DINAMIKA
SISTEM PERBERASAN
DI BALI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta
Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pidana Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
I Nyoman Gede Ustriyana
Udayana UnIveRSIty PReSS 2016
DINAMIKA
SISTEM PERBERASAN
DI BALI
Hak Cipta pada Penulis. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Penulis: I nyoman Gede Ustriyana
Editor: Jiwa atmaja Cover & Ilustrasi:
Repro Design & Lay Out:
I Wayan Madita Diterbitkan oleh: Udayana University Press Kampus Universitas Udayana denpasar Jl. P.B. Sudirman, denpasar - Bali telp. (0361) 255128 [email protected] http://udayanapress.unud.ac.id Cetakan Pertama: 2016, viii + 100 hlm, 15 x 23 cm ISBN: 978-602-294-165-1
DINAMIKA
SISTEM PERBERASAN
DI BALI
PRAKATA
Buku ini berisi tentang objek perberasan di Bali dengan pendekatan sistem dinamik. Pendekatan ini memberikan makna bahwa perberasan di Bali dipengruhi oleh berbagai fenomena yang saling terintegrasi.
Penulis berterimakasih kepada Bpk. Jiwa atmaja (editor) dari Udayana Univesity Press atas kesempatan dan kebebasan yang diberikan kepada penulis dalam mengeksplorasi sebuah buku yang diberi judul Dinamika Sistem Perberasan di Bali. Penulis berterimakasih pula kepada Prof. dr.Ir. Made antara, MS. serta teman-teman, dosen di departemen atas segala argumen, masukan, serta diskusi formal dan informal di departemen. Isi dari buku ini tidak terlepas dari kontribusi dan masukan yang diberikan oleh Prof. (em) John v. Genderen dari University of twente dan Sri Handoyo Mukti dari Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi Jakarta (BPPt).
demikian pengantar yang sangat singkat dan mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Saran dan kritik yang membangun tetap kami tunggu demi kesempurnaan buku ini.Semoga karya yang kecil ini menjadi benih-benih yang terus tumbuh berkembang membingkai keilmuan bagi setiap pembaca.
DAFTAR ISI
Kata PenGantaR ... v daFtaR ISI ... vi BaB I PendaHULUan ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Pengkajian ... 6 1.3 tujuan Pengkajian ... 6BaB II tInJaUan teORItIK dan eMPIRIK... 7
2.1 Sistem, Pendekatan Sistem, dan Model ... 7
Sistem ... 7 2.2 Pendekatan Sistem ... 8 2.2.1 Model ... 10 2.2.2 Ketahanan Pangan ... 11 2.3 Penelitian terdahulu ... 16 2.4 Kerangka Berpikir ... 18
BaB III PendeKatan dan MetOde PenGKaJIan .... 21
3.1 Rancangan Pengkajian ... 21
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21
3.3. Jenis dan Sumber data ... 22
3.3.1 Metode Pengumpulan data ... 22
3.3.2 Metode Pengambilan Sampel ... 22
3.3.3 Metode analisis ... 24
3.4 Pendekatan Sistem ... 24
3.5 analisis Kebutuhan ... 25
3.6 Formulasi Masalah ... 26
3.7 Identifikasi Sistem Ketersediaan Beras ... 26
3.9 Sub model produksi ... 27
3.10 Sub Model Konsumsi ... 31
3.11 Verifikasi dan Validasi Model ... 33
a. analisis Prospektif ... 34
b. Analisis Sensitifitas ... 34
c.analisis Simulasi ... 35
BaB Iv tInJaUan UMUM PeRtanIan BaLI ... 38
4.1 Letak Geografis dan Toografi Propinsi Bali ... 38
a. Luas dan Penggunaan Lahan ... 39
b. Lahan Sawah ... 39
c. Lahan Bukan Sawah ... 41
d. Lahan Bukan Pertanian ... 41
4.2 Subsektor Pertanian ... 42
4.3 Penduduk dan Tenaga Kerja ... 46
a. Penduduk ... 46
b. tenaga Kerja Sektor Pertanian ... 47
c. Pembangunan ekonomi Sektor Pertanian ... 50
BaB v KeteRSedIaan BeRaS dI BaLI ... 51
5.1 Model Sistem dinamik Ketersediaan Beras di Bali .... 51
5.1.1 Pengembangan Model ... 53
5.1.2 Verifikasi dan Validasi Model ... 78
5.2 Simulasi Model untuk Skenario ... 48
5.3 Kebaruan Penelitian ... 94
BaB vI PenUtUP ... 95
6.1 Simpulan ... 95
6.2 Rekomendasi Kebijakan ... 96
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ketahanan pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Sejarah telah menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional secara keseluruhan. Kelemahan dalam mewujudkan ketahanan pangan akan menggoyahkan sendi-sendi ketahanan nasional. Oleh karena itu, pembangunan sistem ketahanan pangan nasional yang mantap menjadi syarat mutlak bagi pembangunan nasional.
di Indonesia, masalah pangan dan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari komoditas beras, mengingat beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi konsumsi beras yang tinggi yaitu sebesar 100 persen (ariani dan ashari, 2003), yang berarti bahwa hampir seluruh rumah tangga mengkonsumsi beras.
Menyadari bahwa untuk mencukupi kebutuhan pangan utama merupakan langkah awal yang strategis bagi pembangunan bangsa, maka sejak awal kemerdekaan telah dicanangkan berbagai program dan kebijakan mengenai perberasan nasional. Pada awal kemerdekaan, beras serta tanaman pangan umumnya berperan dominan dalam perekonomian, baik dari segi produksi maupun konsumsi atau pengeluaran rumah tangga. Sudah lebih
dari tiga dasawarsa beras ditempatkan sebagai komoditas utama dalam perekonomian Indonesia. Kekurangan beras misalnya masih dianggap sebagai ancaman terhadap kestabilan ekonomi dan politik (Baharsyah et al., 1998). Selanjutnya timmer (1996) menyatakan perekonomian beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1960. Kasryno dan Pasandaran (2004) menyatakan bahwa kebijakan pembangunan pertanian selalu didominasi oleh kebijakan perberasan.
di Indonesia, padi diusahakan oleh sekitar 18 juta petani dan menyumbang 66 persen terhadap Produk domestik Bruto (PdB) tanaman pangan. Selain itu, usahatani padi memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan sumbangan pendapatan sebesar 25-35 persen (departemen Pertanian, 2005). Sawit (2000) menyatakan bahwa beras sebaiknya dipandang sebagai barang yang tidak saja berfungsi sebagai barang privat tetapi juga barang publik karena banyak kepentingan publik dihasilkan oleh beras, oleh sebab itu beras tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian ke depan.
Masyarakat yang mempunyai pola konsumsi pangan pokok yang beragam lebih mudah menyesuaikan atau menerima pola makan baru dibandingkan dengan masyarakat yang pangan pokoknya hanya beras. Menurut Wirakartakusumah dan Soeharjo dalam Kasryno dan Pasandaran (2004) kondisi lingkungan terutama sosial budaya mempunyai pengaruh besar terhadap pola makan. erwidodo et al., (1996) menunjukkan terdapat hubungan substitusi antara beras dan ubikayu. namun karena beras merupakan sumber karbohidrat utama, maka daya subsitusi beras terhadap ubi kayu, jagung dan mi lebih tinggi daripada daya subsitusi jagung, ubi kayu, dan mi terhadap beras.
Siahaan (2006) menyatakan secara sosial budaya bagi masyarakat Indonesia “orang belum merasa telah makan” kalau belum menyentuh nasi (beras) begitupula secara politik. Pada jaman orde baru “politik beras” dijadikan kriteria keberhasilan pembangunan. Suatu wilayah atau daerah tertentu dikatakan sudah tersentuh pembangunan apabila masyarakatnya sudah mengkonsumsi beras. Arifin (2001) menegaskan hingga saat ini secara nutrisi, ekonomi, sosial dan budaya beras tetap merupakan pangan terpenting bagi masyarakat Indonesia.
Permasalahan dalam mewujudkan ketersediaan beras terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan beras yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan beras meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat dan perubahan selera. dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan beras secara nasional meningkat dalam jumlah, mutu dan keragaman. Sementara itu, kapasitas produksi beras nasional pertumbuhannya lambat atau dapat dikatakan stagnan. apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor beras akan membesar, yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan ketergantungan pada beras impor yang tinggi sehingga menguras devisa negara.
tekanan kepada sumberdaya alam tanpa diikuti perubahan struktur ekonomi yang memadai, akan menjadi ancaman terhadap ketersediaan beras, baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro, degradasi lahan dan air akan menyebabkan keterbatasan kemampuan pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal. Hal ini akan mengakibatkan produktivitas usahatani padi menurun dan secara makro akan semakin bertambahnya penduduk miskin atau adanya kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan (beras), sehingga mereka mengalami kerawanan pangan.
Pada sisi lain, kemiskinan akan menimbulkan tekanan yang semakin besar terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali. Keadaan lingkaran ini perlu diputus agar ketersediaan beras dapat diwujudkan secara mantap dan berkelanjutan di masa depan, oleh karena itu kebijakan pangan Indonesia masih harus menempatkan kebijakan perberasan (Rice Policy) sebagai salah satu pilar utamanya.
Sejak tahun 1997 politik perberasan Indonesia telah menganut mekanisme pasar. Sebetulnya terlalu riskan untuk menggantungkan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang jumlahnya sekitar 230 juta jiwa lebih sepenuhnya pada mekanisme pasar, yang secara empiris menunjukkan adanya fluktuasi harga akibat dari permintaan dan penawaran.
Kebutuhan beras secara nasional sekitar 37,8 juta ton beras yang hampir mencapai 84,39 persen dari beras yang diperdagangkan di pasar dunia (BPS, 2011). Walaupun pemerintah memiliki cadangan dana, belum tentu dapat menjamin terciptanya ketahanan pangan karena ada kemungkinan beras tidak tersedia di pasar, baik dari segi jumlah maupun ketepatan saat diperlukan. Hal ini ditegaskan oleh nainggolan (2006) yaitu : (1) bahwa resiko besar bila urusan pangan (beras) diserahkan pada mekanisme pasar karena gejolak harga internasional akan mudah ditransmisikan ke dalam negeri melalui variabel kurs mengambang yang sampai saat ini fluktuatif yang akan mengakibatkan petani menghadapi resiko ketidakpastian harga, (2) untuk negara besar seperti Indonesia sebaiknya tidak tergantung pada pasar beras Internasional karena pasar beras Internasional sangat tipis, volume beras yang diperdagangkan di pasar beras global hanya lima persen dari total produksi global. Pemenuhan kebutuhan beras nasional diharapkan dapat dipenuhi dari dalam negeri.
terpenuhinya kebutuhan beras dihadapkan pula penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam, seperti sumberdaya lahan dan air. Produksi beras di Bali pada tahun
2010 sebesar 869.160 ton beras dengan rata-rata produksi 57,11 kwintal/ha (BPS Bali, 2011). Sebelum tahun 2005, luas lahan sawah beririgasi teknis 87.850 ha, tetapi tahun 2011 hanya seluas 82.664 ha (menyusut seluas 5.186 ha). Konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian ke industri pariwisata dan perumahan juga akan diikuti oleh penurunan kualitas lahan dan air akibat pola pemanfaatan lahan dan perkembangan sektor non pertanian yang sering kurang memperhatikan aspek lingkungan.
Jumlah penduduk Bali tahun 2011 sebesar 3,89 juta jiwa dan terus bertambah dengan pertumbuhan sebesar 2,15 persen per tahun mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan pokok yaitu beras merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh Bali. apalagi dalam MP3eI (Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan ekonomi Indonesia) 2010, disebutkan Bali sebagai Koridor Bali-nusa tenggara menjadi “Pintu Gerbang Pariwisata nasional dan Pendukung Pangan nasional”. tekanan penduduk akan menuntut kebutuhan beras dan kebutuhan aktivitas ekonomi yang mampu memberikan kesempatan kerja, serta menuntut kebutuhan akan lahan untuk industri, perumahan, jalan dan kebutuhan fasilitas umum, sehingga tekanan penduduk ini akan meningkatkan kompetisi pemanfaatan sumberdaya terutama lahan dan air.
terpenuhinya kebutuhan beras di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dalam penyediaan dan permintaan beras, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Karena beras merupakan produk yang bersifat strategis, tingkah laku penyediaan, konsumsi beras dan ketersediaan beras sangat perlu diketahui untuk keperluan perencanaan. Informasi ini diharapkan dapat dipakai oleh perencana atau pengambil keputusan dalam melakukan prioritas pelaksanaan peningkatan program ketahanan pangan, khususnya pangan pokok yaitu beras.
1.2 Rumusan Pengkajian
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa masalah penelitian di bawah ini:
- Bagaimanakah model sistem dinamik ketersediaan beras di
Provinsi Bali dilihat dari sektor produksi dan konsumsi?
- Bagaimanakah gambaran perkembangan produksi dan
konsumsi beras di Provinsi Bali? 1.3 Tujuan Pengkajian
tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan model sistem dinamik ketersediaan beras di Provinsi Bali yang dapat dipergunakan sebagai salah satu alat bantu pengambilan keputusan untuk keperluan pengendalian sistem maupun antisipasi terhadap perubahan berbagai kebijakan yang mempengaruhi sektor produksi maupun konsumsi perberasan di Provinsi Bali.
Tujuan khusus penelitian yaitu:
- Membangun model sistem dinamik ketersediaan beras di
Bali
- Mensimulasi seluruh model subsistem secara simultan
menggunakan berbagai nilai awal parameter dan variabel yang mempengaruhi sektor produksi maupun konsumsi perberasan di Provinsi Bali.
BAB II
TINJAUAN TEORITIK DAN EMPIRIK
2.1 Sistem, Pendekatan Sistem, dan Model Sistem
Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977). Sedangkan Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Selanjutnya Chechland (1981) menyatakan bahwa sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas: komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah merupakan bagian-bagian sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengasumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut.
Menurut Chechland (1981) ada beberapa persyaratan dalam berpikir sistem (System Thinking) diantaranya : (1) Holistik, System thinkers harus berpikir holistik tidak reduksionis. yang dimaksud
holistik di sini adalah tidak mereduksionis permasalahan kepada bagian yang lebih kecil (segmentasi) atau tidak hanya berpikir secara parsial dari sudut pandang mono disiplin tapi harus interdisiplin; (2) Sibernetik (Goal Oriented), System thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented). Jadi mulai dengan tujuannya apa, kemudian identifikasi masalah yaitu gap antara tujuan (kondisi informatif) dengan keadaan aktual baru problem solving; dan (3) efektif, dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen dimana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien.
Menurut Muhammadi et al., (2001) untuk berfikir sistem (System Thinkers) syaratnya adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (Systemic Approach). Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik dilihat secara keseluruhan sebagai interaksi antar unsur sistem dalam batas lingkungan tertentu. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien. Jadi ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. akan lebih baik lagi bila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien.
2.2 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. dengan cara ini dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau sistem. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004).
Saat ini dalam dunia nyata banyak permasalahan yang kompleks dan beragam sehingga penyelesaiannya tidak mungkin dapat berhasil diselesaikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu diperlukan pendekatan sistem (System Approach). dalam teori sistem dinyatakan bahwa kesisteman adalah suatu meta disiplin, dimana proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh dan Carnavayal dalam eriyatno, 1999).
Keutamaan pendekatan sistem adalah dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sulit diselesaikan dengan pendekatan lainnya. Seperti dinyatakan oleh Chechland (1981) bahwa System Thinking muncul akibat dari reaksi terhadap ketidakmampuan Natural Science dalam memecahkan permasalahan dunia nyata yang kompleks. Selanjutnya Manetsch dan Park (1977) berpendapat bahwa untuk permasalahan multidisiplin yang komplek pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan baik. Persoalan yang diselesaikan dengan pendekatan sistem umumnya persoalan yang memenuhi karakteristik: (1) Kompleks, di mana interaksi antar elemen cukup rumit, persoalan menyangkut multidisiplin dan multifaktor; (2) dinamis, dalam arti, faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; (3) Stokastik, yaitu diperlukannya fungsi peluang (probabilistik) dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
Menurut eriyatno (1999), dalam metodologi sistem ada enam tahap analisis sebelum tahap sintesa atau rekayasa, yaitu: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. tahap ke satu sampai dengan ke enam umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal sebagai analisis sistem.
2.2.1 Model
Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Manetsch dan Park, 1977). Menurut eriyatno (1999) model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji.
Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (tasrif, 2004). Model dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Muhammadi et al., 2001). Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. dalam model kualitatif tidak digunakan rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Menurut Manetsch dan Park (1977) model diklasifikasikan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro, yang ada kaitannya dengan derajad agregasinya.
Membangun model umum (generic model) dimulai dengan menyusun elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis. Kemudian mengidentifikasi gejala sampai menghasilkan sruktur permasalahan untuk analisis kebijakan. Muhammadi et al., (2001) menyatakan bahwa untuk menghasilkan model yang bersifat sistemik ada beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu: (1) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata, (2) identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan, dan
(5) analisis kebijakan. dalam simulasi model setiap gejala dalam proses dapat distrukturkan ke dalam kategori atau kombinasi kategori tertentu seperti level, rate, auxilliary, constanta, flow, serta fungsi fungsi tertentu seperti delay, step, pulse, graph, if , table dan timecycle.
Perilaku dinamis dalam model ini dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model itu sendiri terdiri dari beberapa tahap yaitu: penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi (eriyatno, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa validasi hasil simulasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang. validasi juga memberikan keyakinan sejauh mana model dapat dipertanggung jawabkan dalam analisis kebijakan untuk pemecahan masalah.
2.2.2 Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan yang dikemukakan para ilmuwan atau lembaga internasional bervariasi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “situasi dimana setiap orang pada setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat“. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riely et al., 1995 (dalam dharmawan dan Kinseng, 2006) dimana ketahanan pangan dirumuskan sebagai “access for all people at all times to enough food for an active and healty life”. Hal penting dari kedua konsep di atas adalah ketersediaan pangan sepanjang waktu, sehingga dalam
pembahasan ketahanan pangan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai pola produksi dan distribusi di suatu daerah serta sistem komunitas yang memanfaatkan sumber pangan tersebut.
Ketahanan pangan berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang pangan diartikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Pengertian mengenai ketahanan pangan di atas secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001), yaitu : (a) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (b) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama, (c) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (d) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
agak berbeda dengan pandangan sebelumnya, Maxwell dan timothy (1992) memberikan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan tolok ukur dimensi spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang dideskripsikan melalui dua situasi kerawanan pangan yaitu: (1) kerawanan pangan kronis (Chronic food in security: the inability of the people to meet food needs on going basis) dan (2) kerawanan pangan sementara atau transien (Transitory food insecurity: When the inability to meet food needs is temporary). Kerawanan pangan terjadi apabila rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya.
Kerawanan pangan kronis (terus menerus) biasanya sering terjadi pada kawasan yang kurang menguntungkan secara ekologis, kawasan terpencil atau terisolasi, kawasan yang ekologisnya rusak dan terancam, sehingga bencana kelaparan berlangsung secara berulang, biasanya kerawanan pangan seperti ini terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, keterisolasian, ketidak berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan. Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan kerawanan pangan sementara (transien) terbagi pada dua tipe yaitu (a) kerawanan pangan yang bersifat sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya dapat diatasi dan (b) kerawanan pangan yang bersifat siklikal, yang bergerak menguat dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktor- faktor eksternal yang ada.
Konsep ketahanan pangan (food security) berkaitan dengan beberapa konsep turunannya yaitu kemandirian pangan (food resilience) dan kedaulatan pangan (food sovereignty). di mana pengertian ke tiganya sering dipertukarkan dalam penggunaannya (dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar proporsi pangan dan bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan tersebut, maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan dan sebaliknya. Kemandirian pangan yang rendah juga ditunjukan oleh lemahnya kapasitas kawasan (nasional) untuk menyediakan pangan melalui usaha-usaha mandiri tanpa bantuan pihak lain. Sedangkan kedaulatan pangan seperti pada kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan
keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang berdaulat berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan.
Saad (1999) menyatakan indikator ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu: (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses pangan (food access) dan pemanfaatan pangan (food utilization) yang saling berkaitan membentuk suatu sistem. Ketersediaan pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani). aksessibilitas pangan tergantung pada pendapatan (usahatani dan non usahatani), produksi dan konsumsi. Sedangkan pemanfaatan pangan sangat tergantung pada nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa. Ketahanan pangan di suatu daerah atau wilayah dapat dilihat dari berbagai indikator, indikator ketahanan pangan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Peningkatan ketahanan pangan seperti yang tertulis di dalam GBHN 1999- 2004 sebaiknya dilaksanakan dengan berbasis sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan para pelaku usaha skala kecil, dengan pengaturan yang didasari Undang-Undang. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebutuhan pangan sejauh mungkin harus dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, dengan mengandalkan keunggulan sumberdaya, kelembagaan, budaya, termasuk kebiasaan makan, yang beragam di masing- masing daerah.
Selanjutnya ditambahkan pentingnya aspek pengembangan usaha bisnis pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang dapat menjamin keanekaragaman produksi, penyediaan dan konsumsi pangan serta menjamin penyediaan gizi bagi masyarakat.
dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan mengandung makna makro maupun mikro. Makna makro terkait dengan penyediaan pangan di seluruh wilayah
setiap saat, sedangkan makna mikro terkait dengan kemampuan rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan dan gizi sesuai kebutuhan dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Sehingga ketahanan pangan sangat terkait pada individu, keluarga, masyarakat, wilayah hingga tingkat nasional.
Komitmen nasional maupun dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam: (1) memenuhi salah satu hak azasi manusia; (2) membangun kualitas sumber daya manusia dan (3) membangun salah satu pilar bagi ketahanan nasional (nurmalina, 2007).
Gambar 2.1 Indikator Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan juga merupakan salah satu pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya karena tidak satupun negara dapat membangun perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan masalah pangannya. Ketidaktahanan atau kerawanan pangan sangat berpotensi memicu kerawanan sosial, politik maupun keamanan. Kondisi demikian tidak menunjang pelaksanaan program pembangunan secara keseluruhan, yang berarti ketahanan nasional tidak mungkin terwujud.
2.3 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang penyediaan dan konsumsi beras nasional telah dilakukan, namun sebagian besar dilakukan dengan pendekatan ekonometrika, dan tidak terintegrasi dengan lingkungan. Pada tabel 2.1 berikut dapat disimak beberapa penelitian yang berhubungan dengan penyediaan dan konsumsi beras.
tabel 2.1 Penelitian Perberasan terdahulu dan Hasilnya
Kajian ini menggunakan model sistem dinamik dengan pertimbangan bahwa model tersebut akan memberikan pandangan yang lebih holistik serta pemahaman terhadap perilaku sistem yang lebih dalam, khususnya untuk kajian wilayah Provinsi Bali. Model sistem dinamik juga lebih mampu memprediksi perubahan perilaku system yang dinamis dibandingkan alat manajemen ilmiah lainnya.
2.4 Kerangka Berpikir
Gardner (1987) menyatakan penanganan masalah perberasan memerlukan kebijakan publik yang merupakan bagian dari kebijakan pembangunan pertanian. Kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang berpengaruh terhadap kepentingan hidup orang banyak atau publik. Bentuk-bentuk kebijakan publik tersebut antara lain dalam hal penentuan harga pembelian pemerintah (HPP), tarif impor beras, subsidi pupuk, dan termasuk pemberian ijin konversi lahan sawah.
analisis kebijakan yang bertujuan untuk mensintesis informasi untuk menghasilkan rekomendasi alternatif rancangan kebijakan, merupakan langkah kebijakan yang harus dilakukan sebelumnya. Kebijakan perberasan merupakan kebijakan nasional yang bersifat lintas sektoral dan dinamis, sehingga memerlukan pendekatan dan simulasi sistem dinamis agar diperoleh informasi awal mengenai berbagai kemungkinan sebelum kebijakan tersebut diberlakukan.
Sistem perberasan nasional terdiri atas beberapa sub sistem, antara lain sub sistem produksi, konsumsi, distribusi, tata niaga, dan harga (Irawan, 2005). Masing-masing sub sistem terdiri atas elemen atau unsur yang lebih spesifik dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan waktu, sehingga sistem perberasan nasional bersifat dinamis. di samping itu, sistem perberasan juga bersifat lintas sektoral karena meliputi berbagai institusi yang terkait, seperti sub sistem permintaan beras terkait dengan masalah kependudukan dan tingkat pendapatan masyarakat, sub sistem
produksi terkait dengan masalah luas lahan dan budidaya pertanian.
Pendekatan sistem mengharuskan adanya pengetahuan mengenai hubungan timbal balik atau sebab akibat antar sub sistem di dalam sistem atau antar unsur di dalam sub sistem, serta hubungan sebab akibat tersebut yakni positif atau negatif. Secara umum diagram sebab akibat sistem penyediaan beras berdasarkan pendekatan sistem disajikan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Model Dinamik Ketersediaan Beras di Bali
diagram diatas mengabaikan pengaruh harga gabah/beras terhadap tingkat produksi/penawaran. Hal ini disebabkan karena elastisitas harga beras terhadap jumlah penawaran tidak nyata (Irawan, 2001). Selama ini adanya peningkatan harga beras atau gabah tidak berpengaruh nyata terhadap upaya petani untuk meningkatkan produksi padi. Penyebabnya adalah karena luas lahan garapan petani relatif sempit dan usahatani padi bersifat musiman.
Konversi lahan
sawah Luas areal Produksi padi Produktivitasdan IP
Anomali iklim Ketersediaan beras Rendemen Cadangan Impor beras Konsumsi per kapita Jumlah penduduk Pertumbuhan jumlah penduduk Permintaan beras -+ + + -+ + -+ -+ + + + + 3(-) 1(+) 2(+)
Produksi padi dipengaruhi secara positif oleh luas areal padi, teknologi usahatani, termasuk pascapanen. Indikator teknologi tersebut berupa produktivitas dan IP (Indeks Pertanaman) padi. Semakin luas areal sawah dan semakin tinggi produktivitas serta IP padi maka produksi padi akan semakin meningkat (+). Sebaliknya terjadi pada anomali iklim akan berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi padi, yakni semakin sering frekuensi anomali iklim, baik karena pengaruh La Nina, El Nino, maupun serangan hama penyakit, akan mengurangi tingkat produksi padi.
Ketersediaan beras dipengaruhi secara positif oleh tingkat produksi padi, rendemen beras, dan impor beras. Sebaliknya cadangan beras akan mengurangi tingkat ketersediaan beras karena cadangan tersebut merupakan penyisihan dari produksi saat ini untuk keperluan konsumsi tahun berikutnya. Ketersediaan beras juga mempunyai hubungan sebab akibat positif terhadap permintaan beras, dimana semakin tinggi ketersediaan beras, permintaan beras oleh masyarakat akan semakin tinggi pula. Kondisi tersebut mencerminkan elastisitas pendapatan terhadap permintaan bersifat positif. Pada kajian ini indikator tersebut dicerminkan oleh tingkat konsumsi beras per kapita yang meningkat setiap tahun, serta tingkat permintaan beras yang meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk.
Hubungan sebab akibat antara produksi padi, ketersediaan beras dan permintaan beras pada Gambar 3.1 dinyatakan dengan lingkaran pertama (1) yang bersifat positif (+). demikian pula hubungan sebab akibat antara jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk dinyatakan dengan lingkaran dua (2) yang bersifat positif (+). Bentuk hubungan sebab akibat yang bersifat positif tersebut dapat saja berupa hubungan linear atau eksponensial. Sebaliknya hubungan sebab akibat antara lahan sawah dan laju konversi lahan sawah dalam lingkaran (3) bersifat negatif (-).
BAB III
PENDEKATAN DAN METODE
PENGKAJIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Perhitungan ketersediaan beras di tingkat provinsi Bali menggunakan pendekatan sistem dinamis, untuk waktu analisis tahun 2015 – 2030. data dan informasi yang terkait dengan ketersediaan beras terutama untuk keperluan analisis adalah data yang dikumpulkan oleh instansi terkait seperti dinas Pertanian tanaman Pangan, BPS, Bulog/dolog, Badan Ketahanan Pangan daerah, di sembilan kabupaten/kota yang mewakili seluruh ekosistem padi di Bali.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Provinsi Bali yang mencakup 9 kabupaten/kota. daerah tingkat kabupaten/kota meliputi kabupaten/kota yaitu (1) Badung), (2) denpasar, (3) Gianyar, (4) Klungkung, (5) Bangli, (6) Karangasem, (7) Buleleng, dan (8) Jembrana, dan (9) tabanan.
Pemilihan Provinsi Bali sebagai lokasi penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain:
1. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang diharapkan sebagai daerah produksi beras nasional di samping sebagai daerah tujuan utama pariwisata dunia.
2. Kelestarian produksi beras di Provinsi Bali akan memberikan
nilai positip terhadap penilaian organisasi Subak sebagai salah satu warisan dunia.
3. Ketersediaan beras di Provinsi Bali menjadi salah satu
jaminan keamanan perkembangan pariwisata.
Penelitian dilaksanakan selama 12 bulan dimulai pada bulan Mei 2012 sampai dengan april 2013.
3.3. Jenis dan Sumber Data
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. data primer dikumpulkan melalui wawancara dan diskusi dengan responden yang terkait dengan ketersediaan beras, yang terdiri dari petani padi, pedagang perantara, pengusaha penggilingan, koperasi, lembaga keuangan mikro, Bulog/dolog, dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan daerah, dinas Perindustrian dan Perdagangan, Penyuluh, Peneliti
BPTP dan Perguruan Tinggi, seperti terlihat pata Tabel 4.1. 3.3.1 Metode Pengumpulan Data
data sekunder dalam penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik, BPtP, dinas Pertanian tanaman Pangan, Perguruan tinggi, BPn.
3.3.2 Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel dalam rangka menghimpun informasi dan data dari responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dengan dasar bahwa responden mempunyai keahlian, reputasi dan pengalaman pada bidang yang diteliti.
tabel 3.1 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam Penelitian
Untuk kepentingan mengidentifikasi faktor/atribut dimensi dalam ketersediaan beras dan menentukan faktor kunci dipilih 15 orang responden yang umumnya adalah pengajar pada
perguruan tinggi, peneliti pada Badan Pengembangan teknologi Pertanian, dinas Pertanian dan pejabat pemerintah di berbagai bidang keahlianya yaitu agroklimat, ekonomi pangan, gizi masyarakat, budidaya padi, pasca panen padi, mekanisasi padi, sumberdaya air, kehutanan, sumberdaya lahan dan sistem.
Untuk kepentingan pengumpulan data identifikasi kebutuhan dan formulasi masalah (untuk analisis sistem dinamis) responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling) di sembilan kabupaten/kota yang mewakili sembilan ekosistem sawah.
3.3.3 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Analisis Prospektif, digunakan untuk mengidentifikasi faktor dominan (faktor kunci) yang mempengaruhi ketersediaan beras di Bali. analisis ini dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis peubah dominan dan analisis kebutuhan atau peubah penting dari responden di berbagai wilayah kabupaten/kota yang mewakili ekosistem padi/beras. Hasil analisis ini kemudian dipakai dalam analisis berikutnya yaitu analisis sistem dinamis. (2) analisis sistem dinamis dengan menggunakan software Powersim. Metode pendekatan ini digunakan untuk merancang bangun model ketersediaan beras di Bali dan mengetahui ketersediaan beras di masa yang akan datang (kekurangan atau kelebihan). adapun tahapan analisis penelitian ini terlihat pada Gambar 4.1.
3.4 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan metode pengkajian permasalahan yang dimulai dari analisis kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu model operasional dari sistem tersebut. dalam pendekatan sistem ada beberapa tahapan analisis diantaranya adalah (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi masalah, (3) identifikasi sistem, (4) pemodelan sistem, (5) validasi dan verifikasi model serta (6) implementasi (Eriyatno, 1987).
3.5 Analisis kebutuhan
analisis kebutuhan merupakan langkah awal didalam pengkajian suatu sistem. Pada langkah ini kebutuhan-kebutuhan yang ada dianalisis, dan kemudian dilanjutkan ke tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. antara lain pertama, mendata para stakeholder yang terkait dalam penelitian ini. Berdasarkan kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian sebelumnya pihak-pihak yang terkait dalam penyediaan dan konsumsi beras dapat dikelompokkan sebagai berikut : (a) pemerintah (pemda dan dinas terkait), (b) konsumen, (c) swasta (pedagang, koperasi, importer, penggilingan), (d) petani dan (e) masyarakat umum.
analisis kebutuhan dilakukan dilakukan di 9 kabupaten/ kota yang mewakili ekosistem padi. PRa (Participatory Rural Appraisal) dilakukan untuk melihat kendala dan kebutuhan yang diperlukan di masing-masing wilayah.
Gambar 4.1 Tahapan Analisis Penelitian
Tidak
Peubah Dominan dari Pakar dan Stakeholder
Peubah Dominan/Kunci
Model Ketersediaan Beras
Rancang Bangun Implementasi Model Penyediaan Beras
Analisis prospektif
Analisis Sistem Dinamis
Validasi Model
OK
3.6 Formulasi Masalah
adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda di antara peran stakeholder akan menimbulkan konflik kepentingan. Untuk memetakan berbagai kepentingan stakeholder diperlukan analisis formulasi masalah produksi dan konsumsi beras.
3.7 Identifikasi sistem ketersediaan beras
Beras merupakan pangan pokok penting bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini dapat dilihat dari partisipasi konsumsi beras yang hampir mencapai 100 persen. Konsekuensinya adalah pemantauan terhadap ketersediaan beras perlu dilakukan setiap saat, agar kebutuhan pangan beras tersebut terpenuhi.
Pemodelan terhadap ketersediaan beras ditujukan untuk mengetahui perilaku ketersediaan beras di masa akan datang sebagai pemenuhan untuk konsumsi rumah tangga, kebutuhan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan benih, pakan dan ekspor/impor. dalam penelitian ini model ketersediaan beras dibagi dalam dua subsistem yaitu subsistem produksi/ penyediaan dan subsistem konsumsi/kebutuhan. Model ini dibuat berdasarkan identifikasi permasalahan yang dituangkan ke dalam diagram sebab akibat (causal loop), dimana bahasa gambar yang dipakai dalam diagram sebab akibat ini adalah dengan memakai gambar panah yang saling mengait, dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat.
Jika terjadi hubungan umpan balik (feedback) antar variabel dalam diagram sebab akibat maka keterkaitan tersebut disebut sebagai suatu (feedback loop). Model sistem ini diformulasikan dalam diagram alir (stock and flow) dan diformulasikan dengan menggunakan software Powersim.
diagram alir sebab akibat dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam sistem yang terlihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Diagram alir sebab akibat model dinamik ketersediaan beras di Bali
3.8 Formulasi model
Formulasi model merupakan perumusan masalah ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah ditentukan dalam bentuk kontekstual dengan bahasa simbolis. Formulasi model sub model penyediaan dan sub model sistem kebutuhan dapat dilihat secara rinci sebagai berikut :
3.9 Sub model produksi
Gambar 4.3 menunjukkan bentuk model sederhana diagram alir sistem dinamik dari sub sistem produksi. Sub sistem produksi beras dipengaruhi oleh antara lain produksi padi, produktivitas padi, alih fungsi lahan, intensitas pertanaman (IP), rendemen gabah ke beras serta impor/antar pulau.
Luas lahan padi dalam penelitian ini akan memberikan pengaruh positif terhadap produksi. Semakin tinggi luas lahan
Konsumsi per kapita
kota/desa Tingkat konsumsikota/desa Kebutuhan beras
Laju kelahiran
kota/desa Kota/DesaPenduduk Laju kematiankota/desa
Kehilangan panen Gabah kering panen Produktivitas
Gabah kering giling Produksi beras
Indek Pertanaman Luas panen Anomali iklim Kehilangan pascapanen
Kebutuhan benih
Cetak sawah Luas sawah Alih fungsi lahan + + -+ -Ketersediaan beras + + + + + -+ -+ + -+ + + + + 1(+) 2(-) + 3(+) 4(-) + Bahan baku industri +
padi maka semakin tinggi produksi padi yang dihasilkan, dan semakin banyak padi yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan. dalam penelitian ini luas lahan padi dibagi kedalam dua areal yaitu padi sawah dan padi lahan kering/ladang.
di pihak lain, semakin tinggi luas areal yang tersedia maka semakin besar peluang terjadinya alih fungsi lahan seperti yang terjadi di denpasar, Badung, dan daerah lainnya, banyak dikonversi untuk keperluan pariwisata, perumahan dan jalan. Konversi ini akan memberi pengaruh negatif terhadap luas lahan. Hal ini berarti semakin besar konversi lahan maka semakin berkurang luas areal (feedback negatif).
Produktivitas padi akan memberikan pengaruh yang positif terhadap produksi padi. Hal ini berarti semakin tinggi produktivitas padi akan mengakibatkan semakin tinggi produksi. Begitu pula intensitas pertanaman (IP) mempunyai pengaruh positif terhadap luas areal, semakin tinggi IP maka luas areal akan semakin besar.
Gambar 4.3 Struktur sub model dinamik produksi beras di Bali
Lj pembukaan lhn basah
Luas lhn
basah Lj konversi lhn
basah Produksi padi lhn basah Prodv padi lhn basah Praksi pakan
Pakan ternak Fraksi bibit
Bibit
Total produksi padi Fr konversi lhn basah Fr pembukaan lhn basah Produksi padi Tercecer Fr tercecer Produksi beras Beras antar pulau
Produksi padi lahan kering
Fr antar pulau KETERSEDIAAN BERAS Lj pembukaan lhn kering Luas lhn kering Lj konversi lhn kering
Fr pembukaan lhn kering Fr konversi lhn kering
Fr rendemen IP