FUNGSI MEDIASI PERBANKAN BANK INDONESIA
DAN KENDALANYA
A. LATARBELAKANG
Perbankan merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi di Indonesia yang
mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yangdiatur dalam
Pasal 3 Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan.1 Di dalam sistem hukum
Indonesia, segala bentuk praktek perbankan berdasar kepada prinsip-prinsip yang terkandung
dalam ideologi negara Indonesia yakni Pancasila dan Tujuan Negara Indonesia dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan yuridis formal mengenai eksistensi perbankan dimulai sejak
lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan dan
selanjutnya dengan Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Sebagai badan usaha, kehadiran bank di masyarakat memiliki peran yang sangat strategis
dalam proses pembangunan nasional. Arti dan peran perbankan terlihat dari pengertian bank itu
sendiri yakni badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem
keuangan setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang
perseorangan, badan-badan usaha swasta dan negara. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai
jasa lainnya, bank berperan serta dalam mekanisme pembayaran bagi semua sektor
perekonomian. Prasarana perbankan Indonesia setelah reformasi mengalami perkembangan yang
sangat cepat. Untuk mengatasi sengketa atau permasalah hukum yang terjadi dalam perbankan
maka terdapat upaya penyelsaian yang sering dikenallitigas dan non litigasi.2 Upaya hukum
litigasi merupakan penyelsaian melalui pengadilan, sedangkan non litigasi merupakan upaya
penyelsaian sengketa diluar pengadilan yang terdiri dari mediasi, konsolidasi dan arbitrase. Oleh
karena itu, diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya
adalah arbitrase dan mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan
Mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan
diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Bertitik tolak pada pemaparan diatas penulis terdorong
menggkaji lebihdalam tentang “PERANAN BI DALAM UPAYA MENJALANKAN FUNGSI
MEDIASI PERBANKAN“
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah peranan BI dalam menjalankan fungsi mediasi perbankan ?
2. Bagaimankah faktor penghambat dalam upaya mediasi perbankan?
C. KONSEP DAN PENGERTIAN MEDIASI
Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak
luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka
(yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. “Mediation is
a process in which two or more people involved in a dispute come together, to try to work out a
solution to their problem with the help of a neutral third person, called the “Mediator”. 3
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu
para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela
terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan. Pengertian mediasi dalam
pengintegrasiannya dalam sistem peradilan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 1 butir 6
adalah:
a. Proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan antara pihak yang
berperkara,
b. Perundingan yang dilakukan para pihak, dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan
berfungsi:
c. Sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial), dan
d. Berfungsi sebagai pembantu dan penolong (helper) mencari berbagai kemungkinan atau
alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling meguntungkan kepada para
pihak.
Dari perumusan-perumusan diatas dapat disimpulkan bahwa, mediasi merupakan proses
penyelsaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah sengketa yang
kewenangannya berbeda dengan kewenangan hakim untuk memutus sengketa perkara. Tugas
dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak--pihak yang bersengketa
dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan kesepakatan tentang hal-hal yang
disengketakan. Tujuan upaya mediasi :
a. Membantu mencarikan jalan keluar/alternative penyelesaian atas sengketa yang diantara
para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
b. Dengan demikian proses negosiasi adalah proses yang forward looking dan bukan
backward looking. Yang hendak dicapai bukanlah mencari kebenaran dan/atau dasar
hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. “The goal is not truth
finding or law imposing, but problem solving”
c. Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya komunikasi yang lebih baik
diantara para pihak yang bersengketa.
d. Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat mendengar, memahami alasan/
penjelasan/ aurgumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan pihak yang lain.
e. Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa
marah/bermusuhan antara pihak yang satu dengan yang lain.
f. Memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan hal ini diharapkan dapat
mendekatkan cara pandangdari pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu kompromi
yang dapat diterima para pihak.4
a) Latar belakang dan tujuan dari mediasi
Ada beberapa macam bentuk penyelesaian perkara melalui perdamaian yakni salah satu
diantaranya ialah mediasi. Mediasi merupakan salah satu bagian proses penyelesaian perkara
melalui perdamaian yang bersifat pendekatan nurani dan moral, bukan berdasarkan hukum.
Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBG mengenal dan menghendaki
penyesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi: “Jika pada hari yang
ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua
mencoba akan memperdamaikan mereka. Selanjutnya, ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian
yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta)
tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjan yang diperbuat itu,
surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini, sistem yang diatur hukum acara dalam
penyelesaian perkara yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, hampir sama dengan court
conected arbitration system:
1. Pertama-tama, hakim membantu atau menolong para pihak yag berperkara untuk
menyelesaikan sengketa dengan perdamaian,
2. selanjutnya, apabila tercapaai kesepakatan diantara penggugat dan tergugat:
a. kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditanda tangani
oleh para pihak;
b. terhadap perjanjian perdamaian, dibuat akta berupa putusan yang dijatuhkan pengadilan
Jadi, hampir tidak ada bedanya dengan court connected arbitration system. Seolah-olah
perjanjian perdamaian itu merupakan putusan hakim dalam kedudukannya sebagai arbiter.
Berarti, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG lebih
menghendaki penyelesaian perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa. Lebih
menghendaki penerapan proses win-win solution yaitu sama-sama menang daripada penerapan
winning or losing, yaitu menang atau kalah.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya bertitik tolak dari eksistensi Pasal 130
HIR dalam hukum acara dalam perdata menunjukkan sejak jauh hari sebelum sistem ADR
dikenal pada era sekarang, telah dipancangkan landasan yang menuntut dan mengarahkan
penyelesaian sengketa melalui jalan perdamaian. Mediasi dianggap lebih efektif dikarenakan :
a. Proses mediasi lebih cepat atau expited procedure, dalam arti prosedurnya cepat, tidak
formalistis, dan tidak teknikal,
b. Biaya murah atau minimal cost, pada dasarnya tidak memerlukan biaya dibanding proses
litigasi atau arbitrase yang biayanya relatif lebih mahal atau sangat mahal, dan
c. Dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau
dapat memberi penyelesaian yang lebih memuaskan atas penyelesaian sengketa, karena
penyelesaian lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan
berdasarkan perundingan dan kesepakatan daripada pendekatan hukum.
b) Ruang Lingkup Tahap mediasi
Tahap mediasi substansinya meliputi penyampaian fotokopi dokumen yang diperlukan,
penentuan jadwal pertemuan, fungsi mediator, proses mediasi, mengundang ahli, dan
sebagainya.
Berdasarkan Pasal 8 PERMA No. 2 Tahun 2003, tahap mediasi dimulai dari tanggal
terpilihnya mediator oleh para pihak atau dari tanggal ditunjuknya mediator oleh ketua
majelis. Terhitung dari tanggal itu, timbullah kewajiban hukum para pihak melaksanakan dan
menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara dan fotokopi surat-surat yang
diperlukan sebagai surat-surat bukti. Dalam sistem mediasi yang berlaku secara umum,
dalam formulir permohonan mediasi, tercantum secara lengkap minimal hal-hal berikut:
Masalah yang disengketakan,
Penyelesaian yang diinginkan,
Ganti rugi atau pemulihan yang diminta
b. Kewajiban dan peran mediator
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan Proses mediasi mesti dihadiri oleh para pihak
Berwenang melakukan pertemuan antara mediator
Mediator berfungsi dan berperan sebagai pembantu yang bersifat netral dan tidak
memihak
Dapat mengundang para ahli yang kompeten dalam bidang tertentu. 5
c. Sistem Proses Mediasi
Mengenai sistem atau tata cara pertemuan perundingan (negosiasi) proses mediasi diatur
dalam pasal 1 butir 11 dan Pasal 14 PERMA No.2 Tahun 2003. Bertitik tolak dari ketentuan
pasal-pasal tersebut, terdapat 3 (tiga) sistem pertemuan.
Tertutup untuk umum, Sistem ini merupakan prinsip dasar. Hal ini ditegaskan dalam
pasal 14 ayat
PERMA No.2 Tahun 2003 yang berbunyi:
Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak yang
menghendaki lain.
Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak
Dalam peradilan disebut open court, yaitu sidang pengadilan dinyatakan terbuka untuk
umum. Kebolehan melakukan proses proses pertemuan mediasi terbuka untuk umum menurut
pasal 14 ayat (1) PERMA No.2 Tahun 2003:
a. Apabila para pihak menghendaki, dalam arti para pihak menghendakinya;
b. Kehendak atau persetujuan itu, harus dinyatakan dengan tegas (expressis verbis)
c. Sengketa publik mutlak terbuka untuk umum
Sistem proses mediasi yang ketiga, mutlak terbuka untuk umum. Cara ini ditegaskan
dalam pasal 14 ayat (2) PERMA No.2 Tahun 2003 yang berbunyi: Proses mediasi untuk segala
sengketa publik terbuka untuk umum.” Syarat untuk melakukan proses mediasi mutlak terbuka
untuk umum (disclosure):
a) Apabila objek mediasi sengketa publik,
Berdasarkan pasal 1 butir 11, apabila objek mediasi sengketa publik, anggota masyarakat dapat
hadir atau mengamati, atau masyarakat dapat mengakses informasi yang muncul dalam proses
mediasi
b) Sedang yang dikategorikan atau diklasifikasikan sengketa publik disebut secara enumeratif
atau satu per satu dalam pasal 1 butir 9, terdiri dari:
(1) lingkungan hidup,
(3) perlindungan konsumen,
(4) pertanahan, dan
(5) perburuhan yang melibatkan kepentingan banyak buruh
D. MEDIASI PERBANKAN
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, yang dimaksud dengan Mediasi
Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak
mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa
guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan. 6 Dalam praktek dikenal berbagai
bentuk penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi. Namun,
pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak memilih penyelesaian melalui proses litigasi di
Pengadilan Negeri, baik melakukan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun
terdapat banyak kendala yang sering dihadapi. Kendala tersebut antara lain lamanya
penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya
unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung. 7
Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah
merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan
kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik
sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya
6 Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan
pengaduan nasabah. Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka
berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung
berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di
berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media
tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan
kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin
terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu
yang memadai, maka Bank Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian
pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. Namun,
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/7/PBI/2005 ini tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan
tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi
menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai
kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan
mediasi adalah sebagai berikut:
a) Mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan
proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak
diperlukan gugatan ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih
b) Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap
menjaga hubungan kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya
persengketaan diantara mereka.
c) Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia
dituangkan dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 yang pada intinya mencakup hal-hal sebagai berikut: 8
1. Nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi kepada Bank
Indonesia.
2. Proses mediasi dilakukan oleh Bank Indonesia hanya dengan sengketa dengan nilai klaim
maksimum sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Pelaksanaan proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi (agreement to
mediate) sampai dengan penandatanganan akta kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan
30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank.
Sengketa yang diselesaikan melalui Mediasi Perbankan dibatasi pada Sengketa yang
memiliki nilai tuntutan finasial paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan tidak
merupakan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immateriil. Proses Mediasi
Perbankan adalah sebagai berikut : Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan upaya
penyelesaian kepada Bank secara tertulis (bukti tanda terima pengaduan atau tanggapan Bank).
Dalam hal nasabah belum menerima penyelesaian Bank, Nasabah mengajukan secara tertulis
kepada Bank Indoensia disertai dokumen pendukung. Sengketa yang diajukan tidak sedang
dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum
terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya. Sengketa yang diajukan
merupakan sengketa keperdataan. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi
perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak
melebihi 60 (enampuluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang
disampaikan Bank kepada Nasabah. Bank Indonesia memanggil, mempertemukan, mendengar
dan memotivasi nasabah dan Bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi
atau keputusan. Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate)
yang memuat. Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani
oleh Nasabah dan Bank. Pelaksanaan proses Mediasi sampai dengan ditandatanganinya Akta
Kesepakatan dilakkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Nasabah
dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate). Jangka waktu proses
Mediasi dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan
kesepakatan Nasabah dan Bank. Kesepakatan antara Nasabah dan Bank yang dihasilkan dari
proses mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah dan
Bank. Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa perbankan yang telah dituangkan
dalam Akta Kesepakatan.
Sedangkan syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan
(Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006), yaitu:
1. Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;
2. Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;
3. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga
arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga
4. Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;
5. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi Perbankan yang difasilitasi
oleh Bank Indonesia; dan
6. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal
surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.
Menurut Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, tahap-tahap
dari proses mediasi perbankan adalah :
a) Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepadaBank Indonesia
dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah ( Pasal 7 Ayt 1)
b) Bank Indonesia memanggil bank yang tersangkut (Pasal 7 Ayat 2).
c) Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank
menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) (Pasal 9 Ayat 1).
d) Pihak Bank Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani
oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank (Pasal 9 Ayat 2).
Adapun isi Perjanjian Mediasi adalah :
Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternative penyelesaian Sengketa; dan Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.(2) Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang
Dasar hukum dari kewenangan Bank Indonesia sebagai lembaga yang menaungi Mediasi
Perbankan diatur dengan suatu Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu PBI No. 10/1/PBI/2008
tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan pasal 2 yaitu :
a) Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang
dibentuk asosiasi perbankan.
b) Dihapuskan.
c) Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga mediasi perbankan independen melakukan
koordinasi dengan Bank Indonesia.
d) Sepanjang lembaga mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum dibentuk, fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Dengan dihapuskannya pasal 3 ayat (2) ini membuat asosiasi perbankan mempunyai
cukup waktu untuk merumuskan pembentukan lembaga mediasi perbankan yang independen
yang dapat menjembatani kepentingan nasabah dan bank dengan seadil-adilnya tanpa tendensi
untuk memihak salah satunya. Sehingga diharapkan dengan tidak adanya batas waktu
pembentukan lembaga ini, asosiasi perbankan akan dapat dengan arif membentuk lembaga
mediasi yang dapat melindungi kepentingan nasabah.
E. PERANAN BI DALAM MENJALANKAN FUNGSI MEDIASI PERBANKAN.
BI telah menetapkan enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API) demi terwujudnya
perbankan yang sehat kuat dan efisiensi guna menciptakan kesetabilan sistem keuangan dalam
rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Keenanam pilar API tersebut terdiri dari,
struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang efektif, industri perbankan yang kuat,
Dalam rangka merealisasikan pilar keenam yaitu perlindungan konsumen, BI telah
berusaha untuk melakukan peningkatan perlindungan dan pemberdayaan nasabah dengan
meningkatkan transparasi produk, menyediakan layanan penyelsaian pengaduan dan
ditingkatkan dengan mediasi perbankan serta upaya untuk mengedukasikonsumen. Mekanisme
penyelsaian sengketa antara nasabah dan bank ditempuh melalui dua tahap. Pertama, bank wajib
menyelsaikan terlebih dahulu sengketa dengan nasabahnya susuai Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 7/7/PBBI/2005 tentang Penyelsaian Pengaduan Nasabah. Kedua, apabila sengketa
belum diselsaikan terlebih dahulu sengketa dengan baik, nasabah bank dapat mengajukan
permohonan sengketa melalui mediasi yang difasilitasi oleh BI sesuai PBI No. 8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan. 9
Sebagai upaya lebih lanjut yang dilakukan oleh BI dalam upaya penegakan hukum dalam
hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank adalah menjadi pelaksana mediasi perbankan.
Dalam mewujudkan upaya perlindungan konsumen dengan menyediakan layanan mediasi
perbankan, BI telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)No.10/1/PBI/2008 tentang
perubahan dari (PBI) No.8/5/PBI/2006 . penyelesaian pengaduan nasabah tidak selalu dapat
memuaskan dan mengakomodir kepentingan nasabah karena penyelsaian konflik tersebut tidak
melibatkan nasabah melaikan diputuskan secara sepihak oleh bank. Dengan alasan tersebut,
maka BI menyediakan mekanisme mediasi perbankan. Hal ini bertujuan agar setiap potensi
sengekta yang dapat merugikan nasabahdan reputasi bank segera dibatasi. Mediasi dipilih karena
selain dapat dipilih karena selain dapat menyelsaikan sengketa dengan cepat, murah efektif juga
menjaga agar reputasi bank tidak rusak karena ekspos terhadap konflik bank yang bersangkutan
dengan nasabahnya. Tindakan kongkrit yang dilakukan BI dalam rangka penegakan hukum
dalam hal terjadi sengketa perbankan ini di antaranya adalah dengan pembentukan Direktorat
Investigasi dan Mediasi Perbankan yang bertugas menyelenggarakan mediasi antara nasabah
dengan bank serta melakukan investigasi tentang kemungkinan bank melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
F. FAKTOR PENGHAMBAT MEDIASI PERBANKAN
Direktur Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia Purwanti Budiman
menyatakan bahwa jumlah kasus yang ditangani BI dalam proses mediasi sangat minim.
Menurutnya, hal itu disebabkan karena penyelesaian sengketa dengan cara mediasi belum
membudaya dikalangan masyarakat termasuk dalam nasabah bank dan bank itu sendiri. Faktor
lainnya adalah nasabah kurang memahami kasus posisi yang sebenarnya, nasabah juga tidak bisa
memberikan dokumen yang lengkap. Selanjutnya, BI kesulitan untuk menghubungi pejabat di
bank yang berkompeten untuk dipanggil dan menjalani proses mediasi. Seringkali, utusan yang
dikirim oleh bank tidak memiliki kewenangan memutus. Hal ini berakibatkan proses mediasi
tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya sehingga proses mediasi tidak berjalan secara efektif
dan membutuhkan waktu yang lama.10
Fakta dilapangan menunjukan bahwa masih banyak pejabat bank yang belum mengetahui
ketentuan mediasi perbankan . Fakor penghambat selanjutnya datang dari advokad. Walaupun
hal ini relatif jarang terjadi, namun kadang seorang advokad yang diminta pendapat oleh nasabah
tentang sengketa dengan bank menyarankan agar perkara tersebut dibawa kepengadilan. Dengan
demikian, ini merupakan salah satu bentuk upaya penghindaran terhadap mediasi perbankan.
Hambatan juga datang dari dalam operasional mediasi perbankanr itu sendiri. Dengan institusi
lembaga penyelsaian sengketa perbankan yang dilaksanakan oleh BI tersebut bisa mempengaruhi
sikab dan prilaku BI lebih merasa sebagai hakim dalam penyelsaian sengketa nasabah dari pada
sebagai mediator.
Dalam menghadapi kendala tersebut perlu dilakukan upaya yaitu pengenalan mediasi
perbankan kepada karyawan atau delegasi bank, mensosialisasikan mediasi perbankan kepada
nasabah dan masyarakat serta bekerjasama dengan pihak ketiga dan penyamaan persepsi. Dan
Akta kesepakatan mediasi perbankan tidak memiliki suatu kekuatan eksekutorial sama sekali
terhadap kesepakatan tersebut, tetapi bersifat mengikat dan final. Namun bukan berarti para
pihak dapat ingkar terhadap apa yang telah disepakatinya, karena ada sanksi administratif oleh
Bank Indonesia apabila dilanggar oleh bank. Dari hasil penelitian Bank Indonesia telah
menjalankan fungsinya sebagai fasilitator mediasi perbankan.
G. LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN INDEPENDEN DI INDONESIA
Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PBI No 8/5/PBI/2006, yang membentuk lembaga mediasi
perbankan independen adalah asosiasi perbankan. Asosiasi perbankan yang membentuk lembaga
mediasi perbankan independen dapat terdiri dari gabungan asosiasi perbankan untuk menjaga
independensinya. Selain dapat pula dilakukan perekrutan dari kalangan bankir. Bank Indonesia
(BI) harus mewajibkan seluruh bank untuk menjadi anggota dari lembaga mediasi perbankan.
Agar mempunyai kekuatan hukum mengikat maka BI perlu membuat PBI tentang kewajiban
Bank menjadi anggota lembaga mediasi. Kemudian untuk menjaga kualitas dari lembaga mediasi
perbankan ini, maka BI dapat memberi akreditasi pada lembaga mediasi perbankan indonesia
Lembaga Mediasi mempunyai kewajiban melaporkan secara berkala pada BI mengenai
sengketa yang pernah dimediasikan. Kemudian dari laporan tersebut BI dapat mengevaluasi
kinerja dari lembaga mediasi perbankan indpendent tersebut dan memberikan akreditasinya.
Untuk prosedur akreditasi, maka BI perlu membentuk PBI tentang akreditasi. Dalam Lembaga
mediasi ini harus ada mediator independen yang dapat memberikan saran sesuai dengan
profesinya masing-masing, misalnya ada konflik antara nasabah dengan bank mengenai masalah
hukum, maka harus ada seorang mediator yang ahli di bidang hukum perbankan.
Kemudian lembaga ini harus berfungsi seperti arbitrase sehingga keputusannya mengikat bagi
kedua belah pihak. Oleh karena itu, hasil dari kesepakatan kedua belah pihak kemudian
didaftarkan pada Pengadilan negeri agar mempunyai kekuatan hokum mengikat.
Dalam mendirikan mediasi perlu diadakan segmentasi mediasi perbankan agar tercipta
parallel institution lembaga mediasi perbankan sehingga masyarakat dapat memilih lembaga
mana yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian pembentukan mediasi
perbankan diharapkan akan memberikan nilai positif baik bagi nasabah maupun bank, yaitu
seperti terciptanya kepastian penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Melalui
mediasi perbankan ini juga akan mendorong terciptanya keseimbangan hubungan antara posisi
nasabah dengan bank.
Tetapi dalam mendirikan Lembaga Mediasi ini terdapat beberapa kendala antara lain
masalah dana. Dana yang diperlukan untuk mendirikan lembaga mediasi perbankan independen
tersebut tentu sangat besar. Pada awalnya, lembaga mediasi perbankan tersebut memerlukan
dana operasional. Apabila biaya ini dibebankan pada bank sebagai anggota dari lembaga mediasi
konsolidasi internal untuk memenuhi modal dan sertifikasi para bankir. Hal ini menyebabkan
konsentrasi modal bank diprioritaskan untuk bank itu sendiri. Dari permasalahan tersebut
terdapat pemikiran apa tidak sebaiknya mediasi perbankan ini dijalankan oleh BI saja. Selama ini
sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan independen, mediasi perbankan dijalankan
oleh BI. BI telah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, pendanaan yang cukup dan
sumber daya berupa mediator yang memperoleh pelatihan dan sertifikasi sebagai mediator dan
mempunyai latar belakang perbankan.
H. PENUTUP
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa Bank
Indonesia telah berperan aktif dalam rangka menjalankan fungsi penegakan hukum dalam hal
terjadi sengketa. BI juga telah berusaha melakukan upaya mewujudkan tersedianya perlindungan
nasabah dengan berperan sebagai pelaksana mediasi perbankan dengan dibentuknya Direktorat
Investigasi dan Mediasi. Selain itu BI sebagai lembaga publik telah menggunakan kekuasaannya
untuk menciptakan fondasi hukum pelaksanaan mediasi perbankan serta pedoman
pelaksanaanya. Fungsi mediasi yang dijalankan oleh BI yang bukan merupakan ruang linkup
berdasarkan fakta jumlah nasabah yang merasa dirugikan oleh bank tidak sedikit dan
membutuhkan upaya hukum yang segera, sehingga mediasi perbankan harus dilaksanakan
karena apabila dibiarkan koflik tersebut akan mengancam reputasi bank yang bersangkutan.
Fakor penghambat yang muncul dari upaya mediasi perbankan mengakibatkan penyelesaian
upaya mediasi tidak maksimal bahkan bisa mengalami kegagalan. Dalam menghadapi kendala
tersebut perlu dilakukan upaya yaitu pengenalan mediasi perbankan kepada karyawan atau
delegasi bank, mensosialisasikan mediasi perbankan kepada nasabah dan masyarakat serta
bekerjasama dengan pihak ketiga dan penyamaan persepsi.
Perlu dibentuknya Lembaga Mediasi Perbankan Independen agar pelaksanaan fungsi mediasi
perbankan dapat lebih Fair dan efisien, sementara lembaga tersebut belum terbentuk. Bi perlu
mensosialisasikan keberadaan mediasi perbankan mediasi perbankan kepada masyarakat dengan
menegasakan kembali kewajiban bank menginformasikan pada nasabahnya akan tersedianya