• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1. Glasgow Coma Scale (GCS)

2.1.1. Definisi Glasgow Coma Scale (GCS)

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah suatu skala neurologik yang

dipakai untuk menilai secara obyektif derajat kesadaran seseorang.

GCS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan J. Jennett, professor bedah saraf pada Institute of Neurological Sciences, Universitas Glasgow. GCS kini sangat luas digunakan oleh dokter umum maupun para medis karena patokan / kriteria yang lebih jelas dan sistematis.( Adeleye, 2012)

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah alat diagnostik yang sudah sejak

lama menjadi alat untuk mengevalusi tingkat kesadaran pasien, menilai status klinis pasien, dan menjadi alat prognosis untuk pasien cedera kepala. Skor GCS menjadi standar pengukuran fungsi neurologis pada pasien dengan perubahan status mental oleh karena penyebab apapun, termasuk cedera kepala. Glasgow Coma Scale merupakan faktor penting yang harus diukur pada pasien cedera kepala. Selain digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien secara kuantitatif, GCS juga digunakan untuk memprediksi risiko kematian di awal trauma.(Christensen, B. Medscape, 2014).

(2)

2.1.2. Macam Pemeriksaan GCS

GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons membuka mata (eye opening), respons motorik terbaik (best motor response), dan

respons verbal terbaik (best verbal response) (Christensen, B.

Medscape, 2014).

Masing-masing komponen GCS serta penjumlahan skor GCS sangatlah penting, oleh karena itu, skor GCS harus dituliskan dengan tepat, sebagai contoh: GCS 10, tidak mempunyai makna apa-apa, sehingga harus dituliskan seperti: GCS 10 (E3M4V3). Begitu juga cara penulisan Skor tertinggi yaitu 15, tidak mempunyai makna apa-apa sehingga harus ditulis seperti: GCS 15 (E4M6V5) yakni menunjukkan pasien sadar (compos mentis), dan skor terendah menunjukkan koma yaitu dengan penulisan yang benar (GCS 3 = E1M1V1). Dari penjelasan di atas merupakan contoh cara penggunaan dan penulisan skala GCS (Glasgow Coma Scale) yang benar(Christensen, B. Medscape, 2014) Poin dialokasikan untuk respon dalam setiap komponen. Jumlah skor menunjukkan tingkat kesadaran dan keparahan penurunan kesadaran.

Rata GCS terendah adalah 3 dan skor tertinggi adalah 15. Keparahan cedera otak dapat diklasifikasikan menurut skor GCS. (Christensen, B.

Medscape, 2014).

Adapun dibawah ini penjelasan di setiap komponen penilaian yaitu:

(3)

2.1.1.1. E : Eye

Penilaian komponen ini respon pasien terhadap rangsangan dengan membuka mata nya. Membuka mata menunjukkan gairah pasien. Ada 4 nilai dalam komponen ini:

a) Nilai (4) mata spontan membuka: pasien membuka matanya tanpa rangsangan eksternal.

b) Nilai (3) membuka mata : pasien membuka matanya ketika ia di respon terhadap rangsangan verbal.

c) Nilai (2) membuka mata terhadap rangsangan yang menyakitkan atau ketika diberi rangsangan nyeri: pasien membuka mata nya setelah stimulus menyakitkan diterapkan.

d) Nilai (1) tidak ada yang membuka mata: mata tidak pembukaan verbal atau dengan rangsangan nyeri yang menyakitkan. (Christensen, B. Medscape, 2014)

2.1.1.2. V : Verbal

Komponen ini merupakan untuk menilai respon verbal dari pasien dengan mengajukan tiga pertanyaan orientasi. Tiga pertanyaan tersebut adalah waktu (tahun), tempat (tempai iya berada maupun alamatnya berada), dan orang (nama keluarga dekatnya). Ada lima nilai di komponen ini diantaranya:

a) Nilai (5) berorientasi: Pasien mampu menjawab pertanyaan- pertanyaan waktu, tempat, dan orang dengan benar.

(4)

Beberapa pasien yang menjawab semua pertanyaan dengan benar tiga, namun, selama percakapan lanjutan, perawat mendapatkan beberapa pertanyaan yang salah tetapi pasien sudah bisa menjawab 3 pertanyaan pasien dalam keadaan baik. Karena pasien mampu menjawab semua tiga pertanyaan dengan benar maka dia masih mencetak sebagai berorientasi atau (5).

b) Nilai (4) bingung (Disoriented): Pasien tidak mampu menjawab satu atau lebih dari tiga pertanyaan orientasi (waktu, tempat, dan orang) dengan benar. Beberapa pasien tidak dapat menjawab semua tiga pertanyaan orientasi benar tapi percakapan mereka masih bisa walaupun Cuma beberapa . Mereka masih mencetak sebagai (4).

c) Nilai (3) kata-kata yang tidak tepat: Pasien memiliki acak atau seruan diartikulasikan pidato dan tidak memiliki percakapan dalam pertukaran percakapan berkelanjutan mereka mencetak skor (3).

d) Nilai (2) suara tidak komprehensif: mengerang Pasien (tidak ada kata-kata) dan mengerang dengan atau tanpa stimulasi eksternal mmaka skornya (2).

e) Nilai (1) tidak ada respon verbal: Pasien tidak membuat suara atau gerakan minimal bahkan ketika rangsangan nyeri

(5)

yang menyakitkan diterapkan masih tidak ada respon (Christensen, B. Medscape, 2014)

2.1.1.3. M : Motorik

Komponen ini sedang menguji respon motorik terbaik pasien terhadap rangsangan lisan atau menyakitkan. Respon motorik terbaik paling sedikit dipengaruhi oleh trauma. Komponen ini di GCS adalah indikator yang paling akurat dalam memprediksi hasil-hasil pasien 6. Ada enam nilai dalam komponen ini.

a) Nilai (6) mematuhi perintah: Pasien mampu melakukan tugas-tugas sederhana seperti bertanya "menunjukkan ibu jari Anda", atau "menunjukkan jari tangan bagian kanan anda". Jangan meminta pasien untuk "pegangan jari-jari anda". Ini mungkin refleks. Untuk pasien lumpuh yang tidak dapat menggerakkan anggota mereka, perawat dapat meminta pasien untuk tersenyum, atau julurkan lidah mereka, atau menunjukkan gigi mereka dengan senyum ataupun mengedipkan mata.

b) Nilai (5) localized nyeri: upaya Pasien untuk menghapus sumber rangsangan yang menyakitkan dengan menggunakan nya / tangannya atau mencoba untuk memindahkan / nya bahunya jauh dari rangsangan yang menyakitkan.

(6)

c) Nilai (4) penarikan terhadap nyeri: Pasien mencoba untuk memindahkan tangannya atau kaki ketika rangsangan yang menyakitkan diterapkan pada jarijarinya atau jari-jari kakinya.

d) Nilai (3) abnormal fleksi (decortication): ketika rasa sakit pusat diterapkan pada siku, pergelangan tangan, dan jari fleksi dan digambar di atas dada. Kedua lengan adduksi dan ditutup pada dinding dada.

e) Nilai (2) abnormal ekstensi (decerebration): ketika rasa sakit sentral berlaku, pasien akan telah memperkuat siku dan rotasi internal bahu dan fleksi pergelangan tangan dan jari. Kedua lengan adduksi dan ditutup pada dinding dada.

Pasien mungkin memiliki ekstensi di / kakinya dengan plantar fleksi.

f) Nilai (1) tidak ada respon: Pasien tidak menunjukkan dan gerakan anggota tubuh ketika rasa sakit pusat diterapkan.

(Christensen, B. Medscape, 2014).

Adapun tabel lembar observasi Glasgown Coma Scale (GCS) yang dipakai sampai saat ini yaitu :

(7)

Tabel. 2.1 Skala Glasgown Coma Scale (GCS)(Jacob et al,2013).

Kategori Respon

Rangsangan

yang Sesuai Respon Pasien Skor

Mata Perawat mendekati pasien

Membuka mata spontan

4 Memberi

perintah verbal

Membuka mata terhadap panggilan nama atau

perintah 3

Nyeri Mata tidak membuka terhadap rangsangan perintah verbal, tetapi membuka bila diberi rangsangan nyeri

2 Mata tidak membuka terhadap rangsangan

apapun

1 Tidak dapat diperiksa (Not testable) NT Verbal Pertanyaan

verbal dengan pasien

Orientasi baik, fasih, identifikasi diri, tempat, tahun, dan bulan dengan benar

5 Bingung, lancar tetapi mengalami disorientasi

pada satu atau lebih kalimat.

4 Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai atau

tidak teratur, tidak dapat mempertahankan kecakapan bicara

3

Suara tidak teratur 2

Tidak ada suara, bahkan dengan rangsangan nyeri yang kuat

1 Tidak dapat diperiksa (Not testable) NT Motorik Perintah

verbal

Mematuhi perintah 6

Nyeri (penekanan pada proksimal kuku)

Dapat melokalisasi nyeri, tidak patuh tetapi ada usaha untuk menyingkirkan rangsangan yang menyakitkan

5 Penarikan ekstremitas secara fleksi, fleksi

lengan sebagai respon terhadap nyeri tanpa postur fleksi yang abnormal

4 Fleksi abnormal, fleksi dan pronasi siku-lengan, tangan mengepal

3 Ekstensi abnormal, ekstensi lengan pada siku

disertai adduksi dan rotasi internal lengan-bahu 2

Tidak ada respon 1

Tidak dapat diperiksa (Not testable) NT

(8)

Penilaian status kesadaran secara kualitatif

Status Kesadaran Kondisi Pasien

Compos mentis (GCS 14-15)

Kesadaran penuh, pasien dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.

Apatis (GCS 12-13)

Pasien mengalami sedikit penurunan kesadaran, segan untuk berhubungan dengan sekitarnya sikapnya acuh tak acuh.

Delirium (GCS 10-11)

Pasien gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu) memberontak, berteriak-teriak, berhakusinasi, kadang berkhayal.

Samnolen (GCS 7-9)

Kesadaran pasien menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu member jawaban verbal .

Stupor (GCS 5-6)

Keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.

Semi-koma (GCS 4)

Tidak dapat memberikan respons pada rangsangan verbal dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi reflex kornea dan pupil masih baik

Koma (GCS 3)

Pasien tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

2.2. Mortalitas Pasien Trauma Kepala

2.2.1. Definisi Mortalitas

Mortalitas merupakan istilah epidemiologi dan data statistik vital untuk kematian. Di kalangan masyarakat kita, ada tiga hal umum yang menyebabkan kematian yaitu Degenerasi organ vital dan kondisi terkait, Status penyakit, dan Sebagai akibat masyarakat atau lingkungan (bunuh diri, kecelakaan, bencana alam, dan sebagainya). Secara hukum

(9)

data kematian merupakan data yang paling dilindungi dari semua kejadian vital, dan mortalitas merupakan landasan untuk semua data statistic vital. Semua kematian harus diarsipkan (dalam akte) oleh dokter atau ahli koroner. Penyebab dasar terjadinya suatu kematian adalah penyakit atau trauma apa pun yang memulai serangkaian kejadian seperti tindak kejahatan atau kecelakaan yang berakhir pada kematian (Thomas, 2014).

2.2.2. Mortalitas Menurut Ilmu Kedokteran

Menurut ilmu kedokteran, kematian yang terjadi pada manusia dapat ditinjau dari dua sisi yang saling bertautan. Mulai dari manusia yang memiliki sel sebagai satuan unit kehidupan terkecil sampai manusia yang dipandang secara keseluruhan. Dari hal tersebut, kita dapat menegenal istilah cellulare death dan somatic death yang berkembang menjadi konsep Brain death is death dan Brain stem death is death.

Adapun kedua dari istilah tersebut berkembang dari sebuah pemikiran bahwa proses kematian otak tidak terjadi secara bersamaan, namun sesuai dengan kemampuan resistennya. Brain stem adalah bagian otak yang mengalami kematian paling lama dibandingkan dengan kortek dan thalamus (Staerkeby, 2008).

2.2.3. Mortalitas Menurut Undang-Undang RI

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 117 menyatakan: “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan sistem pernapasan

(10)

terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan (Depdagri, 2009).

Menurut Undang-undang Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia No.36 Tahun 2014, tentang penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor pada pasal 11, menyatakan bahwa prosedur pemeriksaan batang otak dilakukan sebagai berikut:

2.2.3.1. Memastikan arefleksia batang otak yang meliputi Tidak terdapat respon cahaya, Tidak terdapat reflex pada kornea, Tidak terdapat reflex vestibule-okular, Tidak terdapat respon motorik pada proses distribusi saraf kranial terhadap stimulus adekuat di area somatic, Tidak terdapat reflex muntah (gag reflex) atau reflex batuk terhadap stimulus oleh kateter isap

yang dimasukan ke dalam bagian trakea. B. Memastikan kejadian henti nafas yang menetap yaitu dengan cara:

a. Sebelum oksigenasi dengan O2 100% dalam waktu 10 menit

b. Memastikan pCO2 dalam rentang 40-60 mmHg dengan menggunakan kapnorgraf dan proses AGD atau analisis gas darah

c. Melepaskan alat ventilator dari pasien, insuflasi trakea dengan O2 100%, 6 liter/menit yang dilakukan melalui kateter intra trakeal melewati karina

(11)

d. Penilaian dalam waktu 10 menit, bila pasien masih tidak bernapas, tes dikatakan positif yang berarti henti napas menetap

e. Jika tes arefleksia bagian batang otak dan tes henti napas seperti yang dimaksud pada huruf a dan pada hurup b dinyatakan positif, tes harus diulang dalam waktu 25 menit sampai waktu 24 jam

f. Jika tes ulangan seperti yang dimaksud pada huruf c tetap menunjukan positif, maka pasien diputuskan mengalami mati batang otak, walaupun jantungnya masih berdetak g. Jika tes henti napas menimbulkan aritmia jantung yang

dapat membahayakan nyawa, maka alat berupa ventilator harus dipasang lagi agar tidak dapat dibuat suatu diagnosis kematian pada bagian batang otak.

2.2.4. Penilaian Mortalitas

Salah satu cara yang dapat dilakukan utuk menilai mortalitas adalah dengan menggunakan Brainstem sign score yang diguakan untuk menilai fisiologis atau untuk memprediksi kematian batang otak sehingga itu dapat menentukan kematian batang otak secara permanen dengan mengetahui ada tidaknya fungsi fisiologis yang tidak dapat berfungsi secara normal, Cara penilaian dapat diketahui dengan keterangan ukuran pupil, reflek cahaya pupil, reflek kornea, gerak mata, rangsangan nyeri, dan pernapasan. Dari hasil penjumlahan brain

(12)

sign score didapatkan hasil kurang dari 13 resiko kematian batang otak dan lebih dari 13 keadaan baik (Obiako & Ogunniyi, 2010).

2.2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mortalitas 2.2.5.1. Faktor-faktor secara umum

Menurut WHO (2009), Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian dibagi menjadi dua yaitu:

1. Faktor langsung (faktor dari dalam) a. Umur

b. Jenis Kelamin c. Penyakit

d. Kecelakaan, kekerasan dan bunuh diri 2. Faktor tidak langsung (faktor dari dalam)

a. Tekanan, baik fisik maupun psikis b. Kedudukan dalam status perkawinan c. Kedudukan status sosial dan ekonomi d. Tingkat pendidikan

e. Profesi

f. Jumlah anak yang dimiliki g. Lingkungan dan tempat tinggal

h. Banyaknya pencemaran pada lingkungan

i. Pelayanan kesehatan dan kemampuan mencegah penyakit

(13)

2.2.5.2. Faktor-faktor dominan

Dari penelitian yang dilaporkan oleh Mugi Hartoyo dkk, faktor yang menonjol memengaruhi mortalitas pada pasien trauma kepala sebagai berikut:

1. Tekanan Darah

Semakin tinggi atau semakin rendah tekanan darah maka semakin berisiko mengalami mortalitas atau kematian.

Penurunan tekanan darah atau peningkatan tekanan darah pada pasien dengan trauma kepala berat merupakan penyebab yang jelas terhadap terjadinya kerusakan otak sekunder. Untuk hipotensi pada pasien trauma kepala dapat meyebabkan iskemia otak, sedangkan hipertensi dapat mengakserbasi serebri (Tude Melo et al., 2010). Tekanan darah yang sangat tinggi atau terlalu rendah dapat menghasilkan prognosis yang buruk dan dapat mengarah pada mortalitas atau kematian (Markam, Atmaja, &

Budijanto, 2005).

2. Glasgow Coma Scale (GCS)

Semakin rendah GCS yang didapatkan pada pasien maka akan semakin berisiko pada kematian. GCS merupakan dasar untuk menentukan prognosis penderita trauma kepala berat yang sederhana. Nilai GCS <5 menunjukan prognosis

(14)

yang buruk (Markam, Atmaja, & Budijanto, 2005). Nilai Glassgow Coma Scale pasien 3-4 mempunyai kemungkinan mortalitas 85% atau masih dalam keadaan vegetatif (Grinkeviciūte et al., 2007).

3. Keparahan Trauma atau Injury Saverity Score (ISS)

Semakin tinggi skor keparahan injuri pada pasien trauma kepala, maka semakin berisiko mengalami kematian. ISS adalah alat yang digunakan dalam dunia medis dalam menilai atau mengobservasi keparahan pada pasien trauma kepala dan digunakan untuk mengidentifikasi trauma mayor. Semakin tinggi skor keparahan injuri pada pasien trauma kepala, maka semakin berisiko mengalami kematian (Markam, Atmadja & Budijanto, 2008). Keparahan trauma kepala dikaitkan dengan terjadinya inflamasi serebral pasca trauma, kerusakan hipotalamus, atau infeksi sekunder yang menimbulkan demam (Lunn, K.W., Childs, C, 2010).

Peningkatan suhu tubuh dapat meningkatkan laju metabolisme otak yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan kebutuhan dan pasokan pemakaian ATP dimana oksigen dan glukosa memegang peranan penting dalam sintesanya, sehingga saat terjadi periode total iskemik, otak hanya akan mentolerirnya dalam waktu sangat terbatas. Perubahan suhu tubuh sebesar 1˚C akan

(15)

menyebabkan perubahan aliran darah otak sebesar 5%

sehingga dapat terjadi peningkatan volume darah otak dan peningkatan tekanan intrakranial yang pada akhirnya menyebabkan perburukan pada outcome pasien dan bahkan mengarah pada mortalitas atau kematian (Cristina Dewi, 2013).

2.3. Konsep Cedera Kepala 2.3.1. Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Arifin &

Ajid, 2013).

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak Brain Injury (Associattion of America (2013).

2.3.2. Klasifikasi Kedera Kepala 2.3.2.1.Cedera Kepala Primer

Cedera kepala primer merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan integritas kulit, kimia, dan listrik

(16)

sel diares tersebut yang menyebabkan kematian sel akibat langsung pada mekanisme dinamik (asccelerasi, descelerasi, rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi cedera kepala ringan, memar otak dan laserasi (Nurarif et al., 2015).

2.3.2.2.Cedera Kepala Sekunder

Cedera kepala sekunder disebabkan oleh keadaan yang merupakan beban metabolic tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera (neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera).

2.3.3. Etiologi Cedera Kepala 2.3.3.1.Kecelakaan

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau cedera pada pengguna jalan raya (Irwana, 2009)

2.3.3.2.Jatuh

Jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah (Irwana, 2009).

2.3.3.3.Kekerasan Kekerasan di definisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain (Irwana, 2009).

(17)

2.3.4. Manifestasi Klinis Cedera Kepala

2.3.4.1.Battle Sign yaitu warna biru atau ekhimosis di belakang telinga di atas Os. Mastoid. Tanda ini merupakan gambaran klinis adanya fraktur pada basis crania fossa posterior.

2.3.4.2.Hemotimpanum yaitu perdarahan di daerah membrane timpani telinga.

2.3.4.3.Periorbital ecchymosis yaitu mata berwarna hitam yang disebabkan bukan akibat trauma langsung dan menandakan adanya fraktur pada basis crania fossa anterior.

2.3.4.4.Rhinorrhoe yaitu adanya cairan serebrospinal keluar dari hidung. Tanda ini merupakan gambaran klinis adanya fraktur basis crania fossa anterior.

2.3.4.5.Otorrhoe yaitu adanya cairan serebrospinal keluar dari telinga akibat adanya fraktur pada basis crania fossa media (Irwana, 2009)

2.3.6. Patofisiologi Menurut Rendy dan Margareth (2012)

2.3.6.1.patofisiologi cedera kepala berat yaitu : otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.

Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar

(18)

otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolism anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolic. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 60 ml/ menit/ 100 gr.

Jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh arah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

(19)

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang Menurut Rendy dan Margareth, (2012) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien cedera kepala adalah :

2.3.7.1.CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasikan luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.

2.3.7.2.X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan edema), fragmen tulang.

2.3.8. Komplikasi yang Terjadi pada Cedera Kepala menurut Wijaya (2013), yaitu:

2.3.8.1.Epilepsi Pasca Trauma Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang ini terjadi sekitar 10%

penderita yang memiliki luka tembus di kepala.

2.3.8.2.Afisisa Afisia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa dan otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengalami fungsi bahasa adalah lobus temprolis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. 20 c. Penanganan Pada Pasien Cedera Kepala Cedera Kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian terkait trauma dan kecacatan di seluruh dunia.

(20)

2.3.9. Penanganan pada Pasien Cedera Kepalaadalah :

2.3.9.1.Primary Survey Dasar dari pemeriksaan primary survey adalah ABCDE, yaitu Airway (jalan nafas), Breathing (pernafasan), Circulation (Sirkulasi darah), Disability (status neurologi), Eksposure.

a. Airway (Jalan Napas) Airway manajemen merupakan suatu hal yang terpenting dalam melakukan resusitasi dan membutuhkan ketrampilan khusus dengan penanganan keadaan gawat darurat. Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai adalah kelancaran jalan nafas, meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.

Pada pasien yang dapat berbicara, dianggap bahwa jalan nafasnya bersih, walaupun penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan

b. Breathing (pernapasan) yaitu menilai pernafasan cukup sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas, jika pernafasan tidak memadai maka lakukan Dekompresi rongga pleura , tutup jika ada luka robek pada dinding dada, dan pernafasan buatan

(21)

c. Circulation, yaitu menilai sirkulasi/peredaran darah, sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan pernafasan cukup

d. Disability yaitu menilai kesadaran dengan cepat apakah pasien sadar, hanya respon terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar, tidak dianjurkan mengukur GCS

e. Eksposur yaitu lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang maka imobilisasi in-line harus dikerjakan (Dewi, 2013).

2.4. Kerangka Konsep

Kerangka Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antarvariabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti), (Nursalam, 2014).

Kerangka konsep pada penelitian ini terdapat pada gambar 2.4 .

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

2.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan atau dari pernyataan penelitian (Notoatmojo 2013). Pada penelitian ini untuk melihat hubungan

Mortalitas pada pasien brain injury Nilai GCS

(22)

nilai GCS dengan Mortalitas pada pasien dengan brain injury, maka penulis mengambil kesimpulan sementara bahwa:

Hₐ : Ada hubungan nilai GCS dengan mortalitas pada pasien dengan brain injury

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA GUNA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MENURUT PERSPEKTIF

Pada penelitian ini, telah dikembangkan analisis kandungan merkuri dengan metode spektrofotometri berdasarkan penurunan absorbansi kompleks [Fe(SCN)] 2+.. Merkuri(II) yang

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kusta, meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, kondisi ekonomi keluarga,

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

sebagai Luka yang hancur pada extremitas sebagai Luka yang hancur pada extremitas atau anggota badan lain yang mengakibatkan atau anggota badan lain yang