SKRIPSI
PENGARUH TERAPI
REMINISCENCE
TERHADAP
STRES LANSIA DI BANJAR LUWUS
BATURITI TABANAN
OLEH:
NI PUTU NARISKA RAHAYUNI
NIM. 1102105030
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
i
PENGARUH TERAPI
REMINISCENCE
TERHADAP
STRES LANSIA DI BANJAR LUWUS
BATURITI TABANAN
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH:
NI PUTU NARISKA RAHAYUNI
NIM. 1102105030
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ni Putu Nariska Rahayuni
NIM : 1102105030
Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana
Program Studi : Ilmu Keperawatan
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, Juni 2015
Yang membuat pernyataan,
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
Pengaruh Terapi Reminiscence Terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus
Baturiti Tabanan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M. Kes, sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan
menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan
pengarahan dalam proses pendidikan.
3. Ns. Putu Ayu Sani Utami, M. Kep., Sp. Kep. Kom, sebagai pembimbing
utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
4. Ns. Kadek Eka Swedarma, S. Kep., M.Kes., sebagai pembimbing
pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
5. Kepala Desa Luwus dan Kelian Banjar Luwus yang telah memberikan
vi
6. Orang tua dan rekan-rekan seperjuangan PSIK A 2011 (Achillesextavortouz),
atas dukungan dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang
membangun untuk pengembangan penelitian selanjutnya. Akhirnya, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Denpasar, Juni 2015
viii
ABSTRACT
Rahayuni, Ni Putu Nariska. 2015. Effect of Reminiscence Therapy to Stress on Elderly in Banjar Luwus Baturiti Tabanan. Undergraduate Thesis, Departement of Nursing, Faculty of Medicine, Udayana University Denpasar. Advisers (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep., Sp.Kep.Kom; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes.
Stress in the elderly are feeling depressed, anxious, and tense caused by stressors such as physical, mental, and social changes that affects their emotional status and cause diseases. Stress management in elderly can be done by reminiscence therapy that use memory of the past to maintain elderly’s mental health. This study aims to determine the effect of reminiscence therapy to stress on elderly with a kind of quasi-experimental research that was nonequivalent control group design. The samples consisted of 34 elderly were selected by purposive sampling, divided into 17 elderly in treatment group and 17 elderly in control group, and data collection was done using the Stress Assessment Questionnaire (SAQ). Test analysis result of Independent Sample T-Test with a significance level of 95% was concluded there are significant effect of reminiscence therapy to stress in the elderly. Activities by recalled memories of the past can help elderly people to interact and express their feeling to family and friends so that the elderly are able to adapt to stress.
vii
ABSTRAK
Rahayuni, Ni Putu Nariska. 2015. Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep., Sp.Kep.Kom; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes.
Stres pada lansia adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang yang diakibatkan oleh stresor berupa perubahan fisik, mental, dan sosial lansia yang mempengaruhi status emosional dan menimbulkan penyakit. Pengelolaan stres lansia dapat dilakukan dengan terapi reminiscence yang menggunakan memori dan kenangan masa lalu untuk menjaga kesehatan mental lansia. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi reminiscence terhadap stres lansia dengan jenis penelitian quasi-experimental yaitu nonequivalent control group design. Sampel terdiri dari 34 lansia yang dipilih secara purposive sampling, dibagi menjadi 17 lansia kelompok perlakuan dan 17 lansia kelompok kontrol dan pengumpulan data dilakukan menggunakan Stress Assessment Questionnaire
(SAQ). Hasil analisis uji independent sample t-test dengan tingkat kemaknaan 95% menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terapi reminiscence terhadap stres pada lansia. Kegiatan bercerita kenangan masa lalu dapat membantu lansia berinteraksi dan mengungkapkan perasaannya kepada keluarga dan teman sehingga lansia mampu beradaptasi terhadap stres.
ix
2.4Hubungan Terapi Reminiscence Dengan Stres Lansia... 33
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1Kerangka Konsep ... 37
3.2Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 38
3.3Hipotesis ... 39
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1Jenis Penelitian ... 40
4.2Kerangka Kerja ... 41
4.3Tempat dan Waktu Penelitian ... 42
x
4.5Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 44 4.6Etika Penelitian ... 50 4.7Pengolahan dan Analisa data ... 52
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian ... 56 5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 67 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 93
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ... 95 6.2 Saran ... 97
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin ... 58
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Kategori Usia ... 58
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 59
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Tipe Keluarga ... 59
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Penyakit yang Diderita ... 60
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Kelompok Perlakuan Berdasarkan Kategori Stres Sebelum dan Setelah Terapi
Reminiscence ... 61
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Kelompok Kontrol Berdasarkan Kategori Stres Sebelum dan Setelah Terapi
Reminiscence ... 62
Tabel 5.8 Distribusi Perbedaan Stres Sebelum dan Setelah Terapi
Reminiscence pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 63
Tabel 5.9 Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 64
Tabel 5.10 Hasil Uji Paired Samples T-Test Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 64
Tabel 5.11 Hasil Uji Normalitas Data Perubahan Stres Sebelum-Setelah Terapi Reminiscence... 66
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……….. 37
Gambar 4.1 Desain Penelitian ………... 40
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Penelitian
Lampiran 2 : Penjelasan Penelitian
Lampiran 3 : Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 4 : Instrumen Pengumpulan Data
Lampiran 5 : Modul Terapi Reminiscence
Lampiran 6 : Master Tabel
Lampiran 7 : Hasil Uji Normalitas Data Skor Stres Pre-test dan Post-test
Lampiran 8 : Hasil Uji Normalitas Data Perubahan Skor Stres
Lampiran 9 : Hasil Uji Analisis Paired Sample T-Test Kelompok Perlakuan
Lampiran 10 : Hasil Uji Analisis Paired Sample T-Test Kelompok Kontrol
Lampiran 11 : Hasil Uji Analisis Independent Sample T-Test
Lampiran 12 : Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan
Lampiran 13 : Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 14 : Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan Provinsi Bali
Lampiran 15 : Surat Ijin Penelitian dari Badan Kebangpol Kabupaten Tabanan
Lampiran 16 : Surat Rekomendasi Penelitian dari Kecamatan Baturiti
Lampiran 17 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
Lampiran 18 : Dokumentasi Penelitian
Lampiran 19 : Anggaran Dana Penelitian
xiv
DAFTAR SINGKATAN
ACTH : Adrenocorticotropin Hormone
APAA : Anxiety and Depression Association of America
BMR : Basal Metabolic Rate
BPS : Badan Pusat Statistik
COIMS : Council for International Organizations of Medical Sciences
DASS : Depression Anxiety Stress Scale
DM : Diabetes Mellitus
FSH : Follicle Stimulating Hormone
GDS : Geriatric Depression Scale
Lansia : Lanjut Usia
NIC : Nursing Interventions Classification
Penkes : Pendidikan Kesehatan
PSTW : Panti Sosial Tresna Werdha
SAQ : Stress Assessment Questionnaire
Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional
UPT : Unit Pelayanan Terpadu
SD : Sekolah Dasar
UHH : Usia Harapan Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang
kesehatan, pendidikan, dan pengetahuan telah membawa kemajuan salah satunya
yaitu meningkatnya usia harapan hidup (UHH) penduduk. Hasil observasi
kesehatan global dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2012
harapan hidup waktu lahir untuk kedua jenis kelamin secara global adalah 70
tahun. Peningkatan UHH juga terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun
telah terjadi kenaikan UHH dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 69 tahun
pada tahun 2008 dan berdasarkan data statistik WHO, tahun 2012 UHH penduduk
Indonesia yaitu 69 tahun untuk laki-laki dan 73 tahun untuk perempuan.
Meningkatnya UHH penduduk tersebut akan menyebabkan jumlah penduduk
lanjut usia meningkat dari tahun ke tahun (WHO, 2012; Menegpp, 2011).
Lanjut usia (lansia) menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Jumlah lansia di Indonesia menurut data dari Badan Pusat Statitik
(BPS) yaitu sebesar 16.522.311 jiwa pada tahun 2004, meningkat menjadi
19.502.355 jiwa pada tahun 2008 (8,55% dari total penduduk sebesar
228.018.900), dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 28 juta jiwa
(Martono, 2011). Provinsi Bali termasuk dalam lima besar provinsi dengan
2
Nasional oleh Badan Pusat Statistik (2012) yaitu 9,79% dengan jumlah lansia di
provinsi Bali mencapai 280.826 jiwa. Tiga besar kabupaten dengan jumlah lansia
terbanyak berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013 yaitu
kabupaten Karangasem sebanyak 45.269 jiwa (11,19%), kabupaten Gianyar
50.082 jiwa (10,30%), dan kabupaten dengan jumlah lansia tertinggi yaitu
kabupaten Tabanan yang mencapai 62.202 jiwa (14,44%). Salah satu wilayah di
Tabanan dengan jumlah penduduk lansia yang cukup tinggi adalah Banjar Luwus
yaitu mencapai 95 lansia. Peningkatan jumlah lansia apabila tidak mendapatkan
perhatian yang serius dari berbagai pihak, tentunya akan berdampak pada
meningkatnya permasalahan khususnya terkait penuaan dan kesehatan lansia.
Penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari,
berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Proses penuaan menyangkut
terjadinya berbagai perubahan yang akan berdampak pada penurunan kondisi
fisik, mental, psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan dan peran
sosial lansia. Lansia dapat mengalami penurunan kemandirian lansia oleh karena
keterbatasan mobilitas, kelemahan, timbulnya masalah mental atau fisik, dan
penurunan status sosial ekonomi oleh karena pensiun, atau mengalami kecacatan
(WHO, 2013). Keadaan tersebut cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia
(Thong, 2011). Salah satu masalah kesehatan jiwa yang dapat dialami lansia
3
Stres merupakan realita kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dihindari.
Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang (Nasution, 2011).
Tingkat stres pada lansia berarti pula tinggi rendahnya tekanan yang dirasakan
atau dialami oleh lansia sebagai akibat dari stresor berupa perubahan-perubahan
baik fisik, mental, maupun sosial dalam kehidupan yang dialami lansia (Indriana,
2010). Putri (2012) menyatakan, lansia yang tinggal dirumah terkadang akan
merasa bosan dengan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Terlebih lagi jika
terdapat masalah dengan anggota keluarga sehingga hal tersebut dapat membuat
lansia cepat marah dan sulit tidur. Hal tersebut merupakan gejala awal timbulnya
stres pada lansia (Yosep & Sutini, 2009).
Potter & Perry (2005) menjelaskan bahwa stres dapat menimbulkan
tuntutan yang besar pada seseorang, dan jika orang tersebut tidak dapat
mengadaptasi, maka dapat terjadi penyakit. Stres dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah yang apabila menetap akan menjadi hipertensi, peningkatan kadar
gula darah serta peningkatan kadar kolesterol (Iskandar, 2010). Menurut Hardjana
(1994, dalam Puspasari, 2009), stres juga berdampak terhadap kondisi emosional
sehingga seseorang akan mudah gelisah, mood atau suasana hati yang sering
berubah-ubah, mudah/cepat marah, mudah tersinggung dan stres yang
berkepanjangan dapat menyebabkan seseorang menjadi cemas dan depresi. Untuk
menghindari dampak negatif dari stres tersebut, maka diperlukan adanya suatu
4
Pengelolaan stres dapat dilakukan dengan terapi farmakologi yang
meliputi penggunaan obat cemas (anxiolytic) dan anti depresi (anti depressant),
serta terapi nonfarmakologi (Yulianti, 2004; Isnaeni, 2010; Devi, 2012). Namun,
penggunaan terapi farmakologi seperti anxiolytic dan anti depressant terkadang
akan menimbulkan efek samping reaksi yang merugikan seperti pusing, sakit
kepala, mual, mulut kering, konstipasi, retensi urin atau sulit berkemih, jalan nafas
kering, sering agitasi, takikardi, dan gangguan penglihatan (Videbeck, 2008).
Sehingga, pendekatan dengan terapi nonfarmakologi kini sering digunakan dalam
pengelolaan stres.
Terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres
yaitu relaksasi, pendekatan perilaku dan kognitif. Terapi dengan pendekatan
perilaku-kognitif salah satunya yaitu terapi Reminiscence atau terapi kenangan.
Terapi Reminiscence merupakan salah satu intervensi yang menggunakan memori
untuk memelihara kesehatan mental dan meningkatkan kualitas hidup
(Muhlbauer, Chrisler, Denmark, 2014; Chen, Li, Li, 2012). Dalam kegiatan terapi
ini, terapis memfasilitasi lansia untuk mengumpulkan kembali memori-memori
masa lalu yang menyenangkan sejak masa anak, remaja dan dewasa serta
hubungan klien dengan keluarga, kemudian dilakukan sharing dengan orang lain
(Syarniah, 2010).
Kegiatan mengenangmerupakan aktivitas yang alami bagi semua orang di
segala usia. Sejalan dengan bertambahnya usia, kecenderungan untuk mengenang
5
(2003, dalam Banon 2011), terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan
harga diri, membantu individu mencapai kesadaran diri, memahami diri,
beradaptasi terhadap stres, meningkatkan kepuasan hidup dan melihat dirinya
dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut Brody (2006), terapi Reminiscence
yang sederhana dapat menjadi suatu mekanisme koping untuk menghadapi stres.
Penelitian yang dilakukan oleh Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek
Individual Reminiscence Therapy terhadap harga diri dan depresi pada 20 lansia
di India, menyebutkan bahwa terapi Reminiscence dapat meningkatkan harga diri
dan menurunkan tingkat depresi lansia. Penelitian lain dilakukan oleh Chou, Lan,
dan Chao (2008) terkait penggunaan Individual Reminiscence Therapy untuk
menurunkan kecemasan pada lansia wanita dengan dementia, dimana setelah
diberikan terapi reminiscence, klien terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia
di wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan,
dan memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain. Hal tersebut menunjukkan
bahwa terdapat perbaikan pada emosi negatif dan kecemasan klien.
Terapi Reminiscence memberikan hasil yang signifikan terhadap
peningkatan harga diri, penurunan kondisi depresi dan penurunan tingkat
kecemasan pada lansia. Holahan & Moose dalam Astri (2012) menjelaskan, harga
diri (self-esteem) merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh pada risiko
munculnya stres. Individu dengan harga diri yang tergolong rendah biasanya
mudah putus asa dan memiliki koping yang terbatas, sehingga akan lebih mudah
6
dimana kedua kondisi tersebut dapat terjadi akibat paparan stres secara jangka
panjang dan melebihi kemampuan (coping ability) seseorang untuk mengatasi
stres tersebut (Astri, 2012; Indriana, 2010).
Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 26 Januari 2015 di Banjar
Luwus terhadap 10 lansia dengan menggunakan kuesioner DASS (Depression
Anxiety Stress Scale), dan diperoleh masalah psikologis lansia sebagian besar
termasuk dalam kategori stres yaitu pada empat orang lansia dan hanya satu orang
yang mengalami kecemasan. Lansia tersebut mengalami penurunan kondisi fisik,
penurunan kemampuan untuk bekerja, dan hal ini berdampak pula pada
penurunan status sosial ekonomi lansia. Selain itu, adanya masalah dalam
keluarga juga dapat menjadi pemicu timbulnya stres pada lansia. Hasil wawancara
terkait upaya untuk mengurangi stres, lansia biasanya bertemu dan mengobrol
dengan teman sesama lansia, berjalan-jalan dan pergi ke ladang untuk
mengalihkan pikiran yang mengganggu, dan sekitar 30% lansia biasanya hanya
tinggal dirumah dan tidak memiliki kegiatan khusus untuk mengurangi stres.
Terapi Reminiscence atau kegiatan menceritakan kembali kenangan-kenangan
yang menyenangkan dan mengesankan belum pernah dilakukan lansia khususnya
sebagai upaya untuk mengurangi stres. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian terkait “Pengaruh Terapi Reminiscence Terhadap
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dari itu masalah yang
dapat peneliti rumuskan adalah “Adakah Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap
Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
Terapi Reminiscence terhadap stres pada lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, status
perkawinan, tipe keluarga, dan penyakit yang diderita lansia di Banjar
Luwus Baturiti Tabanan.
b. Mengetahui stres lansia sebelum dan setelah terapi reminiscence pada
kelompok perlakuan di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.
c. Mengetahui stres lansia sebelum dan setelah terapi reminiscence pada
kelompok kontrol di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.
d. Menganalisis pengaruh stres lansia sebelum dan setelah dilakukan
intervensi terapi Reminiscence pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.
e. Menganalisis perbedaan stres sebelum-setelah terapi reminiscence pada
kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol di Banjar Luwus Baturiti
8
1.4 Manfaat Penelitian
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat. Manfaat yang
peneliti harapkan yaitu meliputi manfaat teoritis dan praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:
a. Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan khususnya
keperawatan gerontik dan keperawatan jiwa yaitu perawatan pada lansia
terutama yang mengalami stres dengan menggunakan pendekatan terapi
nonfarmakologis salah satunya yaitu terapi Reminiscence.
b. Sebagai dasar acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian
lebih lanjut seperti melakukan kombinasi terapi Reminiscence dengan
terapi lainnya baik farmakologis maupun nonfarmakologis untuk
mengurangi stres dan menangani masalah kesehatan lainnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:
a. Membantu lansia agar bisa menghadapi dan mengatasi perubahan,
masalah, maupun kesulitan yang dapat memicu timbulnya stres yaitu
dengan melakukan introspeksi dan melihat kembali kenangan terkait
kehidupan-kehidupan yang sudah berhasil dilewati sebelumnya melalui
9
b. Sebagai bahan masukan bagi perawat, petugas kesehatan, maupun orang
terdekat lansia agar menggunakan terapi Reminiscence sebagai salah satu
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Menjadi tua merupakan suatu proses yang alamiah, dimana hal tersebut
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu tahap anak-anak,
dewasa, dan tua. Ketiga tahap ini memiliki perbedaan baik secara biologis
maupun psikologis (Nugroho, 2008). Pudjiastuti (2003) dalam Efendi &
Makhfudli (2009) menyatakan bahwa lansia bukan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang telah memasuki
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres fisiologis dan lingkungan.
2.1.1 Klasifikasi Lansia
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh)
11
empat kriteria meliputi, usia pertengahan (middle age) ialah usia 45-59 tahun,
lansia (elderly) ialah usia 60-74 tahun, lansia tua (old) ialah usia 75-90 tahun, usia
sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Efendi & Makhfudli, 2009).
2.1.2 Perubahan Akibat Proses Menua
Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
dari jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Ismail &
Santoso, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi perubahan fisik,
perubahan mental dan psikologis, perubahan sosial, dan spiritual.
a. Perubahan Fisik
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2008), yaitu:
1) Sistem Persarafan
Perubahan pada sistem saraf yaitu terjadi penurunan berat otak sebesar
10-20%, penurunan hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk
bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, dan penurunan
sensitifitas terhadap sentuhan.
2) Sistem Pendengaran
Dapat terjadi gangguan dalam pendengaran (presbiakusis), sulit mengerti
kata-kata, terjadi pengumpulan serumen yang dapat mengeras akibat
meningkatnya keratin, dan penurunan pendengaran pada lansia akibat ketegangan
12
3) Sistem Penglihatan
Mulai terjadi kekeruhan pada lensa dan menyebabkan katarak, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam gelap, hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya membedakan
warna biru atau hijau.
4) Sistem Integumen
Kulit mengkerut dan keriput akibat kehilangan jaringan lemak, elastisitas
berkurang akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi lebih
keras dan rapuh, serta penurunan jumlah dan fungsi dari kelenjar keringat.
5) SistemMuskuloskeletal
Tulang kehilangan density (cairan) dan semakin rapuh, bungkuk (kifosis),
pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan
menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sclerosis, serta serabut otot
mengalami atrofi.
6) SistemGastrointestinal
Terjadi kehilangan gigi, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah
terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, rasa lapar menurun, asam lambung
menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, melemahnya daya
absorbsi dan lansia mudah mengalami gizi yang buruk.
7) SistemPernapasan
Otot-otot pernafasan mengalami penurunan kekuatan dan menjadi kaku,
penurunan aktivitas dari silia, elastisitas paru-paru menurun, kapasitas pernafasan
13
otot pernafasan menurun, menarik nafas menjadi lebih berat, kemampuan untuk
batuk berkurang.
8) Sistem Reproduksi
Terjadi penciutan pada ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta
atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi
spermatozoa meskipun secara berangsur-angsur akan menurun.
9) Sistem Perkemihan
Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, filtrasi
di glomerulus menurun dan fungsi tubulus menurun, otot-otot vesika urinaria
menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan
retensi urin pada pria.
10) Sistem Endokrin
Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas
tiroid, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, BMR, menurunnya daya pertukaran zat,
penurunan produksi aldosteron, progesterone, estrogen, dan testosterone.
11) Sistem Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa
darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.
b. Perubahan Mental dan Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan
14
lingkungan, tingkat kecerdasan (intelligence quotient-I.Q), dan kenangan
(memory) (Efendi & Makhfudli, 2009). Perubahan psikologis pada lansia meliputi
perubahan fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan kepribadian. Perubahan fungsi
kognitif yaitu perubahan pada kemampuan belajar, kemampuan pemahaman,
kinerja, pemecahan masalah, daya ingat, motivasi, pengambilan keputusan, dan
kebijaksanaan. Sementara itu, perubahan fungsi afektif (emosi atau perasaan)
akan nampak jelas pada lansia yang sangat tua (diatas 90 tahun), penurunan
tersebut sering diikuti oleh tingkah laku regresi dan penurunan fungsi mental yang
semakin buruk dan sering tidak tertolong dengan upaya terapi. Perubahan pada
psikomotor dimana lansia umumnya masih memiliki dorongan dan kemauan
untuk melakukan kegiatan atau memenuhi activity daily living, akan tetapi
kadang-kadang realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kesiapan/
kemampuan organ dan fungsi tubuh yang berkurang (Kuntjoro, 2002).
c. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang dapat dialami lansia yaitu perubahan status dan
perannya dalam kelompok atau masyarakat, kehilangan pasangan hidup, serta
kehilangan sistem dukungan dari keluarga, teman dan tetangga (Ebersole, 2005
dalam Syarniah, 2010). Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat
berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya
badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur
dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. (Kuntjoro, 2007
15
d. Perubahan Spiritual
Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu:
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan.
2) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam
berpikir dan bertindak sehari-hari.
3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978),
perkembangan yang diapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak
dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan.
2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia
Tugas perkembangan pada lansia adalah beradaptasi terhadap penurunan
kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan
pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai
individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan
kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara
mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). Erickson dalam Maryam,
Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara (2008) menyatakan kesiapan lansia untuk
beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut
dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila
seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan
sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan
orang-orang disekitarnya, maka pada saat memasuki usia lanjut ia akan tetap melakukan
kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti
16
2.2 Stres Pada Lansia
2.2.1 Pengertian Stres
Beberapa ahli memberikan arti stres sebagai respon fisiologik, psikologik,
dan perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian terhadap tekanan
yang bersifat internal ataupun eksternal. Stres dapat diartikan sebagai suatu
ancaman, tantangan, kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, memerlukan
penyesuaian psikologis, perilaku, dan fisiologis yang konstans (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Hans Selye, seorang fisiologi dan tokoh di bidang stres yang
terkemuka dari Universitas Montreal, merumuskan bahwa stres adalah tanggapan
tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Tubuh
akan berusaha menyelaraskan rangsangan atau manusia akan cukup cepat untuk
pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres (Yosep & Sutini, 2009).
Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa
sehari-hari stres dikenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu
untuk melakukan penyesuaian (Nasution, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres
adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang sebagai tanggapan tubuh yang bersifat
non-spesifik terhadap setiap tuntutan/tekanan baik yang bersifat internal maupun
eksternal dan menghasilkan respon fisiologik, psikologik, serta perilaku individu
sebagai penyesuaian terhadap tekanan tersebut.
2.2.2 Penyebab Stres
Seseorang menjadi stres karena adanya stressor. Stressor adalah suatu
17
terhadap stres (Cahyono, 2008). Macam-macam stressor menurut Indriana (2010)
antara lain:
a. Stressor biologis seperti panas, dingin, nyeri, masuknya organism, trauma
fisik, kesulitan eliminasi, kekurangan makan, dan lain-lain.
b. Stressor psikologis seperti kritik yang tidak dapat dibenarkan, kehilangan,
ketakutan, krisis situasi, dan lain sebagainya.
c. Stressor sosial meliputi isolasi atau diasingkan, status sosial dan ekonomi,
perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, bertambahnya anggota
keluarga, dan lain sebagainya.
2.2.3 Tanda dan Gejala Stres
Menurut Hawari (2006), seseorang yang mengalami stres dapat pula dilihat
ataupun dirasakan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya,
meliputi:
a. Rambut
Warna rambut mengalami perubahan dari hitam menjadi kecoklat-coklatan
serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula
dengan kerontokkan pada rambut.
b. Mata
Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak jelas
karena kabur. Hal ini terjadi karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran
atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata.
c. Telinga
18
d. Daya pikir
Kemampuan berpikir dan mengingat serta konsentrasi menurun. Orang
menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala atau pusing.
e. Ekspresi wajah
Wajah seseorang yang mengalami nampak tegang, dahi berkerut, mimik
wajah tampak serius, tidak santai, bicara berat, dan sukar untuk senyum/tertawa.
f. Mulut
Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum. Selain itu,
pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga akan susah menelan, hal ini
disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan mengalami spasme.
g. Kulit
Stres dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam pada kulit mulai
dari terasa panas atau dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain yaitu kulit
menjadi lebih kering. Dapat pula muncul penyakit kulit seperti eksim, urtikaria
(biduran), gatal-gatal, dan timbulnya jerawat (acne) yang berlebihan, serta telapak
tangan dan kaki yang mudah berkeringat/basah.
h. Sistem pernafasan
Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat terganggu
misalnya nafas terasa berat dan sesak oleh karena penyempitan pada saluran
pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada. Otot rongga
dada mengalami spasme atau kurang elastis, sehingga diperlukan tenaga ekstra
19
i. Sistem pencernaan
Gangguan pada sistem pencernaan misalnya, lambung terasa kembung, mual
dan pedih karena asam lambung yang meningkat dan biasa dikenal dengan maag
(gastritis). Gangguan lainnya seperti perut sering terasa mulas, sukar buang air
besar atau sebaliknya yaitu mengalami diare.
j. Sistem perkemihan
Yang sering dikeluhkan saat sedang mengalami stres biasanya frekuensi
buang air kecil yang lebih sering dari biasanya, meskipun bukan penderita
kencing manis (diabetes mellitus).
k. Sistem otot dan tulang
Keluhan-keluhan pada otot dan tulang (musculoskeletal) contohnya, sering
mengeluh otot terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal, dan tegang. Keluhan lain
seperti rasa ngilu atau kaku bila menggerakkan anggota tubuh atau yang lebih
dikenal dengan pegal-linu.
l. Sistem endokrin
Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada orang yang mengalami
stres yaitu terjadi peningkatan kadar gula darah, dan bila hal ini terjadi
berkepanjangan dapat mengakibatkan kencing manis (diabetes mellitus).
Gangguan lain yaitu seperti menstruasi yang tidak teratur dan rasa sakit ketika
menstruasi (dysmenorrhoe).
m. Sistem reproduksi
Stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami penurunan libido atau
20
n. Sistem kardiovaskuler
Sistem jantung dan pembuluh darah dapat terganggu fungsinya oleh karena
stres. Misalnya, jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau
menyempit (constriction) sehingga orang dapat terlihat kemerahan ataupun
kepucatan pada area wajah. Menurut Iskandar (2010), stres akan mendorong
tubuh mengeluarkan hormon adrenalin dan noradrenalin yang merangsang sistem
saraf otonom, menyebabkan vasokonstriksi, penyempitan pembuluh darah arteri,
denyut jantung meningkat, kadar gula darah meningkat serta kadar kolesterol
tinggi. Jika situasi ini terjadi terus-menerus maka orang yang bersangkutan dapat
mengalami kenaikan tekanan darah dan dapat mengidap tekanan darah tinggi
(hipertensi).
o. Kondisi psikologis
Hardjana (1994, dalam Puspasari, 2009) menyatakan bahwa stres juga
berdampak pada kondisi emosional. Seseorang yang sedang stres akan mudah
merasa gelisah atau cemas, sedih, depresi, menangis, mood atau suasana hati yang
sering berubah-ubah, mudah panas atau cepat marah, rasa harga diri menurun atau
merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, gampang menyerah pada
orang dan mempunyai sikap bermusuhan.
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Stres
Stres dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan
21
a. Faktor internal
Faktor internal berarti stres yang bersumber dari diri seseorang. Beberapa
faktor tersebut meliputi:
1) Penyakit (illness) dan kesehatan
Menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada
orang yang menderitanya. Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi
kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stres pada kaum lansia
yang mengalaminya.
2) Pertentangan (konflik)
Kehidupan sering dihadapkan oleh berbagai pilihan, dimana dalam proses
memilih tersebut dapat terjadi pertentangan (konflik) karena ada dua kekuatan
motivasi yang berbeda bahkan berlawanan. Berhadapan dengan dorongan
memilih yang berbeda dan berlawanan itulah seseorang akan mudah mengalami
stres.
3) Kepribadian
Semakin luas dan semakin tinggi harapan seseorang tentang hidup dan
optimis maka semakin jauh dari stres.
4) Falsafah hidup
Semakin berserah diri kepada Tuhan maka semakin terbebaskan rasa stres
seseorang.
5) Persepsi (penangkapan)
Semakin santai dalam mempersepsikan suatu kejadian maka seseorang
22
6) Posisi sosial
Semakin berperan dan menyatu seseorang dengan lingkungan sosialnya,
semakin sukar stres timbul dalam diri seseorang tersebut.
7) Pengalaman
Semakin sering seseorang mendapatkan stressor maka semakin sering
kemungkinannya terserang stres akibat stressor tersebut.
8) Usia
Semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal
ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami
kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir,
mengingat dan mendengar (Gibson; Rachmaningrum, 1999 dalam Nasution,
2011).
9) Jenis kelamin
American Psychological Association (2010) menyatakan laki-laki dan
perempuan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres baik dari fisik maupun
mental. Laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan dan cara yang berbeda
dalam mengelola stres. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin
untuk mengungkapkan terjadinya gejala fisik terkait stres, dan memiliki hubungan
yang lebih baik dengan orang lain sebagai salah satu strategi manajemen stres.
b. Faktor eksternal
1) Keluarga
Stres dalam keluarga dapat disebabkan karena adanya konflik dalam
23
yang berkaitan dengan anggota keluarga seperti sakit, terutama sakit yang serius
dan berkepanjangan, dan juga kematian anggota keluarga.
2) Lingkungan
Lingkungan yang dapat menyebabkan stres dapat meliputi lingkungan kerja
dan lingkungan hidup disekitar. Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres
karena beberapa alasan seperti tuntutan kerja dan tanggung jawab yang terlalu
besar dan berat. Sementara lingkungan sekitar yang dapat menjadi sumber stres
seperti lingkungan yang penuh dengan suara bising dan keras diluar pengendalian
diri, lingkungan sekitar yang tercemar dapat membuat seseorang merasa tidak
aman dan mudah mengalami stres.
2.2.5 Stres Yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Pada waktu seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai
perubahan baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Jadi, memasuki usia
lanjut tidak lain adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan
tersebut. Sebagai proses alamiah, perkembangan manusia sejak periode awal
hingga masa usia lanjut merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari.
Perubahan-perubahan menyertai proses perkembangan termasuk ketika memasuki
masa usia lanjut. Ketidaksiapan dan upaya melawan perubahan-perubahan yang
dialami pada masa usia lanjut justru akan menempatkan individu usia ini pada
posisi serba kalah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stres dan
frustasi belaka (Indriana, 2008).
Stres yang dihadapi oleh lansia berasal dari berbagai situasi yang berbeda
24
stres pada lansia, yaitu lansia harus merawat pasangan yang sakit, kehilangan
pasangan, kematian kerabat dan teman-teman dekat lainnya, penurunan kekuatan
fisik dan kesadaran bahwa lansia sudah tidak sehat dan sekuat sebelumnya,
kekhawatiran mengenai keuangan setelah pensiun, serta kesepian. Stres lebih
lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi
stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi
lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam
manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).
2.2.6 Penanganan Stres
Strategi menghadapi stres yaitu dengan mempersiapkan diri dalam
menghadapi stressor melalui perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial.
Selain itu, menurut Ray (2004 dalam Perese, 2012) untuk menghadapi stressor
diperlukan strategi koping, yaitu cara yang digunakan orang untuk memodifikasi
situasi mereka dan mengurangi stres dan perasaan tertekan.
Penanganan dan pengelolaan stres merupakan suatu usaha untuk
mengurangi atau meniadakan dampak negatif stressor (Isnaeni, 2010). Mengelola
stres dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu dengan terapi
farmakologis, dan nonfarmakologis seperti relaksasi, pendekatan perilaku dan
kognitif (Yulianti, 2004 dalam Isnaeni, 2010).
a. Pendekatan farmakologi yaitu menggunakan obat-obatan anti cemas
(axiolytic) dan anti depresi (anti depressant).
b. Relaksasi yaitu upaya untuk melepas ketegangan yaitu relaksasi otot,
25
c. Pendekatan perilaku yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stres,
adaptabilitas terhadap stres, menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan
nutrisi, serta manajemen perencanaan, organisasi dan waktu.
d. Pendekatan kognitif; mengubah pola pikir individu, berpikir positif dan
sikap yang positif, membekali diri dengan pengetahuan tentang stres,
menyeimbangkan antara aktivitas otak kiri dan kanan, serta hipnoterapi.
Terapi dengan pendekatan kognitif-perilaku lainnya yaitu terapi
reminiscence.
2.2.7 Instrumen Pengukuran Stres
Instrumen untuk mengukur tingkat stres dalam penelitian ini adalah Stress
Assessment Questionnaire (SAQ) yang mengukur empat domain stres utama
yaitu sumber, gejala, penanganan, dan stabilitas, dengan 16 aspek atau elemen
yang mendefinisikan keempat domain tersebut. Instrumen ini dirancang untuk
memberikan bimbingan konseling dan pengembangan diri tentang stres.
Instrumen ini berupa pengkajian yang terdiri dari 16 aspek, yaitu aspek kerja,
hubungan, pola asuh, kejadian, emosional, perilaku, fisik, dukungan, sosial,
pengaturan diri sendiri, pemecahan masalah, selingan, kesehatan, penundaan,
perfeksionis, harga diri, depresi, dan kecemasan. Pengkajian pada instrumen juga
terdapat tanda dan gejala yang biasanya terjadi pada seseorang yang mengalami
stres sehingga instrumen ini cukup lengkap dan mendetail (Smith, 2003 dalam
26
2.3 Terapi Reminiscence
2.3.1. Pengertian Terapi Reminiscence
Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang
menekankan pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk
mencapai rasa intergritas diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan
mengumpulkan perasaan, tujuan serta makna hidup. Nursing Interventions
Classification (NIC) mendefinisikan terapi Reminiscence sebagai intervensi yang
dilakukan dengan mengingat peristiwa masa lalu, perasaan, dan pikiran untuk
memfasilitasi kesenangan, kualitas hidup, dan beradaptasi dengan kondisi saat ini.
Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Banon, 2011) menambahkan terapi ini dapat
menjadi intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah psikososial. Terapi
Reminiscence diterapkan pada lansia melalui proses motivasi dan diskusi tentang
pengalaman masa lalu yang dialami dan upaya penyelesaian masalah yang
dilakukan pada saat itu (Glod, 1998; Meiner dan Lueckenotte, 2006 dalam Banon,
2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi
Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai
upaya untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan
memberikan perhatian terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya
penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan
27
2.3.2. Manfaat Terapi Reminiscence
National Guideline Clearinghouse (2008, dalam Stinson, 2009)
menyatakan terapi Reminiscence dapat memfasilitasi penyesuaian lansia terhadap
proses penuaan dengan membantu lansia memikirkan kembali dan memperjelas
pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan studi penelitian telah menunjukkan
adanya peningkatan kesejahteraan psikologis setelah mendapat intervensi
Reminiscence. Menurut Banon (2011), melalui proses mengenang, lansia dapat
mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama,
mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema
universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan
diri. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Syarniah, 2010) menambahkan bahwa
terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu
individu mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap stres
dan melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut
Bohlmeijer (2007 dalam Utami, 2013), terapi Reminiscence dapat menjadi
treatment psikologis yang menarik bagi para lansia karena membuat mereka
mempunyai ikatan masa lalu baik yang bersifat umum maupun yang khusus.
Reminiscence juga dapat berfokus pada mengevaluasi kembali, memecahkan
konflik pada masa lalu, menemukan arti kehidupan dan memperkirakan koping
adaptif yang bisa dilakukan sebelumnya.
Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman
yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat
28
kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif
untuk gejala depresi (Bohlmeijer, 2003; Haight & Burnside, 1993; Ebersole, 2005
dalam Syarniah, 2010).
Bohlmeijer (2007, dalam Utami, 2013), menambahkan bahwa terapi
reminiscence memiliki enam fungsi, yaitu integrative (menemukan arti dan
keberlanjutan kehidupan); instrumental (menggunakan pemecahan masalah masa
lalu untuk pemecahan masalah di masa kini); transmissive (menceritakan cerita
yang merupakan petunjuk-petunjuk kehidupan kepada anak muda); escapist
(mengingat keindahan masa lalu untuk melupakan sejenak hal-hal yang tidak
menyenangkan di masa sekarang); obsessive (memikirkan ulang
permasalahan-permasalahan tak terpecahkan pada masa lalu); dan narrative (mempertahankan
ingatan-ingatan mengenal orang-orang penting dalam kehidupan pribadi).
2.3.3. Tipe Terapi Terapi Reminiscence
Menurut Kennard (2006, dalam Syarniah, 2010), terapi Reminiscence dapat
dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Simple atau Positive Reminiscence
Tipe ini merefleksikan informasi dari pengalaman dan perasaan yang
menyenangkan di masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan
menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara
klien dan terapis yang bertujuan untuk meningkatkan adaptasi dan memelihara
29
b. Evaluative Reminiscence
Tipe ini biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan
masalah, seperti pada terapi life review.
c. Offensive Defensive Reminiscence
Tipe ini dapat menggali informasi yang tidak menyenangkan dan dapat
menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi, serta menimbulkan resolusi
terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.
2.3.4. Media dalam Terapi Reminiscence
Media yang digunakan dalam terapi Reminiscence yaitu benda-benda yang
berhubungan dengan kenangan/ masa lalu lansia. Menurut Collins (2006), media
yang dapat digunakan yaitu Reminiscence kit yang berisi barang-barang di masa
lalu seperti majalah, peralatan memasak, dan peralatan kebersihan, selain itu dapat
juga menggunakan foto-foto pribadi, alat untuk memutar musik atau video, video
dan kaset, buku, pulpen, stimulus bau seperti kopi, stimulus rasa, dan bahan-bahan
lain untuk menstimulasi sentuhan.
2.3.5. Pelaksanaan Terapi Reminiscence
Penelitian yang dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek
Individual Reminiscence terhadap harga diri dan depresi pada lansia di India,
terapi Reminiscence dapat dilakukan secara individu yang dibagi menjadi 8 sesi
dan dilaksanakan selama 8 hari meliputi, 1 hari untuk pre-assessment, 6 hari
untuk terapi Reminiscence, dan hari terakhir dilakukan post-assessment. Terapi
30
pedoman maupun yang sudah terstruktur. Tiap sesi terapeutik dimulai dengan fase
pengantar selama 5-10 menit yang meliputi memberikan salam, membiarkan klien
memilih tempat yang nyaman untuk pelaksanaan terapi, menanyakan keadaan
umum klien, memberikan deskripsi singkat terkait sesi sebelumnya, dan
memperkenalkan tema baru. Pada fase kerja setiap sesi, klien akan mengingat dan
mengumpulkan kembali memori-memori yang berhubungan dengan tema setiap
sesinya kira-kira selama 10 menit. Selama mengumpulkan dan sharing memori
menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Berbagai stimulus dapat digunakan
untuk mengembalikan memori yang sesuai dengan tema dari tiap sesi. Di akhir
fase (kira-kira selama 5 menit) meliputi menjawab pertanyaan jika klien bertanya,
mengemukakan kembali tema utama dan memori dari sesi tersebut, sharing
pengalaman antara klien dan fasilitator, rencana untuk sesi selanjutnya
(Poorneselvan & Steefel, 2014).
Terapi Reminiscence yang dikembangkan oleh Syarniah (2010) terdiri dari 5
sesi yaitu:
a. Sesi 1: berbagi pengalaman masa anak-anak. Pada sesi ini pengalaman masa
anak lebih difokuskan pada pengalaman yang berkaitan dengan permainan
yang paling disenangi dan pengalaman tentang guru yang paling disenangi
pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut.
b. Sesi 2: berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang
didiskusikan lebih ditujukan pada hobi yang dilakukan bersama
teman-teman sebaya dan pengalaman rekreasi bersama teman-teman pada masa remaja
31
c. Sesi 3: berbagi pengalaman masa dewasa. Focus pada sesi ini adalah
pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan dan makanan yang disukai.
d. Sesi 4: berbagi pengalaman keluarga di rumah. Pada sesi ini topik kegiatan
terapi menakup pengalaman merayakan hari raya agama bersama anggota
keluarga dan bergaul dengan tetangga.
e. Sesi 5: evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah
mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi
pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 4 untuk
mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan
meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.
Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini merupakan
modifikasi dari terapi Reminiscence yang sudah dilakukan Poorneselvan & Steefel
(2014) dan Syarniah (2010). Tipe terapi yang digunakan yaitu simple atau positive
Reminiscence terkait pengalamandan perasaan yang menyenangkan di masa lalu.
Terapi ini akan dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan yaitu satu kali
pertemuan untuk pre-test, lima pertemuan untuk pelaksanaan 5 sesi terapi
Reminiscence, dan pertemuan terakhir untuk post-test. Terapi Reminiscence
dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya.
Pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Pertemuan 1: melakukan perkenalan, menjelaskan tujuan dari intervensi
yang akan diberikan dan memberikan informed consent dan dilakukan
32
b. Pertemuan 2 (Terapi Sesi 1): berbagi pengalaman masa anak-anak.
Mengungkapkan memori terkait asal atau keterkaitan hubungan dari
keluarga dengan menggunakan foto atau gambar keluarga, klien dapat
menggambar genogram dari keluarga asal, nama-nama anggota keluarga,
dan urutan kelahirannya. Dapat menceritakan pengalaman masa anak-anak
yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi, pengalaman yang
menyenangkan pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa
tersebut, mendiskusikan foto atau gambar keluarga pada masa anak-anak,
dan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti acara perayaan, mengunjungi
tempat-tempat saat masih anak-anak.
c. Pertemuan 3 (Terapi Sesi 2): berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi
ini topik yang didiskusikan terkait teman-teman baik atau teman sebaya,
olahraga, hobi, prestasi yang pernah diraih, dan pengalaman rekreasi
bersama teman pada masa remaja.
d. Pertemuan 4 (Terapi Sesi 3): berbagi pengalaman masa dewasa. Stimulus
dapat berupa perkerjaan pertama, peristiwa atau pengalaman-pengalaman,
hubungan yang terkait dengan pekerjaan, perubahan pekerjaan, dan pensiun.
Selain itu, dapat pula mendiskusikan foto atau gambar dan makanan yang
paling disukai pada masa itu.
e. Pertemuan 5 (Terapi Sesi 4): berbagi pengalaman keluarga di rumah dan
kegiatan sosial. Pada sesi ini topik kegiatan terapi menakup pengalaman
bersama keluarga, saat pertama bertemu dengan pasangan, menikah,
33
agama bersama anggota keluarga, kegiatan yang sering dilakukan di
masyarakat, pertunjukkan atau hiburan yang sering ada di masyarakat, dan
transportasi serta media-media elektronik di jaman tersebut.
f. Pertemuan 6 (Terapi Sesi 5): evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan
yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia.
Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan
kegiatan sesi 1 sampai 5 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan
diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.
g. Pertemuan 7: dilakukan post-test dengan wawancara menggunakan
kuesioner.
Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence dalam penelitian ini lebih lanjut akan
dijelaskan pada Lampiran 5.
2.4 Hubungan Terapi Reminiscence dengan Stres Pada Lansia
Semua individu menghadapi stres setiap hari, dan sebagian besar
menghadapi stres yang signifikan selama masa hidup mereka (Perese, 2012). Stres
yang dihadapi oleh lansia dapat berasal dari berbagai situasi. Ketidaksiapan dalam
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam proses penuaan dapat menjadi
sumber akumulasi dari stres (Indriana, 2008). Stres lebih lanjut ditambah oleh
fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari
waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa
sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak
34
Terapi Reminiscence dapat menjadi suatu mekanisme untuk mengatasi
perubahan. Dalam terapi ini individu berbagi kenangan dengan orang lain, dimana
hal ini dapat membantu individu dalam mencapai integritas diri dan harga diri.
Melalui proses ini lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan
pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan
keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia,
dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Terapi Reminiscence yang diberikan
pada lansia dapat meningkatkan harga diri dan kepuasan hidup lansia,
meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stres melalui kemampuan
penyelesaian masalah dan meningkatkan hubungan sosial berdasarkan keunikan
dan prestasi yang dimiliki lansia (Banon, 2011). Selain itu, menurut Muhlbauer,
Chrisler, Denmark (2014), terapi Reminiscence yang terstruktur merupakan
intervensi kognitif-perilaku yang efektif untuk mengurangi depresi pada orang
lansia. Depresi sendiri dapat terjadi salah satunya akibat paparan stres secara
jangka panjang (Astri, 2012).
Dasar teoritis untuk terapi reminiscence adalah teori kontinuitas yang
menyatakan bahwa individu yang mengalami perubahan dalam hidup mereka
mencoba untuk memahami perubahan dengan mengingat orang, kejadian, dan
pengalaman dari masa lalu mereka. Proses mengingat perubahan masa lalu atau
tantangan dan pengetahuan, keterampilan, dan strategi yang mereka gunakan
untuk mengatasi perubahan menghasilkan rasa kontinuitas dalam hidup mereka
dan kemampuan untuk menggunakan metode koping yang biasa digunakan untuk
35
Perese, 2012). Selama proses terapi reminiscence, individu didorong untuk
berbicara tentang kenangan yang menyenangkan dalam hidup mereka di masa
yang sebelumnya. Saat mereka mengingat pengalaman positif dari masa lalu,
seseorang yang telah memasuki usia tua dapat menggunakan pengetahuan umum,
keterampilan, dan strategi untuk beradaptasi dengan stressor penuaan. Selain itu,
ketika kenangan dibagi dengan orang lain, mereka akan memberikan bukti koping
yang sukses di masa lalu dan membangun identitas individu sebagai individu yang
kompeten (Parker, 1995; Perese, Rohloff, & Ryan, 2008; Watt & Cappeliez, 2000
dalam Perese, 2012).
Penelitian yang dilakukan Chou, Lan, dan Chao (2008) mengenai
Application of individual Reminiscence therapy to decrease anxiety in an elderly
woman with dementia. Hasil yang ditemukan setelah diberikan terapi
reminiscence, responden terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia di
wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan,
memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain, dan jarang menggunakan obat
untuk membantunya tidur. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbaikan
pada emosi negatif dan kecemasan.
Penelitian eksperimental yang dilakukan Fallot (1980 dalam Banon, 2011)
mengenai terapi Reminiscence sebagai metode terapeutik pada 30 wanita dari
berbagai usia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan mood yang
positif setelah mendapat terapi Reminiscence. Cappliez, dkk (2007 dalam Banon,
2011) dalam penelitiannya tentang fungsi reminscence dan regulasi emosi pada
36
kegagalan masa lalu, kebosanan dan memelihara keakraban. Hasil penelitian
menunjukkan adanya perubahan emosi positif pada lansia yang berpengaruh
secara signifikan terhadap kecemasan, depresi dan kualitas hidup. Penelitian
tersebut menunjukan bahwa melalui terapi Reminiscence, lansia dapat lebih
mengekspresikan dirinya sendiri, lebih banyak berinterkasi dengan orang lain,
meningkatkan harga diri, dan meningkatkan mood positif untuk mengatasi kondisi