• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor Non-Meritokrasi yang Mempengaruhi Penentuan Promosi Jabatan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah 7. Pak Son Haji

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor Non-Meritokrasi yang Mempengaruhi Penentuan Promosi Jabatan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah 7. Pak Son Haji"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-faktor Non-Meritokrasi yang Mempengaruhi Penentuan

Promosi Jabatan

pada Satuan Kerja Perangkat Daerah

Non-Meritocracy Factors that Influence Determination of Job Promotion Strategy at Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Sonhaji dan Budiarjo

Jurusan Ilmu Administrasi

FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

( Diterima tanggal 13 Maret 2014 , disetujui 8 April 2014)

ABSTRAC

T

(2)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

112

A. Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Perkembangan Sistem Pemerintahan di Indonesia mengalami dinamikanya tersendiri, hal ini bisa dilihat dari bagaimana proses transformasi politik pada era Reformasi ini telah merubah perimbangan yang sangat signifikan, antara konstelasi pada era kekuasaan politik rejim Orde Baru yang demikian condong pada pemberatan ruang eksekutif (Executive Heavy), yang mengabaikan ruang-ruang lain yakni legislatif dan yudikatif (lihat konsep Trias Politika Montesquieu) bahkan juga peran serta kekuatan politik di luar negara NGO’s (Non-Govermental

Organizations) menuju pemberatan pada

ruang Legislatif (Legislative Heavy) ( Afan Gaffar, 2004).

Pada aras pemerintahan lokal, juga terjadi fenomena yang hampir sama, apalagi jika dilihat pada dinamika permasalahan otonomi daerah maka perubahan undang-undang pemerintahan daerah dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah, digantikan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 telah membawa kepada sejumlah

perubahan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih signifikan.

(3)

sering dikenal sebagai SOT (Susunan Organisasi dan Tatakerja).

Pada saat penentuan susunan organisasi dan tatakerjanya di daerah telah muncul tarik menarik kepentingan, lebih-lebih dengan berkuasanya lembaga perwakilan di daerah. Hal ini kelak juga akan bermuara pada saat pengisian jabatan- jabatan publik bagi para pejabat di daerah ketika susunan organisasi dan tatakerjanya sudah diperdakan, maka seringkali muncul kepentingan partai-partai politik tertentu di daerah untuk mendudukan pejabat-pejabat daerah yang memiliki afiliasi maupun identifikasi dengan partainya pada jabatan-jabatan publik tertentu, khususnya yang memiliki nilai strategis baik dari kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi. Pengkajian ini pernah peneliti lakukan dengan melakukan penelitian eksploratif beberapa waktu yang lalu di kedua daerah penelitian tersebut (Sonhaji, 2008 dan 2011)

Pada kondisi semacam inilah, sekarang ini sering muncul kecenderungan bahwa pertimbangan diluar faktor meritokrasi antara lain prestasi dan karir sebagai yang dipersyaratkan oleh organisasi birokrasi, yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif melalui lembaga Baperjakat sering diintervensi

kepentingan-kepentingan politik baik oleh pimpinan daerah apakah itu Bupati/Walikota maupun wakilnya. Intervensi juga datang dari legislatif daerah bukan dalam kapasitas sebagai lembaga, namun juga lebih sering mewakili kepentingan para anggota dewan untuk bisa memiliki kepanjangan tangan mereka di lingkungan eksekutif daerah, yang tujuannya tentu bagi kepentingan pribadi dan atau kelompok mereka (Vested Interest); dan juga dari partai politik yang dominan di daerah dalam rangka sebagai penopang bagi keberlangsungan partai politik yang bersangkutan. Berlatar belakang permasalahan inilah penelitian ini dilakukan.

B. Studi Pustaka

Penelitian dan kajian terhadap proses implementasi Otonomi Daerah telah banyak dilakukan dengan pelbagai macam perspektif yang dipergunakan, mulai dari perspektif politik, ekonomi, administrasi dan kebudayaan.

(4)

FE-Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

114

USU Medan, tidak dipublikasikan, 2011): dan penelitian Potret Belanja Pendidikan di Era Otonomi daerah, (Nurkolis, 2011); yang menggunakan perspektif ekonomi sebagai pendekatannya; Penggunaan perspektif adsministrasi dan kebudayan juga telah dilakukan oleh beberapa penelitian seperti penelitian tentang Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa : Upaya Pemberdayaan Masyarakat Desa dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah,(Andi Ya’kub dan kawan-kawan, 2008), dan penelitian tentang Problematika Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Nirahua Salmon EM, Jurnal Konst itusi Vol 2 No.2 November 2010). Kesemua penelitian tersebut di muka tidak secara khusus mengkaji bagaimana kaitan otonomi daerah dengan permasalahan promosi jabatan di daerah dalam rangka otonomi daerah, belum adanya kajian ini secara komprehensif mendorong peneliti untuk meneliti permasalahan ini sembari menawarkan alternatif intervensi program sebagai solusinya, mengingat selama ini dengan secara parsial peneliti baru bisa menggunakan perspektif politik untuk meneliti permasalahan promosi jabatan. Penelitian yang pernah dilakukan peneliti yakni tentang Faktor Dominan dalam Menentukan Promosi Jabatan pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah di

Kabupaten Boyolali, 2008, (UNS-Laporan Penelitian Tidak diterbitkan) dan penelitian tentang Pengembangan Sumberdaya Aparatur Pemerintaha Daerah pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Boyolali, 2011, (UNS-Laporan Penelitian Belum dipublikasikan.) kesemuanya mempergunakan perspektif politik dalam kajian- kajiannya.

Perkembangan Birokrasi Pemerintah di Indonesia

Birokrasi dewasa ini telah tumbuh menjadi salah satu organisasi vital yang eksistensinya sangat mewarnai modernitas kehidupan manusia, baik yang berdiam pada negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Bagi negara maju posisi birokrasi dalam struktur kenegaraan sangatlah jelas, karena ia merupakan instrumen bagi implementasi sebuah kebijakan publik; namun bagi negara-negara berkembang posisi birokrasi tidak hanya merupakan alat bagi pelaksanaan kebijakan publik saja, lebih daripada itu birokrasi merupakan perumus kebijakan itu sendiri.

(5)

masalah-masalah yang dilematis, antara pilihan sebagai abdi pelayanan masyarakat atau abdi penguasa politik (Elit); kajian-kajian terdahulu seperti dilakukan oleh Lidlle (1990), Karl D. Jackson (1978), Crouch ( 1986) dan Robison (1981) telah menyimpulkan bahwa birokrasi Indonesia secara kultural maupun struktural masih dihadapkan pada pelbagai masalah, dari mulai patrimonialisme, sentralisme, korporatisme sampai kepada otoritarianisme.

Kondisi semacam inilah yang akhirnya membawa birokrasi Indonesia menjadi tidak jelas, apakah dia merupakan institusi modern ataukah masih tradisional, karena pada dasarnya terjadi apa yang dalam istilah Boeke disebut sebagai

dualisme, .dalam hal ini dualisme wajah

birokrasi; karena disatu pihak Birokrasi Indonesia adalah sebuah introduksi kemodernan, dari struktur, tugas, fungsi, fasilitas dan penunjang yang disediakan; namun di pihak lain warisan nilai-nilai lama, dalam bentuk tradisi dan budaya birokrasi yang bersifat feodalistik dan patrimonialismenya masih sangat menonjol.

Sampai pada penghujung tahun 1997, kondisi birokrasi di Indonesia telah tumbuh jadi satu-satunya kekuatan organisasi yang dominan, baik secara

ekonomi maupun politik, khususnya dalam keterlibatan mereka pada pelbagai regulasi dan pengendalian terhadap jalannya manajemen pemerintahan, atau yang dalam bahasanya Mohtar Mas’ud disebut gejala yang bersifat

omnipoten (1994).

Perubahan menarik terjadi pada periodisasi paska 1998, dimana gerakan reformasi politik telah membawa kepada sejumlah perubahan yang cukup berarti khususnya pada aras manajemen pemerintahan baik nasional maupun daerah. Hal yang sangat menonjol yang juga menjawab tuntutan gerakan reformasi adalah dilakukan perubahan manajemen pemerintahan dari yang dahulunya lebih bersifat sentralistik, menuju penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang desentralistik dengan pelaksanaan otonomi daerah yang lebih nyata, yakni dengan diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(6)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

116

sekaligus rekrutmen sumberdaya manusianya sebagai penyelenggara organisasi birokrasi pemerintahan di daerah.

Birokrasi Versus Intervensi Politik

Perombakan jajaran aparatus pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi (Kompas, Maret 2005). Nilai terpenting yang mestinya diperhatikan berkaitan dengan pernyataan tersebut adalah netralitas birokrasi (Palmer, 1989), dalam arti siapapun sebagai pemimpin (politik) apakah Presiden, Gubernur, Bupati maupun Walikota, birokrasi harus memberikan pelayanan yang kalis dari kepentingan-kepentingan politik.

Intervensi politik terhadap kinerja dan kehidupan birokrasi di Indonesia telah berlangsung dan memiliki catatan sejarah yang panjang. Dimulai paska kemerdekaan dimana terlihat betapa hubungan antara partai politik yang berkuasa dengan performa birokrasi demikian intim sekali, sehingga seringkali terlihat kalau pimpinan suatu birokrasi pemerintahan adalah tokoh partai politik tertentu maka hampir sebagian para pegawai berafiliasi dengan partai pimpinan aparatus pemerintahan dimaksud. Pada era Orde Baru dengan corak sistem politiknya yang sangat monolitik dimana rejim berada dalam kekuasaan Golkar dan ABRI, maka

hampir seluruh sendi kehidupan birokrasi berada dibawah kontrol dua kekuatan politik riil tersebut. Bahkan kemudian muncul konseptualisasi dari apa yang disebut sebagai Politisasi Birokrasi. Memasuki peralihan menuju era reformasi yang ditandai dengan kembali munculnya sistem multi partai (lihat Duverger, 1960) intervensi politik polisentris dalam artian tidak monolitis seperti pada saat berlangsungnya kekuasaan orde baru, lebih terpencar pada beberapa kekuatan partai politik besar, meskipun secara substansial sebenarnya intinya sama saja, memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan partai (Eko Prasojo, 2005)

(7)

jabatan pada masing-masing satuan kerja harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan administratif, bukan semata-mata kepentingan politik pemegang kekuasaan yang berada dalam kontrol partai politik.

C. Metode Penelitian

Lokasi Peneliti

Penelitian ini telah dilakukan pada dua daerah di bekas Karesidenan Surakarta, yakni Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali, pertimbangan dipilihnya kedua daerah tersebut sebagai lokasi penelitian lebih dikarenakan setting kepemimpinan daerah yang berbeda. Mengingat data yang diperlukan berada pada kewenangan salah satu SKPD yakni Badan Kepegawaian Daerah (BKD) , maka pengumpulan data diutamakan pada badan tersebut.

Tipe dan Rancangan

Tipe penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian diskriptif-kualitatif, sementara untuk rancangan penelitian yang telah dilakukan mempergunakan rancangan penelitian diskriptif kualitatif yaitu dengan menggunakan teknik penyamplingan yang bersifat Purposive Sampling, (Noeng Muhajir, 1992) yakni dengan mengambil beberapa informan kunci yang

memahami data tentang permasalahan promosi jabatan di lingkungan Satuan Kerja Pemerintah Daerah Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali.

Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data, maka telah dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data yang biasanya dipergunakan dalam penelitian sosial. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan meliputi :

1. Mempergunakan teknik wawancara mendalam terhadap para informan kunci terpilih yang merupakan Pejabat di masing-masing satuan kerja terpilih di masing-masing daerah. Teknik yang dipergunakan dapat disebut sebagai Techniques of Elite

Interviewing, yang terdiri dari

dua macam cara yakni

Interviews for the opinions of

leader yaitu sejumlah pendapat

yang digali dari para pejabat publik tersebut dan Documentary

interviews of leader berupa apa

(8)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

118

2. Mempergunakan teknik dokumentasi, yakni dengan kembali mengkaji semua data terkait yang terdapat pada masing-masing BKD di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali khususnya tentang bagaimana proses promosi jabatan SKPD di kedua daerah penelitian telah diselenggarakan selama ini.

Validitas Data

Guna menguji keabsahan data yang telah didapatkan, maka dipergunakan Uji Triangulasi Data, dalam penelitian ini peneliti akan mempergunakan uji keabsahan data berdasarkan pada penggunaan sumber data; yakni dengan mengkonfirmasikan data yang sudah diperoleh dengan data yang berasal dari informan-informan lain yang dipandang bisa memberikan keabsahan data, dalam penelitian ini telah dilakukan terhadap beberapa pegawai senior dan beberapa anggota dewan dan tokoh masyarakat di kedua daerah tersebut.

Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan

kemudian dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 1994).

Terhadap data yang telah berhasil dikumpulkan , maka dilakukan analisis data dengan mempergunakan beberapa langkah prosedural analisis sebagaimana lazimnya yang sering dipakai dalam penelitian kualitatif, yakni :

1. Penelaahan seluruh data yang berhasil dikumpulkan, baik dari hasil wawancara , dokumentasi maupun observasi ; yang diperoleh selama dan di lokasi penelitian;

2. Prosedur berikutnya adalah melakukan reduksi data dengan cara abstraksi, yakni membuat rangkuman pokok dan prosesnya;

3. Selanjutnya dilakukan penyusunan satuan-satuan

(unityzing), dengan cara

menguraikan data yang ditemukan ke dalam unit-unit analisis berdasarkan pengelompokannya;

4. Pembuatan kategorisasi terhadap satuan-satuan data yang ada berdasarkan kategori yang akan ditentukan dalam penelitian ini; 5. Berikutnya setelah semua data

(9)

dilakukan pemeriksaan keabsahan data, apakah data tersebut valid atau tidak dengan mempergunakan teknik triangulasi data;

6. Langkah terakhir adalah melakukan penafsiran data, dengan mencoba melakukan interpretasi data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian.

Agar diperoleh hasil analisis yang memadai maka proses penafsiran data akan didasarkan pada kualitas pribadi peneliti, dalam arti bagaimana seorang peneliti melihat hubungan-hubungan yang ada, serta membentuk kesan-kesan yang akurat berdasarkan pada logika, pertimbangan, wawasan, imajinasi atau intuisi dari peneliti.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Frekwensi dan Alasan Promosi Jabatan Untuk Kota Surakarta dari hasil wawancara yang telah dilakukan didapat informasi bahwa :

“Belum ada aturan baku di sini, namun semua tergantung kepada kebutuhan daerah, untuk normalnya di Pemkot Surakarta dalam satu tahun 4 sampai 5 kali terjadi kegiatan mutasi dan promosi, dengan demikian berkisar antara 3 bulanan, dan ini juga berkait dengan kekosongan formasi” (Hasil wawancara dengan Informan Kunci)

Jawaban yang hampir sama disampaikan oleh informan kunci dari Boyolali, tentang frekwensi kegiatan mutasi dan promosi ini, disampaikan bahwa:

“…di Kabupaten Boyolali selama kepemimpinan Bupati yang baru telah terjadi 5 kali kegiatan mutasi dan promosi jabatan dalam setahun, dan kegiatan ini dikarenakan untuk pengisian rutin”

Selanjutnya mengenai kualitas dari kegiatan mutasi dan promosi itu sendiri untuk Pemerintah Kota

Surakarta, diakui oleh Informan Kunci bahwa :

“ ….untuk awal kepemimpinan Walikota Joko Widodo agak banyak dilakukan mutasi dan promosi jabatan… dalam jumlah yang besar, melibatkan banyak pejabat yang dimutasi dan dipromosikan.” (Hasil wawancara dengan Informan Kunci dan Pembanding)

Sedangkan untuk Kabupaten Boyolali, dinyatakan oleh Informan Kunci Bahwa:

“ Setelah disusun SOTK baru pada tanggal 31 Desember 2011, terjadi mutasi besar-besaran”.

(10)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

120

jabatan atau untuk pengisian jabatan secara rutin (Sumber informan kunci). 2. Persyaratan Normatif

Proses promosi jabatan SKPD menurut aturan perundangan-undangan melibatkan sebuah lembaga Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), secara umum badan ini bertugas menggodok siapa pegawai yang layak untuk dipilih pimpinan daerah sebagai pejabat di daerah tersebut.

Proses promosi jabatan bagi pejabat di lingkungan SKPD atau Lembaga Teknis Daerah (LTD) berbeda antara pemerintah Kota Surakarta dengan Kabupaten Boyolali, di Kota Surakarta menurut sumber kunci didapatkan informasi bahwa :

“….didahului dengan tahap penyiapan dengan melakukan penilaian terhadap pegawai yang telah memenuhi kepangkatan, proses penilaian ini melibatkan Kepala SKPD untuk dimintai masukan siapa-siapa pegawai di kantornya yang secara kepangkatan memenuhi dan layak untuk dipromosikan, di sini keterlibatan Kepala SKPD sebagai narasumber….kemudian hasil pembahasan di BKD ini diajukan ke Baperjakat untuk diproses lebih lanjut, dalam sidang draft awal; dari sidang ini diajukan 3 nama calon untuk menduduki jabatan Kepala SKPD yang dibutuhkan ke pada Walikota, kemudian Walikota akan melakukan proses finalisasi dengan meminta Baperjakat mempresentasikan ke 3 calon tersebut, baru nanti dalam

kesempatan selanjutnya Walikota akan menentukan siapa dari 3 calon tersebut yang akan dipilihnya” (Hasil wawancara dengan Informan Kunci).

Sementara untuk Kabupaten Boyolali, disampaikan bahwa seseorang untuk dapat diajukan sebagai pimpinan SKPD harus memenuhi persyaratan antara lain :

1. pernah 2 (dua) kali menduduki jabatan Eselon III yang berbeda, eselon III disini antara semisal Kepala Bidang, Kepala Kantor, Sekretaris Badan

2. Pangkat IVB dan bisa diturunkan IVa

3. Sudah pernah mengikuti Diklatpim 4. Pendidikan formal minimal

S1. (Hasil wawancara dengan Informan Kunci). (Hasil wawancara dengan Informan Kunci).

3. Kepentingan politik.

(11)

Kepentingan Politik dengan Promosi Jabatan sejumlah Pimpinan SKPD.

Informasi dari Informan Kunci di Surakarta mengatakan bahwa:

“… kalau yang dimaksudkan dengan kepentingan politik itu sebatas kepentingan untuk mensukseskan Visi dan Misi Walikota seperti yang pernah dicanangkan dalam kampanye Pilkada sebelumnya, Walikota dalam masa-masa kepemimpinan awalnya menentukan siapa-siapa yang dipandang pantas untuk mengemban kepemimpinan di beberapa SKPD, seperti Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan DKP; Termasuk dalam periode kepemimpinan pertama Walikota yang sempat mengangkat Kepala Dinas Pasar yang kemudian menjadi polemik publik, karena pengangkatan tersebut terkesan dipaksakan, namun sebenarnya secara administratif bisa dibenarkan, meskipun syarat kepangkatannya diturunkan satu tingkat. (Rangkuman Hasil wawancara dengan Informan Kunci).

Sementara untuk Kabupaten Boyolali disampaikan oleh Informan Kunci bahwa :

“…pernah terjadi beberapa kali Bupati tidak menerima usulan nama-nama yang diajukan Baperjakat, kemudian diproses lagi untuk diajukan draft baru lagi ke Bupati; namun sekarang ditempuh prosedur baru dengan mengadakan pembicaran terlebih dahulu antara Bupati dengan baperjakat, sehingga sekarang tidak pernah lagi terjadi penolakan oleh Bupati.

(Rangkuman Hasil wawancara dengan Informan Kunci).

4. Kepentingan Kekerabatan

Keterkaitan faktor kepentingan kekerabatan dengan promosi jabatan didapatkan jawaban yang sama untuk ke dua daerah penelitian, bahwa di Kota Surakarta maupun Kabupaten Boyolali tidak dijunpai adanya pengangkatan untuk promosi jabatan yang bisa diduga memiliki keterkaitan dengan hubungan kekerabatan antara pimpinan pemerintah daerah dengan pimpinan SKPD. Sementara ada informasi dari Informan Pembanding yang berbeda, bahwa dia menengarai adanya pejabat yang memiliki hubungan dengan pimpinan daerah.

5. Kepentingan Ekonomi.

(12)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

122

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan dalam penelitian ini, maka akan dibahas semua data tersebut dengan mendasarkan pada kekuatan analisis peneliti, diperkuat dengan pembandingan atas data pembanding yang juga didapatkan, yang semuanya akan dipaparkan dalam pembahasan berikut. 1. Frekwensi dan Alasan Promosi Jabatan

Mengenai Frekwensi dilakukannya Promosi Jabatan pada level pimpinan SKPD, ternyata baik pada pemerintah daerah Kota Surakarta maupun Kabupaten Boyolali, diakui pada awal pemerintahan pimpinan daerah yang baru, seringkali dilakukan penggantian dan promosi jabatan, diduga hal ini terkait dengan pembentukan struktur organisasi dan tatakerja aparatus pemerintahan daerah, dan kehendak pimpinan daerah; disamping faktor adanya kekosongan jabatan di SKPD bersangkutan; namun untuk pemerintah daerah Kabupaten Boyolali mutasi dan sekaligus promosi yang sering dilakukan ini menimbulkan reaksi publik yang cukup keras.

Reaksi dimaksud misalnya datang dari Wakil Ketua DPRD Boyolali Thontowi Jauhari untuk mengkritik kebijakan bupati yang kembali

melakukan mutasi dalam jumlah besar. “Saya tidak paham strategi yang diterapkan Bupati. Terlebih mutasi itu menempatkan orang tidak sesuai dengan bidangnya. Alhasil, yang jadi korban adalah bentuk pelayanan terhadap masyarakat,” terangnya (Solopos.com, 10 Agustus 2011 17:14 WIB). Bahkan reaksi ini tidak hanya muncul di kalangan dewan saja, masyarakat luas pun juga bersikap dengan membentuk Pos Pengaduan Peduli Mutasi dan Pembangunan Boyolali, dipimpin oleh Imam Suhadi, yang dideklarasikan 1 Feberuari 2012, dimana maksud dan tujuan pendirian Pos Pengaduan ini merupakan respon dari kondisi Tata Kelola Pemkab Boyolali yang dinilai menghawatirkan, (JIBI/SOLOPOS/Yus

Mei Sawitr 2-2-2012). Pernyataan

senada juga disampaikan oleh ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universita Boyolali yang mengkritik pedas mutasi yang dilakukan terus menerus oleh Pemkab Boyolali. “Mutasi kali semakin membuat profesionalisme pegawai negeri sipil (PNS) jauh panggang dari api,” katanya.

(13)

baru di suatu daerah timbul kehendak untuk merubah posisi-posisi pejabat di lingkungan SKPD, meskipun kemudian apologi yang dimunculkan selalu bersifat klasik dan klise untuk mengisi kekosongan jabatan karena pejabat lama telah pensiun atau meninggal dunia; namun tingkat frekwensi yang tinggi dalam kebijakan mutasi dan promosi jabatan ini sering menimbulkan dugaan negatif, tentang faktor-faktor penyebabnya, dan seringkali dugaan- dugaan itu mengarah kepada faktor

Vested Interest Pimpinan Daerah yang

baru saja dilantik, karena berhubungan dengan kepentingan politik, ekonomi dan pemeliharaan status quo bagi kepemimpinannya.

2. Persyaratan Normatif

Faktor Persyaratan Normatif dalam penentuan promosi jabatan pimpinan SKPD di kedua daerah penelitian relatif hampir sama secara substansial, artinya prosedurnya dimulai dari Badan Kepegawaian Daerah yang melihat adanya kebutuhan untuk adanya pengisian jabatan, kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan calon- calon pejabat yang bersangkutan berdasarkan Daftar Urut Kepangkatan (DUK) yang akan dijadikan dasar bagi Baperjakat untuk menyusun mereka yang ternominasikan, yang kemudian diajukan

kepada pimpinan daerah untuk dipilih salah satu dari daftar ajuan yang diajukan Baperjakat;

(14)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

124

dari data yang dihimpun, mutasi di Kota Susu telah mengabaikan UU No8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang telah diubah menjadi UU No 43/1999. Mutasi dinilai tidak berdasarkan pertimbangan proporsional dan profesional, sehingga memicu keresahan di kalangan PNS. Apalagi, lanjut Imam, disinyalir ada indikasi praktik jual beli jabatan, (JIBI/SOLOPOS/Yus Mei Sawitri,

1/2/2012).

Lebih lanjut dikatakan bahwa :

“Mutasi itu seharusnya bermuara pada kinerja yang efektif dan efisien. Tujuannya antara lain adalah perbaikan kinerja atau

output yang lebih baik. Sekarang

yang terjadi tidak seperti itu, PNS malah resah, takut dipindah ke tempat yang jauh atau yang bukan bidangnya,”

(JIBI/SOLOPOS/Yus Mei Sawitri,

1/2/2012).

Mendasarkan pada pemaparan diatas boleh dikatakan bahwa prosedur pengangkatan atas promosi jabatan pimpinan SKPD selalu dinyatakan telah sesuai dengan persyaratan formal dan normatif pada masing-masing pemerintahan daerah, meskipun ternyata pandangan dan reaksi publik dalam menyikapi penetapan dimaksud sering bersifat negatif, tentunya memang sulit bagi publik yang berada di luar sistem pemerintah untuk menunjukkan bukti kongkrit adanya penyimpangan

prosedural, tetapi perasaan publik (Public

Feeling) seringkali lebih tajam dalam

merasakan adanya sesuatu yang tidak prosedural, lebih-lebih bahwa pemerintah daerah sekarang ini juga harus mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja berdasarkan profesi, misalnya di bidang pendidikan, artinya seorang yang berprofesi guru maka harus dibina dan dikembangkan profesinya di bidang pendidikan, dan menjadi janggal kalau kemudian hari yang bersangkutan ditugaskan pada bidang-bidang di luar pendidikan, meskipun dirinya terdaftar sebagai pegawai pemerintah daerah, konsistensi pengembangan pada profesinya masing-masing inilah sebenarnya termasuk yang harus dipertimbangkan pada pengangkatan dan promosi jabatan seorang pegawai pemerintah daerah.

3. Kepentingan Politik

(15)

menurunkan syarat minimal kepangkatannya, tetapi pemerintah tetap bertahan atas keputusan untuk menetapkan pejabat dimaksud sebagai kepala dinas. Sedangkan di Kabupaten Boyolali meskipun sulit untuk dibuktikan secara otentik, namun pengakuan beberapa orang informan lain mendukung dugaan bahwa ada kaitan kepentingan politik pada sejumlah mutasi dan promosi di daerah ini.

Penilaian di luar sistem pemerintah kebanyakan mengkaitkan adanya faktor politis di samping faktor administratif dalam penentuan promosi dan mutasi PNS di Kabupaten Boyolali, seperti terlontar dari Thontowi Wakil Ketua DPRD Boyolali, sekarang tidak lagi menjabat Wakil Ketua, dimana dia menyayangkan mutasi yang terkesan berbau sanksi politis, Thontowi menganggap jika ini terus dilakukan maka yang terjadi adalah politisasi birokrasi. Dijelaskan, PNS tidak bisa bekerja secara maksimal. Sebab, mereka bekerja di bawah tekanan. Jika salah bisa jadi sewaktu-waktu akan dipindah. “Jika ini terus berlangsung, di akhir periodenya bisa jadi indeks pembangunan manusia di Boyolali menurun drastis, pendidikan menurun dan segala aspek lainnya,” tandasnya.(Solopos.com, 10 Agustus 2011), penilaian yang senada

disampaikan Ketua DPD Partai Golkar yang juga Wakil Ketua DPRD Boyolali, dinyatakan olehnya bahwa di Boyolali banyak pengangkatan pejabat yang tidak sesuai dengan keahliannya, jenjang karir tidak dipertimbangkan.

Reaksi lain datang secara kelembagaan yakni dari DPD Partai Golkar Boyolali, yang tidak hanya sekedar tidak sepakat dengan kebijakan mutasi dan promosi yang sering dilakukan, bahkan sampai mengadukan Bupati Boyolali ke Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jateng karena dianggap menyembunyikan informasi tentang PNS, lebih lanjut tentang perseteruan ini bisa dilihat pada pernyataan ketua DPD Golkar Boyolali yang menyatakan “Kami ingin mendapatkan informasi data PNS untuk bahan evaluasi, karena ada keluhan masyarakat tentang penempatan PNS dan pejabat Pemkab Boyolali tak sesuai keahlian,” ujarnya kepada wartawan di kantor KIP Jateng Jl Trilomba Juang, Mugas, Kota Semarang. Kenyataannya, lanjut ia, saat DPD Partai Golkar ingin meminta informasi data PNS, Pemkab Boyolali tak pernah memberikan. “Untuk itu kami melaporkan ke KIP Jateng supaya Pemkab bersedia memberikan informasi data PNS,”katanya.

(JIBI/SOLOPOS/Insetyonoto/Yusmei

(16)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

126

Memang sangat sulit untuk membuktikan adanya intervensi langsung dari kepala daerah dalam rangka promosi jabatan khususnya pimpinan SKPD, namun bukan berarti tidak ada intervensi tersebut, seperti diakui oleh Informan Kunci penelitian ini, hal-hal yang seperti kepentingan politik, ekonomi dan kepentingan lain, itu semua di luar kuasa kami, kami hanya menyiapkan draft, perkara pimpinan menentukan di luar itu kami tidak mengetahuinya, belum lagi opini publik yang terlanjur tercipta bahwa ada kekuatan politik ekstra di balik sosok pimpinan daerah yang memiliki peran strategis dalam mengatur jalannya pemerintahan daerah, semua itu turut memperkuat dugaan bahwa promosi jabatan di daerah itu tidak lepas dari intervensi politik.

4. Kepentingan Kekerabatan

Mengenai keterkaitan antara faktor kepentingan kekerabatan dengan pengangkatan seseorang dalam jabatan pimpinan SKPD, belum bisa didapatkan data tentang hal tersebut di kedua daerah peneltian, boleh jadi memang tidak ditemukan pertalian hubungan kekerabatan, karena penilaian di luar sistem pemerintahpun juga tidak mengindikasikan adanya hubungan kekerabatan antara pimpinan daerah dengan pejabat-pejabat di lingkungan SKPD.

5. Kepentingan Ekonomi

Data tentang keterkaitan faktor Kepentingan Ekonomi dengan Promosi Jabatan Pimpinan SKPD yang didapatkan di lapangan ternyata menegasikan dugaan sementara bahwa terdapat keterkaitan tersebut, artinya baik Informan Kunci di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali tidak mengetahui dan melihat adanya keterkaitan relasi bahwa dipilihnya seseorang untuk menduduki jabatan pimpinan SKPD dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan ekonomi; kepentingan ekonomi yang selama ini dipercayai turut mewarnai dan melatarbelakangi penetapan promosi jabatan tersebut, antara lain kesepahaman seseorang calon pejabat untuk menjadi penopang kebutuhan ekonomi bagi kepentingan-kepentingan pimpinan daerah kelak apabila telah diangkat menjadi Kepala Dinas pada dinas tertentu, yang dalam istilah populernya berfungsi sebagai ATM (Anjungan Tunai Mandiri) yang harus selalu siap memberi sokongan dana dan biaya bagi pimpinan daerah, juga kesediaan calon pejabat untuk memberikan pembayaran sejumlah dana yang telah ditentukan untuk menduduki jabatan yang diinginkan.

(17)

Kota Surakarta dijamin pimpinan daerah dalam hal ini Walikota tidak mungkin terlibat atau melakukan praktek kotor semacam itu, bahkan katanya Walikota selalu menegaskan pada pejabat- pejabat yang terlibat dalam penyusunan pengajuan nama-nama calon pejabat yang akan diajukan ke Walikota untuk “Jangan sampai terdengar ada pejabat yang mengambil kesempatan !”; namun untuk transaksi pada level di bawah itu Dia tidak berani memastikan tidak adanya fenomena semacam itu. Sementara untuk Kabupaten Boyolali meskipun tidak ada pengakuan dari Informan Kunci, namun justru informasi dari luar sistem pemerintah daerah mengarah pada adanya fenomena pemberian sejumlah uang untuk jabatan tertentu, dicontohkan misalnya untuk jabatan Kepala Sekolah SD saja seorang Guru pernah ditawari untuk menyediakan uang sebesar 25 – 30 Juta rupiah; dari informasi ini bisa dibayangkan bagaimana untuk jabatan Kepala Dinas di sebuah SKPD. Memang dalam informasi yang disampaikan tidak melibatkan langsung pimpinan daerah tetapi transaksi tersebut bagian dari permainan kaki tangan pimpinan daerah di lingkungan partai politik.

Berdasarkan data di atas, sulit untuk membuktikan adanya transaksi dalam penentuan promosi jabatan seorang pejabat di lingkungan SKPD, karena hal

tersebut merupakan fenomena yang sangat peka untuk munculnya sebuah pengakuan, sehingga setiap kali muncul pasti hanya berupa dugaan-dugaan yang tidak ada buktinya.

E. Penutup

Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan yang terdapat pada bab dimuka , maka laporan penelitian ini akan ditutup dengan bab penutup yang berisi simpulan dan saran.

Simpulan

1.1. Temuan-temuan penelitian yang didapat dari para informan mengarah pada simpulan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan proses penyiapan dan penyusunan usul pengangkatan dan promosi jabatan pimpinan SKPD; dilakukan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Meskipun Badan ini menjalankan fungsi yang sama, namun struktur badan ini pada kedua daerah penelitian ternyata berbeda.

(18)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

128

normatif sesuai aturan perundang-undangan;

1.3. Penentu akhir dari proses pemilihan yang diajukan Baperjakat menjadi kewenangan Pejabat Pengguna Kepegawaian (PPK) yang untuk daerah penelitian ini adalah Walikota Kota Surakarta dan Bupati Kabupaten Boyolali, hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural;

1.4. Terdapat fenomena yang sama di kedua daerah penelitian, yakni ketika tampil pimpinan daerah yang baru, cenderung akan diikuti serangkaian kegiatan mutasi dan promosi jabatan, yang bisa dikategorikan ke dalam tingkat intensitas dan tingkat frekwensi yang tinggi. Kecenderungan untuk melakukan serangkaian mutasi dan promosi dengan derajat intensitas dan frekwensi tinggi ini bagi publik menimbulkan dugaan-dugaan yang mengarah kepada faktor Vested

Interest Pimpinan Daerah yang

baru saja dilantik, karena berhubungan dengan kepentingan

politik, ekonomi dan pemeliharaan status quo bagi kepemimpinannya. 1.5. Faktor-faktor di luar faktor

Meritokrasi yang berpengaruh terhadap Promosi Jabatan pimpinan SKPD, untuk dua daerah penelitian tersebut secara komparatif bisa dilihat dalam temuan-temuan berikut :

(19)

memenuhi kaidah the right a

man in the right place,

menyebabkan berkembangnya opini publik yang terlanjur tercipta bahwa ada kekuatan politik ekstra di balik sosok pimpinan daerah yang memiliki peran strategis dalam mengatur jalannya pemerintahan daerah, (Baperjakat Jalanan) semakin memperkuat dugaan adanya keterkaitan antara kepentingan politik dengan promosi jabatan pada pimpinan SKPD di Kabupaten Boyolali;

b. Faktor Kepentingan Kekerabatan, berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap Informan Kunci dan semua Informan Pembanding, ternyata dugaan adanya keterkaitan antara faktor kepentingan kekerabatan dengan pengangkatan seseorang dalam jabatan pimpinan SKPD, belum bisa didapatkan data tentang hal tersebut di kedua daerah peneltian.

c. Faktor Kepentingan Ekonomi, dugaan bahwa ada keterkaitan antara faktor kepentingan ekonomi dengan Promosi Jabatan pimpinan SKPD, untuk Kota Surakarta dugaan ini

potensinya kecil apalagi kalau harus dikaitkan dengan Walikota, sebab komitmen untuk itu selalu terungkap lewat pesannya kepada pejabat-pejabat anggota Baperjakat “Jangan sampai terdengar ada pejabat yang mengambil kesempatan !”; namun kalau relasi kepentingan ekonomi itu terjadi pada aras dibawahnya, dalam pengertian transaksi antara calon pimpinan SKPD dengan pemegang kuasa pengusulan belum bisa dipastikan ada tidaknya, juga dalam penelitian ini belum terungkap informasi adanya SKPD yang pimpinannya mau menjadi penopang dana bagi kepentingan ekonomi Walikota. Sementara untuk Daerah Boyolali meskipun tidak ada pengakuan dari Informan Kunci, namun justru informasi dari luar sistem pemerintah daerah mengarah pada adanya fenomena pemberian sejumlah uang untuk jabatan tertentu; meskipun ini juga sulit dibuktikan kebenarannya.

(20)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

130

Berdasarkan simpulan di muka maka dalam laporan penelitian ini akan diajukan beberapa saran antara lain : 1.6. Perlu adanya peninjauan terhadap

pasal-pasal yang mengatur tentang jumlah kepengurusan, struktur dan susunan Baperjakat, meskipun dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, daerah diberikan deskresi kewenangan termasuk penyusunan kepengurusan Baperjakat

1.7. Meskipun telah dikeluarkan aturan tentang pengangkatan PNS untuk menduduki jabatan publik yang bersifat struktural, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural; seharusnya Pengawasan Preventif dan Represif yang dipegang Gubernur sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat di Daerah harus didayagunakan secara efektif, berani dan tegas, agar tidak ada penyelewengan kekuasaan di daerah. 1.8. Para pimpinan daerah yang telah terpilih dalam Pemilu Kada atas usungan Partai Politik tetentu, harus melepaskan semua atribut kepartaiannya dan mereposisikan dirinya sebagai Pejabat Negara

bukan sebagai Pejabat Partai Politik di Pemerintah Daerah, sehingga bisa mengurangi derajat pengaruh kepentingan politik atas kebijakan dan keputusan politik yang dikeluarkannya, termasuk dalam rangka pengangkatan dan promosi jabatan di sejamlah SKPD di Daerahnya.

1.9. Para Pimpinan Daerah ketika menjabat tidak diperkenakan untuk membangun jaringan keluarga dalam sistem pemerintahan dengan mengangkat dan mempromosikan kerabatnya secara membabi buta, kalaupun toh harus dilakukan mesti mengutamakan profesionalisme dan nilai-nilai meritokrasi.

1.10. Para Pimpinan Daerah semestinya tidak menyalahgunakan kekuasaannya bagi keuntungan pribadi dan kelompoknya dalam bidang ekonomi, termasuk penunjukan pimpinan SKPD bagi topangan kepentingan ekonomi pimpinan daerah

(21)

pendekatan Balance Scorecard yang akan disesuaikan dengan prinsip-prinsip organisasi pemerintah daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Afan Gaffar, (2004), Politik

Indonesia Transisi

Menuju Demokrasi,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Afan Gaffar, (2000), “Otonomi Daerah, Pembangunan Daerah, dan Kesempatan Kerja”, Makalah pada Seminar Nasional Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja, Surakarta 16 Desember 2000.

Crouch, Harold, (1986), Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. Indonesia, University of

California Press,

Kompas, “Birokrasi, Sejumlah PNS Terpengaruh Kekuatan Politik, 22 Juni 2006.

Lexy J. Moleong, (1994),

Metodologi Penelitian

Kualitatif, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Liddle, William R., (1990), “The Politics of Development Policy”, makalah pada

University, New Haven Conn.

Mohtar Mas’oed, (1994), Politik,

Birokrasi dan

Pembangunan, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

(22)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

Robison, Richard, (1981), “Culture, Politics, and Economy in the Political History of the

New Order”, Indonesia, No. 31,

Sondang P Siagian, (1994), Patologi

Birokrasi, Analisis,

Identifikasi dan

Terapinya, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Sonhaji, (2008), “Faktor Dominan dalam Menentukan Promosi Jabatan pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah di Kabupaten Boyolali”, UNS-Laporan Penelitian Tidak diterbitkan.

Sonhaji, (2011), “Pengembangan Sumberdaya Aparatur Pemerintaha Daerah pada Badan Kepegawaian Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang

Pemerintahan Daerah,

Duta Nusindo, Semarang.

Warwick, Donald P., (1975), Theory of Public Bureaucracy, Harvard University Press, Cambridge

Massachussets.

1. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian,

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890).

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Pemerintahan Daerah (Lembaran

(23)

Peraturan Pemerintah Nomnor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan

Organisasi Perangkat daerah.

Peraturan Walikota Surakarta Nomor 28 Tahun 2008 tentang Penjabaran tugas pokok, fungsi dan tata kerja Badan Kepegawaian Daerah Kota Surakarta.

(24)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 111 – 134

134

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Nasional & Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005.. tentang Guru

Jika suatu barisan yang terdiri dari n elemen yang ditempatkan dalam suatu array dan urutan yang diinginkan adalah urutan yang tidak turun (non decreasing) maka

Kedua adalah tentang ketengangan sosial yang terjadi di masyarakat Amerika Selatan pada tahun 1930an dan yang terakhir adalah ketegangan sosial yang tergambar dalam novel To Kill

Ketika menghadapi kesulitan dalam mengerjakan laporan, saya tahu apa yang harus dilakukan.. Saya yakin dengan kemampuan saya untuk menyelesaikan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini dengan judul

Untuk memenangkan permainan ini pemain harus membuat garis lurus baik diagonal maupun horizontal dengan memggunakan 3 pion yang dimiliki dan garis tersebut bukanlah garis awal

Berdasarkan Pasal 71 ayat (7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa

Pembuatan aplikasi game Jackpot ini dilakukan melalui empat tahap utama, yaitu pengumpulan data mengenai bahasa pemrograman Java dan teknologi J2ME dari buku-buku referensi,