dan terkenal di

Nusantara, yakni Syekh Hamzah Fansûriy (wafat sebelum tahun 1016/1607), Syekh Syams al-Dîn Sumathraniy (w. 1630), Syekh Nur Dîn Rânîry (w. 1068/1658) dan Syekh Abd Râuf al-Singkîly (1024/1615-1105/1693).31 Sealan itu, kerajaan Aceh juga terkenal sebagai Dinasti yang pertama kali mengeluarkan mata uang emas di wilayah Asia Tenggara yang beridintitaskan Islam yang dinamakan dengan dirham. Saat itu kerajaan diperintahkan oleh Sultan Mâlik Zhâhir (w. 1326). Baca: Abd. Mukti, Sejarah Pertumbuhan, h. 25.

32 M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah, cet. 1 (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2006), h. 21.

33Ismuha, “Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‟ah di Aceh, dahulu, sekarang dan nanti” dalam Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, cet.1 (Jakarta: Bhratara, 1981), h. 232.

(12)

rajanya berlaku juga pada masyarakat Aceh. Mereka menganut ajaran yang dianut oleh para sultan mereka, yaitu ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (sunni), yakni mazhab Syâfi‟i dalam fiqh dan aliran Asy‟ârîyah dalam teologi. Ini berarti bahwa para sultan bertanggung jawab untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran Sunni tersebut melalui pendidikan. Untuk itu para sultan mendirikan muenasah pada setiap desa (gampong/huta) untuk mengajarkan ajaran-ajaran Sunni tersebut di bawah pimpinan Imum meunasah. Hal ini telah dimulai oleh sultan-sultan Pasai sebelumnya dan kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan Aceh Darussalam. Bahkan yang terakhir ini menyebarkan sistem pendidikan Meunasah di seluruh Aceh dan daerah-daerah lain yang berada di bawah kekuasaannya. Dengan ajaran Islam versi Sunni benar-benar telah menjiwai seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh.35 Muslim Ibrahim mengatakan bahwa syari‟at Islam pada masa itu telah dilaksanakan secara kaffah di Aceh yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Wilayah kerajaan Aceh pada waktu itu meliputi hampir seluruh pulau Sumatera, Malasyia, Singapura, dan Thailand. Sumber sejarah menyebutkan bahwa, seluruh tatacara kehidupan baik yang berhubungan dengan hukum kemasyarakatan maupun hukum tata negara, semuanya telah diatur dalam Adat Meukuta Alam yang ditulis dalam huruf Jawi (Arab Melayu), sekaligus ditetapkan sebagai Undang-Undang Kerajaan. Adat Meukuta Alam juga dijadikan pedoman oleh sejumlah kerajaan lain di Semananjung, seperti Pahang, Perak, Kelantan, Phattani, dan Malaka.36

Adat Meukuta Alam tidak hanya digunakan di daerah Semenanjung saja, melainkan juga digunakan oleh Sultan Hasan sebagai pemimpin kerajaan Brunai Darussalam pada waktu itu. Ini tercermin dari ungkapan Sultan Hasan yang dikutip Muslim Ibrahim sebagai berikut: ”Kerajaan ini mengambil teladan dan isi Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Adat Meukuta Alam untuk kerajaan kita (Brunai Darussalam), karena ia benar-benar bersumberkan kepada Alquran, Hadits, Ijma‟ Ulama dan Qiyâs”.37 Upaya pelaksanaan Syari‟at

(13)

Islam pada masa tersebut ditandai dengan peran sejumlah besar ulama dalam menetapkan hukum Islam, di samping keberadaan lembaga peradilan mulai dari tingkat pertama sampai kasasi. Tingkat pertama adalah pengadilan kampung (gampong) yang dipimpin oleh geusyik (kepala gampong). Tingkat banding disebut peradilan balai hukum mukim dan diputuskan oleh Uleebalang. Sekiranya keputusan Uleebalang dinilai kurang adil, maka pihak-pihak yang berperkara dapat mengajukan perkaranya ke panglima sagoe, dan paling tinggi adalah pengadilan kasasi, yang terdiri dari atas Sri Paduka Tuan, raja Banhara dan Faqih.38 Dengan demikian dalam tatanan masyarakat Aceh, pranata sosial keagamaan telah berjalan dengan baik dan teratur. M. Hasbi Amiruddin dalam bukunya: Aceh dan Serambi Makkah menjelaskan bahwa “Banyak masyarakat yang masih mengklaim bahwa Aceh sama dengan Islam, maksudnya masyarakatnya”.39 Agama Islam telah menjadi peraturan hidup bagi masyarakat

Aceh, sehingga tidak heran di kemudian hari Islam menjadi way of life-nya masyarakat Aceh.

Kondisi keagamaan di Aceh sebagaimana yang telah disebutkan di atas bertahan sampai Belanda menyatakan perang dan menyerang Kerajaan Aceh Darussalam pada bulan April 1873. Setelah itu kondisi keagamaan di Aceh mengalami pasang surut sesuai dengan keadaan negara dalam kondisi perang. Banyak para sejarawan cendrung setuju bahwa paruh kedua abad ke-19 adalah periode ekspansi wilayah dan persaingan kolonial, ketika sistem kapitalis modern, di bawah perlindungan politik, dimulai untuk menguasai negara di dunia. Salah satu contoh usuha kolonial di Asia Tenggara adalah agresi Belanda ke Aceh.40

Untuk menghadang kolonialisme terhadap Aceh yang dimulai pada tahun 1873 tersebut sentemen agama memainkan peranan penting dalam menghadapi perang. Pada saat sultan tidak sanggup memimpin perlawanan, dan para

38 Salim Segaf Al-Jufri (et.al.), “Pengantar” dalam Penerapan Syari’at Islam di

Indonesia: Antara Peluang dan Tantangan (Jakarta: Globalmedia Cipta Publishing, 2004), h. 9. 39 M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2006), h. 11.

(14)

Uleebalang tidak mampu untuk menyatukan aksi perlawanan rakyat lagi, muncullah ulama dari dayah untuk memimpin perang melawan penjajah kafir (Aceh: kafee). Pada waktu itu, ulama mengumumkan: ”Ini merupakan tugas kita untuk bersatu melaksanakan jihâd”41 Berdasarkan hal ini, para ulama menjadi salah satu instrumen yang membawa konflik tersebut ke dalam perang suci. Melalui penyebaran ideologi prang sabi (perang suci),42 ulama mempengaruhi rakyat untuk meningkatkan kekuatan mereka untuk berperang melawan musuh.

Agar status hukum menjadi jelas bagi rakyat Aceh, para ulama menggunakan jalan dengan teori Islam tentang perang suci. Ulama menyebut penjajah Belanda sebagai kâfir al-harb,43 wilayah yang diduduki oleh Belanda dikatakan dâr al-harb. Menurut ulama, perang melawan Belanda merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Berperang melawan penjajah disebut jihâd fî sabîlillâh. Siapa yang gugur dalam pertempuran adalah syâhid dan akan masuk surga. Lebih dari itu, adalah dibolehkan untuk mengambil secara paksa harta yang dimiliki oleh kâfir al-harb, harta tersebut akan menjadi ghanimah (rampasan perang).44 Strategi ini telah menambah keinginan rakyat untuk berperang kerena didasarkan pada perintah Allah.

Perang Aceh melawan Belanda akhirnya dapat berakhir pada tahun 1912,45 setelah itu ulama kembali ke fungsi dasarnya yaitu mengajar di meunasah, rangkang dan dayah yang sudah lama ditinggalkan, yaitu sejak perang Aceh meletus tahun 1873 sampai tahun 1912.46

41 C. Snouck Hurgronje, The Acehnese (Leiden: E.J. Brill, 1906), h. 177.

42 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 151. 43 E. Gobee and Adriaanse, Nasehat-Nasehat C.S. Hurgronje Semasa Kepegawaiannya

kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, terj. Sukarsi (Jakarta: INIS, 1991), h. 111. 44 Ghanimah berarti harta yang diperoleh dalam peperangan dari daerah kafir yang ditaklukkan, bisa berupa senjata, kuda atau semua barang yang dapat dipungut. Baca: Amiruddin,

Ulama, h. 16.

45 Sanusi Pane, Sejarah Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1951), jilid II, h. 174. Baca juga: Ali Hasjimy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 71.

(15)

Sebagai akibat dari kolonialisme dan imperialisme yang sudah terjadi berpuluhan tahun di Aceh, maka tradisi keberagamaan masyarakat Aceh sesudah tahun 1912 sudah banyak terjadi praktek-praktek yang bercampur aduk dengan adat dan kebiasaan lokal. Hal ini antara lain karena pengalaman keagamaan lebih didasarkan pada cara mengikuti para pendahulu (taqlîd) dan tidak didasarkan pada pemahaman yang langsung (ijtihâd) dari Alquran dan Hadits. Praktek bermadzhab dipandang sebagai sebab utama munculnya praktek keagamaan yang bersifat taqlîdî. Ajaran-ajaran agama dipahami sebatas konsep yang diperkenalkan dan diajarkan oleh para imam madzhab sehingga secara umum para pengikutnya tidak terangsang untuk mempelajari Alquran dan Hadits. Kitab-kitab karya ulama klasik dijadikan pedoman utama dalam pengajaran agama Islam di lembaga-lembaga pendidikan tradisional, sedangkan kitab-kitab modern yang mencoba memahami secara langsung Alquran dan Hadits diabaikan.

Bidang-bidang studi non-keagamaan yang memang tidak tersedia dalam kitab-kitab klasik tidak diajarkan sama sekali. Sampai menjelang didirikan Jami‟ah Almuslim pada tahun 1929, tradisi yang demikian masih sangat dominan mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh, sehingga dalam prakteknya pendidikan Islam agak identik dengan pengajian kitab-kitab ahli madzhab, yang kemudian dikenal dengan al-kutûb al-mu’tabarât (kitab-kitab muktabar).47

Dalam kondisi keagamaan yang demikianlah Jami‟ah Almuslim didirikan tepatnya pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1348 Hijriah bertepatan dengan tanggal 14 Nopember 1929 Masehi.

C. Kondisi Intelektual

Peta intelektual Aceh sepanjang sejarahnya telah memainkan peran penting di Nusantara, baik melalui dakwah Islâmiyah maupun pendidikan Islam.48

47 Harun Ismail, Lintasan Sejarah Almuslim Peusangan dan Madrasahnya (Peusangan:

Jami‟ah Almuslim, 1414 Hijriyah), h. 31.

48 Pendidikan Islam dilaksanakan di Aceh pada tahap awal terlaksana secara informal

melalui adanya kontak antara pedagang atau mubaligh dan masyarakat sekitar. Selanjutnya dalam waktu yang relatif singkat terbentuk pula keluarga-keluarga Islam, terutama di gampong-gampong

(16)

Kehadiran pendidikan Islam di Aceh sama tuanya dengan kehadiran agama Islam itu sendiri,49 sebab antara pendidikan Islam dengan proses Islamisasi merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Pada awal abad ke-18, kehidupan intelektual di Aceh mengalami perkembangan pesat dari abad-abad sebelumnya. Institusi pendidikan meunasah,50

aqidah (kepercayaan), ibadah dan mu’amalah Islam kepada anak-anaknya di rumah (bahasa Aceh:

rumoh) mereka masing-masing. Dalam pada itu jumlah keluarga Islam semakin banyak, juga sementara keluarga yang telah lebih duluan Islam, ilmunya di bidang keislaman semakin luas dan mendalam. Karena itu tidak mustahil apabila keluarga yang baru masuk Islam, setidak-tidaknya anak mereka dan orang-orang yang berminat kepada Islam mulai berdatangan ke rumah-rumah keluarga tersebut untuk belajar agama Islam. Sejak waktu itu muncul pendidikan di remoh-remoh orang yang dianggap alim oleh penduduk setempat, sehingga dapat disebut bahwa ”reumoh”

merupakan lembaga pendidikan dasar yang pertama lahir di Aceh. Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Pendidikan di Aceh dari Masa ke Masa (Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi NAD, 2009), h. 30.

49 Islam masuk ke Indonesia bukan melalui ekspansi militer, melainkan melalui dakwah

(jalan damai). Dengan demikian tidak kita jumpai catatan sejarah yang menyebutkan secara pasti tahun masuknya Islam ke Indonesia. Para peneliti sejarah berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah/ketujuh Masehi atau kedelapan Masehi. Pendapat ini dikemukakan oleh Armold, dan diikuti oleh para sarjana Indonesia. Ia berargumen bahwa sejak abad ini sudah terjadi hubungan dagang antara masyarakat Indonesia yang berdomisili di daerah pesisir utara Sumatera dan saudagar Muslim asal Arabia. Sebagian lagi mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ketigabelas. Pendapat ini dikemukakan oleh Marrison. Ia berargumen bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh para penyebar Islam dari pantai Coromandel. Dikatakan bahwa kebanyakan penyebar Islam profesional ini datang ke Indonesia pada abad keduabelas dan ketigabelas. Kebanyakan peneliti cendrung mengatakan bahwa sangat memungkinkan Islam sudah diperkenalkan ke Indonesia pada abad pertama Hijriiyah/Ketujuh Masehi, tetapi hanyalah setelah abad keduabelas pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Lihat: N.A. Baloch, Advet of Islam in Indonesia, Edisi I (Islamabad: Islamabad National Institute Historikal and Cultural Research), h. 56-57. Lihat Juga: Abd. Mukti,

Sejarah Pertumbuhan, h. 15. Bandingkan dengan: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII: Melacak Akar-akar Pembaruan, cet. I (Bandung: Mizan, 1994), h. 24-31.

50 Meunasah terdapat di setiap kampung di Aceh yang berfungsi sebagai sekolah dasar

(17)

rangkang51 dan dayah52 yang sudah ada semenjak kesultanan Pasai,53 terus dipelihara dan mengalami peningkatan, baik secara kualitas, maupun kuantitas. Ini dibuktikan dengan jumlah dayah pada masa itu terus meningkat, demikian juga

51 Rangkang merupakan lembaga pendidikan tingkat Stanawiyah yang menerima murid-murid tamatan muenasah. Baihaqi menyatakan bahwa kurikulum/materi yang diajarkan pada tingkat Rangkang di Aceh adalah sebagai berikut: Pertama, Nahu: Tahrîr Aqwâl, Matan al-Âjurrumiyyat dan Mutammimah. Kedua, Sharaf: Matan Bina, Salasal al-Mudkhâl, Al-Kailanîy dan Al-Mathlûb (kadang-kadang). Ketiga, Fiqh: Matan Taqrîb, Fath al-Qarîb (Hâsyiyat al-Bajûriy), dan Fath Mu’în (I‟anat al-Thalibin). Keempat, Tauhîd: Matan Sanusîy , Kifayat al -Awwâm, dan Hụhurîy. Kelima, Usul Fiqh: Alfiyyat, Al-Waraqât, Latha’if al-Isyârat, Ghâyat al-Wushul

(kadang-kadang). Keenam, Mantîq: Matan al-Sullâm dan Iḍhah al-Mubhâm. Ketujuh, Balaghah: Majmû’ Khams Rasâil dan al-Bayân. Kedelapan, Akhlak -Tasawuf: Muraqî al-’Ubudîyyat dan Tambih al-Ghâfilîn. Kesembilan Lainnya: Sesuai petunjuk Teungku dirangkang.Semua pelajaran yang terdapat di tingkat pendidikan rangkang diajarkan dalam Bahasa Arab. Baca: Baihaqi, A.K.

Ulama dan Madrasah Aceh dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 158.

52 Materi pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan tingkat dayah manyang adalah: Pertama, Hukum Islam, dengan kitabnya: Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyat al-Muhtâj (10 Jilid) dan Nihayatul Muhtaj (10 Jilid). Kedua, Hadits, dengan kitabnya: Fath al-Bârî (13 Jilid), Qustalani (10 Jilid). Ketiga, T asa wu f, d e n ga n ki tab n ya: Syarah Ihya’ Ulûm al- Dîn I b n

‟Arabîy ( 1 0 J ilid ) . Kee mp a t, Tafsir, dengan kitabnya: Ibn Jârir At-Thâbarîy. Kelima, Dan kitab-kitab lainnya yang ditentukan oleh Teungku Chiek, seperti: Ilmu Falak, Ilmu Hisab, Ilmu Thibb dan sebagainya. Belajar di dayah manyang dengan Teungku Chiek pada dasarnya merupakan pendalaman berbagai ilmu agama atau ilmu lain. Oleh karena itu metode belajarnya lebih mendekati diskusi, debad (Al-Mujâdalah), bertukar pikiran dan tidak lagi terikat dengan hanya satu kitab sebagai buku pegangan. Namun demikian kitab-kitab besar tersebut di atas merupakan sebagai pedoman dasar saja. Baca Ibid. h. 160.

53 S.Q. Fathimi, sebagaimana dikutip Abd. Mukti, menyebutkan bahwa Kerajaan

Samudra Pasai banyak dipengaruhi oleh Persia dan Arab, meskipun kebanyakan saudagar yang datang ke kepulauan Indonesia berasal dari India. Kelihatannya hal ini didukung oleh kedudukan Samudra Pasai sebagai sebuah negara maritim, karena itu mempunyai jaringan hubungan yang luas dengan Timur Tengah dan dunia Islam lainnya. Dalam pada itu kekacauan politik yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaan Dinasti Abbâsiyah (750-1258) menyebabkan banyak ulama dari Persia pindah ke daerah-daerah Muslim yang baru diislamkan, termasuk Kesultanan Pasai, salah satu tujuannya mencari perlindungan (patronase). Hal ini terjadi pada akhir abad ke-13. Di antara ulama-ulama yang mendapat perlindungan (patronase) sultan ketika itu adalah Amîr Sa‟îd al -Syîrâzi berasal dari Syîrâz dan Tâj al -Dîn al -Isfahâniy, berasal dari Isfahân . Keduanya berkebangsaan Persia , Abd Allâh ibn Muh ̣ammad (w. 810/1407), berasal dari Delhi , India, Amîr

Mụammad ibn Abd. Al-Qâdîr (w. 822/1419), berasal dari keluarga Khalifah al -Mastaṇhir al -Abbâsiy (623/1226-640/1243). Para ulama tersebut dalam mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam menganut sistem pendidikan dan pengajaran yang pernah dikenal di negerinya masing-masing. Dengan demikian ulama yang berasal dari Persia memusatkan pendidikan dan pengajarannya di

meunasah (Arab: madrasah) dan dayah (Arab: zawiyât). Sementara ulama yang berasal dari India memperkenalkan pula institusi rangkang. Inilah yang menjadi alasan para sejarahwan menyatakan bahwa kebudayaan Islam nusantara sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Persia yang disebut dengan Perso Muslim Culture (kebudayaan Muslim Persia), karena kehadiran mereka di nusantara telah memperkenalkan institusi-institusi pendidikan Islam pada kesultanan Pasai sebagaimana tersebut di atas. Atas dasar itu menunjukkan bahwa institusi pendidikan Islam merupa meunasah, rangkang dan dayah memang benar telah dikenal sejak kerajaan Samudra Pasai berkuasa. Baca: Abd. Mukti, Studi Islam: Paradigma Pendidikan Islam Sejak Periode Klasik Hingga Modern

(18)

dengan jumlah ulama yang mengajar. Selain ulama lokal yang semakin lama semakin tumbuh, sultan juga mengundang ulama-ulama yang dari luar negeri. Ulama-ulama yang diundang tidak hanya untuk mengajar, tetapi juga untuk kebutuhan kerajaan sendiri sebagai konsultan bidang hukum agama. Sebagian ulama daerah turut memperdalam ilmunya di luar negeri, terutama ke Haramain (Makkah dan Madinah). Bukti lain adalah terdapat sejumlah kitab-kitab ilmiah yang bereputasi internasional di tulis oleh sejumlah ulama Aceh di zaman Karajaan Aceh Darussalam (1507-1912).54

Meunasah dalam masyarakat Aceh di samping berfungsi sebagai tempat mengendalikan pemerintahan gampong, baik dalam bidang adat maupun agama, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Meunasah menyelenggarakan pendidikan pada tingkat rendah di bawah pimpinan Teungku Imum Meunasah. Kerikulumnya meliputi Alquran, bahasa Arab, dan dasar-dasar pengetahuan agama. Kitab-kitab yang dikaji pada meunasah selain Alquran adalah kitab Masâil al-Muhtadî li Ikhwân al-Mubtadî, tanpa disebutkan nama pengarangnya. Namun menurut Laffan pengarangnya adalah Ahmad ibn Muhammad Zayn al-Fathani (1856-1906), Bidâyat al-Mubtadî, karangan Syekh Shalih Jawi, al-Âjurrûmiyyat, karangan Ibn. Ajurrum (w. 723/1323) dan Kîtab ’Awâmil. Bahkan jika Teungku Imum Meunasah ternyata seorang ’alim besar, maka kajiannya meliputi kitab Hâsyiyat al-Bajûry, 2 jilid, karya al-Bajûry (w. 676/1277) dan Kîtab Alfiyyat karya Ibn Mâlik (w. 1274). Sistem pengajaran meunasah, adalah guru membaca kitab sambil menjelaskan maknanya dalam bahasa Meulayu atau bahasa Aceh, kemudian meminta salah seorang murid untuk membaca ulang sambil memperbaiki kesalahan-kesalahan bacaan murid. Pendidikan meunasah hanya diikuti murid laki-laki saja, sementara murid perempuan belajar dengan puruemoh (isteri) Teungku Imum Meunasah di rumahnya dan mereka menginap di rumah tersebut. Dalam hal ini fungsi meunasah adalah mempersiapkan murid-murid yang akan melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah, yakni rangkang.55

54 M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2006), h. 25.

(19)

Rangkang menyelenggarakan pendidikan pada tingkat menengah, sebagai kelanjutan dari meunasah. Karena itu lembaga pendidikan ini tidak dijumpai pada setiap desa (Aceh: gampong/huta) akan tetapi dijumpai pada setiap wilayah kemukiman. Wilayah kemukiman terdiri dari beberapa desa di bawah pimpinan seorang pejabat yang disebut Mukim. Biasanya satu kecamatan dibagi ke dalam empat kemukiman. Pejabat Mukim bukanlah pimpinan formal, melaikan sebagai koordinator. Lembaga ini sudah dikenal sejak zaman kesultanan Pasai. Paling tidak setiap wilayah kemukiman memiliki sebuah mesjid, di sekeliling mesjid inilah dibangun bebera Rangkang sebagai tempat pendidikan menengah bagi purta-putri Aceh di zaman kesultanan Pasai. Pimpinan rangkang disebut teungku rangkang. Kualifikasi teungku rangkang adalah seorang ’âlim yang sudah menamatkan pendidikannya pada tingkat dayah. Sesuai dengan jenjangnya, maka pada rangkang diajarkan pengetahuan-pengetahuan agama Islam setingkat lebih tinggi dari pendidikan pada meunasah. Kurikulumnya meliputi pengetahuan agama dan bahasa Arab. Untuk pengetahuan bahasa Arab dipakai kitab al-Âjurrûmiyyat, karya Ibn Âjurrûm (w. 723/1323). Sementara untuk pengetahuan agama dipakai Matan Taqrîb, karya Abû Syujâ‟ (w. 593/1196) dan kîtab Hâsyiyat al-Bajûry, 2 jilid, karya al-Bajûry (w. 676/1277). Semua kitab ini berbahasa Arab. Sistem pengajarannya adalah guru membaca kitab sambil menjelaskan maknanya dalam bahasa Meulayu atau bahasa Aceh, kemudian guru meminta salah seorang murid untuk membaca ulang sambil memperbaiki kesalahan-kesalahan bacaan murid. Fungsi rangkang adalah mempersiapkan murid-muridnya yang akan melanjutkan pendidikan ke tingkat dayah. Biasanya murid-murid rangkang menginap di rangkang sebagaiana halnya murid-murid meunasah. Karena menurut ajaran Islam sejak aqil-baligh, anak-anak harus berpisah tempat tidurnya dengan orang tuanya, dan karena itu pula rumah-rumah di Aceh tidak mempunyai kamar tidur khusus untuk anak-anaknya yang sudah remaja.56

Dayah merupakan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi di Aceh sejak zaman kesultanan Pasai. Dayah dipimpin oleh seorang ulama besar

(20)

yang disebut teungku chik. Karena itu dayah hanya dijumpai di setiap daerah di mana setiap ulama besar berdomisili. Dayah menerima lulusan-lulusan rangkang. Dengan demikian tidak jarang seorang lulusan rangkang harus meninggalkan gampong (desa) halamannya (meudagang) untuk menuntut ilmu pengetahuan pada dayah yang diinginkannya. Bahkan mereka harus tinggl bertahun-tahun di dayah untuk menjalani studinya. Di sini mereka belajar memasak dan mencuci sendiri pakaiannya. Hal ini diperlukan untuk mengajarkan murid-murid dayah bisa hidup mandiri. Dayah mengajarkan pengetahuan-pengetahuan agama Islam yang tinggi, meliputi ilmu fiqh, ushul fiqh, tauhid, tafsir, hadits, balaghah dan mantiq. Untuk kelancaran pendidikan dan pengajaran, teungku chik, biasanya mengangkat asisten yang disebut teungku rangkang, dan asisten ini seringkali direkrut dari kalangan murid-muridnya yang cerdas.57

Di sisi lain, pada awal abad ke-18, Aceh masih dibayang-bayangi zaman keemasan (golden age) sebagai warisan dari pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai sultan yang sangan mencintai ilmu pengetahuan dan ulama. Pada masa kepemimpinan beliau inilah hidup tiga ulama besar dan terkenal di Nusantara, Syekh Syams al-Dîn al-Sumathrany (w. 1240/1630), Syekh Nûr al-Dîn al-Rânîry (w. 1068/1658) dan Syekh Abd. al-Rauf al-Singkîly (1615-1693).58 Syekh Syams al-Dîn al-Sumathrany, dipilih sebagai penasehat dan mufti (disebut Syekh al-Islâm) yang bertanggungjawab dalam urusan keagamaan pada Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Iskandar Muda.59 Dalam kenyataannya al-Sumathraniy tidak hanya sebagai penasehat agama, tapi juga terlibat dalam urusan politik. Al-Sumatraniy juga pernah mengabdi pada Sultan al-Mughayat Syah (1589-1602), raja sebelum Iskandar Muda. James Lancaster, utusan khusus dari Inggris ke Aceh pada tahun 1602, menggambarkan dalam catatan perjalanannya bahwa ada seorang bangsawan ”chief bishop” yang diperkirakan orang tersebut adalah al-Sumatraniy

57Ibid., h. 20.

58 Abd. Mukti, Sejarah, h. 25.

(21)

yang terlibat dalam perundingan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh.60

Nûr al-Dîn al-Rânîry (w. 1658) dipilih sebagai Qâd฀ î al-Mâlik al-’Âdil pada periode Sultan Iskandar Tsani dan beberapa tahun pemimpin berikutnya. Safîat al-Dîn menggambarkan sosok intelektual Al-Rânîry sebagai orang hebat, dia pada dasarnya seorang sufi, teolog dan fâqih, tetapi dia juga pengarang, penasehat, dan politikus. Pada masa Iskandar Tsani, ia memainkan peran penting dalam bidang ekonomi, politik, keagamaan dan pendidikan Islam.61 Syekh Abd. al-Rauf al-Singkîly (1615-1693) ditetapkan sebagai Mufti dan Qâd฀ î Mâlik

al-’Âdil selama periode empat ratu (1641-1699) kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam.62 Sultanah yang dia menjadi Mufti dan Qâd฀ î Mâlik al-’Âdil adalah Tâj al-‟Âlam Safîyyat al-Dîn (1641-1675), isteri dan pengganti Iskandar Tsani merupakan ratu yang pertama. Sultanah berikutnya adalah Nûr al-‟Âlam Naqîyyat al-Dîn (w. 1678), hanya memimpin kerajaan selama 3 tahun, mangkat pada tanggal 23 Januari 1678. Dia digantikan oleh Sultanah yang lain, anaknya sendiri, Inâyat Syah Zakîyyat al-Dîn (w. 1688). Sultanah ini memimpin Kerajaan Aceh selama 10 tahun, dia digantikan oleh Keumalat Syah sebagai sultanah yang keempat dan sultanah terakhir yang memimpin kerajaan Aceh. Setelah lebih kurang 10 tahun Keumalat Syah diturunkan pada tahun 1699.63

Al-Singkîly sering terlibat dalam urusan politik, khususnya dalam hal menyelesaikan situasi konplik politik internal. Simbol intelektual al-Singkîly memainkan peranan penting, misalnya, ketika ada delegasi yang diutus oleh Syârif Mekkah ke Aceh, pada masa Sultanah Zakîyyat al-Dîn. Kedatangan rombongan ini untuk menyelesaikan perdebatan di kalangan orang Aceh

60 Jemes Lancaster, The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and the East Indies, Sir William Foster (ed.) (London: The Hakluyt Society, 1940), h. 96.

61 Azyumardi Azra, “The Transmission of Islamic Reform to Indonesia: Net Works of Middle Eastem and Malay Indonesia Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”

(Disertasi, Columbia University, New York, 1992), h. 351.

62 Ali Hasjimy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 32-40.

(22)

mengenai masalah kebolehan wanita sebagai pemimpin menurut hukum Islam.64 Perdebatan ini sudah lama terjadi di kalangan orang Aceh. Dalam hal ini al-Singkîly tidak memberikan jawaban yang jelas, karenanya dapat dipahami bahwa al-Singkîly mendukung kepemimpinan wanita (sultanah), namanya menjadi simbol otoritas ulama di Aceh. Akhirnya setelah al-Singkîly meninggal, sultanah yang terakhir dimakzul-kan, berdasarkan fatwa dari ketua Mufti Mekkah, yang memutuskan bahwasanya syari‟at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin pada kerajaan Islam.65

Kemajuan pendidikan pada abad ke-18 ditandai dengan banyaknya ahli ilmu pengetahuan (ulama) yang berkumpul terutama di ibu kota kerajaan dan adanya usaha-usaha pembangunan lembaga pendidikan di seluruh wilayah kerajaan. Di samping juga dilakukan pembinaan terhadap lembaga-lembaga pendidikan meunasah, rangkang dan dayah lama di daerah bekas kerajaan-kerajaan lokal dulu (nanggroe), juga didirikan sejumlah besar lembaga-lembaga pendidikan baru. Di ibu kota Banda Aceh didirikan sebuah lembaga pendidikan tinggi, yaitu Jâm’ Bayt al-Rahmân. Dalam ukuran sekarang Jâm’ Bayt al-Rahmân dapat disamakan dengan institut.66

Mengenai kemajuan pendidikan di Kerajaan Aceh pada waktu itu, kiranya laporan perjalanan Augustin de Beaulieu dapat memberikan sekedar gambarannya. Beaulieu mengatakan sebagaimana dikutip oleh Sufi, bahwa di Aceh seni kerajinan yang berhubungan dengan pertukangan sangat dihargai, di sana banyak terdapat tukang-tukang besi yang pandai membuat bermacam-macam alat dari besi, tukang-tukang kayu yang ahli membuat kapal-kapal dan perahu-perahu dari kayu dan juga tukang-tukang penuang tembaga yang mahir. Kapal-kapal galley orang Aceh amat bagus, penuh dengan ukiran-ukiran, berbadan tinggi dan lebar, layar pada kapal itu berbentuk segi empat sama dengan

64 C. Snouck Hurgronje, Een Mekkaansh Gezantshap Naar Atjeh in 168 (t.t.p: BKI-65, 1991), h. 144.

65 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 169.

(23)

layar pada kapal milik Perancis. Papan-papan pada sisi kapal tebalnya enam jari jempol, karenanya sebuah kapal milik Kerajaan Aceh tidak kalah dengan sepuluh kapal galley milik orang Portugis.67 Keahlian semacam ini tidak mungkin ada, tanpa melalui lembaga pendidikan dan lembaga pendidikan tersebut tidak mustahil juga berpusat di Jâm’ Bayt al-Rahmân. Berapa jumlah lembaga pendidikan pada saat itu, tidak diketahui secara pasti. Snouck Hurgronje (1857-1936) yang dianggap sebagai peneliti perintis mengenai soal-soal Aceh dalam karya besarnya, De Atjehers (2 julid, 1893/1894) juga tidak meyinggung jumlah lembaga pendidikan Islam yang ada di Aceh pada waktu itu.68 Namun demikian meunasah (Arab: madrasah) yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan dasar telah ada di setiap Gampong (huta), rangkang sebagai lembaga pendidikan menengah telah ada di setiap Pemukiman. Sedangkan dayah (Arab: zawiyât) sebagai lembaga pendidikan tingggi juga telah didirikan di setiap uleebalang (Kabupaten) pada masa kesultanan Aceh Darussalam berkuasa.69

Pada awal abad ke-19 kondisi intelektual di Aceh walaupun tidak dikatakan mengalami peningkatan, tetapi juga tidak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan bad-abad sebelumnya. Pada abad ini, setidaknya terdapat lima orang ulama yang kepakaran dan karyanya mempunyai nilai tersendiri dibandingkan dengan ulama dan karya-karya lainnya. Mereka adalah Jalal al-Din al-Tursani, Muhammad Zayn al-Asyi (w. 1770), Muhammad al-Langgini yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Di Simpang, Abbas al-Asyi (w. 1895) yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Kuta Karang dan Ismaîl ibn Abd al-Muthallib al-Asyi.

Jala al-Din al-Tursani mempunyai kepakaran dalam bidang Hukum Pemerintahan dan Tata Neg ara. Jala al-Din al-Tursani, nama

67 Rusdi Sufi dan Agus Budi Eibowo, Pendidikan di Aceh dari Masa ke Mas (Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi NAD, 2009), h. 39.

68 Muslim A. Djalil, Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada

Masa Kesultanan Aceh (Periode Tahun 1520-1675) dalam Santunan Jadid (15 Desember 2008), h. 43.

(24)

lengkapnya Jala al-Dîn ibn Kamal al-Dîn al-Tursâni, adalah pengarang kitab Sâfînat al-Hukkâm70 (Bahtera bagi Penegak Hukum), Hidayat al-`Âwwâm (Petunjuk bagi Orang-Orang Awam), dan Munzar Ajla ila Ruthbat

al-’alâ (Cermin yang Bersih Menuju Martabat yang Tinggi). Ia termasuk murid utama Syekh Abd. al-Rauf al-Singkily, dan salah seorang ulama Nusantara yang bergelar al -'Âli m al -’Âl lamah (semacam Guru Besar). Gel ar al-' Âli m al -’Âll amah, han ya diperoleh oleh sebagian kecil ulama Melayu Nusantara, termasuk di antaranya Muhammad al-Nawawi al-Bantani (1813-1897),71 Yusuf al-Makassari, dan Muhammad Zayn al-Asyi. Ini menunjukkan Jalal al-Dîn al-Tursâni, dan juga Muhammad Zayn al-Asyi setingkat, atau setidak-tidaknya mendekati tingkatan Muhammad Nawawi Bantani dan Yusuf al-Makassari dalam aspek keilmuannya. Kepakaran Jala al-Dîn al-Tursâni dalam bidang hukum ketatanegaraan membuatnya dipilih menjadi Qâd฀ î

Mâlik al-`Âdil oleh Sultan dalam dua pemerintahan, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Maharaja Lela Ahmad Syah (1139 H/1727-1147/1736) dan Sultan Alaiddin Johan Syah (1736-1760).72

Muhamamad Zayn (w. 1770) memiliki kepakaran dalam bidang Hukum Syari‟at dan Teologi, Nama lengkapnya adalah Muhammad Zayn ibn al-Faqih Jala al-Din al-Asyi, adalah seorang ulama besar, yang dalam salah satu karangannya terbitan Mushthafa al-Bâb al-Halabî wa Aulâd, Mesir, tahun 1344/1925 dan 1346/1927 disebutkan gelarnya: al-'Âl im al -’Âll amah al-Syeikh Muhammad Zayn ibn al-Faqih Jala al-Din al-Asyi al-Syâfî‟i.73 Dalam

70 Wan Mohd. Shaghir Abdullah, "Syeikh Jalaluddin al-Asyi: Kesinambungan Aktiviti

Ulama Aceh", www//ulama.blogspot.m, 21 Oktober 2010.

71Mụammad al-Nawawi al-Bantani lahir di Tanu Banten, Jawa Barat (sekarang Propinsi Banten). M. Nawawi menetap di Mekah sejak tahun 1855, dan menjadi salah seorang ulama Jawi yang paling terkenal di Haramayn. Ia menghasilkan 26 karya, dan yang paling terkenal adalah Tafsir Nur Marah Labib. Lihat Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengan dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Revisi, cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2004), h. 379.

72 Abdul Hadi W.M, "Aceh dan Kesusteraan Melayu", dalam Sarono W. Kusumo

(Peng.), Aceh Kembali ke Masa Depan, cet. 1 (Jakarta: IKJ Press, 2005), h. 246-248.

73 Lihat Muhammad Zayn ibn al-Faqih Jalaluddin, Kasyf al-Kiram fi Bayan

(25)

kitabnya yang lain,14 terbitan tahun sebelumnya, Sya‟ban 1342/1923 disebut

’Âl lamah al-Fâdhîl Tuan Syeikh Muhammad Zayn ibn al-Faqih Jalal al-Din al-Asyi. Masa Sultan ‟Âlâa al-Dîn Mahmud Syah (1174-1195/1760-1781) ia menjadi Qâd฀ î Mâlik al-`Âdil.74

Muhammad al-Langgini kepakarannya dalam bidang tasawuf, memiliki nama lengkap Muhammad ibn Ahmad Khatib al-Langgini, terkenal dengan Teungku Chik di Simpang, adalah pengarang kitab Dawâ' al-Qulû฀b min al-Ûyûb, dan Mi'raj al-Sâlikîn ila Marthâbat al-Wâliyyîn bi Jah Sayyîd al-‘Ârifîn. Ia lahir di Langgien, Teupin Raya, Pidie, dan hidup pada zaman pemerintahan Sultan Alaidin Sulaiman Ali Iskandar Syah (1251-1273/1836-1857) hingga Sultan Alaidin Mahmud Syah (1286-1290/1870-1874).75 Al-Langgini adalah seorang ahli tasawuf dan penegas ajaran neo-sufisme Nuruddin al-Rânirî dan Abdurrauf al-Fansûrî. Berdasarkan hasil karyanya, yaitu, Dawâ' al-Qulû฀ b, dan Mi'raj al-Sâlikîn. ia dapat digolongkan ke dalam penganut ajaran tasawuf Amali yang mengikuti ajaran Ahl Sunnah wa al-Jamâ'ah (Sunni), yakni bermazhab Syâfî'i dalam fiqhnya. Ia dapat juga dijadikan sebagai representasi ulama tasawuf independen abad ke-19.76

Abbas al-Asyi (w. 1313) yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Kuta Karang, lahir di Kuta Karang (Aceh Utara),77 dan meninggal tahun 1313. Ia tidak hanya dikenal sebagai ulama perang sabil dan pejuang kemerdekaan, tetapi juga ulama intelektual yang menguasai beberapa bidang ilmu pengetahuan, seperti kedokteran (al-thibb), teknik (al-handasab) dan astronomi (al-Nujûm/al-falak). Dilihat dari kandungan intelektual yang terkandung dalam karyanya ia dapat juga disebut sebagai ulama teknokrat dan seorang dokter zamannya. Kepakaranya tersebut dapat

74 Ali Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dan Tanah Aceh, (Bulan Bintang: Jakarta, 1978), h. 80.

75Ibid., h. 78-79.

76 Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX, (Disertasi, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 134.

(26)

ditelusuri melalui karya -karyanya, di antaranya kitab Sirâj al-Zhalâm fi Ma`rifat al-Sa'd wa al-Nahs fi Syuhûr wa al-Ayyâm, Kitâb al-Rahmân fî Thibb wa al -Hikâmat dan juga kumpulan ka rya lainnya dalam kitâb Jam`û Jawâmi` al-Mushanafât, yang meliputi pembahasan tentang fa’âl (ramalan), obat-obatan dan ma'jûn, `âzimat, ghâlib maghlûb, ta'bir mimpi, ilmu mendirikan rumah, dan ilmu firasat.78

Ismail ibn Abd al-Muthallib al-Asyi merupakan seorang ulama yang tidak saja aktif dalam penyusunan (al-jam`û/editing) sejumlah kitab karya ulama terdahulu, tetapi juga ia menulis sejumlah karya keagamaan. Di antara kitab hasil editingnya adalah kitab Jami`û Jawâmi` al-Mushannafât79 dan Tâj Mûlk al- Murahshâ' bi Anwa’ al-Dûrar wa al-Manzhûmat. Kitab Jami`u Jawâmi` al-Mushannafât dalam masyarakat Aceh biasa disebut dengan Kitab Jawami' atau Kitab Lapan (kitab delapan), yang merupakan kumpulan delapan karangan yang dikarang oleh enam orang ulama Aceh, Sementara kitab yang disebut terakhir biasa disebut dengan kitab Tâj al-Mulk.80 Inilah barangkali peta intelektual di Aceh abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Paruh kedua abad ke-19 kondisi intelektual di Aceh mengalami masa-masa suram. Hal ini terjadi karena pada periode ini adalah masa ekspansi wilayah dan persaingan kolonial, ketika sistem kapitalis modern, di bawah perlindungan politik, dimulai untuk menguasai negara di dunia. Salah satu contoh usaha kolonial di Asia Tenggara adalah agresi Belanda ke Aceh pada tahun 1873.81 Menurut Ali Hasjimy, perang Aceh adalah perang kolonial yang terbesar dalam sejarah dunia, karena rakyat Aceh yang telah beratus-ratus tahun ditempa dengan ajaran Islam, telah memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka sanggup

78 Erawadi, Tradisi, h. 135.

79 Ismaîl ibn Abd. al-Muthâllib al-Asyi (ed.), Jam’u Jawami' al-Mushannafât (Mesir: Mushtafa al-Bâb al-Halâbî wa Aulâduh, 1344 H), h. 1-2.

80 Erawadi, Tradisi, h. 136.

(27)

berperang lebih setengah abad untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaanya.82

Pendidikan Islam yang telah membina dan membentuk jiwa-raga masyarakat Aceh semenjak zaman Kerajaan Peureulak, Kerajaan Samudra Pasai, sampai Kerajaan Aceh Darussalam, telah membuat dunia tercengang oleh kemampuan perang Aceh, sehingga hampir-hampir pemerintah kolonial Belanda jatuh bangkrut, karena biaya perang yang terlalu besar. Walaupun demikian, pada akhirnya Aceh harus mengakui bahwa menghadapi agresi kolonial Belanda merupakan pekerjaan berat. Peperangan dahsyat yang berlangsung sejak tahun 1873 dan dinyatakan berakhir pada tahun 191283 telah membuat Aceh mengalami kehancuran total. Kota-kota menjadi rata dengan tanah, istana dan gedung-gedung yang megah hancur menjadi debu, rumah rakyat musnah dibakar musuh, tidak terhitung banyaknya pemuda-pemuda kusuma bangsa gugur dan syahid sebagai pahlawan, tidak terkira lagi harta kekayaan musnah lenyap, meunasah, rangkang dan dayah sebagai pusat pendidikan Islam menjadi porak-poranda, karena para ulama, guru dan santrinya terjun ke medan perang. Tidak cukup dengan itu saja, bahkan Jâm’ Bayt al-Rahmân sebagai pusat kegiatan Islam di Aceh dibakar oleh tentara kolonial Belanda84 dalam tahun 1906.85

Selama masa perang Aceh setengah abad itu, dalam batas-batas memungkinkan, para ulama tetap mengajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau siang hari mereka memimpin para pemuda berperang melawan musuh, maka pada waktu malam mereka mengajar para pemuda itu agar menjadi manusia yang berilmu. Ruangan tempat belajar kadang-kadang di bawah pokok kayu dan kadang-kadang dalam gua-gua atau di bawah rimbunnya rimba belantara. Kaum ibu yang tidak ikut ke medan perang bertindak sebagai guru, mendidik dan mengajarkan anak-anak, baik yang berhubungan dengan agama

82 Hasjimy, Bunga Rampai, h. 82.

83 Pane, Sejarah, h. 174. Baca juga: Hasjimy, Ulama, h. 71. 84 Hasjimy, Bunga Rampai, h. 83

85 Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam Belajar dari Kejayaan Madrasah

(28)

maupun menanamkan semangat perang dengan membaca bait-bait hikayat prang sabi.86 Inilah peta intelektual Aceh pada abad ke-19 M.

Kondisi intelektual Aceh abad ke-20 agaknya lebih menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Hal ini setidaknya disebabkan oleh empat faktor. Pertama, pada abad tersebut perang Aceh dianggap selesai, walaupun pada hakikatnya perang tetap masih berlanjut sampai tahun 1945. Kedua, lembaga pendidikan meunasah dan dayah sudah mulai dibangun kembali. Ketiga, Sekolah Belanda sudah mulai diperkenalkan di Aceh, Keempat, pembaruan pendidikan Islam yang terjadi di belahan dunia Islam seperti di Mesir, Turki, India dan Nusantara sudah mulai direspon oleh ulama Aceh.

Pada tahun 1903 tentara Kolonial Belanda dapat menawan Sultan Aceh yaitu, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muda Perkasa Muhammad Daud dan pimpinan-pimpinan Aceh lainnya. Sejumlah ulama turun melaporkan diri kepada penguasa militer Belanda, setelah ada pengumuman dari Pemerintah Hindia Belanda bahwa siapa saja dari pimpinan perang gerilya Aceh yang mau melaporkan diri kepada penguasa militer Belanda tidak akan dihukum. Setelah ada pengumuman tersebut, para ulama yang memimpin perang gerilya berunding. Perundingan tersebut menghasikan kesepakatan bahwa sebagian dari mereka diperbolehkan melapor diri kepada penguasa militer Belanda dengan tugas membuka kembali dayah-dayah sebagai tempat pendidikan putra-putri Aceh pada masa itu, sementara sebagian ulama lainnya tetap melanjutkan perang gerilya dalam rangka mengusir kâfir laknat Allâh di Aceh. Dengan pembagian tugas yang demikian, maka perang gerilya dapat dilanjutkan terus dan pendidikan Islam dapat pula dilaksanakan kembali.87

Para ulama yang telah melaporkan diri kepada penguasa militer Belanda, sesuai dengan keputusan yang diambil oleh Komando Markas gerilya Aceh, mengambil langkah-langkah pada tahun 1903 untuk membangun kembali dayah-dayah yang selama ini mereka tinggalkan.88 Sejak waktu itulah istilah dayah

86Ibid., h. 84.

(29)

kadang-kadang dipergunakan juga seperti yang diistilah di pulau Jawa, yaitu Pesantren. Bahkan di Aceh Barat dan Selatan istilah ini lebih populer disebutkan, jika dibandingkan dengan sebutan dayah.89

Adapun dayah-dayah yang didirikan atau dibangun kembali pada pertengahan pertama abad 20, antara lain di Aceh Besar: dayah Tanoh Abee, dayah Lam Birah oleh Teungku H. Abbas, sementara adiknya Teungku H. Jakfar mendirikan dayah Jeureula, selanjutnya dayah Lam Nyong, dayah Lam U, dayah La Bhuk, dayah Ulee Susu, dayah Indrapuri didirikan oleh Teungku Chiek Indrapuri, dayah Lam Seunong oleh Teungku Chiek Lam Seunong, dayah Ulee U oleh Teungku Chiek. Ulee U, dayah Krueng Kalee, dayah Montasik, dayah Piyeung, dayah Lam Sie dan masih banyak lagi. Sedang Teungku Fakinah, seorang pejuang wanita, setelah menghentikan perjuangannya pada tahun 1910, mendirikan dayah Lam Diran sebagai kelanjutan dayah neneknya di Lam Krak dan di La Pucok. Suatu keistimewaan dari dayah ini adalah pada santri wanita selain diajarkan ilmu agama juga diajarkan berbagai jenis ketrampilan; seperti menjahit, menyulam dan sebagainya.90

Di daerah Aceh Pidie dibangun kembali atau didirikan dayah-dayah antara lain: dayah Tiro, dayah Pantee Geulima, dayah Cot Plieng, dayah Blang, dayah Ie Lampoh Raya, dayah Garot, Gampong Aree, Dayah Ie Leubeu yang didirikan oleh Teungku Muhammad Arsyad (Teungku Chiek Di Yan. Dayah Meunasah Raya oleh Teungku Muhammad Yusuf (Teungku Chiek Geulumpang Minyeuk) dan dayah Teupin Raya yang didirikan oleh Teungku Chiek Teupin Raya;91 sementara di Aceh Utara, antara lain: dayah Tanjungan, dayah Mesjid Raya, dayah Kuta Blang, dayah Blang Bladeh, dayah Cot Meurak, dayah Juli, dayah Pulo Kiton yang didirikan oleh Teungku Pulo Kiton dan masih banyak lagi.92

89 Wibowo, Pendidikan, h. 44-45.

90Lihat Ali Hasjimy, ”Srikandi Teungku Fakinah” Atjeh, Sinar Darussalam, Nomor 63 h. 66, Pebruari, 1976, h. 19. Lihat juga: H.M. Zainuddin, Srikandi Atjeh (Medan: Iskandar Muda, 1965), h. 29.

91Ali Hasjimy, “Pendidikan Islam di Aceh Dalam Perjalanan Sejarah” Sinar Darussalam, Nomor 63, Agustus/September, 1975, h. 23-24.

(30)

Di daerah Aceh Barat, selain dibangun kembali dayah Rupet oleh keturunan Teungku Chik Muhammad Yusuf, pada perempat pertama abad 20 juga didirikan beberapa dayah lain. Di antaranya, yaitu dayah Ujung Kalak dan dayah Blang Meulaboh, dayah Paya Lumpai Satiga dipimpin oleh Teungku Syekh Abu Bakar. Sebelum membangun dayah ini Syekh Abu Bakar memperoleh pendidikan di dayah Lam Bhuk, Aceh Besar. Jumlah santri pada masing-masing dayah tersebut dalam ukuran puluhan orang. Selain itu di Kuala Bhee Woyla terdapat juga dayah di bawah pimpinan Teungku Ahmad, demikian juga di Peureumbeu di bawah pimpinan Teungku Di Tuwi. Pesantren ini juga menampung santri dalam jumlah puluhan orang.93

Di Daerah Aceh Selatan, sejak perempat pertama abad ke-20 juga berdiri beberapa dayah. Di antaranya, dayah Teungku Syekh Mud di Blang Pidie. Teungku Syekh Mud memperoleh pendidik

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi karakteristik dari sebaran terbagi tak hingga dapat dikarakterisasi ke dalam suatu formula umum yang disebut sebagai representasi kanonik fungsi karakter- istik sebaran

In conclusion, a longer average days in milk (DIM) at first AI in dairy cows was found in the present study, subsequently reduced the possibility of the cows to become pregnant in

Muhaimin (NIM : 093111202) dengan judul “ Upaya Peningkatan Hasil Belajar Aqidah Akhlak pada Materi Membiasakan Akhlak Terpuji Melalui Metode Sosiodrama pada Siswa Kelas

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai performa ayam arab terhadap konsumsi pakan, produksi telur dan konversi pakan dengan pemberian energi dan protein

Kinerja investasi asuransi jiwa syariah yang diukur dengan investment yield menunjukkan company size , likuiditas, leverage , VOC, underwriting risk dan premium growth

Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat. kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10%

Pada desain Arena bola basket ini, zoning secara vertical sebagian besar akan dapat melihatkan dengan permainan material, warna, tekstur dan bentuk bangunan yang

Mengetahui kadar maltodekstrin dan suhu pemanasan yang optimal untuk menghasilkan minuman serbuk instan lidah buaya (Aloe barbadensis Miller) dengan kualitas