• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Sejarah

a. Pengertian Pembelajaran Sejarah

Suherman (1992) dalam Jihad dan Haris mengemukakan bahwa

“Pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap” (2012 : 11). Selaras dengan itu Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI mengemukakan pula “Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya” (2007 : 137).

Menurut Susilana dan Riyana, pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai sumber untuk belajar. Pembelajaran dapat melibatkan dua pihak yaitu siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator (2008).

Sedangkan Hamalik mengemukakan bahwa “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran” (2008 : 57).

Berdasarkan beberapa definisi tentang pembelajaran di atas, maka pembelajaran merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik yang saling memengaruhi dalam upaya membelajarkan siswa untuk memperoleh perubahan perilaku, pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan sumber belajar.

Para ahli menjelaskan beberapa pengertian dan definisi tentang sejarah. Tamburaka (1999:2), menerangkan bahwa “Sejarah ialah cerita perubahan-perubahan, peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang

(2)

telah diberi tafsir atau alasan dan dikaitkan sehingga membentuk suatu pengertian yang lengkap”. Menurut Hamid dan Madjid “Sejarah adalah bidang kajian yang memahami manusia dan tindakannya yang selalu berubah dalam ruang dan waktu sejarahnya” (2011:10). Sedangkan Woolever dan Scoot (1988) dalam Arif mendefinisikan “Sejarah sebagai suatu kajian tentang aktivitas manusia pada masa lampau, baik dalam bidang politik, militer, sosial, agama, ilmu pengetahuan, dan hasil kreativitas seni” (2011:7).

Sejarah dalam arti subjektif dan objektif dinyatakan oleh Kartodirdjo (1992:14-15) sebagai berikut :

Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta- fakta terangkaian untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur…Sedangkan sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi tidak dapat diulang atau terulang lagi.

Agung S. dan Wahyuni menyatakan bahwa sejarah merupakan mata pelajaran yang tidak hanya dapat menanamkan pengetahuan saja, tetapi mata pelajaran sejarah juga dapat menanamkan sikap dan nilai-nilai mengenai proses perubahan-perubahan, peristiwa-peristiwa dan juga perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa sekarang (2013).

Berpijak dari beberapa pendapat di atas pembelajaran sejarah dapat diartikan sebagai perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang berkaitan erat dengan masa sekarang. Dalam pembelajaran sejarah juga terjadi interaksi atau komunikasi antara guru dan siswa yang membahas informasi dan menanamkan sikap juga nilai-nilai mengenai proses perubahan masyarakat dari masa lampau hingga masa yang akan datang.

(3)

b. Karakteristik Mata Pelajaran Sejarah di SMA

Menurut Arif ilmu sejarah memiliki beberapa karakteristik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yaitu :

Kajian sejarah terkait dengan peristiwa kehidupan manusia pada masa yang lampau yang terikat pada dimensi tempat dan waktu tertentu. Makna lain dari pernyataan ini adalah bahwa kajian sejarah merupakan kajian tentang proses kelangsungan dan perubahan (a process of continuity and change) dalam dimensi waktu (time) dan ruang (space). Penyajian materi sejarah dalam proses pembelajaran di kelas harus memperhatikan karakteristik ilmu sejarah tersebut (2011 : 121-122).

“Pembelajaran sejarah di sekolah memiliki karakteristik sebagai pembelajaran yang memberikan pengalaman masa lampau untuk diterapkan pada masa sekarang. Pengetahuan masa lampau dapat berguna untuk memecahkan masa kini dan untuk merencanakan masa depan”

(Daldjoeni, 1999 : 79).Menurut Aman (2011: 57) “Mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”.

Agung S. dan Wahyuni (2013) menyatakan bahwa pelajaran sejarah di SMA merupakan mata pelajaran yang mengkaji permasalahan dan perkembangan masyarakat dari masa lampau hingga masa sekarang, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Pembelajaran sejarah di sekolah termasuk di SMA jika dilihat dari tujuan dan penggunaannya dapat dibedakan menjadi sejarah empiris dan sejarah normatif. Pendidikan Sejarah di SMA lebih menekankan pada perspektif kritis logis dengan pendekatan historis-sosiologis.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pembelajaran sejarah di SMA adalah sebagai mata pelajaran yang kajiannya terkait dengan peristiwa kehidupan masa lampau baik di Indonesia maupun di luar Indonesia yang terikat dalam dimensi waktu dan tempat tertentu. Mata pelajaran sejarah

(4)

memberikan pengalaman masa lampau. Pembelajaran sejarah di sekolah diharapkan mampu memberikan bekal sikap melalui peristiwa-peristiwa masa lampau. Pengalaman masa lampau dapat dijadikan tumpuan untuk menyikapi kehidupan di masa sekarang dan menciptakan kehidupan masa yang akan datang.

2. Model Pembelajaran Kontekstual

a. Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual menurut Nurhadi (2003) dalam Sugiyanto (2009 : 14) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan siswa.

Model pembelajaran ini mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan nyata. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika guru mengajar.

Johnson (2006) mendefinisikan pembelajaran kontekstual sebagai sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa mengetahui makna didalam akademik dengan konteks kehidupan sehari- hari, yaitu dengan konteks kehidupan keadaan pribadi, sosial, dan budaya.

Agar dapat mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi tujuh komponen yaitu membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, pembelajaran yang diatur sendiri, kerjasama, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, berpikir kritis dan kreatif untuk mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.

(5)

Pendapat lain oleh the Washington state Consorsium for CTL (2001) dalam Anitah dikemukakan :

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademiknya dalam berbagai lingkungan baik di dalam maupun diluar kelas untuk memecahkan masalah-masalah yang disimulasikan maupun yang terjadi di dunia nyata (2009 :49).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka pembelajaran kontekstual dapat didefinisikan sebagai prosedur pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya atau mengaitkan dengan konteks kehidupan nyata dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat.

Siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, melalui proses mengkonstruksi sendiri yang nantinya bisa digunakan sebagai bekal memecahkan masalah dalam kehidupan.

Selaras dengan penjelasan di atas menurut Musclich (2007) terdapat beberapa kelebihan dari model pembelajaran kontekstual, yang antara lain:

a) memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat maju sesuai dengan potensi yang dimiliki siswa tersebut, maka siswa lebih aktif dalam proses belajar mengajar; b) siswa dapat berfikir kritis dan kreatif dalam memahami suatu masalah dan guru juga lebih kreatif; c) pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan; d) membantu siswa agar lebih efektif dalam kerja kelompok; e) sikap kerja sama yang baik akan terbentuk, antara individu dan kelompok.

Selain kelebihan yang dimiliki model pembelajaran kontekstual, adapun kekurangannya yang meliputi: a) proses pembelajaran yang menggunakan model kontekstual akan nampak mana siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan kemampuan kurang, sehingga akan timbul rasa tidak percaya diri bagi siswa yang kemampuannya kurang; b) pengetahuan yang diperoleh siswa berbeda-beda karena tidak merata; c) bagi siswa

(6)

yang tertinggal dalam proses pembelajaran dengan model kontekstual akan terus tertinggal, karena dalam pembelajaran kontektual ini kesuksesan siswa tergantung pada keaktifan dan usahanya sendiri.

b. Dasar Teori Model Pembelajaran Kontekstual.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam dasar teori model pembelajaran kontekstual, yaitu :

Melalui model pembelajaran kontekstual, mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan bisa hidup (life skill) dari apa yang dipelajarinya (Rusman, 2012: 190).

Menurut Johnson (2006) terdapat tiga pilar dalam sistem pembelajaran kontekstual yakni sebagai berikut:

1) Mencerminkan prinsip saling ketergantungan. Saling tergantung mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa bergabung untuk memecahkan suatu masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan teman sejawatnya. Hal tersebut tampak jelas ketika subjek yang berbeda dihubungkan, dan ketika kemitraan menggabungkan sekolah dengan suatu komunitas.

2) Mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika pembelajaran kontekstual menantang para siswa untuk dapat saling menghormati keunikan satu sama lain, menghormati perbedaan- perbedaan, menjadi kreatif, bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, serta untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda pemantapan dan kekuatan.

3) Mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapatkan umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha- usaha mereka dalam tuntutan tujuan yang jelas dan standar yang

(7)

tinggi, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati siswa merasa senang.

Beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam kontekstual menurut Sanjaya (2006), antara lain :

1) Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itu, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang diperoleh.

2) Belajar bukan hanya sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas.

Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.

3) Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan.

4) Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu, belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.

5) Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak.

(8)

c. Komponen- Komponen Pembelajaran Kontekstual

Menurut Muslich (2007) secara sederhana komponen pembelajaran kontekstual dalam kelas adalah sebagai berikut :

1) Konstruktivisme (Contructivisme)

Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan lebih bermakna jika diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan dan mengontrol sendiri pengetahuannya. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan suatu permasalahan, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan menstransformasikan suatu informasi, bila dikehendaki informasi itu menjadi milik siswa sendiri.

2) Menemukan (Inquiry)

Memfasilitasi kegiatan penemuan agar memperoleh pengetahuan dalam kegiatan pembelajaran. Siswa belajar memahami konsep melalui aktivitas yang dilakukan sendiri atau hanya dengan bantuan media.

Inquiry merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual.

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri, sehingga guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan apa pun materinya.

3) Bertanya (Questioning)

Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.

Aktivitas bertanya ditemukan ketika siswa berdiskusi dan bekerja kelompok.

4) Masyarakat Belajar (Learning Community)

Menciptakan masyarakat belajar (learning community) dengan membangun kerjasama antar siswa.

(9)

5) Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru saja dipelajari atau berfikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan. Realisasi pada tahap refleksi bisa berupa simpulan.

6) Pemodelan (Modeling)

Kegiatan yang bisa menunjukan model yang bisa dipakai rujukan atau panutan siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian contoh, misalnya cara mengoperasikan sesuatu, petunjuk pengguna, demonstrasi mempertontonkan sesuatu tampilan. Cara belajar seperti ini lebih cepat dipahami siswa daripada hanya dengan bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa.

7) Penilaian yang sebenarnya (Authentik Assesment)

Prinsip authentic assessment pada hakikatnya menerapkan prinsip siswa tahu apa yang akan dinilai, bagaimana proses penilaiannya serta mengapa ia tuntas atau belum tuntas mempelajari sebuah kompetensi dasar. Semua itu dilakukan secara transparan.

Menurut Rusman (2011) sebelum melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, guru harus membuat desain pembelajarannya sebagai pedoman umum. Pengembangan setiap langkah dalam pembelajaran kontekstual tersebut dapat dilakukan sebagai berikut : 1) Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan pembelajaran

yang bermakna dengan bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengonstruksi sendiri pengetahuan untuk ketrampilan barunya.

2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik.

3) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan cara bertanya.

4) Menciptakan masyarakat belajar melalui kegiatan diskusi maupun tanya jawab.

5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran

6) Melakukan refleksi pada setiap kegiatan, diakhir pertemuan.

(10)

7) Melakukan penilaian yang sebenarnya yaitu dengan menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka ketika akan melakukan pembelajaran sejarah dengan model pembelajaran kontekstual, tujuh komponen tersebut harus benar-benar dipahami dan harus muncul secara jelas baik pada tahap perencanaan maupun pengembangan dalam pembelajaran sejarah di kelas.

Tabel 2.1 Sintak Pembelajaran Kontekstual

Tahap Sintak

Pembelajaran Kontekstual

Kegiatan Pembelajaran

PENDAHULUAN

Kontruktivisme (Constructivisme)

1. Persiapan membuka pelajaran dengan mengucapkan salam.

2. Berdoa bersama

3. Guru menanyakan kehadiran siswa 4. Guru mengkondisikan kerapian kelas 5. Guru menyiapkan media

6. Guru menginformasikan topik dan tujuan yang akan dicapai selama pembelajaran.

7. Guru memberi motivasi untuk aktif dalam proses pembelajaran dengan mengkaitkan materi sebelumnya dengan materi yang akan dibahas.

8. Guru mengembangkan minat dan keingintahuan siswa melalui pertanyaan. Siswa menjawab pertanyaan dari guru dengan pengetahuan dasar yang dimiliki.

INTI

Menemukan (Inquiry)

EKSPLORASI

1. Guru menampilkan media virtual tour Museum dan meminta siswa untuk mengamati, mencari informasi sebanyak-banyaknya. Ketika siswa mengamati, guru secara interaktif memberi komentar materi jika diperlukan.

(11)

Bertanya (Questioning) Pemodelan (Modeling)

Masyarakat Belajar (Learning Community)

2. Guru memberikan pertanyaan kepada siswa.

ELABORASI

1. Guru memfasilitasi peserta didik dengan memberikan contoh diskusi yang baik.

2. Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok, dengan pembagian kelompok yang heterogen.

3. Siswa melakukan kegiatan diskusi.

4. Guru berkeliling membimbing siswa dalam diskusi.

5. Setiap perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi.

6. Siswa bertanya dan saling mengemukakan pendapat dan guru membimbing saat sesi tanya jawab.

KONFIRMASI

1. Guru memberikan kesempatan siswa untuk bertanya tentang materi yang belum dimengerti.

2. Guru memberikan penguatan materi kepada siswa.

PENUTUP

Refleksi (Reflection)

Penialian sebenarnya (Authentic Assesment)

Refleksi

1. Guru memberikan pertanyaan langsung tentang apa yang diperoleh siswa

2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa yang masih mengalami kesulitan dalam materi.

Kesimpulan

1. Guru memberikan kesempatan siswa untuk menyampaikan kesimpulan dan kesan pembelajaran

2. Guru bersama siswa menyimpulkan materi

Evaluasi

1. Guru membagikan post test kepada siswa.

2. Guru memberikan penilaian kepada siswa.

3. Guru memberikan reward kepada siswa yang aktif.

Mengucapkan salam

(12)

3. Media Pembelajaran Virtual Tour a. Pengertian Media Pembelajaran

“Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti “tengah”, “perantara” atau “pengantar”. Dalam bahasa Arab media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan” (Arsyad, 2013 : 3). Selaras dengan itu Uno dan Lamatenggo mengemukakan “Media berasal dari bahasa latin yang mempunyai arti antara. Makna tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa suatu informasi dari suatu sumber kepada penerima” (2010 : 121). Definisi lain oleh Sadiman dkk, media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (2007).

Apabila dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran maka media dapat diartikan sebagai “Sesuatu yang mengantarkan pesan pembelajaran antara pemberi pesan kepada penerima pesan“ (Anitah, 2009 : 123). Menurut Sanjaya media pembelajaran merupakan sarana perantara dalam proses belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran. Penggunaan media dalam pembelajaran juga sangat membantu memperjelas materi yang akan disampaikan seorang guru (2006). Briggs (2001) dalam Uno dan Lamatenggo pun mendefinisikan bahwa “Media adalah segala bentuk fisik yang dapat menyampaikan pesan serta merangsang peserta didik untuk belajar”(2010 : 122).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian media dalam pembelajaran adalah segala bentuk alat komunikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan pembelajaran dari sumber kepada penerima pesan yaitu peserta didik. Tujuan dari media pembelajaran adalah agar dapat merangsang

(13)

peserta didik untuk belajar. Komunikasi akan berjalan dengan lancar apabila menggunakan alat bantu media komunikasi yang tepat.

b. Jenis Media Pembelajaran

Menurut Sanjaya (2006) media pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi tergantung dari sudut mana melihatnya.

1) Dilihat dari sifatnya :

a) Media Auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara.

b) Media Visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara. Contoh media visual diantaranya adalah film slide, foto, tranparansi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya.

c) Media Audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua.

2) Dilihat dari kemampuan jangkauannya :

a) Media yang memiliki daya liput yang luas dan serentak seperti radio dan televisi. Melalui media ini siswa dapat mempelajari hal- hal atau kejadian-kejadian yang aktual secara serentak tanpa harus menggunakan ruangan khusus.

b) Media yang mempunyai daya liput yang terbatas oleh ruang dan waktu seperti film slide, film, video, dan lain sebagainya.

3) Dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya :

a) Media yang diproyeksikan seperti film, slide, film strip, transparansi, dan lain sebagainya. Jenis media yang demikian memerlukan alat proyeksi khusus seperti film projector untuk

(14)

memproyeksikan film, slide projector untuk memproyeksikan film slide, operhead projector (OHP) untuk memproyeksikan tranparansi. Tanpa dukungan alat proyeksi, maka media semacam ini tidak akan berfungsi.

b) Media yang tidak diproyeksikan seperti gambar, foto, lukisan, radio, dan lain sebagainya.

c. Fungsi Media Pembelajaran

Menurut Munadi (2013) media pembelajaran memiliki lima fungsi, sebagai berikut :

1) Fungsi Media Pembelajaran Sebagai Sumber Belajar

Dalam kalimat “sumber belajar” ini tersirat makna keaktifan , yaitu sebagai penyalur atau penyampai. Media pembelajaran adalah

“bahasanya guru”. Oleh karena itu, dalam beberapa hal media dapat menggantikan fungsi guru sebagai sumber belajar.

2) Fungsi Semantik

Dalam fungsi semantik ini yaitu kemampuan media dalam menambah perbendaharaan kata atau simbol verbal yang maknanya benar-benar dipahami oleh peserta didik.

3) Fungsi Manipulatif

Fungsi manipulatif ini didasarkan pada karakteristik umum yang dimilikinya. Berdasarkan karakteristik umum ini, media memiliki dua kemampuan, yaitu mengatasi batas-batas ruang dan waktu dan mengatasi keterbatasan inderawi.

4) Fungsi Psikologis

Dalam fungsi psikologis meliputi : a) Fungsi Atensi

Media pembelajaran dapat juga untuk meningkatkan perhatian (attention) siswa terhadap materi ajar. Dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat akan mampu menarik dan memfokuskan

(15)

b) Fungsi Afektif

Fungsi afektif yaitu menggugah perasaan, emosi dan tingkat penolakan atau penerimaan siswa terhadap sesuatu.

c) Fungsi Kognitif

Media pembelajaran memiliki andil dalam mengembangkan kemampuan kognitif siswa. Semakin banyak siswa dihadapkan pada objek-objek akan semakin banyak pula pikiran dan gagasan yang dimiliknya, semakin luas alam pikiran kognitifnya.

d) Fungsi Imajinatif

Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengembangkan imajinasi siswa. Imajinasi dapat mencakup penimbulan atau kreasi objek-objek baru sebagai rencana bagi masa mendatang, dapat juga mengambil bentuk khayalan.

e) Fungsi Motivasi

Guru dapat memotivasi siswa dengan cara membangkitkan minat belajarnya yaitu dengan memberikan dan menimbulkan harapan.

Melalui pemanfaatan media pembelajaran, diharapkan guru dapat memberikan motivasi kepada siswa dengan tampilan media pembelajaran yang menarik, dan juga melibatkan siswa dalam proses pembelajaran secara aktif.

5) Fungsi Sosio-Kultural

Media pembelajaran memiliki kemampuan dalam memberikan rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, dan menimbulkan persepsi yang sama. Hal tersebut untuk mengatasi hambatan sosio-kultural antarpeserta komunikasi belajar.

d. Multimedia

1) Pengertian Multimedia

Robin dan Linda (2001) dalam Darmawan mengemukakan

“Multimedia adalah alat yang dapat menciptakan presentasi yang dinamis dan interaktif yang mengkombinasikan teks, grafik, animasi,

(16)

audio dan gambar video” (2012 : 32). Pendapat senada dikemukakan oleh Vaughan (2004) dalam Binanto, “Multimedia merupakan kombinasi teks, seni, suara, gambar, animasi, dan video yang disampaikan dengan komputer atau dimanipulasi secara digital dan dapat disampaikan dan/atau dikontrol secara interaktif” (2010:2).

Smaldino, dkk (2005) dalam Anitah menyatakan bahwa “Istilah multimedia berkenaan dengan penggunaan berbagai jenis atau bentuk media secara berurutan maupun simultan dalam menyajikan suatu informasi” (2009:180). Suyanto mendefinisikan bahwa “Multimedia adalah pemanfaatan komputer untuk membuat dan menggabungkan teks, grafik, audio, gambar bergerak (video dan animasi) dengan menggabungkan link dan tool yang memungkinkan pemakaian melakukan navigasi, berkreasi dan berkomunikasi” (2005:21).

Berdasarkan beberapa pengertian multimedia di atas, maka multimedia merupakan kombinasi dari beberapa media, media ini dapat suara, music, animasi, video, teks, grafik dan gambar.

Perkembangan teknologi kini semakin pesat, saat ini semakin banyak pula perangkat yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran.

Penggunaan teknologi multimedia akan sangat menunjang bila digunakan dalam pembelajaran. Aplikasi teknologi multimedia dapat berupa tutorial, simulasi, virtualisasi dan informasi, transmisi, analisis data dan pengerjaan tugas rutin secara otomatis.

2) Pengertian Multimedia Interaktif

Pengertian multimedia interaktif menurut Binanto yaitu

“Pengguna dapat mengontrol apa dan kapan elemen-elemen multimedia akan dikirimkan atau ditampilkan” ( 2010:2 ). Atau

“Multimedia yang dapat menangani interaktif user disebut interactive multimedia (multimedia interaktif) atau juga disebut nonlinear multimedia” (Sutopo, 2003 :7).

(17)

Menurut Daryanto, “Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya” (2010 : 51). Jadi, multimedia interaktif dapat didefinisikan sebagai perpaduan berbagai macam kombinasi seperti teks , grafik, suara, dan animasi, perpaduan tersebut dilengkapi dengan pilihan menu alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna.

3) Elemen Multimedia

Menurut Sutopo (2003), beberapa elemen yang dapat digolongkan dalam definisi multimedia, yaitu : faksimil, image dokumen, image foto, peta system informasi geografis, voice commad, voice synthesis, audio message, video message, full motion dan live video, holographic image, fractal. Dibutuhkan elemen-elemen yang saling menunjang dalam pembentukan aplikasi multimedia. Elemen- elemen tersebut adalah :

a) Teks

Menurut Hofstetter (2001), teks dibagi menjadi empat kategori, yaitu :

(1) Printed text, yaitu teks yang tercetak diatas kertas. Teks ini adalah elemen dasar untuk dokumen multimedia.

(2) Scanned text, yaitu printed text telah diterjemahkan oleh sebuah scanner dalam bentuk yang dapat dibaca oleh computer.

(3) Electronic text, yaitu teks dalam bentuk digital atau bentuk yang bisa dibaca dan dimengerti komputer.

(4) Hypertext, yaitu teks yang dihubungkan dengan bahan lain dengan cara sedemikian sehingga pembaca dapat menghentikan membaca dokumen untuk melihat bagian lain yang berhubungan.

(18)

b) Gambar atau grafik

Gambar adalah representasi spasial dari objek yang disusun sebagai matriks nilai numerik yang merepresentasikan setiap titik atau piksel.

c) Suara atau Audio

Suara adalah fenomena fisik yang dihasilkan oleh pergetaran materi. Ada dua jenis file audio yang dapat digunakan pada lingkungan multimedia, yaitu :

(1) MIDI (Musical Instrument Digital Interface) (2) Digital Audio atau Digitized sound

d) Video

Video adalah penayangan gambar hidup yang disimpan dalam format khusus yang dapat menyimpan adegan dunia nyata atau rekaan dengan komputer.

e) Animasi

Animasi adalah serentetan gambar yang ditampilkan bergantian dengan waktu yang sangat cepat sehingga tampak seolah-olah bergerak. Animasi dimungkinkan karena fenomena biologis yang disebut persistensi penglihatan, yaitu objek yang dapat dilihat mata tetap dipetakan pada retina untuk waktu yang singkat setelah dilihat.

e. Virtual Tour

1) Pengertian Virtual Tour

Virtual reality adalah sebuah teknologi yang memungkinkan seseorang melakukan simulasi terhadap suatu objek nyata dengan menggunakan komputer yang mampu membangkitkan suasana 3D sehingga membuat pemakai seolah-olah terlibat secara fisik (Abdul &

Terra, 2003). Virtual reality merupakan “Media yang melibatkan pengalaman multi sensori dan berinteraksi dengan fenomena

(19)

virtual reality dapat dikatakan sebagai sebuah apilkasi teknologi yang menarik yang bertujuan untuk meniru dunia nyata dengan lingkungan yang dihasilkan oleh komputer dan melibatkan fisik.

Menurut Shofiyah (2013) pada virtual reality terdapat bagian yang sering disebut virtual tour, sebab memiliki elemen dari virtual reality yaitu virtual navigation of landscapes yang ada pada dunia nyata. Virtual tour adalah simulasi dari suatu lokasi, biasanya dari urutan video atau gambar foto. Hal ini juga dapat menggunakan elemen multimedia lain seperti efek suara, musik, narasi, dan teks.

Kata virtual tour sering digunakan untuk menggambarkan beberapa fotografi dan video berbasis media. Sejalan dengan itu, Sunarni dan Budiarto (2013) menyatakan virtual tour adalah teknologi simulasi sebuah lokasi, biasanya menggunakan video atau gambar. Selain itu dapat dikembangkan dari media foto panorama yang memiliki pandangan tak terputus. Semua teknik tersebut digunakan untuk mengembangkan virtual tour yang berasal dari realitas virtual yang dibuat oleh komputer untuk menghasilkan pengalaman dunia maya.

Mengutip pernyataan Utomo, dkk (2014: 85) yang menyatakan:

Panoramic tour dan virtual tour sering memiliki arti yang sama yaitu sebuah virtual tour yang dibuat dengan menggunakan bantuan kamera, terdiri dari sejumlah foto yang diambil dari satu posisi yang strategis dengan cara kamera dan lensa diputar mengelilingi satu lokasi yang sering disebut dengan istilah no- parallax point (titik tepat di belakang lensa dimana cahaya bertemu).

Sedangkan Wulur, Sentinowo, dan Sugiarso (2015 :1) berpendapat bahwa:

Virtual tour sendiri biasanya digunakan untuk memberi pengalaman ‘pernah berada’ di suatu tempat hanya dengan melihat layar monitor. Penyajian virtual tour dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan gambar ataupun video, selain itu dapat menggunakan model 3 dimensi.

(20)

Berpijak dari beberapa pendapat di atas, maka virtual tour merupakan sebuah simulasi lokasi yang berupa motion foto atau video.

Virtual tour yang dibuat dengan foto panorama, yaitu rangkaian foto panorama sebuah lokasi yang digabungkan sehingga membentuk sebuah gerakan. Virtual tour banyak digunakan pada beberapa aplikasi untuk memperkenalkan suatu lokasi.

2) Virtual Tour Sebagai Media Pembelajaran Sejarah

“Perkembangan penggunaan media pembelajaran secara visual (gambar), audio dan video (multimedia) hingga Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) dalam pembelajaran terus diteliti dan dikembangkan, hal tersebut untuk efektivitas, efisiensi belajar siswa”

(Sunarni & Budiarto, 2014: 3).

Virtual tour banyak digunakan pada beberapa aplikasi untuk memperkenalkan suatu lokasi ( Wulur, Setinowo & Sugiarso, 2015).

Dengan teknologi informasi, virtual tour memberikan informasi ruang (space) yang bisa diolah menjadi aplikasi ini meliputi ruang indoor maupun outdoor (Nathania, 2013). Saat ini, Virtual tour telah dipergunakan secara luas. Baik sebagai alat promosi dan tour guide yang efektif di berbagai bidang industri melalui media online maupun offline.

Virtual tour mulai banyak digunakan misalnya pada beberapa aplikasi untuk memperkenalkan suatu lokasi. Akan tetapi penggunaan aplikasi virtual tour sebagai media pembelajaran di Indonesia masih sedikit. Melalui representasi informasi dalam bentuk gambar panorama 360 derajat atau video memudahkan pengguna untuk menampilkan informasi secara visual dari suatu tempat bersejarah apabila akan digunakan dalam pembelajaran sejarah.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Raharja (2012) yaitu mengenai pemanfaatan media visualisasi dalam bentuk 3D

(21)

membuat lingkungan virtual yang sesuai dengan dunia nyata layaknya media virtual tour. Penelitian tersebut menghasilkan aplikasi yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran bagi siswa maupun masyarakat pada umumnya untuk pengenalan lokasi monumen bersejarah.

Pada penelitian ini penggunaaan media virtual tour digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas khususnya pada mata pelajaran sejarah. Kaitannya dalam pembelajaran sejarah, media yang digunakan adalah virtual tour Museum Nasional dan Museum Sangiran. Media ini dijalankan secara online dengan memanfaatkan website museum yang menyediakan virtual tour. Pada proses penggunaannya dalam pembelajaran sejarah, media virtual tour dijalankan dengan berbagai menu pilihan, sehingga guru dapat menyesuaikan materi yang diajarkan kepada siswa sesuai dengan kebutuhan. Melalui pemanfaatan virtual tour informasi tentang situs sejarah dapat diperoleh siswa dan siswa dapat melihat pemandangan objek sejarah dengan seolah-olah menjelajahi lingkungan situs tersebut.

4. Kesadaran Sejarah

a. Pengertian Kesadaran Sejarah

Kesadaran sejarah adalah kesadaran yang diperlukan agar siswa dapat menemukan makna pentingnya sejarah bangsanya, bagi pengembangan kehidupannya di masa yang akan datang. Kesadaran sejarah tidak lain daripada kondisi kejiwaan yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna juga hakekat sejarah bagi masa kini dan bagi masa yang akan datang, menyadari dasar pokok bagi berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan. Untuk mengembangkan manusia seperti itu, dengan sendirinya diperlukan motivasi yang kuat sebagai faktor penggerak dari dalam diri manusia sendiri (Aman, 2011).

(22)

Menurut Soedjatmoko (1976) dalam Arif, “Kesadaran sejarah merupakan suatu refleksi yang berkesinambungan tentang kompleksitas perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi dialektik dari masyarakat yang ingin melepaskan diri dari realitas yang mengungkung” (2011:12). Latief mengemukakan bahwa, “Kesadaran sejarah tidak lain sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap berada dalam rotasi sejarah.

Artinya dengan adanya kesadaran sejarah, kita seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan” (2006:50).

Sementara itu, Kartodirdjo (1990) dalam Arif menjelaskan bahwa

”Kesadaran sejarah merupakan kesadaran diri yang secara imanen ada pada refleksi diri” (2011:12).

Kesadaran sejarah membutuhkan pembinaan, melalui sejarah kita dapat menggunakan pikiran sehat, logika, dan imajinasi, dengan menggunakan secermat mungkin bahan-bahan bakunya. Selain buku-buku sejarah dan kronologi sejarah, maka diperlukan juga sumber-sumbernya.

Salah satu sumber bahan yang sangat penting adalah peninggalan sejarah.

Bertolak dari peninggalan sejarah tersebut, maka dapat digali kekuatan dari zaman lampau untuk kita butuhkan membina bangsa. Peninggalan sejarah melahirkan nilai atau kesadaran yang akan menjadi guru bangsa yang melanjutkan budaya positif pendahulunya (Wiharyanto, 2008).

Berpijak dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesadaran sejarah merupakan suatu pemahaman yang juga melibatkan pemikiran, perasaan, keinginan, dan ingatan terhadap masa lalu di dalam lingkungannya sendiri yang merujuk pada makna sejarah untuk menjadi dorongan guna kemajuan dimasa yang akan datang. Sejarah tidak hanya sekedar serangkaian peristiwa yang mati dan hanya sekedar cerita saja.

Perlu ditanamkan bahwa sejarah itu memiliki makna. Guru perlu menjelaskan secara dalam agar siswa lebih mengerti dan kemudian akan memahami apa itu pentingnya sejarah. Kemudian, rasa cinta akan sejarah

(23)

sejarah. Kesadaran bahwa pengalaman itu adalah guru yang terbaik harus ditanamkan.

Menurut Latief (2006), memperbaiki kesadaran sejarah niscaya bermula dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Oleh karena itu, secara terbaik dapat digambarkan bahwa kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah atau peristiwa yang telah dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan.

Kesadaran tentang sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.

b. Indikator Kesadaran Sejarah

Indikator kesadaran sejarah dikemukakan oleh beberapa ahli sejarah yang dapat membantu dalam pengukuran tingkat kesadaran siswa.

Sebagaimana dijelaskan oleh Soedjatmoko (1984) dalam Aman (2011:32) menyatakan :

Kesadaran sejarah menuntut manusia pada pengertian mengenal diri sendiri sebagai bangsa, kepada self understanding of national, dan kepada peran suatu bangsa. Dari pengertian ini, indikator kesadaran sejarah menurut Soedjatmoko yaitu (1) mengenal diri sendiri sebagai suatu bangsa; (2) memahami nilai-nilai luhur budaya bangsa sendiri;

(3) menghayati makna dan hakekat sejarah bagi masa kini dan bagi masa yang akan datang.

Selain itu, indikator atau unsur-unsur yang terkandung dalam kesadaran sejarah menurut Kartodirdjo (1992) dapat dirumuskan mencakup: (1) menghayati makna dan hakekat sejarah bagi masa kini dan masa yang akan datang; (2) mengenal diri sendiri dan bangsanya; (3) membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa; (4) menjaga peninggalan sejarah bangsa.

Menurut Kartodirdjo (1992) dalam Ibrahim, pembentukan kesadaran sejarah masa kini tidak terlepas dari proses perubahan yang berlangsung di sekitarnya: yaitu lingkungan etnis, sosiokultural, politik, edukasi, kulturasi, dari kanak-kanak hingga dewasa. Dua pengalaman simbolis dan empiris

(24)

berperan penting dalam kesadaran sejarah, terutama di lingkungan anak didik atau siswa (2015: 2).

Beberapa ahli telah mengemukakan pendapatnya mengenai indikator kesadaran sejarah. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator kesadaran sejarah menurut Kartodirdjo yang meliputi (1) menghayati makna dan hakekat sejarah bagi masa kini dan masa yang akan datang; (2) mengenal diri sendiri dan bangsanya; (3) membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa; (4) menjaga peninggalan sejarah bangsa. Keempat indikator tersebut menjadi acuan dalam mengukur kesadaran sejarah pada penelitian ini.

5. Hasil Belajar”

a. Pengertian Hasil Belajar

Juliah (2004) mengemukakan “Hasil belajar adalah segala sesuatu yang menjadi milik siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar yang dilakukannya” (Jihad & Haris, 2004: 15).

Mengutip kesimpulan dari Purwanto, yaitu :

Hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa akibat belajar.

Perubahan perilaku disebabkan karena dia mencapai penugasan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar.

Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik (2013 : 46).

Ratnawulan dan Rusdiana (2015: 57) menyatakan bahwa “Hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap mata pelajaran selalu mengandung ketiga ranah tersebut, namun penekanannya selalu berbeda”. Sejalan dengan itu, Bloom (1956) dalam Sudjana (2008: 22-23) menjelaskan tiga ranah dalam hasil belajar, sebagai berikut :

(25)

1) Ranah kognitif, yaitu berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, meliputi pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk dalam kognitif tingkat tinggi.

2) Ranah afektif, yaitu berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek meliputi penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.

3) Ranah psikomotorik, yaitu berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik meliputi gerakan reflek, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan, gerakan ekspresif dan interpretatif.

Berdasarkan definisi mengenai hasil belajar yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Setelah melalui proses belajar maka siswa diharapkan dapat mencapai tujuan belajar yang disebut juga sebagai hasil belajar yaitu kemampuan yang dimiliki siswa setelah menjalani proses belajar. Hasil belajar meliputi tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

b. Hasil Belajar Sejarah Siswa Kelas X

Ratnawulan dan Rudiana berpendapat mengenai hasil belajar bahwa

“mata pelajaran praktik lebih menekankan pada ranah psikomotorik, sedangkan mata pelajaran pemahaman konsep lebih menekankan pada ranah kognitif” (2015: 57). Sedangkan Aman (2011: 77) mengemukakan:

Hasil belajar mata pelajaran sejarah mencakup kecakapan akademik, kesadaran sejarah, dan nasionalisme. Kecakapan akademik menyangkut ranah kognitif yang mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan dalam pembelajaran yang bersumber dari kurikulum yang berlaku.

(26)

SMAN 2 Boyolali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Hasil belajar sejarah siswa kelas X SMAN 2 Boyolali mencakup ranah kognitif yang mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Penilaian hasil belajar siswa X meliputi aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif adalah hasil akademik yang diperoleh siswa yang acuannya pada Standar Kompetensi 2. Menganalisis peradaban Indonesia dan dunia. Dan Kompetensi Dasar 2.1 Menganalisis kehidupan awal masyarakat Indonesia. Kompetensi Dasar 2.1 dengan materi pembelajaran yang mencakup (1) periodisasi perkembangan budaya masyarakat awal Indonesia, (2) Penemuan manusia purba dan hasil budayanya, (3) Perkembangan kehidupan dari masyarakat berburu ke masyarakat pertanian, (4) Perkembangan teknologi dan sistem kepercayaan awal.

Penilaian hasil belajar dalam aspek kognitif dapat dilakukan dengan post test secara tertulis. Hasil yang diperoleh siswa setelah melakukan pembelajaran yaitu berupa angka. Apabila hasil belajar siswa yang beruapa angka tersebut belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sekolah yaitu 75, akan dilakukan remedial.

B. Kajian Penelitian Relevan

Berdasarkan penelusuran referensi, terutama terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya sejumlah penelitian yang menaruh perhatian yang sama dengan penelitian ini, yakni berkaitan dengan penggunaan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour. Hasil penelitian yang relevan oleh peneliti terdahulu dapat digunakan sebagai rujukan dalam mengadaan penelitian ini. Adapun beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh A.Zeger, dkk (2002) yang berjudul

“A Self-Learning Multimedia Approach for Enriching GIS Education” (dimuat

(27)

penelitian ini dijelaskan inisiatif yang dikembangkan oleh Departemen Geomatika di Universitas Melbourne, Australia, untuk membuat modul belajar mandiri berbasis multimedia yang digunakan dalam mengajar GIS sarjana dan mahasiswa pascasarjana. Modul ini dirancang dan dikembangkan menggunakan Macromedia Director dan disampaikan secara interaktif melalui internet. Penelitian ini juga membahas isu-isu pedagogis pembelajaran yang menyertai kemajuan teknologi dan isu-isu praktis pengembangan modul. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa modul belajar madiri berbasis multimedia interaktif yang disampaikan melalui internet dapat memberikan kesempatan kepada siswa agar belajar dengan lebih luas dan fleksibel melalui internet.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Aznoora Osman, Nadia Abdul Wahab, dan Mohammad Hafiz Ismail (2009) yang berjudul “Development and Evaluation of an Interactive 360° Virtual Tour for Tourist Destination”(dimuat dalam International Journal of Information Technologi Impact, volume 9, nomor 3, pp. 173-182). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan panorama interaktif virtual tour 360 derajat tentang tempat wisata. Pada penelitian ini virtual tour ditujukan agar dapat digunakan untuk mempromosikan pariwisata karena memberikan panorama yang menarik dibandingkan dengan gambar diam yang ditemukan di brosur atau website. Melalui penggunaan virtual tour ini memungkinkan pengguna untuk menavigasi dan mendengarkan suara latar belakang dan narasi, serta untuk membaca informasi singkat tentang masing- masing tempat wisata. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa virtual tour dapat diterima positif dan dapat menarik wisatawan untuk mengunjungi secara langsung suatu tempat yang telah dipromosikan.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Berta Sihite, Febriliyan Samopa, dan Nisfu Asrul Sani (2013) yang berjudul “Pembuatan Aplikasi 3D Viewer Mobile dengan Menggunakan Teknologi Virtual Reality (Studi Kasus : Perobekan Bendera Belanda di Hotel Majapahit)” (dimuat dalam Jurnal Teknik POMITS, volume 2 nomor 2, ISSN : 2337-3539). Pada penelitian ini penulis membuat aplikasi berisi peristiwa sejarah yang dibuat secara virtual dan mirip dengan

(28)

peristiwa nyatanya, sehingga pengguna dapat mengerti peristiwa sejarah yang terjadi di Hotel Majapahit Surabaya (Hotel Yamato) secara jelas tanpa banyak menghafal serta dapat membantu memahami peristiwa kemerdekaan dengan ilustrasi yang lebih menarik. Pembuatan aplikasi pada penelitian ini menggunakan teknologi virtual reality dan teknologi tiga dimensi (3D). Virtual Reality (VR) atau Realitas Maya adalah membuat objek secara virtual dengan memperhitungkan sifat-sifat fisiknya melalui sistem. Aplikasi yang dibangun menggunakan gambar bangunan untuk pembuatan objek hotel berbentuk 3D kemudian dilanjutkan dengan pembuatan interaksi berupa video dan animasi peristiwa sejarah menggunakan virtual reality. Tahap akhirnya dimasukkan ke dalam mobile phone.

Penelitian ini menghasilkan aplikasi 3D viewer mobile pada Hotel Majapahit yang dapat membantu masyarakat umum dalam memahami nilai-nilai sejarah yang ada di Hotel Majapahit secara visual.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Nuning Rahayuningsih, Ashadi, Sarwanto pada tahun 2013 yang berjudul “Pembelajaran Biologi dengan Model CTL (Contextual Teaching and Learning) Mengggunakan Media Animasi dan Media Lingkungan ditinjau dari Sikap Ilmiah dan Gaya Belajar”(dimuat dalam Jurnal inkuiri, volume 2 nomor 2, ISSN :2252-7893). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model CTL menggunakan media animasi dan lingkungan ditinjau dari sikap ilmiah dan gaya belajar terhadap prestasi belajar ranah kognitif dan afektif. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Data dikumpulkan dengan metode tes untuk prestasi belajar kognitif, dan angket untuk prestasi afektif, sikap ilmiah, dan gaya belajar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1) ada pengaruh penggunaan media animasi dan media lingkungan terhadap prestasi kognitif dan afektif, 2) ada pengaruh sikap ilmiah terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif siswa, 3) ada pengaruh gaya belajar terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif siswa, 4) tidak ada interaksi antara media dengan sikap ilmiah terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif siswa, 5) ada interaksi antara media dan gaya belajar terhadap prestasi belajar kognitif dan

(29)

prestasi kognitif dan afektif siswa, 7) tidak ada interaksi antara media, sikap ilmiah dengan gaya belajar terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif siswa.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Hera Wulanratu, Steven Sentinuwo dan Brave Sugiarso (2015) yang berjudul “Aplikasi Virtual tour Tempat Wisata Alam di Sulawesi Utara” (dimuat dalam e-journal Teknik Informatika, volume 6 nomor 1, ISSN:2301-8364). Tujuan dari peneltian ini adalah mengembangkan sebuah aplikasi interaktif yang dapat menampilkan informasi secara visual dari suatu tempat wisata alam di Sulawesi Utara. Informasi dalam bentuk gambar panorama 360 derajat memudahkan pengguna untuk menampilkan informasi secara visual dari suatu tempat wisata alam di Sulawesi Utara. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah media interaktif yang dapat digunakan untuk merepresentasikan informasi tempat wisata alam di Sulawesi Utara, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang relevan yang dikemukakan di atas, maka dapat disusun kerangka berpikir penelitian ini, sebagai berikut:

Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan kesadaran sejarah dan hasil belajar siswa. Penggunaan model dan media media pembelajaran pada sekolah sangat baik untuk menunjang pembelajaran. Media sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan keberhasilan belajar, oleh karena itu wajar jika guru meningkatkan pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar. Dalam penelitian ini peneliti berupaya meningkatkan kesadaran sejarah dan hasil belajar siswa dengan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour di SMAN 2 Boyolali tahun ajaran 2015/2016.

Melalui penerapan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour, siswa dilibatkan agar dapat memahami dan memaknai materi pada kompetensi dasar kehidupan awal masyarakat Indonesia. Kegunaan media dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya sekedar alat bantu guru, melainkan sebagai perantara atau pembawa informasi pembelajaran sehingga informasi yang disampaikan guru

(30)

kepada siswa tidak terkesan satu arah. Dengan menggunakan media berupa virtual tour siswa dapat menjelajahi situs-situs sejarah terutama museum tanpa harus datang langsung ke situs tersebut, sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuan dan informasi serta memahami makna yang terkandung dalam peristiwa sejarah.

Dari uraian tersebut, diduga bahwa penerapan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour dapat meningkatkan kesadaran sejarah dan hasil belajar siswa kelas X8 SMAN 2 Boyolali.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuatkan skema kerangka berpikir penelitian ini sebagai berikut :

Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir Penelitian Tindakan Kelas dengan Judul

“Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual dan Media Virtual Tour untuk Meningkatkan Kesadaran Sejarah dan Hasil Belajar Siswa Kelas X8 SMAN 2 Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016”

Guru masih menggunakan model pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan masih menggunakan media berupa power point KONDISI

AWAL

Siklus 1 siswa mengamati media virtual tour, diskusi kelompok dan presentasi

sesuai tahapan model pembelajaran kontekstual Upaya perbaikan dengan

penerapan model pembelajaran kontekstual

dan media virtual tour TINDAKAN

Siklus II

Diduga dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour dapat meningkatkan kesadaran sejarah dan

hasil belajar siswa kelas X8 SMAN 2 Boyolali sesuai dengan indikator kinerja penelitian.

KONDISI AKHIR

Tingkat kesadaran sejarah dan hasil belajar siswa masih

rendah

?

(31)

Keterangan Skema:

1. Kondisi awal, menggambarkan kondisi siswa dalam kegiatan pembelajaran sebelum menerapkan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour.

Kesadaran sejarah dan hasil belajar siswa masih kurang, hal ini disebabkan karena guru masih menerapkan model pembelajaran konvensional dan media berupa power point.

2. Melihat kondisi tersebut, maka guru berusaha memperbaiki proses pembelajaran yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour untuk meningkatkan kesadaran sejarah dan hasil belajar siswa.

3. Guru menerapkan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour, sehingga kesadaran sejarah dan hasil belajar siswa diduga meningkat sesuai dengan target yang ditentukan dalam indikator kinerja penelitian.

D. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir tersebut di atas, maka dapat disusun hipotesis tindakan sebagai berikut.

1. Penerapan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour dapat meningkatkan kesadaran sejarah siswa kelas X8 SMAN 2 Boyolali.

2. Penerapan model pembelajaran kontekstual dan media virtual tour dapat meningkatkan hasil belajar sejarah siswa kelas X8 SMAN 2 Boyolali.

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan indeks keanekaragaman jenis (H ) pada tingkatan bentuk hidup ( life forms ) pada setiap kelompok umur tegakan Jati ( T.. Biplot CCA antara 11

Apabila combo box dalam keadaan off maka tidak ada proses yang dilakukan pada gambar, sedangkan apabila blur yang dipilih maka gambar tersebut akan di-blur-kan dengan metode

Untuk kepentingan tersebut guru dapat melakukan upaya-upaya menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan materi yang akan disajikan, menyampaikan tujuan yang

meliputi: Pertama , menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk observasi proses pembelajaran yang bisa dilakukan guru, pada mata pelajaran Matematika menggunakan

BIDANG PEMBELAJARAN: 8.0 BAHAN BUATAN DALAM INDUSTRI Standard Kandungan (SK).. Standard Pembelajaran (SP) Peruntukan Masa Kandungan

Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berkembangnya potensi peserta didik agar

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Aparatur Sipil Negara dinyatakan bahwa Pegawai

Untuk warna digunakan perintah glColor3f() , jika lebih dari tiga maka argumen keempat adalah alpha yang akan dijelaskan pada bagian blending sebagai salah satu