• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

6

KERANGKA TEORI

2.1 Kerangka Teoritik

2.1.1 Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika a. Pengertian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Berpikir merupakan poros dari segala ilmu pengetahuan. Dengan kemampuan berpikir yang memadai, siswa tidak hanya dapat menguasai isi dari setiap mata pelajaran yang dipelajarinya, tetapi juga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Soemanto menyatakan bahwa berpikir adalah meletakkan hubungan antar bagian pengetahuan yang diperoleh manusia. Yang dimaksud pengetahuan di sini mencakup segala konsep, gagasan, dan pengertian yang telah dimiliki dan atau diperoleh manusia. Sementara itu, Plato (dalam Suryabrata, 1989) berpendapat bahwa berpikir adalah aktivitas ideasional. Artinya, aktivitas berpikir bukanlah aktivitas sensoris maupun motoris, walaupun dapat disertai oleh kedua hal tersebut (Pangesti, 2012).

Berpikir merupakan keterampilan kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan berpikir selalu berkembang dan dapat dipelajari.

Dalam dunia pendidikan berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif, dimana dalam hierarki Bloom terdiri dari tingkatan-tingkatan (Sastrawati, 2011). Kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan hasil belajar kognitif sangat berkaitan erat dengan kemampuan awal siswa. Kemampuan berpikir tingkat tinggi membutuhkan aturan-aturan yang telah dimiliki siswa yang tidak lain adalah kemampuan awal. Keterampilan berpikir dikategorikan menjadi berpikir dasardan berpikir kompleks atau berpikir tingkat (Kawuwung, 2011)

Stein dan Lane (1996) dikutip oleh Tony Thomson dalam Jurnal International Electronic Journal of Mathematics Education (2008) mendefinisikan berpikir tingkat tinggi adalah the use of complex, nonalgorithmic thinking to solve a task in which there is not apredictable, well-rehearsed approach or pathway explicitly suggested by the task, task instruction, or a worked out example. Menurut Stein berpikir tingkat tinggi

(2)

menggunakan pemikiran yang kompleks, non algorithmic untuk menyelesaikan suatu tugas, ada yang tidak dapat diprediksi, menggunakan pendekatan yang berbeda dengan tugas yang telah ada dan berbeda dengan contoh (Lewy, 2009). Secara khusus, Tran Vui (2001) mendefinisikan kemampuan berpikir tingkat tinggi sebagai berikut: “Higher order thinking occurs when a person takes new information and information stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing situations”.

kemampuan berpikir tingkat tinggi akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan informasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan menghubung-hubungkannya dan/atau menata ulang serta mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan ataupun menemukan suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan (Rosnawati, 2009).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi didefinisikan sebagai penggunaan pikiran secara lebih luas untuk menemukan tantangan baru. Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini menghendaki seseorang untuk menerapkan informasi baru atau pengetahuan sebelumnya dan memanipulasi informasi untuk menjangkau kemungkinan jawaban dalam situasi baru (disarikan dari Heong, dkk, 2011). Berpikir tingkat tinggi adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi daripada sekedar menghafalkan fakta atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti sesuatu itu disampaikan kepada kita.

Wardana mengemukakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah proses berpikir yang melibatkan aktivitas mental dalam usaha mengeksplorasi pengalaman yamg kompleks, reflektif dan kreatif yang dilakukan secara sadar untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh pengetahuan yang meliputi tingkat berpikir analitis, sintesis, dan evaluatif (Rofiah, 2013).

Thomas dan Thorne (2005) menyatakan bahwa “Higher Order Thinking is thinking on higher level that memorizing facts or telling something back to sameone exactly the way the it was told to you. When a person memorizies and gives back the informatio without having to think about it. That’s because it’s much like arobot; it does what it’s programmed

(3)

to do, but it doesn’t think for itself”. Kemampan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan (Rosnawati, 2009).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skill – HOTS) merupakan proses berpikir yang tidak sekedar menghafal dan menyampaikan kembali informasi yang diketahui. Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan menghubungkan, memanipulasi, dan mentransformasi pengetahuan serta pengalaman yang sudah dimiliki untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam upaya menentukan keputusan dan memecahkan masalah pada situasi baru (Rofiah, 2013). Resnick menyatakan berpikir tingkat tinggi adalah proses yang melibatkan operasi- operasi mental seperti klasifikasi, induksi, deduksi, dan penalaran (Sastrawati, 2011). Dewanto dalam Amalia menyatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi adala suatu kapasitas diatas informasi yang diberikan, dengan sikap yang kritis untuk mengevaluasi, mempunyai kesadaran (awareness) metakognitif dan memiliki kemampuan pemecahan masalah (Novianti, 2014).

Senk,et al (1997) dikutip oleh Tony Thomson dalam Jurnal International Electronic Journal of Mathematics Education (2008) menjelaskan karakteristik berpikir tingkat tinggi sebagai : solving tasks where no algorithm has beentaught, where justification or explanation are required, and where more than one solution may be possible. Jadi berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan untuk menyelesaikan tugas - tugas dimana tidak ada algoritma yang telah diajarkan, yang membutuhkan justifikasi atau penjelasan dan mungkin mempunyai lebih dari satu solusi yang mungkin (Lewy, 2009). Jadi, keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan sebuah proses berpikir dalam menyampaikan informasi, pengalaman, pengetahuan untuk memecahkan masalah secara kritis dan kreatif. Keterampilan berpikir tingkat tinggi juga merupakan sebuah proses berpikir dalam menemukan dan mencari gagasan serta solusi yang lebih inovatif, menarik, dan baru.

b. Hakikat Matematika

Dalam dunia pendidikan, matematika memiliki peranan yang penting dan luas sebagaimana pendapat Muijs dan Reynold yang menyatakan,

“matematika merupakan ‘kendaraan’ utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan keterampilan kognitif yang lebih tinggi pada

(4)

anak-anak. Matematika juga memainkan peran penting di sejumlah bidang ilmiah lain, seperti fisika, teknik, dan statistik” (Khoiriyah, 2013).

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan secara bertahap dari konkrit menjadi abstrak dan secara berkesinambungan.

Matematika sebagai ilmu universal mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia (Novianti, 2014). Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir (Ristiani, 2011).

Istilah ”matematika” (dari Yunani: Mathematikos ialah ilmu pasti, dari kata mathema atau mathesis yang berarti ajaran, pengetahuan, atau ilmu pengetahuan). Matematika adalah salah satu pengetahuan tertua, terbentuk dari penelitian bilangan dan ruang (Shadily, 1983). Menurut Sujono mengemukakan beberapa pengertian matematika. Diantaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam menginterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan (Sujono, 1988).

Russel mendefinisikan Matematika sebagai suatu studi yang dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang sangat dikenal menuju arah yang tidak dikenal. Arah yang dikenal itu tersusun baik (konstruktif) secara bertahap menuju arah yang rumit (kompleks). Misal pembelajaran matematika dari materi bilangan bulat ke bilangan pecahan, bilangan riil ke bilangan kompleks, dan sebagainya menuju matematika yang lebih tinggi (Umar, 2009).

Sedangkan matematika dalam sudut pandang Andi Hakim Nasution yang diuraikan dalam bukunya, bahwa istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Kata ini memiliki hubungan yang erat dengan kata Sanskerta, medha atau widya yang memiliki arti kepandaian, ketahuan, atau intelegensia. Dalam bahasa Belanda, matematika disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar (hal ini sesuai dengan arti kata mathein pada matematika) (Nasution, 1982).

(5)

Menurut (Sumardyono, 2004) secara umum definisi matematika dapat dideskripsikan sebagai berikut, di antaranya:

1) Matematika sebagai struktur yang terorganisir.

Agak berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain, matematika merupakan suatu bangunan struktur yang terorganisir. Sebagai sebuah struktur, ia terdiri atas beberapa komponen, yang meliputi aksioma/postulat, pengertian pangkal/primitif, dan dalil/teorema (termasuk di dalamnya lemma (teorema pengantar/kecil) dan corolly/sifat).

2) Matematika sebagai alat (tool).

Matematika juga sering dipandang sebagai alat dalam mencari solusi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.

3) Matematika sebagai pola pikir deduktif.

Matematika merupakan pengetahuan yang memiliki pola pikir deduktif, artinya suatu teori atau pernyataan dalam matematika dapat diterima kebenarannya apabila telah dibuktikan secara deduktif (umum).

4) Matematika sebagai cara bernalar (the way of thinking).

Matematika dapat pula dipandang sebagai cara bernalar, paling tidak karena beberapa hal, seperti matematika matematika memuat cara pembuktian yang sahih (valid), rumus-rumus atau aturan yang umum, atau sifat penalaran matematika yang sistematis.

5) Matematika sebagai bahasa artifisial.

Simbol merupakan ciri yang paling menonjol dalam matematika.

Bahasa matematika adalah bahasa simbol yang bersifat artifisial, yang baru memiliki arti bila dikenakan pada suatu konteks.

6) Matematika sebagai seni yang kreatif.

Penalaran yang logis dan efisien serta perbendaharaan ide-ide dan pola-pola yang kreatif dan menakjubkan, maka matematika sering pula disebut sebagai seni, khususnya merupakan seni berpikir yang kreatif.

Menurut Hamzah dan Masri, hakikat belajar Matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol kemudian diterapkannya pada situasi nyata. Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang dilakukan secara prosedural atau

(6)

hierarki dalam belajar matematika. Kedelapan tipe belajar tersebut, yaitu [1]

belajar sinyal (signal learning), [2] belajar stimulus respons (stimulus- response learning), [3] belajar merangkai tingkah laku (behavior chaining learning), [4] belajar asosiasi verbal (verbal chaining learning), [5] belajar diskriminasi (discrimination learning), [6] belajar konsep (concept learning), [7] belajar aturan (rule learning), [8] belajar memecahkan masalah (problem solving learning) (Umar, 2009).

Nesher dalam Hamzah dan Masri mengonsepsikan karakteristik matematika terletak pada kekhususannya dalam mengkomunikasikan ide matematika melalui bahasa numerik. Seseorang akan merasa mudah memecahkan masalah dengan bantuan matematika, karena ilmu matematika memberikan kebenaran berdasarkan alasan logis dan sistematis. Matematika juga dapat memberikan kemudahan dalam pemecahan masalah karena proses kerja matematika dilalui secara berurut yang meliputi tahap observasi, menebak, menguji hipotesis, mencari analogi, dan akhirnya merumuskan teorema-teorema (Umar, 2009).

c. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika

Salah satu yang berperan penting dalam keberhasilan matematika siswa adalah kemampuan berpikir. Amalia mengatakan salah satu kemampuan berpikir yang penting dikuasai oleh siswa adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Karena kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu tahapan berpikir yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari dan setiap siswa diarahkan untuk memiliki pola berpikir tingkat tinggi tersebut sebab kemampuan berpikir tingkat tinggi membuat seseorang dapat berpikir kritis (Novianti, 2014). Menurut Ropiah, et.al, (2013:18) kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan menghubungkan, memanipulasi dan mentransformasi pengetahuan serta pengelaman yang sudah dimiliki untuk berpikir kritis dan kreatif dalam upaya menentukan keputusan dan memecahkan masalah pada situasi baru (Novianti, 2014).

Keterampilan berpikir tingkat tinggi akan memberikan dampak pada meningkatnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (Yonata, 2013).

(7)

2.1.2 Pengembangan Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika

a. Pengertian Instrumen

Menurut (Hadjar, 1996) instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara objektif. Instrumen pengumpul data menurut (Suryabrata, 2008) adalah alat yang digunakan untuk merekam pada umumnya secara kuantitatif keadaan dan aktivitas atribut-atribut psikologis. Atribut-atribut psikologis itu secara teknis biasanya digolongkan menjadi atribut kognitif dan atribut non kognitif. Sumadi mengemukakan bahwa untuk atribut kognitif, perangsangnya adalah pertanyaan. Sedangkan untuk atribut non- kognitif, perangsangnya adalah pernyataan (Suryabrata, 2008).

Menurut KBBI kata instrumen dapat diartikan sebagai:

1) alat yang digunakan dalam suatu kegiatan;

2) sarana untuk mengumpulkan data sebagai bahan pengolahan.

Jadi instrumen penilaian pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penilaian pembelajaran matematika. Sesuai dengan teknik penilaian yang digunakan, instrumen penilaian dapat berupa instrumen tes atau instrumen non tes (Sumaryanta, 2011).

b. Jenis – Jenis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika

Menurut Krathworl & Andrerson (2001) Taksonomi Bloom dianggap merupakan dasar bagi berpikir tingkat tinggi, pemikir ini didasarkan bahwa beberapa jenis pembelajaran memerlukan proses kognisi yang lebih dari pada yang lain, tetapi memiliki manfaat-manfaat lebih umum. Dalam Taksonomi Bloom revisi kemampuan melibatkan analisis (C4), mengevaluasi (C5) dan mencipta (C6) dianggap berpikir tingkat tinggi (Novianti, 2014).

Menurut Krathwohl (2002) dalam A revision of Bloom's Taxonomy: an overview - Theory Into Practice (Lewy, 2009) menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi:

(8)

1) Menganalisis :

a) Menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya;

b) Mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit;

c) Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan.

2) Mengevaluasi

a) Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya;

b) Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian;

c) Menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

3) Mengkreasi

a) Membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu b) Merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah;

c) Mengorganisasikan unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Enam tahapan aktivitas yang ditunjukkan siswa menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa (Rosnawati, 2009). Berikut adalah aktivitas yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut : 1) Menggali informasi. Masalah yang dirumuskan sedemikian rupa

sehingga menuntut siswa untuk melakukan investigasi konteks, sebab tidak semua informasi diberikan secara eksplisit, diperlukan kreativitas dan produktivitas berpikir siswa untuk mengambil keputusan matematis yang reasonable. Anak harus melakukan investigasi dalam melakukan pengandaian yang masuk akal, dan dapat dipertahankan nilai logis- matematisnya maupun nilai realitas-kontekstualnya.

2) Mengajukan dugaan. Siswa mengajukan dugaan penyelesaian masalah.

3) Melakukan inkuiri. Dalam inkuiri, individu mengajukan pertanyaan dan mencari informasi yang cukup dengan mengkaji dan menganalisa informasi tadi untuk menjawab pertanyaan yang dimunculkan.

(9)

4) Membuat konjektur. Suatu pernyataan matematika yang benar yang dihasilkan berdasarkan pengamatan atau eksplorasi, percobaan, namun belum dibuktikan kebenarannya secara formal adalah suatu bentuk kesimpulan secara umum, tetapi tidak formal. Ketika pernyataan ini dibuktikan secara matematika, maka konjektur tadi berubah namanya menjadi suatu teorema. Dalam hal ini tentu dipahami bahwa bahwa proses berpikir induktif yang telah berperan.

5) Mencari alternatif. Siswa mencari alternatif jawaban, berdasarkan jawaban terdahulu. Siswa sudah mencoba melakukan evaluasi pada apa yang telah dipikirkan sebelumnya.

6) Menarik kesimpulan. Kegiatan terakhir, siswa melihat kembli persoalan yang harus diselesaikan. Pada tahapan menyusun konjektur siswa menyelesaikan sesuai dengan tahapan berpikir dengan memanfaatkan semua kemampuan yang dimiliki terdahulu, diakhir siswa mengembalikan penyelesaian pada persoalan semula, hal ini ditunjukkan pada akhir penyelesaian mereka.

Dalam proses ini tampak bahwa bukan selesainya yang menjadi tujuan utama, melainkan bagaimana siswa melakukan: a. Mengambil keputusan setelah melakukan investigasi matematika, b. Membuat argumentasi- argumentasi matematis dan kontekstual, c. Mengkomunikasikan dan mempertahankan prosedur yang mereka lakukan. Agar tercipta enam aktivitas seperti di atas, permasalahan yang disajikan memegang peranan penting. Secara umum, soal matematika yang disajikan memiliki kekuatan sebagai berikut. 1) Tidak ada konsep, operasi atau prosedur matematika yang diberikan secara eksplisit. Siswa mengambil keputusan sendiri tentang konsep dan prosedur yang ingin dilakukan, mencermati dan menebak sendiri selesaian yang akan dilakukan. 2) Tidak dibatasi dengan topik yang tersusun dalam kurikulum yang berlaku. Untuk siswa kelas dua SD bilangan yang digunakan untuk operasi perkalian adalah dua angka dengan maksimal niali yang dicapai adalah 500 (Rosnawati, 2009). Proses berpikir dihubungkan dengan pola perilaku yang lain dan memerlukan keterlibatan aktif pemikir. Proses berpikir ini bertahap dari pola berpikir tingkat paling rendah hingga pola berpikir tingkat tinggi (Karli, 2012).

(10)

Pada tahun 1994, salah seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl dan para ahli psikologi aliran kognitivisme memperbaiki taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama revisi taksonomi bloom. Revisi hanya dilakukan pada ranah kognitif. Revisi tersebut meliputi (Utari, 1942):

1) Perubahan kata kunci dari kata benda menjadi kata kerja untuk setiap level taksonomi.

2) Perubahan hampir terjadi pada semua level hierarkhis, namun urutan level masih sama yaitu dari urutan terendah hingga tertinggi. Perubahan mendasar terletak pada level 5 dan 6. Perubahanperubahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Pada level 1, knowledge diubah menjadi remembering (mengingat).

b) Pada level 2, comprehension dipertegas menjadi understanding (memahami).

c) Pada level 3, application diubah menjadi applying (menerapkan).

d) Pada level 4, analysis menjadi analyzing (menganalisis).

e) Pada level 5, synthesis dinaikkan levelnya menjadi level 6 tetapi dengan perubahan mendasar, yaitu creating (mencipta).

f) Pada level 6, Evaluation turun posisisinya menjadi level 5, dengan sebutan evaluating (menilai).

Jadi, Taksonomi Bloom baru versi Kreathwohl pada ranah kognitif terdiri dari enam level: remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (menerapkan), analyzing (menganalisis, mengurai), evaluating (menilai) dan creating (mencipta). Revisi Krathwohl ini sering digunakan dalam merumuskan tujuan belajar yang sering kita kenal dengan istilah C1 sampai dengan C6.

Perubahan istilah dan pola level taksonomi bloom dapat digambarkan sebagai berikut (Utari, 1942):

(11)

Gambar 2.1 Pola Level Taksonomi Bloom.

Sama dengan sebelum revisi, tiga level pertama (terbawah) merupakan Lower Order Thinking Skills, sedangkan tiga level berikutnya Higher Order Thinking Skill. Jadi, dalam menginterpretasikan di atas, secara logika adalah sebagai berikut:

1) Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih dahulu

2) Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu

3) Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya dulu 4) Sebelum kita mengevaluasi maka kita harus menganalisa dulu

5) Sebelum kita berkreasi atau menciptakan sesuatu, maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi.

(12)

Adapun penjelasan dan pilihan kata kerja kunci dari jenis – jenis atau ranah kognitif yang telah direvisi adalah sebagai berikut (Utari, 1942):

1) Mengingat (C1) yaitu kemampuan menyebutkan kembali informasi / pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan. Contoh: menyebutkan arti taksonomi. Dengan kata kerja sebagai berikut : mendefinisikan, menyusun daftar, menjelaskan, mengingat, mengenali, menemukan kembali, menyatakan, mengulang, mengurutkan, menamai, menempatkan, menyebutkan.

2) Memahami (C2) yaitu kemampuan memahami instruksi dan menegaskan pengertian/makna ide atau konsep yang telah diajarkan baik dalam bentuk lisan, tertulis, maupun grafik/diagram. Contoh : merangkum materi yang telah diajarkan dengan kata-kata sendiri. Dengan kata kerja sebagai berikut : menerangkan, menjelaskan, menterjemahkan, menguraikan, mengartikan, menyatakan kembali, menafsirkan, menginterpretasikan, mendiskusikan, menyeleksi, mendeteksi, melaporkan, menduga, mengelompokkan, memberi contoh, merangkum menganalogikan, mengubah, memperkirakan.

3) Menerapkan (C3) yaitu kemampuan melakukan sesuatu dan mengaplikasikan konsep dalam situasi tetentu. Contoh: melakukan proses pembayaran gaji sesuai dengan sistem berlaku. Dengan kata kerja sebagai berikut : memilih, menerapkan, melaksanakan, mengubah, menggunakan, mendemonstrasikan, memodifikasi, menginterpretasikan, menunjukkan, membuktikan, menggambarkan, mengoperasikan, menjalankan memprogramkan, mempraktekkan, memulai.

4) Menganalisis (C4) yaitu kemampuan memisahkan konsep kedalam beberapa komponen dan mnghubungkan satu sama lain untuk memperoleh pemahaman atas konsep tersebut secara utuh. Contoh:

menganalisis penyebab meningkatnya harga pokok penjualan dalam laporan keuangan dengan memisahkan komponen- komponennya.

Dengan kata kerja sebagai berikut : mengkaji ulang, membedakan, membandingkan, mengkontraskan, memisahkan, menghubungkan, menunjukan hubungan antara variabel, memecah menjadi beberapa bagian, menyisihkan, menduga, mempertimbangkan mempertentangkan,

(13)

menata ulang, mencirikan, mengubah struktur, melakukan pengetesan, mengintegrasikan, mengorganisir, mengkerangkakan.

5) Mengevaluasi/ menilai (C5) yaitu kemampuan menetapkan derajat sesuatu berdasarkan norma, kriteria atau patokan tertentu. Contoh:

membandingkan hasil ujian siswa dengan kunci jawaban. Dengan kata kerja sebagai berikut : mengkaji ulang, mempertahankan, menyeleksi, mempertahankan, mengevaluasi, mendukung, menilai, menjustifikasi, mengecek, mengkritik, memprediksi, membenarkan, menyalahkan.

6) Mencipta (C6) yaitu kemampuan memadukan unsur - unsur menjadi sesuatu bentuk baru yang utuh dan koheren, atau membuat sesuatu yang orisinil. Contoh: membuat kurikulum dengan mengintegrasikan pendapat dan materi dari beberapa sumber. Dengan kata kerja sebagai berikut : merakit, merancang, menemukan, menciptakan, memperoleh, mengembangkan, memformulasikan, membangun, membentuk, melengkapi, membuat, menyempurnakan, melakukan inovasi, mendisain, menghasilkan karya.

Adapun daftar contoh kata kerja operasional yang dapat dipakai untuk ranah kognitif adalah sebagai berikut (Utari, 1942):

1) Mengingat (C1) yaitu menguti, menyebutkan, menjelaskan, menggambar, membilang, mengidentifikas, mendaftar, menunjukkan, memberi label, memberi indek, memasangkan, menamai, manandai, membaca, menyadari, menghafal, meniru, mencatat, mengulang, mereproduksi, meninjau, memilih, menyatakan, mempelajari, mentabulasi, memberi kode, menelusuri, menulis.

2) Memahami (C2) yaitu memperkirakan, menjelaskan, mengkategorikan, mencirikan, merinci, mengasosiasikan, membandingkan, menghitung, mengkontraskan, mengubah, mempertahankan, menguraikan, menjalin, membedakan, mendiskusikan, menggali, mencontohkan, menerangkan, mengemukakan, mempolakan, memperluas, menyimpulkan, meramalkan, merangkum, menjabarkan.

3) Menerapkan (C3) yaitu menugaskan, mengurutkan, menentukan, menerapkan, menyesuaikan, mengkalkulasi, memodifikasi, mengklasifikasi, menghitung, membangun, mengurutkan, membiasakan, mencegah, menggambarkan, menggunakan, menilai, melatih, menggali,

(14)

mengemukakan, mengadaptasi, menyelidiki, mengoperasikan, mempersoalkan, mengkonsepkan, melaksanakan, meramalkan, memproduksi, memproses, mengaitkan, menyusun, mensimulasikan, memecahkan, melakukan, mentabulasi.

4) Menganalisis (C4) yaitu menganalisis, mengaudit, memecahkan, menegaskan, mendeteksi, mendiagnosis, menyeleksi, memerinci, menominasikan, mendiagramkan, mengkorelasikan, merasionalkan, menguji, mencerahkan, menjelajah, membagankan, menyimpulkan, menemukan, menelaah, memaksimalkan, memerintahkan, mengedit, mengaitkan, memilih, mengukur, melatih, mentransfer.

5) Mengevaluasi/ menilai (C5) yaitu membandingkan, menyimpulkan, menilai, mengarahkan, mengkritik, menimbang, memutuskan, memisahkan, memprediksi, memperjelas, menugaskan, menafsirkan, mempertahankan, memerinci, mengukur, merangkum, membuktikan, memvalidasi, mengetes, mendukung, memilih, memproyeksikan.

6) Mencipta (C6) yaitu mengabstraksi, mengatur, menganimasi, mengumpulkan, mengkategorikan, mengkode, mengkombinasikan, menyusun, mengarang, membangun, menanggulangi, menghubungkan, menciptakan, mengkreasikan, mengoreksi, merancang, merencanakan, mendikte, meningkatkan, memperjelas, memfasilitasi, membentuk, merumuskan, menggeneralisasi, menggabungkan, memadukan, membatas, mereparasi, menampilkan, menyiapkan, memproduksi, merangkum, merekonstruksi, membuat.

Berpikir Higher Order Thinking dapat dilihat dari ranah kognitif taksonomi Bloom yang lama berada pada level analisis, sintesis dan evaluasi, berarti jika dilihat pada taksonomi yang baru level ini sampai dengan mengkreasikan (mecipta) (Kurniawati, 2014).

c. Langkah – Langkah Pengembangan Instrumen

a) Langkah – Langkah Pengembangan Instrumen Tes

Berikut disajikan langkah-langkah untuk mengembangkan instrumen tes (Sumaryanta, 2011) adalah :

1) Menetapkan tujuan tes

Langkah awal dalam mengembangkan instrumen tes adalah menetapkan tujuannya. Tujuan ini penting ditetapkan sebelum tes

(15)

dikembangkan karena seperti apa dan bagaimana tes yang akan dikembangkan sangat bergantung untuk tujuan apa tes tersebut digunakan. Ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes yang banyak digunakan di lembaga pendidikan, yaitu : (a) tes penempatan, (b) tes diagnostik, (c) tes formatif, dan (d) tes sumatif .

2) Melakukan analisis kurikulum

Analisis kurikulum dilakukan dengan cara melihat dan menelaah kembali kurikulum yang ada berkaitan dengan tujuan tes yang telah ditetapkan. Langkah ini dimaksudkan agar dalam proses pengembangan instrumen tes selalu mengacu pada kurikulum (SK-KD) yang sedang digunakan. Instrumen yang dikembangkan seharusnya sesuai dengan indikator pencapaian suatu KD yang terdapat dalam Standar Isi (SI).

3) Membuat kisi-kisi

Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal (meliputi SK-KD, materi, indikator, dan bentuk soal) yang akan dibuat.

Dalam membuat kisi-kisi ini, kita juga harus menentukan bentuk tes yang akan kita berikan. Beberapa bentuk tes yang ada antara lain: pilihan ganda, jawaban singkat, menjodohkan, tes benar-salah, uraian obyektif, atau tes uraian non obyektif.

4) Menulis soal

Pada kegiatan menuliskan butir soal ini, setiap butir soal yang Anda tulis harus berdasarkan pada indikator yang telah dituliskan pada kisi-kisi dan dituangkan dalam spesifikasi butir soal. Bentuk butir soal mengacu pada deskripsi umum dan deskripsi khusus yang sudah dirancang dalam spesifikasi butir soal. Adapun untuk soal bentuk uraian perlu dilengkapi dengan pedoman penyekoran yang lebih rinci.

5) Melakukan telaah instrumen secara teoritis

Telaah instrumen tes secara teoritis atau kualitatif dilakukan untuk melihat kebenaran instrumen dari segi materi, konstruksi, dan bahasa.

Telaah instrumen secara teoritis dapat dilakukan dengan cara meminta bantuan ahli/pakar, teman sejawat, maupun dapat dilakukan telaah sendiri. Setelah melakukan telaah ini kemudian dapat diketahui apakah secara teoritis instrumen layak atau tidak.

(16)

6) Melakukan ujicoba dan analisis hasil ujicoba tes

Sebelum tes digunakan perlu dilakukan terlebih dahulu uji coba tes.

Langkah ini diperlukan untuk memperoleh data empiris terhadap kualitas tes yang telah disusun. Ujicoba ini dapat dilakukan ke sebagian siswa, sehingga dari hasil ujicoba ini diperoleh data yang digunakan sebagai dasar analisis tentang reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran, pola jawaban, efektivitas pengecoh, daya beda, dan lain-lain. Jika perangkat tes yang disusun belum memenuhi kualitas yang diharapkan, berdasarkan hasil ujicoba tersebut maka kemudian dilakukan revisi instrumen tes.

7) Merevisi soal

Berdasarkan hasil analisis butir soal hasil ujicoba kemudian dilakukan perbaikan. Berbagai bagian tes yang masih kurang memenuhi standar kualitas yang diharapkan perlu diperbaiki sehingga diperoleh perangkat tes yang lebih baik. Untuk soal yang sudah baik tidak perlu lagi dibenahi, tetapi soal yang masuk kategori tidak bagus harus dibuang karena tidak memenuhi standar kualitas.

Setelah tersusun butir soal yang bagus, kemudian butir soal tersebut disusun kembali untuk menjadi perangkat instrumen tes, sehingga instrumen tes siap digunakan. Perangkat tes yang telah digunakan dapat dimasukkan ke dalam bank soal sehingga suatu saat nanti bisa digunakan lagi.

b) Langkah – Langkah Pengembangan Instrumen Non Tes

Menurut (Sumaryanta, 2011) ada sembilan langkah dalam mengembangkan instrumen non tes, yaitu:

1) Menentukan spesifikasi instrumen

Penentuan spesifikasi instrumen dimulai dengan menentukan kejelasan tujuan. Setelah menetapkan tujuan, kegiatan berikutnya menyusun kisi-kisi instrumen. Membuat kisi-kisi diawali dengan menentukan definisi konseptual, yaitu definisi aspek yang akan diukur menurut hasil kajian teoritik berbagai ahli/referensi.

Selanjutnya merumuskan definisi operasional, yaitu definisi yang anda buat tentang aspek yang akan diukur setelah mencermati definisi konseptual. Definisi operasional ini kemudian dijabarkan menjadi

(17)

indikator dan ditulisan dalam kisi-kisi. Selanjutnya anda perlu menentukan bentuk instrumen dan panjang instrumen.

2) Menentukan skala penilaian

Skala yang sering digunakan dalam instrumen penilaian antara lain adalah: skala thurstone, skala likert, dan skala beda semantik.

3) Menulis butir instrumen

Pada tahap ini anda merumuskan butir-butir instrumen berdasarkan kisi-kisi. Pernyataan dapat berupa pernyataan positif dan negatif.

Pernyataan positif merupakan pernyataan yang mengandung makna selaras dengan indikator, sedangkan pernyataan negatif adalah pernyataan yang berisi kontra kondisi dengan indikator.

4) Menentukan penyekoran

Sistem penyekoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran yang digunakan. Pada skala thurstone, skor tertinggi tiap butir 7 dan skor terendah 1. Pada skala likert, awal skor tertinggi tiap butir 5 dan terendah 1, karena sering terjadi kecenderungan responden memilih jawaban katergori tengah, maka dimodifikasi hanya menggunakan empat pilihan.

5) Menelaah instrumen

Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: a) butir pertanyaan/ pernyataan sesuai dengan indikator, b) bahasa yang digunakan komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, c) butir pertanyaan/pernyataan tidak bias, d) format instrumen menarik untuk dibaca, e) pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas, dan f) jumlah butir dan/atau panjang kalimat pertanyaan/ pernyataan sudah tepat sehingga tidak menjemukan untuk dibaca/dijawab. Hasil telaah instrumen digunakan untuk memperbaiki instrumen.

6) Menyusun instrumen

Langkah ini merupakan tahap menyusun butir-butir instrumen setelah dilakukan penelaahan menjadi seperangkat instrumen yang siap untuk diujicobakan. Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk membaca dan mengisinya.

(18)

7) Melakukan ujicoba instrumen

Setelah instrumen tersusun dengan utuh, kemudian melakukan ujicoba instrumen. Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili populasi. Ujicoba dilakukan untuk memperoleh informasi empirik tentang kualitas instrumen yang dikembangkan.

8) Menganalisis hasil ujicoba

Analisis hasil ujicoba dilakukan untuk menganalisis kualitas instrumen berdasarkan data ujicoba. Dari analisis ini diharapkan diketahui mana yang sudah baik, mana yang kurang baik dan perlu diperbaiki, dan mana yang tidak bisa digunakan. Selain itu, analisis hasil ujicoba ini juga dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang validitas dan reliabilitas instrumen.

9) Memperbaiki instrumen

Perbaikan dilakukan berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik, namun hasil ujicoba empirik tidak baik.

Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden ujicoba.

2.1.3 Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika

Kemampuan memecahkan masalah merupakan sesuatu yang sangat penting karena masalah selalu ada dalam kehidupan manusia termasuk anak-anak yang masih menjalani pendidikan formal di sekolah. Peserta didik dapat menemukan masalah dalam aktivitas pembelajaran di sekolah, misalnya masalah dalam menentukan tema karangan, menemukan penyelesaian soal matematika, atau menemukan bahan untuk kegiatan praktikum. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dimiliki seseorang dapat ditinjukkan melalui beberapa indikator, misalnya mampu mengidentifikasi masalah, memiliki rasa ingin tahu, bekerja secara teliti dan mampu mengevaluasi keputusan. Kemampuan berpikir tingkat tinggi baik itu kemampuan berpikir kritis, kreatif serta kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki oleh seseorang tidak dapat dimiliki secara langsung melainkan diperoleh melalui latihan (Rofiah, 2013).

Untuk melakukan suatu kegiatan penilaian dan melihat apakah hasilnya sudah sesuai tujuan instruksional atau belum, maka diperlukan suatu instrumen tes. Instrumen tes diperlukan agar didapatkan suatu hasil penilaian yang memiliki akurasi tinggi dalam mengukur kemampuan siswa (Fitrifitanofa, 2013).

Instrumen penilaian berupa tes tertulis selain digunakan untuk mengetahui profil

(19)

kemampuan siswa, juga dapat digunakan sebagai sarana melatih kemampuan siswa untuk berpikir pada tingkat yang lebih tinggi. Soal-soal yang digunakan sebagai latihan tersebut dapat berisi pertanyaan yang menguji siswa dalam hal pemecahan masalah, berpikir kritis serta berpikir kreatif. Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan penalaran tingkat tinggi yaitu cara berpikir logis yang tinggi. Berpikir logis yang tinggi sangat diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran di kelas, khususnya dalam menjawab pertanyaan karena siswa perlu menggunakan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang dimilikinya dan menghubungkannya dalam situasi baru (Rofiah, 2013).

Menurut promovendus (Samritin, 2014) mengungkapkan bahwa untuk menghasilkan instrumen yang mampu mengungkap kemampuan higher order thinking siswa diperlukan penelitian yang sistematis sesuai dengan prosedur pengembangan instrumen, dengan memperhatikan kriteria tes higher order thinking dalam matematika. Kriteria tes higher order thinking dalam matematika yaitu:

a. Menggunakan butir soal baru;

b. Membutuhkan pemikiran yang kompleks untuk menyelesaikannya (menuntut siswa untuk mengeksplorasi dan menerapkan konsep-konsep matematika, proses-proses matematika, atau hubungan antarkonsep;

c. Menggunakan soal/masalah nonrutin yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara penyelesaian atau non-algoritmik (baik menghasilkan solusi tunggal maupun banyak solusi—open ended);

d. Menuntut siswa untuk menggabungkan fakta dan ide dalam mensintesis, menggeneralisasi, menjelaskan, melakukan dugaan, membuat kesimpulan atau interpretasi.

Prosedur pengembangan instrumen keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dikemukakan oleh Mardapi (2008) ( dalam Samritin, 2014) yang terdiri atas sembilan langkah, yaitu:

a. menyusun spesifikasi tes;

b. menulis soal tes;

c. menelaah soal tes;

d. uji coba pertama;

e. menganalisis hasil uji coba pertama;

f. memperbaiki tes;

(20)

g. merakit tes;

h. uji coba kedua;

i. menganalisis hasil uji coba kedua.

Langkah pertama sampai langkah ketiga dikategorikan sebagai tahap perancangan, sedangkan langkah keempat sampai langkah kesembilan dikategorikan sebagai tahap ujicoba. Sebelum tahap perancangan dimulai, peneliti melakukan kajian teoretis tentang higher order thinking, kemampuan higher order thinking dalam mata pelajaran matematika, serta muatan kemampuan higher order thinking dalam kurikulum mata pelajaran matematika SMP.

Soal untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian mempunyai indikator sebagai berikut (Lewy, 2009):

a. Non algorithmic;

b. Cenderung kompleks;

c. Memiliki solusi yang mungkin lebih dari satu (open ended approach);

d. Membutuhkan usaha untuk menemukan struktur dalam ketidakteraturan.

Nilai tes hasil belajar siswa digunakan untuk mengetahui keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa karena tes yang diberikan termasuk dalam ranah kognitif C4 (analisis), C5 (evaluasi), dan C6 (kreasi) yang bertujuan untuk melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Taksonomi Bloom dianggap merupakan dasar bagi berpikir tingkat tinggi. Menurut Pohl kemampuan yang melibatkan analisis, evaluasi, dan mengkreasi merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Julistiawati, 2013).

2.2 Tindakan Hasil Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan hasil pencarian mengenai relevansi antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu, berikut beberapa yang berhasil ditemukan.

1. Rahmat Basuki (08303241015) Skripsi Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Pengembangan Instrumen Penilaian Portofolio Untuk Mata Pelajaran Kimia Kelas X Semester 2 SMA/MA” adalah sebagai berkut :

Model pengembangan produk yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pengembangan prosedural yang diadaptasi dari model Borg & Gall, yaitu

(21)

model pengembangan yang bersifat deskriptif, menggariskan langkah-langkah yang harus diikuti untuk menghasilkan produk. Produk dalam pengembangan ini berupa instrumen penilaian portofolio untuk peserta didik dan petunjuk penilaian portofolio untuk pendidik. Produk awal dikaji oleh peer reviewer, ahli materi dan ahli media. Produk akhir dinilai oleh reviewer, yaitu 5 pendidik kimia SMA/MA.

Jenis data dalam pengembangan ini berupa data proses pengembangan produk yang digunakan untuk merevisi produk awal dan data kualitas produk hasil penilaian reviewer yang dianalisis berdasarkan standar penilaian relatif (ideal). Tahapan pengembangan instrumen penilaian portofolio adalah (1) perencanaan dan pembuatan (2) pengkajian oleh ahli materi dan ahli media, (3) penilaian oleh reviewer (guru SMA/MA). Kualitas instrumen penilaian portofolio berdasarkan penilaian oleh reviewer pada aspek umum, pendekatan penulisan, kedalaman dan keluasan, keterlaksanaan, kebahasaan, anatomi, dan tampilan menyeluruh adalah sangat baik dengan skor rata-rata sebesar 4,52 pada skala 5 (Basuki, 2013).

2. Yuhana Dwi Krisnawati (3201409001) Skripsi Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Yang Berjudul “Pengembangan Instrumen Penilaian Domain Afektif Yang Berkualitas Pada Mata Pelajaran Geografi Kelas X Di Sma N 1 Boja Kabupaten Kendal Tahun Ajaran 2012/2013” adalah sebagai berikut:

Hasil observasi di SMA Negeri 1 Boja khususnya untuk Mata Pelajaran Geografi menunjukkan evaluasi hanya dilakukan dengan tes dan hanya terbatas pada penilaian domain kognitif. Sedangkan untuk menilai domain afektif guru hanya menilai dengan tugas-tugas dan pengamatan. Penilain afektif dengan cara tersebut tentunya kurang tepat, karena itu diperlukan instrumen penilaian yang tepat dan berkualitas untuk menilai domain afektif. Rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah: Bagaimana model instrumen penilaian domain afektif yang berkualitas pada mata pelajaran geografi untuk siswa kelas X SMA Negeri 1 Boja Kabupaten Kendal. Berdasarkan masalah tersebut, tujuan dalam penelitian ini adalah: menggembangkan dan menghasilkan model penilaian domain afektif yang berkualitas untuk mengukur kemampuan afektif siswa kelas X di SMA Negeri 1 Boja pada Mata Pelajaran Geografi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model instrumen penilaian afektif yang berkualitas dan layak digunakan sebagai alat evaluasi sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) serta aturan dari DEPDIKNAS untuk mengukur

(22)

kemampuan afektif siswa pada Mata Pelajaran Geografi kelas X di SMA Negeri 1 Boja Kabupaten Kendal.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development (R & D). Subjek penelitian adalah kelas X yang dipilih secara acak dengan mengundi kelas, dari delapan kelas didapatkan satu kelas untuk ujicoba kelompok kecil yaitu kelas X-5. Dari tujuh kelas yang tersisa diambil dua kelas untuk uji lapangan, yaitu kelas X-7 dan X-8. Variabel dalam penelitian ini adalah uji kelayakan dan kualitas instrumen penilaian afektif, dengan sub variabel yaitu validasi tim ahli (dosen), validasi guru dan hasil pelaksanaan ujicoba siswa.

Sedangkan pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi, dan kuesioner. Olah data dilakukan dengan uji t, uji validitas dan reliabilitas.

Hasil penelitian menunjukkan guru dalam menilai domain afektif tidak membuat indikator yang tepat sesuai Kata Kerja Operasional (KKO), penilaian juga tidak memperhatikan SK-KD dan karakteristik ranah afektif. Maka perlu dikembangkan instrumen penilaian domain afektif, yaitu sesuai SK-KD dengan indikator penilaian sesuai dengan KKO domain afektif, serta dapat digunakan untuk mengukur seluruh karakteristik domain afektif dan telah diujikan secara teoritik maupun empirik. Pada draf awal terdapat 60 butir pernyataan yang dikembangkan menggunakan skala likert. Langkah awal dalam pengembangan draf awal divalidasi oleh tim ahli (dosen) dan guru. Hasil rata-rata validasi dosen sebesar 76%

pernyataan sudah sesuai dengan aspek yang ditelaah dengan kriteria layak, sedangkan hasil telaah guru menyatakan 82% pernyataan sudah sesuai dengan aspek yang ditelaah dengan kriteria sangat layak. Berdasarkan masukan dari tim ahli selanjutnya item pernyataan yang belum sesuai diperbaiki dan hasilnya disusun menjadi draf I yang digunakan untuk ujicoba kelompok kecil. Analisis hasil ujicoba kelompok kecil yaitu 51 (85%) butir pernyataan memiliki daya beda baik, 38 (63%) butir pernyataan valid dan reliabilitas instrumen r = 0,614 > r =0,576. Berdasarkan analisis ujicoba kelompok kecil, instrumen diperbaiki dan disusun kembali menjadi draf II. Draf II diujikan pada responden dalam uji lapangan yang berjumlah 65 siswa. Hasil analisis uji lapangan menunjukkan 52 (87%) butir pernyataan memiliki daya beda baik. Hasil uji validitas 52 (87%) butir pernyataan valid dan hasil penghitungan reliabilitas yaitu r =1,00 > r =0,244, sehingga instrumen tersebut

(23)

reliabel. Berdasarkan hasil analisis uji lapangan ini disusun produk akhir instrumen penilaian domain afektif.

Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian tersebut yaitu secara keseluruhan instrumen penilaian domain afektif sudah baik dan dapat digunakan sebagai alat evaluasi afektif oleh guru. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian ini, untuk guru geografi yang ingin mengembangkan instrumen penilaian domain afektif hendaknya diperhatikan kesulitan dalam penyusunan instrumen.

Untuk pihak MGMP, agar dapat memberikan pelatihan dalam pengembangan instrumen penilaian domain afektif. Sedangkan kepada siswa sebaiknya lebih jujur dalam memberikan tanggapan pada penilaian afektif (Krisnawati, 2013).

3. Nofanto (09690040) Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul

“Efektivitas Pendekatan Inquiry Dengan Metode Parampaa Quiz Terhadap Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Dan Minat Belajar Siswa Pada Materi Termodinamika” adalah sebagai berikut :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz dengan siswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori, (2) Perbedaan minat belajar antara siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz dengan siswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori, (3) Peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori, (4) Efektivitas pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz dibandingkan pembelajaran ekspositori terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dan (5) Efektivitas pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori terhadap minat belajar siswa Jenis penelitian ini adalah quasi eksperiment dengan Pretest-Posttest Control Group Design. Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas berupa pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz serta variabel terikat berupa minat belajar dan kemampuan berpikir tngkat tinggi. Populasi dalam penelitian ini adalah kelas XI IPA SMA Negeri 8 Yogyakarta. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik random sampling, sehingga terpilih kelas XI

(24)

IPA 4 sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen.

Instrumen yang digunakan adalah soal pretest, soal posttest, dan angket minat belajar. Teknik analisis data menggunakan statistik parametrik yaitu uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan minat belajar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz dengan siswa yang mengikuti pembelajaran ekspositori. Pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz (nilai Sig. (1-tailed) = 0,000 ≤ 0,05, maka Ha diterima).

Pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry dengan metode parampaa quiz lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori terhadap minat (nilai Sig. (1-tailed) = 0,000 ≤ 0,05, maka Ha diterima) (Nofanto, 2013).

4. Tri Yuningsih (A410090257) Skripsi Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul “Analisis High Order Thinking Skill Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Open Ended Pokok Bahasan Integral Tak Tentu Fungsi Aljabar” adalah sebagai berikut :

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis, mendeskripsikan, memaknai serta memahami cara berpikir siswa pada kategori HOTS kelas XII IPA dalam menyelesaikan OEP pokok bahasan integral tak tentu fungsi aljabar, serta memperoleh bukti yang relevan mengenai variasi cara berpikir siswa mengenai pemecahan OEP dan dampaknya pada prestasi belajar. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menggambarkan, dan mengkaji : (1) Cara berpikir siswa dalam menyelesaikan OEP pokok bahasan integral tak tentu fungsi aljabar, (2) dampak bervariasi HOTS siswa dalam pembelajaran matematika terhadap prestasi belajar siswa. Jenis Penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Objek dalam penelitian ini yaitu siswa-siswi kelas XII IPA SMA Al-Islam 3 Surakarta tahun ajaran 2012/2013. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi dengan didukung teknik pengukuran dalam penelitian ini adalah tes yang disajikan secara OEP. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa analisis HOTS pada siswa kelas XII IPA SMA Al-Islam 3 Surakarata yaitu: (1) Prosentasi kategori HOTS secara rinci: 30% Recall, 60% Basic, 10% Critic, dan 0% Creative. (2) Dampak bervariasi HOTS siswa dalam pembelajaran matematika terhadap prestasi

(25)

belajar yaitu terbukti adanya keseimbangan atau berbanding lurus antara HOTS dengan Prestasi belajar siswa (Yuningsih, 2012).

5. Shohib Bulloh Demy’ati (A410080196) Skripsi Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul “Peningkatan Penalaran Dan Koneksi Belajar Matematika Dengan Pendekatan Hots (Higher Order Thinking Skill) Pada Siswa Kelas Vii Smp N 2 Karanggede” adalah sebagai berikut:

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi belajar matematika melalui pendekatan HOTS. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas. Subyek penerima tindakan adalah siswa kelas VII C SMP Negeri 2 Karanggede yang berjumlah 26 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, catatan lapangan, dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif melalui metode alur. Hasil penelitian ini menunjukan peningkatan penalaran dan komunikasi belajar matematika. Hal ini dapat dilihat dari : (1) Ada peningkatan penalaran siswa setelah dilakukan penelitian tindakan kelas a) mengajukan dugaan sebelum tindakan 34,61%, diakhir tindakan 80,76%, b) menarik kesimpulan logis sebelum tindakan 30,76%, diakhir tindakan 73,07%, c) membuktikan kesahihan argument sebelum tindakan 26,92%, diakhir tindakan, 92%. (2) Ada peningkatan komunikasi belajar matematika siswa setelah dilakukan penelitian tindakan kelas a) menuliskan masalah sehari-hari dalam bentuk model matematika sebelum tindakan 30,76%, diakhir tindakan 80,92%, b) menuliskan konsep matematika yang mendasari jawaban sebelum tindakan 38,46%, diakhir tindakan 76.92%, c) menuliskan hubungan antara obyek dan konsep matematika sebelum tindakan 34,61%, diakhir tindakan 73,07% . Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan pendekatan HOTS dapat meningkatkan penalaran dan komunikasi belajar matematika dalam pembelajaran bangun datar (Demy’ati, 2013).

6. Nurul Hidayati (09690013) Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran DELC (Deeper Learning Cycle) Menggunakan Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (High Order Thinking) Dalam Pembelajaran Fisika SMA adalah sebagai berikut:

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang mengikuti model pembelajaran DELC menggunakan PBL dengan model pembelajaran DELC menggunakan pembelajaranyang sering

(26)

digunakan oleh guru, (2) mengetahui apakah peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang mengikuti pembelajaran DELC menggunakan PBL lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran model DELC menggunakan pembelajaran yang sering digunakan oleh guru, (3) mengetahui apakah terdapat pengaruh model DELC menggunakan PBL terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.

Penelitian ini merupakan quasi eksperiment dengan Pretest-Posttest Control Group Design. Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas berupa pembelajaran model DELC menggunakan PBL, serta variabel terikat kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X SMA Negeri 7 Yogyakarta. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, sehingga terpilih kelas X.5 sebagai kelas kontrol dan kelas X.8 sebagai kelas eksperimen. Teknik pengumpulan data menggunakan tes. Instrumen yang digunakan adalah soal pretes, soal postes.

Teknik analisis data menggunakan statistik parametrik yaitu uji t sampel independen dan uji t sampel berpasangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang mengikuti model pembelajaran DELC menggunakan PBL dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran model DELC menggunakan metode yang digunakan oleh guru (uji t sampel independen dengan Sig.(2- tailed) =0,000 0,05, maka Ha diterima). Peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang mengikuti model pembelajaran DELC menggunakan PBL lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran DELC menggunakan metode yang sering digunakan oleh guru (nilai Asymp. Sig.

(1-tailed) uji t sampel independen = 0,000 0,05, maka Ha diterima).Pembelajaran model DELC menggunakan PBL berpengaruh terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa antara kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan yang berbeda (Hidayati, 2013).

7. Fifi Febria (A2C010127) Tesis Program Studi Pascasarjana (S2) Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Melalui Optimalisasi Kecerdasan Logis, Kecerdasan Linguistik, Kecerdasan Interpersonal Dan Aktivitas

(27)

Berpikir Tingkat Tinggi Pada Kelas Akselerasi SMA N 2 Kota Bengkulu adalah sebagai berikut :

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran matematika melalui Optimalisasi Kecerdasan Matematis Logis, Kecerdasan Linguistik, Kecerdasan Interpersonal Dan Aktivitas Berpikir Tingkat Tinggi Pada Kelas Akselerasi SMAN 2 Kota Bengkulu beserta prototype perangkat pembelajarannya yang valid, praktis dan efektif. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan , model pengembangan yang digunakanadalah model Plomp . Subjek penelitian adalah siswa siswa kelas Akselerasi XI IPA di SMAN 2 Kota Bengkulu Tahun Ajaran 2012-2013 yang berjumlah 20 orang siswa. Hasil penelitian ini menghasilkan suatu buku model pembelajaran KMBTT yang valid, praktis dan efektif. Serta menghasilkan prototype perangkat pembelajaran yang terdiri dari buku siswa, lembar kerja siswa dan tes hasil belajar yang valid, praktis dan efektif (Febria, 2013).

8. Erlina Puspita Sari (09600022) Skripsi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Pengembangan Bahan Ajar Matematika Berbasis Masalah Untuk Memfasilitasi Pencapaian Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Dan Kecerdasan Emosional Siswa Madrasah Aliyah pada KD 1.1 dan 1.2 Kelas XI IPA KTSP” adalah sebagai berikut :

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan 1) untuk menghasilkan bahan ajar matematika berbasis masalah yang memfasilitasi pencapaian kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi dan kecerdasan emosional siswa yang layak dipakai dalam proses pembelajaran; 2) mengetahui kualitas bahan ajar; dan 3) mengetahui respon siswa terhadap bahan ajar dan pembelajaran yang digunakan.

Prosedur pengembangan mengadaptasi dari model penelitian dan pengembangan (Research and Development, R&D) yang dikembangkan oleh Borg dan Gall yang meliputi tahap pendahuluan, tahap pengembangan, dan tahap uji coba. Bahan ajar matematika berbasis masalah dikembangkan dengan memuat lima prinsip pembelajaran berbasis masalah yaitu orientasi siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Selain memuat lima prinsip pembelajaran berbasis masalah, bahan ajar yang dikembangkan juga

(28)

ditujukan untuk memfasilitasi enam indikator kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi dan lima dimensi kecerdasan emosional. Produk ini telah beberapa kali melalui tahap revisi berdasarkan saran dan masukan dari dosen pembimbing, validator, uji coba terbatas, dan uji coba lapangan.

Hasil dari penelitian pengembangan yakni 1) telah dikembangkan bahan ajar matematika berbasis masalah KD 1.1 dan 1.2 Kelas XI IPA; 2) kualitas bahan ajar matematika berbasis masalah berdasarkan penilaian validator tergolong dalam kategori sangat baik dengan persentase keidealan 83,09%, siswa yang menggunakan bahan ajar berbasis masalah memiliki kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi dan kecerdasan emosional lebih baik secara signifikan dibanding siswa yang menggunakan bahan ajar biasa ditinjau dari kemampuan matematika umum siswa, dan bahan ajar berbasis masalah tidak mengandung bias gender karena tidak ditemukan perbedaan secara signifikan pencapaian kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi dan kecerdasan emosional antara siswa laki-laki dengan perempuan; dan 3) respon siswa terhadap bahan ajar dan pembelajaran berbasis masalah tergolong tinggi dengan rata-rata persentase respon pada angket bahan ajar sebesar 79,68% dan pada angket pembelajaran sebesar 68,13% (Sari, 2013).

9. Endah Putri Novi Arti (A420110037) Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul “ Kemampuan Guru Mata Pelajaran Biologi Dalam Pembuatan Soal HOT (Higher Order Thinking) Di SMA N 1 Wonosari Klaten adalah sebagai beikut:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 pasal 3 menjelaskan bahwa guru memiliki empat kompetensi yang salah satunya kompetensi pedagogik yang meliputi keterampilan dalam mengevaluasi hasil belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru Biologi dalam pembuatan soal HOT di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumenter berupa soal ulangan harian buatan guru Biologi dan wawancara dengan guru Biologi di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten. Data yang diperoleh berupa kemampuan guru Biologi dalam membuat soal HOT di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten semester gasal tahun ajaran 2014/2015, dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian diperoleh bahwa kemampuan guru dalam membuat soal

(29)

HOT (21,2%) yaitu soal C4 (15,2%), C5 (3,0%), C6 (3,0%) dan soal LOT (78,8%) yaitu C1 (31,1%), C2 (29,8%), C3 (17,9%), dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru Biologi dalam membuat soal HOT sangat kurang baik (21,2%) (Arti, 2015).

10. Nunik Hidayati (083711019) Skripsi Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul “Penerapan Metode Praktikum Dalam Pembelajaran Kimia Untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Tingkat Tinggi Siswa Pada Materi Pokok Bahasan Kesetimbangan Kimia Kelas XI SMK Di Ponegoro Banyuputih Batang” adalah sebagai berikut:

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan 1) Untuk mengetahui penerapan pembelajaran kimia menggunakan metode praktikum dapat meningkatkan keterampilan berfikir tingkat tinggi peserta didik pada materi pokok kesetimbangan kimia, 2) Untuk mengetahui peningkatan keterampilan berfikir tingkat tinggi peserta didik pada pelajaran kimia materi pokok kesetimbangan kimia dengan metode praktikum.

Dari hasil wawancara peneliti kepada guru mata pelajaran kimia, peserta didik kurang aktif dalam mengikuti proses belajar mengajar sehingga daya pikir peserta didik kurang berkembang. Penerapan metode ceramah menghasilkan dampak yang kurang baik pada taraf berfikir peserta didik untuk menemukan konsep, mengembangkan pengetahuan, serta kurang terlatih untuk mengembangkan daya nalarnya untuk mengaplikasikan konsep-konsep yang dipelajarinya dalam memecahkan permasalahan yang dijumpai. Untuk itu diperlukan pembelajaran yang dapat meningkatkan taraf berfikir, pemahaman konsep serta keaktifan peserta didik. Obyek penelitian adalah peserta didik kelas XI TKJ 1 SMK Diponegoro Banyuputih Batang tahun ajaran 2011/2012 dengan jumlah siswa 30 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian tin dakan kelas yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus.

Hasil pengamatan untuk kemampuan berfikir tingkat tinggi pada peserta didik SMK Diponegoro dalam pembelajaran kesetimbangan kimia dengan mengunakan metode praktikum, belum baik. Hal ini terlihat pada siklus I, akan tetapi pada siklus II pola pikir peserta didik mulai terlihat adanya peningkatan yang baik sehingga peserta didik dapat mengolah pemikirannya yang dituangkan dalam hasil belajar.

(30)

Hasil yang di dapat dari pembelajaran praktikum, pada siklus I rata-rata belajar peserta didik 70,40 dengan ketuntasan klasikal sebesar 76,67%, Sedangkan pada siklus 2 setelah diadakan refleksi pelaksanaan tindakan pada siklus I, rata-rata hasil belajar peserta didik mengalami peningkatan yaitu sebesar 73,60 dengan ketuntasan klasikal sebesar 90,00% pada siklus II. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa taraf berfikir peserta didik pada materi pokok kesetimbangan kimia dengan metode praktikum meningkat (Hidayati, 2012).

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terdapat kaitan, namun, secara khusus tidak satupun dari hasil penelitian tersebut sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Basuki, terdapat kesamaan pada variabel X yaitu pengembangan instrumen, dan yang membedakan adalah variabel lainnya yaitu berupa instrumen penilaian portofolio.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Yuhana Dwi Krisnawati, terdapat kesamaan pada variabel X yaitu pengembangan instrumen dan jenis penelitian berupa penelitian research and development dan yang membedakan adalah variabel lainnya yang berupa instrumen penilaian domain afektif yang berkualitas.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Nofanto, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi dan yang membedakan adalah metode penelitian yang digunakan juga variabel lainnya. Metode yang digunakan oleh Nofanto adalah metode Perampaa Quiz.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Yuningsih, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi dan yang membedakan adalah jenis penelitian yang digunakan juga variabel lainnya. Jenis penelitian yang digunakan oleh Tri Yuningsih adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Shohib Bulloh Demy’ati, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi dan yang membedakan adalah jenis penelitian yang digunakan juga variabel lainnya.

Jenis penelitian yang digunakan oleh Shohib Bulloh Demy’ati adalah penelitian tindakan kelas.

6. Penelitian yang dilakukan oleh Nurul Hidayati, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi dan yang membedakan adalah jenis

(31)

penelitian yang digunakan juga variabel lainnya. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperiment dengan Pretest-Posttest Control Group Design.

7. Penelitian yang dilakukan oleh Fifi Febria, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan dan yang membedakan adalah variabel lainnya.

8. Penelitian yang dilakukan oleh Puspita sari, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan penelitian dan pengembangan (Research and Development, R&D) dan yang membedakan adalah variabel lainnya.

9. Penelitian yang dilakukan oleh Endah Putri Novi Arti, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi dan yang membedakan adalah variabel lainnya dan jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif.

10. Penelitian yang dilakukan oleh Nunik Hidayati, terdapat kesamaan pada variabel Y yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi dan yang membedakan adalah variabel lainnya dan penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas.

Mengacu pada persamaan serta perbedaan tersebut, maka penelitian dengan judul “Pengembangan Instrumen untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dalam pembelajaran matematika”, bukan jiplakan/plagiat, sehingga layak untuk dilakukan penelitian.

(32)

2.3 Kerangka Berpikir

Gambar 2.2 Bagan “Pengembangan Instrumen Untuk Mengukur Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Dalam Pembelajaran Matematika”

Keterampilan berpikir tingkat tinggi tentunya menggunakan kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Selain itu dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi, siswa dituntut untuk dapat menginterpretasikan, menganalisis serta mengkritik dan mampu membuat sebuah pemikiran atau ide dan gagasan dalam mengajukan, mengambil keputusan untuk memecahkan masalah, memberikan solusi dari sebuah permasalahan terutama pada pembelajaran matematika.

Keterampilan berpikir tingkat tingkat tinggi diharapkan dapat tertananam dan diterapkan oleh siswa terutama pada proses pembelajaran matematika. Hal ini, perlu adanya sebuah instrumen yang dapat mendukung hal tersebut. Salah satu jenis instrumen yang mempunyai karakteristik sesuai dengan konsep keterampilan berpikir tingakt tinggi siswa. Sebuah desain instrumen yang lebih inovatif, kreatif dan menarik untuk dikembangkan. Instrumen yang mampu memberikan sebuah penilaian yang

Pembelajaran Matematika

Pengembangan Instrumen

Pengembangan Instrumen Untuk Mengukur Keterampilan Berpikir

Tingkat Tinggi Siswa

Hasil Belajar

(33)

lebih terperinci dalam mengukur keterampilan berpikir siswa pada pembelajaran matematika melalui hasil belajar yang di peroleh.

2.4 Hipotesis Penelitian

Menurut Sugiyono, hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2012). Berdasarkan latar belakang juga beberapa teori yang telah dikemukakan di atas, maka penulis membuat hipotesis penelitian yaitu

“Keefektifan pengembangan instrumen untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dalam pembelajaran matematika”.

Referensi

Dokumen terkait

Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asem yang arang, bahasa Jawa (pohon) asam (j)arang, sehingga memberikan

Pendekatan ATI dalam penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) Perlakuan ( treatment ) awal, pemberian perlakuan awal terhadap siswa dengan menggunakan

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Pembelajaran siklus pertama pertemuan pertama diawali dengan apersepsi bernyanyi lagu ‘to the beach’ selanjutnya guru bertanya mengenai benda yang disebutkan dalam lagu.

Adapun teknik yang paling sedikit digunakan adalah teknik partikularisasi dengan jumlah data 1 (satu), kemudian teknik pengurangan dan adaptasi berjumlah 2 (dua)

[r]

Kebebasan ekonomi seorang wanita itu bukanlah fungsi dari ia berdagang, tetapi karena ia mendapat suatu penghasilan yang teratur dan dapat diandalkan dengan kegiatannya, di rumah

Disamping peran pemimpin dalam meningkatkan kreativitas karyawan, ada beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh (Kusumawati 2009; Deci and Ryan 1991; Amabile 1993, 1985)