• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK WARIA DI SALATIGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK WARIA DI SALATIGA"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK WARIA DI SALATIGA

OLEH

SANDRA LAELATUS SAMIAJI 802014149

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

2018

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sandra Laelatus Samiaji

Nim : 802014149

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalti non-ekslusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya berjudul:

PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK WARIA DI SALATIGA

Dengan hak bebas royalty non-ekslusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media atau mengalih formatkan, mengelola dalam pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga Pada Tanggal : 17 Juli 2018 Yang menyatakan,

Sandra Laelatus Samiaji

Mengetahui, Pembimbing

Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sandra Laelatus Samiaji

Nim : 802014149

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK WARIA DI SALATIGA

Yang dibimbing oleh:

Enjang Wahyuningrum, M.Si.,Psi.

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambaran serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 17 Juli 2018

Yang memberi pernyataan,

Sandra Laelatus Samiaji

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK WARIA DI SALATIGA

Oleh

Sandra Laelatus Samiaji 802014149 TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjanan Psikologi

Disetujui Pada tanggal 23 Agustus 2018 Oleh:

Pembimbing,

Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.

Diketahui Oleh, Kaprodi

Ratriana Y. E. Kusumiati, M.Si., Psi.

Disahkan Oleh, Dekan

Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi.,MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

2018

(7)

PENERIMAAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK WARIA DI SALATIGA

Sandra Laelatus Samiaji Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

2018

(8)

i ABSTRAK

Waria dipandang sebelah mata karena mereka dianggap sebagai orang yang merubah kodrat akan jenis kelaminya. Orang tua harus menanggung malu dari perilaku anak yang menyimpang. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat penerimaan orang tua yang memiliki anak waria di Salatiga. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif, teknik purposive sampling. Karakteristik yang digunakan dalam penelitian adalah, orang tua yang memiliki anak waria dan masih tinggal bersama dengan anak warianya. Jumlah subjek dalam penelitian ada tiga orang yang berdomisili di daerah Salatiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan orang tua dari ketiga subjek cenderung rendah. Ketiga subjek menuntut anaknya untuk merubah penampilan yang tidak sesuai dengan harapan orang tua. Subjek sudah berusaha untuk terus menerus menasehati anaknya, subjek juga memberikan pendampingan dengan mempertahankan anak untuk tetap tinggal besama, dengan harapan dapat menekan keinginan anak yang lebih menyimpang.

Kata kunci : Penerimaan Orang Tua, orang tua yang memiliki anak waria, waria

(9)

ii ABSTRACT

Transgender is underestimated because they are considered a person who changed his gender and violate nature. Parents should bear the shame of a child’s behavior. This study was conducted with the aim to see the acceptance of parentswho have transgender children in the city of Salatiga. This study uses qualitative research method with descriptive type, purposive technique. Characteristics used in the study, parents who have transgender children and still living with his so. The number of subjects in this study thete are three people who live in the city of Salatiga. The results showed that parents’ acceptance of the three subjects tended to be low. The three subjects demanded their child to change the appearance that does not match the expectations of parents.

The subject has beeb trying to constantly advise his son, Subjects also provide mentoring by keeping their children to live together, in hopes of suppressing the more distorted desire of the child.

Keywords : Parents Acceptance. Parents who have transvestites, Transgender

(10)

1

PENDAHULUAN

Waria merupakan kependekan dari wanita pria, dalam kehidupan bermasyarakat waria bukan lagi hal yang baru. Waria saat ini mudah dijumpai terutama di salon-salon kecantikan. Data dari Kemenkes, pada tahun 2012 saja jumlah waria diperkirakan mencapai 68 orang. Dalam kehidupan bermasyarakat para waria masih dipandang sebelah mata karena mereka dianggap sebagai orang yang merubah kodrat akan jenis kelaminnya. Menurut Sarah (dalam Putri, 2009), waria yaitu sikap dan perilaku maskulin berubah atau merubah diri ke sikap dan perilaku feminim. Proses yang dilalui waria sangat panjang untuk memilih hidup sebagai waria. Waria akan mengalami kebingungan identitas, kurang diterima dalam keluarga karena setiap orang tua mengharapkan anaknya tumbuh sesuai dengan kodratnya, dan konsekuensi hidup dimasyarakat yang belum menerima waria dengan baik.

Waria dalam psikologis termasuk sebagai transeksualisme, yakni seseorang yang secara jasmani jenis kelaminya jelas dan sempurna. Namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis (Heuneken, dalam Koeswinarno, 2004).

Ariyanto dan Triawan (2012) mengungkapkan pada umumnya, transgender dan transeksual menjalankan satu proses transisi atau transitioning, yaitu merubah penampilannya mengarah ke gender lain. Hal tersebut pasti mendapat reaksi yang negatif dari lingkungan sekitar terutama keluarga.

Menurut Safri (2016) waria hadir dan tumbuh dari berbagai macam karakter keluarga, waria dapat lahir dari keluarga yang harmonis, broken home, agamis, penuh kelemahlembutan maupun dari keluarga yang keras. Keluarga sendiri terdiri dari, orangtua (bapak/ibu), saudara kandung (kakak dan adik). Kehadiran waria tidak dapat ditolak, penyebabnya sangat rumit dan mereka dapat tumbuh dari berbagai macam

(11)

karakter keluarga. Keberadaan waria masih belum diterima di lingkungan masyarakat karena waria dianggap menyimpang dari apa yang seharusnya masyarakat harapkan dari nilai budaya, nilau hukum dan agama hal tersebut yang membuat sebagian masyarakat menunjukkan sikap yang negatif tarhadap waria. Hal tersebut membuat mayoritas keluarga melakukan penolakan terhadap anggota keluarganya yang memilih untuk menjadi waria. Menurut Nadia (2005) tidak banyak waria diterima baik oleh keluarganya biasanya hubungan waria dengan keluarga akan buruk, karena keluarga mereka tidak menerima keputusan anaknya untuk menjadi waria. Keluarga menganggap keputusan itu adalah aib bagi keluarga, perbuatan dosa, dan membuat malu keluarga.

Tidak ada orang tua yang berharap anaknya berperilaku menyimpang dari nilai budaya dan agama, mereka pasti mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses dan juga berguna bagi nusa dan bangsanya.

Peneliti melakukan wawancara awal pada hari Jumat, 2 Maret 2018 dengan salah satu subjek yang memiliki anak waria. Subjek memiliki anak laki-laki yang berperilaku seperti wanita, bahkan ketiga anak laki-laki subjek berperilaku yang sama. Pada awalnya subjek tidak menerima perubahan dari ketiga orang anak laki-lakinya, banyak hal yang pernah dilakukan untuk membuat anaknya sadar. Namun usahanya tidak membuahkan hasil, subjek pun juga tidak dapat bertindak keras terhadap anaknya karena sadar sebagai orang tua subjek tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya subjek pun juga tidak dapat membiyayai pendidikan anaknya sampai tamat SMA, justru ketiga orang anak subjek yang menjadi waria saat ini yang membantu perekonomian keluarga.

Penerimaan keluarga adalah hal penting bagi waria karena penerimaan keluarga akan membuat waria merasa diterima dan membuat waria lebih percaya diri.

Penerimaan orang tua adalah perasaan atau perilaku orang tua yang dapat menerima

(12)

keberadaan anaknya tanpa syarat, menyadari bahwa anak juga memiliki hak untuk menjadi individu yang mandiri (Porter, 1954). Keluarga waria sebenarnya juga mengalami berbagai permasalahan yang menjadi beban keluarga terutama orang tua.

Beban bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga waria sering kali akan merasa malu dengan tetangga karena anggota keluarga mereka berperilaku yang tidak sesuai dengan norma adat dan budaya setempat, dalam agama pun waria dianggap sebagai orang yang merubah kodrat dan orang tua pun akan merasa gagal dalam mendidik anak sehingga anaknya tumbuh menjadi waria. Hal di atas sependapat dengan penelitian dari Safri (2016) yang dilakukan pada satu orang tua yang memiliki anak waria, bahwa keluarga pasti menolak perubahan anak yang menjadi waria, tidak hanya menolak namun juga ada tindakan kekerasan fisik yang dilakukan anggota keluarga untuk menolak kehadirannya, karena perubahan menjadi waria adalah aib keluarga, melanggar kondrat tuhan, dan keluarga menjadi cemooh tetangga. Beban yang akan ditanggung keluarga lebih besar jika dalam satu keluarga memiliki anggota waria dan bahkan jika dalam satu keluarga jumlahnya lebih dari satu yang menjadi waria. Waria tidak hanya menimbulkan penderitaan dan juga permasalahan bagi waria itu sendiri tetapi juga bagi orang terdekat waria yaitu keluarga yang paling merasakan dampak dari keputusan salah satu anggota keluarganya.

Rumusan Masalah

Bagaimana penerimaan orang tua yang memiliki anak waria ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini untuk mengidentifikasi bagaimana penerimaan keluarga yang memiliki anak waria.

(13)

Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu dalam bidang psikologi dan juga memberikan informasi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian dengan kasus yang sama.

2. Secara Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai penerimaan keluarga yang memiliki anggota keluarga waria dan juga diharapkan dengan adanya penelitian ini waria dapat lebih diterima di keluarga dan masyarakat.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA A. WARIA

1. Pengertian Waria

Waria secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaian atau atribut lain dari jenis kelaminnya (Koeswinarno, 2004). Menurut Nadia (2005), waria sebagai individu yang sejak lahir memiliki jenis kelamin laki-laki, akan tetapi dalam proses berikutnya menolak bahwa dirinya seorang laki-laki. Untuk itu berbagai cara dilakukan untuk menghilangkan atribut laki-laki atau pun wanita ke atribut kebalikan dari jenis kelaminnya. Menurut Yash (2003) mengartikan transeksual sebagi masalah identitas jenis kelamin, kesadaran mental yang dimiliki individu tentang jenis kelaminnya, laki-laki ataupun perempuan.

Berdasarkan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa waria (transgender) memiliki gangguan pada diri seseorang atau dalam psikologi disebut gangguan identitas jenis yang ditandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap alat kelaminnya, maka dari itu mereka berperilaku yang sesuai dengan keinginannya yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai kepuasan karena dapat berperan sesuai dengan jiwanya atau harapannya.

2. Jenis-jenis Waria

Waria sendiri memiliki beberapa macam jenis, menurut Almojo (dalam Nadia, 2005), ada 3 jenis waria yaitu :

(15)

a. Transeksual aseksual, adalah seorang transeksual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.

b. Transeksual homoseksual, adalah seorang transeksual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ketahap transeksual murni.

c. Transeksual heterogen, adalah seorang transeksual yang pernah menjalani kehidupan heterogen sebelumnya, misalnya pernikahan.

3. Faktor Pembentukan diri Waria

Ada beberapa faktor yang membentuk sesorang menjadi waria, menurut Puspitosari dan Pujileksono (2005) ada beberapa faktor penyebab menjadi waria, yaitu :

a. Faktor biologis

Menjadi waria dapat disebabkan karena faktor biologis, dimana hormon seksualnya lebih didominasi oleh hormon perempuan hal ini merupakan faktor genetik. Dominannya hormon seksual perempuan akan mempengaruhi pola perilaku seseorang menjadi lebih feminim dan berperilaku tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.

b. Faktor pengalaman belajar sosial (social learning experience)

Seseorang menjadi waria juga dapat disebabkan oleh faktor sosial, keadaan sosial juga dapat berpengaruh karena kondisi lingkungan yang kurang kondusif akan mendorong adanya penyimpangan perilaku seksual. Pola asuh orang tua pun juga dapat berpengaruh terhadap pembentukan anak.

(16)

B. PENERIMAAN KELUARGA

1. Definisi Penerimaan Orang Tua

Penerimaan orang tua adalah perasaan atau perilaku orang tua yang dapat menerima keberadaan anaknya tanpa syarat, menyadari bahwa anak juga memiliki hak untuk menjadi individu yang mandiri (Porter, 1954).

Menurut Yusuf (2002) penerimaan keluarga adalah salah satu tingkat kemampuan dan keinginan keluarga untuk hidup dengan segala karakteristik yang ada di dalamnya. Menurut Suwaji (2014) penerimaan orang tua adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya yang tidak sesuai dengan harapannya.

Berdasarkan beberapa pengertian penerimaan orang tua dapat disimpulkan bahwa penerimaan orang tua adalah perilaku orang tua yang menerima segala karakteristik anggota keluarga dan tidak memaksakan anggota keluarga sesuai dengan harapannya.

2. Aspek-aspek Penerimaan Orang Tua

Hurlock (1995) aspek penerimaan orang tua yaitu :

a. Terlibat dengan anak yaitu sikap menerima ditunjukkan dengan keterlibatan secara aktif dari orang yang menerima terhadap aktifitas- aktifitas yang dapat memberikan kebahagiaan bagi orang yang menerimanya. Menurut Gonzalez dan Wolters (2006) partisipasi orang tua mencerminkan sejauh mana orang tua hadir dan menyisipkan diri mereka ke dalam kehidupan anak-anaknya.

b. Memperhatikan rencana dan cita-cita anak yaitu turut serta memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat anak

(17)

semakin maju serta menjadi lebih baik. Menurut Coopersmith (1967) bahwa penerimaan orang tua terungkap melalui perhatian pada anak, kepekaan terhadap anak, ungkapan kasih sayang dan hubungan yang penuh kebahagiaan dengan anak.

c. Menunjukkan kasih sayang yaitu adanya upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikis .

d. Berdialog secara baik dengan anak yaitu bertutur kata dengan baik dan bijak adalah cermin bahwa ia ingin menerima dan menghargai orang lain.

e. Menerima anak sebagai seorang individu (person) yaitu tidak ada satu individu yang sama. Untuk itu, harus menerima kekurangan dan kelebihan secara lapang dada sehingga tidak membandingkan satu anak dengan anak lain.

f. Memberikan bimbingan dan semangat motivasi yaitu memberikan bimbingan dan semangat motivasi untuk maju dan lebih baik tidak cukup dari dalam diri, dibutuhkan motivasi eksternal untuk memompa motivasi orang yang bisa menerima orang lain secara ikhlas akan dapat memotivasi, membimbing dan memberi semangat sebab kemajuan orang yang dibimbing adalah bagian dari kebahagiaannya.

g. Memberi teladan yaitu memberikan contoh perilaku-perilaku yang baik pada anak.

h. Tidak menuntut berlebihan yaitu dapat menerima keadaan anak dan tidak memaksakan keinginannya agar anak menjadi seperti keinginan orangtua.

(18)

3. Tahap-tahap Penerimaan Orang tua

Menurut (Rose, dalam Sarasvati 2004) tahap penerimaan orang tua yaitu:

a. Tahap denial (penolakan) Penolakan biasanya hanya pertahanan sementara bagi individu.

b. Tahap anger (marah) rasa marah membuat orang sangat sulit untuk peduli. Banyak individu yang melambangkan kemarahan dalam kehidupan dengan tunduk pada kebencian dan kecemburuan.

c. Tahap bargainning (tawar menawar) individu bernegosiasi untuk kehidupan yang lebih baik dengan mempertimbangkan informasi- informasi yang didapatkan.

d. Tahap depression (depresi) individu lebih banyak diam, menolak orang lain dan menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan berduka. Proses ini memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari rasa cinta dan kasih sayang.

e. Tahap acceptance (penerimaan) individu mulai menerima kenyataan- kenyataan yang terjadi didalam hidupnya.

4. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan orang tua

Hurlock (1995) menjelaskan faktor-faktor penerimaan orang tua seperti :

a. Konsep “anak idaman”

b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya.

c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak

(19)

d. Orang tua yang mempunyai penyesuaian yang terhadap perkawinan, akan mencerminkan penyesuaian yang terbaik terhadap perkawinan, akan mencerminkan penyesuaian yang baik pada anak

e. Orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua

f. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berpusat pada keluarga

g. Alasan memiliki anak

(20)

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Alasan peneliti memilih metode penelitian kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai penerimaan orang tua yang memiliki anggota keluarga waria. Dengan menggunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang ada. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif analitis yang memberikan gambaran individu atau kelompok yang diteliti. Menurut Sugiono (2008) penelitian kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci.

B. Kancah Penelitian

Kancah penelitian untuk mengumpulkan data dan informasi perlu ditetapkan agar penelitian sesuai dengan tujuan penelitian ini. Kancah penelitian ini adalah penerimaan orang tua yang memiliki anak waria. Penelitian ini juga menggunakan tiga orang subjek.

C. Subjek Penelitian dan Cara Penentuan Subjek Penelitian

Subjek penelitian dengan karakteristik yang ditetapkan peneliti seperti : 1. Orang tua yang memiliki anak waria

2. Orang tua yang tinggal bersama anak warianya

Teknik yang dipilih untuk menentukan partisipan menggunakan teknik purposive sampel atau teknik sampling yang bertujuan, dimana sampel tidak

(21)

diambil secara acak tetapi sampel dipilih mengikuti kriteria yang sudah ditentukan dan kepada partisipan ditanya juga kesediaannya untuk menjadi partisipan penelitian (Poerwandari, 2005)

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara (interview) dan pengamatan (observation). Menurut Lofland (dalam Moleong, 2005) menjelaskan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan foto. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan sesuai dengan permasalahan penelitian berdasarkan teori-teori yang digunakan pada penelitian ini. Pedoman wawancara dalam penelitian mengacu pada aspek- aspek penerimaan orang tua dari Hurlock (1995) yang meliputi : Terlibat dengan anak, memperhatikan rencana dan cita-cita anak, menunjukan kasih sayang, berdialog secara baik, menerima anak sebagai seorang individu, memberikan bimbingan serta motivasi, memberi teladan, menuntut berlebihan.

E. Analisis data

Proses analisis dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah di dapat dari hasil wawancara dan pengamatan yang sudah ditulis dalam catatan lapangan (Moleong, 2005). Dalam analisa data yang perlu dilakukan :

1. Reduksi

Membaca dan mempelajari secara teliti seluruh data-data yang sudah terkumpul, lalu mereduksi data-data yang tidak relevan dengan penelitian.

Maksudnya menghaluskan pencatatan data yang di dapat dari lapangan penelitian.

(22)

2. Penyusunan Satuan

Satuan mengarah pada suatu pengertian atau suatu tindakan yang diperlukan oleh peneliti dan hendaknya satuan itu menarik. Dalam penyusunan satuan, peneliti terlebih dahulu membaca dan mempelajari data yang terkumpul dengan teliti baru mengidentifikasinya dan memberikan kode yang mudah dipahami.

3. Kategorisasi

Tugas kategorisasi menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2005) adalah :

a) Pengelompokan kartu-kartu yang telah dibuat ke dalam bagian-bagian isi yang secara jelas berkaitan.

b) Merumuskan aturan yang menguraikan kawasan kategori dan yang akhirnya dapat digunakan untuk menetapkan inklusi setiap kartu pada kategori dan juga sebagai dasar untuk pemeriksaan keabsahan data.

c) Menjaga agar setiap kategori yang telah disusun satu dengan yang lainnya mengikuti prinsip taat asas.

4. Pemeriksaan Keabsahan data

Untuk memenuhi kriteria keabsahan data, maka peneliti menggunakan teknik triangulasi data dan member check. Penelitian ini menggunakan triangulasi yang memanfaatkan penggunaan sumber, yaitu menggali informasi tentang subjek penelitian dari orang-orang terdekat subjek, seperti tetangga, saudara, anak subjek.

(23)

5. Penafsiran

Tujuan yang ingin dicapai dalam penafsiran data adalah deskripsi analitik yang merupakan rancangan organisasional dan dikembangkan dalam deskripsi analitik yang merupakan rancangan organisasional dan dikembangkan dalam kategori-kategori yang ditemukan, dan hubungan- hubungan yang muncul dari data

6. Kesimpulan

Setelah melakukan langkah-langkah diatas, peneliti dapat memperoleh pemahaman dan pengertian mendalam tentang keseluruhan data yang sudah diolah dan dapat menarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan dari penelitian.

(24)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan data dengan wawancara dan observasi. Dalam masa-masa persiapan peneliti melakukan beberapa persiapan yang nantinya digunakan selama penelitian berlangsung. Seperti mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian seperti interview guide, tipe recorder, buku, bolpoint yang akan digunakan selama proses wawancara berlangsung.

Peneliti dapat mengenal subjek 1, 2 dan 3 dari rekomendasi rekan peneliti yang memiliki tetangga ataupun teman yang memiliki anak waria.

Dalam membangun rapport peneliti melakukan pendekatan yang berbeda- beda, ada yang 1 bulan ada yang sampai 3 bulan. Tidak semua subjek langsung bersedia untuk menjadi subjek penelitian, hal tersebut dikarenakan rasa malu. Namun akhirnya subjek menyetujui dikarenakan penjelasan yang berisi kerahasiaan data yang diberikan subjek, identitasnya pun tidak dicantumkan dan hanya diperuntukan sebagai referensi penelitian.

(25)

16 Berikut ini tabel interview guide yang mengacu pada aspek Hurlock (1995) :

TABEL.1 INTERVIEW GUIDE

ASPEK INDIKATOR ITEM

Terlibat dengan anak keterlibatan secara aktif terhadap aktifitas- aktifitas yang dapat memberikan kebahagiaan bagi orang yang menerimanya.

 Bagaimana keterlibatan anda dalam kegiatan anak anda?

Memperhatikan rencana dan cita- cita anak

turut serta memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat anak semakin maju serta menjadi lebih baik.

 Bagaimana keterlibatan anda dalam mengembangkan dan memajukan anak anda

? Menunjukan kasih sayang adanya upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan

baik fisik maupun psikis

 Bagaimana upaya anda dalam memenuhi kebutuhan anak fisik maupun psikis anda ? Berdialog secara baik dengan anak bertutur kata dengan baik dan bijak  Bagaimana komunikasi anda dengan anak

anda ? Menerima anak sebagai seorang

individu (person)

menerima kekurangan dan kelebihan secara lapang dada sehingga tidak membandingkan satu anak dengan anak lain

 Apakah anda pernah atau sering membandingan anak anda dengan orang lain yang keadaa

Memberikan bimbingan dan semangat motivasi

memberikan bimbingan dan semangat motivasi untuk maju dan lebih baik

 Bagaimana cara anda memotivasi anak anda untuk hal-hal yang membuat anak anda lebih maju atau lebih baik ?

Memberi teladan Memberikan contoh perilaku-perilaku yang baik pada anak

 Bagaimana anda dalam memberikan contoh teladan untuk anak anda ?

Tidak menuntut berlebihan dapat menerima keadaan anak dan tidak memaksakan keinginannya agar anak menjadi seperti keinginan orangtua.

 Melihat anak menjadi waria apakah anda menerima hal itu dengan lapang dada atau masih dengan perasaan terpaksa ?

 Bagaimana penerimaan anda dalam menerima keadaan anak anda saat ini ?

(26)

2. Pelaksanaan Penelitian

Peneliti mencari informasi tentang calon-calon subjek melalui orang- orang yang peneliti kenal. Berdasarkan rekomendasi dari orang-orang yang peneliti kenal mendapatkan 3 orang subjek yang sesuai dengan karakteristik penelitian yang sudah ditentukan. Namun ketika ditanya kesediaan menjadi subjek penelitian ada 1 orang subjek yang tidak bersedia dengan alasan malu, 2 di antaranya bersedia untuk menjadi subjek. Peneliti berusaha mencari subjek lagi yang sesuai dengan karakteristik penelitian dan juga bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Setelah bertanya-tanya akhirnya peneliti menemukan subjek ke 3 yang bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Sebelum peneliti melakukan wawancara, peneliti membangun rapport dengan seminggu sampai dua minggu sekali datang ke rumah ataupun ke warung subjek dalam waktu 1 ada juga yang sampai 3 bulan.

Terkadang ketika peneliti datang berkunjung ke rumah, subjek sedang tidak berada di rumah, karena ada salah satu subjek yang memiliki jam kerja yang tidak menentu.

Setelah membangun rapport peneliti melakukan wawancara secara resmi yang dilaksanakan 26 Maret -1 Mei 2018, wawancara dilakukan sebanyak 2 – 3 kali pertemuan dengan durasi 30-55 menit. Selama wawancara berlangsung peneliti juga melakukan observasi terdahap subjek, observasi yang dilakukan peneliti sesegera mungkin di catat agar tidak terlupa.

(27)

B. Keterangan Subjek 1. Analisa data

Untuk memperjelas kategorisasi, maka peneliti menyajikan data dari setiap subjek sebagai berikut :

a. Subjek Penelitian I

Nama : SK

Umur : 63 tahun Asal : Salatiga Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SD

Pekerjaan : Pedagang Tahu Campur

1) Gambaran Umum Subjek

Subjek adalah ibu yang memiliki anak waria. Subjek memiliki anak tujuh yang terdiri dari tiga anak perempuan dan empat anak laki- laki. Dari keempat anak laki-laki subjek mereka bertingkah laku seperti wanita. Dua di antaranya masih berpakaian laki-laki walaupun gayanya tetap centil seperti perempuan, dua yang lain sudah berpenampilan perempuan dan memiliki payudara. Semua anak subjek sudah tidak tinggal bersama subjek di karenakan mereka sudah memiliki rumah sendiri dan subjek pun juga sudah memiliki suami kembali. Dari keempat anak subjek dua diantara memiliki anak dan pernah berumah tangga, walaupun rumah tangganya akhirnya pun bercerai. Walaupun sudah tinggal sendiri sebagai orang tua subjek masih mencukupi beberapa kebutuhan anaknya, sering kali subjek berkunjung ke rumah anaknya. Dalam kehidupan bermasyarakat

(28)

subjek masih sering mendapatkan cibiran dari tetangga subjek dengan mengatas namankan agama. Hal itu terkadang membuat subjek malu dan merasa gagal sebagai orang tua karena selama dua belas tahun subjek pernah menjadi TKW sehingga ia tidak dapat mendidik anaknya seperti orang lain, setelah pulang menjadi TKW subjek pun kaget melihat perubahan anaknya yang menjadi seperti perempuan.

Dimasa tuanya subjek ingin fokus untuk bekerja dan memotivasi anaknya agar kembali menjadi laki-laki dan memiliki keluarga nantinya.

2) Hasil Observasi

Observasi dilakukan pada tanggal 4 Februari 2018 pada saat itu pertemuan awal peneliti dengan subjek beserta anaknya. Hubungan subjek dan anak baik-baik saja tidak ada keributan, cara berbicara subjek dengan anaknya juga sama seperti orang tua kepada anaknya, subjek dengan anaknya juga sering bercanda dan berbicara biasa saja.

Pada saat itu pun yang terlihat hubungan anak subjek dengan saudara- saudara yang lain juga baik-baik saja. Wawancara dilakukan tanggal 26 Maret 2018. Pada saat proses wawancara subjek sudah mulai terbuka dan mau menceritakan terkait dengan topik penelitian. Selama proses wawancara terlihat emosi subjek yang naik turun, hal tersebut terlihat dari mimik wajah dan nada suara yang terkadang tinggi dan turun. Untuk pertanyaan tertentu terkadang subjek terlihat merasa sedih karena bercerita dengan menunduk, dahi yang dikerutkan dan sesekali membuang nafas baru menjawab pertanyaan dengan nada

(29)

yang pelan. Namun di pertanyaan tertentu subjek menunjukkan kemarahan dengan nada yang tinggi dan sedikit marah.

Dari segi fisik subjek memiliki tinggi badan kurang lebih 150 cm dengan badan yang sedikit gemuk, berkulit sawo matang, memiliki bentuk wajah yang bulat, memiliki tahi lalat di kening, rambut hitam agak ikal, dan setiap harinya ketika berjualan maupun dirumah ikat seperti disanggul. Subjek adalah orang yang ramah dan baik, hal tersebut terlihat dari awal pertemuan peneliti dengan subjek yang langsung menyapa dan memberikan suguhan tahu campur secara gratis.

3) Triangulasi Sumber

Untuk subjek SK, peneliti melakukan triangulasi data pada anak pertama SK yang berinisial HY. Menurut HY, SK adalah orang yang sabar dan baik karena ketika menghadapi masalah SK selalu sabar, SK hampir tidak pernah marah walaupun melihat dan berkomunikasi dengan adiknya yang menjadi waria, ketika adiknya dinasehati dan marah terhadap SK namun SK pun tetap sabar, SK hanya menangis ketika adiknya berbicara kasar terhadap SK. Ketika SK dan adiknya sedang berbicara HY tidak pernah ikut campur karena ketika HY ikut menasehati, adiknya justru tambah emosi. Menurut HY saat ini SK sedang mengarahkan adiknya untuk berjualan nasi goreng kembali dan merubah penampilannya sedikit demi sedikit.

(30)

4) Hasil Analisa

a) Terlibat dengan anak

Masih ada keterlibatan subjek dengan anaknya yang menjadi waria, seperti dalam pengambilan keputusan yang dilakukan anaknya, subjek masih ikut serta walaupun ada beberapa hal yang subjek larang namun tetap dilakukan anaknya. Seperti yang diungkapkan di bawah ini :

“Kaya payudaranya yang mau disuntik saya tidak boleh.

Jangan disuntik sebab apa? Sebab besok kalau, orang kan tidak tahu ya tuhan mentakdirkan manusia meninggal kapan kan muda mati tua mat.”(SK 54-57)

Walaupun subjek tidak memperbolehkan anaknya untuk suntik payudaya tetapi hal itu tetap dilakukan anak SK. Sering kali subjek dengan anaknya bertengkar dikarenakan aktivitas- aktivitas yang dilakukan oleh anaknya. Seperti yang diungkapkan di bawah ini:

“Ya sebetulnya gini ngapa ikut campur-campur orang kamu gak mencukupi yang penting saya tidak merugikan, tidak mencuri gitu bilangnya” (SK 71-73)

b) Memperhatikan rencana dan cita-cita anak

Dalam kehidupan yang dijalani SK dengan kodisi anaknya yang menjadi waria, SK belum mendukung apa yang akan dikerjakan anaknya SK hanya mendorong dan mengharuskan anaknya untuk melakukan sesuai dengan kehendaknya seperti harus menikah, memiliki anak dan meneruskan berjualan nasi goreng. Seperti yang diungkapkan di bawah ini: SK 78-81

(31)

“Ya itu, saya suruh bertobat saya suruh kerja apa nasi goreng kah apa yang lain pokoknya bukan macam bencong- bencongkan yang asli laki-laki, mau meneruskan berjualan nasi goreng lagi apa kerja apa tapi pakaiannya pakaian laki-laki saya bilang gitu”(SK 78-81). “Ya tak kasih nasehat gitu. Sudah bikin rumah tiga tahun empat tahun sudah punya istri”(SK 106-107).

“Pokoknya habis buat rumah ya bagaimana ya kalau bisa ya sudah baik, trus saya suruh punya istri trus kawin trus punya keturunan satu-satu, macam gimana kalau besok gak punya keturuanan ? macam gitu, besok trus sapa yang mau jaga ?”(SK 153-156).

Hal itu dilakukan agar anaknya memiliki masa depan yang baik, dan ketika tua pun anaknya ada yang mengurusi karena subjek merasa tidak bisa selamanya menasehati dan mengurusi anaknya.

c) Menunjukkan kasih sayang

Walaupun anak subjek sudah bekerja dan merasa mampu atas hidupnya namun subjek masih memberikan sedikit uang dan bantuan ketika dalam membangun rumah anak subjek masih kekurangan dana atau hal diluar itu. Seperti yang diungkapkan dibawah ini:

“Iya, jadi misal kekurangan dia ya saya yang cari” (SK 51).

Tidak hanya untuk masalah keuangan saja namun banyak hal yang terlihat bahwa subjek sangat sayang dengan anaknya seperti ketika mau makan pun subjek masih mengambilkan atau jika anaknya belum makan subjek masih mencarikan makan. Seperti yang diungkap di bawah ini:

“Dia kalau makan pun saya ambilkan kok kalau di sini.

Saya ambilkan di piring gitu-gitu kok”. (SK 98-100)

(32)

d) Berdialog dengan baik

Dalam sehari-hari komunikasi subjek dengan anak subjek selalu baik-baik saja. Hanya saja ketika subjek mencoba menasehati lebih dalam untuk bertobat, anak subjek sedikit marah. Seperti yang diungkapkan di bawah ini:

“Ya itu dengan kakaknya, saudara lain-lain ya gitu kadang marah. Tapi kalu marah-marah dengan saya jarang” (SK 102-103). “Ya disini kan saya dengan Oky saya biasa. Ya tak kasih nasehat gitu. Sudah bikin rumah tiga tahun empat tahun sudah punya istri, kerja apa-apa gitu” (SK 105-107)

e) Menerima anak sebagai seorang individu

Subjek sampai saat ini masih belum bisa menerima anaknya menjadi waria, subjek masih menuntut anaknya untuk kembali menjadi laki-laki, hal itu karena membuat malu keluarga. Seperti yang diungkapkan di bawah ini

“Saya itu ya mbak tidak menerima mbak, kan keluarganya malu” (SK 118).

Saat di rumah pun subjek masih memperlakukan anak sebagai laki-laki seperti tetap memanggil anaknya dengan nama aslinya. Subjek pun juga sering membandingkan anaknya dengan orang lain bahkan hal itu dikomunikasikan langsung dengan anaknya, hal itu dikarenakan subjek masih belum menerima atas perubahan anaknya. Seperti yang diungkapkan di bawah ini:

“Iya ta, sering tak bandingkan sama yang lain saya bandingan adik-adik saya yang laki-laki. Saya bilang mbok kayak ini-ini kan saya gitu” (SK 113-115).

(33)

f) Memberikan bimbingan dan semangat motivasi

Subjek sering memberi motivasi dan bimbingan terhadap anaknya karena menurut subjek sebagai orang tua memiliki kewajiban untuk selalu memberikan arahan yang baik kepada anaknya, di setiap nasehat yang subjek berikan selalu membahas mengenai harapan subjek untuk anaknya bertobat dan bekerja yang baik. Seperti yang diungkapkan di bawah ini:

“Ya saya suruh berkembang seperti jual apa kerja apa gitu, kalau salon ya salon, ya opo gitu mbak. Opo mungkin opo gitu kerja opo. Nasi goreng lanjutke neh, yo ra ? gitu to mbak, nasi goreng. Kerjo nasi goreng, opo kerjo opo gitu mbak. Yo ngono mbak aku wes ngandani mbak. Yo loro-lorone ning kono mbak tak kandani. Pokoke bar ndue omah lek kawin. Sing penting aku wes nduwe kewajiban ngandani ya tak kandani” (SK 132-138).

Harapan subjek terhadap anaknya hanya ingin anaknya dapat menjadi laki-laki dan bekerja yang baik.

g) Memberi teladan

Dalam memberikan teladan yang bisa subjek lakukan dengan memberi contoh bekerja yang baik dan berprilaku yang baik dalam masyarakat. Seperti yang diuangkapkan di bawah ini:

“Ya itu, saya ajak bareng-bareng usaha jualan itu mbak.

Saya jualan siang dia bisa jualan malem. Mau jualan apa kita mendukung. Biar kerja apa-kerja apa gitu tidak macam bencong waria gitu, aku tu malu mbak”(SK 142-145).

Dengan mengajak dan memberi contoh berjualan harapan subjek terhadap anaknya dapat ikut serta berjualan dan tidak berpenampilan seperti perempuan.

(34)

h) Tidak menuntut berlebihan

Subjek selalu menuntut anaknya untuk berubah, untuk saat ini subjek memberi waktu 3-5 tahun untuk anaknya dapat belajar memperbaiki diri, nanti setelah itu subjek mengharuskan anaknya untuk menikah dan memiliki keturunan, agar kelak ketika anak subjek sudah tua dan subjek sudah tiada masih ada orang yang mengurusi anak subjek. Seperti yang diungkapkan di bawah ini:

“ya pokoknya gitu 3 tahun sampai 5 tahun harus berubah harus jadi laki-laki lagi harus mertobat punya istri punya keturunan kan gitu, nanti kerja apa-apa gitu jangan sampai tua gitu terus. Macam gimana kalau sampai tua gitu terus ?” (SK 172-176).

i) Tahap penerimaan orang tua

Tahap penerimaan orang tua yang dialami oleh SK, pada awalnya SK tidak menerima perubahan anaknya ia denial (menolak) dengan menasehati agar anaknya berubah, namun hal itu mendapat tanggapan yang kurang baik dari anaknya seperti yang diungkapkan oleh SK di bawah ini :

“Dulu pernah saya menasehati dia tapi dianya penah bilang kalau saya saja gak mencukupi kok mengatur katanya ya saya sakit hati mbak waktu dia ngomong seperti itu. Sering mbak saya bilang jangan berbuat macam itu trus lama-lama saya biarkan saja” (SK 14-18).

SK pun sempat marah (anger) pada anaknya sampai mendiamkan anaknya karena rasa marahnya. Namun SK berpikir jika anaknya tidak dinasehati takutnya anaknya justru semakin lebih parah, SK pun melakukan tawar menawar (bargainning) agar anaknya dapat menjadi laki-laki kembali, memiliki istri, anak

(35)

dan bekerja berjualan nasi goreng hal itu dilakukan agar kelak anaknya tetap ada yang mengurusi ketika tua karena SK sadar tidak selamanya ia dapat menemani anaknya dan mengurusi anaknya, seperti pendapat di bawah ini:

“Pokoknya habis buat rumah ya bagaimana ya kalau bisa ya sudah baik, trus saya suruh punya istri trus kawin trus punya keturunan satu-satu, macam gimana kalau besok gak punya keturuanan ? macam gitu, besok trus sapa yang mau jaga

?” (SK 153-156).

Pada tahap penerimaan orang tua SK hanya sampai pada tahap bargainning (tawar menawar) hanya saja pada awal-awal perubahan yang terjadi pada anaknya SK mengalami sampai tahap depression (depresi) SK merasa malu dan gagal dalam mendidik anak. Namun seiring berjalannya waktu SK lebih sering mengulang sampai tahap bargainning (tawar menawar) setelah sampai pada tahap itu jika tidak ada kesepakatan SK kembali pada tahap anger (marah) karena anaknya tidak mengikuti keinginannya. Selama wawancara SK tidak pernah mengungkapkan bahwa dirinya menerima anaknya, yang SK lakukan hanya mengulangi tahap-tahap sebelumnya.

(36)

Berikut ini adalah skema dari tahap penerimaan orang tua dari subjek SK:

Skema.1

TAHAP PENERIMAAN ORANG TUA Denial

(Penolakan)

Anger (Marah)

Bergainning (tawar menawar)

Depression (depresi)

acceptance (penerimaan)

SK (Subjek I) 1

2

4 5

3

(37)

b. Subjek Penelitian II

Nama : TK

Umur : 49 tahun Asal : Salatiga Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMP Pekerjaan : Buruh Cuci 1) Gambaran Umum Subjek

Subjek adalah ibu yang memiliki tiga orang anak, dan salah satu anak laki-lakinya menjadi waria. Anak pertama dari subjek sudah berumah tangga dan bekerja, anak kedua subjek yang berpenampilan seperti wanita dan bekerja dipabrik garmen di daerah salatiga dan memiliki pekerjaan sampingan menjadi mayoret drumblek dan model foto serta gadis payung di acara balap motor, anak ketiga subjek masih duduk di bangku SMK. Keseharian subjek bekerja sebagai buruh cuci, subjek pun juga seorang janda, yang menghidupi keluarganya sendirian. Suami subjek meninggalkan sejak anak pertama subjek masih duduk di bangku SMP, semenjak itu subjek bekerja banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat subjek sering mendapat cibiran dari tetangga-tetangga karena penampilan anaknya, subjek pun juga merasa minder ketika keluar dari rumah. Semenjak anak kedua subjek berpenampilan seperti perempuan kehidupan subjek menjadi berbeda, subjek jarang bersosialisasi dengan lingkungannya hanya acara-acara tertentu saja

(38)

subjek baru bersosialisasi dengan para tetangga. Subjek merasa gagal dalam mendidik anak, karena sampai sekarang anak kedua subjek masih berpenampilan seperti wanita, dan justru setiap harinya anak subjek semakin menjadi lebih terlihat seperti perempuan.

2) Hasil Observasi

Observasi pada subjek penelitian dilakukan pada tanggal 23 Maret 2018, sebelumnya peneliti sudah sempat berkunjung kerumah subjek namun anak subjek tidak berada dirumah, pada tanggal 23 Maret kebetuan anak subjek berada dirumah. Terlihat hubungan subjek dengan anaknya baik-baik saja, obrolan yang dilakukan antara subjek dengan anaknya pun cukup sering dan juga menggunakan nada-nada yang pelan. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 April 2018, ketika dilakukan wawancara subjek sering kali terlihat emosi subjek naik, hal tersebut terlihat dari nada suara subjek yang meninggi, dan seperti meluapkan amarah pada peneliti, dan subjek pun sempat berkaca-kaca matanya dan sedikit mengeluarkan air mata.

Ketika menjawab pertanyaan subjek sering memainkan tangan dan merunduk.

Subjek memiliki tinggi kira-kira 145 cm dengan berat badan yang cukup berisi, subjek memiliki kulit sawo matang, rambut hitam lurus, dan sering di ikat. Subjek adalah orang yang ramah, suka berbicara dan sedikit percaya diri. Karena saat wawancara berlangsung maupun belum dilakukan wawancara subjek lebih sering bertanya, dan ketika diberi pertanyaan subjek antusias untuk

(39)

menjawab, dan ketika peneliti meminta foto untuk dokumentasi subjek sempat berdandan dan menguraikan rambutnya.

3) Triangulasi Sumber

Untuk subjek TK, peneliti melakukan triangulasi data kepada SE tetangga TK yang rumahnya berdekatan dan hanya berjarak beberapa meter dari rumah TK. Menurut SE, TK adalah orang yang ramah dan senang bergaul dengan tetangga, TK dulunya sering aktif dalam berbagai kegiatan di kampung, namun semenjak anak laki-lakinya berpenampilan seperti wanita TK pun sudah tidak begitu aktif namun TK tetap ringan tangan dalam membantu tetangganya seperti saat tetangganya memiliki hajatan pernikahan ia selalu datang untuk membantu memasak dan mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan.

Dulunya TK seorang yang banyak bicara, namun ketika banyak tetangga yang sering membicarakan anaknya ia menjadi orang yang berbicara hanya seperlunya saja.

4) Hasil Analisa

Tahap penerimaan orang tua yang dialami TK, pada awalnya TK tidak menerima (denial) melihat perubahan anaknya, TK anger (marah) melihat perubahan anaknya ia malu karena hal tersebut tidak sesuai dengan norma yang ada. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“jadi nada tinggi, pengennya tu marah”(TK 222).

(40)

TK sempat mengalami depression (depresi) karena tetangga membicarakannya dan TK pun merasa malu dan minder untuk bersosialisasi. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“kadang yo tersinggung, makane aku jarang metu omah, nek ora PKK ngono kui ora metu omah kadang PKK ngono kui jek sempet ngomongke kui tapi yowislah yo ora tak rungoke.” (TK 376-379).

Setelah mengalami depression (depresi) TK kembali pada tahap anger (marah) karena setiap melihat anaknya yang berubah ia merasa gagal dan terbawa perasaan, sesekali ketika hati TK lega ia melakukan bargainning (tawar menawar) untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin anaknya. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“Sing cilik-cilik lah rasah sing gede-gede. Nek benkel yo ngono dilakoni, sopo reti nek dilakuni terus dee bakal ndue niatan kanggo berubah”.(TK 312-314)

Jika tawar menawar tersebut tidak ada kesepakatan, TK kembali pada tahapan marah. Pada saat wawancara TK mengungkapkan bahwa sampai saat ini pun TK tidak menerima atas perubahan anaknya.

a) Terlibat dengan anak

Dalam hal keterlibatan subjek dengan anaknya masih ada keterlibatan karena sebagai orang tua pasti akan terlibat di beberapa aktivitas maupun keputusan yang akan diambil oleh anaknya. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:41-43

“Yo nek keterlibatan ngono yo ijek ono nok, wong aku mbokne kae anak ku. Nopo-nopo yo kudu tak kandani, nek misal ono opo-opo karo anak ku kan aku kudu ngerti”(TK 41-43).

(41)

Dalam aktivitas anaknya yang kurang baik subjek selalu menasehati dan mengarahkan ke hal yang lebih baik. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“Pangling to nok wong anake ning omah lanang bloko kok ning foto koyo ngono kaget. Sing kedua ning facebook yo ngono. Ibu kaget tak tekok wae karo bocahe. Yo sedikit ngaku gak ngaku.” (TK 76-79).

b) Memperhatikan rencana dan cita-cita anak

Subjek tidak mendukung apa yang dilakukan anaknya ia mendorong anaknya dengan menasehati agar ke depan anak subjek dapat hidup sesuai dengan jenis kelaminnya, subjek berharap anaknya tidak bekerja dengan menggunakan atribut wanita, subjek mengharapkan anaknya bekerja yang anaknya mampu tanpa harus berpakaian seperti perempuan. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“Kalau nasehati yo mesti, mergone donyo ne mas je mbe ibu gak wes bedo. Aku wong tua, je anak sing mengkone kudune isoh ngewangi wong tuo. Aku mung isoh nasehati wae to, nek golek kerjo ki sing dee isoh, mampu. Ojo sing ngayah-ayah, yo golek sing porsine. Kui porsi wong lanang. Ngono, yo nek seiki isohe mung nasehati wae”. (TK 131-136)

c) Menunjukkan kasih sayang

Dalam menunjukkan kasih sayang yang subjek lakukan adalah dengan tetap memenuhi kebutuhan anaknya seperti masih memberi uang jajan walaupun tidak setiap hari, memenuhi kebutuhan makan dan minum serta tetap memberi kasih sayang berupa perhatian dan nasehat. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

(42)

“Masih, yo ijek to. Mas je kan nek mangkat kerjo ra tentu, jam-jaman ngono. Nek jam e dee durung tangi tapi kudune mangkat kerjo aku yo nangike dee, trus tak sediani mangan”.(TK 213-215)

d) Berdialog dengan baik

Ketika berkomunikasi subjek dengan anaknya sering menggunakan nada tinggi hal itu dikarenakan subjek terbawa emosi ketika melihat dandanan anaknya yang memakai atribut perempuan. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“Yo nek sampe seiki yo mbak, nek diomong enggak yo iyo nek diomong iyo yo ora. Yo kadang kadang. Kalau saya ngomong sama dia ya mbak saya itu bukan terpalang marah apa emosi tapi saya jengkel melihat anak saya seperti itu, emosinya itu tertahan terus kalau melihat anak saya seperti itu. Jadi nada tinggi, pengennya tu marah gitu lo”.(TK 218-223)

Subjek emosi karena merasa tidak mampu dalam mendidik anaknya dan cara peluapan emosinya dengan berbicara yang cukup kasar.

e) Menerima anak sebagai seorang individu

Subjek masih sering membanding-bandingkan anaknya yang menjadi waria dengan anak pertamanya yang berperilaku normal tidak hanya membandingkan dengan anak pertamanya namun subjek juga sering membandingkan anaknya dengan orang lain.

Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“Jadi nada tinggi, pengennya tu marah gitu lo, padahal masne yo ora koyo ngono lo jane ki.” (TK 222- 224).“Yooo, pernah to. Misale ki aku pengene nduwe anak sing membanggakan orang tua koyo sopo yo tonggoku ijek enom tapi wes isoh nyenengke mbokne”. (TK 263-265).“Yo pernah ki pernah wong pengene podo kancane to nok, wong anake kae isoh koyo ngono mosok anak ku ora”.(TK 272-273)

(43)

f) Memberikan bimbingan dan semangat motivasi

Subjek dalam memberikan bimbingan dan motivasi dengan cara menasehati untuk meninggalkan pekerjaan yang berbau perempuan, dan mulai menekuni pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki hal tersebut dilakukan dengan harapan agar anaknya terbiasa melakukan pekerjaan laki-laki dan dapat berubah. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“Yaaa, aku sih maunya tetep mendampingi anak saya sampai kapan pun sampai dia sukses kasih nasihat dulu. Seiki aku mung isohne nasehati. Tak kon golek gawean sing lanang, sing sesuai mbe awake dee. Eee, sak layake wong lanang, jane sampe saiki yo durung iso sak utuhe trimo nek anake koyo ngono, pengene yo berubah dadi dak utuhe lanang. Makane sampe seiki ijek terus tak kandani gen dee isoh berubah, isoh dadi lanang tenan”. (TK 276-282)

g) Memberi teladan

Dalam memberikan teladan subjek hanya memberikan gambaran-gambaran pekerjaan laki-laki yang dapat ditekuni.

Seperti yang diungkapka TK di bawah ini:

“Pengene ibu kan yo pie yo nek wong wedok kui kan yo kodratke gawean sing wedok nek lanang yo gawean sing lanang. Sing cilik-cilik lah rasah sing gede-gede. Nek dandan- dandan yo ngono dilakoni, sopo reti nek dilakuni terus dee bakal ndue niatan kanggo berubah”.(TK 310-314)

h) Tidak menuntut berlebihan

Subjek masih menuntut anaknya untuk kembali seperti laki- laki tidak menggunakan atribut perempuan, karena hal tersebut subjek merasa gagal dalam mendidik karena hal yang dilakukan anaknya adalah hal yang memalukan. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

(44)

“Sampe seiki nek lapang dada yo ora nok mergone, yo ijek njajak merubah ngono lo nok hisss, iki lo anak ku sing asline lanang yo tetep lanang ora ono unsur-unsur wedoke sing kemayu opo pie, nek lapang dada tekan seiki yo durung isoh, tp nek pengen merubah anakku ben isoh dadi genah meneh kui ono, yo ra mandek lahpengen merubah anakku dadi lanang meneh.”

(TK392-397).

i) Tahap penerimaan orang tua

Tahap penerimaan orang tua yang dialami TK, pada awalnya TK tidak menerima (denial) melihat perubahan anaknya, TK anger (marah) melihat perubahan anaknya ia malu karena hal tersebut tidak sesuai dengan norma yang ada. Seperti yang di ungkapkan TK di bawah ini:

“jadi nada tinggi, pengennya tu marah”(TK 222).

TK sempat mengalami depression (depresi) karena tetangga membicarakannya dan TK pun merasa malu dan minder untuk bersosialisasi. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“kadang yo tersinggung, makane aku jarang metu omah, nek ora PKK ngono kui ora metu omah kadang PKK ngono kui jek sempet ngomongke kui tapi yowislah yo ora tak rungoke.”

(TK 376-379).

Setelah mengalami depression (depresi) TK kembali pada tahap anger (marah) karena setiap melihat anaknya yang berubah ia merasa gagal dan terbawa perasaan, sesekali ketika hati TK lega ia melakukan bargainning (tawar menawar) untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin anaknya. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:

“Sing cilik-cilik lah rasah sing gede-gede. Nek benkel yo ngono dilakoni, sopo reti nek dilakuni terus dee bakal ndue niatan kanggo berubah”.(TK 312-314)

(45)

Jika tawar menawar tersebut tidak ada kesepakatan, TK kembali pada tahapan marah. Pada saat wawancara TK mengungkapkan bahwa sampai saat ini pun TK tidak menerima atas perubahan anaknya.

Berikut ini adalah skrma dari tehap penerimaan orang tua dari subjek TK:

Skema.2

TAHAP PENERIMAAN ORANG TUA

Denial (Penolakan)

Anger (Marah)

Bergainning (tawar menawar)

Depression (depresi)

acceptance (penerimaan)

TK (Subjek II) 1

2

5 3 4

(46)

c. Subjek Penelitian III

Nama : SH

Umur : 54 tahun

Asal : Salatiga

Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMA Pekerjaan : Buruh 1) Gambaran Umum Subjek

Subjek adalah seorang bapak yang memiliki anak waria, subjek memiliki dua orang anak yang pertama perempuan dan yang kedua laki- laki. subjek bekerja serabutan, terkadang subjek menjadi juru parkir, terkadang menjadi kuli bangunan pekerjaan apapun dilakukan subjek selagi bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Istrinya bekerja sebagai penjual bubur, sewaktu pagi kadang subjek membantu istri berdagang. Pekerjaan yang ditekuni subjek tidak menentu, namun apapun dilakukan subjek untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk saat ini beban tanggungan subjek tidak begitu besar dibandingkan ketika anak pertamanya masih tinggal bersama dengan subjek, beban subjek sudah sedikit berkurang karena selain anak pertamanya sudah menikah, anak pertamanya juga sedikit demi sedikit membantu perekonomian keluarga. Yang menjadi beban tanggungan terbesar subjek adalah anak keduanya, selain tidak memiliki pekerjaan yang tetap anak kedua subjek berpenampilan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Saat mengetahui anaknya menjadi seperti itu subjek pun

(47)

lebih tekun beribadah dan berkonsultasi dengan pendeta yang ada di gereja di dekat rumah subjek. Hal itu dilakukan karena subjek merasa bingung dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mendidik anaknya.

Subjek juga merasa malu ketika berkumpul dengan tetangganya.

Apalagi subjek seorang laki-laki dan merasa sangat malu sekali dengan kelakuan anaknya yang seperti itu.

2) Hasil Observasi

Wawancara dilakukan pada tanggal 16 April 2018, sebelum melakukan wawancara peneliti sering berkunjung kerumah subjek namun tidak pernah melihat anak subjek berada dirumah, dari wawancara dengan subjek mengatakan bahwa subjek dengan anaknya memang sering tidak komunikasi, subjek juga mengatakan bahwa ketika berkomunikasi itu untuk hal-hal yang penting saja. Hal itu terlihat ketika peneliti ke rumah dan menanyakan keberadaan anak subjek selalu saja tidak berada di rumah walaupun jam berkunjung peneliti berbeda-beda. Ketika wawancara subjek masih tertutup hal tersebut terlihat dari jawaban subjek yang menjawab pertanyaan dengan satu kata dan menunggu pertanyaan selanjutnya subjek pun sering menunduk ketika menjawab pertanyaan. Dari awal wawancara tidak terlihat begitu besar perubahan emosi yang terjadi pada subjek, nada suara subjek sama, subjek juga tidak pernah menjawab dengan nada tinggi, lebih banyak subjek menjawab dengan datar namun raut wajah selalu dikerutkan dan tidak pernah menjawab dengan menatap mata

(48)

peneliti. Subjek memiliki ciri fisik seperti berkulit sawo matang, tinggi badan kira-kira 169 cm dengan berat badan yang seimbang.

3) Triangulasi Sumber

Untuk subjek SH, peneliti melakukan triangulasi data ke UM istri SH.

Menurut UM, SH orang yang sabar dan penyayang walaupun SH tidak terlalu menunjukkan sikap penyayangnya, seperti masalah anak SH selalu memikirkan masa depan anaknya, SH juga terpukul melihat kelakuan anaknya, hal itu tidak ditunjukkan di depan anaknya, namun SH lebih memilih bercerita dan meminta maaf kepada UM karena tidak dapat mendidik anak mereka dengan baik. SH pun hampir tidak pernah marah ia lebih memilih untuk diam ketika nada suara anaknya meninggi ketika dinasehati. Dengan tetangga pun SH jarang ikut berkumpul, SH berbaur dengan tetangga jika ada kumpulan bapak-bapak atau ronda.

Dengan tetangga sebelah rumah pun SH hanya ngobrol seperlunya saja.

Hal itu dikarenakan rasa malu SH dengan tetangga karena banyak sekali orang-orang yang membicarakannya.

4) Hasil Analisa

a) Terlibat dengan anak

Subjek tidak terlalu terlibat langsung dalam aktivitas anaknya, namun tetap memperhatikan dan menasehati jika ada sesuatu hal yang negatif yang dilakukan anak subjek. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“Enggi, hmm nek ono perlune tok”.(SH 76).“Nek kulo gih tasih ngandani mbak”.(SH 69)

(49)

b) Memperhatikan rencana dan cita-cita anak

Subjek dalam menata masa depan anaknya dengan cara mengandalkan Tuhan, subjek tidak mendukung apa yang menjadi pilihan anaknya, yang terpenting yang dikerjakan anaknya adalah hal baik dan tidak melanggar norma seperti yang dilakukan anaknya. Bagi SH yang terpenting untuk masa depan anaknya adalah anaknya kembali menjadi laki-laki seutuhnya sesuai dengan ajaran agama. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“yo gen ngerti nek berprilaku tidak sesuai kan melanggar agama mbak, walaupun dia cuman bermain-main tapi kan itu lama-kelamaan jadi kaya gitu terus. Yo nek dikandani ngono kui lah mbak. Aku ki bingung mbak nek ngandani anakku dewe mbak.

Wes gede tapi meh tak andani mosok yo dikandani koyo ngono terus tapi nek ra dikandani ngono anake yo ra mudengan trus anake yo malah tambah koyo ngono”. (SH 128-134)

c) Menunjukkan kasih sayang

Dalam menunjukkan kasih sayang subjek masih memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis anaknya karena subjek sadar hal tersebut adalah tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua.

Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:141-143

“Aku yo ra lepas tangan, dadi peh-pehe anakku wes koyo ngono aku trus lepas tangan ki ora mbak, soale kan kui jek ono tangguanku. Tak openi selagi aku jek urip jek isoh nafkai”(SH 141- 143)

d) Berdialog dengan baik

Cara subjek berkomunikasi dengan anaknya menggunakan nada yang pelan, dan ketika menasehati anaknya subjek berbicara dari hati kehati, subjek selalu menjaga amarahnya hal itu dilakukan

(50)

agar anaknya dapat terketuk hatinya untuk bertobat. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

196-202 “Yo ora mbak, tak andanine nek pas bener-bener podo-podo enak gen dee nek diandani. Kan ning agama diajari pokoke nek ngandani koyo ngono ki dewe kudu sabarla nek podo- podo sabare kan anake pas keadaan eee, gek pie opo pie tak andanine gen penak ngono lo mbak gen podo podo enaken gen ra mumet wedine nek aku galaki opo meh pie pie meh klarang deknen ki nek diandani alon wae koyo ngono opo meneh dikandani kasar mbak tambah ndadi”.(SH 196-202)

e) Menerima anak sebagai seorang individu

Dengan perubahan anaknya menjadi waria, subjek belum bisa menerima karena hal itu melanggar agama dan norma yang ada.

Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“kulo gih agama ki nomer 1 mbak ning keluargaku, agama ki panutan hidup ku nek misal tanpa agama uripku wes mbuh pie ra karuan to mbak keadaanku seiki koyo ngene mbak aku kerjo yo pas pasan ngene ki kok yo ndelalah ono wae musibah sing nimpa aku wae keluargaku”.(SH 146-150)

Subjek pun masih sering membandingkan anaknya dengan orang lain yang tidak ada keinginan untuk berpenampilan seperti perempuan. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“Yo pernah, lawong konco-koncone sing sak pantaran mbe deknen kui sing lanang-lanang kui isoh kerjo yo genah. Yo ora koyo ngono kui”. (SH 221-223)

f) Memberikan bimbingan dan semangat motivasi

Dalam memberikan motivasi dan bimbingan subjek mencarikan pekerjaan yang dapat anaknya lakukan dan sering kali memotivasi untuk berubah, subjek sering kali berbicara agar anaknya mencoba pekerjaan yang selayaknya dapat dikerjakan laki-laki. harapan subjek jika hal itu dilakukan terus menerus dapat

(51)

membuat anaknya terbiasa bertingkah laku seperti laki-laki. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“Yo nak aku sok dong tak, pengene tak golek-goleke pekerjaan sing koyo ono lowongan pekerjaan sok dong yo tak tekok-tekoke konco-koncone kulo sing ning pabrik-pabrik opo sing kerjo ning bangunnan. Kulo ra popo mbak anakku kerjo koyo ngono tapi kerjo ne sing genah ojo koyo ngene ngono lo mbak.

Walalupun gajine kui paspasan sing biasa wae sing penting ojo adoh seko wong tuo gen isoh tak pantau juga la nek wedine nek kerjo adoh malah dekne malah tambah ndadi”.(SK 248-254)

Subjek tidak hanya memberikan nasehat-nasehat ataupun motivasi saja namun ada tindakan dan usaha untuk mendorong anaknya untuk lebih baik lagi.

g) Memberi teladan

Dalam memberikan teladan subjek setiap harinya berusaha berperilaku yang baik seperti rutin ke gereja, hal tersebut diharapkan anak subjek dapat mengikuti perilaku subjek, dan ingat kepada Tuhan jika hal yang dilakukan anak subjek itu salah.

Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“Yo, teladane ngono yo pas kegiatan-kegiatan ning grejo yo anakne tak ajak walaupun ra gelem yo tetep aku usaha. Aku yo ngei contoh koyo mangkat grejo gen diconto anakku. Yo harapku mbak. Yo nek di kon ning grejo jawababne mung ngosik-ngosik malah sue-sue ra mangkat”.( SH 323-327)

h) Tidak menuntut berlebihan

Sampai saat ini subjek masih belum dan tidak akan menerima keadaan anaknya yang menjadi waria karena hal itu dosa dan memalukan. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“Wong tuo ngendi to mbak sing nompo koyo ngono, pengene kan yo anake kembali normal to mbak, ra pengen dadi

(52)

koyo ngono. Berprilaku sing sak wajare kan aku isin”. (SH 330- 332)

i) Tahap penerimaan orang tua

Tahap penerimaan orang tua yang dialami SH, pada awalnya SH tidak menerima (denial) perubahan anaknya yang berpenampilan seperti perempuan. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:

“Wong tuo ngendi to mbak sing nompo koyo ngono, pengena kan yo anake normal to mbak, ra pengen koyo ngono.”

(SH 330-331)

SH juga anger (marah) SH marah namun hal itu tidak diungkapkan kepada anaknya karena SH tahu amarah tidak akan menyelesaikan persoalan, ia merubah amarahnya menjadi sebuah nasehat untuk anaknya, namun SH merasa gagal dalam mendidik anaknya. Yang dilakukan SH selalu melakukan tawar menawar kepada anaknya, jika hal itu tidak dapat dilakukannya ia menyuruh istrinya untuk menasehati anaknya, karena menganggap istrinya lebih dekat dengan anaknya. SH juga pernah mengalami depression (depresi) SH sempat minder dan malu untuk bersosialisasi dengan tetangga, namun mau tak mau ia harus tetap berkumpul dengan tetangga, tahap yang dilakukan SH dapat kembali kepertama atau yang kedua ketiga. Hal tersebut tergantung kondisi yang dialami SH, ketika ada tetangga yang menggunjinginya ia merasa depresi, dan setelah depresinya mereda ia mulai melakukan tawar menawar lagi dengan anaknya. Untuk tahap acceptance (penerimaan) ia tidak akan melakukan itu karena ia tahu hal itu melanggal agama

(53)

maka yang dapat dilakukan SH adalah melakukan tahap tawar menawar terus menerus.

Berikut ini adalah skema dari penerimaan orang tua dari subjek SH:

Skema.3

TAHAP PENERIMAAN ORANG TUA

acceptance (penerimaan)

Denial (Penolakan)

Anger (Marah)

Bergainning (tawar menawar)

Depression (depresi)

SH (Subjek III) 1

2

3

4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi cabai sampai panen ke-10 dan bunga kubis terlihat (Tabel 4), perlakuan pola tanam tumpangsari cabai 100% + kubis bunga

“Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.” Alasan pemilihan sampel dengan menggunakan purposive sampling adalah karena tidak semua

Untuk membuat maupun menulis file excel sebenarnya tidak terlalu sulit, karena sudah cukup banyak tersedia library atau class yang dibuat khusus untuk menangani

Pada riwayat lain yang lebih kuat juga dari Tuan Guru Najamuddin, yang mana beliau selaku dai yang berdakwah di Desa Bayan untuk penganut Wetu Telu dan beliau juga

(1) Kepala Bidang Pendapatan Asli Daerah melaksanakan tugas membantu Kepala Dinas dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pemungutan pendapatan daerah dari pajak dan

Ini terbukti bahwa masih ada masyarakat yang belum mengetahui tentang kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, maka oleh sebab itu masih banyak

Pada hasil partisipasi aktif siswa, siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran dan keaktifan siswa pada proses pembelajan berlangsung dapat dilihat

Dari output diatas dapat diketahui nilai t hitung = 13,098 dengan nilai signifikansi 0,000 < 0.05 maka H0 ditolak, yang berarti Terdapat pengaruh positif