• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN 1. METODE PEMBELAJARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAGIAN 1. METODE PEMBELAJARAN"

Copied!
321
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN 1. METODE PEMBELAJARAN

PENGEMBANGAN PEMIKIRAN KRITIS DAN KREATIF

DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI DENGAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)

Anindita Trinura Novitasari

Universitas Negeri Surabaya (UNESA) [email protected] Abstrak

Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Perubahan paradigma pendidikan yang dahulu berpusat pada guru perlu dilakukan reformasi menjadi berpusat pada siswa.

Proses pembelajaran ekspositori yang banyak menekankan pada aspek pengetahuan dan pemahaman kini menuju metode pembelajaran yang inovatif, aktif, dan kreatif. Salah satu model pembelajaran yang mengaktifkan siswa adalah kontekstual teaching and learning (CTL). CTL sebagai model pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme. CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan pengetahuan pelajar dengan situasi kehidupan nyata. CTL menerapkan 7 komponen pembelajaran efektif, yaitu:

Konstruktivistik, Inquiry, question, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian nyata. Melalui model pembelajaran CTL siswa diarahkan untuk berpikir kritis dan kreatif. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri materi yang dipelajari dan dihubungkan dengan kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya dan terbentuk pengetahuan baru.

Kata Kunci: Konstruktivistik, pemikiran kritis dan kreatif, CTL

PENDAHULUAN

Kemampuan berpikir kritis dan kreatif merupakan kemampuan yang sangat esensial dalam kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan, reflektif, dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai dan dilakukan.

Sedangkan berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus-menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan.

Kiasan yang digunakan Thomas A. Edison dalam Sudarma (2013) hidup ini ibarat menabuh gendang. Banyak orang yang bisa menabuh gendang, tetapi tidak semua orang mampu memainkannya dengan irama yang merdu. Banyak orang yang menggunakan akal pikirannya, tetapi hanya sedikit orang yang mampu memainkan secara sehat dan kreatif. Maksud dari pernyataan ini bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki nilai kreatif. Namun tidak semua orang dapat mengembangkan kreativitasnya. Semua bergantung pada kemauan manusianya. Ada yang berusaha mengembangkan ada pula yang kurang peduli dengan kreativitasnya sehingga menjadi pribadi yang kurang berkualitas.

(2)

Kondisi siswa yang ada saat ini bisa dikategorikan sebagai kondisi yang tidak secara maksimal menampakkan adanya tingkat kritis dan kreatif siswa dalam pembelajaran. Jika itu pun ada masih dalam ukuran minoritas (lebih sedikit). Kondisi yang cenderung ada adalah siswa pasif dalam proses pembelajaran di kelas. Mereka cenderung untuk takut dalam menyampaikan pendapat atau pertanyaan kepada guru yang mengajar. Ada anggapan dalam intrinsik mereka bahwa pertanyaan ataupun pendapat mereka bukan seberapa, atau dikhawatirkan mereka salah dan lain sebagainya.

Hal ini yang menjadi salah satu penghambat siswa berpikir kreatif.

Kondisi siswa yang pasif dalam pembelajaran saat ini menjadi hasil penelitian yang disampaikan oleh Astika, et.al (2013) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya, proses pembelajaran yang ada selama ini belum optimal karena siswa masih belum aktif dalam mengikuti pelajaran siswa hanya duduk diam dan mendengarkan materi dari guru.

Pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru adalah pembelajaran ekspositori (expository learning) yang berpusat pada guru. Guru menjadi sumber dan pemberi informasi utama sehingga guru sangat aktif dalam proses pembelajaran tetapi siswa sangat pasif, menerima dan mengikuti penjelasan guru. Pembelajaran yang seperti ini menyebabkan siswa tidak dapat berpikir ilmiah dan ketrampilan berpikir kritis siswa kurang optimal.

Berikut ini ada beberapa alasan yang disampaikan oleh Filsaime (2008:27) penulis ini menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang tidak mampu berpikir kritis dan kreatif yaitu: (1). Tidak dapat menghilangkan ketakutan akan salah; (2). Prediksi akan kegagalan; (3). Kurangnya kepercayaan diri; (4). Kesulitan berpikir; (5). Kurangnya motivasi intrinsik dan terlalu banyaknya motivasi ekstrinsik;

(6). Toleransi yang rendah pada ambiguitas.

Pembelajaran yang mengaktifkan siswa dalam interaksi sosial melalui penerapan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan nyata juga dibenarkan dalam tulisan Costa, et.al (2013) menyatakan bahwa prinsip pengalaman belajar siswa sangat penting untuk memperkenalkan tahap kegiatan yang mendekati realita kehidupan sosial yang dimulai dari sesuatu yang telah mereka ketahui yaitu pemahaman awal, pengetahuan awal yang mereka miliki. Metodologi yang mengembangkan dasar psikologi pendidikan akan meningkatkan interaksi sosial siswa selama proses belajar dan tentunya dengan bimbingan guru.

Dengan pembelajaran kontekstual ini, siswa akan memiliki pengetahuan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Akan ada hubungan antara ide dengan aplikasi dalam konteks dunia nyata melalui menemukan, memperkuat, dan menghubungkan antara pemahaman dengan pengalaman sampai munculnya makna yang baru.

Melalui penjabaran dari latar belakang penulisan makalah ini di atas, maka dirumuskan permasalahan apakah model pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) dapat mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif siswa dalam pembelajaran ekonomi?

(3)

PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)

Nurhadi (2002) dalam Rusman (2014: 190) menyampaikan suatu konsep bahwa Contextual Teaching And Learning (CTL) dapat menjadi konsep belajar yang membantu guru dalam mengaitkan apa yang disampaikan dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa untuk berpikir dengan mengaitkan menemukan dan menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan kenyataan di sekitarnya. Siswa diberi kesempatan untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri (learning to do) untuk memperkuat pemilikan pengalaman belajar yang aplikatif.

Mengenai pembelajaran yang dituntut untuk mengaktifkan siswa disampaikan oleh Sudarma (2013:198) disampaikan bahwa model pembelajaran yang monoton atau doktriner, bukanlah pendekatan yang dapat menyadarkan siswa bahwa memiliki kemampuan dalam dirinya. Pendekatan pembelajaran yang monoton justru akan membunuh potensi siswa.

Untuk memperkuat pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri. Melalui pembelajaran kontekstual mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru terhadap siswa tapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari materi kemudian menghubungkannya dengan kehidupan nyata dan menerapkannya dalam keseharian siswa.

Interaksi langsung siswa dalam pembelajaran juga dibenarkan dalam penelitian Albers, C (2008) yang menyatakan bahwa ketika siswa memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, mereka berhasil menginterpretasikan solusi dalam pengajaran. Pengalaman dalam berkomunikasi mampu memberikan sumber potensi pengetahuan tentang pengajaran. Interaksi yang terjadi secara konstruktif yang mencakup pengetahuan tentang tujuan dan panduan implementasi dapat membangun peningkatan pemikiran seseorang (memunculkan pengetahuan baru).

Belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2014:260) adalah (1). Belajar bukan menghafal, tetapi upaya mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh. (2). Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta tetapi berdasar pengetahuan mengikuti pengalaman yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan seseorang semakin efektif dalam berpikir. (3). Belajar adalah proses pemecahan masalah. Ini akan menjadikan anak berkembang secara utuh bukan hanya intelektual, mental juga emosi.

(4). Proses pengalaman sendiri yang akan berkembang bertahap dari yang sederhana menuju kompleks. Karena itu perkembangan setiap anak berbeda mengikuti irama kemampuan masing-masing. (5). Belajar pada hakikatnya menangkap pengetahuan dari kenyataan.

Untuk membangun aspek dari sikap ilmiah siswa, Astika (2013) menyatakan paradigma dalam proses pembelajaran diharapkan mengalami perubahan proses

(4)

berpusat pada siswa (Student Centered). Untuk perubahan ini paradigma pembelajaran tersebut diharapkan dapat mendorong siswa agar terlibat aktif dalam membangun pengetahuan, sikap, serta perilaku.

Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, Marhaeni (2007) menyatakan pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses pemecahan masalah yang dihadapinya sendiri (Student Centered). Di bawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik

Dalam pembelajaran kontekstual dibutuhkan peran guru yang profesional. Guru diharapkan untuk dapat mendesain lingkungan belajar yang betul-betul dapat berhubungan dengan kehidupan nyata. Maksudnya guru dituntut untuk dapat mengatur strategi pembelajaran agar makna dapat diperoleh siswa bukan sekedar memberi informasi. Guru diharapkan dapat mengelola kelas sebagai fasilitator yang bekerjasama dengan siswa dalam menemukan hal yang baru.

Profesionalisme guru dan metode penyampaian materi ajar kepada siswa di kelas, sangat berpengaruh terhadap pemahaman siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Dameus, et al (2004) menyatakan bahwa para pengajar tertarik untuk membuat para siswa bisa memahami dan belajar lebih baik. Pengajar akan mengajar lebih baik terkait penyampaian materi. Konsekuensi dari pengajaran yang tidak efektif sangat krusial jika siswa tidak paham yang mereka pelajari. Mereka akan kesulitan saat lulus dan mengaplikasikan ilmu mereka.

Berkaitan dengan kinerja guru, Sukidjo, et.al. (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa salah satu indikator pembelajaran dianggap berhasil apabila mahasiswa merasa puas terhadap pelaksanaan pembelajaran. Partner (2009) dalam Sukidjo (2013) menyampaikan bahwa keberhasilan proses pembelajaran sangat terkait dengan minat, perhatian, dan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Kepuasan siswa dalam proses pembelajaran dikaji dalam berbagai aspek yaitu materi, sarana, metode pembelajaran, dan penyampaian materi serta media pembelajaran.

Menurut Brown & Saks (1987) dalam Maas & Meijen (1999) menyatakan bahwa guru akan mencoba untuk memberikan siswanya kesempatan untuk mencapai hasil pembelajaran menurut kemampuan mereka, bagaimanapun, tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama dan guru mengatur perannya bagaimana memahami atas siswa- siswanya. Pemahaman dan perhatian kepada siswa bagaimanapun, merupakan hal yang butuh kesabaran dan merupakan hal yang tidak mudah bagi guru dalam menghadapi karakter siswa yang beragam. Karenanya prestasi dari siswa-siswanya dapat dijadikan tolak ukur bagi guru dalam memperlakukan siswa dan memahami kemampuannya.

Pentingnya metode pengajaran juga disampaikan dalam penelitian Link and Rutledge (1975) dalam Dameus, et al (2004) yang menyatakan bahwa, ketika siswa memiliki pemahaman lebih terhadap materi pelajaran, maka keuntungan akumulatif di masa depan pada pihak individu maupun sosial akan lebih tinggi. Ini adalah tanggung

(5)

jawab lembaga pendidikan serta pendidik untuk mencari metode pengajaran yang lebih efektif untuk memenuhi ekspektasi individu dan masyarakat terhadap pendidikan.

Meningkatkan metode pengajaran bisa membantu sebuah lembaga pendidikan mencapai target meraih hasil pembelajaran yang lebih baik.

Berdasarkan kajian teori di atas, dapat kita pahami bahwa di dalam CTL tidak hanya siswa yang dituntut memahami materi, tapi guru juga dituntut memiliki kemampuan melaksanakan proses pembelajaran CTL yang baik. Melalui pemahaman konsep yang benar dan mendalam terhadap CTL itu sendiri, kemampuan guru akan terbekali karena memang sudah dibekali konsep materi pembelajaran yang sudah sangat kuat.

BERPIKIR KRITIS

Definisi berpikir kritis dikonsepkan oleh Ernis (1986) dalam Filsaime (2008:58) berpikir kritis sebagai hasil interaksi serangkaian dugaan terhadap berpikir kritis, dengan serangkaian kecakapan untuk berpikir kritis. Dugaan-dugaan berpikir kritis yang disampaikan Erni meliputi: (1). mencari pernyataan yang jelas atas pertanyaan. (2).

mencari alasan. (3). Mencoba untuk berpengetahuan luas; (4). Berusaha untuk tetap relevan pada point utama.

Menurut Dewey dalam Fisher (2009) ia menamakan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif dan mendefinisikannya sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya.

Berdasarkan definisi Dewey ini, ia menyatakan bahwa berpikir kritis sebagai sebuah proses aktif. Bagi Dewey jika informasi atau gagasan diterima begitu saja maka terjadi proses berpikir yang pasif. Bagi Dewey memaknai proses berpikir kritis secara esensial adalah sebuah proses aktif di mana kita mengajukan pertanyaan untuk diri kita sendiri, menemukan informasi yang relevan untuk diri kita juga, akan lebih baik dari pada menerima informasi mentah dari orang lain sehingga kita akan dikatakan pasif.

Kecakapan dalam berpikir kritis juga menjadi dasar dalam konsep berpikir kritis yang disampaikan oleh Molan (2012: 12) yang menyatakan bahwa walaupun penting dalan kehidupan sehari-hari, berpikir kritis menjadi sesuatu yang sangat penting bagi dunia ilmu pengetahuan dan akademik. Karena ilmu pengetahuan selalu berkutat dengan kebenaran-kebenaran ilmiah berupa tesis dan hipotesis yang akan dijadikan dasar pengendalian. Kebenaran ini hanya bisa diuji melalui olah pikir yang kritis. Untuk bisa melakukan pengujian dengan baik, dan akhirnya sampai pada kebenaran sejati, kegiatan berpikir kritis harus berjalan melalui argumen, penalaran, dan penyimpulan.

Kecakapan siswa dalam berpikir kritis masih rendah, disampaikan oleh Astika (2013) dalam hasil penelitiannya bahwa rendahnya berpikir kritis ini tampak dari perilaku siswa yaitu rasa ingin tahu dalam mencari informasi masih rendah. Hal ini terbukti dari siswa yang hanya menerima informasi dari guru. Sehingga pemahaman

(6)

yang hanya memberikan informasi serta model pembelajaran yang masih kurang tepat dalam proses pembelajaran akan mempunyai dampak. Dampak tersebut yaitu siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya terutama kemampuan berpikir kritis. Hal ini akan mengakibatkan ketika siswa dihadapkan pada suatu masalah akan susah untuk menyelesaikannya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kemampuan siswa untuk mencari tahu dan mengembangkan informasi masih rendah sehingga dapat dinyatakan kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah.

Ada beberapa penghalang untuk berpikir kritis menurut Browne dan Stuart (1990) dalam Filsaime (2008:94) penghalang tersebut seperti: (1). Tidak mampu menjaga sikap berpikir kritis, sikap berpikir kritis identik dengan mental yang kuat.

Seorang pemikir kritis tidak akan meninggalkan sikap: mencari sebab dan jawaban setiap kesempatan (kecerdasan), mencari dan menghargai pandangan perspektif alternatif (bersifat terbuka), aktif dalam bertanya dalam isu apapun (nalar kritis); (2). Pengalaman pribadi yang kuat, semakin seseorang memiliki pengalaman akan terjadi banyak persinggungan dengan fenomena, akan semakin kuat keinginannya untuk bertanya; (3).

Terlalu menyederhanakan, kebanyakan orang tidak mau berpikir kompleks lebih memilih berpikir simpel. Hal ini mematikan berpikir kritis ketika terlalu menyederhanakan dengan gagal mempertimbangkan bahwa ada perspektif-perspektif lain, yang cukup potensial. Di sini berpikir kreatif orang tersebut akan mati; (4).

Kebutuhan psikologis yang kuat, ditandai dengan karakter seseorang yang tidak terbuka dengan alternatif pendapat orang lain, selalu merasa kesimpulan sendiri yang paling benar padahal sebaliknya, karakter orang yang seperti ini yang juga mematikan ketrampilan berpikir kritis.

Penelitian yang dilakukan oleh Nixon-Ponder (1995) dalam Dameus, et al (2004) menyatakan bahwa masalah yang ada merupakan alat untuk membangun dan memperkuat skill berpikir kritis. Menurutnya, pertanyaan jenis induktif mendorong terciptanya dialog dalam ruang kelas. Proses ini mencakup lima langkah termasuk mendeskripsikan konten, mendefinisikan problem, mengenalinya, mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahannya.

Berpikir kritis dengan jelas menuntut interpretasi dan evaluasi terhadap observasi, komunikasi, dan sumber-sumber informasi lainnya. Ia juga menuntut keterampilan dalam memikirkan asumsi-asumsi dalam mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang relevan, dalam menarik implikasi-implikasi. Lebih lanjut, bahwa berpikir kritis menggunakan jenis berpikir kritis dan reflektif.

BERPIKIR KREATIF

Torrance (1964) dalam Filsaime (2008: 3) menyatakan berpikir kreatif sebagai salah satu perkembangan puncak dalam tahap pertumbuhan seseorang. Meskipun pertumbuhan budaya mempengaruhi pertumbuhan puncak, namun anak-anak biasanya mengalami pertumbuhan puncak di usia 4,5 tahun.

(7)

Sudarma (2013) mengklasifikasi definisi kreativitas menjadi empat aspek yaitu:

(1). Kreativitas diartikan sebagai sebuah kekuatan atau energi yang ada dalam diri individu. Energi ini menjadi dorongan bagi seseorang untuk melakukan yang terbaik. (2).

Kreativitas dimaknai sebagai sebuah proses dalam mengelola informasi, membuat sesuatu, atau melakukan sesuatu. (3). Kreativitas adalah sebuah produk. Penilaian orang lain terhadap kreativitas seseorang dikaitkan dengan kualitas produknya; (4). Kreativitas dimaknai sebagai person, kreativitas dalam hal ini dimaknai pada individunya.

Ada 3 dorongan untuk menjadikan orang kreatif menurut Robert Franken (dalam Sudarma (2013) yaitu: (1). Kebutuhan untuk memiliki sesuatu yang baru, bervariasi dan lebih baik; (2). Dorongan untuk mengomunikasi nilai dan ide; (3). Keinginan untuk memecahkan masalah. Dorongan inilah yang membuat seseorang ingin berkreasi.

Untuk dapat berpikir kreatif, kita harus menghilangkan penghalang-penghalang berpikir kreatif. Menurut Crutchfield (1973) dalam Filsaime (2008:27) menemukan faktor penghalang berpikir kreatif, yaitu: (1) Takut kegagalan, ketidaksesuaian atau aib, ketakutan untuk merealisasikan pemikiran, ide, gagasan karena khawatir dikritik di depan umum telah tumbuh dalam diri dan ini menghambat kreativitas; (2). Kurang percaya diri : pengaruh negatif dari dalam diri dan dari luar diri; (3). Kesulitan berpikir;

(4). Kurangnya motivasi intrinsik (dari dalam diri : motivasi) dan terlalu banyaknya motivasi ekstrinsik (dari luar diri : reinforcement); (5). Toleransi yang rendah pada ambiguitas (terbuka terhadap banyak kemungkinan).

PEMBAHASAN

Pembelajaran pada umumnya dilaksanakan oleh guru banyak menekankan pada aspek pengetahuan dan pemahaman. Untuk itu diperlukan metode pembelajaran yang inovatif, aktif, dan kreatif salah satunya adalah pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL). Pembelajaran ini dapat membantu siswa dalam menguasai materi pembelajaran melalui pemikiran kritis dan kreatif dalam mengonstruksi pengetahuan mereka melalui pengalaman.

Pembelajaran contextual teaching and learning – CTL yang merupakan salah satu pendekatan pembelajaran, mempelajari pelajaran sesuai topik yang dipelajarinya dengan aktif. Siswa dilibatkan langsung dalam pengalaman dan bukan hanya dalam proses mencatat saja. Aplikasi diperkaya dengan pondasi teori yang dimiliki siswa. Diharapkan siswa dapat berkembang secara utuh bukan aspek kognitif saja tetapi juga aspek afektif dan psikomotor.

Konsep dan asas dari model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL), ada tujuan ke arah menciptakan siswa yang kritis dan kreatif. Dalam CTL siswa diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan sendiri materi berdasarkan topik yang sudah ditentukan. Kemudian siswa diharapkan mampu menghubungkan dari pemahaman yang pernah diperoleh di sekolah dengan kejadian di sekitarnya.

Pengalaman yang diperoleh siswa sendiri ini akan menjadikan pemahaman siswa

(8)

(memorinya). Terakhir siswa diharapkan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari karena materi yang diperoleh di sekolah bukan hanya untuk dihafal tetapi untuk diaplikasikan.

Melalui pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), siswa dapat menggunakan pengetahuan awal yang sudah pernah dimiliki melalui proses konstruktivistik dapat membangun pengetahuan baru yang memiliki makna. Kemudian siswa mengkonstruksi hingga mereka dapat membangun pengetahuan baru bukan sekedar menerima pengetahuan. Dalam proses inquiry, siswa melakukan perpindahan dari pengamatan kondisi nyata disesuaikan dengan pemahaman terhadap suatu konsep hingga muncul pemahaman baru. Di sini proses berpikir kritis siswa mulai bekerja di mana mereka dengan berpikir kritis dapat menemukan solusi pemecahan masalah. Pada komponen questioning menjadi kegiatan guru untuk membimbing, mendorong, dan menilai kemampuan berpikir siswa, sehingga tercapai yang diharapkan siswa dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dalam CTL juga terdapat komponen Learning Community, memiliki makna bahwa dalam CTL terdapat sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar, bertukar pengalaman, berbagi ide, dan bekerjasama dengan orang lain dalam proses pembelajaran. Kemudian ada komponen modelling, merupakan pemberian contoh langsung dalam proses pembelajaran. Pada komponen Reflection, guru mengajak siswa untuk berpikir kembali tentang apa yang telah kita pelajari, mencatat apa yang telah kita pelajari, dan membahas apa yang telah kita lakukan untuk membangun suatu perbaikan. Terakhir komponen penilaian Authentic Assessment memiliki makna pengetahuan dan kemampuan siswa menjadi tolak ukur bagi penilaian guru melalui penilaian produk atau kinerja secara komprehensif.

Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses belajar yang bertujuan membantu peserta didik untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengaitkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun karakteristik pembelajaran berbasis CTL ini adalah kerjasama, saling menunjang, menyenangkan, tidak membosankan, belajar lebih bergairah, terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, dan membudayakan siswa aktif.

Sesuai dari konsep model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL), bahwa pengetahuan terhadap suatu objek diperoleh siswa melalui mengkonstruksi sendiri pengalamannya secara aktif dan bertahap sampai muncul pemahaman baru, maka di sini butuh peran guru yang profesional. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek dalam pendidikan dengan segala keunikannya. Siswa adalah manusia yang aktif dalam menggali potensinya sendiri. Kalaupun guru menyampaikan informasi kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi tersebut untuk lebih bermakna dalam kehidupan mereka.

Melalui konsep dan asas pembelajaran TCL ini, dapat kita temui di beberapa bagian pelaksanaannya (implementasinya) adalah mengembangkan ketrampilan berpikir kritis dan kreatif pada siswa. Asumsi atau latar belakang yang mendasari dari konteks CTL adalah: (1). Belajar bukan proses menghafal tapi mengkonstruksi pengetahuan

(9)

berdasarkan pengalaman; (2) belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta, tapi ada keterkaitan antar runtutannya jika siswa dapat menggunakan pola pikir; (3). Belajar adalah proses pemecahan masalah; (4). Belajar adalah proses pengalaman sendiri dari yang sederhana menjadi kompleks; (5). Belajar adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan.

Peningkatan berpikir kritis akan diikuti kecakapan berpikir kritis, satuan pendidikan dapat mulai merumuskan pembelajaran yang tepat untuk mengimplikasikannya. Seperti pendapat Olsen, 1990 (dalam Filsaime, 2008:78) disampaikan dalam tulisannya bahwa dalam tahun-tahun terakhir, telah ada anjuran untuk para pendidik agar memberi perhatian yang lebih pada perkembangan dan evaluasi kecakapan-kecakapan berpikir kritis. Berpikir kritis juga dianggap sebagai tujuan pendidikan atau tujuan utama dari semua usaha pendidikan.

Korelasi dari CTL dalam mengembangkan ketrampilan berpikir kreatif siswa, dapat diserap melalui pemahaman empat aspek dalam kreativitas yaitu: (1). Kreativitas dimaknai sebagai kekuatan atau energi; (2). Kreativitas dimaknai sebagai proses; (3).

Kreativitas dikenal sebagai sebuah produk; (4). Kreativitas dikenal sebagai person.

Berdasarkan informasi ini disimpulkan bahwa kreativitas adalah kecerdasan yang berkembang dalam diri individu, dalam bentuk sikap, kebiasaan, dan tindakan dalam melahirkan sesuatu yang baru dan orisinil untuk memecahkan masalah.

Asas konstruktivisme, inkuiri, dan refleksi sepertinya mencakup dalam kreativitas, bahkan asas-asas yang lainnya. Seperti yang kita tau bahwa kreativitas adalah kecerdasan dalam diri seseorang yang berkaitan dengan sikap, kebiasaan, dan tindakan dalam melahirkan sesuatu yang orisinil. Dapat kita temukan juga hal ini dalam konstruktivisme di mana siswa dijadikan aktif dalam mengonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalaman. Dalam proses konstruktivisme ini terdapat ketrampilan kreatif. Siswa dibentuk untuk menjadi pribadi yang memiliki sikap, kebiasaan, dan tindakan melalui proses asimilasi dan akomodasi akomodasi hingga terbentuk pengetahuan atau pemahaman yang baru.

Hasil penelitian yang mengajak siswa untuk mulai belajar bertanya dan berpikir kritis di kelas seperti penelitian yang dilakukan oleh Sadia (2008: 4) yang menyatakan Berdasarkan strategi-strategi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan lima kunci dalam menciptakan atau mengkreasi suasana belajar yang interaktif (mulai pembelajaran dengan masalah kontroversi, gunakan keheningan untuk membangkitkan refleksi, atur ruang kelas untuk membangun interaksi, perpanjang waktu pembelajaran, ciptakan lingkungan belajar yang nyaman), maka model pembelajaran yang sesuai dalam upaya mempromosikan keterampilan berpikir kritis siswa yaitu pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kontekstual, siklus belajar, dan model pembelajaran sains- teknologi-masyarakat.

Dalam siswa membangun pemikiran kritis dan kreatif mereka melalui mengkonstruksi pemahamannya siswa dapat selalu meminta bimbingan dari guru

(10)

perkembangannya, berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan salah satunya ditentukan oleh kompetensi guru. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator yang bertugas untuk mengoptimalkan keaktifan dan kreativitas siswa.

Guru tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan teori saja tetapi kemampuan untuk menyampaikan materi pelajaran agar pembelajaran menjadi hal yang menyenangkan bagi siswa sehingga siswa dapat dengan mudah memahami materi yang disampaikan oleh guru. Selain itu guru juga mengondisikan siswa dalam kelas untuk berada dalam gaya belajar yang aktif. Sebagai tindakan menciptakan daya berpikir kreatif, siswa dipancing untuk bertanya dengan memberi pertanyaan yang bersifat rangsangan dan dapat berupa reinforcement ketika siswa menyampaikan pendapat atau tanggapan.

CTL sebagai model pembelajaran yang dapat membantu guru mempermudah pemahaman siswa dengan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka dengan menerapkan tujuh komponen utama pembelajaran yang efektif (konstruktivistik, inquiry, question, masyarakat belajar, pemodelan, reflection, penilaian yang sebenarnya.

Berdasarkan uraian paragraf di atas, bisa kita pahami bahwa pada intinya pengembangan siswa melalui model pembelajaran CTL di situ siswa benar-benar dikembangkan kecerdasan pola pikir untuk menjadi individu yang kritis dan kreatif.

Melalui tindakan aktif dalam mengonstruksi pengetahuan yang dimiliki berdasarkan pengalaman untuk melahirkan pengetahuan dan pemahaman baru melalui bimbingan dan arahan guru sebagai fasilitator. Proses mengonstruksi sebagai wadah untuk berpikir kritis, sedangkan menghasilkan pengetahuan dan pengalaman baru sebagai wujud ketrampilan berpikir kritis dan kreatif siswa.

SIMPULAN

Berdasarkan penulisan di atas, maka perumusan masalah dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Melalui pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL), dapat melatih siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya secara optimal melalui arahan dan bimbingan guru sebagai fasilitator bagi siswa dalam proses mencari dan menemukan materi, kemudian menghubungkannya, dan menerapkannya dalam keseharian mereka.

2. Dalam pembelajaran ekonomi yang cenderung didominasi oleh konsep teoretis dan pemahaman tentang kurva, dibutuhkan pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi. CTL sebagai salah satu pembelajaran efektif yang dapat diterapkan untuk siswa secara aktif berdiskusi dan mengaitkan dengan kehidupan nyata sehingga dapat memperdalam pemahaman siswa.

(11)

3. Guru sebagai fasilitator dalam penerapan model pembelajaran CTL, diharapkan menguasai materi tentang CTL selain materi pembelajaran yang sudah pasti dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Albers, C. (Januari 2008). Improving Pedagogy Through Action Learning and Scholarship Of Teaching and Learning. Journal of International Teaching Sociology, Page 79-86.

Astika, U. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Sikap Ilmiah dan Keterampilan Berpikir Kritis. e-Jurnal Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, Vol. 3.

Costa, R, et al. (September 2014). Effective Teaching Methods In The Master's Degree:

Learning Strategies, Teaching-Learning Processess, Teacher Training. European Scientific Journal, Edition Vol. 1.

Dameus, A. (September 2004; 48,3). Effectiveness of Inductive and Deductive Teaching Methods in Learning Agricultural Economics: A Case Study. ProQuest Agriculture Journals, Pg 7.

Filsaime, D. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Preatasi Pustaka.

Fisher, A. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Marhaeni. (2007). Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik Dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran Yang Efektif dan Produktif. Makalah Lokakarya Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana 8-9 Desember 2007, Denpasar.

Maas, C. and Maijen, G. (1999). Problem Student: A Contextual Phenomenon. Social Behaviour and Personality; 1999; 27;4; ProQuest Sociology, Pg 387.

Molan, B. (2012). Logika (Ilmu dan seni berpikir kritis). Jakarta: P.T Indeks.

Rusman. (2014). Model-model pembelajaran (mengembangkan profesionalisme guru).

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sadia, I. (2008, April). Model Pembelajaran Yang Efektif Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis (Suatu Persepsi Guru). Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No.2 Tahun XXXXI.

Sanjaya, W. (2014). Strategi Pembelajaran (berorientasi standart proses pendidikan).

Jakarta: Kencana.

Sudarma, M. (2013). Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta:

PT. RAJA GRAFINDO PERSADA.

Sukidjo, et al. (2013). Pengembangan Character Building dengan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Perpajakan di Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan, Vol 22,

(12)

Qisty, F, et al. (2012). Efektivitas Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pokok Bahasan Permintaan, Penawaran, dan Terbentuknya harga Pasar Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Cilacap Tahun Pelajaran 2011 / 2012. Economic Education Analysis Journal I (2) (2012).

(13)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA MATERI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI DAN

BISNIS DI SMK Winaika Irawati

Universitas Negeri Surabaya [email protected] Abstrak

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Dengan diterapkannya model pembelajaran CTL siswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi perilaku konsumen.

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment). Penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh pendidik dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan rasional.

Kata Kunci: Pendekatan kontekstual, perilaku konsumen

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, sehingga manusia mampu untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi, menuju arah yang lebih baik.

Pembelajaran adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Syaiful Sagala, 2006: 61).

Proses belajar-mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Dalam proses ini siswa membangun makna dan pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan belajar- mengajar hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan hal-hal secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan

(14)

disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, guru, dan sumber daya yang tersedia di sekolah.

Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Dampak yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar peserta didik dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan karena dalam proses peserta didik kurang dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat pada pendidik, dan klasikal.

Selain itu peserta didik kurang dilatih untuk menganalisis permasalahan, jarang sekali peserta didik menyampaikan ide untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses penyelesaian soal yang dilontarkan guru.

Metode mengajar merupakan suatu komponen di dalam kurikulum pemasaran.

Agar suatu kurikulum pemasaran dapat tersusun menjadi suatu satuan yang utuh, maka diperlukan cara bagaimana seorang pendidik menyampaikan struktur-struktur dan konsep-konsep pemasaran kepada peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka ikut aktif berpartisipasi di dalam proses belajarnya yang diperoleh baik pengalaman praktis maupun pengetahuan teori.

Materi perilaku konsumen dalam sekolah menengah kejuruan merupakan materi yang mampu menjadikan dasar pengetahuan siswa dalam memahami pengertian dari perilaku konsumen, pola konsumsi, watak konsumen serta perilaku konsumen dalam pembelian. Namun untuk membuat pemahaman siswa terhadap materi prinsip-prinsip bisnis ke dalam kehidupan sehari-hari perlu adanya pemahaman yang mendalam melalui sebuah model pembelajaran.

Dari beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang menarik dan dapat memicu peningkatan penalaran peserta didik yaitu model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Pada dasarnya, pembelajaran CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari peserta didik. Dalam pembelajaran ini peserta didik harus dapat mengembangkan ketrampilan dan pemahaman konsep pemasaran untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian penggunaan model pembelajaran CTL perlu diberikan oleh pendidik dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik. Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan rasional. Di samping itu juga akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu peserta didik harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berpikir secara kritis dan mandiri.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan perbaikan proses belajar dengan Penerapan Metode Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)Pada Materi Perilaku Konsumen Untuk Meningkatkan Profesionalisme Pendidik Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia2015.

(15)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah Untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) pada Materi Perilaku Konsumen dalam pembelajaran ekonomi dan bisnis di SMK. Kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan wacana dalam mempelajari ilmu kependidikan khususnya dalam bidang ekonomi dan juga sebagai bahan referensi dalam menyusun tulisan serupa.

Pengertian dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja.

Pembelajaran kontekstual

Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment).

Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya (Depdiknas, 2002, dikutip dari buku Trianto).

Dalam penerapan model pembelajaran CTL, terdapat tujuh komponen pendekatan CTL yaitu:

a) Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengalaman itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, pengalaman terbentuk oleh dua faktor penting yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasikan objek tersebut.

b) Inkuiri

Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Proses inkuiri dilakukan dalam beberapa langkah: Merumuskan masalah, Mengajukan hipotesis, Mengumpulkan data, Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan Membuat kesimpulan.

(16)

Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Pertanyaan pendidik digunakan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir peserta didik, sedangkan pertanyaan peserta didik merupakan wujud keingintahuan. Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: Menggali informasi dan kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi pelajaran, Membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar, Merangsang keingintahuan peserta didik terhadap sesuatu, Memfokuskan peserta didik pada suatu yang diinginkan dan Membimbing peserta didik untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.

d) Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep Masyarakat Belajar (Learning Community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam kelas CTL, asas ini dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.

e) Pemodelan (Modeling)

Yang dimaksud dengan asas pemodelan, adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik.

Misalnya pendidik memberikan contoh bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing dan lain sebagainya.

f) Refleksi (Reflection)

Yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan.

g) Penilaian Nyata (Authentic Assessment)

Prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.

Perilaku Konsumen

Menurut Philip Kotler dan Keller (2009:166) perilaku konsumen didefinisikan sebagai: Studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, menggunakan dan bagaimana barang dan jasa, ide atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan keinginan mereka.

Menurut Zaltman dan Melanie Wallendorf (dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, 2002:4) Perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan, proses dan hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok dan organisasi dalam mendapatkan,

(17)

menggunakan suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan sumber-sumber lainnya.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menurut Kotler dan Amstrong dalam Hurriyati (2009:166) terdiri atas:

1. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas dan paling dalam terhadap perilaku konsumen. Pemasar harus memahami peran yang dimainkan oleh budaya, subbudaya, dan kelas sosial pembeli.

a) Budaya

Budaya merupakan kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan tingkah laku yang dipelajari oleh anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting lainnya.

b) Sub budaya

Sub budaya termasuk nasionalitas, agama, kelompok ras, dan wilayah geografi.

c) Kelas sosial

Kelas sosial adalah divisi masyarakat yang relatif permanen dan teratur dengan para anggotanya menganut nilai-nilai dan tingkah laku yang serupa.

2. Faktor sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi perilaku konsumen seperti kelompok kecil, keluarga serta status sosial dari konsumen.

a) Kelompok

Kelompok meliputi dua faktor yaitu kelompok keanggotaan dan kelompok acuan.

Kelompok yang mempunyai pengaruh langsung dan seseorang yang menjadi anggotanya adalah kelompok keanggotaan. Kelompok acuan berfungsi sebagai titik perbandingan atau acuan langsung (tatap muka) dan tidak langsung dalam membentuk sikap atau tingkah laku seseorang.

b) Keluarga

Anggota keluarga sangat mempengaruhi tingkah laku pembeli. Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan telah diteliti secara mendalam.

c) Peran dan status sosial

Peran terdiri dari kegiatan yang diharapkan dapat dilakukan seseorang. Orang memilih produk yang mencerminkan dan mengkomunikasikan peran mereka serta status aktual atau status yang diinginkan dalam masyarakat.

d) Faktor pribadi

(18)

Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti usia dan tahap siklus hidup pembeli, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri.

e) Usia dan tahap siklus hidup

Membeli juga dibentuk oleh tahap siklus hidup keluarga, tahap-tahap yang mungkin dilalui oleh keluarga sesuai dengan kedewasaannya. Pemasar seringkali menentukan produk yang sesuai serta rencana pemasaran untuk setiap tahap.

f) Pekerjaan

Pekerjaan juga mempengaruhi pola konsumsi. Pemasar berusaha mengenali kelompok pekerjaan yang mempunyai minat di atas rata-rata akan produk dan jasa mereka.

g) Situasi ekonomi

Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi. Pemasar yang peka terhadap pendapatan akan mengamati kecenderungan dalam pendapatan pribadi, tabungan dan tingkat minat.

h) Gaya hidup

Gaya hidup adalah pola kehidupan seseorang yang diwujudkan dalam psikografiknya. Gaya hidup mencakup sesuatu yang lebih dari sekedar kelas sosial atau kepribadian seseorang, gaya hidup menampilkan pola bereaksi dan berinteraksi seseorang secara keseluruhan.

i) Kepribadian dan konsep diri

Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologi unik yang menyebabkan respons yang relative konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungan dirinya sendiri. Dasar pemikiran konsep diri adalah bahwa apa yang dimiliki seseorang memberi kontribusi dan mencerminkan identitas mereka.

Profesionalisme

Guru sebagai pendidik merupakan tenaga professional. Mengacu pada Undang- undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 42 ayat (1) bahwa “pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006), yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Menurut Rice dan Bishoprik dalam Imam Wahyudi (2012) guru professional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. profesionalisme yang dimaksud oleh

(19)

mereka adalah satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan menjadi tahu, dan ketidakmatangan jadi matang.

Kinerja Guru

Kinerja guru adalah prestasi yang diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Menurut Sudarmayanti dalam Imam Wahyudi (2012) kinerja erat hubungannya dengan masalah produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana untuk menentukan produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Kinerja guru merupakan prestasi kerja guru sebagai hasil dorongan atau motivasi yang diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Kinerja guru adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya yang meliputi menyusun program pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan evaluasi dan analisis evaluasi.

PEMBAHASAN

Penerapan Model Pembelajaran CTL Pada Materi Perilaku Konsumen

Berdasarkan silabus Kurikulum 2013 mata pelajaran ekonomi dan bisnis untuk kelas X semester satu (ganjil) pada kompetensi dasar 3.5 siswa diajak untuk memahami perilaku konsumen dan produsen serta peranannya dalam kegiatan ekonomi. Dalam pembahasan mengenai perilaku konsumen terdapat beberapa materi yang harus disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik yaitu: 1) pengertian perilaku konsumen, pola konsumsi, watak konsumen serta perilaku konsumen dalam pembelian.

Pembelajaran materi perilaku konsumen dengan menggunakan model pembelajaran CTL memiliki 3 kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.

Untuk mencapai tujuan kompetensi, pendidik menerapkan strategi pembelajaran sebagai berikut:

1. Pendidik menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari

2. Pendidik menjelaskan prosedur pembelajaran CTL.

3. Peserta didik dibagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan jumlah peserta didik (tiap kelompok diberikan tugas yang sama).

4. Peserta didik berdiskusi dengan kelompok masing-masing.

5. Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi.

6. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain.

7. Dengan bantuan pendidik, peserta didik menyimpulkan hasil diskusi sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.

8. Penilaian.

Penerapan model pembelajaran CTL dalam kelas yaitu pada kegiatan pendahuluan, guru membimbing peserta didik untuk berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing sebelum pelajaran dimulai, selanjutnya guru

(20)

Guru membuka pelajaran dengan salam. (2) Guru memeriksa kehadiran siswa secara komunikatif, disiplin, dan tanggung jawab. (3) Pendidik menginformasikan tujuan pembelajaran perilaku konsumen yang akan dicapai oleh setiap peserta didik.

(4)Pendidik menginformasikan pembelajaran CTL. (5) Pendidik mengelompokkan peserta didik secara heterogen.

Pada kegiatan inti pembelajaran materi perilaku konsumen, guru mengajak siswa melaksanakan proses pertama dalam penerapan pembelajaran CTL dengan langkah- langkah dalam kelas sebagai berikut: (1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya tentang perilaku konsumen. Misalnya dengan cara membaca buku teks tentang pengertian perilaku konsumen, selain itu guru juga dapat meminta siswa untuk mengamati sebuah fenomena tentang kondisi perilaku konsumen (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri dalam pembelajaran perilaku konsumen (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, dalam hal ini guru mencoba memancing siswa agar aktif bertanya (4) Setelah itu ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok) untuk mendiskusikan tentang materi perilaku konsumen.(5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran misalnya dengan model diskusi, guru membagi siswa ke dalam kelompok dan diberi tugas untuk mengidentifikasi pengertian perilaku konsumen, pola konsumsi, watak konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Pendidik memberikan informasi materi pembelajaran dengan langkah-langkah penemuan terbimbing melalui lembar kerja peserta didik yang telah disiapkan untuk didiskusikan secara berkelompok. Peserta didik berdiskusi dalam kelompok kemudian melakukan presentasi hasil diskusi dengan menunjuk salah satu anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya. Pendidik memberikan kesimpulan, rangkuman dari hasil presentasi kelompok. Pendidik mengecek pemahaman peserta didik dengan tanya jawab. Pendidik memberikan kuis atau tes kepada peserta didik secara individual. Pendidik memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual maupun kelompok. (6) Lakukan penilaian yang sebenarnya pada saat proses belajar maupun pada hasil belajar.

Di akhir pelajaran maka guru akan melaksanakan kegiatan penutupan. (7) Dalam kegiatan penutupan ini guru dan siswa bersama-sama melakukan refleksi, (8) kemudian guru melakukan penilaian yang dapat berupa tes lisan dengan beberapa pertanyaan, siswa bersama guru memberikan kesimpulan materi pelajaran hari ini sehingga diperoleh kesimpulan akhir. Siswa menyimak informasi mengenai rencana tindak lanjut pembelajaran.

Penilaian dalam Model Pembelajaran CTL Pada Materi Perilaku Konsumen

Penilaian yang dipakai dalam model pembelajaran CTL adalah Penilaian Nyata (Authentic Assessment) yaitu prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan dan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik

(21)

adalah pada pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.

Dalam pembelajaran berbasis CTL gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar.

Focus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan seperti PR, kuis, karya siswa, presentasi atau penampilan siswa, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.

SIMPULAN

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya.

Dengan diterapkannya model pembelajaran CTL siswa menjadi lebih kreatif dan kritis dengan kondisi perilaku konsumen. Berpikir kritis dan kreatif merupakan salah satu faktor yang penting yang harus dimiliki siswa untuk menghadapi MEA 2015.

Proses pembelajaran materi model pembelajaran CTL menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran, siswa diharapkan mampu mengaitkan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, agar peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Guru sebagai fasilitator diharapkan mampu melaksanakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan maksimal agar hasil pembelajaran meningkat secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

(22)

(CTL) — Drs. Bandono, MM.htm diakses tanggal 07 april 2015.Trianto, 2009, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif, Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Davi, Iwa Umra. 2012. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Pada Materi Aljabar Bagi Siswa Kelas VIII-B Smp Negeri 10 Malang. Malang:

Universitas Negeri Malang.

Hartini, Nanik. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (Ctl) Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar IPA Siswa Kelas II SDN O2 Gambirmanis Pracimantoro Wonogiri. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Kotler, Philip dan Kelvin Lane Keller (diterjemahkan oleh bob sabrana). 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi 13.Jilid 1. Jakarta:Erlangga

Permatasari, Indhah. 2013. Penerapan Media Mind Mapping Program pada Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (Ctl) Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar Fisika Pada Siswa Kelas Xi.A2 Sma Negeri 4 Surakarta.

Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Rostiawati, Tita. 2008. Penerapan Model Pembelajaran Ctl Pada Bahan AjarGeometri Dan Pengukuran Di Sekolah Dasar. Sumedang: UPI kampus Sumedang.

Rusmiati. 2012. Penerapan Model Contextual Teaching And Learning Untuk Meningkatkan Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Kelas III Sdn 07 Sungai Soga Bengkayang. Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Sheva, Abraham. 2011. Makalah Pendekatan Kontekstual Learning (CTL).

http://www.Abraham Sheva MAKALAH PENDEKATAN KONTEKSTUAL LEARNING (CTL).htm diakses tanggal 08 april 2015.

Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta:

Prestasi Pustaka.

Trianto, 2009, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif, Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Wahyudi, Imam. 2012, Mengejar Profesionalisme Guru, Jakarta: Prestasi Pustaka Raya.

(23)

PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA PEMBELAJARAN AKUNTANSI DI SMK

(SUATU KAJIAN TEORI) Yulia Agustina

Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya [email protected]

Abstrak

Tujuan nasional pendidikan yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terwujud dalam pengembangan kemampuan, watak serta peradaban bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pendekatan pembelajaran yang mampu memberikan makna dan membangun kebiasaan baik pada siswa. Contextual teaching and learning (CTL) ditawarkan sebagai sebuah pendekatan holistic terhadap pendidikan yang dapat digunakan oleh semua siswa baik yang berbakat maupun siswa yang mengalami kesulitan belajar. CTL ditawarkan sebagai satu strategi yang sangat menarik karena siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran dengan pengalaman sendiri sehingga mereka akan menemukan makna pembelajaran. Selain itu melalui CTL akan membentuk sebuah karakter siswa di antaranya tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian, kejujuran, dermawan, suka menolong, gotong-royong/kerjasama, percaya diri, kreatif, pekerja keras, rela berkorban, toleransi, penegak hukum dan persatuan.

Pelaksanaan pendidikan karakter yang diintegrasikan pada pembelajaran perlu menggunakan pendekatan CTL, karena proses pendidikan karakter menjadi lebih konkret dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan masing-masing.

Kata Kunci: pendidikan karakter, Contextual Teaching and Learning, akuntansi

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kehidupan pada abad ke 21 ini begitu cepat dan menimbulkan perubahan pada berbagai bidang kehidupan. Begitu pula di Negara Indonesia, perkembangan IPTEK telah merubah berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Menyikapi hal tersebut maka perlu dipersiapkan kualitas sumber daya manusia yang baik pula. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak tertinggal, mampu bersaing di era global dan mampu mengikuti pesatnya perkembangan zaman.

Pada era globalisasi ini persaingan pada dunia kerja juga menjadi semakin ketat.

Ditambah lagi masuknya era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang mana akan membuka batas-batas perdagangan di Negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan adanya MEA ini tidak saja perdagangan barang dan jasa yang semakin bebas, melainkan juga pasar tenaga kerja antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Pada era MEA ini Negara- negara di kawasan Asia Tenggara bebas bersaing untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh kawasan Asia Tenggara. Sehingga nantinya akan banyak warga negara asing yang akan masuk di perusahaan-perusahaan Indonesia dan juga sebaliknya masyarakat Indonesia akan dikirim untuk bekerja di perusahaan luar negeri.

Oleh karena untuk menjaga eksistensinya dan mampu bersaing di kancah MEA,

(24)

karakter (soft skill) yang tangguh sehingga mampu bersaing di era global ini. Segala upaya pembangunan sumber daya manusia sangatlah diperlukan untuk mencetak sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan dan berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan bersama.

Tujuan pendidikan nasional itu sendiri adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, diperlukan suatu usaha dan kerja keras sedini mungkin, sehingga timbul gagasan untuk memperbaiki dan melakukan pembaharuan dari berbagai pihak terutama dari pihak-pihak yang menggeluti dunia pendidikan.

Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dengan adanya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, profesionalisme tenaga pendidik, maupun peningkatan mutu anak didik. Sedangkan untuk mencetak peserta didik yang mempunyai mutu tinggi maka diperlukan adanya sarana yang berupa lembaga yang melaksanakan pendidikan formal atau yang lebih dikenal dengan pendidikan sekolah.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia karena melalui pendidikan manusia dapat teraktualisasi dengan baik. Dalam wacana pendidikan terdapat dua hal yang sering dipertentangkan yaitu teori dan praktik, akan tetapi teori pada akhirnya akan menjadi sesuatu yang paling praktis.

Untuk memahami hubungan teori dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari diperlukan strategi pembelajaran yang seyogyanya difasilitasi oleh staf pengajar (guru/dosen).

Strategi pembelajaran yang bertujuan membantu siswa dalam menghubungkan teori dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang perlu dikembangkan di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Faktanya siswa-siswa sekarang tiba di sekolah tanpa persiapan melakukan pembelajaran. Biasanya, mereka dibatasi oleh pemahaman materi yang akan disampaikan sehingga mereka tidak mampu memahami materi yang lebih rumit maupun menemukan hal-hal yang tersembunyi.

Mereka seringkali tidak mempunyai kerangka berpikir dalam memahami logika dari suatu pendapat tertulis. Hal ini merupakan akibat dari keterbatasan pendidikan tradisional yaitu biasanya siswa hanya menghabiskan waktu untuk mendengarkan pengajaran dan menyelesaikan latihan-latihan yang membosankan dan akhirnya mereka mengikuti ujian yang hanya bisa mengungkapkan pemahaman siswa dan mengukur kemampuan siswa menghafalkan fakta tanpa mereka tahu bahwa sebenarnya bertanya, diskusi, mencari tahu, berpikir kritis atau terlibat dalam proyek kerja nyata dan

(25)

pemecahan masalah adalah hal yang penting dari suatu proses pembelajaran (Johnson, 2006).

Begitu pula pada pembelajaran akuntansi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) akan lebih bermakna apabila peserta didik (siswa) itu mengalami apa yang dipelajarinya bukan sekedar mengetahuinya. Pembelajaran akuntansi yang hanya berorientasi pada target pencapaian materi (materi oriented) di mana proses kegiatannya dianggap selesai apabila target bahasan materi dalam kurikulum itu sudah tuntas disajikan kepada peserta didik diakui berhasil untuk kompetensi jangka pendek dan terbukti gagal untuk memecahkan persoalan riil dalam kehidupan jangka panjang.

Karakteristik pelajaran akuntansi yang prosedural yaitu satu tahap berhubungan dan menjadi syarat mengerjakan tahap berikutnya. Sebagai contoh materi persamaan dasar akuntansi itu berhubungan dan merupakan syarat dalam mengerjakan materi jurnal umum atau materi laporan keuangan. Oleh karena itu peserta didik dituntut untuk menguasai setiap tahapan dalam materi akuntansi agar bisa mempelajari semua materi pelajaran akuntansi dengan tuntas. Hal ini diperlukan untuk memberi keterampilan atau pengetahuan kepada peserta didik secara komprehensif dan berkesinambungan. Hal ini mengakibatkan peserta didik mengalami kebosanan atas pelajaran akuntansi. Akibatnya prestasi belajar mereka juga mengalami penurunan dan kurang bersaing untuk diterapkan di dunia usaha dan dunia industri.

Agar peserta didik dapat belajar akuntansi dengan berhasil dan menyenangkan, maka guru diupayakan harus kreatif dan inovatif untuk memilih metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar akuntansi. Salah satu metode pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru akuntansi dalam proses belajar mengajar adalah metode contextual teaching and learning.

Contextual teaching & learning merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memaknai materi pelajaran dengan menghubungkannya pada kehidupan kesehariannya dan guru sebagai fasilitatornya. Sehingga melalui contextual teaching & learning guru akuntansi akan mengaitkan antara materi akuntansi yang diajarkan dengan situasi dunia kerja yaitu dunia usaha dan dunia industri. Serta bisa mendorong peserta didik untuk membuat hubungan antara pembelajaran akuntansi di sekolah dengan penerapannya di dunia usaha dan dunia industri. Proses pembelajaran contextual teaching & learning ini berlangsung secara alamiah antara guru kepada peserta didik, bukan hanya transfer pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Dalam konteks ini, peserta didik perlu memahami apa sesungguhnya makna belajar akuntansi bagi dirinya serta bagaimana mencapainya.

SMK merupakan lembaga vokasional yang memiliki visi dan misi pendidikan untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil serta siap kerja, lembaga pendidikan ini mengusung suatu program Praktik Kerja Industri (Prakerin) bagi siswanya yang ditempatkan di berbagai industri, perusahaan, instansi pemerintah dan badan usaha.

Untuk itu pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching & learning dirasa akan

(26)

Dilihat dari sisi lain, dampak globalisasi pada kehidupan masyarakat mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku dengan cara meniru perilaku dan budaya barat. Dewasa ini banyak terjadi peristiwa yang menyedihkan antara lain perilaku anarkisme, individualisme, korupsi dan lunturnya nilai moral. Sehingga mengacu pada UU No 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional bahwa pendidikan tidak hanya membangun kemampuan melainkan juga membentuk watak dan peradaban bangsa.

Selanjutnya menurut William Burton dalam Hamalik (2008) bahwa belajar merupakan suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh perubahan suatu tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Selain itu Gulo (2002) juga menyebutkan bahwa belajar merupakan proses berlangsung dalam diri seseorang yang mengubah tingkah laku, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap dan berbuat.

Berdasarkan dua teori diatas jelas bahwa tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bertambahnya ilmu pengetahuan melainkan juga perubahan tingkah laku dari karakter yang kurang baik menjadi karakter yang baik yang akan tercermin dalam watak dan peradaban.

Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai upaya pengembangan karakter bangsa melalui pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sehingga pada akhirnya akan mencetak lulusan yang mempunyai karakter dan berdaya saing tinggi sehingga mampu mengikuti era Masyarakat Ekonomi Asia.

PEMBAHASAN

Peningkatan di bidang pendidikan dirasa perlu dilakukan. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran yang dapat memberdayakan siswa. SMK sebagai lembaga vokasional yang tujuannya mempersiapkan tenaga terampil pada bidangnya dirasa sangat membutuhkan suatu strategi pembelajaran yang dekat dengan dunia nyata yaitu dunia usaha dan dunia industri.

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar secara mandiri. Maksudnya adalah pada pembelajaran kontekstual ini anak mengalami sendiri, mengkonstruk pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Anak harus mengetahui makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.

Siswa sebagai pembelajar, artinya tugas guru mengatur strategi belajar, membantu menghubungkan pengetahuan lama dan baru, dan memfasilitasi belajar. Lingkungan belajar memegang peranan penting, artinya siswa aktif bekerja dan belajar di panggung, sedangkan guru mengarahkan dari dekat.

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau disingkat CTL menurut Johnson (2006) adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, social, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan

(27)

pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.

Dari kutipan di atas menegaskan hakikat CTL yang dapat diringkas dalam tiga hal, yaitu makna, bermakna, dan dibermaknakan. Setiap manusia, tidak terkecuali siswa ataupun mahasiswa memiliki response potentiality yang bersifat kodrati. Keinginan untuk menemukan makna adalah sangat mendasar bagi manusia. Tugas utama pendidik (fasilitator) adalah memberdayakan potensi kodrati ini sehingga siswa/ mahasiswa terlatih menangkap makna dari materi yang diberikan.

CTL disebut pendekatan kontekstual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.

Dalam kelas kontekstual proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa, sebagaimana model pembelajaran konvensional. Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru dating dapat menemukan sendiri, bukan dari ungkapan guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.

Dengan demikian secara garis besar CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa sekaligus mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran yang efektif yaitu : konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), permodelan (modeling), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini dinilai mampu meningkatkan pemahaman siswa tentang sebuah materi. Peningkatan pemahaman ini diukur melalui peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siga pada tahun 2013. Menurut Siga (2013) dalam penelitiannya tentang penerapan pembelajaran kontekstual yang menyebutkan bahwa pendekatan kontekstual dan metode problem posing layak digunakan dalam meningkatkan hasil belajar penyusunan kertas kerja.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat peningkatan dari siklus ke siklus. Keunggulannya dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan metode problem posing ini adalah dapat meningkatkan aktivitas guru, aktivitas siswa dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh Deen dan Smith (2006) yang menyatakan bahwa guru-guru memiliki level pengetahuan yang tinggi mengenai pembelajaran kontekstual dan pembelajaran kontekstual merupakan hal yang serius di

Gambar

Gambar 1. Tiga hal penting dalam Ekonomi Kreatif Sumber: Departemen Perdagangan RI (2008)
Tabel 1. Perbedaan mendasar antara experiential learning dengan cara tradisional Experiential Learning Tradisional Content-based Learning.
Gambar 1. Siklus Experiential Learning Sumber: Kolb, A.D. & Boyatzis, R.E. (1999:39)
Tabel 2. Kemampuan Mahasiswa Dalam Proses Belajar Experiential Learning
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan peyusunan skripsi yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Hubungan secara simultan antara atribut produk, harga dan saluran distribusi dengan loyalitas konsumen. 2) Hubungan

pembinaan im an adalah: “…berkat bantuan Allah m engembangkan im an yang baru m ulai tumbuh, dari hari ke hari m emekarkan m enuju kepenuhannya serta semakin mem antapkan peri

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Chest pass merupakan passing yang sangat penting dalam permainan bola basket dan juga passing ini adalah passing yang

Since higher dose (0.5%) of Celosia cristata extract re- duces lipid accumulation in progenitor cells undergoing adipogenic differentiation for 10 days, the effect of the

Berdasarkan hasil simulasi, kontroler PID Prediktif dapat mengatasi perubahan beban yang diberikan serta mampu mempertahankan level sesuai dengan set point.. Hal ini

Penyusunan Laporan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Sistem Informasi S-1 pada Fakultas Tehnik Universitas Muria Kudus..

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan atau membenarkan suatu