• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi demam akut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi demam akut"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dari genus Flavivirus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang telah terinfeksi virus dengue seperti nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang dapat ditemukan hampir di seluruh pelosok Indonesia (Putri, 2018).

Aedes aegypti sebagai vektor utama dari persebaran penyakit DBD di Indonesia

(Hendri et al., 2016). Faktor geografis berpengaruh pada perkembangbiakan vektor.

Kondisi daerah dengan curah hujan ideal berisiko lebih besar untuk terjadinya wabah demam berdarah (Suryani, 2018). Vektor penyakit DBD penyebarannya dapat meluas mulai dari daerah perkotaan dengan jumlah penduduk yang sangat padat hingga daerah pedesaan (Atikasari & Sulistyorini, 2018).

Penularan Virus Dengue melalui cara transsexual yang dimana jantan ke betina, tetapi juga dapat melalui cara transovaril dari indukan betina kepada keturunannya (Atikasari & Sulistyorini, 2018). Penularan DBD terjadi saat nyamuk Aedes aegypti betina terinfeksi virus dengue saat menghisap darah penderita pada fase demam, kemudian terjadi masa inkubasi secara ekstrinsik selama 8 hingga 10 hari yang menyebabkan kelenjar air liur nyamuk terinfeksi (WHO, 2006).

Upaya pengendalian penyakit DBD menurut Verawaty, Simanjuntak, &

Simaremare (2020), dapat dilakukan mulai dari nyamuk dewasa atau jentik nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama penyakit DBD. Upaya lain dan sering dilakukan di lingkungan masyarakat dan Dinas Kesehatan dalam pengendalian

(2)

penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) dimulai dari Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), penggunaan larvasida (pemberantasan jentik nyamuk) dan penggunaan obat nyamuk (termasuk insektisida) serta pelaksanaan fogging (Wahyono & MW, 2016).

2.2 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor Dengue 1. Taksonomi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Subfilum : Hexapoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Subordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamili : Culicinae

Genus : Aedes

Species : Aedes aegypti L.

(Wahyuni, 2016).

2. Identifikasi Morfologi

Spesies nyamuk Aedes aegypti seperti juga serangga lainnya yang termasuk ordo diptera, mengalami metamorphosis sempurna. Stadium-stadiumnya terdiri dari telur, larva (jentik), pupa (kepompong) dan nyamuk dewasa (Farid, 2015).

a. Telur

Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 50-100 butir telur tiap kali bertelur. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan

(3)

waktu tujuh hingga delapan hari, namun bisa lebih lama bila kondisi lingkungan tidak mendukung (Ishartadiati, 2011). Jika telur tidak terkena air atau wadah air mengering, telur akan bertahan hingga berbulan-bulan (Farid, 2015).

Telur Aedes aegypti secara umum berukuran kecil (± 50 mikron), berwarna hitam, tampak seperti bulat panjang dan berbentuk jorong (oval) menyerupai torpedo (Farid, 2015). Nyamuk Aedes aegypti memiliki telur yang berukuran sangat kecil dan memiliki warna yang hitam. Telur-telur ini biasanya terletak di bagian yang berdekatan dengan permukaan air, misalnya di bak mandi dengan air yang jernih (Wahyuni, 2016).

b. Larva

Telur yang telah menetas akan menjadi larva, perkembangan larva dari instar I ke instar IV memerlukan waktu sekitar 5 hari (Ishartadiati, 2011). Larva instar IV berukuran 7 x 4 mm (Farid, 2015), larva nyamuk Aedes aegypti terdiri atas bagian kepala, toraks dan abdomen (Wahyuni, 2016). Pergerakan larva Aedes aegypti sangat lincah dan aktif di dalam wadah. Larva Aedes aegypti dapat hidup di tempat yang berisi air dengan pH 5,8 – 8,6. Larva yang hidup dalam kondisi yang baik dan sesuai akan tumbuh menjadi pupa dalam waktu 68 hari (Farid, 2015).

c. Pupa

Larva setelah instar IV akan memasuki tahapan pupa. Selama stadium pupa, pupa tidak lagi memerlukan makanan karena telah masuk pada fase istirahat (Wahyuni, 2016). Stadium pupa ini adalah stadium yang tidak makan, jika pupa terganggu maka akan bergerak naik turun di dalam tempat yang berisi air. Pupa nyamuk terlihat berbentuk seperti koma. Kepala dan dadanya menyatu dengan

(4)

dilengkapi sepasang terompet pernafasan. Dalam waktu kurang lebih dua hari, pupa akan berubah menjadi nyamuk dewasa (Farid, 2015).

d. Nyamuk Dewasa (Imago)

Nyamuk Aedes aegypti yang telah menjadi nyamuk dewasa memiliki ciri khas yaitu tubuh berwarna hitam dan belang-belang putih yang terdapat pada seluruh tubuhnya. Habitat nyamuk Aedes aegypti dapat di tempat umum dan di sekitar maupun dalam rumah. Darah menjadi sumber protein bagi nyamuk untuk mematangkan telurnya dan yang aktif dalam menghisap darah adalah nyamuk betina dari pagi hingga sore hari (Wahyuni, 2016). Berbeda dengan nyamuk betina, nyamuk jantan dalam memenuhi nutrisi tubuhnya yaitu dengan menghisap cairan tumbuhan (Farid, 2015). Menurut Wahyuni (2016), nyamuk jantan menghisap sari bunga tumbuhan yang mengandung gula.

3. Habitat dan Siklus Hidup

Nyamuk Aedes aegypti dewasa biasa hinggap di pakaian tergantung, kelambu atau penampungan air (Atikasari & Sulistyorini, 2018). Tempat yang menjadi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dibagi menjadi 2 yaitu tempat perindukan alami, seperti di lubang pada pohon, lubang pada batu, batok kelapa dan potongan bamboo, dan tempat perindukan buatan seperti bak mandi, ember, botol bekas, kaleng bekas dan drum (Pahlepi RI, Soviana S, 2017; Susanti & Suharyo, 2017). Nyamuk Aedes aegypti biasa meletakkan telurnya pada tempat-tempat (kontainer) yang berwarna gelap, terbuka dan terhindar dari sinar matahari serta dengan kondisi permukaan air yang bersih (Ambarita, Sitorus, & Komaria, 2016;

Susanti & Suharyo, 2017).

(5)

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai empat fase dalam siklus hidupnya yaitu telur, jentik, pupa hingga menjadi nyamuk dewasa, Aedes aegypti mempunyai siklus hidup sempurna (Susanti & Suharyo, 2017). Perkembangan telur hingga menjadi nyamuk dewasa ± 7-10 hari (Suyanto, Darnoto, & Astuti, 2011; Syani &

Sutarto, 2018). Nyamuk betina sekali bertelur dapat mencapai 100-300 butir, ukuran telur 0,8 mm berwarna hitam, telur dapat bertahan sampai 6 bulan dalam keadaan kering (tanpa air) dan akan menetas menjadi jentik selama 1-2 hari jika terendam air (Atikasari & Sulistyorini, 2018; Suyanto et al., 2011). Jentik kecil yang baru menetas memiliki ukuran panjang 0,5 cm - 1 cm (Atikasari &

Sulistyorini, 2018). Jentik nyamuk bergerak sangat aktif di dalam air, bergerak ke atas permukaan untuk bernafas dan kembali turun dilakukan secara berulang dan pada saat istirahat jentik akan membentuk posisi tegak lurus dengan permukaan air (Atikasari & Sulistyorini, 2018; Suyanto et al., 2011). Jentik terdiri dari 4 tahap yang lebih dikenal sebagai instar. Perkembangan instar 1 hingga instar 4 membutuhkan waktu ± 5-8 hari (Atikasari & Sulistyorini, 2018; Susanti & Suharyo, 2017). Pada instar 4, jentik nyamuk akan berkembang menjadi pupa. Pupa nyamuk berbentuk seperti koma, geraknya lamban dan sering berada di permukaan air. Pupa membutuhkan waktu 1-2 hari hingga menjadi nyamuk dewasa (Atikasari &

Sulistyorini, 2018; Suyanto et al., 2011).

4. Pola Aktivitas

Aedes aegypti lebih sering aktif pada pagi hingga sore hari, perilaku menghisap

nyamuk betina terjadi setiap dua sampai tiga kali sehari pada pukul 08.00-12.00 pagi hingga siang hari dan pukul 15.00-17.00 sore hari (Ridha, Fadilly, & Rosvita, 2017). Menurut Atikasari & Sulistyorini (2018), spesies nyamuk ini menghisap

(6)

pada siang hari pukul 09.00-10.00 dan sore hari pukul 16.00-17.00. Nyamuk Aedes aegypti juga pernah dilaporkan menghisap pada malam hari pada pukul 18.00-03.00

(Prasetyowati, Marina, Hodijah, Widawati, & Wahono, 2014).

Nyamuk Aedes aegypti sering menghisap terutama pada anak kecil dan dapat juga orang dewasa. Nyamuk Aedes aegypti menyukai tempat dan benda yang gelap dan berwarna hitam untuk hinggap dan terhindar dari sinar matahari (Ambarita et al., 2016). Nyamuk betina yang berperan dalam menghisap darah dan menyebarkan virus penyakit. Darah menjadi sumber protein untuk mematangkan telurnya dan nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga yang mengandung gula untuk memenuhi nutrisinya (Farid, 2015; Wahyuni, 2016).

2.3 Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor penyakit dilakukan untuk mengurangi populasi serangga hingga batas kemampuannya untuk menularkan penyakit. Pengendalian vektor ini menjadi upaya bagi pemerintah khususnya dalam bidang Kesehatan untuk mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD agar masyarakat dapat terhindar dari penyakit ini.

Secara umum metode pengendalian vektor terbagi menjadi 4 (Suwandi &

Halomoan, 2017) yaitu :

1. Pengendalian Kimiawi (Sintetis)

Pengendalian dengan cara ini biasanya mentargetkan terhadap nyamuk dewasa dan larva. Pengendalian secara kimiawi saat ini menjadi yang paling efektif dan banyak digunakan oleh masyarakat. Secara umum penggunaan insektisida dapat dikatakan berhasil dalam mengendalikan vektor beberapa jenis serangga terutama pada vektor Aedes aegypti, namun penggunaan secara terus-menerus dapat

(7)

mengakibatkan resistensi terhadap serangga sasaran. Penggunaan insektisida yang terlalu banyak dan sering juga dapat berdampak negative bagi lingkungan, karena banyak tersebarnya jenis bahan pencemar berbahaya sehingga menurunkan kualitas lingkungan sekitar. Kesehatan manusia dan hewan di sekitar juga menjadi terkena dampat dari seringnya penggunaan insektisida. Endapan insektisida yang telah diserap di dalam tanah, genangan air, udara dan di dalam makanan yang sering dikonsumsi seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

2. Pengendalian Biologis

Pengendalian biologis sering dilakukan menggunakan kelompok organisme hidup, seperti mikroorganisme, hewan invertebrate atau hewan vertebrata.

Organisme yang digunakan biasanya bersifat predator (memangsa hewan lain), parasitik (membunuh inangnya) atau patogenik (virus, bakteri, jamur). Keuntungan dari menggunakan pengendalian biologis yaitu tidak ada kontaminasi kimiawi (sintetis) terhadap lingkungan yang merugikan manusia atau organisme lainnya.

Kerugian dari pengendalian ini adalah biaya yang cukup mahal untuk pemeliharan mikroorganisme maupun organisme yang memiliki kesulitan dalam penggunaan dan produksinya.

3. Pengendalian Lingkungan

Pengendalian lingkungan adalah upaya yang secara umum diterapkan di lingkungan masyarakat. Pengendalian lingkungan ini memiliki beberapa cara yaitu mencegah nyamuk kontak langsung dengan manusia dengan memasang kawat kasa pada lubang ventilasi rumah, jendela dan pintu. Upaya pengendalian lingkungan adalah upaya yang sering di sosialisakian oleh pemerintah dalam pencegahan penyakit. Pada umumnya, pemerintah sering menggalakkan Gerakan 3 M yaitu

(8)

menguras, menutup dan mengubur barang-barang bekas atau sampah yang dapat menampung air. Keunggulan pengendalian ini yiatu tidak ada kontaminasi sintetis dan mudah untuk dilakukan hanya membutuhkan banyak tenaga, karena upaya ini harus dilakukan secara berlanjut dan tepat.

4. Pengendalian Radiasi

Pengendalian radiasi yaitu nyamuk dewasa jantan dipancarkan oleh bahan yang bersifat radioaktif dengan memberikan dosis tertentu sehingga nyamuk jantan mandul (tidak dapat bereproduksi). Kerugian dari pengendalian radiasi adalah organisme lain yang bukan sasaran juga akan terkena imbasnya dan membutuhkan sumber listrik yang tinggi.

2.4 Insektisida

Insektisida merupakan salah satu bahan yang memiliki efek untuk mematikan serangga dengan tujuan membasmi hama (serangga pengganggu) atau serangga yang menjadi vektor penyakit (Gandahusada, Ilahude, & Pribadi, 1992). Insektisida merupakan kelompok dari pestisida yang terbesar dan terdiri dari beberapa jenis bahan kimia aktif yang berbeda, antara lain organofosfat, organoklorin, kabamat dan piretroid (Hidayati, 2014).

Insektisida memiliki stadium serangga yang menjadi sasarannya, yaitu stadium imagosida, larvasida dan ovisida. Berdasarkan jalur masuknya suatu insektisida ke dalam tubuh serangga, dapat digolongkan menjadi racun kontak yang masuk melalui kulit, racun perut yang masuk melalui mulut atau alat pencernaan serangga dan fumigans yang masuk melalui pernafasan serangga (Mahardika, 2007).

Untuk memilih jenis insektisida dalam memberantas serangga harus mempertimbangkan beberapa faktor yaitu spesies serangga yang dituju, stadium

(9)

serangga yang ingin dibasmi seperti stadium telur, larva atau dewasa, lingkungan hidup serangga dan sifat-sifat biologis serangga yang akan dibasmi agar dapat menentukan jenis insektisida yang paling ampuh untuk dapat masuk ke dalam tubuh serangga (Soedarto, 1989).

2.5 Malathion

Malathion merupakan salah satu insektisida yang termasuk dalam golongan organofosfat yang hingga kini masih digunakan dalam memberantas nyamuk.

Malathion digunakan untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti karena sifatnya yang sangat beracun bagi setiap serangga, tetapi tidak berbahaya bagi manusia.

Malathion membunuh serangga dengan meracuni organ lambung, kontak langsung didalam tubuh dan pernapasan, malathion juga dapat menghambat kinerja dari enzim kolinesterase terhadap asetilkolin di dalam tubuh serangga (Hamzah, 2009).

Malathion adalah insektisida yang sering digunakan untuk fogging berbentuk semprot (aerosol) dengan bentuk partikel yang sangat halus, sesuai dengan sifat dari nyamuk Aedes aegypti yang aktif bergerak dan akan hinggap pada waktu istirahat, penggunanaan fogging memungkinkan untuk insektisida lebih lama berada di udara sehingga ada waktu untuk terjadinya kontak dengan serangga yang menjadi sasaran, terutama adalah nyamuk Aedes aegypti. Malathion dapat digunakan di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan berfungsi sebagai racun kontak. Malathion juga biasa digunakan untuk menggantikan insektisida dari golongan chlorinated hydrocarbon, seperti DDT yang telah mengalami resistensi (Gandahusada et al., 1992).

(10)

2.6 Resistensi

Resistensi merupakan suatu sifat kebal yang dimiliki oleh serangga (arthropoda) terhadap suatu jenis insektisida. Resistensi juga dapat diartikan yaitu serangga yang tetap hidup jika terapapar oleh pemberian dosis insektisida.

Insektisida dapat bekerja di semua stadium pada serangga yang artinya dapat membunuh pada stadium telur, larva, pupa dan dewasa, yang membuat lebih cepat terjadinya resistensi jika hanya bekerja pada satu stadium serangga saja. Terjadinya resistensi dapat menimbulkan masalah karena serangga yang telah resisten akan bereproduksi yang kemudian akan terjadi perubahan genetik yang menurunkan keturunan resisten, yang pada akhirnya akan meningkatkan vektor yang bersifat resisten dalam populasi (Widiastuti & Ikawati, 2016). Sehingga suatu vektor penyakit dapat mengembangkan sistem kekebalan terhadap insektisida yang sering digunakan (Rahman & Sofiana, 2016). Resistensi serangga terhadap suatu jenis insektisida menjadi hambatan utama dalam pengendalian serangga hama, terutama vektor penyakit. Serangga yang resisten akan sulit untuk dikendalikan walaupun sudah dilakukan perlakuan berulang dan menggunakan dosis yang tinggi (Mantolu, 2016).

2.7 Perilaku Masyarakat

Perilaku merupakan suatu totalitas dari sebuah pemahaman dan aktivitas seseorang beserta faktor internal dan faktor eksternalnya (Palupi & Sawitri, 2017).

Perilaku sangat erat hubungannya dengan sikap dan keyakinan. Menurut Mulyanti

& Fachrurrozi (2017), suatu sikap yang disertai dengan suatu keyakinan akan lebih sulit berubah dan juga besar kemungkinan akan diwujudkan dalam perilaku. Sikap dan keyakinan yang baik akan meciptakan perilaku yang baik pula. Perilaku

(11)

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang maupun masyarakat (Fitriany, Farouk, & Taqwa, 2016). Masyarakat adalah manusia yang saling berinteraksi dengan manusia yang lain dalam suatu kelompok (Tejokusumo, 2014). Kehidupan masyarakat selalu dinamis dan tidak dapat dihindari. Kehidupan masyarakat juga dapat mempengaruhi lingkungan sekitar mereka tinggal.

Perilaku masyarakat merupakan sebuah aktivitas dan tindakan masyarakat dalam menanggapi suatu masalah. Misalnya dalam masalah kesehatan lingkungan, perilaku masyarakat yang baik akan mempengaruhi lingkungan yang baik pula.

Lingkungan yang baik akan menjadikan status kesehatan masyarakat disekitar juga baik. Menurut Palupi & Sawitri (2017), perilaku masyarakat terhadap lingkungan dianggap menjadi sebuah usaha untuk melakukan tindakan pencegahan dan perlindungan yang secara khusus memberikan perhatian terhadap lingkungan di kehidupan sehari-hari.

2.8 Sumber Belajar

Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat berwujud benda maupun orang yang mampu meningkatkan pembelajaran dan yang mencakup semua sumber yang dapat digunakan oleh seorang pengajar dan dapat dipergunakan peserta didik baik secara mandiri maupun dalam bentuk kelompok sebagai fasilitas kegiatan belajar dan meningkatkan kinerja belajar (Supriadi, 2015). Sumber belajar juga dapat didapatkan melalui informasi tenaga pengajar saja, tetapi sumber belajar dapat diperoleh melalui buku, media cetak, media elektronik, narasumber, lingkungan dan lingkungan sekitar yang dapat meningkatkan keaktifan dalam proses pembelajaran (Nur, 2012).

(12)

Menurut Maryati & Susilo (2014) hasil suatu penelitian dapat dimanfaatkan menjadi sumber belajar dengan memenuhi syarat-syarat dari sumber belajar, antara lain:

1. Kejelasan potensi yang artinya suatu objek dan permasalahan dalam suatu penelitian harus memiliki fakta yang akurat dan terkonsep.

2. Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran yang berarti hasil dari suatu penelitian dapat disesuaikan dengan Kompetensi Dasar (KD) dan kurikulum yang berlaku.

3. Kejelasan sasaran materi berupa subjek, objek dan hasil dalam penelitian.

4. Kejelasan pedoman eksplorasi yang berarti peserta didik dapat mengeksplorasi jenis penelitian hingga metode dari suatu penelitian yang dipelajarinya.

5. Kejelasan informasi yang diungkap yang berarti informasi yang didapatkan dan bermanfaat dari suatu hasil penelitian yang dipelajarinya.

6. Kejelasan perolehan yang diharapkan dari hasil penelitian meliputi tujuan pembelajaran yang dapat meningkatkan nilai-nilai dalam pembelajaran seperti:

kognitif, afektif dan psikomotorik.

(13)

2.9 Kerangka Konseptual

Keterangan:

: Diteliti : Tidak Diteliti

DBD adalah penyakit yang ditularkan melalui virus dengue oleh vektor nyamuk Aedes aegypti.

Pengendalian Non Sintetis Upaya pengendalian vektor

Pengendalian Biologis dan Lingkungan Pengendalian Sintetis

Fogging

Malathion Abatisasi

larvasida

Resistensi Vektor

Status Resistensi Aedes aegypti di Kabupaten

Jombang

Sumber Belajar

Metil Pirimifos Diazinon

Golongan Organofosfat Golongan Piretroid

Sipermethrin Cifluthrin

Referensi

Dokumen terkait

Konsep gitar akustik rotan ini adalah dengan mengaplikasikan papan rotan laminasi yang merupakan produk hasil riset Pak Dodi Mulyadi di PIRNAS (Pusat Inovasi

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dapat terlihat bahwa banyak faktor yang berhubungan efektivitas kerja guru. Namun peneliti menganggap hal yang paling penting

Untuk menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasionaln dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul mengalami preeklamsia ringan sebanyak 28 orang (56%)., Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati

Sebelum melaksanakan suatu perkawinan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah pelamaran ( madduta) pada saat inilah pihak perempuan mengajukan jumlah Uang Panaik

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan yang kurangnya persaingan bekerja dalam sektor wisata yang mana disebabkan minimnya perhatian pemerintah dalam menganggarkan belanja

Apabila surat peringatan ini tidak diindahkan dalam 3 (tiga) kali berturut-turut masing-masing selama 7 (tujuh) hari kerja, maka akan dikenakan sanksi penertiban berupa

Secara teori akad murabahah bil wakalah dapat dikatakan syariah apabila melakukan akad wakalah terlebih dahulu baru melakukan akad murabahah setelah barang yang dimaksud