• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI

REMINISCENCE

TERHADAP

STRES LANSIA DI BANJAR LUWUS

BATURITI TABANAN

OLEH:

NI PUTU NARISKA RAHAYUNI

NIM. 1102105030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

i

PENGARUH TERAPI

REMINISCENCE

TERHADAP

STRES LANSIA DI BANJAR LUWUS

BATURITI TABANAN

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

NI PUTU NARISKA RAHAYUNI

NIM. 1102105030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Putu Nariska Rahayuni

NIM : 1102105030

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana

Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini

benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau

pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil

jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Juni 2015

Yang membuat pernyataan,

(4)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

Pengaruh Terapi Reminiscence Terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus

Baturiti Tabanan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan

kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M. Kes, sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan

menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan

pengarahan dalam proses pendidikan.

3. Ns. Putu Ayu Sani Utami, M. Kep., Sp. Kep. Kom, sebagai pembimbing

utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ns. Kadek Eka Swedarma, S. Kep., M.Kes., sebagai pembimbing

pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Kepala Desa Luwus dan Kelian Banjar Luwus yang telah memberikan

(5)

vi

6. Orang tua dan rekan-rekan seperjuangan PSIK A 2011 (Achillesextavortouz),

atas dukungan dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang

membangun untuk pengembangan penelitian selanjutnya. Akhirnya, semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Juni 2015

(6)

viii

ABSTRACT

Rahayuni, Ni Putu Nariska. 2015. Effect of Reminiscence Therapy to Stress on Elderly in Banjar Luwus Baturiti Tabanan. Undergraduate Thesis, Departement of Nursing, Faculty of Medicine, Udayana University Denpasar. Advisers (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep., Sp.Kep.Kom; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes.

Stress in the elderly are feeling depressed, anxious, and tense caused by stressors such as physical, mental, and social changes that affects their emotional status and cause diseases. Stress management in elderly can be done by reminiscence therapy that use memory of the past to maintain elderly’s mental health. This study aims to determine the effect of reminiscence therapy to stress on elderly with a kind of quasi-experimental research that was nonequivalent control group design. The samples consisted of 34 elderly were selected by purposive sampling, divided into 17 elderly in treatment group and 17 elderly in control group, and data collection was done using the Stress Assessment Questionnaire (SAQ). Test analysis result of Independent Sample T-Test with a significance level of 95% was concluded there are significant effect of reminiscence therapy to stress in the elderly. Activities by recalled memories of the past can help elderly people to interact and express their feeling to family and friends so that the elderly are able to adapt to stress.

(7)

vii

ABSTRAK

Rahayuni, Ni Putu Nariska. 2015. Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep., Sp.Kep.Kom; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes.

Stres pada lansia adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang yang diakibatkan oleh stresor berupa perubahan fisik, mental, dan sosial lansia yang mempengaruhi status emosional dan menimbulkan penyakit. Pengelolaan stres lansia dapat dilakukan dengan terapi reminiscence yang menggunakan memori dan kenangan masa lalu untuk menjaga kesehatan mental lansia. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi reminiscence terhadap stres lansia dengan jenis penelitian quasi-experimental yaitu nonequivalent control group design. Sampel terdiri dari 34 lansia yang dipilih secara purposive sampling, dibagi menjadi 17 lansia kelompok perlakuan dan 17 lansia kelompok kontrol dan pengumpulan data dilakukan menggunakan Stress Assessment Questionnaire

(SAQ). Hasil analisis uji independent sample t-test dengan tingkat kemaknaan 95% menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terapi reminiscence terhadap stres pada lansia. Kegiatan bercerita kenangan masa lalu dapat membantu lansia berinteraksi dan mengungkapkan perasaannya kepada keluarga dan teman sehingga lansia mampu beradaptasi terhadap stres.

(8)

ix

2.4Hubungan Terapi Reminiscence Dengan Stres Lansia... 33

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1Kerangka Konsep ... 37

3.2Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 38

3.3Hipotesis ... 39

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1Jenis Penelitian ... 40

4.2Kerangka Kerja ... 41

4.3Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

(9)

x

4.5Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 44 4.6Etika Penelitian ... 50 4.7Pengolahan dan Analisa data ... 52

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian ... 56 5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 67 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 93

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 95 6.2 Saran ... 97

(10)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin ... 58

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Kategori Usia ... 58

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 59

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Tipe Keluarga ... 59

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Penyakit yang Diderita ... 60

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Kelompok Perlakuan Berdasarkan Kategori Stres Sebelum dan Setelah Terapi

Reminiscence ... 61

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Kelompok Kontrol Berdasarkan Kategori Stres Sebelum dan Setelah Terapi

Reminiscence ... 62

Tabel 5.8 Distribusi Perbedaan Stres Sebelum dan Setelah Terapi

Reminiscence pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 63

Tabel 5.9 Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 64

Tabel 5.10 Hasil Uji Paired Samples T-Test Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 64

Tabel 5.11 Hasil Uji Normalitas Data Perubahan Stres Sebelum-Setelah Terapi Reminiscence... 66

(11)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……….. 37

Gambar 4.1 Desain Penelitian ………... 40

(12)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Penelitian

Lampiran 2 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 3 : Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 4 : Instrumen Pengumpulan Data

Lampiran 5 : Modul Terapi Reminiscence

Lampiran 6 : Master Tabel

Lampiran 7 : Hasil Uji Normalitas Data Skor Stres Pre-test dan Post-test

Lampiran 8 : Hasil Uji Normalitas Data Perubahan Skor Stres

Lampiran 9 : Hasil Uji Analisis Paired Sample T-Test Kelompok Perlakuan

Lampiran 10 : Hasil Uji Analisis Paired Sample T-Test Kelompok Kontrol

Lampiran 11 : Hasil Uji Analisis Independent Sample T-Test

Lampiran 12 : Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan

Lampiran 13 : Surat Permohonan Ijin Penelitian

Lampiran 14 : Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan Provinsi Bali

Lampiran 15 : Surat Ijin Penelitian dari Badan Kebangpol Kabupaten Tabanan

Lampiran 16 : Surat Rekomendasi Penelitian dari Kecamatan Baturiti

Lampiran 17 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

Lampiran 18 : Dokumentasi Penelitian

Lampiran 19 : Anggaran Dana Penelitian

(13)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adrenocorticotropin Hormone

APAA : Anxiety and Depression Association of America

BMR : Basal Metabolic Rate

BPS : Badan Pusat Statistik

COIMS : Council for International Organizations of Medical Sciences

DASS : Depression Anxiety Stress Scale

DM : Diabetes Mellitus

FSH : Follicle Stimulating Hormone

GDS : Geriatric Depression Scale

Lansia : Lanjut Usia

NIC : Nursing Interventions Classification

Penkes : Pendidikan Kesehatan

PSTW : Panti Sosial Tresna Werdha

SAQ : Stress Assessment Questionnaire

Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional

UPT : Unit Pelayanan Terpadu

SD : Sekolah Dasar

UHH : Usia Harapan Hidup

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang

kesehatan, pendidikan, dan pengetahuan telah membawa kemajuan salah satunya

yaitu meningkatnya usia harapan hidup (UHH) penduduk. Hasil observasi

kesehatan global dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2012

harapan hidup waktu lahir untuk kedua jenis kelamin secara global adalah 70

tahun. Peningkatan UHH juga terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun

telah terjadi kenaikan UHH dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 69 tahun

pada tahun 2008 dan berdasarkan data statistik WHO, tahun 2012 UHH penduduk

Indonesia yaitu 69 tahun untuk laki-laki dan 73 tahun untuk perempuan.

Meningkatnya UHH penduduk tersebut akan menyebabkan jumlah penduduk

lanjut usia meningkat dari tahun ke tahun (WHO, 2012; Menegpp, 2011).

Lanjut usia (lansia) menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998

tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah seseorang yang telah mencapai usia 60

tahun ke atas. Jumlah lansia di Indonesia menurut data dari Badan Pusat Statitik

(BPS) yaitu sebesar 16.522.311 jiwa pada tahun 2004, meningkat menjadi

19.502.355 jiwa pada tahun 2008 (8,55% dari total penduduk sebesar

228.018.900), dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 28 juta jiwa

(Martono, 2011). Provinsi Bali termasuk dalam lima besar provinsi dengan

(15)

2

Nasional oleh Badan Pusat Statistik (2012) yaitu 9,79% dengan jumlah lansia di

provinsi Bali mencapai 280.826 jiwa. Tiga besar kabupaten dengan jumlah lansia

terbanyak berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013 yaitu

kabupaten Karangasem sebanyak 45.269 jiwa (11,19%), kabupaten Gianyar

50.082 jiwa (10,30%), dan kabupaten dengan jumlah lansia tertinggi yaitu

kabupaten Tabanan yang mencapai 62.202 jiwa (14,44%). Salah satu wilayah di

Tabanan dengan jumlah penduduk lansia yang cukup tinggi adalah Banjar Luwus

yaitu mencapai 95 lansia. Peningkatan jumlah lansia apabila tidak mendapatkan

perhatian yang serius dari berbagai pihak, tentunya akan berdampak pada

meningkatnya permasalahan khususnya terkait penuaan dan kesehatan lansia.

Penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari,

berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Proses penuaan menyangkut

terjadinya berbagai perubahan yang akan berdampak pada penurunan kondisi

fisik, mental, psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan dan peran

sosial lansia. Lansia dapat mengalami penurunan kemandirian lansia oleh karena

keterbatasan mobilitas, kelemahan, timbulnya masalah mental atau fisik, dan

penurunan status sosial ekonomi oleh karena pensiun, atau mengalami kecacatan

(WHO, 2013). Keadaan tersebut cenderung berpotensi menimbulkan masalah

kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia

(Thong, 2011). Salah satu masalah kesehatan jiwa yang dapat dialami lansia

(16)

3

Stres merupakan realita kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dihindari.

Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang (Nasution, 2011).

Tingkat stres pada lansia berarti pula tinggi rendahnya tekanan yang dirasakan

atau dialami oleh lansia sebagai akibat dari stresor berupa perubahan-perubahan

baik fisik, mental, maupun sosial dalam kehidupan yang dialami lansia (Indriana,

2010). Putri (2012) menyatakan, lansia yang tinggal dirumah terkadang akan

merasa bosan dengan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Terlebih lagi jika

terdapat masalah dengan anggota keluarga sehingga hal tersebut dapat membuat

lansia cepat marah dan sulit tidur. Hal tersebut merupakan gejala awal timbulnya

stres pada lansia (Yosep & Sutini, 2009).

Potter & Perry (2005) menjelaskan bahwa stres dapat menimbulkan

tuntutan yang besar pada seseorang, dan jika orang tersebut tidak dapat

mengadaptasi, maka dapat terjadi penyakit. Stres dapat menyebabkan peningkatan

tekanan darah yang apabila menetap akan menjadi hipertensi, peningkatan kadar

gula darah serta peningkatan kadar kolesterol (Iskandar, 2010). Menurut Hardjana

(1994, dalam Puspasari, 2009), stres juga berdampak terhadap kondisi emosional

sehingga seseorang akan mudah gelisah, mood atau suasana hati yang sering

berubah-ubah, mudah/cepat marah, mudah tersinggung dan stres yang

berkepanjangan dapat menyebabkan seseorang menjadi cemas dan depresi. Untuk

menghindari dampak negatif dari stres tersebut, maka diperlukan adanya suatu

(17)

4

Pengelolaan stres dapat dilakukan dengan terapi farmakologi yang

meliputi penggunaan obat cemas (anxiolytic) dan anti depresi (anti depressant),

serta terapi nonfarmakologi (Yulianti, 2004; Isnaeni, 2010; Devi, 2012). Namun,

penggunaan terapi farmakologi seperti anxiolytic dan anti depressant terkadang

akan menimbulkan efek samping reaksi yang merugikan seperti pusing, sakit

kepala, mual, mulut kering, konstipasi, retensi urin atau sulit berkemih, jalan nafas

kering, sering agitasi, takikardi, dan gangguan penglihatan (Videbeck, 2008).

Sehingga, pendekatan dengan terapi nonfarmakologi kini sering digunakan dalam

pengelolaan stres.

Terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres

yaitu relaksasi, pendekatan perilaku dan kognitif. Terapi dengan pendekatan

perilaku-kognitif salah satunya yaitu terapi Reminiscence atau terapi kenangan.

Terapi Reminiscence merupakan salah satu intervensi yang menggunakan memori

untuk memelihara kesehatan mental dan meningkatkan kualitas hidup

(Muhlbauer, Chrisler, Denmark, 2014; Chen, Li, Li, 2012). Dalam kegiatan terapi

ini, terapis memfasilitasi lansia untuk mengumpulkan kembali memori-memori

masa lalu yang menyenangkan sejak masa anak, remaja dan dewasa serta

hubungan klien dengan keluarga, kemudian dilakukan sharing dengan orang lain

(Syarniah, 2010).

Kegiatan mengenangmerupakan aktivitas yang alami bagi semua orang di

segala usia. Sejalan dengan bertambahnya usia, kecenderungan untuk mengenang

(18)

5

(2003, dalam Banon 2011), terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan

harga diri, membantu individu mencapai kesadaran diri, memahami diri,

beradaptasi terhadap stres, meningkatkan kepuasan hidup dan melihat dirinya

dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut Brody (2006), terapi Reminiscence

yang sederhana dapat menjadi suatu mekanisme koping untuk menghadapi stres.

Penelitian yang dilakukan oleh Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek

Individual Reminiscence Therapy terhadap harga diri dan depresi pada 20 lansia

di India, menyebutkan bahwa terapi Reminiscence dapat meningkatkan harga diri

dan menurunkan tingkat depresi lansia. Penelitian lain dilakukan oleh Chou, Lan,

dan Chao (2008) terkait penggunaan Individual Reminiscence Therapy untuk

menurunkan kecemasan pada lansia wanita dengan dementia, dimana setelah

diberikan terapi reminiscence, klien terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia

di wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan,

dan memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain. Hal tersebut menunjukkan

bahwa terdapat perbaikan pada emosi negatif dan kecemasan klien.

Terapi Reminiscence memberikan hasil yang signifikan terhadap

peningkatan harga diri, penurunan kondisi depresi dan penurunan tingkat

kecemasan pada lansia. Holahan & Moose dalam Astri (2012) menjelaskan, harga

diri (self-esteem) merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh pada risiko

munculnya stres. Individu dengan harga diri yang tergolong rendah biasanya

mudah putus asa dan memiliki koping yang terbatas, sehingga akan lebih mudah

(19)

6

dimana kedua kondisi tersebut dapat terjadi akibat paparan stres secara jangka

panjang dan melebihi kemampuan (coping ability) seseorang untuk mengatasi

stres tersebut (Astri, 2012; Indriana, 2010).

Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 26 Januari 2015 di Banjar

Luwus terhadap 10 lansia dengan menggunakan kuesioner DASS (Depression

Anxiety Stress Scale), dan diperoleh masalah psikologis lansia sebagian besar

termasuk dalam kategori stres yaitu pada empat orang lansia dan hanya satu orang

yang mengalami kecemasan. Lansia tersebut mengalami penurunan kondisi fisik,

penurunan kemampuan untuk bekerja, dan hal ini berdampak pula pada

penurunan status sosial ekonomi lansia. Selain itu, adanya masalah dalam

keluarga juga dapat menjadi pemicu timbulnya stres pada lansia. Hasil wawancara

terkait upaya untuk mengurangi stres, lansia biasanya bertemu dan mengobrol

dengan teman sesama lansia, berjalan-jalan dan pergi ke ladang untuk

mengalihkan pikiran yang mengganggu, dan sekitar 30% lansia biasanya hanya

tinggal dirumah dan tidak memiliki kegiatan khusus untuk mengurangi stres.

Terapi Reminiscence atau kegiatan menceritakan kembali kenangan-kenangan

yang menyenangkan dan mengesankan belum pernah dilakukan lansia khususnya

sebagai upaya untuk mengurangi stres. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian terkait “Pengaruh Terapi Reminiscence Terhadap

(20)

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dari itu masalah yang

dapat peneliti rumuskan adalah “Adakah Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap

Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

Terapi Reminiscence terhadap stres pada lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, status

perkawinan, tipe keluarga, dan penyakit yang diderita lansia di Banjar

Luwus Baturiti Tabanan.

b. Mengetahui stres lansia sebelum dan setelah terapi reminiscence pada

kelompok perlakuan di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

c. Mengetahui stres lansia sebelum dan setelah terapi reminiscence pada

kelompok kontrol di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

d. Menganalisis pengaruh stres lansia sebelum dan setelah dilakukan

intervensi terapi Reminiscence pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

e. Menganalisis perbedaan stres sebelum-setelah terapi reminiscence pada

kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol di Banjar Luwus Baturiti

(21)

8

1.4 Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat. Manfaat yang

peneliti harapkan yaitu meliputi manfaat teoritis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

a. Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan khususnya

keperawatan gerontik dan keperawatan jiwa yaitu perawatan pada lansia

terutama yang mengalami stres dengan menggunakan pendekatan terapi

nonfarmakologis salah satunya yaitu terapi Reminiscence.

b. Sebagai dasar acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian

lebih lanjut seperti melakukan kombinasi terapi Reminiscence dengan

terapi lainnya baik farmakologis maupun nonfarmakologis untuk

mengurangi stres dan menangani masalah kesehatan lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

a. Membantu lansia agar bisa menghadapi dan mengatasi perubahan,

masalah, maupun kesulitan yang dapat memicu timbulnya stres yaitu

dengan melakukan introspeksi dan melihat kembali kenangan terkait

kehidupan-kehidupan yang sudah berhasil dilewati sebelumnya melalui

(22)

9

b. Sebagai bahan masukan bagi perawat, petugas kesehatan, maupun orang

terdekat lansia agar menggunakan terapi Reminiscence sebagai salah satu

(23)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Menjadi tua merupakan suatu proses yang alamiah, dimana hal tersebut

berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu tahap anak-anak,

dewasa, dan tua. Ketiga tahap ini memiliki perbedaan baik secara biologis

maupun psikologis (Nugroho, 2008). Pudjiastuti (2003) dalam Efendi &

Makhfudli (2009) menyatakan bahwa lansia bukan suatu penyakit, namun

merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan

penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang

telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia

adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang telah memasuki

tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres fisiologis dan lingkungan.

2.1.1 Klasifikasi Lansia

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2

menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh)

(24)

11

empat kriteria meliputi, usia pertengahan (middle age) ialah usia 45-59 tahun,

lansia (elderly) ialah usia 60-74 tahun, lansia tua (old) ialah usia 75-90 tahun, usia

sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Efendi & Makhfudli, 2009).

2.1.2 Perubahan Akibat Proses Menua

Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

dari jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Ismail &

Santoso, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi perubahan fisik,

perubahan mental dan psikologis, perubahan sosial, dan spiritual.

a. Perubahan Fisik

Perubahan fisik yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2008), yaitu:

1) Sistem Persarafan

Perubahan pada sistem saraf yaitu terjadi penurunan berat otak sebesar

10-20%, penurunan hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk

bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, dan penurunan

sensitifitas terhadap sentuhan.

2) Sistem Pendengaran

Dapat terjadi gangguan dalam pendengaran (presbiakusis), sulit mengerti

kata-kata, terjadi pengumpulan serumen yang dapat mengeras akibat

meningkatnya keratin, dan penurunan pendengaran pada lansia akibat ketegangan

(25)

12

3) Sistem Penglihatan

Mulai terjadi kekeruhan pada lensa dan menyebabkan katarak, daya adaptasi

terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam gelap, hilangnya daya

akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya membedakan

warna biru atau hijau.

4) Sistem Integumen

Kulit mengkerut dan keriput akibat kehilangan jaringan lemak, elastisitas

berkurang akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi lebih

keras dan rapuh, serta penurunan jumlah dan fungsi dari kelenjar keringat.

5) SistemMuskuloskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan semakin rapuh, bungkuk (kifosis),

pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan

menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sclerosis, serta serabut otot

mengalami atrofi.

6) SistemGastrointestinal

Terjadi kehilangan gigi, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah

terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, rasa lapar menurun, asam lambung

menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, melemahnya daya

absorbsi dan lansia mudah mengalami gizi yang buruk.

7) SistemPernapasan

Otot-otot pernafasan mengalami penurunan kekuatan dan menjadi kaku,

penurunan aktivitas dari silia, elastisitas paru-paru menurun, kapasitas pernafasan

(26)

13

otot pernafasan menurun, menarik nafas menjadi lebih berat, kemampuan untuk

batuk berkurang.

8) Sistem Reproduksi

Terjadi penciutan pada ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta

atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi

spermatozoa meskipun secara berangsur-angsur akan menurun.

9) Sistem Perkemihan

Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, filtrasi

di glomerulus menurun dan fungsi tubulus menurun, otot-otot vesika urinaria

menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan

retensi urin pada pria.

10) Sistem Endokrin

Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas

tiroid, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, BMR, menurunnya daya pertukaran zat,

penurunan produksi aldosteron, progesterone, estrogen, dan testosterone.

11) Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa

darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, kurangnya efektivitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, meningkatnya resistensi pembuluh

darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

b. Perubahan Mental dan Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan

(27)

14

lingkungan, tingkat kecerdasan (intelligence quotient-I.Q), dan kenangan

(memory) (Efendi & Makhfudli, 2009). Perubahan psikologis pada lansia meliputi

perubahan fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan kepribadian. Perubahan fungsi

kognitif yaitu perubahan pada kemampuan belajar, kemampuan pemahaman,

kinerja, pemecahan masalah, daya ingat, motivasi, pengambilan keputusan, dan

kebijaksanaan. Sementara itu, perubahan fungsi afektif (emosi atau perasaan)

akan nampak jelas pada lansia yang sangat tua (diatas 90 tahun), penurunan

tersebut sering diikuti oleh tingkah laku regresi dan penurunan fungsi mental yang

semakin buruk dan sering tidak tertolong dengan upaya terapi. Perubahan pada

psikomotor dimana lansia umumnya masih memiliki dorongan dan kemauan

untuk melakukan kegiatan atau memenuhi activity daily living, akan tetapi

kadang-kadang realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kesiapan/

kemampuan organ dan fungsi tubuh yang berkurang (Kuntjoro, 2002).

c. Perubahan Sosial

Perubahan sosial yang dapat dialami lansia yaitu perubahan status dan

perannya dalam kelompok atau masyarakat, kehilangan pasangan hidup, serta

kehilangan sistem dukungan dari keluarga, teman dan tetangga (Ebersole, 2005

dalam Syarniah, 2010). Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat

berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya

maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya

badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur

dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. (Kuntjoro, 2007

(28)

15

d. Perubahan Spiritual

Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu:

1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan.

2) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam

berpikir dan bertindak sehari-hari.

3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978),

perkembangan yang diapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak

dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan.

2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia

Tugas perkembangan pada lansia adalah beradaptasi terhadap penurunan

kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan

pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai

individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan

kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara

mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). Erickson dalam Maryam,

Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara (2008) menyatakan kesiapan lansia untuk

beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut

dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila

seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan

sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan

orang-orang disekitarnya, maka pada saat memasuki usia lanjut ia akan tetap melakukan

kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti

(29)

16

2.2 Stres Pada Lansia

2.2.1 Pengertian Stres

Beberapa ahli memberikan arti stres sebagai respon fisiologik, psikologik,

dan perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian terhadap tekanan

yang bersifat internal ataupun eksternal. Stres dapat diartikan sebagai suatu

ancaman, tantangan, kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, memerlukan

penyesuaian psikologis, perilaku, dan fisiologis yang konstans (Corwin, 2009).

Sedangkan menurut Hans Selye, seorang fisiologi dan tokoh di bidang stres yang

terkemuka dari Universitas Montreal, merumuskan bahwa stres adalah tanggapan

tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Tubuh

akan berusaha menyelaraskan rangsangan atau manusia akan cukup cepat untuk

pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres (Yosep & Sutini, 2009).

Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa

sehari-hari stres dikenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu

untuk melakukan penyesuaian (Nasution, 2011).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres

adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang sebagai tanggapan tubuh yang bersifat

non-spesifik terhadap setiap tuntutan/tekanan baik yang bersifat internal maupun

eksternal dan menghasilkan respon fisiologik, psikologik, serta perilaku individu

sebagai penyesuaian terhadap tekanan tersebut.

2.2.2 Penyebab Stres

Seseorang menjadi stres karena adanya stressor. Stressor adalah suatu

(30)

17

terhadap stres (Cahyono, 2008). Macam-macam stressor menurut Indriana (2010)

antara lain:

a. Stressor biologis seperti panas, dingin, nyeri, masuknya organism, trauma

fisik, kesulitan eliminasi, kekurangan makan, dan lain-lain.

b. Stressor psikologis seperti kritik yang tidak dapat dibenarkan, kehilangan,

ketakutan, krisis situasi, dan lain sebagainya.

c. Stressor sosial meliputi isolasi atau diasingkan, status sosial dan ekonomi,

perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, bertambahnya anggota

keluarga, dan lain sebagainya.

2.2.3 Tanda dan Gejala Stres

Menurut Hawari (2006), seseorang yang mengalami stres dapat pula dilihat

ataupun dirasakan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya,

meliputi:

a. Rambut

Warna rambut mengalami perubahan dari hitam menjadi kecoklat-coklatan

serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula

dengan kerontokkan pada rambut.

b. Mata

Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak jelas

karena kabur. Hal ini terjadi karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran

atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata.

c. Telinga

(31)

18

d. Daya pikir

Kemampuan berpikir dan mengingat serta konsentrasi menurun. Orang

menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala atau pusing.

e. Ekspresi wajah

Wajah seseorang yang mengalami nampak tegang, dahi berkerut, mimik

wajah tampak serius, tidak santai, bicara berat, dan sukar untuk senyum/tertawa.

f. Mulut

Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum. Selain itu,

pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga akan susah menelan, hal ini

disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan mengalami spasme.

g. Kulit

Stres dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam pada kulit mulai

dari terasa panas atau dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain yaitu kulit

menjadi lebih kering. Dapat pula muncul penyakit kulit seperti eksim, urtikaria

(biduran), gatal-gatal, dan timbulnya jerawat (acne) yang berlebihan, serta telapak

tangan dan kaki yang mudah berkeringat/basah.

h. Sistem pernafasan

Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat terganggu

misalnya nafas terasa berat dan sesak oleh karena penyempitan pada saluran

pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada. Otot rongga

dada mengalami spasme atau kurang elastis, sehingga diperlukan tenaga ekstra

(32)

19

i. Sistem pencernaan

Gangguan pada sistem pencernaan misalnya, lambung terasa kembung, mual

dan pedih karena asam lambung yang meningkat dan biasa dikenal dengan maag

(gastritis). Gangguan lainnya seperti perut sering terasa mulas, sukar buang air

besar atau sebaliknya yaitu mengalami diare.

j. Sistem perkemihan

Yang sering dikeluhkan saat sedang mengalami stres biasanya frekuensi

buang air kecil yang lebih sering dari biasanya, meskipun bukan penderita

kencing manis (diabetes mellitus).

k. Sistem otot dan tulang

Keluhan-keluhan pada otot dan tulang (musculoskeletal) contohnya, sering

mengeluh otot terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal, dan tegang. Keluhan lain

seperti rasa ngilu atau kaku bila menggerakkan anggota tubuh atau yang lebih

dikenal dengan pegal-linu.

l. Sistem endokrin

Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada orang yang mengalami

stres yaitu terjadi peningkatan kadar gula darah, dan bila hal ini terjadi

berkepanjangan dapat mengakibatkan kencing manis (diabetes mellitus).

Gangguan lain yaitu seperti menstruasi yang tidak teratur dan rasa sakit ketika

menstruasi (dysmenorrhoe).

m. Sistem reproduksi

Stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami penurunan libido atau

(33)

20

n. Sistem kardiovaskuler

Sistem jantung dan pembuluh darah dapat terganggu fungsinya oleh karena

stres. Misalnya, jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau

menyempit (constriction) sehingga orang dapat terlihat kemerahan ataupun

kepucatan pada area wajah. Menurut Iskandar (2010), stres akan mendorong

tubuh mengeluarkan hormon adrenalin dan noradrenalin yang merangsang sistem

saraf otonom, menyebabkan vasokonstriksi, penyempitan pembuluh darah arteri,

denyut jantung meningkat, kadar gula darah meningkat serta kadar kolesterol

tinggi. Jika situasi ini terjadi terus-menerus maka orang yang bersangkutan dapat

mengalami kenaikan tekanan darah dan dapat mengidap tekanan darah tinggi

(hipertensi).

o. Kondisi psikologis

Hardjana (1994, dalam Puspasari, 2009) menyatakan bahwa stres juga

berdampak pada kondisi emosional. Seseorang yang sedang stres akan mudah

merasa gelisah atau cemas, sedih, depresi, menangis, mood atau suasana hati yang

sering berubah-ubah, mudah panas atau cepat marah, rasa harga diri menurun atau

merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, gampang menyerah pada

orang dan mempunyai sikap bermusuhan.

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Stres

Stres dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan

(34)

21

a. Faktor internal

Faktor internal berarti stres yang bersumber dari diri seseorang. Beberapa

faktor tersebut meliputi:

1) Penyakit (illness) dan kesehatan

Menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada

orang yang menderitanya. Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi

kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stres pada kaum lansia

yang mengalaminya.

2) Pertentangan (konflik)

Kehidupan sering dihadapkan oleh berbagai pilihan, dimana dalam proses

memilih tersebut dapat terjadi pertentangan (konflik) karena ada dua kekuatan

motivasi yang berbeda bahkan berlawanan. Berhadapan dengan dorongan

memilih yang berbeda dan berlawanan itulah seseorang akan mudah mengalami

stres.

3) Kepribadian

Semakin luas dan semakin tinggi harapan seseorang tentang hidup dan

optimis maka semakin jauh dari stres.

4) Falsafah hidup

Semakin berserah diri kepada Tuhan maka semakin terbebaskan rasa stres

seseorang.

5) Persepsi (penangkapan)

Semakin santai dalam mempersepsikan suatu kejadian maka seseorang

(35)

22

6) Posisi sosial

Semakin berperan dan menyatu seseorang dengan lingkungan sosialnya,

semakin sukar stres timbul dalam diri seseorang tersebut.

7) Pengalaman

Semakin sering seseorang mendapatkan stressor maka semakin sering

kemungkinannya terserang stres akibat stressor tersebut.

8) Usia

Semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal

ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami

kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir,

mengingat dan mendengar (Gibson; Rachmaningrum, 1999 dalam Nasution,

2011).

9) Jenis kelamin

American Psychological Association (2010) menyatakan laki-laki dan

perempuan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres baik dari fisik maupun

mental. Laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan dan cara yang berbeda

dalam mengelola stres. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin

untuk mengungkapkan terjadinya gejala fisik terkait stres, dan memiliki hubungan

yang lebih baik dengan orang lain sebagai salah satu strategi manajemen stres.

b. Faktor eksternal

1) Keluarga

Stres dalam keluarga dapat disebabkan karena adanya konflik dalam

(36)

23

yang berkaitan dengan anggota keluarga seperti sakit, terutama sakit yang serius

dan berkepanjangan, dan juga kematian anggota keluarga.

2) Lingkungan

Lingkungan yang dapat menyebabkan stres dapat meliputi lingkungan kerja

dan lingkungan hidup disekitar. Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres

karena beberapa alasan seperti tuntutan kerja dan tanggung jawab yang terlalu

besar dan berat. Sementara lingkungan sekitar yang dapat menjadi sumber stres

seperti lingkungan yang penuh dengan suara bising dan keras diluar pengendalian

diri, lingkungan sekitar yang tercemar dapat membuat seseorang merasa tidak

aman dan mudah mengalami stres.

2.2.5 Stres Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Pada waktu seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai

perubahan baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Jadi, memasuki usia

lanjut tidak lain adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan

tersebut. Sebagai proses alamiah, perkembangan manusia sejak periode awal

hingga masa usia lanjut merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari.

Perubahan-perubahan menyertai proses perkembangan termasuk ketika memasuki

masa usia lanjut. Ketidaksiapan dan upaya melawan perubahan-perubahan yang

dialami pada masa usia lanjut justru akan menempatkan individu usia ini pada

posisi serba kalah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stres dan

frustasi belaka (Indriana, 2008).

Stres yang dihadapi oleh lansia berasal dari berbagai situasi yang berbeda

(37)

24

stres pada lansia, yaitu lansia harus merawat pasangan yang sakit, kehilangan

pasangan, kematian kerabat dan teman-teman dekat lainnya, penurunan kekuatan

fisik dan kesadaran bahwa lansia sudah tidak sehat dan sekuat sebelumnya,

kekhawatiran mengenai keuangan setelah pensiun, serta kesepian. Stres lebih

lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi

stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi

lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam

manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).

2.2.6 Penanganan Stres

Strategi menghadapi stres yaitu dengan mempersiapkan diri dalam

menghadapi stressor melalui perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial.

Selain itu, menurut Ray (2004 dalam Perese, 2012) untuk menghadapi stressor

diperlukan strategi koping, yaitu cara yang digunakan orang untuk memodifikasi

situasi mereka dan mengurangi stres dan perasaan tertekan.

Penanganan dan pengelolaan stres merupakan suatu usaha untuk

mengurangi atau meniadakan dampak negatif stressor (Isnaeni, 2010). Mengelola

stres dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu dengan terapi

farmakologis, dan nonfarmakologis seperti relaksasi, pendekatan perilaku dan

kognitif (Yulianti, 2004 dalam Isnaeni, 2010).

a. Pendekatan farmakologi yaitu menggunakan obat-obatan anti cemas

(axiolytic) dan anti depresi (anti depressant).

b. Relaksasi yaitu upaya untuk melepas ketegangan yaitu relaksasi otot,

(38)

25

c. Pendekatan perilaku yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stres,

adaptabilitas terhadap stres, menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan

nutrisi, serta manajemen perencanaan, organisasi dan waktu.

d. Pendekatan kognitif; mengubah pola pikir individu, berpikir positif dan

sikap yang positif, membekali diri dengan pengetahuan tentang stres,

menyeimbangkan antara aktivitas otak kiri dan kanan, serta hipnoterapi.

Terapi dengan pendekatan kognitif-perilaku lainnya yaitu terapi

reminiscence.

2.2.7 Instrumen Pengukuran Stres

Instrumen untuk mengukur tingkat stres dalam penelitian ini adalah Stress

Assessment Questionnaire (SAQ) yang mengukur empat domain stres utama

yaitu sumber, gejala, penanganan, dan stabilitas, dengan 16 aspek atau elemen

yang mendefinisikan keempat domain tersebut. Instrumen ini dirancang untuk

memberikan bimbingan konseling dan pengembangan diri tentang stres.

Instrumen ini berupa pengkajian yang terdiri dari 16 aspek, yaitu aspek kerja,

hubungan, pola asuh, kejadian, emosional, perilaku, fisik, dukungan, sosial,

pengaturan diri sendiri, pemecahan masalah, selingan, kesehatan, penundaan,

perfeksionis, harga diri, depresi, dan kecemasan. Pengkajian pada instrumen juga

terdapat tanda dan gejala yang biasanya terjadi pada seseorang yang mengalami

stres sehingga instrumen ini cukup lengkap dan mendetail (Smith, 2003 dalam

(39)

26

2.3 Terapi Reminiscence

2.3.1. Pengertian Terapi Reminiscence

Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang

menekankan pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk

mencapai rasa intergritas diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan

mengumpulkan perasaan, tujuan serta makna hidup. Nursing Interventions

Classification (NIC) mendefinisikan terapi Reminiscence sebagai intervensi yang

dilakukan dengan mengingat peristiwa masa lalu, perasaan, dan pikiran untuk

memfasilitasi kesenangan, kualitas hidup, dan beradaptasi dengan kondisi saat ini.

Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Banon, 2011) menambahkan terapi ini dapat

menjadi intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah psikososial. Terapi

Reminiscence diterapkan pada lansia melalui proses motivasi dan diskusi tentang

pengalaman masa lalu yang dialami dan upaya penyelesaian masalah yang

dilakukan pada saat itu (Glod, 1998; Meiner dan Lueckenotte, 2006 dalam Banon,

2011).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi

Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai

upaya untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan

memberikan perhatian terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya

penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan

(40)

27

2.3.2. Manfaat Terapi Reminiscence

National Guideline Clearinghouse (2008, dalam Stinson, 2009)

menyatakan terapi Reminiscence dapat memfasilitasi penyesuaian lansia terhadap

proses penuaan dengan membantu lansia memikirkan kembali dan memperjelas

pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan studi penelitian telah menunjukkan

adanya peningkatan kesejahteraan psikologis setelah mendapat intervensi

Reminiscence. Menurut Banon (2011), melalui proses mengenang, lansia dapat

mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama,

mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema

universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan

diri. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Syarniah, 2010) menambahkan bahwa

terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu

individu mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap stres

dan melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut

Bohlmeijer (2007 dalam Utami, 2013), terapi Reminiscence dapat menjadi

treatment psikologis yang menarik bagi para lansia karena membuat mereka

mempunyai ikatan masa lalu baik yang bersifat umum maupun yang khusus.

Reminiscence juga dapat berfokus pada mengevaluasi kembali, memecahkan

konflik pada masa lalu, menemukan arti kehidupan dan memperkirakan koping

adaptif yang bisa dilakukan sebelumnya.

Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman

yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat

(41)

28

kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif

untuk gejala depresi (Bohlmeijer, 2003; Haight & Burnside, 1993; Ebersole, 2005

dalam Syarniah, 2010).

Bohlmeijer (2007, dalam Utami, 2013), menambahkan bahwa terapi

reminiscence memiliki enam fungsi, yaitu integrative (menemukan arti dan

keberlanjutan kehidupan); instrumental (menggunakan pemecahan masalah masa

lalu untuk pemecahan masalah di masa kini); transmissive (menceritakan cerita

yang merupakan petunjuk-petunjuk kehidupan kepada anak muda); escapist

(mengingat keindahan masa lalu untuk melupakan sejenak hal-hal yang tidak

menyenangkan di masa sekarang); obsessive (memikirkan ulang

permasalahan-permasalahan tak terpecahkan pada masa lalu); dan narrative (mempertahankan

ingatan-ingatan mengenal orang-orang penting dalam kehidupan pribadi).

2.3.3. Tipe Terapi Terapi Reminiscence

Menurut Kennard (2006, dalam Syarniah, 2010), terapi Reminiscence dapat

dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu:

a. Simple atau Positive Reminiscence

Tipe ini merefleksikan informasi dari pengalaman dan perasaan yang

menyenangkan di masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan

menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara

klien dan terapis yang bertujuan untuk meningkatkan adaptasi dan memelihara

(42)

29

b. Evaluative Reminiscence

Tipe ini biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan

masalah, seperti pada terapi life review.

c. Offensive Defensive Reminiscence

Tipe ini dapat menggali informasi yang tidak menyenangkan dan dapat

menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi, serta menimbulkan resolusi

terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.

2.3.4. Media dalam Terapi Reminiscence

Media yang digunakan dalam terapi Reminiscence yaitu benda-benda yang

berhubungan dengan kenangan/ masa lalu lansia. Menurut Collins (2006), media

yang dapat digunakan yaitu Reminiscence kit yang berisi barang-barang di masa

lalu seperti majalah, peralatan memasak, dan peralatan kebersihan, selain itu dapat

juga menggunakan foto-foto pribadi, alat untuk memutar musik atau video, video

dan kaset, buku, pulpen, stimulus bau seperti kopi, stimulus rasa, dan bahan-bahan

lain untuk menstimulasi sentuhan.

2.3.5. Pelaksanaan Terapi Reminiscence

Penelitian yang dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek

Individual Reminiscence terhadap harga diri dan depresi pada lansia di India,

terapi Reminiscence dapat dilakukan secara individu yang dibagi menjadi 8 sesi

dan dilaksanakan selama 8 hari meliputi, 1 hari untuk pre-assessment, 6 hari

untuk terapi Reminiscence, dan hari terakhir dilakukan post-assessment. Terapi

(43)

30

pedoman maupun yang sudah terstruktur. Tiap sesi terapeutik dimulai dengan fase

pengantar selama 5-10 menit yang meliputi memberikan salam, membiarkan klien

memilih tempat yang nyaman untuk pelaksanaan terapi, menanyakan keadaan

umum klien, memberikan deskripsi singkat terkait sesi sebelumnya, dan

memperkenalkan tema baru. Pada fase kerja setiap sesi, klien akan mengingat dan

mengumpulkan kembali memori-memori yang berhubungan dengan tema setiap

sesinya kira-kira selama 10 menit. Selama mengumpulkan dan sharing memori

menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Berbagai stimulus dapat digunakan

untuk mengembalikan memori yang sesuai dengan tema dari tiap sesi. Di akhir

fase (kira-kira selama 5 menit) meliputi menjawab pertanyaan jika klien bertanya,

mengemukakan kembali tema utama dan memori dari sesi tersebut, sharing

pengalaman antara klien dan fasilitator, rencana untuk sesi selanjutnya

(Poorneselvan & Steefel, 2014).

Terapi Reminiscence yang dikembangkan oleh Syarniah (2010) terdiri dari 5

sesi yaitu:

a. Sesi 1: berbagi pengalaman masa anak-anak. Pada sesi ini pengalaman masa

anak lebih difokuskan pada pengalaman yang berkaitan dengan permainan

yang paling disenangi dan pengalaman tentang guru yang paling disenangi

pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut.

b. Sesi 2: berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang

didiskusikan lebih ditujukan pada hobi yang dilakukan bersama

teman-teman sebaya dan pengalaman rekreasi bersama teman-teman pada masa remaja

(44)

31

c. Sesi 3: berbagi pengalaman masa dewasa. Focus pada sesi ini adalah

pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan dan makanan yang disukai.

d. Sesi 4: berbagi pengalaman keluarga di rumah. Pada sesi ini topik kegiatan

terapi menakup pengalaman merayakan hari raya agama bersama anggota

keluarga dan bergaul dengan tetangga.

e. Sesi 5: evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah

mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi

pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 4 untuk

mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan

meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.

Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini merupakan

modifikasi dari terapi Reminiscence yang sudah dilakukan Poorneselvan & Steefel

(2014) dan Syarniah (2010). Tipe terapi yang digunakan yaitu simple atau positive

Reminiscence terkait pengalamandan perasaan yang menyenangkan di masa lalu.

Terapi ini akan dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan yaitu satu kali

pertemuan untuk pre-test, lima pertemuan untuk pelaksanaan 5 sesi terapi

Reminiscence, dan pertemuan terakhir untuk post-test. Terapi Reminiscence

dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya.

Pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Pertemuan 1: melakukan perkenalan, menjelaskan tujuan dari intervensi

yang akan diberikan dan memberikan informed consent dan dilakukan

(45)

32

b. Pertemuan 2 (Terapi Sesi 1): berbagi pengalaman masa anak-anak.

Mengungkapkan memori terkait asal atau keterkaitan hubungan dari

keluarga dengan menggunakan foto atau gambar keluarga, klien dapat

menggambar genogram dari keluarga asal, nama-nama anggota keluarga,

dan urutan kelahirannya. Dapat menceritakan pengalaman masa anak-anak

yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi, pengalaman yang

menyenangkan pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa

tersebut, mendiskusikan foto atau gambar keluarga pada masa anak-anak,

dan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti acara perayaan, mengunjungi

tempat-tempat saat masih anak-anak.

c. Pertemuan 3 (Terapi Sesi 2): berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi

ini topik yang didiskusikan terkait teman-teman baik atau teman sebaya,

olahraga, hobi, prestasi yang pernah diraih, dan pengalaman rekreasi

bersama teman pada masa remaja.

d. Pertemuan 4 (Terapi Sesi 3): berbagi pengalaman masa dewasa. Stimulus

dapat berupa perkerjaan pertama, peristiwa atau pengalaman-pengalaman,

hubungan yang terkait dengan pekerjaan, perubahan pekerjaan, dan pensiun.

Selain itu, dapat pula mendiskusikan foto atau gambar dan makanan yang

paling disukai pada masa itu.

e. Pertemuan 5 (Terapi Sesi 4): berbagi pengalaman keluarga di rumah dan

kegiatan sosial. Pada sesi ini topik kegiatan terapi menakup pengalaman

bersama keluarga, saat pertama bertemu dengan pasangan, menikah,

(46)

33

agama bersama anggota keluarga, kegiatan yang sering dilakukan di

masyarakat, pertunjukkan atau hiburan yang sering ada di masyarakat, dan

transportasi serta media-media elektronik di jaman tersebut.

f. Pertemuan 6 (Terapi Sesi 5): evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan

yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia.

Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan

kegiatan sesi 1 sampai 5 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan

diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.

g. Pertemuan 7: dilakukan post-test dengan wawancara menggunakan

kuesioner.

Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence dalam penelitian ini lebih lanjut akan

dijelaskan pada Lampiran 5.

2.4 Hubungan Terapi Reminiscence dengan Stres Pada Lansia

Semua individu menghadapi stres setiap hari, dan sebagian besar

menghadapi stres yang signifikan selama masa hidup mereka (Perese, 2012). Stres

yang dihadapi oleh lansia dapat berasal dari berbagai situasi. Ketidaksiapan dalam

beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam proses penuaan dapat menjadi

sumber akumulasi dari stres (Indriana, 2008). Stres lebih lanjut ditambah oleh

fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari

waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa

sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak

(47)

34

Terapi Reminiscence dapat menjadi suatu mekanisme untuk mengatasi

perubahan. Dalam terapi ini individu berbagi kenangan dengan orang lain, dimana

hal ini dapat membantu individu dalam mencapai integritas diri dan harga diri.

Melalui proses ini lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan

pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan

keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia,

dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Terapi Reminiscence yang diberikan

pada lansia dapat meningkatkan harga diri dan kepuasan hidup lansia,

meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stres melalui kemampuan

penyelesaian masalah dan meningkatkan hubungan sosial berdasarkan keunikan

dan prestasi yang dimiliki lansia (Banon, 2011). Selain itu, menurut Muhlbauer,

Chrisler, Denmark (2014), terapi Reminiscence yang terstruktur merupakan

intervensi kognitif-perilaku yang efektif untuk mengurangi depresi pada orang

lansia. Depresi sendiri dapat terjadi salah satunya akibat paparan stres secara

jangka panjang (Astri, 2012).

Dasar teoritis untuk terapi reminiscence adalah teori kontinuitas yang

menyatakan bahwa individu yang mengalami perubahan dalam hidup mereka

mencoba untuk memahami perubahan dengan mengingat orang, kejadian, dan

pengalaman dari masa lalu mereka. Proses mengingat perubahan masa lalu atau

tantangan dan pengetahuan, keterampilan, dan strategi yang mereka gunakan

untuk mengatasi perubahan menghasilkan rasa kontinuitas dalam hidup mereka

dan kemampuan untuk menggunakan metode koping yang biasa digunakan untuk

(48)

35

Perese, 2012). Selama proses terapi reminiscence, individu didorong untuk

berbicara tentang kenangan yang menyenangkan dalam hidup mereka di masa

yang sebelumnya. Saat mereka mengingat pengalaman positif dari masa lalu,

seseorang yang telah memasuki usia tua dapat menggunakan pengetahuan umum,

keterampilan, dan strategi untuk beradaptasi dengan stressor penuaan. Selain itu,

ketika kenangan dibagi dengan orang lain, mereka akan memberikan bukti koping

yang sukses di masa lalu dan membangun identitas individu sebagai individu yang

kompeten (Parker, 1995; Perese, Rohloff, & Ryan, 2008; Watt & Cappeliez, 2000

dalam Perese, 2012).

Penelitian yang dilakukan Chou, Lan, dan Chao (2008) mengenai

Application of individual Reminiscence therapy to decrease anxiety in an elderly

woman with dementia. Hasil yang ditemukan setelah diberikan terapi

reminiscence, responden terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia di

wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan,

memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain, dan jarang menggunakan obat

untuk membantunya tidur. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbaikan

pada emosi negatif dan kecemasan.

Penelitian eksperimental yang dilakukan Fallot (1980 dalam Banon, 2011)

mengenai terapi Reminiscence sebagai metode terapeutik pada 30 wanita dari

berbagai usia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan mood yang

positif setelah mendapat terapi Reminiscence. Cappliez, dkk (2007 dalam Banon,

2011) dalam penelitiannya tentang fungsi reminscence dan regulasi emosi pada

(49)

36

kegagalan masa lalu, kebosanan dan memelihara keakraban. Hasil penelitian

menunjukkan adanya perubahan emosi positif pada lansia yang berpengaruh

secara signifikan terhadap kecemasan, depresi dan kualitas hidup. Penelitian

tersebut menunjukan bahwa melalui terapi Reminiscence, lansia dapat lebih

mengekspresikan dirinya sendiri, lebih banyak berinterkasi dengan orang lain,

meningkatkan harga diri, dan meningkatkan mood positif untuk mengatasi kondisi

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini terbukti bahwa terdapat penurunan tingkat stres pada lansia yang berarti ada pengaruh terhadap tingkat stres lansia antara sebelum dan sesudah

reminiscence dan terapi seni tidak dapat menurunkan kecemasan pada lansia penyandang diabetes mellitus tipe II. Dari analisis tambahan, disimpulkan bahwa aspek kognitif

Terdapat pengaruh dalam pemberian Terapi Kelompok Reminiscence terhadap penurunan tingkat kecemasan pada lansia dengan kelompok kontrol secara significancy (P)

Hal ini sesuai dengan penyataan Chao, et al (2006) juga melakukan penelitian terkait terapi reminiscence terhadap harga diri lansia mengatakan bahwa

Pengaruh terapi musik religi yang dapat memberikan kenyamanan pada lansia sehingga tingkat stres berkurang telah dibuktikan pada penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya

Data Khusus Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan stres pada lansia sebelum terapi okupasi di Desa Balongbesuk Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang pada bulan Juni 2017 Pre

SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan peningkatan harga diri setelah diberikan terapi reminiscence pada lansia yang mengalami harga diri rendah di UPTD Pelayanan Sosial Lanjut Usia

174 PENGARUH TERAPI REMINISCENCE TERHADAP FUNGSI KOGNITIF LANSIA DI UPT PSTW BONDOWOSO Sofia Rhosma Dewi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jember 8e-mail: