• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Berbentuk CV (Commanditaire Vennootschap) Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Berbentuk CV (Commanditaire Vennootschap) Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1

Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat luas, sehingga tujuan untuk memajukan

kesejahteraan umum dapat tercapai sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan

UUD 1945 serta di dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa

perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan guna

meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.1

Korporasi dalam hal ini CV dapat melakukan suatu tindak pidana melalui

mereka yang mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan

para pengurus lainnya yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari

korporasi. Tindak pidana korporasi seringkali tidak tampak atau tidak kelihatan

karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang, serta

pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.

Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan

prinsip ekonomi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi juga mempunyai

kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan

pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

2

1

Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No

.

32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta : PT

. SOFMEDIA, 2011), Hal. 57.

Sebuah

2

(2)

perusahaan yang baik tidak hanya memperhatikan kepentingan para pemegang

saham, tetapi juga memeperhatikan kepentingan stakeholder. Secara etis dunia bisnis

tidak hanya wajib berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi juga kepada

lingkungan alamnya.3

Pengertian korporasi dilihat dari etimologinya (asal katanya), yang dalam

istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), Corporation (Inggris), Korporation

(Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu corporatio. 4

“Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio”, maka corporatio dianggap sebagai kata benda (substantivum) yang berasal dari kata kerja corporare yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare itu sendiri berasal dari kata corpus yang dalam bahasa Indonesia berarti “badan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan demikian, maa akhirnya corporatio itu berarti hasil pekerjaan membadankan atau dengan perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.”

Terkait dengan istilah

corporatio, menurut Mulhadi dan Dwija Prayitno :

5

Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang

dimaksud dengan korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupu melihat

dalam artinya yang luas. Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa:

“Menurut artinya yang sempit, yaitu badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum

3

Ibid

.

, Hal

. 59.

4

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991), Hal. 13.

5

(3)

perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikanya suatu hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh

hukum.”6

Lalu pengertian luas korporasi dalam hukum pidana, Sutan Remy Sjahdeni

mendefinisikan korporasi sebagai berikut:

“Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan

hukum.”7

Berdasarkan hukum pidana sebagai ius constituendum dalam Konsep

Rancangan KUHP Baru Buku I Tahun 2012 Pasal 182 yang menyatakan “Korporasi

adalah sekumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum”.8 Dengan demikian pengertian korporasi

menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian korporasi dalam hukum

perdata, sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non

badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi mempunyai kedudukan

sebagai badan hukum.9

6

Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), Hal. 43

7

Ibid

.

, Hal

. 45.

8Lihat Rancangan KUHP Baru Buku I Tahun 2012. 9

(4)

Perkembangan perundang-undangan khusus diluar KUHPidana, khususnya

tentang subjek hukum pidana, yaitu korporasi perumusannya lebih luas apabila

dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum

pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum atau tidak. Misalnya dalam

tindak pidana subversi dikatakan perserikatan orang adalah maatschap (Pasal 16, 18

dan seterusnya KUHPerdata), firma (Pasal 16 dan seterusnya KUHDagang), dan

perseroan komanditer atau CV (Pasal 19 dan seterusnya dalam KUHDagang)

merupakan badan usaha yang bukan badan hukum.10

Di beberapa negara, badan usaha CV masih dimasukan kedalam kategori

unincorporated business entity.11 Sebagai perbandingan, CV dikategorikan sebagai

bentuk perusahaan maatschap (persekutuan) di Belanda dan sejak tahun 2002,

Pemerintah Belanda telah menyerahkan proposal perubahan peraturan hukum tentang

persekutuan kepada Parlemen Belanda khususnya Bab 13 Buku ke 7 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Dalam hal ini, Belanda melakukan suatu terobosan dengan

memberikan pilihan kepada para pelaku usaha untuk mendirikan suatu persekutuan,

termasuk CV, sebagai suatu badan hukum. Konsep badan hukum ini ditujukan secara

khusus untuk membantu kejelasan status kepemilikan (interest) persekutuan.12

10

Ibid

.

, Hal

. 34.

11

Allen Sparkman, Choice of entity From an Estate Planning Perspective, Colorado Lawyer, 1999, Hal.1.

12

(5)

Badan usaha CV ternyata masih hidup dan berkembang di Indonesia

khususnya bagi pelaku usaha kecil-menengah, 13 walaupun ketentuan-ketentuan

hukumnya masih merupakan produk peninggalan pemerintahan Belanda dan telah

tersedia bentuk perusahaan lain seperti Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat

dengan PT) yang dari sisi pengaturannya jelas memberikan kepastian hukum. Secara

nasional, hal ini tercermin dalam Laporan Kumulatif Penerbitan Tanda Daftar

Perusahaan Departemen Perdagangan sampai tahun 2013 yang menyatakan bahwa

setidaknya terdapat 33.546 jumlah CV.14

Keberadaan CV dalam lalu lintas bisnis telah dikenal masyarakat, terutama

masyarakat pengusaha, sebagai salah satu bentuk badan usaha. Dasar pengaturan CV

terdapat dalam KUHD tidak diatur secara khusus/tersendiri sebagaimana persekutan

firma dan persekutuan perdata (maatschap), ketentuan CV terdapat pada Pasal 19, 20,

21 dan Pasal 32 KUHD. Ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 KUHD yang

mengatur tentang Firma jika dikaji lebih jauh, jelaslah bahwa CV adalah Firma

dengan bentuk khusus. Kekhususan itu terletak pada eksistensi sekutu komanditer

yang tidak ada pada Firma. Firma hanya mempunyai sekutu aktif yang disebut Data ini menunjukan jelas bahwa eksistensi

CV sebagai sebuah badan usaha masih diakui oleh masyarakat pelaku usaha di

Indonesia.

13

Lihat ketentuan mengenai Usaha Kecil Menengah dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha kecil Mikro, Kecil, dan Menengah.

14

(6)

firmant, sedangkan pada CV selain ada sekutu aktif juga ada sekutu komanditer atau

sekutu pasif (sleeping partner).15

Bentuk badan usaha perseorangan seperti Usaha Dagang atau Perusahaan

Dagang adalah bentuk yang paling tua, sederhana dan tumbuh berdasarkan hukum

kebiasaan yang saat ini pendiriannya tidak memerlukan persyaratan formal seperti

pendaftaran di institusi pemerintah tertentu.16 Bentuk perusahaan dagang yang

banyak diminati oleh pelaku usaha adalah bentuk Perseroan Terbatas (PT)17, hal ini

karena terdapatnya sifat pertanggungjawaban terbatas (limited liability) sebagai

bentuk perlindungan hukum terhadap resiko usaha yang dihadapi oleh pemegang

saham maupun direksi dan komisaris.18 Sedangkan beberapa alasan lainnya adalah

proses pendirian PT yang saat ini relatif lebih mudah dengan diterapkannya Sistem

Adminitrasi Badan Hukum atau Sisbakum (yang saat ini telah diganti dengan Sistem

Administrasi Badan Hukum (SABH)), status badan hukumnya yang jelas, atau

keleluasaan untuk mengalihkan kepemilikan didalam perusahaan.19

Akhir-akhir ini muncul kritikan bahwa perkembangan diterapkannya

pertanggungjawaban pidana korporasi telah menyebabkan ketakutan bagi para direksi

15

Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1 Bagian Kedua, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), Hal. 102.

16

Hardijan Rusli, Badan Hukum dan Bentuk Perusahaan di Indonesia, (Jakarta: HUPERINDO, 1989), Hal. 17.

17Biasa disingkat dengan “PT”. Lihat pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

.

18

Ibid, pasal 3 ayat (1), Pasal 97 ayat (5), Pasal 104 ayat (4), Pasal 114 ayat (5) dan Pasal 115

ayat (3). 19

(7)

perusahaan karena mereka dapat dijutuhi hukuman pidana dalam menjalankan

usahanya. Para pakar ada yang berpendapat bahwa hukuman (pemidanaan) bagi

korporasi adalah suatu kekeliruan atau sebuah kesalahan, pertanggungjawaban pidana

tidak efesien dan harus dibatalkan cukup hanya menjatuhkan sanksi pidana dan

meminta pertanggungjawaban kepada individu karyawan/pegawai korporasi dan agen

korporasi. Akan tetapi, harus disadari bahwa korporasi bukan hanya sebagai suatu

entitas fiksi belaka, namun perbuatan (usaha yang dilaksanakannya) sesuatu yang

nyata dan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap individu dan

masyarakat luas.20

Dalam melaksanakan kegiatannya, korporasi yang dalam tulisan ini adalah

Commanditaire Vennootschap (CV) yang merupakan bagian dari masyarakat yang

lebih luas perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi

kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Beberapa peranan yang diharapkan

terhadap korporasi dalam memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna

tersebut dapat diwujudkan dalam kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup,

kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar dan seterusnya akan menciptakan

iklim yang lebih menerima perusahaan tersebut beserta produk-produknya. Peranan

korporasi dalam memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber alam

dan lingkungan hidup harus menyerasikan antara lingkungan hidup dengan

20

“Meminta Pertanggungjawaban Korporasi”,

(8)

pembangunan bukanlah hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.21

Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, kebanyakan

dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga

merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau

melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.

22

Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan dengan

meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentu lingkungan hidup perlu

mendapatkan perlindungan hukum.23

Hukum pidana mengenal asas Legalitas, Nullum Delictum Nulla Poene Sine

Praevia Lege Poenali, yang artinya;” tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu

peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu

delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.”24 Dalam

perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, CV sebagai korporasi dapat

dimintai pertanggungjawabannya, khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi

dalam hukum pidana, ada perumusan yang dibentuk oleh undang-undang, yakni:25

21

Alvi Syahrin, Loc

.

, Cit

.

, Hal

. 60.

yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah

orang. Rumusan ini dianut dalam KUHP (WvS); yang dapat melakukan tindak pidana

22

Baoed Wahono, Penegakan Hukum Lingkungan Melakui Ketentuan-ketentuan Hukum

Pidana, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1996), Hal

. 42.

23

Alvi Syahrin, Op

.

,Cit

.

, Hal

. 62.

24E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Jakarta: UI Press, 1958), hal. 192. 25

(9)

adalah orang dan atau korporasi, tetapi yang dipertanggungjawabkan hanyalah orang.

Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana, maka yang dipertanggungjawabkan

adalah pengurus korporasi. Rumusan seperti ini terlihat dalam Ordonansi Devisa,

Undang-undang Penyelesaian Perburuhan, Undang-undang Pengawasan Perburuhan

dan Peraturan Kecelakaan; dan yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan, adalah orang atau korporasi. Rumusan ini, terdapat dalam

Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Subversi, Narkotika dan Undang-undang

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam perlindungan hukum

bagi lingkungan hidup. Dari sudut pandang hukum lingkungan, kemungkinan

mengatur masalah-masalah lingkungan hidup dengan bantuan hukum pidana sangat

terbatas26. Dalam hal kebijakan lingkungan, tidak dirumuskan dalam bentuk norma

hukum, maka tidak dapat dilakukan penegakan hukum melalui pendayagunaan

hukum pidana. Upaya penegakan melalui sarana hukum pidana lebih merupakan

pelengkap daripada instrumen pengatur.27

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, berarti berbicara mengenai

orang yang melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana memisahkan antara

karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang

melakukan. George P. Fletcher secara lengkap menyatakan:

26

Alvi Syahrin, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan : Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2002), Hal. 2-3.

27

(10)

We distinguish between characteristics of the act (wrongful, criminal) and characteristics of the actor (insane, infant). Indeed, the Model Penal Code builds on this ditinction by defining insanity as a state of non responsibility involving, in part, the absence of “substantial capacity to apreciate the wrongfulness” of the criminal act. This definition would not be coherent unless the issue of responsibility were separable from the isuue of wrongfulness; if non-responsibile acts were nor wrongful, it would not make sense to say the insane actor did not appreciate the wrongfulness of his act28.

Terjemahan Bebas: Kita harus membedakan antara karakter dalam perbuatan (kesalahan, kriminal) dan karakter pelaku (jiwa, tubuh). Termasuk didalam Model Penal Code juga membuat perbedaan ini dengan mendefinisikan jiwa sebagai suatu keadaan yang tidak terlibat bertanggung jawab, termasuk ketiadaannya dalam kapasitas besar untuk mengapresiasikan kesalahan dari perbuatan kriminal. Definisi ini tidak bisa bersifat koheren kecuali masalah mengenai pertanggungjawaban dipisah dari kesalahan; jika perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan bukanlah kesalahan, hal ini tidak berarti bisa dikatakan jiwa pelaku tersebut tidak dinyatakan sebagai perbuatan tanpa kesalahan

Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana

harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, harus dipastikan

dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah

ini sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan.

Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban

pidananya.29 Hukum pidana pada saat sekarang ini seperti yang diketahui, pada

umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan adalah si pembuat, walaupun tidak

selalu demikian. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu dibedakan, yakni mengenai

hal melakukan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.30

28George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, (Oxford University Press, 2000), Hal. 455.

29

Muladi dan Dwija Prayitno, Loc

.

, Cit

.

, Hal

. 66-67.

(11)

Berdasarkan hukum pidana, syarat atau prinsip utama untuk adanya

pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan dan pembuat harus mampu

bertanggungjawab. Definisi kesalahan secara jelas diberikan oleh Remmelink sebagai

pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat – yang menerapkan standar etis yang

berlaku pada waktu tertentu – terhadap manusia yang melakukan perilaku

meyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.31 Hal yang sama juga dikemukakan

oleh Mezger yang mengartikan kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi

dasar pencelaan pribadi terhadap pelaku perbuatan pidana.32 Berdasarkan adagium

facianus quos inquinat aequat yang menyatakan bahwa kesalahan selalu melekat

pada orang yang berbuat salah, maka kesalahan bertalian dengan dua hal, yaitu sifat

dapat dicelanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya

(vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum.33 Mengenai hal ini, Roeslan

Saleh mengatakan bahwa unsur kesalahan tidak hanya kesengajaan atau kealpaan,

tetapi juga kemampuan bertanggung jawab.34

31

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal

. 390.

Sedangkan Sudarto mengatakan bahwa

32

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), Hal. 88.

33Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), Hal. 123.

34

Hatrik Hamzah, Strict Liability dan Vicarious Liability: asas pertanggungjawaban

korporasi dalam hukum pidana Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1966), Hal

.7. dikutip

(12)

disamping mampu bertanggung jawab, kesalahan dan melawan hukum sebagai syarat

pengenaan pidana adalah pembahayaan masyarakat oleh si pembuat.35

Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan

hidup, diatur dalam Pasal 116 UUPPLH yang berbunyi:36

1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama

badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. Badan usaha; dan/atau

b. Orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana

tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam

tindak pidana pidana tersebut.

2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksudkan

dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan

kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja

badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau

pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana

tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Pengaturan dalam Pasal 116 UUPPLH yang meliputi baik badan usaha yang

berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Dalam hal ini CV adalah

35

Ibid

.

, dikutip dari Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, dalam BPHN,

(13)

badan usaha yang bukan berbadan hukum.37

Pada tanggal 15 Maret 2011, terdakwa Sunarno selaku Direktur CV Pasific

Harvest bertindak untuk dan atas nama CV Pasific Harvest melanggar baku mutu air

limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan, dan perbuatan tersebut

dilakukan dengan membuang limbah cair tanpa izin yang sah tanpa melalui proses

IPAL yang benar dan melebihi baku mutu yang berasal dari proses produksi CV yang

keluar dari seluruh pembuangan luar dan dalam yang kemudian menuju Sungai

Traras yang bermuara ke Perairan Selat Bali, serta karakteristik air limbah industri

yang dibuang melalui saluran pembuangan atau outlet adalah berupa cairan, berwarna

kemerah-merahan (darah ikan), licin dan berbau amis seperti bau khas ikan dan juga

terdapat sisa-sisa potongan ikan yang ikut terlarut. Berdasarkan Sertifikat Pengujian Sebagaimana dalam putusan Pengadilan

Negeri Banyuwangi No: 410/Pid.B/2012/PN.Bwi. tentang tindak pidana “Dumping

limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin” oleh sekutu CV Pasific Harvest yang

berdasarkan Akta No.34 Tanggal 20 Agustus 2008 tentang Pemasukan dan

Pengeluaran Pesero Serta Anggaran Dasar CV Pasifik Harvest yang sudah dilegalisir

oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Surat Kuasa tangggal 20 Agustus 2008

tentang Sdr. Sunarno selaku Manager CV Pasifik Harvest bertanggung jawab

terhadap seluruh aktivitas Perusahaan yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri

Banyuwangi.

37

(14)

No.237 S/LKA-MJK/III/11 tanggal 25 Maret 2011 menyebutkan bahwa air limbah

industry CV Pasific Harvest terdapat beberapa parameter yang hasil ujinya melebihi

baku mutu dan dengan kesimpulan hasil analisa parameter tersebut tidak memenihi

Standar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.06 Tahun 2007.

Akhirnya berdasarkan surat peringatan I yang diberikan Bupati Banyuwangi

No: 660/025/429.023/2006 tanggal 16 Januari 2006, Surat Peringatan Perbaikan

Pengelolaan Lingkungan dari Sekda Banyuwangi No: 660/5858/429.023/2008

tanggal 15 Agustus 2008 kepada CV Pasific Harvest, terdakwa selaku Direktur CV

Pasific Harvest sudah mengetahui kewajiban untuk mengelolah limbah air tersebut,

namun kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, serta pengelolahan limbahnya melebihi

ambang batas baku mutu yang ditentukan dan proses pembuangan limbah industri

CV Pasific Harvest yang dibuang ke media lingkungan tanpa melalui proses

pengelolaan IPAL yang benar. Sehingga melalui perbuatan terdakwa tersebut

melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 100

ayat (1) UURI No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup. Dengan terbuktinya secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “Dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin”, Pengadilan Negeri

Banyuwangi mengadili dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa Sunarno selaku

Manager CV Pasific Harvest yang bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas

Perusahaan.38

(15)

Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, pertanggungjawaban pidana badan

usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberi perintah

untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin

kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH

menetapkan bahwa: “Apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang berdasarkan

hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam ruang lingkup

kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau

pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut

dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”39

Memperhatikan ketentuan pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang

menetapkan: “kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan

hidup serta mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup” dan

berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup,

dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”, dan ketentuan Pasal 116

UUPPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dibidang

lingkungan hidup dikenakan kepada badan usaha dan para pengurusnya secara

bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan

terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.40

39

Alvi Syahrin, Loc

.

, Cit

.

, Hal

. 64.

40

(16)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang ini meskipun mengatur

tentang alasan penghapusan pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan

pengertian yang jelas tentang makna dari alasan penghapusan pidana. Pengertiannya

hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda). Menurut

sejarahnya yaitu melalui M.v.T (Memorie van Toelichting) mengenai alasan

penghapusan pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat

dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya

seseorang”. Hal ini berdasarkan pada dua alasan, yaitu:41

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada

diri orang tersebut, dan

2. Alasan tidak dapat dipertangungjawabkannya seseorang yang terletak di luar

dari diri orang tersebut.

Selain penghapusan pidana yang dibedakan menjadi alasan pembenar – alasan

pemaaf dan alasan yang berada dalam diri pelaku – alasan yang berada di luar diri

pelaku, pembagian alasan penghapus pidana lainnya adalah alasan penghapus pidana

umum dan alasan penghapus pidana khusus. Alasan penghapus pidana yang umum

adalah alasan penghapus pidana yang terdapat baik didalam KUHP maupun diluar

KUHP.42

Fletcher menyatakan bahwa dalam alasan pembenar, perbuatan pelaku telah

memenuhi ketentuan larangan sebagaimana diatur didalam undang-undang, namun

41Hamdan, Alasan Penghapus Pidana, (Bandung: Refika Aditama, 2012), Hal.27-28. 42Eddy O.S. Hiariej, Op

.

(17)

masih dipertanyakan apakah perbuatan tersebut dapat dibenarkan ataukah tidak;

dalam alasan pemaaf, perbuatan salah, akan tetapi masih dipertanyakan apakah

pelaku dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak. Alasan pembenar membicarakan

tentang kebenaran dari suatu perbuatan; alasan pemaaf mempertanyakan apakah

pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang salah.43

Alasan penghapus pidana dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf

memiliki arti penting dalam kaitannya dengan delik penyertaan. Jika dua orang atau

lebih melakukan suatu perbuatan pidana dan salah seorang dilepaskan dari tanggung

jawab pidana karena terdapat alasan pembenar, maka semua pelaku peserta lainnya

juga harus dibebaskan. Sebaliknya, jika dua orang atau lebih melakukan suatu

perbuatan pidana dan salah seorang dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena

alasan pemaaf, maka tidak serta merta pelaku lainnya juga dilepaskan karena alasan

pemaaf. Artinya, alasan pemaaf ini lebih bersifat individual pada diri pelaku.

Dalam

kaitannya dengan alasan penghapus pidana yang pada hakikatnya adalah alasan

penghapus pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa alasan pembenar

menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan, sedangkan alasan pemaaf

menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku.

44

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

43

Ibid

.

, Hal

. 209.

44

(18)

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Commanditaire Venootschap

dibidang lingkungan hidup?

2. Bagaimana alasan pemaaf terhadap pertanggungjawaban Commanditaire

Venootschap dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup?

C. Tujuan Penelitian

Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini

yang menitikberatkan pertanggungjawaban pidana badan usaha berbentuk CV

(Commanditaire Vennootschap) dalam perlindungan dan pengelolahan lingkungan

hidup, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pertanggungjawaban pidana bagi

Commandiatire Venootschap dibidang lingkungan hidup.

2. Untuk mengetahui serta menjelaskan mengenai alasan pemaaf terhadap

pertanggungjawaban Commanditaire Venootschap dalam perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup.

D. Maanfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat yang baik yang bersifat

praktis maupun teoritis.

Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta menjadi bahan kajian lebih

lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penelitian ini juga

(19)

khususnya hukum pidana dan hukum bisnis, serta menambah khasanah kajian

dibidang lingkungan hidup.

Manfaat dari segi praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pembuat kebijakan dalam memformulasikan pertanggungjawaban

pidana bagi Commanditaire Venootschaps dalam hal perlingungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. Bagi aparat penegak hukum diharapkan penelitian ini dapat

menjadi bahan masukan dalam menentukan kebijakan serta langkah-langkah

penanganan dan penyelesaian perkara-perkara yang berkaitan dengan Commanditaire

Venootschap.

E.Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian mengenai

“Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Berbentuk CV (Commanditaire

Venootschap) Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” belum

pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh mahasiswa

terdahulu yang berkaitan dengan pertanggungjawaban badan usaha dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain:

1. Penelitian thesis oleh Zairida pada tahun 2005 dengan judul

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Pencemaran dan Perusakan

Lingkungan Hidup (studi kasus pencemaran sungai Belumai Kabupaten Deli

(20)

2. Penelitian thesis oleh Barus Kariawan pada tahun 2011 dengan judul

Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana ataupun tindak pidana lingkungan hidup, namun aspek

yang dibahas berbeda. Maka penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian

yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan

nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat

dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konseptual

1. Kerangka Teori

Commanditaire Venootschap atau CV adalah suatu bentuk badan usaha yang

cukup banyak dan populer dalam masyarakat Indonesia. Jumlahnya mencapai

puluhan ribu perusahaan. Bentuk usaha ini bermula diformulasikan kembali dalam

kodifikasi Napoleon Code yang mengangkatnya dari bentuk badan usaha abad

pertengahan di Eropa, Napoleon Bonaparte menguasai Eropa termasuk Negeri

Belanda. Berdasarkan asas Konkordasi Hukum Belanda kemudian berlaku di Hindia

(21)

Penelitian ini menggunakan teori principal agent relationship45

Dalam Hukum Indonesia, hubungan principal-agent relationship ini diatur

didalam Pasal 1792 KUHPerdata tentang Hubungan Pemberian Kuasa dan kemudian

diatur khusus dalam Pasal 76 KUHD tentang Komisioner dalam hal perusahaan.

Pasal 76 KUHD mendefinisikan komisioner sebagai seseorang yang

menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup

persetujuan atas nama atau firma itu sendiri, namun dengan amanat dan tanggungan

orang lain dan dengan menerima upahan atau provisi tertentu.

yang mengkaji

hubungan hukum antara dua jenis sekutu dalam CV, yakni sekutu pengurus yang

sangat mengetahui jalannya badan usaha dan sekutu komanditer yang tidak terlalu

mengetahui jalannya badan usaha. Hal ini yang memperbesar terjadinya

kecenderungan penyalahgunaan kewenangan (moral hazard) yang dilakukan oleh

sekutu pengurus terhadap jalannya perusahaan.

Hubungan principal-agent relationship dalam pertanggungjawaban

sekutu-sekutu dalam badan usaha berbentuk CV dapat dilihat bagaimana

pertanggungjawaban para sekutu dalam CV (sekutu komanditer dan sekutu

kompelementer) apabila dalam kegiatannya dalam menjalankan usahanya, terjadi

45Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fifth Edition, (New York: Aspen Law & Bussiness, 1998), Hal.25. Lihat juga Eric A. Posner, Agency Models in Law and Economics, Chicago Lectures in Law and Economics, (New York: Foundation Press, 2000), Hal.225. menyebutkan bahwa

Agency Relationship juga dapat diartikan sebagai perjanjian dimana satu pihak (principal) meminta

(22)

tindak pidana dibidang lingkungan hidup, maka dapat diidentifikasikan bagaimana

pertanggungjawaban bagi para sekutu dalam CV itu. Hal ini dikarenakan didalam

CV, sekutu dapat menyerahkan inbreng berupa modal, tenaga dan kerajinan maupun

dengan pikiran, dan apabila sekutu dalam CV lalai menjalankan kewajibannya, maka

sekutu tersebut harus bertanggungjawab dan mengganti kerugian yang diderita

persekutuan akibat kelalaiannya.46 Serta pertanggungjawaban pidana badan usaha

dapat dimintakan kepada badan usaha, dan orang yang memberikan perintah untuk

melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin

kegiatan dalam tindak pidana tersebut.47 Dalam hal ini, maka sekutu komanditerlah

yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun sekutu komanditer hanya dapat

dimintai pertanggungjawabannya sebatas ganti rugi terhadap tindak pidana

lingkungan hidup yang terjadi dalam tindakan badan usaha tersebut. Sekutu

komplementer dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindak pidana tersebut

sebagai orang yang menjalankan badan usaha tersebut. Mengingat asas “tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan”, maka pembuat dapat

dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.48

46

Lihat Pasal 19 ayat (2) jo

.

Pasal 16 KUHD jo

.

Pasal 1647 KUHPerdata.

Pertanggungjawaban pidana

korporasi didasarkan kepada doktrin respondeat superior, suatu doktrin yang

menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan tindak pidana dan

memiliki kesalahan. Hanya agen-agen yang bertindak untuk dan atas nama korporasi

47

Alvi Syahrin, Loc

.

, Cit

.

, Hal

.64.

(23)

saja yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan,49

Dalam Konsep Rancangan KUHP 2012, korporasi diatur didalam Pasal 47

sampai dengan Pasal 53. Berdasarkan Pasal 47, korporasi merupakan subjek tindak

pidana, sedangkan dalam Pasal 48 Konsep Rancangan KUHP tindak pidana

dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk

dan atas nama korporasi berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain

dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Pasal 49 Konsep Rancangan KUHP menyatakan bahwa jika tindak pidana dilakukan

oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya. Adapun didalam Pasal 50 Konsep Rancangan KUHP menyatakan

bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu

perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut

termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana dalam anggaran dasar atau ketentuan

lain.

sebagaimana

dalam CV adalah sekutu komplementer.

50

Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup

diatur didalam Pasal 116 UUPPLH. Pada Pasal 116 UUPPLH menyebutkan apabila

tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha,

tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. Badan usaha; dan/atau

49

Ibid

.

, Hal

. 100.

50

(24)

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau

orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

dan dalam pasal 118 UUPPLH menyebutkan : Terhadap tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a UUPPLH, sanksi pidana dijatuhkan

kepada badan usaha dalam hal ini adalah CV yang diwakilkan oleh pengurus yang

didalam CV adalah para sekutu komanditer dan sekutu komplementar yang

berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH ini, pertanggungjawaban pidana badan

usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberikan

perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai

pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.51 Pertanggungjawaban pidana

pengurus korporasi yang berbentuk CV ini dibatasi sepanjang pengurus mempunyai

kedudukan fungsionalis dalam struktur organisasi korporasi. Sedangkan didalam

Pasal 53 Rancangan KUHP 2012 menyatakan bahwa alasan pemaaf yang diajukan

oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan

oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan

yang didakwakan kepada korporasi.52

51

Alvi Syahrin, Op

.

, Cit

.

, Hal

. 64.

52

(25)

2. Konsep

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan

dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka

konseptual sebagaimana yang terdapat dibawah ini.

a. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan

terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang

meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendallian, pemeliharaan, pengawasan

dan penegakan hukum.53

b. Persekutuan komanditer adalah perseroan yang terbentuk dengan cara

meminjamkan uang atau disebut juga dengan perseroan komanditer, didirikan

antara seorang atau antara beberapa orang persero yang bertanggungjawab secara

tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai

pemberi pinjaman uang

54

, bandingkan dengan pengertian Limited Partnership

menurut Black Law’s Dictionary sebagai “a partnership composed of one or

more persons who control the business and are personally liable for the

partneship’s debts (called general partner), and one or more persons who

contribute capital and share profits but who cannot manage the business and are

liable only for the amount of their contribution (called limited partners)”.55

53Lihat Pasal 1 ayat (2) UUPPLH. 54Lihat Pasal 19 KUHD.

(26)

c. Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku

dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana serta berdasarkan

kejiawaanya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya.

d. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa.

Alasan pemaaf ini menyangkut pribadi pelaku dalam arti bahwa orang ini tidak

dapat dicela menurut hukum, dengan kata lain ia tidak bersalah dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum56

e. Perusahaan diartikan sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap

dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik

yang diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam

wilayah Negara Republik Indonesia.

f. Sekutu pengurus, sekutu komplementer, atau sekutu aktif adalah sekutu yang

melakukan pengurusan terhadap persekutuan dan bertanggung jawab sampai

harta pribadi (tidak terbatas) terhadap seluruh utang dan kerugian perusahaan.57

g. Sekutu komanditer, sekutu pasif atau sekutu pelepas uang adalah sekutu yang

hanya memasukan atau memberikan modal berupa uang atau barang dan

memiliki tanggung jawab terbatas sejumlah modal yang diberikannya kepada

persekutuan (tanggung jawab terbatas).58

56Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), Hal. 139. 57Lihat Pasal 19 ayat (1) jo. Pasal 18 KUHD.

(27)

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum/normatif, yakni

suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika

keilmuan dari sisi normatifnya.59 Penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai

asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

perjanjian serta doktrin (ajaran).60

Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan

yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual

(conseptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan

menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan masalah

“Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Berbentuk CV (Commanditer

Vennootschap) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.

61

59

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), Hal.57.

Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini,

karena yang menjadi pusat perhatian utama dalam penelitian ini adalah kebijakan

dalam menetapkan dan merumuskan pertanggungjawaban badan usaha CV dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, penelitian ini

60

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hal. 34.

61

Bandingkan dengan Johny Ibrahim, Op

.

Cit

., Hal 302 dan Mukti Fajar ND dan Yulianto

(28)

menitikberatkan kepada peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan

kegunaan dari metode penelitian hukum/normatif, yaitu untuk mengetahui dan

mengenal apakah dan bagaimanakan hukum positifnya mengenai suatu masalah

tertentu.62

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini didasarkan pada bahan hukum yang bersumber dari tulisan-tulisan

yang berkaitan dengan tesis ini. Adapun sumber bahan hukum yang dimaksud,

diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis,

yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, risalah resmi, dan dokumen

resmi negara yang terkait dengan pelanggaran korporasi terutama pelanggaran

terhadap tindakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang

dilakukan oleh CV. Dalam penelitian ini diantaranya adalah UUPPLH, KUHP,

KUH Perdata dan KUHD.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat digunakan untuk

menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada, seperti buku-buku,

jurnal-jurnal hukum, hasil penelitian, karya tulis ilmiah, beberapa sumber dari

internet yang berkaitan dengan penelitian tesis ini.

62

(29)

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang

memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan

sekunder, serta bahan-bahan primer, seperti kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan teknik

penelitian kepustakaan (library research). Teknik penelitian kepustakaan dilakukan

dengan mengumpulkan bahan hukum melalui studi kepustakaan terhadap

undang-undang, literatur-literatur, serta tulisan-tulisan pakar hukum yang berkaitan dengan

penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh dengan menggunakan penelitian studi

kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, kemudian diuraikan dan

dihubungkan sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

4. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis

secara kualitatif, yakni dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, juga dengan

analisis konten dengan melakukan penafsiran terhadap norma-norma, doktrin, dan

pasal-pasal didalam undang-undang yang relavan dengan permasalahan. Selanjutnya

bahan hukum dikelola dengan deskriptif-analisis, yaitu dengan menarik kesimpulan

dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap masalah yang konkret yang

dihadapi, selanjutnya bahan hukum yang dianalisis untuk melihat pola kecendrungan

dalam penanganan pertanggungjawaban CV dalam perlindungan dan pengelolaan

(30)

hukum dalam penyusunan perundang-undangan badan usaha dan lingkungan hidup

secara tepat.

H. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus

diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan tesis ini, maka

diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab

yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah:

BAB I :PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang didalamnya

terurai mengenai latar belakang penelitian tesis, perumusan masalah,

kemudia dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, keaslian

penelitian, kerangka teori dan landasan konseptual, metode penelitian,

yang diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II :COMMANDITER VENNOOTSCHAP (CV) SEBAGAI BADAN

USAHA

Dalam bab ini menguraikan tinjauan umum tentang Comanditaire

Vennootschap, dan juga menguraikan tentang commanditaire

vennootschap sebagai badan usaha.

BAB III :KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB COMMANDITAIRE

VENNOOTSCHAP SEBAGAI BADAN USAHA TERHADAP

(31)

Pada bab ini menguraikan mengenai kewajiban sekutu complementer

dan sekutu commanditer. Bagaimana tanggung jawab sekutu

complementer dan sekutu commanditer, dan bagaimana kewajiban dan

dan tanggung jawab CV sebagai badan usaha terhadap perlinduungan

dan pengelolaan lingkungan hidup, serta menguraikan bagaimana

pertanggungjawaban pidana bagi commanditaire vennootschap di

bidang lingkungan hidup.

BAB IV :ALASAN PENGHAPUS PIDANA COMMANDITAIRE

VENNOOTSCHAP DALAM PERLINDUNGAN DAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Bab ini menjelaskan bagaimana alasan penghapus pidana bagi

pertanggungjawaban commanditaire vennootshap, dan juga

menguraikan bagaimana alasan pembenar dan pemaaf dalam

pertanggungjawaban commanditer vennootschap dalam perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB V :KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah

dibahas sebelumnya dan juga saran-saran yang berguna bagi

penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana badan usaha berbentuk CV

(Commanditaire Vennootschap) dalam perlindungan dan pengelolaan

Referensi

Dokumen terkait

Serial Modul Diklat Jabatan Fungsional Pengembang Teknologi Pembelajaran (Diklat JF-PTP) 10 Bagaimana pembatasan masalahnya? Misal penelitian ini dibatasi hanya kepada

Dengan membandingkan nilai t tersebut maka t hitung lebih besar dari pada t tabel artinya hipotesis kerja diterima yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar

Dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk menguji pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan Deposit Ratio (LDR) dan Non Performing Loan (NPL) terhadap

a) Masalah itu menunjukkan suatu kesenjangan antara teori dan fakta empirik yang dirasakan dalam proses pembelajaran. b) Masalah tersebut memungkinkan untuk dicari dan

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, sabun cuci tangan cair dapat dibuat dengan lebih mudah karena bahan baku yang mudah diperoleh serta harganya yang terjangkau.. Bahan

Penelitian ini dilakukan pada remaja dan ibu-ibu rumah tangga di Kelurahan Sungai Miai Dalam, Kecamatan Banjarmasin Utara yang menjadi pendengar program

Dengan adanya aplikasi ini diharapkan dapat lebih menarik perhatian atau minat belajar pada anak, sehingga pengetahuan mereka dapat bertambah tidak hanya dalam bidang tata surya

Aplikasi ini mempunyai empat prosedur, yaitu penginputan data, penginputan jenis ayam, transaksi pemesanan, dan pencetakan laporan. Dalam penulisan ini, digunakan flowchart