(Penolakan)
Anger (Marah)
Bergainning (tawar menawar)
Depression (depresi)
acceptance (penerimaan)
SK (Subjek I) 1
2
4 5
3
b. Subjek Penelitian II
Nama : TK
Umur : 49 tahun Asal : Salatiga Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMP Pekerjaan : Buruh Cuci 1) Gambaran Umum Subjek
Subjek adalah ibu yang memiliki tiga orang anak, dan salah satu anak laki-lakinya menjadi waria. Anak pertama dari subjek sudah berumah tangga dan bekerja, anak kedua subjek yang berpenampilan seperti wanita dan bekerja dipabrik garmen di daerah salatiga dan memiliki pekerjaan sampingan menjadi mayoret drumblek dan model foto serta gadis payung di acara balap motor, anak ketiga subjek masih duduk di bangku SMK. Keseharian subjek bekerja sebagai buruh cuci, subjek pun juga seorang janda, yang menghidupi keluarganya sendirian. Suami subjek meninggalkan sejak anak pertama subjek masih duduk di bangku SMP, semenjak itu subjek bekerja banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat subjek sering mendapat cibiran dari tetangga-tetangga karena penampilan anaknya, subjek pun juga merasa minder ketika keluar dari rumah. Semenjak anak kedua subjek berpenampilan seperti perempuan kehidupan subjek menjadi berbeda, subjek jarang bersosialisasi dengan lingkungannya hanya acara-acara tertentu saja
subjek baru bersosialisasi dengan para tetangga. Subjek merasa gagal dalam mendidik anak, karena sampai sekarang anak kedua subjek masih berpenampilan seperti wanita, dan justru setiap harinya anak subjek semakin menjadi lebih terlihat seperti perempuan.
2) Hasil Observasi
Observasi pada subjek penelitian dilakukan pada tanggal 23 Maret 2018, sebelumnya peneliti sudah sempat berkunjung kerumah subjek namun anak subjek tidak berada dirumah, pada tanggal 23 Maret kebetuan anak subjek berada dirumah. Terlihat hubungan subjek dengan anaknya baik-baik saja, obrolan yang dilakukan antara subjek dengan anaknya pun cukup sering dan juga menggunakan nada-nada yang pelan. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 April 2018, ketika dilakukan wawancara subjek sering kali terlihat emosi subjek naik, hal tersebut terlihat dari nada suara subjek yang meninggi, dan seperti meluapkan amarah pada peneliti, dan subjek pun sempat berkaca-kaca matanya dan sedikit mengeluarkan air mata.
Ketika menjawab pertanyaan subjek sering memainkan tangan dan merunduk.
Subjek memiliki tinggi kira-kira 145 cm dengan berat badan yang cukup berisi, subjek memiliki kulit sawo matang, rambut hitam lurus, dan sering di ikat. Subjek adalah orang yang ramah, suka berbicara dan sedikit percaya diri. Karena saat wawancara berlangsung maupun belum dilakukan wawancara subjek lebih sering bertanya, dan ketika diberi pertanyaan subjek antusias untuk
menjawab, dan ketika peneliti meminta foto untuk dokumentasi subjek sempat berdandan dan menguraikan rambutnya.
3) Triangulasi Sumber
Untuk subjek TK, peneliti melakukan triangulasi data kepada SE tetangga TK yang rumahnya berdekatan dan hanya berjarak beberapa meter dari rumah TK. Menurut SE, TK adalah orang yang ramah dan senang bergaul dengan tetangga, TK dulunya sering aktif dalam berbagai kegiatan di kampung, namun semenjak anak laki-lakinya berpenampilan seperti wanita TK pun sudah tidak begitu aktif namun TK tetap ringan tangan dalam membantu tetangganya seperti saat tetangganya memiliki hajatan pernikahan ia selalu datang untuk membantu memasak dan mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan.
Dulunya TK seorang yang banyak bicara, namun ketika banyak tetangga yang sering membicarakan anaknya ia menjadi orang yang berbicara hanya seperlunya saja.
4) Hasil Analisa
Tahap penerimaan orang tua yang dialami TK, pada awalnya TK tidak menerima (denial) melihat perubahan anaknya, TK anger (marah) melihat perubahan anaknya ia malu karena hal tersebut tidak sesuai dengan norma yang ada. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“jadi nada tinggi, pengennya tu marah”(TK 222).
TK sempat mengalami depression (depresi) karena tetangga membicarakannya dan TK pun merasa malu dan minder untuk bersosialisasi. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“kadang yo tersinggung, makane aku jarang metu omah, nek ora PKK ngono kui ora metu omah kadang PKK ngono kui jek sempet ngomongke kui tapi yowislah yo ora tak rungoke.” (TK 376-379).
Setelah mengalami depression (depresi) TK kembali pada tahap anger (marah) karena setiap melihat anaknya yang berubah ia merasa gagal dan terbawa perasaan, sesekali ketika hati TK lega ia melakukan bargainning (tawar menawar) untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin anaknya. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Sing cilik-cilik lah rasah sing gede-gede. Nek benkel yo ngono dilakoni, sopo reti nek dilakuni terus dee bakal ndue niatan kanggo berubah”.(TK 312-314)
Jika tawar menawar tersebut tidak ada kesepakatan, TK kembali pada tahapan marah. Pada saat wawancara TK mengungkapkan bahwa sampai saat ini pun TK tidak menerima atas perubahan anaknya.
a) Terlibat dengan anak
Dalam hal keterlibatan subjek dengan anaknya masih ada keterlibatan karena sebagai orang tua pasti akan terlibat di beberapa aktivitas maupun keputusan yang akan diambil oleh anaknya. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:41-43
“Yo nek keterlibatan ngono yo ijek ono nok, wong aku mbokne kae anak ku. Nopo-nopo yo kudu tak kandani, nek misal ono opo-opo karo anak ku kan aku kudu ngerti”(TK 41-43).
Dalam aktivitas anaknya yang kurang baik subjek selalu menasehati dan mengarahkan ke hal yang lebih baik. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Pangling to nok wong anake ning omah lanang bloko kok ning foto koyo ngono kaget. Sing kedua ning facebook yo ngono. Ibu kaget tak tekok wae karo bocahe. Yo sedikit ngaku gak ngaku.” (TK 76-79).
b) Memperhatikan rencana dan cita-cita anak
Subjek tidak mendukung apa yang dilakukan anaknya ia mendorong anaknya dengan menasehati agar ke depan anak subjek dapat hidup sesuai dengan jenis kelaminnya, subjek berharap anaknya tidak bekerja dengan menggunakan atribut wanita, subjek mengharapkan anaknya bekerja yang anaknya mampu tanpa harus berpakaian seperti perempuan. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Kalau nasehati yo mesti, mergone donyo ne mas je mbe ibu gak wes bedo. Aku wong tua, je anak sing mengkone kudune isoh ngewangi wong tuo. Aku mung isoh nasehati wae to, nek golek kerjo ki sing dee isoh, mampu. Ojo sing ngayah-ayah, yo golek sing porsine. Kui porsi wong lanang. Ngono, yo nek seiki isohe mung nasehati wae”. (TK 131-136)
c) Menunjukkan kasih sayang
Dalam menunjukkan kasih sayang yang subjek lakukan adalah dengan tetap memenuhi kebutuhan anaknya seperti masih memberi uang jajan walaupun tidak setiap hari, memenuhi kebutuhan makan dan minum serta tetap memberi kasih sayang berupa perhatian dan nasehat. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Masih, yo ijek to. Mas je kan nek mangkat kerjo ra tentu, jam-jaman ngono. Nek jam e dee durung tangi tapi kudune mangkat kerjo aku yo nangike dee, trus tak sediani mangan”.(TK 213-215)
d) Berdialog dengan baik
Ketika berkomunikasi subjek dengan anaknya sering menggunakan nada tinggi hal itu dikarenakan subjek terbawa emosi ketika melihat dandanan anaknya yang memakai atribut perempuan. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Yo nek sampe seiki yo mbak, nek diomong enggak yo iyo nek diomong iyo yo ora. Yo kadang kadang. Kalau saya ngomong sama dia ya mbak saya itu bukan terpalang marah apa emosi tapi saya jengkel melihat anak saya seperti itu, emosinya itu tertahan terus kalau melihat anak saya seperti itu. Jadi nada tinggi, pengennya tu marah gitu lo”.(TK 218-223)
Subjek emosi karena merasa tidak mampu dalam mendidik anaknya dan cara peluapan emosinya dengan berbicara yang cukup kasar.
e) Menerima anak sebagai seorang individu
Subjek masih sering membanding-bandingkan anaknya yang menjadi waria dengan anak pertamanya yang berperilaku normal tidak hanya membandingkan dengan anak pertamanya namun subjek juga sering membandingkan anaknya dengan orang lain.
Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Jadi nada tinggi, pengennya tu marah gitu lo, padahal masne yo ora koyo ngono lo jane ki.” (TK 222-224).“Yooo, pernah to. Misale ki aku pengene nduwe anak sing membanggakan orang tua koyo sopo yo tonggoku ijek enom tapi wes isoh nyenengke mbokne”. (TK 263-265).“Yo pernah ki pernah wong pengene podo kancane to nok, wong anake kae isoh koyo ngono mosok anak ku ora”.(TK 272-273)
f) Memberikan bimbingan dan semangat motivasi
Subjek dalam memberikan bimbingan dan motivasi dengan cara menasehati untuk meninggalkan pekerjaan yang berbau perempuan, dan mulai menekuni pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki hal tersebut dilakukan dengan harapan agar anaknya terbiasa melakukan pekerjaan laki-laki dan dapat berubah. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Yaaa, aku sih maunya tetep mendampingi anak saya sampai kapan pun sampai dia sukses kasih nasihat dulu. Seiki aku mung isohne nasehati. Tak kon golek gawean sing lanang, sing sesuai mbe awake dee. Eee, sak layake wong lanang, jane sampe saiki yo durung iso sak utuhe trimo nek anake koyo ngono, pengene yo berubah dadi dak utuhe lanang. Makane sampe seiki ijek terus tak kandani gen dee isoh berubah, isoh dadi lanang tenan”. (TK 276-282)
g) Memberi teladan
Dalam memberikan teladan subjek hanya memberikan gambaran-gambaran pekerjaan laki-laki yang dapat ditekuni.
Seperti yang diungkapka TK di bawah ini:
“Pengene ibu kan yo pie yo nek wong wedok kui kan yo kodratke gawean sing wedok nek lanang yo gawean sing lanang. Sing cilik-cilik lah rasah sing gede-gede. Nek dandan-dandan yo ngono dilakoni, sopo reti nek dilakuni terus dee bakal ndue niatan kanggo berubah”.(TK 310-314)
h) Tidak menuntut berlebihan
Subjek masih menuntut anaknya untuk kembali seperti laki-laki tidak menggunakan atribut perempuan, karena hal tersebut subjek merasa gagal dalam mendidik karena hal yang dilakukan anaknya adalah hal yang memalukan. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Sampe seiki nek lapang dada yo ora nok mergone, yo ijek njajak merubah ngono lo nok hisss, iki lo anak ku sing asline lanang yo tetep lanang ora ono unsur-unsur wedoke sing kemayu opo pie, nek lapang dada tekan seiki yo durung isoh, tp nek pengen merubah anakku ben isoh dadi genah meneh kui ono, yo ra mandek lahpengen merubah anakku dadi lanang meneh.”
(TK392-397).
i) Tahap penerimaan orang tua
Tahap penerimaan orang tua yang dialami TK, pada awalnya TK tidak menerima (denial) melihat perubahan anaknya, TK anger (marah) melihat perubahan anaknya ia malu karena hal tersebut tidak sesuai dengan norma yang ada. Seperti yang di ungkapkan TK di bawah ini:
“jadi nada tinggi, pengennya tu marah”(TK 222).
TK sempat mengalami depression (depresi) karena tetangga membicarakannya dan TK pun merasa malu dan minder untuk bersosialisasi. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“kadang yo tersinggung, makane aku jarang metu omah, nek ora PKK ngono kui ora metu omah kadang PKK ngono kui jek sempet ngomongke kui tapi yowislah yo ora tak rungoke.”
(TK 376-379).
Setelah mengalami depression (depresi) TK kembali pada tahap anger (marah) karena setiap melihat anaknya yang berubah ia merasa gagal dan terbawa perasaan, sesekali ketika hati TK lega ia melakukan bargainning (tawar menawar) untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin anaknya. Seperti yang diungkapkan TK di bawah ini:
“Sing cilik-cilik lah rasah sing gede-gede. Nek benkel yo ngono dilakoni, sopo reti nek dilakuni terus dee bakal ndue niatan kanggo berubah”.(TK 312-314)
Jika tawar menawar tersebut tidak ada kesepakatan, TK kembali pada tahapan marah. Pada saat wawancara TK mengungkapkan bahwa sampai saat ini pun TK tidak menerima atas perubahan anaknya.
Berikut ini adalah skrma dari tehap penerimaan orang tua dari subjek TK:
Skema.2