• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI DAN IDENTIFIKASI DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI DAN IDENTIFIKASI DATA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI DAN IDENTIFIKASI DATA

2.1. STUDI LITERATUR 2.1.1. Iklan

2.1.1.1. Periklanan

Masyarakat seringkali mengkritik iklan sebagai sesuatu yang tidak bermoral dan bersifat parasit. Sebenarnya, bukan iklannya (yang notabene adalah alat) yang salah dalam hal ini, tapi pembuatnyalah yang seringkali menyalahgunakan fungsi iklan. Sebagai akibatnya, timbul berbagai lembaga konsumen yang sering mengecam dunia periklanan, undang-undang perlindungan konsumen yang sampai batas tertentu membatasi gerak langkah iklan, dan wakil-wakil dari industri periklanan sendiri yang bertugas mengontrol berbagai bentuk penyalahgunaan iklan.

Untuk itulah dalam merencanakan dan melaksanakan suatu kampanye iklan suatu biro iklan harus memahami benar situasi dan kondisi yang ada sehingga tidak timbul pengaduan baik oleh masyarakat luas, badan hukum/ organisasi lain, kompetitor, bahkan oleh kliennya sendiri (Jefkins 328).

2.1.1.2. Cases in Advertising and Promotion Management

Peran media dalam mengkampanyekan sebuah iklan adalah sangat penting dengan mempertimbangkan 2 alasan, yaitu pada medialah pertemuan antara konsumen dan pengiklan secara bersamaan dipercayakan, dan karena ke-efisien-an media dalam mencapai jutaan rumah tangga/ orang dalam waktu yang relatif singkat. Media juga membutuhkan strategi dan taktik. Pengembangan strategi media harus mempertimbangkan faktor lingkungan marketing (meliputi kompetisi, sifat produk, pendistribusian, dll), lingkungan media (meliputi ketersediaan dan kesesuaian alternatif media yang ada), dan lingkungan kreatif (meliputi kebutuhan pendemonstrasian, warna, display, dan

(2)

faktor-faktor lainnya). Elemen taktik antara lain mengevaluasi altenatif- alternatif media, menyeleksi rencana media, membeli dan menempatkan media, dan mengevaluasi ke-efektif-an rencana. Ada perbedaan yang besar dalam perencanaan media antara pengiklan barang-barang konsumsi dengan pengiklan barang-barang industrial maupun pengiklan lainnya, untuk itu harus mewaspadai masalah dan kesempatan yang muncul dalam situasi-situasi tersebut sehingga bisa menciptakan iklan yang sesuai dengan karakter barang/ produk (Patti, &, Murphy 23-25).

2.1.1.3 The Advertising Advantage

Iklan akan mendapat hasil yang lebih baik apabila orang–orang yang menciptakannya tidak berkeberatan untuk mempelajari teknik mana yang kelihatannya paling berhasil. Orang kreatif lebih berdasarkan pada intuisi dan penguji cobaan atas iklan individual (31). Penelitian pada beberapa faktor keberhasilan iklan melibatkan iklan komersial televisi, iklan majalah (yang diukur berdasarkan kemampuannya menarik perhatian, untuk dibaca, dan melekat di ingatan pembacanya), peranan emosi konsumen, dan perlawanan dari orang-orang kreatif mengindikasikan teknik-teknik seperti apa yang berhasil membawa hasil terbaik. Seperti pada iklan televisi, penemuan mengungkap bahwa teknik pemecahan masalah, humor (ketika humor memang diperlukan untuk preposisi penjualan), karakter yang relevan (personalitas, dikembangkan oleh iklan, yang pada akhirnya akan selalu melekat pada brand tersebut), sepotong kehidupan (dimana orang yang tadinya ragu-ragu/ tidak percaya diyakinkan), berita baru (produk yang baru, penggunaan yang baru, ide baru, informasi baru), testimonial (dari konsumen) dengan menggunakan kamera tersembunyi, dan peragaan memberi hasil diatas rata-rata (USA: A Harvard Business Review Papaerback, 38-40).

2.1.1.4. Advertising: Better Planning, Better Results

3 komposisi dalam kesuksesan iklan adalah informasi (sudah menjadi sifat dari informasi yang hampir selalu menjadi jaminan kesuksesan), rangsangan yang rasional (membuat konsumen mengevaluasi, menilai, dan mencapai sebuah keputusan), dan titik berat (biasanya digunakan

(3)

oleh produsen barang-barang yang tidak mahal, kurang penting, remeh, sehingga perlu pengulangan dan penitik beratan dalam pengiklanannya).

Pemilihan media juga merupakan unsur lain yang mempengaruhi kesuksesan suatu iklan, orang yang bertanggung jawab atas pemilihan media yang digunakan dalam iklan mereka memilih berdasarkan seberapa efisiennya media itu dalam mengenalkan barang/ produk yang mereka iklankan pada khalayak luas baik dengan menggunakan media cetak maupun media siar. Dengan pemunculan iklan di media manapun, pihak pengiklan mengevaluasi lebih lanjut media tersebut mampu memikat konsumen atau tidak, karena daya terima masyarakat berbeda satu dengan lainnya dan segmen konsumen juga beragam (USA:

Harvard Business Review, 52-53).

2.1.2. ILM (Iklan Layanan Masyarakat)

2.1.2.1. Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia

Iklan Layanan Masyarakat adalah suatu iklan yang menyajikan pesan- pesan sosial yang dimaksudkan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap sejumlah masalah yang harus mereka hadapi, yakni kondisi yang bisa mengancam keserasian dan kehidupan umum (352).

Masalah yang dapat diiklankan antara lain mengenai kriminalitas, KKN, pendidikan, bahaya HIV/AIDS, dan masalah-masalah lain seputar kesehatan Iklan ini disumbangkan oleh media untuk kepentingan masyarakat dalam artian tanpa menuntut bayaran. Di Indonesia, perkembangan ILM masih tersendat-sendat dikarenakan belum adanya suatu wadah yang menghimpun pihak-pihak yang berkepentingan dan kalangan profesional untuk merumuskan naskah dan desain iklan serta pesan yang ingin disampaikan; dibatasinya proporsi iklan komersial di berbagai media massa, sehingga kecil sekali kemungkinan ILM bisa masuk; dan dikenakannya PPN terhadap iklan sehingga harus ada yang bersedia menanggung biaya tersebut. Proses pembuatan dan pemasaran ILM tidak berbeda dengan iklan biasa, langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah serta pemilihan dan analisa kelompok sasaran,

(4)

langkah kedua adalah menentukan tujuan khusus iklan tentang apa yang diharapkan dicapai dalam kampanye tersebut termasuk penambahan jumlah yang dilayani klien sampai peningkatan kesadaran masyarakat terhadap adanya organisasi atau program-program khususnya. Langkah ketiga adalah menentukan tema iklan, kemudian menetukan anggaran iklan yang diperlukan untuk suatu kampanye selama periode tertentu.

Langkah selanjutnya ialah perencanaan media yang meliputi identifikasi media yang ada dan tersedia, memilih media yang cocok dan dapat digunakan, dan menentukan waktu dan frekuensi penyiaran, baru menciptakan pesan-pesan iklan. Langkah terakhir adalah evaluasi yang dilakukan sebelum, selama dan sesudah kampanye disiarkan (Kasali 408-410).

2.1.3. REMAJA

2.1.3.1. Batasan mengenai remaja

Remaja sering kali disebutkan sebagai masa transisi antara masa anak- anak ke masa dewasa,atau masa usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan lain sebagainya. Dalam ilmu kedokteran dan ilmu lain yang terkait, remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna, serta tentu saja dapat berfungsi dengan sempurna pula. Tetapi secara umum tidak dapat ditentukan secara pasti tentang definisi remaja.

Di Indonesia, sering menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah, untuk dianggap remaja, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

• Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik)

(5)

• Kebanyakan masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adapt ataupun agama, sehingga tidak memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria social)

• Pada usia tersebut timbul tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan moral (kriteria psikologi)

• Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua. Atau dapat dikatakan bila sampai batas tersebut sseorang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara social dan psikologi, masih dapat digolongkan remaja. Golongan ini cukup banyak terdapat di Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat menengah ke atas yang mempersyaratkan berbagai hal (terutama pendidikan stingi- tingginya) untuk mencapai kedewasaan. Meskipun kenyataannya cukup banyak yang mencapai kedewasaan sebelum usia tersebut.

• Status perkawinan sangat menentukan pendewasaan seseorang, Seseorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum, masyarakat, dan keluarga.

2.1.3.2. Perilaku Seksual Pada Remaja

Yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Akan tetapi, pada sebagian perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada para gadis-gadis yang terpaksa menggugurkan

(6)

kandungannya (Simkins 53). Akibat psiko-sosial lainnya adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil. Juga akan terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi. Selain itu, juga ada akibat-akibat putus sekolah dan akibat-akibat ekonomis karena diperlukan ongkos perawatan, dan lain-lain (Sanderowits, &, Paxman 24-26). Akibat yang tidak terlalu tampak jika hanya dilihat sepintas, sehingga juga kurang banyak dibicarakan adalah berkembangnya penyakit kelamin di kalangan remaja. Prof. Dr. M.

Sukandar selaku Ketua Panitia Konggres Nasional IV Perkumpulan Ahli Dermatovenerologi (penyakit kulit dan kelamin) Indonesia, Juni 1983 di Semarang menyatakan bahwa sebagian besar penyakit kelamin kelas berbahaya asal impor telah melanda remaja umur 16-25 tahun, baik di kota maupun di pedesaan. Salah satu jenis penyakit menular seksual (PMS) itu adalah Gonorboea (kencing nanah) yang saat ini sudah tidak mempan lagi diberantas dengan 300.000 unit penicillin, tetapi paling tidak harus dengan 24 jut unit. Para penderita tampaknya jadi lebih kebal terhadap pengobatan karena semakin ganasnya penyakit itu (Sinar Harapan, “Penyakit Kelamin Impor Melanda Remaja”, 24 Mei 1983).

Pada remaja yang tidak melakukan hubungan seks. Tentunya tidak terdapat PMS, karena penyakit ini hanya bisa menular melalui hubungan seks. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa remaja yang tidak atau belum bersenggama otomatis bebas masalah. Misalnya dalam kenyataannya perasaan takut dan berdosa tetap melanda diri remaja yang melakukan masturbasi. Padahal, jumlah remaja yang melakukan masturbasi cukup tinggi sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian Arswendo Atmowiloto.Penelitian tersebut memang sangat kecil skalanya dan dengan responden yang terbatas pula. Akan tetapi, memang sulit mendapat pengakuan remaja dalam jumlah besar mengenai hal yang sangat pribadi sifatnya ini, khususnya dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat mentabukan pembicaraan mengenai seks secara terbuka.

(7)

2.1.3.3. Faktor penyebab timbulnya masalah seksualitas pada remaja 2.1.3.3.1. Meningkatnya Libido Seksual

Menurut Robert Havigurst, seorang remaja menghadapi tugas-tugas perkembangan (developmental tasks) sehubungan dengan perubahan- perubahan fisik dan peran sosial yang sedang terjadi pada dirinya.

Tugas-tugas perkembangan itu antara lain adalah menerima kondisi fisiknya (yang berubah) dan memanfaatkan dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun, menerima peranan seksual masing- masing (laki-laki atau perempuan) dan mempersiapkan perkawinan dan kehidupan keluarga (Jensen 44-45).

Di dalam upaya mengisi peran sosialnya yang baru itu, seorang remaja mendapatkan motivasinya dari meningkatnya energi seksual atau libido.

Menurut Sigmund Freud, energi seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik. Sementara itu, menurut Anna Freud, fokus utama dari energi seksual ini adalah perasaan-perasaan di sekitar alat kelamin, objek-objek seksual dan tujuan-tujuan seksual (Jensen 55-56).

2.1.3.3.2. Penundaan Usia Perkawinan

Di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan, masih terdapat banyak perkawinan di bawah umur. Kebiasaan ini berasal dari alat yang berlaku sejak dahulu yang masih terbawa sampai sekarang. Ukuran perkawinan di masyarakat seperti itu adalah kematangan fisik belaka (Haid, bentuk tubuh yang sudah menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder), atau bahkan hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan calon pengantin. Misalnya: masa panen, utang-piutang antar orang tua, dan sebagainya. Akan tetapi, dengan makin meningkatnya taraf pendidikan masyarakat, dengan makin banyaknya anak-anak perempuan yang bersekolah, makin tertunda kebutuhan untuk mengawinkan anak-anak. Para orang tua menyadari bahwa persiapan yang lebih lama diperlukan untuk lebih menjamin masa depan anak- anak mereka, sehingga para orang tua menyuruh anak-anaknya sekolah dulu sebelum mengawinkan mereka. Kecenderungan ini terutama

(8)

terjadi pada masyarakat di kota-kota besar atau di kalangan masyarakat kelas sosial ekonomi menengah ke atas.

2.1.3.3.3. Tabu Larangan

Kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang menyulitkan perkawinan yang disebutkan oleh Fawcett tersebut muncul dalam masyarakat dalam berbagai bentuk. Hull & Adioteomo menyebutkan dalam tulisan mereka (1984) beberapa penelitian tentang hubungan antar usia perkawinan yang legal (sah menurut hukum). Perkawinan di Barat biasanya didahului atau segera diikuti dengan hubungan seksual dan hidup bersama (cobabitation). Akan tetapi, di masyarakat yang sedang berkembang, termasuk di Jawa, terdapat kebiasaan yang lain. Disana ada empat tahapan perkawinan yang bisa berurutan dalam waktu dekat, tetapi bisa juga saling berjauhan dalam waktu. Keempat tahap itu adalah sebagai berikut:

a. Religius (R) : upacara keagamaan b. Legal (L) : pengesahan secara hukum c. Sosial (S) : pesta atau selamatan d. Seksual (X).

Dari keempat tahap tersebut dapat terjadi berbagai kemungkinan berikut:

1. RLSX : upacara resmi langsung diikuti dengan hubungan seks

2. RLS .. X : hubungan seks ditunda (misalnya karena usia yang masih terlalu muda, atau mau melanjutkan pendidikan terlebih dahulu) dinamakan juga kawin gantung

3. RL .. S .. X : upacara keagamaan dan formalitas hukum dilakukan pada masa mempelai masih kanak-kanak dan pestanya dilakukan beberapa tahun lagi

4. RL .. SX : jenis kawin gantung yang lain (kawin gantung II) 5. X .. RL .. S : kawin gantung jenis III yang ditandai oleh adanya hubungan seks pra perkawinan yang tersembunyi

(9)

6. X … LRS : hubungan seks pra perkawinan yang dilanjutkan dengan upacara perkawinan resmi.

(Hull & Adioetomo, 1984).

Dari berbagai jenis perkawinan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa dalam masyarakat tradisional, pernikahan tidak langsung terkait dengan hubungan seks. Dengan demikian, tingginya angka perkawinan juga tidak akan langsung menyebabkan tingginya angka kehamilan atau kelahiran. Bahkan, dengan berlangsungnya waktu, mungkin saja sebuah perkawinan (R.L atau S) tidak diikuti dengan seks (X) sama sekali, atau sebuah hubungan seks tidak jadi diikuti oleh perkawinan.

Pola nyata yang sekarang terjadi dalam masyarakat modern pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari pola no. 5 atau 6 pada skema Hull &

Adiotomo tersebut di atas, khususnya dengan lebih permisifnya (keserbabolehan) hubungan pergaulan antara pria dan wanita. Dengan demikian, sama dengan pada masyarakat tradisional, pada masyarakat modern juga tidak dapat diramalkan hubungan antara perilaku seks dengan pola perkawinan. Akan tetapi, seringkali masyarakat menganggap bahwa ada kaitan langsung antara keduanya, seakan-akan perkawinan berarti hubungan seks dan hubungan seks sama dengan perkawinan. Hubungan seks di luar perkawinan tidak hanya dianggap tidak baik, tetapi juga tidak boleh ada. Bahkan, sering dianggap tidak pernah ada. Anggapan ini yang sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, pada gilirannya menyebabkan sikap negatif masyarakat terhadap seks.

Orang tua dan pendidik jadi tidak mau terbuka atau berterus terang kepada anak-anak dan anak-anak didik mereka tentang seks, takut kalau-kalau (sebelum menikah). Seks kemudian menjadi tabu untuk dibicarakan walaupun antara anak dengan orang tuanya sendiri. Contoh yang sering terjadi adalah bila anak bertanya kepada ayah dan ibunya:

“Dari mana datangnya adik?” atau “Apakah diperkosa itu?” atau

“Apakah homoseks itu?”, maka biasanya orang tua menghindar dari memberi jawaban atau memberi jawaban bohong.

(10)

Ditinjau dari pandangan psikoanalisis, tabunya pembicaraan mengenai seks tentunya disebabkan karena seks dianggap sebagai bersumber pada dorongan-dorongan naluri di dalam “id”. Dorongan-dorongan naluri seksual ini bertentangan dengan dorongan “moral” yang ada dalam

“super ego”, sehingga harus ditekan, tidak boleh dimunculkan pada orang lain dalam bentuk tingkah laku terbuka. Oleh karena itu, remaja (dan juga banyak orang dewasa) pada umumnya tidak mau mengakui aktivitas seksualnya dan sangat sulit diajak berdiskusi tentang seks, terutama sebelum ia bersenggama untuk yang pertama kalinya.

2.1.3.3.4. Kurangnya Informasi Tentang Seks

Kebanyakan hubungan seks antar remaja terjadi hanya jika hubungan mereka sudah berjalan sedikitnya enam bulan. Dengan demikian, hubungan tersebut sudah cukup akrab dan intim. Jarang yang langsung berhubungan seks setelah berkenalan tidak begitu lama.

Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya hubungan seks (khususnya yang pertama kali) dapat dimengerti karena memang diperlukan suasana hati tertentu untuk bisa melakukan hal itu.

Khususnya pada remaja putri, harus timbul perasaan cinta, perasaan suka, percaya, menyerah dan sebagainya terhadap pasangannya. Akan tetapi, sekali perasaan itu timbul, apalagi kalau pihak laki-lakinya cukup tekun dan sabar untuk merayu pacarnya, remaja putri seringkali tidak dapat lagi mengendalikan diri dan terjadilah hubungan seks itu.

Melihat kenyataan ini, sebenarnya cukup waktu untuk remaja putra- putri itu untuk mempersiapkan dirinya untuk mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki. Akan tetapi, pada umumnya mereka ini memasuki usia remaja tanpa pengetahuan yang memadai tentang seks dan selama hubungan pacaran berlangsung pengetahuan itu bukan saja tidak bertambah. Sebaliknya, malah bertambah dengan informasi-informasi yang salah. Hal yang terakhir ini disebabkan orang tua tabu membicarakan seks dengan anaknya dan hubungan orang tua-anak sudah terlanjur jauh sehingga anak berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak akurat, khususnya teman.

(11)

Sikap mentabukan seks ini tidak hanya terdapat pada orang tua saja, tetapi juga pada anak-anak itu sendiri. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh L.C. Jensen terhadap pelajar-pelajar putri yang hamil menunjukkan bahwa hampir semua responden yang ditelitinya tidak tertarik, bahkan jijik mendengarkan lelucon-lelucon tentang seks atau gambar-gambar pria tanpa busana. Yang lebih penting lagi mereka tidak pernah membaca buku-buku cabul. Dengan demikian, mereka ini tidak terangsang oleh banyaknya rangsang yang sampai pada mereka.

Akan tetapi, oleh Jensen dibuktikan lebih lanjut bahwa terangsangnya mereka untuk berhubungan intim adalah karena fantasi-fantasi sendiri tentang kemesraan dan cinta, yang jika ia mempunyai pacar diproyeksikannya pada pacarnya itu. Menurut Jensen perasaan-perasaan ini bisa diperkuat oleh musik-musik tertentu (Jensen 254).

2.1.3.3.5. Pergaulan Yang Makin Bebas

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, kiranya dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota- kota besar. Mereka merasa semakin bebas seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi. Hal ini dapat terlihat dengan gaya pacaran jaman sekarang yang semakin “liar”. Hal ini dapat disebabkan dengan banyak masuknya pengaruh-pengaruh budaya asing ke Indonesia, sehingga para remaja dengan mudahnya meniru tanpa berpikir taentang benar tidaknya atau baik buruknya.

2.1.3.4. Perilaku Menyimpang Pada Remaja

Dalam menghadapi remaja ada beberapa hal yang harus selalu diingat, yaitu bahwa jiwa remaja adalah jiwa yang penuh gejolak (strumund drang). Lingkungan sosial remaja juga ditandai dengan perubahan sosial yang cepat (khususnya di kota-kota besar dan daerah-daerah yang sudah terjangkau sarana dan prasarana komunikasi dan perhubungan) yang mengakibatkan kesimpangsiuran norma (keadaan anomie). Kondisi intern dan ekstern yang sama-sama bergejolak inilah yang menyebabkan masa remaja memang lebih rawan daripada tahap-tahap lain dalam perkembangan jiwa manusia.

(12)

Untuk mengurangi benturan antar gejolak itu dan untuk memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan dirinya secara lebih optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang sestabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga.

Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa setiap remaja adalah unik.

Kebiasaan menyamaratakan remaja dengan saudara-saudaranya sering kali bukan tindakan yang bijaksana karena justru akan menimbulkan iri hati pada remaja. Misalnya, ibu membandingkan seorang remaja yang kurang rajin belajar dengan adiknya yang lebih rajin belajar. Ibu itu berpendapat bahwa kalau adiknya bisa rajin, kakaknya pun harus bisa rajin. Hal itu karena mereka sama-sama dilahirkan dari satu orang tua dan dididik dalam satu keluarga. Akan tetapi, sikap ibu seperti ini justru menimbulkan persepsi pada remaja bahwa ibu lebih memperhatikan adiknya daripada dia sendiri. Bahkan, kebiasaan untuk membelikan baju atau sepatu yang seragam untuk seluruh keluarga juga bisa menimbulkan rasa iri pada salah satu anak yang mungkin kebetulan tidak menyukai warna atau model yang dipilih orang tua yang barang kali lebih sesuai dengan selera salah satu anak yang lain.

Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa yang perlu dijadikan pegangan utama adalah persepsi remaja itu sendiri, bukan pandangan orang tua atau orang dewasa lainnya. Jika remaja memandang sesuatu hal sebagai ketidakadilan, ia akan bereaksi sesuai dengan pandangannya itu sendiri walaupun semua orang lain bereaksi sesuai dengan pandangannya itu sendiri walaupun semua orang lain mengatakan sebagai hal yang biasa saja dan adil. Apalagi kalau remaja itu memperoleh dukungan dari teman- teman sebayanya sendiri. Jika dalam hal ini orang tua hanya memaksakan pandangannya sendiri tanpa melakukan pendekatan untuk mencari titik temu dalam pandangan, jelas remaja secara diam-diam atau terang- terangan akan melawan dan membangkang.

Di samping faktor keluarga, pengembangan pribadi remaja yang optimal juga perlu diusahakan melalui pendidikan khususnya sekolah.

Pendidikan, yang pada hakikatnya merupakan proses pengalihan norma-

(13)

norma. Jika dilakukan dengan sebaik-baiknya sejak usia dini, akan diserap dan dijadikan tolok ukur yang mapan pada saat anak memasuki usia remaja. Dengan perkataan lain, remaja yang sejak usia dini sudah dididik sedemikian rupa sehingga ia mempunyai nilai-nilai yang mantap dalam jiwanya akan berkurang gejolak jiwanya dan pada gilirannya akan bisa menghadapi gejolak di luar dirinya (di lingkungan) dengan lebih tenang.

Dalam rangka pendidikan ini yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa remaja adalah lingkungan sekolah. Sekolah, selain berfungsi pengajaran (mencerdaskan anak didik) juga berfungsi pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitan dengan fungsi pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan tempat perlindungan jika anak didik menghadapi masalah. Oleh karena itulah di setiap sekolah lanjutan ditunjuk wali kelas, yaitu guru-guru yang akan membantu anak didik jika menghadapi kesulitan dalam pelajarannya dan guru-guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan), yaitu guru-guru terlatih untuk membantu anak didik yang mempunyai persoalan pribadi, persoalan keluarga dan sebagainya.

Jika para guru itu bersama dengan seluruh korps guru di sekolah itu yang ada berada dalam usia remaja akan cenderung berkurang kemungkinannya untuk terlibat dalam masalah yang bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.

2.1.4. Seks Pra Nikah

Atau secara sederhana dikatakan seks sebelum menikah. Untuk saat ini banyak remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah, persoalan-persoalan tersebut ini harus dipikirkan semuanya agar mereka itu terbebas dari perilaku negatif. remaja (khususnya yang tinggal di kota besar dan yang berlatar belakang kelas sosial ekonomi menengah ke atas) memerlukan akses kepada sumber-sumber informasi tentang seks, bahkan juga pelayanan kesehatan reproduksi. Masalahnya adalah bahwa remaja yang secara sosial dianggap belum dewasa ini, secara fisik-fisiologik sudah

(14)

matang sehingga alat-alat reproduksi dan dorongan seksnya (libido) juga sudah berfungsi penuh. Jika fungsi-fungsi reproduksi ini tidak disalurkan sebagai mana mestinya (misalnya melalui perkawinan) sudah barang tentu akan terjadi ekses (hubungan seks pranikah) kecuali jika mereka segera menikah atau jika mereka mempunyai kendali diri yang besar. Oleh karena pernikahan pada usia sekolah dan kuliah cenderung dianggap negatif (misalnya: pelajar yang ketahuan sudah menikah langsung dikeluarkan dari sekolah), maka tidak ada pilihan lain bagi remaja untuk menghindari ekses dari dorongan seksnya tsb., kecuali dengan cara mengendalikan diri. Tetapi dalam kenyataannya, tidak semua remaja mempunyai kendali diri yang cukup besar. Walaupun dibandingkan dengan dengan negara lain, persentase hubungan seks pranikah di kalangan remaja Indonesia masih tergolong kecil (penelitian di Indonesia menunjukan angka 1-25%

sementara di berbagai negara lain bisa mencapai 40-70%1) (Population Report, 1985 dalam Sarwono, 1991), namun tetap saja untuk persentase yang kecil itu perlu diupayakan pelayanan khsusus untuk mencegah mereka tertular penyakit seksual (termasuk AIDS) dan mengalami kehamilan yang tidak direncanakan.

Untuk mengurangi dampak yang makin negatif itu, diperlukan perubahan sikap dari masyarakat (terutama dari pihak orang tua dan pendidik) terhadap para korban penyalahgunaan seks. Para korban penyalahgunaan seks ini berada dalam posisi yang sangat membutuhkan pertolongan, sementara yang paling bisa memberi pertolongan pertama adalah pihak keluarga dan lingkungan sekolahnya. Tanpa mengingkari kenyataan bahwa anaknya hamil pranikah, namun kejutan ini hendaknya segera diredam dan menggantikan dengan sikap positif yang penuh dengan pengertian, memaafkan dan bersedia memberi bantuan sepenuhnya. Demikian pula pihak sekolah perlu bersikap melindungi pada korban-korban penyalahgunaan seks ini dan bukan malah mengucilkannya.

Akhirnya, untuk remaja yang sudah beraktivitas seks namun belum mempunyai pengetahuan seks yang cukup untuk menjaga dirinya sendiri, perlu diberikan bekal pendidikan seks yang materinya lebih banyak berupa

(15)

kiat-kiat untuk berperilaku seks yang aman dan sehat. Materi ini tentu sangat berbeda dari pendidikan seks untuk remaja umum karena sasarannya juga berbeda. Oleh karena perilaku seksual mereka bukan karena alasan agama (Sarwono 1998) maka juga tidak realistik jika mereka diharapkan menghentikan aktivitas seksualnya melalui pendidikan agama. Bagi mereka berlaku dalil bahwa perilaku seks yang tidak sesuai dengan norma agama dan susila tetap bisa dijaga keamanannya dengan cara berperilaku seksual yang sehat. Tentu saja ini memerlukan perubahan sikap dari masyarakat (termasuk tokoh-tokoh agama) agar menyelamatkan para remaja yang sudah beraktivitas seks ini tidak banyak mengalami hambatan sehingga akhirnya justru dampak yang tidak diharapkan (kehamilah pranikah, aborsi, penyakit menular seksual, AIDS) makin meningkat.

2.1.5. Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI )

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah Lembaga Independen yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002 dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Lembaga ini bersifat independen, tidak boleh dipengaruhi oleh siapa dan darimana serta kepentingan apapun, kecuali satu yaitu “ Demi Kepentingan Terbaik bagi Anak ” seperti diamanatkan oleh CRC (KHA) 1989. Tugas KPAI melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan per-UU-an yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan dan pemantauan, evaluasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan serta pertimbangan kepada Presiden.

2.1.5.1. Tugas dan Fungsi KPAI

Pada pasal 75 UU Perlindungan Anak dicantumkan bahwa tugas pokok KPAI ada 2, yaitu :

a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,

(16)

mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap pelanggaran perlindungan anak

b. Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak.

Mencermati isi pasal tersebut maka tugas KPAI dapat dirinci lebih lanjut sebagai berikut:

Melakukan sosialisasi dan advokasi tentang peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak.

Menerima pengaduan dan memfasilitasi pelayanan masyarakat terhadap kasus-kasus pelanggaran hak anak kepada pihak-pihak yang berwenang.

Melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah, dan kondisi pendukung lainnya baik di bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama

Menyampaikan dan memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada berbagai pihak tertuama Presiden, DPR, Instansi pemerintah terkait ditingkat pusat dan daerah

Mengumpulkan data dan informasi tentang masalah perlindungan anak

Melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan tentang perlindungan anak termasuk laporan untuk Komita Hak Anak PBB (Committee on the Rights of the Child) di Geneva, Swiss.

Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia.

2.1.5.2. Visi dan Misi KPAI 2.1.5.2.1.Visi KPAI

Meningkatnya efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

(17)

2.1.5.2.2. Misi KPAI

Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak.

1. Melakukan pengumpulan data dan informasi tentang anak.

2. Menerima pengaduan masyarakat.

3. Melakukan penelaahan, pemantauan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

4. Pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan anak.

5. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

2.1.5.3. Susunan Keanggotaan

Susunan Keanggotaan KPAI periode 2007-2010 Ketua : Hj. Masnah Sari, SH

Wakil Ketua : Dra. Santi Diansari, SH Dra. Magdalena Sitorus Sekretaris : Drs. H. Hadi Supeno, M.Si

Komisioner Bidang Hak Sipil dan Penanggungjawab Pokja Sosialisasi : Drs. H. Abdul Ghofur, M.Si

Komisioner Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar dan Penanggungjawab Pokja Pengaduan

: Ir. Satriyandayaningrum

Komisioner Bidang Keluarga dan Pengasuhan Alternatif dan Penanggungjawab Pokja Data dan Informasi

: Drs. Ferry D Johannes

Komisioner Bidang Pendidikan dan Kebudayaan dan Penanggungjawab Pokja Penelaahan

: Dra. Susilahati, M.Si

Komisioner Bidang Perlindungan Khusus dan Penanggungjawab Pokja Pemantauan, Pengawasan dan Evaluasi

: Hj. Enny Rosidah Badawi, SH

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa Peristiwa Talangsari di Way Jepara Lampung Tengah (sekarang Lampung Timur) adalah sebuah peristiwa yang bermula dari

Penurunan secara nyata terjadi sejak kadar lengas tanah 75% kapasitas lapang dan menurun secara tajam pada 25% kapasitas lapang (Effendi, 2008).. jika kebutuhan air tepenuhi

Perbedaan kelembaban diluar dan didalam arboretum disebabkan oleh adanya kondisi vegetasi di dalam arboretum menyebabkan penguapan terhambat sehingga kandungan air tidak

Selain Sosialsiasi, pembentukan tim siaga bencana, pembuatan peta evakuasi di Dusun Diwek sudah dilakukan simulasi bencana untuk memberikan pelatihan kepada warga agar

Diikuti dengan alat pengendali dan pengaman pengguna jalan dengan nilai bobot terburuk (9) pada empat lokasi ruas jalan disusul rambu lalu lintas dengan nilai bobot 9

3. Bahwa tuduhan Pengadu kepada Teradu yang diduga melakukan pengubahan Formulir DB-1 DPR hasil Rapat Pleno Terbuka KPU Kabupaten Tapin untuk perolehan suara

Syukur Alhamdulilah Kehadiran ALLAH SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perbedaan