• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 443K AG 2010 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 443K AG 2010 )"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada saat menjelang akhir kehidupan seseorang seringkali kita menjumpai pesan-pesan yang disampaikan pewaris kepada ahli waris, pesan inilah yang disebut wasiat. Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan sebagai amal kebaikan. Kajian mengenai wasiat ini mendapat perhatian serius dalam hukum fiqh Islam. Dalam konteks fiqh mawaris para ulama mendefenisikan wasiat sebagai penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada orang lain yang akan dilaksanakan setelah orang tersebut wafat. Harta yang dimaksud dalam wasiat bisa berbentuk materi atau harta benda maupun manfaat atas suatu kepemilikan harta kekayaan.1

Kepemilikan harta dalam wasiat berbeda dengan kepemilikan harta lainnya seperti jual beli atau sewa menyewa. Kepemilikan dalam akad jual beli atau sewa menyewa berlaku selama yang bersangkutan masih hidup. Adapun wasiat meskipun akadnya dibuat saat pewaris masih hidup, secara hukum baru berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

Wasiat bisa dalam bentuk penjagaan peninggalan atau pelaksanaan tanggungan atas orang yang telah meninggal baik yang menyangkut harta benda peninggalannya

1Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada , 2005), hal. 128

(2)

atau pelaksanaan tanggungan sepeninggal dirinya,2 umpamanya seseorang mewasiatkan agar harta benda yang ditinggalkan dibagi dengan cara tertentu seperti anak sulung mendapat bagian rumah, anak tengah mendapat modal usaha dan anak bungsu mendapat tanah. Pembagian harta warisan dengan cara wasiat seperti ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perselisihan diantara para ahli waris. Dalam hal ini para ahli waris berkewajiban melaksanakan wasiat yang telah ditinggalkan oleh pewaris.

Dalam ketentuan fiqh bilamana seseorang wafat seluruh hartanya berpindah milik kepada ahli waris yang ditinggalkan kecuali ongkos pemakaman, hutang dan sejumlah harta yang diwasiatkan. Tiga hal tersebut adalah hak si pewaris yang tidak boleh diganggu gugat oleh ahli waris. HR.Abdullah bin Humaid dalam al Musnadnya mengatakan bersabda Rasul SAW bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Muhammad yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya yakni : 3

1. Allah menentukan sebagian dari harta seseorang khusus untuk seseorang ketika ia akan wafat ( dengan jalan wasiat ) untuk membersihkan dirinya dari dosa.

2. Doa seorang hamba buat seseorang yang telah wafat.

Bila menyimak isi hadist tersebut bahwa dibolehkannya berwasiat adalah suatu rahmat dari Allah karena membuka wasiat memungkinkan seseorang yang mempunyai harta untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk kebutuhan ahli waris

(3)

dan juga diberikan kepada pihak lain yang membutuhkan di jalan Allah seperti mesjid, lembaga pendidikan, panti asuhan, fakir miskin serta kaum kerabat yang membutuhkan tetapi tidak termasuk sebagai ahli waris. Dengan demikian wasiat berfungsi ganda yakni untuk membersihkan diri dari dosa dan juga berfungsi sosial. Buya Hamka menjelaskan bahwa persyariatan wasiat dapat berfungsi menolong ahli waris yang miskin ketika ia mewarisi dengan ahli waris lain yang kaya, maka orang tuanya boleh berwasiat untuk anaknya yang miskin tersebut.4 Wasiat bertujuan untuk menghasilkan faedah kebaikan di dunia dan mendapatkan pahala di akhirat, karena itu Allah SWT mensyariatkan sebagai penguat amal saleh, menyambung tali silaturahmi dan para kerabat selain ahli waris, meringankan beban orang-orang yang membutuhkan lemah dan miskin.

Bila ditinjau dari segi hikmahnya maka wasiat mempunyai hikmah : 5 1. Wasiat dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah SWT.

2. Wasiat dapat menambah kebaikan pewasiat.

3. Wasiat dapat menolong dan memberikan keluasan ekonomi kepada penerima wasiat.

Ajaran Islam datang dan membenarkan sudut pandang wasiat yang berdasarkan kepada asas hak dan keadilan. Seorang muslim yang mempunyai harta boleh memberikan wasiatnya karena kasih sayang kepada seseorang, akan tetapi wasiat menurut hukum Islam pada dasarnya hanya ditujukan kepada orang lain diluar ahli

4 Thamrin, Hukum Wasiat di Indonesia, (Bandung:Citapustaka, 2013), hal. 61

5 Mardani, Hukum Kewarisan Islam DI Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014),

(4)

waris yang sah atau kepada ahli waris yang karena alasan tertentu terhalang oleh ahli waris lainnya. Sedangkan wasiat terhadap ahli waris hanya dimungkinkan bila ahli waris yang lain menyetujui pemberian wasiat.6

Persoalan wasiat ini apabila dihubungkan dengan persoalan pembagian harta warisan, terlebih dahulu harus dikeluarkan apa yang menjadi wasiat si pewaris barulah harta tersebut dibagikan kepada para ahli waris sebagaimana firman Allah

SWT dalam surat an Nisa ayat (12) yang artinya: “ Sesudah dipenuhi wasiat yang ia

buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya.” Ayat ini merupakan dalil yang menganjurkan kaum muslimin berwasiat setelah diselesaikan segala hutangnya. Bila diperhatikan bahwa hutang si pewaris adalah hak penuh dari orang yang berpiutang dan wasiat secara hukum telah menjadi hak bagi yang diberi wasiat, sedangkan keduanya itu menjadi persyaratan untuk dilaksanakannya pembagian warisan, maka tindakan pertama terhadap harta peninggalan pewaris itu memurnikan atau membebaskannya dari keterkaitan kepada orang lain didalamnya.7

Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak atau merupakan pernyataan sepihak dengan kata lain tidak ada kontrak prestasi dari pihak penerima 8 yang juga bisa dilakukan tanpa dihadiri oleh penerima wasiat dan dapat dilakukan dalam bentuk tertulis 9 dan agar sah pesan

6 Muhammad Amin Summa, Op. Cit, hal. 131

7 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam , ( Jakarta : Kencana, 2004 ), hal. 202

8Mardani, Op. Cit , hal. 107

(5)

terakhir itu sebaiknya disusun dan ditulis dihadapan dua orang saksi yang adil.10 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat (181) yang artinya :

“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya maka

sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ayat ini menjadi dalil larangan

berlaku curang dalam wasiat terutama yang sering terjadi pada wasiat yang tidak tertulis dan tidak mempunyai saksi.

Demi kepentingan yang berwasiat, penerima wasiat dan ahli waris, maka wasiat mempunyai rukun dan syarat yang ketat. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai ada pihak yang akan dirugikan serta menghindari terjadinya persengketaan dikemudian hari. Namun apa yang dikhawatirkan tidak jarang terjadi dalam prakteknya, salah satu penyebabnya antara lain yang berwasiat tidak mematuhi kaedah-kaedah yang ada, penerima wasiat berani mengubah isi wasiat atau membuat wasiat palsu sama sekali dan tidak jarang ahli waris tidak peduli akan adanya wasiat dari pewasiat.

Adapun masalah lainnya didalam wasiat adalah mengenai pencabutan wasiat, walaupun pemberi wasiat diperbolehkan untuk mencabut wasiatnya selama pemberi wasiat masih hidup, akan tetapi pencabutan serta pelaksanaan wasiat harus tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada. Hal ini dikarenakan wasiat adalah suatu

(6)

pemberian yang berlaku dan pelaksanaannya dilakukan setelah meninggalnya pemberi wasiat.

Seiring dengan perkembangan zaman ketentuan wasiat kemudian dikembangkan dalam bentuk wasiat wajibah dan telah diterapkan di beberapa negara muslim termasuk Indonesia meski yang terakhir ini mengalami perubahan makna yaitu hanya diberikan kepada anak atau orang tua angkat (Pasal 209 KHI).11

Selain pemberian wasiat hukum Islam juga menganjurkan seseorang untuk saling memberi atau menghadiahkan sesuatu benda kepada orang lain. Pemberian tersebut dikenal dengan sebutan hibah. Hibah adalah pemberian harta kekayaan oleh seseorang kepada orang lain semasa pemberi masih hidup dan yang diberi dapat memanfaatkan barang pemberian ketika pemberi masih hidup yang pelaksanaan hibah umumnya bersifat lisan dan disaksikan oleh keluarga terdekat, serta jumlah harta yang dapat dihibahkan tidak terbatas. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih.12

Ada dua hal yang hendak dicapai dalam hibah, pertama dengan memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama dan kedua terbentuknya kerjasama berbuat kebaikan baik dalam menanggulangi kesulitan keluarganya maupun membangun lembaga-lembaga sosial. Dalam riwayat Bukhari dijelaskan

11 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 359

(7)

bahwa : ” Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan diingat orang

dibelakang hari, hendaklah ia selalu mempererat hubungan persaudaraan.” 13

Penghibahan yang telah dilakukan semasa pewaris masih hidup dan belum dilakukan penyerahan barang maka sebelum harta dibagikan kepada ahli waris terlebih dahulu harus dikeluarkan hibahnya.14 Dalam Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Hibah hak milik yang langsung dan sempurna atas benda sebenarnya dari suatu harta diserahkan kepada orang yang diberi, oleh sebab itu bilamana hibah sengaja disertai syarat atau pembatasan tentang pemakaian ataupun penjualan harta hibah tersebut tetap sah.

Mengenai menghibahkan seluruh harta, sebagian jumhur ulama berpendapat seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimiliki. Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.15 Segala bentuk pemberian yang dilakukan seseorang yang menderita sakit yang akan meninggal dunia baik berupa nazar, wakaf, hibah, pembebasan, sedekah, pembebasan budak hanya dapat diambil dari sepertiga harta bendanya serta segala pemberian yang bersyarat sesudah wafatnya pemberi walaupun mengucapkan pada waktu dia masih sehat apabila

13 Satria Effendi M.Zein, Op. Cit ,hal.471

14 Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit hal. 43

(8)

ditujukan kepada salah seorang ahli waris maka harus melalui persetujuan seluruh ahli waris yang lainnya.16

Pemberian wasiat akan menjadi sumber bencana perpecahan keluarga jika dijalankan dengan cara yang kurang tepat antara lain tidak ada pencatatan, pemberian tanpa seizin dari para ahli waris, tidak adanya saksi atas pemberian tersebut serta masalah pencabutan wasiat yang belum dilakukan oleh pemberi wasiat, akan tetapi pemberi wasiat telah mengalihkan harta peninggalannya dengan cara menghibahkan harta tersebut kepada orang lain.

Demikian juga dalam praktek pelaksanaan penyelesaian sengketa hibah di Pengadilan Agama ditemukan beberapa problem hukum yang memerlukan solusi untuk penyelesaiannya, diantaranya hibah semua harta, ruju’ dalam hibah, barang yang dihibahkan, hibah dan hubungannya dengan warisan dan orang yang menerima hibah. Juga termasuk persoalan menghibahkan harta peninggalan kepada orang lain, akan tetapi harta peninggalan tersebut telah diwasiatkan terlebih dahulu kepada kepada kemanakan dan anak angkat si pemberi hibah. Sehingga terjadilah gugatan ke pengadilan untuk pembatalan hibah yang telah dilakukan si pemberi hibah secara diam-diam, karena wasiat yang telah dilakukan sebagai akad pertama belum dibatalkan atau dicabut terlebih dahulu.

Salah satu contoh kasus pada putusan Mahkamah Agung Nomor 443 K/AG/2010 yang terjadi di kabupaten Purbalingga, Ki Mustareja alias Slamet telah memberi wasiat sebidang tanah sawah seluas 250 ubin (satu ubin adalah 3.75 meter x

(9)

3.75 meter = 14,0625 meter) kepada penggugat I, Sudar (kemanakan Ki Mustareja alias Slamet ) serta penggugat II, Suparti dan Eri Windiarti (anak pungut Ki Mustareja alias Slamet).

Pemberian tanah yang berupa wasiat ini dilakukan karena Ki Mustareja alias Slamet tidak mempunyai anak kandung dari perkawinan dengan istri pertamanya yakni Sarwati. Pada tahun 2003 Ki Mustareja alias Slamet bercerai dengan Sarwati kemudian menikah kembali dengan Surwati, Ki Mustareja alias Slamet dan Surwati telah mempunyai anak luar nikah dibawah umur yang bernama Sulistiyowati.

Tanpa sepengetahuan penggugat selaku penerima wasiat dan tanpa adanya pencabutan wasiat terlebih dahulu baik secara lisan maupun tulisan, Ki Mustareja alias Slamet menghibahkan seluruh tanah yang telah diwasiatkan tersebut kepada anak luar nikahnya Sulistiyowati melalui Notaris. Pada tahun 2006 Ki Mustareja alias Slamet wafat, para penggugat mengajukan gugatan pembatalan hibah yang telah dilakukan Ki Mustareja alias Slamet kepada anak luar nikahnya. Ada perbedaan hasil putusan penyelesaian sengketa antara Pengadilan Agama Purbalingga dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang.

(10)

Pada putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor : 231/Pdt.G/2009/PTA.Smg tanggal 29 maret 2010 memutuskan bahwa hukum wasiat yang diberikan pada penggugat adalah sah dan juga menyatakan sah serta mempunyai kekuatan hukum atas hibah yang dilakukan Ki Mustareja alias Slamet kepada tergugat Sulistiyowati. Pada putusan Mahkamah Agung menolak permohonan para penggugat.

Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas maka penting untuk dilakukan

penelitian tentang “ Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan Menurut Fiqh

Islam dan Kompilasi Hukum Islam ( Studi Putusan MA Nomor 443 K/AG/2010 ). B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pandangan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam mengenai hibah harta yang sudah diwasiatkan ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan mengenai hibah harta yang sudah diwasiatkan menurut Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam ?

3. Bagaimanakah pertimbangan hukum Hakim di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 443 K/AG/2010 ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah :

(11)

2. Untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan mengenai hibah harta yang sudah diwasiatkan menurut Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Untuk mengetahui dan menganalisa pertimbangan hukum Hakim di dalam putusan Mahkamah Agung nomor 443 K/AG /2010.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Secara teoritis penelitian dapat memberikan informasi khususnya mengenai ketentuan umum mengenai hibah harta yang sudah diwasiatkan.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya Hukum Islam sehingga dapat dijadikan bahan bagi kalangan yang berminat mempelajarinya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan

penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU penelitian dengan judul

“Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan Menurut Fiqh Islam dan Kompilasi

Hukum Islam: Studi Putusan MA No.443 K/AG/2010” belum pernah dilakukan. Penelitian yang ada mengenai hibah adalah :

(12)

Melalui Hibah Wasiat Dan Proses Balik Namanya ( Suatu Kajian Hukum Di Kota Medan ), dengan permasalahan yang dibahas :

a. Apakah Hibah Wasiat ( Legaat ) merupakan suatu cara untuk memperoleh Hak Milik ?

b. Apakah kendala-kendala/ hambatan-hambatan yang terdapat dalam proses balik nama sertifikat hak atas tanah yang pengalihannya dilakukan berdasarkan Hibah Wasiat ?

c. Bagaimanakah proses balik nama sertifikat hak atas tanah yang pengalihannya dilakukan melalui Hibah Wasiat ?

2. Vika Syafitri, Nomor Induk 127011013, mahasiswa Magister Kenotariatan Pascasarjana USU, Tahun 2009 dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Persfektif Fikih Islam ( Studi Putusan MA Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non Muslim ), dengan permasalahan yang dibahas :

a. Mengapa dalam Fiqh Islam tidak disebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah ?

b. Bagaimana pandangan Ulama Fiqh Islam tentang wasiat wajibah?

c. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim MARI dalam putusan wasiat wajibah kepada keluarga atau ahli waris yang beragama non muslim ?

(13)

Muslim (Studi Putusan No.0141/ Pdt.P/2012/PA.SBY), dengan permasalahan yang dibahas :

a. Kenapa ahli waris non muslim tidak mendapat warisan dari keluarga yang muslim?

b. Apa yang menjadi dasar pemberian wasiat wajibah kepada keluarga non muslim?

c. Bagaimanakah pandangan Pengadilan Agama terhadap Putusan PA No. 0140/Pdt.P/2012/PA.Sby?

Jika dihadapkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti secara realitas. Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan kesimpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi penjelasan yang sifatnya umum.17

(14)

Terdapat empat ciri kerangka teori dalam penulisan karya ilmiah hukum yaitu : teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum dan ulasan pakar hukum berdasarkan dalam pembidangan kekhususannya.18 Berkaitan dengan pendapat tersebut maka teori adalah serangkaian konsep, defenisi dan proposal yang berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang suatu gejala.19

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan dan Teori

Maqashid Al Syariah. Salah satu nama Allah adalah Al ‘Adl yang diartikan lurus, sebagian ulama mendefenisikan adil dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, memberi sesuatu yang berhak menerimanya.20 Dalam Al Quran surat Al

Maidah ayat (8) yang artinya : “ Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan

taqwa.” Keadilan yang dituntut oleh Al quran bukan saja dalam proses hukum, tetapi

mencakup adil terhadap diri sendiri. Firman Allah dalam surat Al Anam ayat (152)

yang artinya:” Dan apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil

walaupun terhadap keluargamu.”21

Raghib Al Asfahani menyatakan bahwa kata ‘Adl berarti memberi pembagian yang sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Al Maraghi yang memberikan makna

‘Adl dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif. Oleh Abd. Muin

Salim pendapat ‘Adl ini ia nilai bukan pada segi persamaan hak, tetapi tekanannya

18 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2009), hal.79

19Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung:Mandar Maju, 2008), hal.141 20 M.Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Telematik Al Quran II,(Medan : Pustaka Bangsa , 2007), hal. 239

(15)

pada terpenuhinya hak-hak milik seseorang. 22 Batasan keadilan bukan terbatas pada harta saja, akan tetapi hak juga termasuk didalamnya. Oleh karena itu esensi keadilan adalah perimbangan tanggung jawab baik dari segi hak maupun dari segi kewajiban begitu juga keseimbangan antara keperluan dan kegunaan.

Menurut penelitian M.Quraish Shihab paling tidak ada empat makna keadilan yaitu:23

1. ’Adl dalam arti sama dalam hak.

2. ’Adl dalam arti seimbang bahwa keseimbangan itu menuju pada satu tujuan tertentu selama syarat dan kadar terpenuhi oleh setiap bagian.

3. ’Adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya.

4. ’Adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah yang berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi dan perolehan rahmat.

Firman Allah dalam Al Quran surat an Nisa ayat 58 yang artinya : “ Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu

menetapkan dengan adil.” Kemudian firman Allah dalam Al Quran surat al Maidah

ayat 42 yang artinya : “ Dan jika kamu memegang perkara mereka maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah mencintai

orang-orang yang berlaku adil.”

Ulama Fiqh mendefenisikan teori Maqashid Al Syariah sebagai makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam mensyariatkan suatu hukum bagi

22 Parman Ali, Kewarisan Dalam Al quran Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995 ), hal.74

(16)

kemaslahatan umat manusia.24Maqashid Al Syariah ini dikalangan ulam fiqh disebut juga dengan Asrar Al Syariah yaitu rahasia yang terdapat dibalik suatu hukum yang ditetapkan oleh syarak berupa kebaikan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. Iman Asy Syatibi ahli Ushul Fiqh Mazhab Maliki menyatakan untuk mewujudkan kebaikan dunia dan akhirat ada lima masalah pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Harta merupakan perhiasan dunia , dalam pandangan Islam harta adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bukan merupakan tujuan akhir hidupnya. Seseorang yang diamanatkan harta yang banyak dituntut untuk menyisihkan dan mengeluarkan hak-hak orang lain yang dititipkan Allah SWT kepadanya. Berdasarkan Al Quran dan Hadist seorang muslim yang memiliki harta banyak dianjurkan untuk membuat wasiat yang berupa pemberian maupun hibah dari hartanya untuk ibu bapak dan kaum kerabat. Islam juga menghendaki harta kekayaan bukan hanya untuk menjaga kesejahteraan kerabat saja tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Sehubungan dengan itu maka syariat Islam dalam pelaksanaan hukum termasuk hibah dan wasiat sangat mengutamakan kedudukan yang seimbang antara hak dan kewajiban sehingga tidak ada hak yang dikurangi ataupun dilebihkan.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini adalah untuk menggabungkan teori dengan observasi. Konsep diartikan

(17)

sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.25 Adapun yang menjadi uraian konsep dalam penelitian ini adalah:

a. Hibah adalah : pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (Pasal 171 huruf g, Kompilasi Hukum Islam).

b. Wasiat adalah : pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f, Kompilasi Hukum Islam).

c. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (Tajhiz) pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (Pasal 171 huruf e, Kompilasi Hukum Islam).

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem sedangkan konsisten tidak bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya

(18)

juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Sebagai suatu penelitian ilmiah maka rangkaian kegiatan penelitian dari pengumpulan data sampai analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal yakni metode penelitian yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.26

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis bahwa penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan dengan menghubungkan perundang-undangan, asas-asas, teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif.

2. Sumber Data / Bahan Hukum

Pengumpulan data berhubungan erat dengan sumber data karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk dianalisis sesuai

(19)

dengan yang diharapkan. Berkaitan dengan hal itu penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan.

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui : a. Bahan hukum primer

Bersumber dari bahan hukum atau dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang antara lain terdiri dari:

1. Al Quran dan Hadist

2. Undang-Undang Dasar 1945

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang diperoleh dari 1. Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 443 K/AG/2010 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

4.Peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. dan hasil studi kepustakaan dengan cara mendapatkan data melalui buku, literatur hukum, karya tulis ilmiah bidang hukum hasil penelitian dan makalah yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti khususnya tentang hibah dan wasiat.

(20)

Bahan-bahan yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu : menghimpun data dari hasil pencarian bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk memperoleh data-data ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.27

b. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah:

1. Studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi literatur yang berkaitan dengan permasalahan menghibahkan harta yang telah diwasiatkan menurut Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Pedoman wawancara kepada tokoh-tokoh agama, pakar hukum yang berkedudukan di kantor Majelis Ulama Indonesia Medan yang akan digunakan sebagai penunjang dalam penelitian.

(21)

4. Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

gambaran dinamika proses fermentasi dalam periode yang panjang (beberapa minggu). Metode RUSITEC juga dipilih untuk mengevaluasi beberapa informasi penting sebelum melakukan

Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Dan Air Daun Bangun- Bangun (Coleus amboinicus Lour) Pada Berbagai Tingkat Petikan Daun Dengan Metode DPPH. Nama :

Setelah dilakukan uji analisis data dengan menggunakan uji korelasi chi-square melalui bantuan komputer didapatkan nilai hitung 14,371 dengan signifikasi 0,01 hal

Selatan sampai saat ini. Hamam Santoso, April 2016), “Orang biasa mengenal kesenian tari Piring Gelas yang terdapat di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, karena

Perancangan perangkat lunak sangat diperlukan karena rancangan tersebut adalah langkah awal bagaimana program itu akan dibuat dan menuangkannya kedalam bahasa

Imam Ghazali, Metode Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 125.. ISTITHMAR: Journal of Islamic Economic Development, Volume 4, No. Maka dari itu, bank

Universitas Hasanuddin | 29 Bagi kebanyakan orang, kata komunitas akan memasukkan sebentuk perasaan „memiliki‟, atau perasaan diterima dan dihargai dalam lingkup kelompok

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Reagan (2007) tentang kajian beberapa sifat dasar kayu mangga ( Mangifera indica Lamk.) menyimpulkan bahwa kayu