Denial (Penolakan)
Anger (Marah)
Bergainning (tawar menawar)
Depression (depresi)
acceptance (penerimaan)
TK (Subjek II) 1
2
5 3 4
c. Subjek Penelitian III
Nama : SH
Umur : 54 tahun
Asal : Salatiga
Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMA Pekerjaan : Buruh 1) Gambaran Umum Subjek
Subjek adalah seorang bapak yang memiliki anak waria, subjek memiliki dua orang anak yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki. subjek bekerja serabutan, terkadang subjek menjadi juru parkir, terkadang menjadi kuli bangunan pekerjaan apapun dilakukan subjek selagi bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Istrinya bekerja sebagai penjual bubur, sewaktu pagi kadang subjek membantu istri berdagang. Pekerjaan yang ditekuni subjek tidak menentu, namun apapun dilakukan subjek untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk saat ini beban tanggungan subjek tidak begitu besar dibandingkan ketika anak pertamanya masih tinggal bersama dengan subjek, beban subjek sudah sedikit berkurang karena selain anak pertamanya sudah menikah, anak pertamanya juga sedikit demi sedikit membantu perekonomian keluarga. Yang menjadi beban tanggungan terbesar subjek adalah anak keduanya, selain tidak memiliki pekerjaan yang tetap anak kedua subjek berpenampilan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Saat mengetahui anaknya menjadi seperti itu subjek pun
lebih tekun beribadah dan berkonsultasi dengan pendeta yang ada di gereja di dekat rumah subjek. Hal itu dilakukan karena subjek merasa bingung dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mendidik anaknya.
Subjek juga merasa malu ketika berkumpul dengan tetangganya.
Apalagi subjek seorang laki-laki dan merasa sangat malu sekali dengan kelakuan anaknya yang seperti itu.
2) Hasil Observasi
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 April 2018, sebelum melakukan wawancara peneliti sering berkunjung kerumah subjek namun tidak pernah melihat anak subjek berada dirumah, dari wawancara dengan subjek mengatakan bahwa subjek dengan anaknya memang sering tidak komunikasi, subjek juga mengatakan bahwa ketika berkomunikasi itu untuk hal-hal yang penting saja. Hal itu terlihat ketika peneliti ke rumah dan menanyakan keberadaan anak subjek selalu saja tidak berada di rumah walaupun jam berkunjung peneliti berbeda-beda. Ketika wawancara subjek masih tertutup hal tersebut terlihat dari jawaban subjek yang menjawab pertanyaan dengan satu kata dan menunggu pertanyaan selanjutnya subjek pun sering menunduk ketika menjawab pertanyaan. Dari awal wawancara tidak terlihat begitu besar perubahan emosi yang terjadi pada subjek, nada suara subjek sama, subjek juga tidak pernah menjawab dengan nada tinggi, lebih banyak subjek menjawab dengan datar namun raut wajah selalu dikerutkan dan tidak pernah menjawab dengan menatap mata
peneliti. Subjek memiliki ciri fisik seperti berkulit sawo matang, tinggi badan kira-kira 169 cm dengan berat badan yang seimbang.
3) Triangulasi Sumber
Untuk subjek SH, peneliti melakukan triangulasi data ke UM istri SH.
Menurut UM, SH orang yang sabar dan penyayang walaupun SH tidak terlalu menunjukkan sikap penyayangnya, seperti masalah anak SH selalu memikirkan masa depan anaknya, SH juga terpukul melihat kelakuan anaknya, hal itu tidak ditunjukkan di depan anaknya, namun SH lebih memilih bercerita dan meminta maaf kepada UM karena tidak dapat mendidik anak mereka dengan baik. SH pun hampir tidak pernah marah ia lebih memilih untuk diam ketika nada suara anaknya meninggi ketika dinasehati. Dengan tetangga pun SH jarang ikut berkumpul, SH berbaur dengan tetangga jika ada kumpulan bapak-bapak atau ronda.
Dengan tetangga sebelah rumah pun SH hanya ngobrol seperlunya saja.
Hal itu dikarenakan rasa malu SH dengan tetangga karena banyak sekali orang-orang yang membicarakannya.
4) Hasil Analisa
a) Terlibat dengan anak
Subjek tidak terlalu terlibat langsung dalam aktivitas anaknya, namun tetap memperhatikan dan menasehati jika ada sesuatu hal yang negatif yang dilakukan anak subjek. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“Enggi, hmm nek ono perlune tok”.(SH 76).“Nek kulo gih tasih ngandani mbak”.(SH 69)
b) Memperhatikan rencana dan cita-cita anak
Subjek dalam menata masa depan anaknya dengan cara mengandalkan Tuhan, subjek tidak mendukung apa yang menjadi pilihan anaknya, yang terpenting yang dikerjakan anaknya adalah hal baik dan tidak melanggar norma seperti yang dilakukan anaknya. Bagi SH yang terpenting untuk masa depan anaknya adalah anaknya kembali menjadi laki-laki seutuhnya sesuai dengan ajaran agama. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“yo gen ngerti nek berprilaku tidak sesuai kan melanggar agama mbak, walaupun dia cuman bermain-main tapi kan itu lama-kelamaan jadi kaya gitu terus. Yo nek dikandani ngono kui lah mbak. Aku ki bingung mbak nek ngandani anakku dewe mbak.
Wes gede tapi meh tak andani mosok yo dikandani koyo ngono terus tapi nek ra dikandani ngono anake yo ra mudengan trus anake yo malah tambah koyo ngono”. (SH 128-134)
c) Menunjukkan kasih sayang
Dalam menunjukkan kasih sayang subjek masih memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis anaknya karena subjek sadar hal tersebut adalah tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua.
Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:141-143
“Aku yo ra lepas tangan, dadi peh-pehe anakku wes koyo ngono aku trus lepas tangan ki ora mbak, soale kan kui jek ono tangguanku. Tak openi selagi aku jek urip jek isoh nafkai”(SH 141-143)
d) Berdialog dengan baik
Cara subjek berkomunikasi dengan anaknya menggunakan nada yang pelan, dan ketika menasehati anaknya subjek berbicara dari hati kehati, subjek selalu menjaga amarahnya hal itu dilakukan
agar anaknya dapat terketuk hatinya untuk bertobat. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
196-202 “Yo ora mbak, tak andanine nek pas bener-bener podo-podo enak gen dee nek diandani. Kan ning agama diajari pokoke nek ngandani koyo ngono ki dewe kudu sabarla nek podo-podo sabare kan anake pas keadaan eee, gek pie opo pie tak andanine gen penak ngono lo mbak gen podo podo enaken gen ra mumet wedine nek aku galaki opo meh pie pie meh klarang deknen ki nek diandani alon wae koyo ngono opo meneh dikandani kasar mbak tambah ndadi”.(SH 196-202)
e) Menerima anak sebagai seorang individu
Dengan perubahan anaknya menjadi waria, subjek belum bisa menerima karena hal itu melanggar agama dan norma yang ada.
Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“kulo gih agama ki nomer 1 mbak ning keluargaku, agama ki panutan hidup ku nek misal tanpa agama uripku wes mbuh pie ra karuan to mbak keadaanku seiki koyo ngene mbak aku kerjo yo pas pasan ngene ki kok yo ndelalah ono wae musibah sing nimpa aku wae keluargaku”.(SH 146-150)
Subjek pun masih sering membandingkan anaknya dengan orang lain yang tidak ada keinginan untuk berpenampilan seperti perempuan. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“Yo pernah, lawong konco-koncone sing sak pantaran mbe deknen kui sing lanang-lanang kui isoh kerjo yo genah. Yo ora koyo ngono kui”. (SH 221-223)
f) Memberikan bimbingan dan semangat motivasi
Dalam memberikan motivasi dan bimbingan subjek mencarikan pekerjaan yang dapat anaknya lakukan dan sering kali memotivasi untuk berubah, subjek sering kali berbicara agar anaknya mencoba pekerjaan yang selayaknya dapat dikerjakan laki-laki. harapan subjek jika hal itu dilakukan terus menerus dapat
membuat anaknya terbiasa bertingkah laku seperti laki-laki. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“Yo nak aku sok dong tak, pengene tak golek-goleke pekerjaan sing koyo ono lowongan pekerjaan sok dong yo tak tekok-tekoke konco-koncone kulo sing ning pabrik-pabrik opo sing kerjo ning bangunnan. Kulo ra popo mbak anakku kerjo koyo ngono tapi kerjo ne sing genah ojo koyo ngene ngono lo mbak.
Walalupun gajine kui paspasan sing biasa wae sing penting ojo adoh seko wong tuo gen isoh tak pantau juga la nek wedine nek kerjo adoh malah dekne malah tambah ndadi”.(SK 248-254)
Subjek tidak hanya memberikan nasehat-nasehat ataupun motivasi saja namun ada tindakan dan usaha untuk mendorong anaknya untuk lebih baik lagi.
g) Memberi teladan
Dalam memberikan teladan subjek setiap harinya berusaha berperilaku yang baik seperti rutin ke gereja, hal tersebut diharapkan anak subjek dapat mengikuti perilaku subjek, dan ingat kepada Tuhan jika hal yang dilakukan anak subjek itu salah.
Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“Yo, teladane ngono yo pas kegiatan-kegiatan ning grejo yo anakne tak ajak walaupun ra gelem yo tetep aku usaha. Aku yo ngei contoh koyo mangkat grejo gen diconto anakku. Yo harapku mbak. Yo nek di kon ning grejo jawababne mung ngosik-ngosik malah sue-sue ra mangkat”.( SH 323-327)
h) Tidak menuntut berlebihan
Sampai saat ini subjek masih belum dan tidak akan menerima keadaan anaknya yang menjadi waria karena hal itu dosa dan memalukan. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“Wong tuo ngendi to mbak sing nompo koyo ngono, pengene kan yo anake kembali normal to mbak, ra pengen dadi
koyo ngono. Berprilaku sing sak wajare kan aku isin”. (SH 330-332)
i) Tahap penerimaan orang tua
Tahap penerimaan orang tua yang dialami SH, pada awalnya SH tidak menerima (denial) perubahan anaknya yang berpenampilan seperti perempuan. Seperti yang diungkapkan SH di bawah ini:
“Wong tuo ngendi to mbak sing nompo koyo ngono, pengena kan yo anake normal to mbak, ra pengen koyo ngono.”
(SH 330-331)
SH juga anger (marah) SH marah namun hal itu tidak diungkapkan kepada anaknya karena SH tahu amarah tidak akan menyelesaikan persoalan, ia merubah amarahnya menjadi sebuah nasehat untuk anaknya, namun SH merasa gagal dalam mendidik anaknya. Yang dilakukan SH selalu melakukan tawar menawar kepada anaknya, jika hal itu tidak dapat dilakukannya ia menyuruh istrinya untuk menasehati anaknya, karena menganggap istrinya lebih dekat dengan anaknya. SH juga pernah mengalami depression (depresi) SH sempat minder dan malu untuk bersosialisasi dengan tetangga, namun mau tak mau ia harus tetap berkumpul dengan tetangga, tahap yang dilakukan SH dapat kembali kepertama atau yang kedua ketiga. Hal tersebut tergantung kondisi yang dialami SH, ketika ada tetangga yang menggunjinginya ia merasa depresi, dan setelah depresinya mereda ia mulai melakukan tawar menawar lagi dengan anaknya. Untuk tahap acceptance (penerimaan) ia tidak akan melakukan itu karena ia tahu hal itu melanggal agama
maka yang dapat dilakukan SH adalah melakukan tahap tawar menawar terus menerus.
Berikut ini adalah skema dari penerimaan orang tua dari subjek SH:
Skema.3
TAHAP PENERIMAAN ORANG TUA
acceptance (penerimaan)
Denial (Penolakan)
Anger (Marah)
Bergainning (tawar menawar)
Depression (depresi)
SH (Subjek III) 1
2
3
4
C. Pembahasan
Hasil dari wawancara ketiga subjek penelitian berdasarkan aspek penerimaan orang tua menurut Hurlock (1995), ketiga subjek penelitian belum menerima perubahan anaknya yang menjadi waria. Penerimaan orang tua memiliki delapan aspek, dari delapan aspek tersebut ketiga subjek memiliki penerimaan yang cenderung rendah.
Dari aspek terlibat dengan anak yaitu keterlibatan secara aktif terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan kebahagiaan bagi orang yang menerimanya. Menurut Gonzalez dan Wolters (2006) partisipasi orang tua mencerminkan sejauh mana orang tua hadir dan menyisipkan diri mereka kedalam kehidupan anak-anaknya. Menurut subjek I dan II yang berjenis kelamin perempuan mereka masih terlibat secara aktif terhadap kegiatan anaknya, dari segi pengambilan keputusan dan kegiatan apa yang akan dilakukan oleh anaknya.
Terkadang keterlibatan subjek dalam memberi saran tidak dihiraukan oleh anak subjek, namun beberapa saran yang diberikan subjek kepada anaknya menjadi pertimbangan dalam bertindak. Menurut subjek III yang berjenis kelamin laki-laki mengatakan bahwa ia tidak terlibat secara aktif terhadap kegiatan anaknya, namun untuk hal-hal tertentu yang menurut subjek itu sangat negatif, subjek memberi nasehat. Dalam hal keterlibatan dengan anak, orang tua cenderung memberikan keterlibatan yang menurut mereka benar dan sesuai dengan harapan mereka namun belum tentu hal itu memberikan kebahagiaan atau berdampak baik bagi anak.
Dalam aspek memperhatikan rencana dan cita-cita yaitu turut serta memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat anak semakin maju
serta menjadi lebih baik. Ketiga subjek memiliki jawaban yang hampir sama, mereka menginginkan anaknya dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi yaitu tidak menjadi waria. Ketiga subjek tidak mematok pekerjaan apa yang harus ditekuni anaknya, namun mereka mengharapkan bahwa anaknya dapat menjadi laki-laki yang seutuhnya dan dapat bekerja sesuai dengan jenis kelaminnya. Dalam hal ini subjek I, II dan III tidak menyetujui rencana cita-cita anak. Mereka menginginkan anak tersebut memiliki cita-cita yang sesuai dengan harapan orang tua, karena hal itu dianggap memalukan keluarga. Menurut Coopersmith (1967) bahwa penerimaan orang tua terungkap melalui perhatian pada anak, kepekaan terhadap anak, ungkapan kasih sayang dan hubungan yang penuh kebahagiaan dengan anak. Kepekaan dan hubungan yang penuh kebahagiaan subjek I, II dan III dengan anaknya tergolong rendah, karena terus berusaha menasehati anak mereka untuk berubah dan tidak berpenampilan seperti wanita, menurut mereka hal itu yang terbaik untuk anaknya agar anaknya memiliki masa depan yang baik. Namun hal tersebut belum tentu sesuai dengan harapan dan cita-cita anak.
Menunjukkan kasih sayang yaitu ada upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikis. Menurut Maslow (dalam Goble, 1987) kebutuhan akan cinta atau kasih sayang yaitu kebutuhan untuk dimengerti secara mendalam, dan di dalamnya ada unsur memberi dan menerima. Ketiga subjek memenuhi segala kebutuhan anaknya karena menurut mereka dalam memenuhi kebutuhan anak adalah kewajiban orang tua, maka untuk hal tersebut mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan fisik serta terus memberikan perhatian dan nasehat-nasehat untuk membuat anak mereka menjadi lebih baik. Subjek I, II dan
III ingin mempertahankan anaknya untuk tetap tinggal bersama, hal tersebut dilakukan karena rasa sayang mereka terhadap anaknya. Subjek I, II dan III mengalami ketakutan jika anaknya jauh dari keluarga, karena tidak ada orang yang menasehati, dan membuat anak tersebut semakin menyimpang.
Berdialog secara baik dengan anak yaitu bertutur kata dengan baik dan bijak. Subjek I dan III selalu menasehati dengan menggunakan kalimat halus, nada yang pelan dan berbicara dari hati kehati. Menurut mereka dengan berbicara dari hati ke hati anak mereka justru lebih mendengarkan dan mempertimbangkan segala tindakan yang akan dilakukan oleh anaknya. Namun berbeda dengan subjek II yang menyatakan bahwa sangat susah untuk mengkontrol emosinya.
Subjek II selalu marah saat menasehati anaknya, dan akan berujung pertengkaran dengan anaknya. Menurutnya mau dinasehati dengan cara halus atau kasar tidak berpengaruh bagi anaknya. Hal yang dilakukan subjek II sependapat dengan Kubler Ross (2008) adanya reaksi emosi atau marah pada keluarga yang memiliki anggota keluarga waria.
Menerima anak sebagai individu (person) yaitu menerima kekurangan dan kelebihan secara lapang dada sehingga tidak membandingkan satu anak dengan anak lain. Ketiga subjek tidak menerima anaknya yang berperilaku dan berpenampilan seperti perempuan, karena tidak sesuai dengan norma dan mempermalukan keluarga. Hal tersebut juga tidak memberikan manfaat untuk anak-anaknya dan termasuk contoh hal yang berdosa. Mahabbati (2009) mengatakan situasi dan dukungan lingkungan akan mendukung sikap positif orang tua dalam merespon keberadaan anaknya yang menjadi waria. Dengan berperilaku seperti itu ketiga subjek merasa gagal dalam mendidik anaknya.
Ketiga subjek menuntut dan menuntun anaknya agar kembali menjadi laki-laki seutuhnya sesuai dengan norma agama dan tuntutan sosial.
Memberikan bimbingan dan semangat motivasi yaitu memberikan bimbingan dan semangat motivasi untuk maju dan lebih baik. Menurut Suryabrata dalam Djaali (2009) keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan.
Ketiga subjek memiliki jawaban yang intinya sama, yaitu memberikan bimbingan dan memotivasi untuk lepas dari perilaku yang menyimpang, dengan cara memberikan bimbingan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
Memberi teladan yaitu memberikan contoh perilaku-perilaku yang baik pada anak. Pendapat dari Hidayatullah dalam Iswari (2017) menerangkan bahwa setidaknya ada tiga unsur agar seseorang dapat diteladani atau menjadi teladan, yaitu kesiapan untuk dinilai dan dievaluasi, memiliki kompetensi minimal, memiliki integritas moral. Subjek I dan II memberikan teladan dengan cara yang sama yaitu dengan cara menasehati. Menurut Ishlahunnissa dalam Iswari (2017) keteladanan berarti penanaman akhlak, adab, dan kebiasaan-kebiasaan baik yang seharusnya diajarkan dan dibiasakan dengan memberikan contoh nyata. Subjek III memberikan teladan dengan cara memberi contoh perilaku dan nasehat, sebagai contoh subjek III mengajak anak untuk pergi beribadah dan membantu menyelesaikan pekerjaan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak menuntut berlebihan yaitu dapat menerima keadaan anak dan tidak memaksakan anak menjadi seperti keinginan orang tua. Penerimaan orang tua juga perasaan atau perilaku orang tua yang dapat menerima keberadaan anaknya tanpa syarat, menyadari bahwa anak juga memiliki hak untuk menjadi individu
yang mandiri (Porter, 1954). Ketiga subjek semuanya masih menuntut dan mengaharuskan anaknya berubah untuk menjadi seperti apa yang diharapkan orang tuanya, mereka berpendapat seperti itu karena yang dilakukan anaknya termasuk hal menyimpang. Hal yang ditakutkan oleh orang tua ketika anaknya menjadi tua adalah tidak ada yang merawat jika orang tuanya meninggal. Perilaku yang dilakukan oleh anaknya tersebut dapat mempermalukan keluarga. Hal itu sependapat dengan Sarasvati (2004) bahwa kadang kala terselip perasaan malu pada diri orang tua untuk mengakui bahwa hal tersebut terjadi dalam keluarga mereka.
Berdasarkan hasil penelitian, data yang dihasilkan menunjukkan bahwa orang tua belum sepenuhnya menerima keadaan anaknya yang menjadi waria. Hal tersebut ditunjukkan dari sebagian aspek yang belum terpenuhi seperti aspek keterlibatan orang tua yang tetap terlibat dengan anaknya namun keterlibatan tersebut tidak berwujud dukungan namun hanya berupa larangan-larangan. Untuk aspek memperhatikan rencana dan cita-cita anak, orang tua tidak mendukung rencana dan cita-cita anak karena orang tua mengharapkan anaknya menjadi laki-laki seutuhnya dan dapat bekerja sesuai dengan jenis kelaminnya. Aspek menerima anak sebagai individu (person), orang tua belum menerima anaknya yang berperilaku menyimpang, karena menurut orang tua hal tersebut mempermalukan keluarga. Aspek tidak menuntut berlebihan, orang tua belum menerima karena masih menuntut dan mengharuskan anaknya untuk berubah seperti harapan orang tua.
Aspek berdialog secara baik dengan anak, subjek I dan III sudah memenuhi aspek berdialog dengan bertutur kata baik dan bijak. Sedangkan untuk subjek II
belum memenuhi aspek tersebut, karena subjek II belum dapat mengkontrol emosi ketika berdialog dengan anaknya. Aspek memberi teladan, subjek I dan II belum memenuhi aspek tersebut karena subjek I dan II belum memberikan contoh nyata kepada anaknya. Berbeda dengan subjek III yang sudah memenuhi aspek memberi teladan, karena subjek sudah memberikan contoh teladan yang nyata tidak hanya berupa nasehat.
Dalam aspek menunjukkan kasih sayang, orang tua sudah memenuhi kebutuhan anaknya yaitu dengan memberikan dukungan berupa materi dan perhatian. Aspek memberikan bimbingan dan semangat motivasi, orang tua sudah memberikan bimbingan dan motivasi dengan cara memberi nasehat untuk berperilaku sesuai dengan norma yang ada dimasyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN