• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEJOLAK IDENTITAS ETNIS SIMALUNGUN TERHADAP WACANA PEMEKARAN KABUPATEN SIMALUNGUN; STUDI TENTANG PERILAKU POLITIK MASYARAKAT DALAM KONSTRUKSI IDENTITAS BUDAYA LOKAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GEJOLAK IDENTITAS ETNIS SIMALUNGUN TERHADAP WACANA PEMEKARAN KABUPATEN SIMALUNGUN; STUDI TENTANG PERILAKU POLITIK MASYARAKAT DALAM KONSTRUKSI IDENTITAS BUDAYA LOKAL."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

GEJOLAK IDENTITAS ETNIS SIMALUNGUN

TERHADAP WACANA PEMEKARAN

KABUPATEN SIMALUNGUN

Studi Tentang Perilaku Politik Masyarakat dalam Konstruksi Identitas Budaya Lokal

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Antropologi Sosial

Oleh :

ADE PUTERA ARIF PANJAITAN NIM : 8126152001

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

GEJOLAK IDENTITAS ETNIS SIMALUNGUN TERHADAP WACANA PEMEKARAN

KABUPATEN SIMALUNGUN

Studi Tentang Perilaku Politik Masyarakat dalam Konstruksi Identitas Budaya Lokal

Disusun dan diajukan oleh : ADE PUTERA ARIF PANJAITAN

NIM : 8126152001

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada Tanggal 3 Juni 2015 dan dinyatakan telah memenuhi

salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains Program Studi Antropologi Sosial

Medan, 3 Juni 2015 Menyetujui

TIM PEMBIMBING

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Dr. Usman Pelly, M.A. Dr. Fikarwin Zuska

NIP. NIP. 19621220 198903 1 005

Mengetahui: Ketua Program Studi

Antropologi Sosial

Dr. Phil. Ichwan Azhari, M.S. NIP. 19610116 198503 1 003

Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan

(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

ADE PUTERA ARIF PANJAITAN. Gejolak Identitas Etnis Simalungun

terhadap Wacana Pemekaran Kabupaten Simalungun; Studi tentang Perilaku Politik Masyarakat dalam Konstruksi Identitas Budaya Lokal. Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan 2015.

Tesis berdasarkan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persoalan identitas etnis Simalungun yang bergejolak sebagai dinamika politik masyarakat akibat munculnya wacana pemekaran Kabupaten Simalungun. Deskripsi secara etnografis tentang gejolak identitas etnis Simalungun ini diperoleh berdasarkan penelitian lapangan, yaitu dengan menghimpun data melalui observasi, wawancara terhadap informan dan studi dokumentasi. Berdasarkan catatan harian selama berada di lapangan, ditemukan tema-tema yang kemudian dirangkum serta disusun menjadi sebuah deskripsi yang dapat menggambarkan secara terang dan terstruktur gejolak identitas etnis Simalungun. Adapun hasil dari penelitian lapangan ini, dapat menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan penyebab munculnya wacana pemekaran Kabupaten Simalungun, di antaranya akibat adanya faktor ketidakmerataan pembangunan wilayah, kecemburuan sosial di tengah masyarakat, dan adanya peluang untuk memekarkan wilayah. Selanjutnya dapat digambarkan gejolak identitas etnis Simalungun menjadi bangkit ketika ada wacana pemekaran Kabupaten Simalungun. Dalam hal ini, eksistensi etnis Simalungun merasa terancam oleh isu pembelahan wilayah pada wacana pemekaran kabupaten. Pada akhirnya, berbagai gejolak yang terjadi dapat menjelaskan kepaduan fungsi antara identitas etnis dengan dinamika dan perilaku politik masyarakat dalam merespon wacana pemekaran Kabupaten Simalungun.

(6)

ii

ABSTRACT

ADE PUTERA ARIF PANJAITAN. Simalungun’s Ethnic Identity Fluctuation

against Discourse of Simalungun Regency Redistricting; Studies on Political Behavior Society in Local Cultural Identity Construction. Postgraduate Program, State University of Medan in 2015.

Thesis based on this research aims to study the issue of Simalungun ethnic identity volatile as society political dynamic due to the emergence of the discourse of Simalungun regency redistricting. In ethnographic description of this turmoil ethnic identity Simalungun gained based on field research, by observation, collecting data through interviews with informants and documentation study. Based diary while in the field, finded themes that then summarized and compiled into a description that can describe light and structured turmoil Simalungun ethnic identity. The results of this field study, can be described matters relating to the cause of Simalungun regency redistricting discourse, including due to the factor of division development injustice, social jealousy in community, and the opportunity to split the region. Furthermore, it can be described turmoil Simalungun ethnic identity be rising when there is a discourse of Simalungun regency redistricting. In this case, the existence of Simalungun ethnic feel threatened by the issue of redistricting of the territory on the discourse of splitting the district. In the end, the various turmoil may explain the coherence function between ethnic identity with the political dynamics and behavior of the community in response to the discourse of Simalungun regency redistricting.

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Tesis ini merupakan sebuah karya etnografis yang saya susun berdasarkan bahan data dari lapangan tempat di mana saya melakukan penelitian sekaligus bekerja sebagai Penyuluh Budaya. Dalam kesempatan melakukan penelitian, saya berhadapan dengan masyarakat yang secara aktif terlibat dalam melakukan kegiatan seni dan budaya Simalungun. Dengan cara demikian saya dapat lebih leluasa memperoleh informasi yang dapat menggambarkan tentang gejolak identitas etnis yang dialami oleh etnis Simalungun dalam rangka menghadapi wacana pemekaran kabupaten.

Selama melakukan penelitian di lapangan hingga penulisan tesis ini, pengalaman saya tidak luput dari berbagai rintangan yang mempengaruhi setiap tahapan proses. Kesehatan saya kerap mengalami pasang surut dalam menempuh perjalanan ke setiap lokasi tempat saya menjumpai informan. Dalam semua situasi dan keadaan sulit yang saya alami, sebuah hikmah dapat dipetik bahwa pengalaman tersebut adalah proses yang dapat menempa jati diri menjadi semakin kukuh. Atas semua kesempatan yang saya alami, saya ucapkan dari hati yang penuh syukur dan rasa terima kasih kepada Tuhan Sang Pengasih.

(8)

iv

Terima kasih yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program Studi Antropologi Sosial Program Pascasarjana Unimed, atas segala ilmu yang diberikan kepada saya, di antaranya: Prof. Dr. B. A. Simanjuntak, Prof. Dr. Robert Sibarani, M.Si., Prof. Dr. N. A. Fadil Lubis, Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd., Prof. Dr. Tina Mariani, Prof. Dr. Belferik Manullang, Prof. Dr. Ibrahim Gultom, M.Pd., Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Si., Dr. Pujiati, M.Soc., Dr. Deni Setiawan, M.Si., dan Dr. Daulat Saragih, M.Hum.

Terima kasih yang tulus saya ucapkan kepada teman-teman seangkatan Konsentrasi Otonomi Daerah dan Konsentrasi Pendidikan Sosiologi di Program Studi Antropologi Sosial Pascasarjana Unimed, di antaranya: Alan Darmawan, Bambang Suharsono, Eka Fransiska Sitinjak, Febriani Natalia Tarigan, Hamidah Hanim, Ikhwan Rivai Purba, Maharani, Rinta Juliani Naibaho, Rita Andriani, Taufik Hidayat, Yopi Rachmad, Yusda Novianti, dan Zaini Bainullah.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada segenap sivitas akademika Program Pascasarjana Unimed secara keseluruhan, sebagai institusi tempat saya menimba ilmu dalam bidang Antropologi Sosial, serta atas pelayanan secara administratif bagi semua kelengkapan akademis saya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada semua pihak yang telah turut memberikan rekomendasi/izin penelitian lapangan guna menyelesaikan penelitian ini, di antaranya: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Simalungun, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Kabupaten Simalungun, dan Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Pemerintah Kabupaten Simalungun. Terima kasih yang sama juga saya sampaikan kepada seluruh informan yang telah memberikan informasi berharga dalam penelitian ini.

(9)

v

Pendidikan Kabupaten Simalungun, Museum Simalungun, serta seluruh seniman budaya dan komunitas budaya lokal Simalungun.

Terima kasih saya sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat budaya, yaitu Penyuluh Budaya Kemendikbud Indonesia secara umum dan Penyuluh Budaya Rayon Medan-Sumatera Utara khususnya. Juga kepada seluruh rekan seperjuangan yang turut mendukung saya dalam mengaktualisasi diri dan melakukan pengabdian kepada masyarakat tertindas, yaitu Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) Medan, saya ucapkan terima kasih dan salam Veritas!

Atas semua kasih sayang yang saya peroleh sejak lahir hingga dewasa ini, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya, Romel Panjaitan, S.Pd. dan Rontauli Saragih Sumbayak, S.Pd., serta kepada kakak saya, Simtora Nova Panjaitan S.Pd dan adik saya Rado Artama Panjaitan. Terima kasih yang tulus saya ucapkan kepada sang kekasih, Novitha Ungsih Rayona Tampubolon, yang senantiasa menginspirasi dan mendukung saya dalam doa-doanya sehingga kuat berjuang menggapai cita-cita.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan Antropologi secara umum, dan demi pengembangan wahana guna meningkatkan wawasan keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Simalungun khususnya. Kiranya Tuhan Sang Pengasih senantiasa memberkati kita semua.

Medan, Juni 2015 Hormat Saya

(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan dan Fokus ... 11

1.3. Manfaat dan Kontribusi ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 15

2.1. Teori dan Konsep ... 16

2.1.1. Identitas Etnis ... 16

2.1.2. Dasar Konseptual Pemekaran Wilayah ... 19

2.1.3. Dinamika Perilaku Politik Masyarakat ... 23

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.2. Penentuan Informan ... 29

(11)

vii

3.4. Analisis Data ... 30

BAB IV IDENTIFIKASI KABUPATEN SIMALUNGUN DAN MUNCULNYA WACANA PEMEKARAN ... 32

4.1. Sejarah Singkat Kabupaten Simalungun ... 32

4.1.1. Tanoh Simalungun ... 32

4.1.2. Etnis Simalungun ... 45

4.1.3. Karakter dan Kepribadian Orang Simalungun ... 57

4.1.4. Pendatang di Tanoh Simalungun ... 64

4.1.5. Pergumulan Antar Etnis ... 70

4.2. Wacana Pemekaran dan Kesiapan Wilayah ... 87

4.2.1. Kabupaten Simalungun Memasuki Era Otonomi Daerah ... 87

4.2.2. Rencana Membagi Dua Wilayah Kabupaten Simalungun ... 96

4.2.2.1. Pembentukan Panitia Pemekaran ... 96

4.2.2.2. Penentuan Batas Wilayah ... 102

4.2.3. Kesiapan Kabupaten Simalungun (Induk) ... 110

4.2.4. Kesiapan Simalungun Hataran ... 118

BAB V GEJOLAK TERHADAP WACANA PEMEKARAN ... 124

5.1. Pergumulan Etnis Simalungun Merespon Wacana Pemekaran Kabupaten ... 124

5.1.1. Konstruksi Identitas Etnis ... 124

5.1.2. Pendukung Wacana Pemekaran ... 146

(12)

viii

5.2. Sentimental yang Tersulut ... 183

5.3. Ketidakseriusan Berbagai Pihak ... 195

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 207

6.1. Simpulan ... 207

6.2. Saran ... 214

DAFTAR PUSTAKA ... 217

(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jumlah Migran Toba ke Tanoh Simalungun ... 65 Tabel 2.2. Statistik Penduduk Simalungun pada Tahun 1962

Berdasarkan Etnis di Kabupaten Simalungun ... 68 Tabel 2.3. Walikota Pematangsiantar Dari Masa ke Masa dan Etnis

Asalnya ... 82 Tabel 2.4. Daftar Nama Bupati Simalungun Dari Masa ke Masa dan

Etnis Asalnya ... 85 Tabel 3.1. Luas Daerah Menurut Kecamatan, Jumlah Penduduk dan

Kepadatannya ... 104 Tabel 3.2. Banyaknya Nagori (Desa) dan Kelurahan menurut

(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Hasusuran Raja Marpitu disambut Tarian Tortor Dihar (tarian bela diri) saat memasuki halaman kantor bupati pada Hari Jadi

Daerah Simalungun ke-181 di Pamatang Raya ... 53 Gambar 2.2. Media cetak lokal Suara Simalungun (terbit pada 19 Januari

2012) memberitakan tentang kelalaian PT Pos Indonesia dalam memugar bangunan kantornya di Pematangsiantar. Bangunan kantor tersebut dianggap tidak menaati Perda Nomor 6 tahun 1979 tentang Mengembangkan serta Meningkatkan Kebudayaan

Daerah pada Pembangunan Fisik ... 79 Gambar 3.1. Peta Pemekaran Kabupaten Simalungun. Garis merah

putus-putus yang terlihat pada gambar merupakan rencana tapal batas pembelahan wilayah Kabupaten Simalungun (induk) dengan

wilayah Kabupaten Simalungun Hataran (rencana pemekaran) ... 106 Gambar 3.2. Pamatang Raya dikembangkan menjadi ibukota Kabupaten

Simalungun ... 115 Gambar 3.3. Petani menggunakan gareta horbo sebagai sarana transportasi

pengangkutan dari desa ke ladang di daerah Raya Huluan,

Kecamatan Raya ... 117 Gambar 3.4. Kawasan Industri Sei Mangkei Kecamatan Bosar Maligas,

Kabupaten Simalungun ... 122 Gambar 4.1. Massa pendukung pemekaran Kabupaten Simalungun melakukan

aksi di halaman Gedung DPR RI Senayan, Jakarta ... 156 Gambar 4.2. Perwakilan masyarakat pendukung pemekaran ketika melakukan

orasi di kompleks Gedung DPR RI Senayan Jakarta. Para

pendukung tampak menggunakan pakaian adat Simalungun ... 159 Gambar 4.3. Poster propaganda Tolak Pemekaran Kabupaten Simalungun

(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Kabupaten Simalungun ... 226

Lampiran 2. Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana Unimed tentang Pengangkatan Komisi Pembimbing Program Pascasarjana (S2) Unimed ... 227

Lampiran 3. Undangan Seminar Proposal Tesis ... 228

Lampiran 4. Undangan Ujian Tesis ... 229

Lampiran 5. Surat Rekomendasi/Izin Penelitian ... 230

Lampiran 6. Surat Keterangan telah Mengikuti Ujian Standar Toefl di Pusat Bahasa Unimed ... 236

Lampiran 7. Daftar Nama Informan ... 237

Lampiran 8. Surat Penempatan Penyuluh Budaya Non PNS Tahun 2013 ... 240

Lampiran 9. Foto Dokumentasi Lapangan ... 241

Lampiran 10. Surat Pernyataan Keaslian Karya Tulis ... 250

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perbincangan tentang etnisitas agaknya merupakan hal yang kurang

mendapatkan perhatian bagi masyarakat umum selama bentuk pemerintahan

Negara Indonesia masih sentralistik, terpusat dan lebih mengedepankan

kepentingan pembangunan serta kebudayaan nasional. Namun berbeda halnya

setelah Orde Baru bergulir dan memasuki era reformasi−bentuk pemerintahan

otonomi daerah diimplementasikan secara luas dan terbuka. Desentralisasi

wewenang dan kekuasaan pemerintahan serta munculnya daerah otonomi baru

sebagai buah dari pemekaran daerah, ternyata menimbulkan berbagai problema di

tengah masyarakat. Salah satu persoalan sebagai konsekuensi dari situasi ini ialah

merebaknya sentimen etnisitas di tengah-tengah masyarakat di berbagai daerah.

Pada gilirannya, perbincangan tentang etnisitas menjadi dirasa penting bagi

banyak kalangan mulai dari peneliti akademis, politisi, hingga praktisi, bahkan

kalangan elit masyarakat lokal yang ingin mendalami permasalahan sosial di

tengah masyarakat masa kini.

Setelah banyak daerah di Indonesia yang dimekarkan, kini giliran

Kabupaten Simalungun menjadi salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang

(17)

2

proposal tesis ini dimulai oleh penulis, proses pemekaran telah mencapai tahap

final dalam memperoleh izin dari pemerintah pusat. Kabar ini ditandai dengan

sampainya proses pemekaran pada tahap uji sahih tentang pengelolaan daerah

perbatasan dan tinjauan fisik calon kabupaten pemekaran. ANTARA News (24

Setember 2013) memberitakan bahwa, “DPD RI melakukan peninjauan

pemekaran Simalungun : Sepuluh anggota Komite I dan tiga setjen ke Kabupaten

Simalungun dalam rangka kunjungan kerja uji sahih tentang pengelolaan daerah

perbatasan dan tinjauan fisik calon kabupaten pemekaran.” Panitia menargetkan

realisasi dan peresmian Kabupaten Simalungun Hataran, sebagai hasil pemekaran

Kabupaten Simalungun, sebelum berlangsungnya pemilu legislatif pada

pertengahan tahun 2014.

Menurut pendapat yang beredar oleh para pendukung pemekaran di tengah

masyarakat, wacana pemekaran Kabupaten Simalungun setidaknya telah

didengungkan sejak tahun 2002 lalu. Adapun gagasan mengenai pemekaran

Kabupaten Simalungun muncul mengingat luasnya wilayah Kabupaten

Simalungun, di mana jarak tempuh dari ibu kota kabupaten ke

wilayah-wilayahnya cukup jauh. Sementara jangkauan pembangunan tidak merata karena

pusat pemerintahan terkonsentrasi di wilayah Simalungun Atas, lagi pula

komposisi aparaturnya lebih dinominasi oleh orang Simalungun sebagai yang

menduduki jabatan-jabatan. Oleh karenanya, momentum implementasi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang ditandai dengan banyaknya daerah

dimekarkan, mendorong keinginan sekelompok masyarakat di wilayah

Simalungun Bawah melakukan gerakan dalam rangka mewujudkan Kabupaten

(18)

3

memiliki kepentingan, hal ini mengisyaratkan bahwa Kabupaten Simalungun pun

sudah layak untuk dimekarkan supaya pembangunan dapat merata dan penyerapan

anggaran dana pembangunan dapat lebih besar lagi.

Munculnya wacana pemekaran Kabupaten Simalungun ini mengusung

agenda yang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain yang telah mengalami

proses pemekaran. Para penggagas pemekaran mengagendakan tujuan seperti,

untuk mempercepat pembangunan, pelayanan pemerintah yang lebih maksimal

dan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Impian terhadap pemekaran

mengharapkan daerah otonomi baru akan mampu memajukan pembangunan di

berbagai bidang seperti infrastruktur, budaya, dan pendidikan yang berguna bagi

seluruh masyarakat. Atas dasar anggapan ini juga memungkinkan dibangunnya

daerah-daerah pelosok dan pedalaman yang selama ini terabaikan akibat prioritas

pembangunan hanya berlangsung di pusat saja.

Meski upaya membagi dua wilayah Simalungun ini dirasa sudah matang

persiapannya, sesuai dengan faktor dan indikator yang terdapat pada penilaian

syarat teknis dalam rangka pembentukan daerah otonomi baru, namun perlu

waspada dalam menyaksikan konsekuensi yang dapat terjadi dalam dinamika

masyarakat yang multi etnis menghuni Tanoh (menurut penyebutan orang

Simalungun berarti tanah/wilayah) Simalungun. Dalam rangka pembentukan

daerah otonomi baru, panitia harus memperhatikan dan memenuhi faktor dan

indikator penilaian syarat teknis sebagaimana yang terdapat pada lampiran

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata

(19)

4

mencakup rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk, rasio fasilitas lapangan

olahraga per 10.000 penduduk, dan Jumlah balai pertemuan, tentu tidak cukup

menjadi acuan pemekaran dalam faktor sosial budaya. Ini terkesan mengabaikan

masalah kultur-historisnya masyarakat Simalungun. Sebab bagaimanapun,

Simalungun adalah satu secara budaya. Dengan kata lain, nama daerah adalah

nama etnis.

Latar belakang sejarah Kabupaten Simalungun sebagai bekas kerajaan

leluhur Simalungun pada masa silam, hendaknya penting untuk dijadikan dasar

pertimbangan untuk gagasan pemekaran. Berkenaan dengan latar belakang sejarah

tersebut, Tambak (1982:20) telah mencatat secara otentik bahwa :

“Sebelum tahun 1833 daerah Simalungun terbagi atas empat kerajaan, yaitu Kerajaan Silau, Tanah Jawa, Siantar, dan Panei, yang disebut raja ber- “Empat” atau disebut Kerajaan Hataran (dalam bahasa Simalungun artinya Timur). Kemudian kerajaan Silau pecah menjadi empat kerajaan, yaitu Dolok Silau, Raya, Purba, dan Silimakuta, sehingga pada tahun 1904 menjadi kumpulan dari tujuh kerajaan berdasarkan „Kontrak Pendek‟ (Korte verklaring) yang diperbuat pada tahun 1907 dengan Pemerintah Belanda. Sejak itu wilayah Simalungun mulai terbagi dua. Wilayah pertama adalah Simalungun Bawah yang meliputi wilayah bekas kerajaan Panei, Tanah Jawa dan Siantar. Wilayah kedua yaitu Simalungun Atas, yang meliputi daerah bekas kerajaan Dolog Silau, Raya, Purba, dan Silimakuta.”

Wilayah Simalungun Bawah merupakan wilayah yang paling diminati

oleh kolonial Belanda sejak kehadirannya ke Tanoh Simalungun. Hal ini karena

tanah di wilayah tersebut dinilai subur dan sangat cocok untuk dijadikan sebagai

lahan perkebunan, terutama komoditi tanaman karet dan sawit. Dengan berbagai

usaha penaklukan terhadap raja-raja serta rakyat Simalungun, akhirnya kolonial

Belanda berhasil menguasai Tanoh Simalungun dan merealisasikan proyek

(20)

5

Dalam pengembangan perkebunan di wilayah Simalungun Bawah, daerah

Siantar (kemudian penyebutannya menjadi Pematangsiantar) dipilih dan

dikembangkan menjadi pusat pembangunan wilayah, karena wilayahnya yang

begitu strategis, posisinya tepat berada di tengah-tengah Tanoh Simalungun.

Pematangsiantar menjadi lokasi pemukiman dan pusat pemerintahan, serta

menjadi sentral koordinasi dengan daerah pedalaman di sekitarnya. Seiring

dengan perluasan eksploitasi agraria di daerah pedalaman, Kota Pematangsiantar

menjadi pusat aktivitas perekonomian dan perdagangan.

Wilayah Simalungun Bawah, yang telah diubah menjadi

perkebunan-perkebunan besar untuk kepentingan perdagangan global, dengan digerakkan

investasi asing, membutuhkan banyak pekerja. Baik itu sebagai pekerja kasar

perkebunan, pekerja kantoran, maupun sebagai penyuplai bahan makanan untuk

seluruh pekerja. Maka didatangkanlah kuli kontrak dari berbagai wilayah di luar

Simalungun. Untuk bekerja sebagai pekerja kasar, mereka yang bekerja langsung

di tanah perkebunan, kebanyakan yang digunakan adalah kuli kontrak dari Jawa.

Sementara untuk pekerjaan kantoran digunakan orang Toba maupun Simalungun

yang sudah memiliki latar pendidikan formal didikan Belanda.

Dalam era tersebut, berlangsung migrasi besar-besaran orang Toba dari

daerah Tapanuli ke Tanoh Simalungun. Kebanyakan orang Toba berdomisili di

wilayah Simalungun Bawah. Orang Toba pada masa itu terkenal karena

keterampilannya bercocok tanam padi dengan menggunakan sistem pertanian

sawah. Petani Toba diharapkan mampu menjadi penyuplai bahan pangan untuk

(21)

bentuk-6

bentuk ekspresi solidaritas baru yang terwujud dalam berbagai perkumpulan,

menurut wacana penduduk asli, tampil sebagai bukti penyesuaian diri dengan

kemajuan dan tanda keterbukaan ke arah sebuah dunia baru, tempat

“bangsa-bangsa” bersaing untuk kemajuan itu, dan sekaligus sebagai alat untuk mengukur

kesatuan masing-masing “bangsa”. Perkumpulan-perkumpulan tersebut ada yang

berasaskan agama dan ada yang tidak berasaskan agama. Penduduk asli sendiri

yang menyadari kemunduran bahasa dan adatnya, dengan segera membentuk

komite pada bulan Desember 1933 dengan pendirian perkumpulan Simalungun

Sapanriahan (Kesatuan Simalungun) yang dipimpin oleh petinggi-petinggi

pemerintah kolonial yang asli Simalungun dan guru-guru Kristen (lihat : Perret

2010:337-346).

Oleh karena derasnya migrasi, menyebabkan suku Simalungun secara

perlahan tapi pasti tersisih dan hanya berkuasa serta menjadi mayoritas di wilayah

Simalungun Atas. Di sana, mereka memenuhi kebutuhan pangan dengan

menggunakan sistem pertanian ladang (sesuai tradisi). Perbedaan sistem

pengolahan tanah terjadi di Tanoh Simalungun, di mana umumnya wilayah

Simalungun Bawah condong ke perkebunan dan persawahan, sedangkan wilayah

Simalungun Atas condong ke perladangan. Meskipun masih banyak penduduk asli

yang tetap tinggal di wilayah Simalungun Bawah, mereka banyak mendapatkan

pengaruh dari pendatang sehingga semakin tampak perbedaannya dengan

masyarakat Simalungun di wilayah Simalungun Atas.

Selanjutnya terjadilah pergumulan identitas yang sangat mengguncang

(22)

7

Dasuha et.al., 2012:xxii) meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Usman Pelly,

di mana Simalungun menjadi rebutan pengaruh antara apa yang disebut dengan

„Tobanisasi‟ versus „Melayunisasi‟ atau „Kristenisasi‟ versus „Islamisasi‟. Periode

ini dimulai sejak tahun 1903, yang ditandai dengan masuknya Injil yang dibawa

oleh zending RMG Jerman yang pada saat itu masuk dari Danau Toba ke

Simalungun. Sementara itu, Islam yang telah lebih dulu eksis di daerah Bandar

sebelum tahun 1903, mulai menyebarkan dan menyiarkan pengaruhnya melalui

mubalig-mubalig Islam hingga ke pedalaman Simalungun. Akibatnya, masyarakat

di Simalungun terpolarisasi ke dalam dua bagian, dan wilayah yaitu „atas‟ dan

„bawah‟.

Raja Marpitu (ketujuh kerajaan di Simalungun, yaitu Kerajaan Siantar,

Tanah Jawa, Panei, Raya, Purba, Silimakuta, dan Dolog Silau) tergabung dalam

interkoneksi yang membentuk kesatuan entitas Simalungun. Kedatangan kolonial

Belanda pun turut membuat masyarakat Simalungun terpolarisasi ke dalam dua

bagian. Tentu ini merupakan ancaman bagi kesatuan Simalungun yang telah

dipelihara secara tradisional. Namun masyarakatnya tidak begitu memandang

perbedaan sebagai potensi yang berarti untuk menjerumuskan pada konflik di

kemudian hari.

Paska kemerdekaan Indonesia, perusakan terhadap eksistensi tradisional

Simalungun ternyata tidak berasal dari polarisasi masyarakat tersebut. Perusakan

datang lewat pemberontakan ekonomi-politik dari kelas pekerja dan laskar rakyat

nasionalis. Seluruh Sumatera Timur (bagian timur Sumatera Utara sekarang),

(23)

8

Kekuasaan daripada kerajaan-kerajaan tradisional, termasuk Simalungun,

dibumihanguskan. Akibat dari Revolusi Sosial tersebut banyak aset budaya yang

dimusnahkan (lihat : Reid 2012:318).

Masyarakat Simalungun terpola ke dalam dua bagian yang semakin tajam

perbedaannya, terutama paska kemerdekaan Indonesia. Revolusi Sosial 1946

dengan konsekuensi krisis politik tradisional dan munculnya Pematangsiantar

menjadi kota, menjadi tembok yang membelah wilayah Simalungun. Kota

Pematangsiantar, secara administratif berada di luar Kabupaten Simalungun

namun secara geografis wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten

Simalungun. Pembelahan tersebut membuat wilayah bekas Kerajaan Panei (yang

sebelumnya tergolong sebagai daerah Simalungun Bawah) menjadi lebih dekat

dan dianggap sebagai daerah Simalungun Atas. Di wilayah Simalungun Atas,

terjadi berbagai kemajuan ekonomi, seperti kemajuan pariwisata kawasan Danau

Toba (Parapat, Haranggaol, Tiga Ras, dan sebagainya) atau kemajuan pertanian

yang ditandai hegemoni buah-buahan dan sayuran. Adapun kawasan Sidamanik

dikenal sebagai daerah perkebunan penghasil komoditi teh.

Andri E. Tarigan (Melirik Upaya Pemekaran Simalungun, Harian Analisa

31 Agustus 2013, hlm. 24) menjabarkan situasi Simalungun kekinian, yakni :

(24)

9

Didirikannya bandara internasional Kualanamu dan rencana pembangunan tol Tebing–Medan kemungkinan besar terkait dengan keberadaan Kawasan Ekonomi Eksklusif tersebut. Karena, tol dan bandara tersebut begitu menghubungkan Simalungun Bawah dengan luar negeri (sumber investasi asing).”

Dalam situasi yang seperti inilah kemunculan wacana pemekaran

Kabupaten Simalungun semakin berkobar. Apabila pemekaran terwujud, maka

daerah otonomi baru (DOB) Simalungun Hataran akan memiliki potensi besar

dalam pembangunan yang bersumber dari keberadaan perkebunan, Kawasan

Ekonomi Eksklusif (KEK) dan investasi internasional tersebut. Setidaknya, hal

inilah yang menjadi sorotan utama bagi masyarakat di wilayah Simalungun

Bawah sehingga begitu gigihnya mengupayakan pemekaran. Aroma kue

pembangunan yang menggiurkan ini jugalah yang tentunya menguatkan tekad

pihak-pihak yang ingin berupaya menjadi penguasa kelak di wilayah Simalungun

Bawah.

Terlepas dari kesuksesan mengusung wacana pemekaran Kabupaten

Simalungun hingga ke tahap final, pada sisi lain tentu tidak bisa diabaikan bahwa

dalam prosesnya pemekaran ini menghadapi pro dan kontra dari masyarakat di

Tanoh Simalungun sendiri. Secara sederhana, dapat diasumsikan perihal

munculnya respon oleh masyarakat untuk mendukung atau menolak terhadap

wacana pemekaran. Masyarakat yang memiliki kepentingan dan merasa akan

diuntungkan dengan pemekaran Kabupaten Simalungun tentu akan memberikan

dukungan. Sebaliknya, masyarakat yang memandang tidak adanya keuntungan,

atau malah merasa dirugikan kepentingannya akibat pemekaran Kabupaten

(25)

10

Berbagai bentuk alasan penolakan terhadap upaya pemekaran misalnya,

masyarakat tidak menyaksikan kemajuan pembangunan yang signifikan pada

daerah otonomi baru (DOB) yang telah dimekarkan. Selanjutnya, masyarakat

menuding niat para pendukung yang menjadikan pemekaran Kabupaten

Simalungun sebagai ajang pemanfaatan untuk kepentingan kelompok maupun

individu saja. Selain itu, dapat dimaklumi bahwa kabupaten Simalungun dihuni

oleh berbagai etnis. Etnis Simalungun lebih banyak di wilayah induk (dari rencana

pemekaran) etnis non Simalungun lebih dominan di wilayah Hataran (rencana

kabupaten baru). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama ini lebih

banyak dihasilkan di wilayah yang akan dimekarkan, yang didominasi oleh etnis

non Simalungun. Jika pemekaran terjadi sesuai dengan pembagian wilayah yang

direncanakan sekarang ini, maka lahir anggapan bahwa hal itu sama artinya

dengan meminggirkan etnis Simalungun. Masyarakat yang menolak menilai hal

tersebut sebagai dampak negatif dari pemekaran kabupaten Simalungun.

Dari berbagai isu penolakan yang muatannya sarat dengan gejala konflik,

mengindikasikan adanya faktor kecemburuan. Rasa tidak adil yang dialami oleh

masyarakat, kemungkinan kuat salah satu penyebab utamanya adalah pengabaian

terhadap faktor identitas etnis yang telah terbangun dari kultur-historis

masyarakat. Selain itu, juga dapat merupakan kekhawatiran sebagian kalangan

masyarakat akan dampak buruk dari pemekaran yang mungkin dapat terjadi.

Dengan demikian, wacana pemekaran Kabupaten Simalungun yang menghendaki

berlangsungnya proses pembelahan wilayah ini, jelas mengalami persoalan terkait

(26)

11

Berdasarkan uraian latar belakang situasi munculnya wacana pemekaran

Kabupaten Simalungun tersebut, penulis merasa sangat tertarik untuk mengkaji

lebih dalam lagi tentang gejolak identitas yang dialami oleh etnis Simalungun,

serta dinamika dan perilaku politik masyarakat Simalungun yang terpolarisasi ke

dalam dua wilayah, „atas‟ dan „bawah‟. Dalam hal ini juga kaitannya dengan

proses konstruksi identitas etnis yang dimanfaatkan oleh kalangan elit politik

maupun masyarakat sebagai tarik-menarik dalam pro dan kontra terhadap wacana

pemekaran wilayah Kabupaten Simalungun. Adapun hasil dari pengkajian secara

antropologis ini disusun menjadi sebuah tesis ilmiah guna menyelesaikan program

magister Antropologi Sosial PPS Unimed.

1.2. Tujuan dan Fokus

Persoalan yang menyertai kemunculan wacana pemekaran Kabupaten

Simalungun ini, sebagai indikasi dari adanya rasa ketidakadilan yang timbul di

tengah masyarakat, adalah bangkitnya gejolak identitas etnis Simalungun. Upaya

pembelahan wilayah demi tercapainya indikator penilaian syarat teknis, selain

faktor geografis, maka yang turut menentukan juga adalah persoalan identitas

etnis. Penegasan identitas etnis yang menyatakan bahwa Simalungun adalah satu

secara budaya dapat menjadi senjata (instrumen) guna mencegah upaya

pemekaran Kabupaten Simalungun. Sebaliknya, penegasan identitas baru−sebagai

identitas yang berbeda dari Simalungun induk yang dikonstruksikan di wilayah

Simalungun Bawah−justru menjadi alat propaganda guna memperoleh dukungan

(27)

12

Adapun proses pemekaran Kabupaten Simalungun ini, sejak diwacanakan

hingga diupayakan realisasinya, tidak serta-merta berjalan dengan mulus.

Ternyata ada banyak bentuk penolakan, yang sekaligus merupakan ancaman ke

depan sebagai konsekuensi kurang memperhatikan kultur-historis daripada

masyarakat Simalungun. Penolakan dari masyarakat yang sarat potensi konflik ini

mengusung isu terancamnya eksistensi identitas etnis Simalungun sebagai akibat

dari pemekaran. Sebab, di satu sisi pemekaran dianggap sebagai pemecahan

sekaligus memunculkan anggapan bahwa etnis Simalungun dipinggirkan dari

tanahnya sendiri.

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, penulis memandang

penting dilakukan studi penelitian antropologi dengan menggunakan metode dan

pendekatan yang lebih konprehensif, khususnya pendekatan antropologi dalam

perilaku politik. Dalam studi ini, yang menjadi sorotan utama bagi penulis adalah

memperhatikan gejolak identitas etnis Simalungun terhadap munculnya wacana

pemekaran Kabupaten Simalungun, serta dinamika dan perilaku politik

masyarakat Simalungun yang terpolarisasi ke dalam dua wilayah (Atas dan

Bawah).

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus

dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut :

(1) Mengapa wacana pemekaran Kabupaten Simalungun muncul?

(2) Bagaimana gejolak identitas etnis Simalungun menjadi bangkit ketika ada

(28)

13

(3) Bagaimana kepaduan fungsi antara identitas etnis dengan dinamika dan

perilaku politik masyarakat dalam merespon wacana pemekaran

Kabupaten Simalungun?

1.3. Manfaat dan Kontribusi

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman analitis

terhadap identitas etnis Simalungun yang bergejolak akibat munculnya wacana

pemekaran Kabupaten Simalungun. Pertama-tama pengkajian berupaya

menggambarkan maksud dan tujuan munculnya wacana pemekaran Kabupaten

Simalungun. Selanjutnya, melalui penelitian ini diperoleh gambaran secara teoritis

bagaimana kepaduan fungsi antara identitas etnis dengan dinamika dan perilaku

politik masyarakat dalam merespon wacana pemekaran Kabupaten Simalungun.

Sehingga melalui studi ini juga dapat menjadi khasanah guna mempelajari

berbagai teori-teori antropologi yang berkaitan dengan perilaku politik dan budaya

dalam masyarakat.

Secara teoritis, kiranya penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi

perkembangan dunia ilmu antropologi sosial budaya, secara spesifik dalam

perilaku politik masyarakat. Melalui studi ini juga diharapkan suatu hasil yang

dapat menjadi kontribusi pemecahan masalah terkait dengan situasi yang sarat

konflik akibat munculnya wacana pemekaran Kabupaten Simalungun. Selain

(29)

14

menentukan kebijakan budaya perpolitikan di daerah Simalungun khususnya, juga

dapat bermanfaat bagi khalayak masyarakat umumnya.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu

kontribusi dalam pertimbangan pemekaran daerah di masa yang akan datang.

Sehingga, untuk membentuk strategi pemersatu aspirasi masyarakat dalam

memberikan dukungan terhadap pemekaran tidak mengabaikan faktor identitas

etnis yang telah terbangun dari kultur historis masyarakatnya. Kiranya hasil

penelitian ini dapat memberikan pemahaman dalam meminimalisir berbagai

bentuk potensi konflik yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari upaya

(30)

207

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini,

cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian

banyak tuntutan yang diperhadapkan menyongsong reformasi, maka salah satu

solusi yang dianggap paling mendesak untuk menjawab persoalan yaitu

diupayakan dengan pemekaran daerah. Kesempatan memekarkan daerah segera

meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, muncullah daerah-daerah

otonom yang menjalankan wewenangnya dalam mengurusi pembangunan.

Sejumlah daerah di Indonesia−baik provinsi maupun kabupaten dan kota−telah

dimekarkan.

Dibandingkan dengan pemekaran yang telah berlangsung di wilayah

Sumatera Utara, Kabupaten Simalungun tergolong ketinggalan karena tidak

segera (bahkan belum) dimekarkan. Kabupaten Simalungun dianggap sebagai

kabupaten yang kalah langkah dalam mengikuti perkembangan daerah-daerah lain

secara umum di Indonesia dan secara khusus di Sumatera Utara. Padahal, sebelum

kabupaten-kabupaten besar itu dimekarkan, Kabupaten Simalungun sudah

tergolong sebagai kabupaten yang terluas di Sumatera Utara. Dari segi luas

(31)

208

Simalungun turut dimekarkan. Pemekaran yang telah terealisasi pada

kabupaten-kabupaten tetangga Simalungun, mendorong keinginan yang kuat pada

masyarakat di kabupaten ini untuk memekarkan wilayahnya agar membentuk

kabupaten baru yakni Kabupaten Simalungun Hataran.

Argumen yang paling memberi alasan agar pemekaran segera dilakukan,

terutama ialah karena wilayah Simalungun Bawah dianggap sudah selayaknya

dimekarkan. Lahirnya gagasan pemekaran Kabupaten Simalungun ialah karena

pemerintah Kabupaten Simalungun yang selama ini dinilai tidak melakukan

pembangunan yang merata di segala bidang dan di semua wilayahnya.

Memasuki era otonomi daerah, pembangunan daerah-daerah yang berada

di wilayah Kabupaten Simalungun tampak tidak merata. Selama ini pembangunan

lebih terpusat di ibukota kabupaten yang masih terletak di Pematangsiantar (saat

ini telah menjadi kota yang otonom, terpisah secara administratif dengan

Simalungun). Kemudian, ibukota Kabupaten Simalungun dipindahkan ke

Pamatang Raya. Kenyataan ini semakin memperkuat keyakinan bahwa Pamatang

Raya sengaja dipersiapkan sebagai ibukota kabupaten induk serta mendukung

upaya pemekaran Kabupaten Simalungun. Ketimpangan pembangunan yang

terjadi antara wilayah Simalungun Atas dengan wilayah Simalungun Bawah

berpotensi melahirkan kecemburuan yang dapat berakibat konflik dan ketegangan

antar masyarakatnya.

Pendapat dari beberapa informan kalangan pendukung pemekaran

menyatakan bahwa wacana pemekaran Kabupaten Simalungun sudah mulai

(32)

209

lainnya, malah menyatakan bahwa gagasan mengenai pemekaran Kabupaten

Simalungun sudah muncul sejak pemisahan Pematangsiantar yang menjadi

kotamadya terlepas secara administratif dari Kabupaten Simalungun sekitar tahun

1960-an.

Wacana pemekaran Kabupaten Simalungun ini muncul mengingat

wilayahnya yang luas sementara jangkauan pembangunan tidak merata hingga ke

seluruh pelosok Simalungun. Pada kesempatan yang bersamaan,

kabupaten-kabupaten tetangga Simalungun juga melangsungkan proses pemekaran. Oleh

karenanya, momentum implementasi Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang

ditandai dengan banyaknya daerah dimekarkan, mengisyaratkan bahwa

Kabupaten Simalungun sudah layak untuk dimekarkan supaya pembangunan

dapat merata dan penyerapan anggaran dana pembangunan dapat lebih besar lagi.

Pemekaran Simalungun juga diyakini sebagai sebuah terobosan untuk

mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan

memperoleh pelayanan bagi masyarakat

Pada wacana pemekaran Kabupaten Simalungun dikehendaki penentuan

batas kewilayahan dengan cara membagi dua Kabupaten Simalungun. Bagi para

penggagas pemekaran, ide membagi dua wilayah ini tidak terlalu rumit kecuali

secara teknis menentukan tapal batas daerah setiap kecamatan yang akan

dipisahkan. Secara historis, wilayah Kabupaten Simalungun sudah terpola

menjadi „atas‟ dan „bawah‟. Akan tetapi, sejak dahulu belum pernah ada tapal

batas yang tegas sebagai penanda untuk memisahkan dua pola wilayah Kabupaten

(33)

210

Simalungun Bawah, seyogyanya, jauh lebih luas daripada wilayah Simalungun

Atas. Keadaan ini yang sering dimaknai sebagai pengkerdilan Tanoh

Simalungun−di mana wilayah yang didiami oleh orang Simalungun asli menjadi

semakin sempit−oleh peran Kolonial Belanda dan besarnya arus pendatang.

Dalam kasus yang terjadi pada wacana pemerakan Kabupaten Simalungun dengan

mengambil langkah membelah wilayahnya menjadi dua bagian, persoalan

etnisitas menjadi terbentur.

Keberagaman etnis di Tanoh Simalungun dengan dominasi pendatang

pada lembaga strategis yang menguasai pemerintahan menjadi potensi masalah

berkaitan dengan situasi otonomi daerah. Persaingan dan gesekan antara orang

Simalungun sebagai etnis asli di daerah ini dengan para pendatang ibarat „bara

dalam sekam‟−yang meskipun tidak tampak secara jelas dari luar, namun

menyimpan benih konflik yang telah lama terbangun. Benih konflik bukan hanya

sejak didatangkannya migran (yang kemudian menjadi saingan) dari luar

Simalungun untuk menetap dan mengusahai daerah ini, namun juga lahir akibat

trauma konflik berdarah yang terjadi pada masa Revolusi Sosial 1946 yang

menghantam kaum bangsawan di wilayah Sumatera Timur.

Penguatan eksistensi identitas etnis Simalungun semakin meningkat di

kalangan masyarakat Simalungun. Semangat „kesimalungunan‟ meningkat sejalan

dengan perbincangan tentang landasan Ahap dan Habonaron Do Bona yang

semakin meluas. Pemekaran itu adalah bermaksud membentuk atau membagi

Simalungun menjadi dua bagian wilayah. Hal ini menjadi peristiwa yang baru

(34)

211

dengan Revolusi Sosial yang terjadi pada 1946. Bagaimanapun, ancaman bagi

Simalungun menjadi tampak jelas seiring meningkatnya ekskalasi perjuangan

pemekaran Kabupaten Simalungun. Wacana pemekaran dan proses pembelahan

wilayahnya dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi Simalungun di masa depan.

Sementara para penggagas dan pendukung pemekaran Kabupaten Simalungun

yang menghendaki berdirinya Kabupaten Simalungun Hataran dianggap sebagai

lawan bagi orang Simalungun.

Masyarakatnya mengakui, bahwa ahap Simalungun merupakan prinsip

yang melandasi jiwa orang Simalungun. Bukan suatu prinsip yang dikonsep

dengan sederhana dan bernilai murahan. Prinsip hidup orang Simalungun tersebut

diakui sebagai prinsip yang kuat, teguh dan tahan uji. Sehingga, jika ada yang

mengatakan bahwa pemekaran dan pembelahan wilayah Kabupaten Simalungun

dapat menghancurkan „kesimalungunan‟, justru sepatutnyalah dipertanyakan ahap

Simalungun dari orang tersebut. Orang Simalungun yang anti terhadap pemekaran

Kabupaten Simalungun karena diliputi anggapan bahwa pemekaran akan

membawa petaka bagi Simalungun, dituding oleh pendukung pemekaran agar

membersihkan diri dengan ahap Simalungun dan Habonaron Do Bona.

Identitas Simalungun yang sudah sedemikian terkonstruksi berkat

berdirinya lembaga, organisasi dan komunitas „kesimalungunan‟), dikuatkan lagi

dengan berbagai propaganda yang mempererat persatuannya. Dikatakan bahwa

yang mempersatukan Simalungun hanya ada satu, yaitu kata „Simalungun‟.

Dengan cara ini, Simalungun Hataran menjadi kekeliruan di benak orang

(35)

212

rubuh”, selanjutnya memberikan pengertian yang tegas bahwa upaya pemekaran

dan pembelahan wilayah dianggap sebagai permainan para pecundang. Sebab

dikatakan tidak mungkin pihak Simalungun sendiri mengingkari falsafah

Simalungun Habonaron Do Bona−yang seharusnya dipegang teguh.

Kemudian berkembang stigma di kalangan masyarakat Simalungun yang

meragukan „kesimalungunan‟ seseorang berdasarkan penggunaan bahasa

Simalungun. Jika seseorang mengaku Simalungun namun tidak dapat berbahasa

Simalungun, maka identitasnya diragukan. Demikian juga terhadap orang

Simalungun (atau yang mengaku Simalungun) namun tidak memahami sejarah

Simalungun. Perihal penggunaan bahasa Simalungun ini menjadi sorotan bagi

kalangan budayawan Simalungun dalam rangka patuduhkon hasadaon

(menunjukkan eksistensi, persatuan dan kesatuan) Simalungun sebagai etnis yang

berjaya di tanahnya sendiri.

Selanjutnya berkembang propaganda yang diprakarsai oleh kalangan

budayawan dan tokoh Simalungun dalam menghadapi upaya pemekaran dan

pembelahan wilayah Kabupaten Simalungun. Landasan ahap Simalungun dan

falsafah Habonaron Do Bona dilegitimasi sebagai landasan berpikir jika ingin

membenahi Tanoh Simalungun atau menghendaki pembangunan dan

pengembangan terhadap kemakmuran wilayahnya. Dengan landasan yang

dimaksud itu, tidak akan ada upaya curang yang berakibat merugikan Simalungun

dalam aspek kesatuan budaya dan kesatuan wilayahnya. Orang Simalungun yang

(36)

213

insyaf dan menyadari bahwa dirinya adalah Simalungun, hendaknya

membersihkan diri dengan landasan tersebut.

Tanggapan beberapa masyarakat Simalungun wilayah Simalungun Bawah

sedikit berbeda dengan pernyataan di atas. Bagi orang Simalungun di Simalungun

Bawah, garis keturunan (memiliki marga Simalungun) dianggap sudah cukup

menjelaskan bahwa mereka adalah Simalungun. Khusus di wilayah Simalungun

Bawah, merekalah yang menjadi simada talun (tuan rumah, pemilik wilayah

Simalungun Bawah). Lebih lanjut, pernyataan tersebut menggambarkan

pandangan yang tidak sejalan dengan maksud orang-orang Simalungun yang

menganggap dirinya asli. Muncul anggapan bahwa yang menjadi Simalungun asli

hanyalah mereka yang berada di wilayah Raya dan daerah sekitarnya. Orang

Simalungun adalah mereka yang lahir di Raya dan daerah sekitarnya, harus bisa

berbahasa Simalungun, dan memahami adat budaya Simalungun. Yang berarti

bahwa, jika ingin dikatakan sebagai orang Simalungun asli, orang Simalungun

Bawah harus „insyaf‟, kembali ke Simalungun dan berkehidupan di Simalungun.

Sehingga hal ini menjadi bagian terkecil dari alasan yang mendorong orang

Simalungun Bawah yang tidak masuk dalam kriteria tersebut menginginkan

Kabupaten Simalungun dimekarkan, lalu menyatakan diri sebagai „Simalungun

Hataran‟.

Persoalan identitas yang semakin meruncing ditandai dengan anggapan

bahwa orang Simalungun yang menginginkan pemekaran adalah Simalungun

gadungan (palsu). Sekali lagi yang dikatakan sebagai orang Simalungun asli ialah

(37)

214

ahap, maka demi kesatuan Simalungun, apapun akan dilakukan. Bahkan bersedia

mati demi mempertahankan harga diri Simalungun tersebut. Akan tetapi dianggap

tidak mungkin jika sesama orang Simalungun saling berperang hanya oleh karena

pemekaran. Tegasnya, musuh Simalungun adalah mereka yang menggagas dan

mendukung wacana pemekaran serta pembelahan wilayah Kabupaten

Simalungun.

Sejalan dengan itu, berkembang celaan di tengah masyarakat yang

menyatakan bahwa seharusnya pula orang Simalungun malu karena terikut dalam

gerakan dan upaya pemekaran yang dianggap menghancurkan kesatuan

Simalungun. Penolakan terhadap wacana pemekaran Kabupaten Simalungun

merupakan sebuah gejolak yang lahir sebagai dinamika dari konstruksi identitas

etnis Simalungun.

6.2. Saran

Gejolak identitas etnis Simalungun terbentuk sebagai konsekuensi

daripada isu pembelahan wilayah yang direncanakan dalam wacana pemekaran

Kabupaten Simalungun. Ketegangan antar etnis yang mengancam keharmonisan,

kiranya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi pendewasaan politik

masyarakat di kabupaten ini. Setidaknya, beberapa hal menjadi terbangun dalam

kesadaran kolektif antar kelompok masyarakat. Ketegangan etnisitas mendorong

secara sadar pembelajaran sejarah dan kebudayaan bagi masyarakat Simalungun

yang sedang bergiat dalam membangun konstruksi identitas etnisnya. Di samping

(38)

215

asli terhadap masyarakat pendatang di Tanoh Simalungun. Melalui proses ini,

kiranya setiap masyarakat (khusunya pendatang) berkenan saling menghargai

terhadap identitas budaya di lingkungan tempat tinggalnya.

Gejolak identitas etnis yang dapat menyulut sentimen antar etnisitas harus

direspon secara tanggap dan bijak oleh pemerintah. Keruntuhan Uni Soviet

misalnya, telah menjadi bukti diakibatkan karena gagalnya penguasa merespon

gerakan etnik di negara-negara federasinya. Kerapuhan “tali pengikat” (kohesi)

dalam masyarakat Kabupaten Simalungun akan selamanya dapat menyuburkan

gejolak identitas etnis yang berujung pada perpecahan antar etnis. Oleh

karenanya, setidaknya, kohesi ideologis dan pragmatis harus dimantapkan di

daerah Kabupaten Simalungun. Kohesi ideologis ialah menyangkut persatuan dan

kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI. Sedangkan kohesi pragmatis berkenaan

dengan kebebasan, kesejahteraan, dan keadilan. (lihat : Tikwan R. Siregar dalam

Simanjuntak et.al. 2012:44-45).

Sebuah langkah yang praktis guna menyikapi tuntutan pemekaran yang

berujung pada terancamnya keharmonisan masyarakat di Kabupaten Simalungun,

ialah pentingnya melaksanakan pembangunan secara adil dan merata. Dalam hal

ini, pemerintahan Kabupaten Simalungun dapat menampung aspirasi secara

berimbang dari seluruh masyarakat Simalungun di berbagai pelosok wilayahnya.

Berdasarkan aspirasi tersebut, maka aplikasi pembangunan yang menyentuh

langsung (partisipatif dan berdampak) kepada kebutuhan masyarakat harus

dilaksanakan secara transparan. Menjamin kesejahteraan masyarakat akan turut

(39)

216

Menyadari bahwa penelitian antropologis ini masih jauh dari sempurna,

maka penting kiranya dilakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap persoalan

seputar identitas etnis di Kabupaten Simalungun serta di berbagai daerah lainnya.

Persoalan etnisitas tentunya memiliki cakupan yang luas, sehingga dapat dikaji

dengan mengambil salah satu atau beberapa aspek yang sesuasi dengan minat

(40)

217

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku/Jurnal

Agustono, Budi, et.al. 2012. Sejarah Etnis Simalungun. Pematangsiantar: Museum Simalungun.

Balandier, Georges. 1996. Antropologi Politik (Terjemahan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnis dan Batasannya; Tatanan Sosial dari

Perbedaan Kebudayaan (Terjemahan). Jakarta: UI Press.

Beoang, Konrad Kebung. 1997. Michel Foucault; Parrhesia dan Persoalan

Mengenai Etika. Jakarta: Penerbit Obor.

Buchari, Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

identitas kelompok etnik Simalungun. Tesis tidak diterbitkan. Medan:

Program Pascasarjana UNIMED.

Dasuha, Juandaha Raya P., et.al. (editor). 2012. Peradaban Simalungun; Inti Sari

Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964.

Pematangsiantar: Komite Penerbit Buku-Buku Simalungun (KPBS).

Davidson, Jamie S, at. al (editor). 2010. Adat dalam Politik Indonesia (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta.

Dewey, John. 1998. Budaya dan Kebebasan; Ketegangan antara Kebebasan

(41)

218

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Erikson, Erik H. 2002. Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah; Pemahaman dan

Tanggung Jawab (Terjemahan). Maumere: Lembaga Pembentukan

Berlanjut Arnold Janssen (LPBAJ).

Field, John. 2005. Modal Sosial (Terjemahan). Medan: Penerbit Bina Media Perintis. Gaus, Gerald F. dan Chandra Kukathas. 2012. Hand Book Teori Politik

(Terjemahan). Bandung: Nusa Media.

Geertz, Clifford. 2004. Tafsir Kebudayaan (Terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hutchinson, Jhon dan Anthony D. Smith (Editor). 1996. Ethnicity. New York: Oxford University Press.

Isajaw, W.W. 1974. Defenition of Ethnicity. Ethnicity. Vol. 1: 111-124.

Halim, H. Abd. 2014. Politik Lokal; Pola, Aktor & Alur Dramatikalnya (Perspektif

Teori Powecube, Modal dan Panggung). Yogyakarta: LP2B (Lembaga

Pengkajian Pembangunan Bangsa).

Haris, Syamsudidin (editor). 2005. Desentralisasi & Otonomi Daerah;

Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah.

Jakarta: LIPI Press.

Haris, Syamsuddin. 2006. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.

Hefner, Robert W (editor). 2007. Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas

Kebangsaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hutagalung, W. M. 1991. Pustaha Batak; Tarombo dohot Turiturian ni Bangso

Batak. Penerbit Tulus Jaya.

Hutchinson, John & Anthony D. Smith (editor). 1996. Ethnicity. New York: Oxford University Press.

Ibrahim, Amin. 2013. Dinamika Politik Lokal; Konsep Dasar dan Implementasinya. Bandung: Penerbit Mandar Maju.

(42)

219

Isaacs, Harold R. 1993. Pemujaan terhadap Kelompok Etnis; Identitas Kelompok

Etnis dan Perubahan Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gonrang Simalungun; Struktur & Fungsinya dalam

Masyarakat Simalungun. Medan: Bina Media.

Jenkins, Richard. 2008. Identitas Sosial (Terjemahan). Medan: Penerbit Bina Media Perintis.

Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah; Suatu Solusi Menjawab

Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Khairin, Sukri. 2007. Etnis Alas dalam otonomi daerah: kajian aktualisasi identitas

kelompok melalui pemekaran desa di Kabupaten Aceh Tenggara. Tesis

tidak diterbitkan. Medan: Program Pascasarjana UNIMED.

King, Victor T. Dan William D. Wilder. 2012. Antropologi Modern Asia Tenggara;

Sebuah Pengantar (Terjemahan). Bantul: KREASI WACANA.

Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson (editor). 1982. Aspek Manusia dalam

Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat (editor). 1984. Masalah-masalah Pembangunan; Bunga Rampai

Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Membangun Format Baru Otonomi

Daerah. Jakarta: LIPI Press.

Lubis, Mochtar. 2012. Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Marzali, Amri. 2009. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Marzali, Amri. 2012. Antropologi & Kebijakan Publik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Maskun, Sumitro H. 2001. Otonomi Daerah; Peluang dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

McGlynn, Frank dan Arthur Tuden (Editor). 2000. Pendekatan Antropologi pada

(43)

220

Mutalib, Hussin. 1996. Islam dan Etnisitas; Perspektif Politik Melayu. Jakarta:

LP3ES.

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom (editor). 2014. Politik Lokal di Indonesia (Terjemahan). Jakarta: KITVLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Jakarta.

Oentarto, dkk. 2004. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama.

Pelly, Usman. 2013. Urbanisasi dan Adaptasi; Peran Misi Budaya Minangkabau

dan Mandailing di Perkotaan. Medan: Unimed Press.

Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera

Timur Laut (Terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Peursen, Van. 1988. Strategi Kebudayaan (Terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Prasetia, Heru dan Ingwuri Handayani (editor). 2010. Agama dan Kebudayaan;

Pergulatan di Tengah Komunitas. Jakarta: Desantara Foundation.

Program Pascasarjana Unimed. 2010. Pedoman Administrasi dan Penulisan Tesis &

Disertasi. Medan: Program Pascasarjana Unimed.

Pronk, Jan P. 1994. Pertikaian Merebak Dunia; Survei tentang Batas-batas Kerja

Sama Pembangunan (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Purba, D. Kenan dan J. D. Poerba. 1995. Sejarah Simalungun. Jakarta: Bina Media Simalungun dan Parsadaan Ni Purba Pak-pak, Boru pakon Panagolan. Purba, M. D. 1977. Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun. Medan:

Penerbit M. D. Purba.

Purba, M. D. 1985. Adat Perkawinan Simalungun. Medan: Penerbit M. D. Purba Purba, M. D. 1986. Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun. Medan: Penerbit M.

D. Purba.

Ratnawi, Tri. 2009. Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Reid, Anthony. 2012. Sumatera: Revolusi dan Elit Tradisional. Jakarta: Komunitas Bambu.

(44)

221

Roxborough, Ian. 1986. Teori-Teori Keterbelakangan. Jakarta: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial).

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar

Kritis mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.

Saragih, St. J. E. 1989. Kamus Simalungun Indonesia. Pematangsiantar: Kolportase GKPS.

Seation, Lee S. dan Henri J.M. Claessen (editor). Political Anthropology; The State

of The Art. New York : Mouton Publishers.

Sedyawati, Edi. 2010. Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Simalungun, DPP/Presidium Partuha Maujana. 2014. Esensi dan Relevansi

Nilai-nilai Luhur Seni-Budaya Tradisional Simalungun dalam Kehidupan Modern;Hasil Seminar Kebudayaan II Tahun 2014. Pematangsiantar: gop@as MULTIMEDIA.

Simanjuntak, Bungaran Antonius dan Saur Tumiur Situmorang. 2004. Arti dan

Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak. Parapat: Kelompok Studi dan

Pengembangan Masyarakat (KSPPM).

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak

Toba hingga 1945; Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Simanjuntak, Bungaran Antonius (editor). 2010. Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia; Berapa Persen Lagi Tanah dan Air Nusantara Milik Rakyat?. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak

Toba; Bagian Sejarah Batak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Simanjuntak, Bungaran Antonius (editor). 2013. Dampak Otonomi Daerah di

Indonesia; Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sinaga, Richard. 2013. Silsilah Marga-marga Batak. Jakarta: Penerbit Dian Utama dan KERABAT (Kerukunan Masyarakat Batak).

Situmorang, Sitor. 2009. Toba Na Sae; Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad

(45)

222

Soetomo. 2010. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. 2012. Teror Orde Baru; Penyelewengan

Hukum & Propaganda 1965-1981. Jakarta: Komunitas Bambu.

Spradley, James, P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Suparlan, Parsudi (editor). 1984. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta: CV. Rajawali.

Sugiharto. 2007. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah. Medan: USU press. Susanto, Budi (editor). 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Susanto, Budi. 2004. Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial; Siasat Politik

(Kethoprak) Massa Rakyat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga

Studi Realino.

Syafri, Yulizar. 2010. Kontekstualisasi Kesukubangsaan di Perkotaan. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia (IAI).

Tahara, Tasrifin. 2014. Melawan Stereotip; Etnografi,Reproduksi Identitas, dan

Dinamika Masyarakat Katobengke Buton yang Terabaikan. Jakarta: KPG

(Kepustakaan Populer Gramedia).

Tambak., T. B. A. Purba. 1982. Sejarah Simalungun. Pematang Siantar: Yayasan Museum Simalungun.

Tambunan, Edwin M. B. 2004. Nasionalisme-Etnik Kashmir dan Quebec. Semarang Timur: Intra Pustaka Utama.

Tilaar. H. A. R. 2007. Mengindonesia; Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia;

Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Torres, Rodolfo D., Lovis F. Miron, dan Jonathan Xavier Inda (editor). 1999. Race,

Identity, Citizenship, A Reader. Malden: Blackwell.

Ufford, Philip Quarles van dan Ananta Kumar Giri (editor). 2004. Kritik Moral

Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

(46)

223

Zacot, Francois-Robert. 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut; Pengalaman

Seorang Antropolog (Terjemahan). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer

Gramedia).

Zuska, Fikarwin. 2008. Relasi Kuasa antar Pelaku dalam Kehidupan Sehari-hari;

Studi Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota. Medan: FISIP USU

Press.

2. Artikel, Makalah, Berita Koran, dan Lain-lain.

Baru, Sinar Indonesia. 31 Oktober 2007. Halaman 5. Bupati Simalungun Drs HT

Zulkarnain Damanik MM menawarkan Rp 5 miliar menuntaskan pemekaran Kabupaten Simalungun.

Baru, Sinar Indonesia. 4 Oktober 2013. Halaman 5. Masyarakat Orasi di Depan

Gedung DPR Dukung Pemekaran Kabupaten Simalungun.

Baru, Sinar Indonesia. 4 November 2013. Halaman 5. Reses dan Sosialisasi

Pemekaran Simalungun Dihadiri Ribuan Warga di Kecamatan Bandar.

http://m.facebook.com/photo.php?fbid=1389901061241874&id=100006659798913 &set=a.1389900697908577.1073741825.100006659798913&source=45.ht ml. Diakses pada 24 September 2014.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=641377962560310&set=pcb.524369224 311497&type=1.html. Diakses pada 14 Maret 2014.

https://www.facebook.com/sarmedi.purba?fref=ufi.html. Diakses pada 14 juni 2014. Kompas. Berkas Pemekaran Simalungun Disampaikan ke DPR.

http//www.regional.kompas.com/read/2013/06/06/22112532/Berkas.Pemek aran.Simalungun.Disampaikan.ke.DPR..html. Diakses pada 14 Januari 2015.

Liputan6. Hasil Studi Bank Dunia tentang Pemekaran Daerah.

http://www.liputan6.com/view/7/Hasil-Studi-Bank-Dunia/Desember-2005.html. Diakses pada 26 November 2013.

News, ANTARA. 24 September 2013. DPD RI melakukan peninjauan pemekaran

(47)

224

Pematangsiantar, Kota. 2012. Walikota Pematangsiantar dari Masa ke Masa. http://www.pematangsiantarkota.go.id/indeks.php/profil-pemerintahan.html. Diakses pada 16 Mei 2014.

Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Simalungun Kantor. 2012. Sejarah

Kerajaan-Kerajaan di Simalungun oleh J. Tideman (Asisten Residen Simaloengoen en Karolanden Leiden 1922).Makalah. (Tidak diterbitkan).

Purba, Sarmedi. Pemekaran Kabupaten Simalungun. http://sarmedi-purba.blogspot.com/Pemekaran-Kabupaten-Simalungun-opini/.html.

Diakses pada 14 Maret 2014.

Siahaan, Hasudungan dan Bambang Sitanggang. Sinar Indonesia Baru. 1 Agustus 2012. Halaman 13. Pasca Kunjungan Wapres Boediono; Puluhan Miliar

Mengucur Membangun Kabupaten Simalungun.

Siantar, Metro. Mekar atau Berhenti. http://www.METROSIANTAR.com/Mekar-atau-Berhenti!.html. Diakses pada 10 Oktober 2013.

Siantar, Metro. Penandatanganan Peta Tapal Batas , JR Keliling Naik Helikopter

Temui Tiga Kepala Daerah.

http://www.metrosiantar.com/2013/07/30/73408/penandatangan-peta-tapal-batas-jr-keliling-naik-helikopter-temui-tiga-kepala-daerah/.html. Diakses pada 10 Oktober 2013.

Simalungun, Badan Pusat Statistik Kabupaten. Produk Domestik Regional Bruto

Kabupaten Simalungun 2013.

http://simalungunkab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=50.html. Diakses pada 10 Agustus 2014.

(48)

225

Simalungun, Badan Pusat Statistik Kabupaten. Statistik Daerah Kabupaten

Simalungun 2014.

http://simalungunkab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=51.html. Diakses pada 12 Maret 2014.

Simalungun, Kabupaten. Profil Daerah Kabupaten Simalungun.

http://www.simalungunkab.go.id/web/web/pages/1/profil-simalungun.html. Diakses pada 10 Februari 2014.

Simalungun, Suara. PT Pos Indonesia Siantar Lecehkan Etnis Simalungun. Edisi 491, terbit pada Kamis 19-26 Januari 2012.

Simalungun, Suara. Penggunaan Ornamen Simalungun Hendaknya Lebih

Dipertegas. Edisi 552, terbit pada Kamis 16-23 Mei 2013.

Simalungun, Tolakpemekaran. Poster propaganda Tolak Pemekaran Simalungun. http://m.facebook.com/photo.php?fbid=1389901061241874&id=100006659 798913&set=a.1389900697908577.1073741825.100006659798913&source =45.html. Diakses pada 24 September 2014.

Tarigan, Andri E. Harian Analisa. 31 Agustus 2013. Melirik Upaya Pemekaran

Simalungun, hlm. 24.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Gambar

Tabel  2.1. Jumlah Migran Toba ke Tanoh Simalungun  ................................
Gambar 4.3. Poster propaganda Tolak Pemekaran Kabupaten Simalungun

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan yang dimaksud disini adalah perhitungan cadangan terukur dimana data-data seperti data singkapan, data topografi dan data pemboran digunakan sebagai

5 Hasil Rata-Rata dan Standard Deviasi Nilai Kekasaran Permukaan Resin Komposit Nanofiller Setelah Penyikatan Pada Kelompok Kontrol, di Coating dengan Surface Coat dan

Perbedaan Hasil Belajar Ekonomi Siswa yang Belajar dengan Metode Pembelajaran Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dengan Tipe Numbered Head Together (NHT) pada

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui volume Overburden, volume batubara dan Striping ratio (SR) dari cadangan batubara terukur serta memahami perbedaan dalam cara

Penelitian ini menggunakan resin komposit nanofiller yang dibuat berbentuk tablet dengan diameter 10 mm dan ketebalan 2 mm sebanyak 30 buah yang dibagi menjadi 3 kelompok

Tahun Pelajaran 2016/2017 dalam Mata Pelajaran PPKn dengan menggunakan. Metode Pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD)

Twenty ®ve growing crossbred bulls ( Bos indicus Bos taurus ) were used in a randomised block design experiment for 196 days to determine the effect of grainless concentrate

STRUKTUR & BAHAN