SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN PANGAN NON BERAS
Oleh : Agus Santoso
ABSTRAK
Nasi ketela (“gadungan”) merupakan salah satu jenis olahan makanan tradisional mempunyai sifat seperti nasi (kenampakan dan teksturnya) sehingga bagi masyarakat Purworejo merupakan makanan pengganti nasi yang dikonsumsi saat musim paceklik atau masyarakat sulit mendapatkan beras. Pengolahan nasi ketela oleh masyarakat Purworejo menggunakan teknologi spesifik lokasi yang berkembang di masyarakat secara turun temurun, belum mengenal dan tersentuh inovasi teknologi pangan sehingga kualitas nasi ketela sangat beragam. Untuk itu bagaimana menjadikan olahan nasi ketela memberi kesan inderawi tidak membosankan, meskipun dimakan berulang kali dalam waktu lama dan dalam jumlah yang banyak perlu dilakukan inovasi sentuhan teknologi. Sudah saatnya produk daerah sendiri mendapat peran yang selayaknya dan dapat ditingkatkan menjadi produk unggulan daerah.
Hasil penelitian “ Perbaikan Teknologi Pengolahan Nasi Ketela (Gadungan)” sebagai alternatif pengembangan pangan non beras untuk menghasilkan produk pangan pengganti beras telah dilakukan serangkaian penelitian oleh tim Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Widya Dharma Klaten. Nasi ketela (“Gadungan”) sebagai makanan khas dari bahan baku ketela kualitasnya akan lebih baik bila dibuat dari varietas basiro, ukuran pencacahan/perajangan 6 mm, lama perendaman 24 jam dengan konsentrasi laru (starter) 50% dan dengan lama pengukusan 60 menit. Nasi ketela yang dihasilkan dengan kualitas : kadar air 17,19 – 17,98%; kadar pati 49,25 – 53,94%; kadar HCN 0,70 – 0,85 mg/kg, tekstur 3,11 – 4,81; rasa enak sampai sangat enak (2,90- 3,80); warna putih kekuningan sampai putih (2,60 – 3,80); dan dengan tingkat kesukaan konsumen suka sampai sangat suka (3,35 – 3,75)
PENDAHULUAN
Di setiap memasuki musim kemarau/kering Indonesia selalu dihadapkan pada permasalahan adanya kelangkaan beras secara meluas, sehingga harga beras terus melambung mencapai harga Rp.
5.700,- sampai Rp. 6.000,-/Kg. Bahkan cukup banyak dilaporkan masyarakat hanya mampu mengkonsumsi nasi aking. Pemerintah melalui Bulog dan Dolog di berbagai daerah terus melakukan operasi pasar serta saat ini pemerintah mengalami dilematis apakah harus mengimport kembali beras /tidak ? (Anonim, 2007a).
Namun demikian Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat krisis yang terjadi baru dalam bentuk ancaman yang diisyaratkan oleh kelangkaan barang dan belum sampai mengalami krisis pangan walaupun banyak dijumpai kelaparan dan kurang gizi pada masyarakat (Anonim, 2007b).
Indonesia sesungguhnya kaya akan tanaman pangan yang bernilai tinggi di luar padi, salah satu dari golongan umbi-umbian yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan penganti beras adalah ketela pohon (ketela).
Ketela sebagai sumber pangan dapat diolah menjadi ketela rebus, ketela goreng, ceriping, cokies, gethuk, gethuk goreng, thiwul serta nasi ketela (gadungan). Thiwul serta nasi ketela (gadungan) oleh masyarakat digunakan sebagai pengganti nasi disaat sumber pangan (beras) langka (peceklik). Perbedaan olahan keduanya adalah thiwul diolah dari ketela yang sudah dikeringkan yaitu gaplek, sedangkan nasi ketela (gadungan) dibuat dari ketela segar. Proses pembuatan nasi ketela (gadungan) yaitu ketela segar dikupas, dipotong-potong, direndam sehari semalam, diperam sehari semalam, dipressing dan dicacah menjadi berasan dengan cara dilakukan pengayakan baru dikukus jadilah nasi ketela (gadungan).
Teknologi ini spesifik tradisional khas masyarakat Kabupaten Purworejo Jawa Tengah (Dasuki, 2007).
Nasi ketela (gadungan) merupakan salah satu jenis olahan makanan tradisional mempunyai sifat seperti nasi (kenampakan dan teksturnya) sehingga bagi masyarakat Purworejo merupakan makanan pengganti nasi yang dikonsumsi saat musim paceklik atau masyarakt sulit mendapatkan beras.
Saat krisis pangan bagi sebagian masyarakat Indonesia seperti saat ini terjadi kelangkaan beras dan harganya tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat, langkah-langkah pengembangan pangan nonberas menjadi alternatif pemecahannya.
Pemasyarakatan dan pengembangan pangan non beras, peran riset dan teknologi pangan mutlak diperlukan untuk perbaikan dan penyempurnaan teknologi tradisional yang telah dimiliki masyarakat secara turun temurun. Dengan riset akan mampu meragamkan variasi sajian produk pangan, meningkatkan potensi bahan lokal serta mendapatkan olahan bergizi dan aman untuk dikonsumsi.
PERMASALAHAN
Pengolahan nasi ketela (gadungan) oleh masyarakat Purworejo menggunakan teknologi spesifik lokasi yang berkembang di masyarakat secara turun temurun, belum mengenal dan tersentuh inovasi teknologi pangan sehingga kualitas nasi ketela sangat beragam. Hasil survey penelitian pendahuluan 2007, menunjukkan hasil olahan nasi ketela (gadungan) kenampakan warnanya kuning keputihan sampai putih bersih, teksturnya lembek sampai keras yang diharapkan tekstur pulen, rasanya masam agak pahit sampai netral serta cita rasa ketelanya masih nampak sampai netral. Beragamnya kualitas ini diduga dipengaruhi oleh bahan baku varaitas ketela, umur panen, ukuran perajangan, lama perendaman (fermentasi) dan lamanya pengukusan, serta masih banyak lagi faktor lainnya.
Mengingat kompleknya faktor yang menentukan kuaitas nasi ketela (gadungan) selama pengolahan, maka perlu dilakukan suatu pengkajian tentang “Perbaikan Teknologi Pengolahan nasi ketela (Gadungan) sebagai alternatif Pengembangan Pangan Non beras” untuk menghasilkan produk pangan pengganti beras.
MASALAH MAKANAN POKOK
Makanan pokok yaitu makanan yang paling banyak dan paling sering dimakan, dan menjadikan keterkaitan dan keterikatan yang kuat, yang menjadikan perasaan belum makan kalau belum makan makanan tersebut (nasi) meskipun sudah makan makanan lainnya (Haryadi, 2006).
Menurut Jakob (1990) makanan merupakan interaksi antara manusia dan lingkungaanya. Beras dipilih menjadi makanan pokok karena sumber daya alam lingkungan mendukung penyediannya dalam
jumlah cukup, mudah dan cepat pengolahannya, memberi kenikmatan pada saat menyantap dan aman dari segi kesehatan. Makanan pokok memberi kesan inderawi tidak membosankan, meskipun dimakan berulang kali dalam waktu lama dan dalam jumlah yang banyak (Haryadi, 2006).
Beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia memiliki sejarah budaya seperti banyak ungkapan berkaitan dengan beras ataupun nasi, seperti ungkapan atau peribahasa misalnya mencari sesuap nasi, nasi sudah menjadi bubur (Khudori, 2003). Beras atau nasi menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia karena sebagai konsep makan dan disenangi karena dua unsur yaitu kenyang dan nikmat.
Keterkaitan pada beras sebagai pangan pokok gilirannya menimbulkan masalah, yaitu ketika permintaan terus menerus meningkat, sementara persediaan yang ada tidak dapat memenuhinya.
Swasembada pangan khususnya beras yang telah dicapai bangsa Indonesia beberapa tahun 2004 yang lalu hanya menjadi sejarah dan sekarang tanpa harus merasa gagal kita mengalami krisis pangan. Banyak dilaporkan masyarakat mengalami kelaparan, kurang gizi dan harga makanan pokok (beras) tidak terjangkau sebagian masyarakat (Anonim, 2007a) Tapi apapun bentuknya tampaknya telah tumbuh kesadaran pada sebagian masyarakat, orientasi pada beras ikut memperbesar ancaman terjadinya krisis.
Maka, mulai saat ini perlu dicari dan digalakan langkah-langkah untuk mengurangi ketergantungan yang angat besar terhadap beras yaitu pemasyarakatan dan pengembangan pangan non beras.
Indonesia sesungguhnya kaya akan tanaman pangan yang bernilai tinggi diluar padi, plant of resources of South East Asia (PROSEA), berhasil
mengelompokkan sumber tanaman pangan dalam 38 kelompok komoditi, empat kelompok diantaranya terdapat 125 spesies yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan yaitu biji-bijian (cereals), 22 species, saju dan sejenisnya, 8 specise; kacang-kacangan (pulses), 26 species dan umbi-umbian (root dan tuber), 69 species (Widianarko, 1998). Makanan pokok umumnya mengandung karbohidrat yaitu padi-padian, umbi-umbian, dan batang palma. Salah satu umbi- umbian yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan pengagnti bears adalah ketela pohon (ketela),
KETELA
Ketela sering dikenal juga sebagai ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, diantaranya singkong, ubi jenderal, telo puhung, bodin, telo jenderal (jawa), sampeu huwi dangdeur, huwi jenderal (sunda), kasbek (ambon dan ubi Perancis (padang) (Rukmana, 2001).
Ketela merupakan tanaman yang mudah tumbuh dengan baik di tanah kurang subur, sehingga produksinya cukup tinggi. Varietas ketela yang banyak dibudidayakan petani saat ini varietas valenca, mangi, basiro, betawi, kelentheng, randu, mentega dan bogor (ketela karet), serta varietas ketela tersebut sebagai bahan pangan yaitu pada kandungan Asam Sianida (HCN) (tinggi, sedang dan rendah), warna umbinya (puith dan kuning, rasa (pahitm agak enak dan enak dan tekturnya relah dan padat) (Antarlina, 1992).
Ketela sebagai sumber tanaman pangan mempunyai komposisi gizi karbohidrat 34,7 – 37,9%, protein 0,8 – 1,2%, lemak 0,3%, kalsium 33 mg, pospor 40 mg, besi, 0,7 – 0,8 mg dan karoten (vitamin A) 365 – 380 SI serta kalori sebesar 142 – 146 kalori (Anonim, 2002).
Teknologi pengolahan ketela menjadi produk pangan harus mampu mengurangi zat racun berupa Asam sianida (HCN) semaksimal mungkin sehingga aman untuk dikonsumsi dan rasanya enak dapat diterima masyarakat. Asam Sinida dapat dikurang atau dihilangkankan dengan cara merendam ketela (karena HCN bersifat larut dalam air) atau dengan pemanasan (dikukus) karena bersifat mudah menguap. Dan untuk memudahkan lepasnya HCN dari umbi ketela selama perendaman maupun pengukusan dengan memperkecil ukuran umbina. Dosis lethal Asam Sianida (HCN) berkisar antara 0,5 – 3,5 mg/kg berat badan (Coursey, 1973).
Racun ketela terdapat dalam semua bagian tanaman baik dalam daun, batang maupun umbinya,, Menurut Darjanto dan Murjadi (1980), daun ketela mengandung HCN lebih tinggi daripadanya umbinya, tetapi lebih mudah dihilangkan karena racun tersebut tidak terikat kuat seperti dalam umbi. Kandungan HCN dalam umbi ketela dipengaruhi varietas tanaman, iklim, pemupukan dan keadaan tanah (Makfoed, 1983). Umbi ketela ber-HCN rendah bila mengandung dibawah 50 mg/kg dan dikatakan tinggi kadar HCN lebih dari 100 mg/kg.
Dalam melakukan pengolahan ketela sebagai bahan makanan hal penting yang harus diperhatikan adalah kandungan Asam Sianida (HCN). Menurut Coursey (1973), adanya HCN yang masih tersisa kemudian masuk ke dalam tubuh secara terus menerus menyebabkan pengaruh kronis yang disebabkan oleh cyanida yaitu Attaxic neuropathy.
Attaxic neuropathy merupakan sindoma yang terdiri atas kelainan kulit, membran mucosa dan kelainan sistem syaraf yaitu dapat berupa myelopathy, bilatcral, optik, bilateral perceptive diatness dan poly neuropathy.
Menurut Winarno (1992), kadar HCN ketela akan turun selama penyimpanan, dan Bourdoux, et al (1982), melaporkan bahwa perendaman 1 hari menurunkan 45 % dari jumlah HCN yang ada dan perendaman 5 hari seluruh HCN hilang sama sekali tetapi umbi ketela menjadi rusak. Penggunaan panas dalam pengolahan dapat menguapkan sebagian HCN.
Dosis lethal HCN berkisar antara 0,5 sampai 3,5 mg/
kg berat badan.
NASI KETELA (“GADUNGAN”)
Nasi ketela (gadungan) dibuat dari ketela segar merupakan teknologi spesifik tradisional khas masyarakat Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Proses pembuatannya. yaitu ketela segar dikupas, dipotong potong, direndam (difermentasi) sehari semalam, diperam, sehari semalam, dipressing dan dicacah menjadi berasan dengan cara dilakukan pengayakan kemudian dikukus jadilah nasi ketela (gadungan) (Dasuki 2007).
Dalam pembuatan nasi gadungan pemotongan (pengecilan ukuran) dan perendaman (fermentasi) bertujuan untuk menghilangkan racun Asam Sianida (HCN) dalam umbi ketela. Selain itu perendaman juga untuk memudahkan pengecilan ukuran menjadi berasan dan membantu proses gelatinisasi selama proses pengukusan sehingga jadilah olahan nasi gadungan. Masyarakat Purworejo dalam menilai kualitas nasi gadungan meliputi parameter kenampakan/warna nasi yaitu : putih, rasa tidak pahit dan tidakmasam serta teksturnya pulen.
Proses pengolahan nasi ketela sebagai olahan tradisional masyarakat Kabupaten Purworejo seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Teknologi Spesifik Pengolahan Nasi ketela (Gadungan) yang dilakukan masyarakat Purworejo
Kepulenan dari tektur nasi ketela (gadungan) ditentukan dari varietas ketela kandungan pati umbi serta tingkat waktu pengukusannya. Pengukusan merupakan proses pemanasan dengan menggunakan uap air, selama pengukusan akan terjadi gelatinisasi pati yang merupakan pembengkakan granula pati dengan adanya penyerapan air yang cukup. Selama pengukusan granula pati pecah dan melebur sehingga antar granula pati saling melekat. Sehingga pengukusan akan melunakan bahan, melunakan dinding sel dan memperbaiki tekstur (Muljohardjo, 1987).
HASIL KAJIAN PERBAIKAN TEKNOLOGI NASI KETELA
Hasil penelitian “Perbaikan Teknologi Pengolahan Nasi Ketela (Gadungan)” sebagai alternatif pengembangan pangan non beras untuk menghasilkan produk pangan pengganti beras telah dilakukan serangkaian penelitian oleh tim Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Widya Dharma Klaten (Choirul Anam, Agus Santoso, Bambang Pranoto, Edi Supriyono dan Hasyim, 2003). Adapun perbaikan teknologi yang di bahas meliputi pengaruh varietas ketela, ukuran pencacahan/perajangan, konsentrasi laru (stater), lama perendaman dan lama pengukusan dan hasilnya terlihat pada Tabel. 1 sampai Tabel. 5.
Tabel 1. menunjukkan bahwa nasi ketela dengan bahan baku ketela varietas basiro menghasilkan kualitas nasi yang lebih baik untuk hasil uji organoleptik (rasa, warna, dan kesukaan) bila dibandingkan dengan varietas valenca dan mangi.
Nasi ketela yang dihasilkan warnanya lebih putih dan rasanya sangat enak dengan penerimaan konsumen suka, tetapi tekturnya lebih keras dan kandungan HCN lebih tinggi. Sosrosudirdjo melaporkan bahwa pada umbi basah ketela varietas basiro mengandung HCN 30 mg/kg masuk kategori rendah dan tidak berbahaya.
Sumardi (1982), melaporkan bahwa ketela varietas basiro rasanya netral dan umbinya berwarna putih, sedang valenca dan mangi merupakan varietas lokal rasanya manis dan warna umbinya kuning. Ketela basiro merupakan varietas introduksi dengan kandungan pati 62% (Suharmadi, 1984).
Tabel 2. menunjukkan bahwa ukuran pencacahan/perajangan berpengaruh terhadap kualitas nasi ketela. Perajangan lebih tipis cenderung menghasilkan nasi ketela dengan rasa masam (valenca dan mangi) dan berasa pahit (basiro). Hal ini dimungkinkan dengan ukuran perajangan tipis proses fermentasi ketela selama perendaman lebih cepat dibandingkan ukuran yang lebih tebal sehingga pH ketela lebih rendah. Perajangan tipis juga mampu menurunkan kandungan HCN dalam nasi ketela lebih baik (kadar HCN lebih rendah). Di lain pihak dengan ukuran lebih tebal, kadar pati tetap lebih tinggi sehingga memungkinkan proses gelatinisasi selama pengukusan menjadi nasi lebih baik. Dari hasil uji organoleptik, konsumen cenderung menyukai nasi ketela dengan perajangan bahan baku ketela yang lebih tebal (6 mm), karena nasi yang dihasilkan lebih pulen (tidak lembek).
Tabel 2. Pengaruh Ukuran Pencacahan Terhadap Kualitas Nasi Ketela
6 mm 4 mm
2 mm
Ukuran Pencacahan Parameter
1. Kadar Air (%) 16,44c 17,18b 17,98a 2. Kadar Pati (%) 51,30b 52,37b 53,20a 3. Kadar HCN (mg/kg) 0,51c 0,64b 0,85a
4. Tekstur 4,25a 3,81b 3,11c
5. Rasa 2,05c 3,80a 3,25b
6. Warna 2,30b 3,80a 3,35a
7. Kesukaan 1,82c 3,75a 3,45b
Ket. : Rerata diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada taraf 5%
Rasa= 1 : tidak enak (masam, pahit) – 5 : amat sangat enak (netral, nasi agak manis); Warna = 1: putih kebiruan - 5 : putih bersih; Penerimaan konsumen = 1 : tidak suka – 5 : amat sangat suka
Tabel 1. Pengaruh Varietas Terhadap Kualitas Nasi Ketela
Basiro Mangi
Valenca
Varietas Ketela Parameter
1. Kadar Air (%) 16,55b 17,03b 17,72a 2. Kadar Pati (%) 51,84b 51,84b 53,94a 3. Kadar HCN (mg/kg) 0,53b 0,72a 0,77a
4. Tekstur 3,43b 3,66b 4,08a
5. Rasa 3,30b 3,60b 3,80a
6. Warna 2,75b 3,19b 3,80a
7. Kesukaan 2,90b 3,40b 3,75a
Ket. : Rerata diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada taraf 5%
Rasa= 1 : tidak enak (masam, pahit) – 5 : amat sangat enak (netral, nasi agak manis); Warna = 1:
putih kebiruan - 5 : putih bersih; Penerimaan konsumen = 1 : tidak suka – 5 : amat sangat suka
Laru (starter bakteri asam laktat) merupakan air yang diperoleh dari hasil perendaman (proses fermentasi) ketela hari sebelumnya. Pemberiaan laru bertujuan mempercepat proses fermentasi bahan ketela bertujuan agar nasi ketela yang dihasilkan mempunyai cita rasa dan aroma khas dari nasi ketela.
Tabel 3. menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi laru yang ditambahkan pada saat perendaman bahan ketela dihasilkan nasi ketela dengan kualitas (rasa dan penerimaan) oleh konsumen lebih baik yaitu rasanya enak sampai sangat enak dan disukai konsumen. Pemberian laru juga mampu menurunkan kandungan HCN nasi ketela lebih tinggi, dengan konsentrasi laru yang tinggi diduga proses fermentasi terjadi lebih cepat dengan lama perendaman yang sama akan meremahkan ketela
Tabel 4. Pengaruh Lama PerendamanTerhadap Kualitas Nasi Ketela
30 jam 24 jam
18 jam
Lama Perendaman Parameter
1. Kadar Air (%) 16,23c 17,16b 17,57a 2. Kadar Pati (%) 50,32a 49,60b 48,98c 3. Kadar HCN (mg/kg) 0,99a 0,85b 0,77c
4. Tekstur 2,30c 3,19b 4,88a
5. Rasa 3,15a 3,50a 3,70a
6. Warna 2,35c 2,45b 3,20a
7. Kesukaan 2,45b 3,35a 2,15b
Ket. : Rerata diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada taraf 5%
Rasa= 1 : tidak enak (masam, pahit) – 5 : amat sangat enak (netral, nasi agak manis); Warna = 1: putih kebiruan - 5 : putih bersih; Penerimaan konsumen = 1 : tidak suka – 5 : amat sangat suka
Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi LaruTerhadap Kualitas Nasi Ketela
50 % 25 %
0 %
Konsentrasi Laru Parameter
1. Kadar Air (%) 16,77c 17,01b 17,19a 2. Kadar Pati (%) 50,11a 49,54b 49,25c 3. Kadar HCN (mg/kg) 0,96 0,86 0,79
4. Tekstur 2,64 3,60 4,72
5. Rasa 3,11a 1,90b 3,50a
6. Warna 1,50c 1,90b 2,95a
7. Kesukaan 1,55c 2,05b 3,35a
Ket. : Rerata diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada taraf 5%
Rasa= 1 : tidak enak (masam, pahit) – 5 : amat sangat enak (netral, nasi agak manis); Warna = 1: putih kebiruan - 5 : putih bersih; Penerimaan konsumen = 1 : tidak suka – 5 : amat sangat suka
(ketela menjadi lunak) sehingga pati lebih banyak yang larut, kadar air meningkat dan nasi ketela tekturnya lebih lunak.
Dalam melakukan pengolahan ketela sebagai bahan makanan hal penting yang harus diperhatikan adalah kandungan Asam Sianida (HCN). Menurut Coursey (1973), adanya HCN yang masih tersisa kemudian masuk ke dalam tubuh secara terus menerus menyebabkan pengaruh kronis yang disebabkan oleh cyanida yaitu Attaxic neuropathy.
Tabel 4. menunjukkan bahwa perendaman ketela (bahan baku) selama proses pengolahan nasi ketela semakin lama menyebabkan kadar airnya lebih tinggi dan tekturnya lebih lembek serta kandungan patinya juga lebih rendah. Kandungan HCN menurun, selain itu perendaman juga bertujuan untuk membersihkan kotoran-kotoran, mengurangi HCN serta untuk mempercepat proses pengukusan dan dihasilkan nasi ketela yang lebih baik.
Dari hasil penerimaan konsumen perendaman ketela (bahan baku) selama 24 jam menghasilkan nasi ketela lebih disukai (3,35) dari pada lama perendaman 18 jam (2,45) maupun 30 jam (2,15).
Bourdoux, et al (1982), melaporkan bahwa perendaman 1 hari menurunkan 45 % dari jumlah HCN yang ada dan perendaman 5 hari seluruh HCN hilang sama sekali, hal ini karena HCN bersifat mudah larut dalam air.
Pengukusan yaitu suatu proses pemasakan dengan medium uap air dan bahan yang dikukus diletakkan di atas air yang diuapkan dan bersekat angsang (Muljohardjo, 1993). Serta bertujuan untuk melunakkan makanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukusan menurut Fellows (1990) yaitu tipe bahan, ukuran bahan, suhu pengukusan dan mtode pemanasan. Suhu yang digunakan 70 – 100
0C. Menurut Sopandi (2002), nasi ketela yang pengukusannya kurang sempurna akan berpengaruh terhadap kualitas, misalnya nasi ketela tidak pulen, keras, dan tektur tidak homogen (Jawa : nglethis) dan nasi cepat menjadi basi.
Tabel 5. menunjukkan bahwa lama pengukusan 60 menit menghasilkan nasi ketela dengan kualitas organoleptik (rasa, warna dan penerimaan konsumen) yang lebih baik, yaitu dengan tingkat kesukaan suka sampai sangat suka (3,65).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian “ Perbaikan Teknologi Pengolahan Nasi Ketela (Gadungan)” dapat disimpulkan bahwa :
1. Nasi ketela (“Gadungan”) sebagai makanan khas dari bahan baku ketela kualitasnya akan lebih baik bila dibuat dari varietas basiro, ukuran pencacahan/perajangan 6 mm, lama perendaman 24 jam dengan konsentrasi laru (starter) 50% dan dengan lama pengukusan 60 menit.
2. Nasi ketela yang dihasilkan dengan kualitas : kadar air 17,19 – 17,98%; kadar pati 49,25 – 53,94%; kadar HCN 0,70 – 0,85 mg/kg, tekstur 3,11 – 4,81; Rasa enak sampai sangat enak (2,90- 3,80); warna putih kekuningan sampai putih Tabel 5. Pengaruh Lama PengukusanTerhadap
Kualitas Nasi Ketela
30 jam 24 jam
18 jam
Lama Perendaman Parameter
1. Kadar Air (%) 16,06c 17,01b 17,82a 2. Kadar Pati (%) 51,67a 51,40b 51,16c 3. Kadar HCN (mg/kg) 1,02a 0,86b 0,70c
4. Tekstur 3,39c 4,11b 4,81a
5. Rasa 1,55b 2,20b 2,90a
6. Warna 1,70b 2,30a 2,60a
7. Kesukaan 1,65b 2,80a 3,65a
Ket. : Rerata diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada taraf 5%
Rasa= 1 : tidak enak (masam, pahit) – 5 : amat sangat enak (netral, nasi agak manis); Warna = 1: putih kebiruan - 5 : putih bersih; Penerimaan konsumen =
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002.Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 2005. Mendongkrak Pemanfaatan Sumber Pangan dengan Sentuhan Teknologi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 27 No. 6. ISSN 0216-4427.
Anonim, 2007a. Berita Harian Kompas, 12 Januari 2007
Anonim, 2007b. Berita Harian Jawa Pos, 14 Pebruari 2007
Antarlina, S. S., 1992. Evaluasi Sifat sifat Sensoris, Fisik dan Kimia Beberapa Klon Ubi Kayu Ko!eksi Nasma Nutfah dalam Laporan Penelitian, Balitkabi, Malang
Bambang Pranoto, Choirul Anam, Agus Santoso., 2003. Pengaruh Varietas dan Ukuran Perajangan Terhadap Kualitas Nasi Ketela. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Widya Dharma, Klaten
Bourdoux, P. P., Segheres, M. Mafuta, J. Vandervas, M. Vandenvas Rivera, F. Delange dan A. M.
Ermans, 1982. Cassava Product HCN Content and Detoxification Process dalam F. Dellange, F. B. Iteke dan A. M. Ennans (Ed): Nutricional Factor Involved in the Gastrogenic Action of Cassava, IDRC, Ottawa.
Courney, D. G., 1973. Cassava as food: Toxicity and of Interdisplinary Warkshop, London, England.
Dasuki, 2007. Observasi dan Wawa ncara Langsung dengan UKM Kemiri Purworejo y a n g Mengolah Nasi Ketela (Gadungan), 4 Januari 2007.
Edi Supriyono, Choirul Anam, Agus Santoso., 2003.
Pengaruh Konsentrasi Laru dan Lama Perendaman Terhadap Kualitas Nasi Ketela.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Widya Dharma, Klaten
Haryadi, 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hasyim, Choirul Anam, Agus Santoso., 2003.
Pengaruh Varietas dan Lama Pengukusan Terhadap Kualitas Nasi Ketela. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Widya Dharma, Klaten
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono, 1988.
Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan Pusat Antar Universitas. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Khudori, 2003. Walau Merugi, Petani Enggan Tinggalkan Padi. Harian Pikiran Rakyat, 30 Juni 2003.
Muljohardjo, M. 1987. Teknologi Pengawetan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rukmana, H. R. , 2001. Ubi Kayu, Budi Daya dan Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta
Sosrosoedirjo, 1970. Ketela Pohon. Yasaguna, Jakarta
Suharmadi, 1984. Teknologi Pasca Panen Ubi Kayu.
Penebar Swadaya, Jakarta
Sumardi, 1982. Perkembangan Vaietas Lokal Ubi Kayu. Karya Nusantara, Jakarta.