• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Konstruktivisme dalam Proses Belajar Mengajar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Teori Konstruktivisme dalam Proses Belajar Mengajar"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Konstruktivisme dalam Proses Belajar Mengajar

Cecep Sodikin, Drs., M.Pd.

Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Sebelas April Sumedang

E-mail : cesa49@ymail.com 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Suatu kebiasaan yang telah lama dilakukan dan dirasakan, bahwa kebiasaan itu memerlukan usaha dan pemikiran yang simpel, tidak mudah untuk ditinggalkan meskipun (mungkin) terjadi kondisi yang monoton bagi sebagian orang. Demikian pula dengan kebiasaan mengajar dikelas, baik itu pelaksanaan pembelajaran dalam prekuliahan maupun tatkala berhadapan dengan siswa disekolah. Hal ini terjadi karena untuk melaksanakan aktivitas yang sudah terbiasa dilakukan tidak lagi memerlukan persiapan khusus, misalnya satuan acara perkuliahan atau satuan pelajaran, alat pelajaran dan alat evaluasi, skenario proses pembelajaran, dan persiapan lainnya. Disamping kesibukan para guru (termasuk dosen) yang mengajar diberbagai sekolah sehingga kelas dan jenis pembelajaran yang diberikan cukup banyak dan beragam, juga aktivitas lainnya diluar profesinya untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dan penghidupannya yang layak sesuai dengan predikat yang disandangnya sebagai guru yang di mata masyarakat masih cukup terhormat.

Kondisi inilah sebagai salah satu faktor yang menyebabkan guru dalam melaksanakan prifesinya lebih berorientasi pada kondisi dirinya (teacher oriented). Secara kasar mereka bekerja dengan pedoman ‘yang penting tugas dilaksanakan’, belum berorientasi pada proses dan hasil belajar siswa yang optimal.

Telah banyak teori belajar mengajar yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan, baik yang bersumber dari luar negeri maupun yang berasal dari dalam negeri sendiri. Bahkan pemerintah pun sudah menganjurkan untuk menggunakan teori-teori tersebut dalam pelaksanaan pembelajaran dikelas, yang intinya proses belajar mengajar dikelas harus berorientasi pada siswa sebagai peserta didik yang sedang belajar. Namun demikian, nampaknya tori tersebut hanya tinggal teori yang diterima oleh guru baru pada tahap pengetahuan dan pemahaman untuk dirinya sendiri, belum diaplikasikan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar dikelas. Disamping (mungkin) teori tersebut perlu persiapan atau fasilitas khusus sehingga menimbulkan rasa malas bagi guru, yang pada akhirnya para guru tetap saja menggunakan cara tradisional seperti ceramah atau ekspositori.

1.2 Permasalahan

Sebagai guru tampaknya kita sepakat bahwa siswa yang kita ajar mempunyai potensi (kemampuan) untuk belajar, karena setiap individu telah dibekali dengan akal (kognitif), budi (afektif) dan psikomotorik.

Pada proses pembelajaran tradisional yang biasa kita laksanakan dikelas, dimana guruterbiasa menggunakan metode ekspositori atau ceramah seperti yang telah diutarakan dimuka, nampaknya potensiyang dimiliki oleh siswa belum dikembangkan secara optimal karena orientasi pembelajaran berpuset pada guru. Pada sistem pembelajaran berdasarkan Teori Konstruksivisme memandang siswa siswa memiliki potensi untuk belajar yang menunutut pengembangan secara optimal dalam pelaksanaan

(2)

kegiatan belajar mengajar. Sistem pembelajaran ini memandang siswa sebagai subjek didik sesuai dengan pandangan modern, sementara guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator.

Permasalahannya adalah apakah teori konstruksivisme ini dapat diterapkan dengan mudah dalam proses pembelajaran disekolah kita dewasa ini? Apakah kendalanya cukup banyak seperti teori – teori terdahulu yang memerlukan banyak persiapan atau fasilitas khusus untuk menggunakannya, sehinngga para guru merasa

‘berabe’ dan malas untuk menggunakannya? Bagaimanakah prosedur penerapannya sehingga bagi guru tidakterbebani karena persiapannya separti pada pengajaran biasa?

Dan apakah teori ini tidak bertentangan dengan prinsip CBSA yang sedang digalakan sekarang ini dalam dunia pendidikan?

1.3 Tujuan Pembahasan

Sesuai dengan uraian dimuka, bahwa para guru dewasa ini masih terbiasa menyenangi penggunaan metode tradisional dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dikelas, mereka jarang sekali yang mengikuti inovasi baru dalam mengajar dengan berbagai kendala dan alasan yang dikemukakan.

Dengan dikemukakan pendekatan pembelajaran melalui Teori Kontruksivisme ini, sedikit banyak hal tersebut diatas, yang cenderung bersifat negatif, dapat dikurangi dan berangsur-angsur menuju sistemn pembelajaranCBSA secara benar.

Secara rinci tujuan dikemukakan sistem pembelajaran dengan penggunaan Teori Konstruksivisme ini antara lain :

a. Pengetahuan para guru mengenai proses belajar mengajar sedikit banyak bertambah karena teori ini merupakan teori yang baru bagi kita semua;

b. Pelaksanaan pembelajaran dengan teori ini tidak memerlukan persiapan dan fasilitas khusus, sebab tidak berbeda jauh dengan proses pembelajaran pada cara tradisional.

Hal ini mengakibatkan dapat diterapkan dengan mudah oleh para guru karena merasa tidak terbebani.

c. Dengan menggunakan teori ini bagi siswa, jika mereka belum terbiasa bekerja dan belajar yang benar kemungkinan akan merasa mendapat aktivitas baru yang sekaligus merupakan tantangan. Kondisi ini secara tidak langsung akan menumbuh kembangkan kebiasaan bekerja dan belajar mandiri, yang sangat diperlukan selama ia menempuh pendidikan maupun sesudah hidup dimasyarakat.

2. Pembahasan 2.1 Hakekat Guru

Guru dapat dipandang sebagai pemberi ilmu sekaligus nara sumber bagi siswa.

Sebagai pemberi ilmu menyangkut dua aspek, aspek pendidikan yang lebih condong pada bidang afektif dan aspek pengajaran yang cenderung menyangkut bidang kognitif dan psikomotorik.

Istilah memberikan ilmu disini, tidak berarti ilmu tersebut telah dikemas sedemikian rupa sehingga siswa tinggal menerimanya saja, akan tetapi karen abeberapa keterbatasan yang dimiliki guru sebagai manusia biasa dan dilain pihak adanya berbagai kelebihan yang dimiliki siswa sebagai subjek didik. Pemberian ilmu ini melalui proses tertentu yang disebut kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, sesuai dengan istilahnya, titik beratnya adalah belajar yang diikuti dengan mengajar. Jadi kegiatan siswa yang diutamakan (belajar) dan kegiatan guru mengikutinya (mengajar).

Disini tampak bahwa proses pembelajaran siswa mempunyai kata kunci yaitu siswa

(3)

sebagai subjek harus aktif dalam belajar. Proses pendidikan sangat tergantung pada aktivitas siswa, dimana didalamnya yang bersangkutan dituntut untuk mengembangkan potensinya secara optimal agar mencapai hasil belajar yang optimal pula.

Dilain pihak agar terjadi optimalisasi dalam pengembangan potensi yang dimiliki siswa selama proses pembelajaran, guru haruslah memiliki dan menguasai hal-hal berikut ini.

Penguasaan materi subjek didik belajar tentang materi tertentu dibawah bimbingan guru. Mereka tidak sembarangan belajar dan tidak pula belajar sembarangan.

Sebagai fasilitator dan nara sumber, sewyogianya guru menguasai bahan belajar agar materi yang disajikan berkualitas sehingga hasil belajarnya pun berkualitas pula. Dalam hal inilah setiap guru dituntut profesional, dalam arti mengajar sesuai dengan profesi / pendidikannya, tidak asal mengajar. Apalagi mengutamakan banyak mengajar demi penghasilan dengan mengabaikan tanggung jawab moral akademik. Selain daripada itu untuk mendukung profesionalisme tersebut tidaklah cukup jika hanya berpandidikan setar dengan lululsannya.

Penguasaan metodologi

Orang yang menguasai suatu keilmuan belum tentu ia dapat menularkannya kepada orang lain dengan baik. Oleh karena itu bagi seorang guru tidak cukup dengan bekal hanya dengan menguasi keilmuannya, akan tetapi harus dibarengi dengan metodologinya. Dalam hal ini penguasaan metodologi yang dimaksudkan adalah penguasaan cara penyajian pelajaran; penguasaan teori belajar mengajar; penguasaan strategi, proses, dan evaluasi belajar, serta terampil dalam penerapannya sesuai dengan bahan belajar, kondisi siswa, dan lingkungan belajarnya.

Sikap mental

Kedua hal tersebut diatas, penguasaan materi dan metodologi, merupakan syarat utama bagi keberhasilan proses belajar mengajar. Akan tetapi guru yang tampil didalam kelas adalah utuh sebagai pribadi. Sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia, sikap mental seorang guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar haruslah menampilkan sikap mental terpuji. Dalam melaksanakan tugas profesinya ia seharusnya menampilkan sikap kasih sayang, tulus ikhlas, tanpa pamrih, kedewasaan, mengayomi, dan menjadi suri teladan bagi siswanya.

Dengan sikap mental seperti diatas, para siswa secara langsung akan mencontoh dan meneladaninya. Sebab kebaikan itu memang tiadak cukup dengan hanya melalui ungkapan lisan melainkan akan jauh lebih baik bila dicontohkan dalam sikap mental dan prilaku sehari-hari.

2.2 Cara Belajar Siswa aktif (CBSA)

Hubunngan antara guru dengan siswa pad hakekatnya adalah hubungan anatra dua pihak yang setara, yaitu hubungan antara dua manusia yang tengah mendewasakan diri, meskipun yang satu (guru) telah ada pada tahap yang seharusnya lebih maju baik akal, moral, maupun emosionalnya (Rakajoni T, 1981:4). Dengan perkataan lain, mengajar dan pelajar keduanya merupakan subjek karena masing-masing memiliki kesadaran dan kebebasan. Dengan menyadari pola hubungan tersebut akan memungkinkan keterlibatan semua subjek didik secara optimal di dalam merealisasikan pengalaman belajar. Subjek didik akan bisa mengembangkan potensinya secara optimal, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Sedangkan guru dapat bertindak sebagai fasilitator yang

(4)

benar-benar diterima oleh siswa, dapat memotivasi belajar dengan giat, sebagai nara sumber yang berkualitas, bisa menumbuhkan rasa percaya diri bagi para siswa, dan kemudahan lainnya.

Pengertian itulah yang dimaksudkan dengan CBSA, yang pada hakekatnya dapat dipulangkan kembali pada tujuan pendidikan yang hakiki, yaitu peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan berpedoman pada semboyan Tut Wuri Handayani.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, implikasi di dalam kegiatan belajar mengajar, penerapan CBSA hendaknya tidak membatasi diri pada keterampilan mengungkapkan kembali bahan belajar yang telah dipelajarinya dan keterampilan mengerjakan soal-soal latihan sebagai aplikasi daripada konsep-konsep pada bahan belajar, melainkan harus pula berorientasi pada pemahaman proses terbentuknya konsep, penerapan konsep secara luas, serta tidak menutup kemungkinan pada kemampuan untuk mengembangkan konsep tersebut guna pengembangan keilmuan.

CBSA tidak tertutup pada belajar sebagai produk, yaitu hanya terbatas pada apa yang telah dipelajari dari bahan belajar sebagi hasil karya orang lain, melainkan harus pula mempelajarinya sebagi proses yang berkenaan dengan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk bagaimana, mengapa, dari mana, kapan, dan dimana. Dengan demikian sistem belajar dengan pendekatan CBSA konsepsi keilmuan dipelajari secara utuh dan komprehensif.

2.3 Proses Pembelajaran dengan Teori Konstruksivisme

Pengertian konstruksivisme adalah suatu pandangan tentang belajar yang saat ini sedang populer (Solomon, 1994). Paham konstruktivisme memandang siswa yang datang di kelas dengan membawa perbekalan berupa persiapan mental dan kognitifnya, bukan tanpa persiapan apa-apa (kosong) yang harus dijelajahi dengan ilmu pengetahuan oleh gurunya. Siswa yang datang di kelas sudah memiliki konsep awal (pre concept) dari materi yang akan dipelajarinya, karena mereka mempunyai potensi untuk belajar mandiri terlebih dahulu dari sumber yang ada atau dari pengalaman dalam lingkungan kehidupannya. Kemungkinan konsep awal yang telah terbentuk dalam struktur kognitifnya belum benar, susunannya belum sistematik, atau bahkan keliru. Kondisi inilah yang diharapkan sebelum kegiatan belajar mengajar dalam pandangan konstruktivisme. Jadi siswa telah mempunyai persiapan atau ancang-ancang untuk belajar sebenarnya. Sebelum belajar di kelas siswa terkondisi dengan terlebih dahulu mereka telah mengkonstruksi sendiri konsep dalam bahan belajar, karena mereka mempunyai rencana belajar (jadwal), sumber belajar, fasilitas dan lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan itu.

Karena itu teori konstruksivisme berpandangan bahwa (Bell, 1993) belajar di kelas adalah suatu proses penyempurnaan konsep awal dalam struktur kognitif siswa melalui pengarahan, penjelasan, dan bimbingan dari guru sebagai fasilitator dan nara sumber.

Secara lebih rinci (Driver & Bell, 1986) mengemukakan enam pandangan prinsip konstruksivisme berkenaan dengan belajar, yaitu :

a. Hasil belajar tidak hanya tergantung dari pengalaman belajar di kelas, tetapi tergantung pula pada pengetahuan pelajar sebelumnya;

b. Belaajr adalah mengkonstruksi konsep-konsep;

c. Mengkonstruksi konsep adalah proses aktif dalam diri siswa;

d. Konsep-konsep yang telah dikonstruksi akan dievaluasi yang selanjutnya konsep tersebut diterima atau ditolak;

(5)

e. Siswa lah yang sesungguhnya paling bertanggung jawab terhadap cara dan hasil belajar mereka;

f. Adanya semacam pola terhadap konsep-konsep yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.

Apabila kita yakin bahwa pandangan konstruksivisme di atas benar, tentunya kita akan menggunakan pandangan tersebut dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, baik untuk mahasiswa maupun terhadap siswa di sekolah. Permasalahannya sekarang adalah bahwa banyak guru yang pandangannya tentang belajar tidaklah sesuai dengan pandangan konstruksivisme ini, bahkan acuh tak acuh terhadap enovasi pendidikan.

Dari uraian di atas tampak bahwa penerapan teori konstruksivisme sangat mendukung pendekatan CBSA sebagai ciri pendidikan modern, bahkan kadar CBSA yang terjadi bisa sangat tinggi. Para siswa tidak hanya aktif di dalam kelas bersama guru, melainkan juga di luar kelas untuk mempersiapkan dirinya agar bisa beradaptasi dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

Jika dikaitkan dengan konsep belajar bermakna (Ausubel, 1973) pandangan konstruksivisme ini pun relevan. Dengan persiapan pengetahuan melalui belajar pendahuluannya yang dilakukan oleh siswa sebelum kegiatan belajar mengajar, siswa akan menjadi lebih siap dalam belajar sebenarnya di kelas dibandingkan dengan mereka yang tanpa persiapan sebelumnya. Kelompok siswa terakhir ini akan lebih sering menunggu dan menerima saja materi yang disajikan gurunya, tanpa aktivitas dan partisipasi aktif. Penerapan konstruksivisme lebih bersifat proaktif daripada teori lainnya yang hanya bersifat aktif. Dengan bekal konsep awal yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh siswa di rumah, mereka akan belajar secara bermakna karena mereka akan membandingkan dan merestruktur konsep yang telah dipelajari dengan konsep menurut penjelasan guru di kelas.

Untuk mewujudkan teori konstruksivisme dalam proses belajar mengajar di kelas, sehingga siswa dapat mengkonstruksikan dulu struktur kognitifnya tentang materi yang akan dipelajari di kelas bersama gurunya, kiranya metode pemberian tugas sesudah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan bisa diterapkan. Dengan tugas yang diberikan mengenai bahan belajar yang akan datang, guru menyiapkan kondisi pra-KBM untuk siswa di rumah, yang akan dimatangkan dalam KBM sebenarnya di kelas. Dengan demikian pemberian tugas itu tidak hany berkisar tentang soal-soal sebagai aplikasi konsep, tetapi bisa berkenaan dengan konsep-konsep atau materi yang akan dipelajari.

Hal yang cukup penting adalah penerapan teori konstruksivisme ini bagi guru tidak memerlukan persiapan khusus. Baik mengenai alat peraga/media belajar, buku sumber, maupun fasilitas lainnya. Sehingga tidak memberatkan para guru yang memang sudah sibuk. Persiapan guru tidak menjadji lebih berat dan rumit. Wajar-wajar saja.

Hanya dalam pelaksanaan KBM guru harus lebih aktif membimbing siswa dalam belajar, sekaligus memberi kesempatan kepada mereka. Dengan demikian penerapan teori konstruksivisme ini akan lebih mulus daripada teori lainnya. Selamat mencoba.

3. Penutup 3.1 Kesimpulan

Teori konstruksivisme adalah teori yang mendukung terjadinya kondisi CBSA dengan kadar yang tinggi sehingga kebermaknaan bahan belajar bagi siswa terakomodasi.

Hal ini memungkinkan terjadinya belajar mengajar dan tercapainya hasil belajar yang

(6)

optimal.

Penerapan teori konstruksivisme tidak memerlukan persiapan khusus bagi guru, karena tidak perlu alat belajar dan fasilitas belajar khusus. Jadi bisa dilaksanakan seperti melaksanakan kegiatan belajar mengajar biasa, sehingga para guru tidak direpotkan.

Dengan demikian penerapan teori ini sangat fisibel dengan kondisi guru, siswa, maupun lingkungan belajar.

3.2 Saran-saran

Hal-hal yang bisa disarankan berkenaan dengan urai di atas adalah :

a. Pembelajaran dengan pendekatan konstruksivisme disebarluaskan kepada dosen, guru, atau mahasiswa kependidikan agar mereka mengetahui, memahami, dan mau menerapkannya.

b. Penelitian kelas bagi guru-guru atau bahkan dosen perlu digiatkan dengan rujukan teori konstruksivisme.

c. Membuat satuan pelajaran atau satuan acara perkuliahan dengan skenario yang berpedoman pada pandangan konstruksivisme.

Daftar Pustaka

Appleton, K. & Asoko, H. (1996). A case study of teacher’s progress toward using a constructivist view of learning to informa teaching in elementary science. Science Education. 80 (2), 165-180.

Bell, B. (1973). Childern use science, contructivism and learning in science. Geelong: Deakin University Press.

Driver, R. & Bell, B. (1986). Student thinking and learning of science : a constructivist view.

School science review. 67 (240), 443 – 456.

Solomon, J. (1994). The rise and fall of constructivism. Studies in science Education. 23, 1 - 19.

Referensi

Dokumen terkait

13 Fasilitasi Pembinaan dan Pengendalian Pengelolaan Keuangan Desa. Fasilitasi Pembinaan dan Pengendalian Pengelolaan

Telah dilakukan penelitian cemaran logam berat pada 92 produk permen berkemasan plastik berfilm PVC yang dilakukan dengan pelarut HNO 3 dan H 2 O 2.. dengan

25 Tindakan ini dapat dipandang sebagai suatu praktik (pelaksanaan program) karena berupa tindakan-tindakan langsung untuk memperbaiki atau meningkatkan efektifitas

Pilih pahat yang akan digunakan untuk melakukan proses pembubutan roughing, misal T0101, maka klik gambar pahat tersebut, kemudian klik rough parameters5. Kilik OK, maka

Pencatatan data pengiriman kain dan pembelian bahan baku benang yang banyak masih dalam bentuk manual, sehingga memperlambat proses pekerjaan dan membutuhkan waktu yang

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedia barang Nomor : 602.3/11/RR.BI/26/2016 tanggal 11 Maret 2016, maka dengan ini diumumkan penyedia barang pengadaan langsung untuk :.. Nama

[r]

pembelajaran robot intelligent direction detector, yang berupa: Rencana Program Pembelajaran (RPP), modul, hand out , job sheet , dan panduan operasional ( manual