• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Nyeri

Masalah penilaian nyeri dan manajemennya telah menjadi perhatian baik tenaga kesehatan profesional dan kesehatan masyarakat. Faktor-faktor yang mendorong perhatian tersebut meliputi masih tingginya prevalensi nyeri, adanya bukti-bukti bahwa nyeri masih belum teratasi, dan meningkatnya kesadaran bahwa sangat merugikan sekali jika nyeri tidak teratasi. Pada tahun 1968, McCaffery mendefinisikan nyeri sebagai “what ever the experiencing person says it is, existing whenever she says it does”. Definisi ini menegaskan bahwa nyeri itu sangat subjektif dan tidak ada alat ukur objektif terhadap nyeri.18 Pada tahun 1979, International Association for The Study of Pain (IASP, 1979) mendefinisikan nyeri yang saat ini banyak dipakai di seluruh dunia. IASP mendefinisikan nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.19,20 Definisi ini menggambarkan bahwa nyeri adalah pengalaman, sifatnya subjektif, penilaiannya tergantung apa yang dilaporkan pasien. Sensasi nyeri adalah suatu fenomena neurobiochemical yang melibatkan banyak sekali zat-zat biokimia yang diwujudkan dalam bentuk neurotransmiter nyeri. Neurotransmiter nyeri ini teraktivasi akibat rangsangan yang diterima oleh nosiseptor. Nosiseptor adalah reseptor sensorik khusus yang bertanggung jawab untuk deteksi adanya stimulus noxious (tidak menyenangkan) misalnya rasa sakit.20

2.2. Patofisologi Nyeri

(2)

terlepasnya substansi kimiawi endogen berupa bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K, prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor.21,22 Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh

prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide

(PGG2 dan PGH2) dan akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri tromboksan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula lekotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase.21 Setelah kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan jaringan dan perbaikan luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, allodynia dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya lekotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme asam arakhidonat. Lekotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan lekotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin IL1β, IL6, TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. IL1β

(3)

fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat antiinflamasi non steroid (AINS).21

Transmisi adalah proses berikutnya dari transduksi berupa penyaluran sinyal-sinyal nyeri berupa sinyal listrik. Dalam keadaan hiperalgesia intensitas impuls akan membesar yang kemudian ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis.21 Serabut perifer terdiri dari serabut sensoris, motorik somatik, motorik otonomik, dan propioseptif. Akson dari neuron primer bermielin atau tidak bermielin, dibungkus neurolema. Terbagi atas serabut A,B,C. Serabut A terbagi menjadi Aα , Aβ , Aγ

dan Aδ. Akson berakhir pada kulit dan bangunan lain sebagai anyaman rapat, dekat ujung akhir saraf, bungkus perineural terbuka dan sel Schwann menjadi

irreguler. Serabut aferen primer nosispetif khusus menghantarkan impuls nosiseptif, terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot, dan visera.21

Gambar 1. Perjalanan nyeri dan tempat-tempat intervensi yang dapat memodulasinya

NMDA Antagonist

(4)

Serabut yang menyampaikan impuls nosiseptif hanya Aδ dan C, sehingga serabut tersebut tidak bermielin atau bermielin halus. Stimulus yang dapat direspon adalah mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron aferen primer melewati radiks posterior masuk ke medula spinalis pada berbagai tingkat membentuk sel bodi dalam ganglia radiks posterior, serabut ini membelah dua, mengirim banyak cabang kolateral. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I, substansia gelatinosa (lamina II, III), lamina V, lamina IV. Impuls ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis. Kornu posterior berfungsi sebagai masuk jalur desendens dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri dan diterjemahkan. Proses transmisi ini dapat dihambat oleh obat anestesi lokal.21

Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsangan nyeri. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama menuju korteks serebri.21 Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan). Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan mengalami penyaringan intensitas yang bisa diperbesar atau dihambat. Sistem pengendali modulasi ini adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of pain. Terdiri dari substansia gelatinosa sebagai penghambat sel transmisi T, serabut aferen diameter besar akan menutup gerbang, diameter kecil akan membuka gerbang. Cabang serabut desendens dari otak ke substansia gelatinosa akan menambah hambatan sel transmisi T. Apabila impuls melebihi ambang sel T maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat supraspinal di korteks somatosensoris. Impuls akan dipersepsi sebagai pengalaman nyeri. Substansi yang bekerja sebagai modulator nyeri di medulla spinalis yaitu dinorfin, enkefalin, noradrenalin, dopamin 5 HT2, GABA yang akan menghambat nyeri. Substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, ATP, asam amino eksitatori.21

(5)

ditindak lanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.23 Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik. Sel transmisi T didalam sistem gerbang spinal kendali nyeri menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls melebihi atau sama dengan ambang T, impuls nosiseptif tersebut dapat melewati sistem gerbang kendali dan diteruskan ke pusat-pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, kortek transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintergrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri. Secara sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan oleh individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya.21

2.3. Preemptif Analgesia

Salah satu dari penelitian paling dipercaya menyatakan sensitisasi pusat memegang peranan utama pada fase pertama dari respon nyeri. Penggunaan opioid sebelum fase pertama dan di-reverse dengan antagonis opioid naloxon (Narcan) sebelum onset yang diharapkan dari fase kedua ternyata mampu mencegah stadium lanjut ini dari respon nyeri. Oleh karena itu, mencegah kaskade neural awal dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan yang melukai.24

(6)

preemptif analgesia menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang kuat dapat diketahui (gambar 2).24

Gambar 2. Perbandingan cara pemberian analgesia

(7)

2.4. Ketamin

Semenjak ditemukan adanya N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor yang berperan dalam persepsi nyeri menyebabkan saat ini banyak para klinis

khususnya praktisi nyeri untuk memulai penelitian baru terhadap ketamin yang saat ini digunakan sebagai multimodal analgesia dalam penanganan nyeri.25

Gambar 3. Struktur ketamin

2.4.1. Farmakologi ketamin

Ketamine, 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamine)-cycloexanone, pertama

kali disintesis pada tahun 1963 dan pertama sekali digunakan pada manusia pada

tahun 1965 oleh Corssen dan Domino. Obat ini larut dalam lemak dengan berat

molekul 238 dalton, pKa 7,5 dan digunakan dalam bentuk rasemik atau isomer

levogyrous S(+) ketamin.S(+) ketamin 3 sampai 4 kali lebih poten dari isomer

(R-ketamin) untuk penanganan nyeri, sedikit menimbulkan agitasi dari pada yang

bentuk rasemik dan dextrogyrous. S(+) ketamin dua kali lebih poten dari rasemik

dalam mencegah sensitisasi sentral spinal cord.26

(8)

aktif, tetapi potensiasinya sepertiga sampai seperlima dari ketamin dan pada akhirnya metabolit tadi dikonjugasikan menjadi larut air dan pada akhirnya diekskresikan melalui urin.29 Ketamin memiliki kelarutan lemak yang tinggi sehingga obat ini gampang masuk melewati sawar darah otak. Ketamin memiliki ikatan dengan protein plasma 12% dan waktu paruh tercapai dalam 10 menit.27

2.4.2. Mekanisme kerja ketamin

Ketamin bekerja pada susunan saraf pusat dan menurut beberapa penelitian ketamin memiliki aktivitas perifer. Efek kerja ketamin bekerja pada reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) pada bagian kutub kalsium. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influx kalsium ekstraseluler ke intraseluler. Peran kalsium adalah sebagai second messanger untuk reaksi nyeri selanjutnya melalui pelepasan neurotransmitter nyeri yang lain.30,31 Blok pada NMDA reseptor adalah cara kerja utama dari ketamin di susunan saraf pusat dan medulla spinalis.

Sebagai tambahan bahwa ketamin juga menghambat pelepasan dari glutamat yang

bertindak sebagai neurotransmitter eksitatorik yang berperan sebagai

neurotransmitter nyeri. Mekanisme yang lain ketamin berikatan dengan reseptor

opioid yaitu mu dan kappa.28 Interaksi ini terjadi sangat kompleks. Afinitas

ketamin terhadap reseptor opioid ini 10 kali lebih lemah dari ikatannya terhadap

reseptor NMDA dengan adanya bukti bahwa naloxon yang merupakan antagonis

opioid tidak mengantagonis efek analgesia dari ketamin.29,30 Ada bukti juga

bahwa reseptor seperti monoaminergik, muskarinik dan nikotinik menjadi tempat

ikatan ketamin sekaligus ketamin menimbulkan efek takikardi dan

(9)

Gambar 4. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)

2.4.3. Preemptif ketamin

Transmisi sinyal rasa sakit yang ditimbulkan oleh kerusakan jaringan menyebabkan sensitisasi dari jalur nyeri perifer dan sentral. Preemptif analgesia adalah pengobatan yang dimulai sebelum prosedur bedah untuk mengurangi sensitisasi ini. Konsep preemptif ini berdasarkan atas antinyeri diberikan sebelum rangsangan nyeri timbul. Konsep preemptif sebenarnya mengacu kepada penghambatan sinyal nyeri,sehingga tidak terjadi sensitisasi sentral yang berujung kepada nyeri kronik sehingga nyeri lebih sulit untuk diatasi. Untuk itulah istilah preemptif menjadi populer. Sehingga konsep preemptif memiliki penanganan nyeri yang efektif dibandingkan dengan konsep yang lain.32

(10)

nyeri akan memperlambat pemulihan atau memperpanjang waktu rawat inap. Salah satu sensitisasi sentral timbulnya nyeri adalah aktivasi dan N-methyl- D-aspartate (NMDA). Ketamin suatu antagonis reseptor NMDA dapat diberikan untuk mencegah nyeri pascabedah serta mencegah sensitisasi sentral akibat pembedahan yang dapat diberikan sebelum pembedahan. Efek preemptif ketamin masih kontroversi, beberapa peneliti melaporkan adanya efek terhadap pemberian analgesia selanjutnya, namun peneliti lain tidak. Perbedaan ini disebabkan variasi prosedur pembedahan, dosis pemberian dan waktu pemberian.17 Meskipun beberapa studi menunjukkan tidak ada efektivitas analgetik preemptif yang diberikan. Sebenarnya satu-satunya cara untuk mencegah sensitisasi nosiseptif adalah langsung memblokir benar-benar sinyal nyeri yang berasal dari luka bedah dari waktu sayatan sampai akhir penyembuhan luka. Intervensi farmakologis lainnya termasuk antihiperalgesia.32

2.4.4. Efek ketamin pada fungsi organ

Ketamin memiliki kombinasi unik dari efek kardiovaskular, biasanya dikaitkan dengan takikardia, peningkatan tekanan darah, dan cardiac output

meningkat. Mekanisme yang tepat munculnya respon simpatik masih belum diketahui. Namun, dengan tidak adanya kontrol otonom, ketamin memiliki efek depresi miokard langsung, yang biasanya diganti oleh respon sentral ini. Hal ini dimungkinkan untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan dari kardiovaskular sehingga pemberiannya dengan memberikan ketamin sebagai kontinu infus dan penggunaan benzodiazepin.30

(11)

ketamin. Sering dilaporkan adanya bunyi nyaring pada penggunaan ketamin disangkakan laringospasme. Hal ini sebenarnya terjadi karena posisi saluran napas yang tidak bebas, dan masalah tersebut dapat dikelola hanya dengan reposisi kepala pasien. Laringospasme dapat terjadi pada penggunaan ketamin yang disebabkan oleh stimulasi dari pita suara oleh instrumentasi atau sekresi. Sekret dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi glycopyrrolate.28

Emergence reaction merupakan sensasi psikis setelah penggunaan ketamin, sensasi mengambang, mimpi atau ilusi dan sesekali delirium.33 Mimpi-mimpi dan ilusi biasanya menghilang pada saat sadar penuh. Namun penting untuk mendiskusikan dengan pasien efek dari ketamin itu dan efek ini muncul 5-30 %.27 Emergence reaction lebih tinggi terkait dengan faktor-faktor seperti meningkatnya usia, perempuan, pasien yang biasanya bermimpi, pemberian intravena yang cepat dan dosis besar.28,33 Ketamin telah diamati dapat mengaktifkan psikosis pada pasien dengan skizofrenia. Namun, belum terlihat adanya reaksi psikotik jangka panjang pada pasien tanpa penyakit kejiwaan yang dikenal. Premedikasi dapat diberikan untuk mengurangi emergence reaction

seperti midazolam (0,07-0,1 mg/kgBB), diazepam (0,15 - 0,3 mg/kgBB), dan lorazepam (2-4 mg) intravena telah terbukti efektif. Insiden ini juga menurun bila digunakan bersama dengan hipnotik sedatif lain dan anestesi umum.28

(12)

gangguan kejang, dan pada kenyataannya, data eksperimen menunjukkan bahwa ketamin memiliki antikonvulsif dan bahkan proteksi saraf.28

Efek analgesia terjadi pada konsentrasi darah lebih rendah daripada dosis induksi atau hilangnya kesadaran. Hal ini berlaku untuk ketamin yang rasemik dan untuk S-(+)-ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak, aliran darah otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP).29 Pengaruh S-(+)-ketamin pada ICP belum diketahui. Tanggapan dari cerebral autoregulasi ke ketamin rasemik belum diteliti, namun S-(+)-ketamin tidak mempengaruhi autoregulasi ini. Pupil dilatasi, nistagmus, air liur, dan lakrimasi yang umum.28

Ketamin belum terbukti memiliki efek buruk pada hati dan sistem ginjal. Tekanan intraokular sedikit meningkat setelah pemberian ketamin. Ketamin menghasilkan peningkatan tonus otot dan kadang-kadang kejang otot, meskipun telah digunakan dengan aman pada miopati dan hipertermia ganas. Efek variabel pada kontraksi uterus serta emesis, ruam sementara, dan agitasi.28

2.4.5. Penggunaan klinis ketamin

Solusi rasemik komersial ketamin adalah campuran R (-) dan S (+) isomer dalam jumlah yang sediaan, tersedia sebagai 10, 50, dan 100 mg/ml dengan pengawet, benzathonium hidroklorida. Isomer optik S-(+)-ketamin tersedia dalam 5 dan 25 mg/ml (tidak berlisensi di Inggris, saat ini). Ketamin dapat diberikan iv, im, oral, rektal, dan sediaan bebas pengawet epidural. Dosis tergantung pada rute pemberian dan efek terapi yang diinginkan. Benzodiazepine dapat diberikan baik secara oral (diazepam 10-30 mg, lorazepam 2-5 mg) 60-90 menit sebelum induksi atau dosis yang lebih kecil intravena segera sebelum induksi.28 Induksi anestesi dengan dosis 0.5–1.5 mg/kgBB intravena atau 4–10 mg/kgBB intramuskular. Dosis pemeliharaan untuk anestesi 10-30 µg/kgBB/menit intravena. Sedasi

analgesia 0.2–0.75 mg/kgBB intravena atau 2–4 mg/kgbb intramuskular diikuti

infus berkala 5–20 mg/kgBB/menit.28

(13)

prosedur-dapat digunakan untuk obat penenang dan anestesi umum dalam prosedur seperti kateterisasi jantung, radioterapi, radiologi investigasi, dan luka bakar. Sayangnya, tidak ada informasi mengenai berapa kali ketamin dapat digunakan secara aman, meskipun sering digunakan berulang kali pada individu yang sama . Umumnya, dosis subanaesthetic diperlukan untuk prosedur minor. Ketamin sering dikombinasikan dengan premedikasi (misalnya benzodiazepin) untuk mengurangi kebutuhan dosis dan reaksi munculnya emergence reaction , dan antisialogogue (misalnya glycopyrrolate) untuk mengurangi sekresi saliva. Ketamin dapat digunakan sebagai suplemen (i.v. atau i.m) selama anestesi regional. Hal ini juga dapat diberikan melalui rute epidural sebagai tambahan untuk anestesi lokal untuk memperpanjang durasi analgesia. Dosis rendah ketamin juga telah digunakan bersama dengan propofol untuk meningkatkan kualitas sedasi. NMDA antagonis mencegah sensitisasi sentral terhadap rangsangan yang menyakitkan. Ketamin adalah satu-satunya NMDA antagonis, penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kecil ketamin dapat megurangi kebutuhan analgetik opioid.28

(14)

melemahkan takikardia yang tidak diinginkan, hipertensi dan juga reaksi

psychomimetic pascabedah. Teknik menghasilkan gangguan hemodinamik minimal, analgesia yang mendalam, amnesia dan pemulihan yang baik.28

Ketamin bebas pengawet telah ditambahkan ke bupivacaine untuk meningkatkan durasi analgesia, tanpa mempengaruhi intensitas analgesik.35 Minat penggunaan ketamin ini tumbuh dan dalam survei terbaru, 32% dari anestesi pediatrik Inggris melaporkan penggunaan ketamin epidural.28

Secara historis, telah diyakini bahwa ketamin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan ICP, namun laporan dari saraf dan bahkan efek neuroregeneratif telah dihasilkan dari penelitian ini. Ketamin dapat mencegah influks ion kalsium abnormal atau glutamat melalui interaksi dengan reseptor NMDA. Peningkatan CBF setelah pemberian ketamin kurang dari peningkatan CMRO2. S-(+)-ketamin mempertahankan metabolisme serebral sebagian besar wilayah otak (percobaan studi).28

Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel vaskular, penelitian telah menunjukkan penurunan yang bermakna dalam aktivasi leukosit selama hipoksemia atau sepsis. Ketamin menekan produksi sitokin proinflamasi dalam darah seluruh manusia in vitro. Dalam sebuah studi tentang efek isomer berbeda pada hati babi, S-(+)-ketamin efektif dalam mengurangi adhesi neutrofil, sedangkan R-(-)-ketamin memiliki efek negatif yaitu memperburuk kebocoran dari pembuluh darah koroner sekitarnya jaringan.28

2.5. Klasifikasi nyeri

(15)

2.5.1 Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas stimulus istirahat (semula). Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai 7 hari dan diakibatkan langsung adanya kerusakan jaringan misalnya pembedahan. Sedangkan nyeri kronis bisa dikategorikan sebagai malignant atau nonmalignant yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker,

end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV.Nyeri kronik mungkin mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignant (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) membuat pengobatan menjadi lebih sulit.24 Pasien dengan nyeri akut dapat memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul tetapi nyeri kronik bisa tanpa disertai adanya respons otonom.9 Nyeri kronik dapat berupa hiperalgesia dan allodynia yang pengobatan untuk nyeri ini sangat sulit sehingga, penanganan untuk nyeri akut harus baik untuk mencegah timbulnya nyeri kronik.23

2.5.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik

(16)

cedera dan daerah sekitar cedera. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respons yang kurang baik terhadap analgesik opioid.23

2.5.3 Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar, lokalisasi yang difus dan mengarah ke daerah permukaan tubuh, jauh dari tempat nyeri, namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.23,24,35 Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan24. Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi keganasan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena (Ashburn dan Lipman, 1993)25,35

(17)

2.5.4 Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri sayatan bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.23,24 Nyeri somatik biasanya lebih akut, intens, tajam, lokal, dan diperburuk oleh gerakan.36

2.6. Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri pascabedah yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini.24

2.6.1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale24,34,37

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 5. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

2.6.2. Verbal Rating Scale (VRS)24,34,37

(18)

Gambar 6. Verbal Rating Scale

2.6.3. Numerical Rating Scale (NRS)27,34,37

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 7. Numerical Rating Scale

2.6.4. Visual Analogue Scale (VAS)24,34

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat.

J

(19)
(20)

2.7. Kerangka Teori

Suhu, Kimia, Tekanan

Glutamat

NMDA

Substansi P

Bradikinin

IL-6, TNF α Kolagenase Histamin Serotonin Prostaglandin

Transduksi

Transmisi

Neuron Aδ, Neuron C

Modulasi

Sistem Noradrenergic

Sistem Serotonergic Sistem Opioid (Enkephalin

& Endorfin)

Persepsi

Nyeri Paska Bedah

Jenis Pembedahan Lama Pembedahan

Obat Anestesi Pendidikan

Umur Jenis Kelamin

Kerusakan Jaringan

Obat Analgesia

Faktor Psikologis

(21)

2.8. Kerangka Konsep

=Variabel Bebas

= Variabel Tergantung

Gambar 10 : Kerangka Konsep

Waktu Permintaan

Analgesia Pertama

Efek Samping

Ketamin 0,5 mg/kgBB/IV

Ketamin 1 mg/kgBB/IV

Gambar

Gambar 1. Perjalanan nyeri dan tempat-tempat intervensi yang dapat memodulasinya
Gambar 2. Perbandingan cara pemberian analgesia
Gambar 4. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)
Gambar 6. Verbal Rating Scale
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan sangat jelas Suparlan menguraikan demikian : Orang-orang Madura hidup mengelompok sesama mereka sendiri baik yang hidup dalam sebuah komuniti berupa dusun yang

Hasil nilai di atas menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh penambahan kinesiotaping pada eccentric exercise terhadap peningkatan kemampuan fungsional de quervain’s

Tekanan darah lansia penderita hipertensi di Dusun Pundung Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta sebelum melakukan senam ergonomis didapatkan lansia yang mengalami

[r]

Pengolahan data yang dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 dan penyimpanan database yang teratur pada Microsoft Access 2000. Diharapkan

Penulisan Ilmiah ini menyajikan perancangan Aplikasi Kepegawaian dan Penggajian dengan menggunakan Microsoft Access 2003 yang bertujuan untuk memudahkan pendataan para pegawai

PROGRAM KERJA PERPUSTAKAAN ” ANEKA ILMU” SD NEGERI ... TAHUN PELAJARAN 2012/2013 PROGRAM KERJA MINGGUAN NO HARI JENIS KEGIATAN

Berdasarkan data pada (Tabel 2) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi yang nyata (P<0.05) antara perlakuan pakan dan sistem pemeliharaan yang berbeda terhadap bobot