• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM KEUANGAN PEDESAAN DAN PERTANIAN MELALUI PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) SYARI’AH (BMT: alternatif model LKM Sya’riah) | Najmudin | Mimbar Agribisnis 38 224 2 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SISTEM KEUANGAN PEDESAAN DAN PERTANIAN MELALUI PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) SYARI’AH (BMT: alternatif model LKM Sya’riah) | Najmudin | Mimbar Agribisnis 38 224 2 PB"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM KEUANGAN PEDESAAN DAN PERTANIAN

MELALUI PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) SYARI’AH (BMT; alternatif model LKM Sya’riah)

Oleh

ASEP NAJMUDIN

FAKULKTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BANDUNG RAYA e-mail : najmudinasep@yahoo.com

Abstrak

Dalam era otonomi daerah memerlukan perubahan cara pandang dalam pengelolaan sumberdaya kapital untuk sebesar-besarnya dapat diakses oleh pelaku agribisnis dan agroindustri di pedesaan. Meskipun modal merupakan faktor pelancar pembangunan pertanian, namun tanpa kehadiran modal dalam jumlah dan kualitas pelayanan yang memadai akan menjadi salah satu penghambat dalam peningkatan produktivitas nilai tambah hasil pertanian.

Selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun terakhir alokasi kredit sektor pertanian kurang dari 10 persen dari total kredit yang disalurkan kepada sektor-sektor ekonomi. Sistem perbankan konvensional yang berjalan saat ini sangat mengabaikan sektor pertanian. Alokasi kredit yang timpang tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh rendahnya kemampuan sektor pertanian untuk mengembalikan kredit, tetapi lebih disebabkan oleh keberpihakan yang sangat rendah pada sektor ini dan aturan main (kelembagaan) kredit yang sangat kaku, utamanya bagi petani pelaku agribisnis dan agroindustri. Akses pelaku agribisnis yang rendah pada sumber modal memerlukan kreasi lembaga keuangan yang tepat bagi sektor ini.

Maraknya lembaga keuangan yang bercorak Islam (syari’ah) menjadi satu indikator akan kebangkitan ekonomi Islam. Keberadaan lembaga keuangan mikro syari’ah ini, mulai Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang banyak beroperasi di pedesaan sampai koperasi keuangan syariah, dan Bank syariah, hampir tersebar di berbagai penjuru daerah. Bahkan beberapa bank dan lembaga keuangan konvensional melakukan diversifikasi produk dalam bentuk syari’ah. Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT dapat ‘dihadirkan’ di daerah perdesaan.

Dalam hubungannya dengan mengatasi masalah kemiskinan, BMT memiliki kelebihan konsep pinjaman kebajikan (qardhul hasan) yang diambil dari dana sosial. Dengan adanya model pinjaman ini (Baitul Maal) tidak memiliki risiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin. Sesuai dengan konsep pemberdayaan maka aktivitas sosial (non profit oriented) seperti pengorganisasian dan penguatan kelompok di tingkat komunitas (jamaah) menjadi langkah awal sebelum masuk pada aktivitas yang mendatangkan keuntungan (profit oriented) melalui model pinjaman/pembiayaan komersial (Baitut Tamwil). Dua sisi keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan di daerah pedesaan dan pertanian.

Kata kunci: Sistem keuangan, Syari’ah, Pertanian

PENDAHULUAN

Persoalan yang dihadapi umat manusia sekarang adalah munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpijak pada

(2)

kehidupan sosial masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, disparitas pendapatan dan kekayaan antar golongan dalam masyarakat dan antar negara di dunia, lunturnya sikap kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkhis dan sebagainya.

Sistem ekonomi kapitalis telah gagal menyelesaikan persoalan kemanusiaan, sosial ekonomi. Memang kapitalis mampu mensejahterakan individu atau negara tertentu secara materi. Namun perlu diingat kesejahteraan dan kemakmuran tersebut dibangun diatas penderitaan orang atau negara lain. Kapitalis tidak mampu menyelesaikan ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi bahkan sebaliknya ia menciptakan dan melanggengkan kesenjangan tersebut untuk mempertahankan eksisitensinya.

Saat ini, dunia sedang berada pada sebuah babak dalam formasi sosial dunia. Babak tersebut adalah sebuah era di mana pasar menjadi sentral penentu nasib manusia. Negara yang selama ini diyakini sebagai institusi, yakni manusia mampu berdaulat dan melindungi anggotanya, dibuat tidak berdaya dan diam seribu bahasa. Era ini sering disebut dengan era globalisasi, di mana batas Negara- Bangsa digeser sehingga menjadi sebuah desa besar (the large village), tanpa ada sekat yang membatasi.

Francis Fukuyama, seorang sejarawan dan futurolog Jepang yang meramalkan bahwa pasca perang dingin antara Blok Barat yang dikomandani Amerika Serikat dan Blok Timur yang dinahkodai Uni Soviet, kapitalisme- liberal terbukti mampu mengalahkan sosialisme komunis. Dengan demikian, akan terjadi apa yang disebut sebagai the end of ideology. berakhirnya sebuah ideologi dunia. Kapitalisme liberal adalah ideology terakhir yang menjadi pemenang atas ideologi-ideologi dunia yang lain. Bagi Fukuyama, kapitalisme adalah sebuah ideologi pemenang yang tanpa ada tandingan, sehingga, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Margaret Tatcher, Perdana Menteri Inggris era 70­ an, “There Is No Alternative”, tidak ada aternatif lain selain pilihan tunggal kapitalisme.

Lain halnya dengan Samuel Huntington, yang menganggap akan ada babak

baru dalam pertentangan ideology (baca: peradaban). Dalam bukunya The Clash of Civilization, Huntington meramalkan bahwa berakhirnya perang dingin, akan ada peradaban- peradaban besar dunia yang saling berhadap- hadapan. Huntington mentesakan ada 7 peradaban dunia yang akan bersaing dalam membangun kekuasaan, yaitu Barat WSAP, Congfucian, Jepang, Islam, Hindu, Slavia- Ortodoks dan Amerika Latin. Di antara tujuh peradaban besar dunia tersebut, dua peradaban besar akan saling berbenturan, yakni Barat dan Islam. Di sini, Islam dianggap sebagai peradaban yang akan bergesekan dengan Barat. Jika hal ini dihubungkan dengan tesis Fukuyama, maka Barat- kapitalisme yang telah memenangkan perang dingin, akan berhadap- hadapan dengan Islam yang saat ini sedang di abad kebangkitan.

(3)

bahkan mata uang Uero yang menjadi mata uang bersama Uni- Eropa pernah menguat dan bersaing ketat dengan Dollar Amerika. Namun awal 2010 kemarin menjadi awal petaka bagi ekonomi Eropa. Krisis Yunani, yang diikuti oleh Negara- negara Eropa lainnya terutama Irlandia dan Portugal menjadi awal the great depression bagi kapitalisme Eropa, meskipun memang tak seheboh depresi besar tahun 1930- an.Dalam kasus Yunani misalnya, utang Negara lebih besar dari GDP (Gross Domestic Product) serta terjadi defisit Negara, yakni pengeluaran Negara lebih besar daripada pendapatan Negara.

Lebih-lebih kegiatan sektor ekonomi kecil dan mikro di pedesaan dan pertanian khususnya pada negara berkembang seperti Indonesia, dengan sistem keuangan yang tumbuh saat ini, sangat kurang/tidak mendapat perhatian yang memadai serta tidak memberikan ruang untuk dapat diakses oleh masyarakat yang hidup di daerah pedesaan dan dominan di sektor pertanian dengan segala persoalan yang mereka miliki, mereka tetap dihadapkan dengan masalah kemiskinan yang mendera mereka.

Atas dasar hal tersebut, maka ekonomi Islam (ekonomi syariah) khususnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Syari’ah, tampaknya mempunyai peluang besar dalam rangka menggeser ekonomi status quo kapitalisme. Perkembangan ekonomi (keuangan) syariah yang saat ini bisa dikatakan melaju pesat, menjadi kekuatan “tandingan” bagi keberadaan kapitalisme yang sudah memasuki masa kemunduran. Tanpa bermaksud mengamini Huntington, Islam merupakan peradaban besar yang mempunyai visi untuk menciptakan kesejahteraan dan perdamaian dunia. Di era post- kapitalisme inilah, ekonomi Islam mencapai titik relevansinya sebagai kekuatan ekonomi yang berbasis pada nilai- nilai moral dan peradaban Islam.

TINAJUAN PUSTAKA

Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian Saat Ini

Dalam era otonomi daerah memerlukan perubahan cara pandang dalam pengelolaan sumberdaya kapital untuk sebesar-besarnya

dapat diakses oleh pelaku agribisnis dan agroindustri di pedesaan. Meskipun modal merupakan faktor pelancar pembangunan pertanian, namun tanpa kehadiran modal dalam jumlah dan kualitas pelayanan yang memadai akan menjadi salah satu penghambat dalam peningkatan produktivitas nilai tambah hasil pertanian.

Selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun terakhir alokasi kredit sektor pertanian kurang dari 10 persen dari total kredit yang disalurkan kepada sector-sektor ekonomi. Sistem perbankan konvensional yang berjalan saat ini sangat mengabaikan sektor pertanian. Alokasi kredit yang timpang tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh rendahnya kemampuan sektor ini untuk mengembalikan kredit, tetapi lebih disebabkan oleh keberpihakan yang sangat rendah pada sektor ini dan aturan main (kelembagaan) kredit yang sangat kaku, utamanya bagi petani pelaku agribisnis dan agroindustri.

Akses pelaku agribisnis yang rendah pada sumber modal memerlukan kreasi lembaga keuangan yang tepat bagi sektor ini. Dukungan kebijakan yang kuat sangat diperlukan guna menciptakan terbentuknya lembaga pembiayaan yang kuat dan sehat guna mendukung pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan. Kelembagaan ekonomi pedesaan yang kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tidak berkembang karena kooptasi yang berlebihan dari sistem birokrasi pemerintahan. Kondisi ini ternyata lebih banyak melumpuhkan kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dengan baik di masyarakat dan berperan dalam pemerataan pendapatan (Sudaryanto dan Syukur, 2000). Kooptasi birokrasi yang berlebihan telah memunculkan kondisi asimetris informasi antara sebagian besar masyarakat tani dengan kelompok lainnya. Asimetris informasi ini membawa implikasi yang sangat luas pada akses yang rendah pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar, dan lain sebagainya (Syukur dan Windarti, 2001).

Pentingnya kredit dalam pembangunan pertanian Indonesia terkait dengan tipologi Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian

Melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Syari’ah (BMT; Alternatif Model LKM Sya’riah)

(4)

petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit, terpencar, dan terfragmentasi, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pemupukan modal untuk investasi pada teknologi baru. Dengan demikian dukungan pembiayaan harus dilakukan.

Syukur dkk, (1988 dan 1999) menyatakan bahwa peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) Membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga yang relatif ringan, (2) Mengurangi ketergantungan petani dengan pedagang perantara dan pelepas uang, dengan demikian berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3) Mekanisme transfer pendapatan di antara masyarakat untuk mendorong pemerataan, (4) Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi usahatani.

Pemilikan lahan yang sempit dan kelembagaan skim pembiayaan bagi usaha agribisnis dan agroindustri yang rigid, menyebabkan masyarakat tani tidak dapat akses secara mudah pada sumber pembiayaan saat ini. Kebijakan pembiayaan untuk mendukung sektor agibisnis dan agroindustri dirasakan sangat lemah dan sektor ini cenderung terabaikan. Namun demikian di daerah pedesaan terdapat bentuk-bentuk kelembagaan pembiayaan non formal yang dapat dikembangkan (Uphoff. 1986;

Hastuti dan White.1979) seperti pedagang output, pedagang input, arisan, kelompok pengajian dan sebagainya. Selain itu kelembagaan kemitraan diantara pelaku agribisnis dapat diberdayakan dalam upaya mengatasi masalah pembiayaan pertanian (Irawan, dkk.2001). Kelompok-kelompok yang berdasarkan wilayah (territorial communities) yang masih dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang membentuk masyarakat kecil secara demokratis seperti di atas dapat diajak dalam usaha pembangunan (Tjondronegoro, 1984). Hal ini disebabkan karena di antara mereka terdapat unsur saling ketergantungan yang merupakan hasil dari orientasi nilai-nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang saling berinteraksi ( Johnson, 1990). Dalam proses transaksi kredit akan terdapat risiko yang

harus ditanggung oleh peminjam. Risiko tersebut akan terjadi manakala pendapatan yang diharapkan untuk membayar pinjaman tidak dapat dipenuhi. Karena terkait dengan risiko inilah seringkali perbankan sulit dapat menyalurkan kredit kepada sektor yang dianggap berisiko besar, seperti sektor pertanian.

Di dalam pasar kredit pedesaan terdapat segmentasi pasar, yaitu pasar kredit formal dan non-formal. Dua kategori yang menjadi sumber pembiayaan masyarakat pedesaan inipun mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik tersebut menyangkut sasaran kelompok syarat-syarat peminjaman dan pengajuan, cara-cara pengembalian, sanksi, insentif dan sebagainya. Pengalaman menunjukkan bahwa kredit program yang berbiaya murah justru banyak mengalami kegagalan. Kegagalan ini terletak tidak hanya pada kegagalan mencapai sasarannya, tetapi kegagalan dalam mencapai kinerja pengembalian. Sementara itu kredit non program atau kredit komersial bagi usaha pertanian juga relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya segmentasi pasar serta kecilnya volume pinjaman dan daya serap dari lembaga pembiayaan formal.

Bank-bank umum/formal pada umumnya kurang mampu menjangkau lapisan masyarakat menengah ke bawah, terlebih golongan masyarakat yang paling kurang mampu di pedesaan, sehingga segmen pasar keuangan untuk pelaku usaha pertanian lapisan menengah ke bawah diisi oleh lembaga pembiayaan non formal seperti pedagang sarana produksi, pedagang output, pelepas uang, tetangga, dan sebagainya. Sistem perkreditan non formal ini sering beroperasi secara personal, dan membentuk hubungan saling percaya.

(5)

lebih besar dari pada kredit yang mengalir ke pedesaan (Rachman, 1993), sedangkan lembaga pembiayaan non formal antara lain: kios saprotan, pedagang hasil pertanian, pelepas uang/rentenir, bank keliling, dan sebagainya.

Masalah perkreditan di pedesaan melibatkan dua kelompok kepentingan yaitu petani atau masyarakat di satu pihak sebagai debitor, dan lembaga pembiayaan di lain pihak sebagai kreditor. Kedua kelompok tersebut tentu berbeda kepentingan dan tujuan terhadap perkreditan, sehingga dapat menimbulkan konflik pandangan.

Konflik pandangan ini terjadi antara lembaga perkreditan pemerintah dengan masyarakat petani di pedesaan (Kasryno, dkk,1980). Oleh karena itu di daerah pedesaan muncul berbagai bentuk kelembagaan pembiayaan non formal, yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Planck (1993) menegaskan bahwa meskipun sebagian masyarakat hanya mempunyai ukuran usaha dan luas sawah relatif sempit , dan kebanyakan petani menggunakan suatu bagian utama produksi beras untuk kebutuhan sendiri, tetapi masih ada sisa tertentu yang dapat dijual. Artinya di satu pihak mempunyai orientasi pasar, di lain pihak mereka memiliki pendapatan tunai yang bisa digunakan untuk membayar hutang. Jadi mereka dapat dipercaya untuk menjadi nasabah dalam sistem perkreditan.

Sumber kredit informal lebih bersifat fleksibel, tanpa prosedur berbelit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Pinjaman tidak diawasi dengan ketat, petani bebas menggunakan kreditnya, juga kreditor mengetahui betul kelayaan kredit si petani serta bersedia memberi pinjaman kapan, dimana, dan berapa saja petani minta. Sedangkan kredit formal tidak fleksibel, prosedur berbelit, ke dua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik, memerlukan waktu relatif lama, baik untuk mengambil maupun membayar kredit. Seringkali debitor harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurusnya, sehingga bunga yang berlaku menjadi tinggi.

Pada umumnya yang dapat mengakses BRI adalah pedagang hasil produksi, pedagang saprotan, sedang petani pada umumnya kurang

mempunyai akses pada lembaga tersebut. Hal ini antara lain salah satu syarat yang diajukan BRI cukup berat, yaitu adanya agunan berupa sertifikat tanah. Padahal sebagian besar petani belum mempunyai sertifikat, sehingga peminjaman harus melalui kelompok tani. Dengan cara ini salah satu anggota kelompok tani dapat meminjamkan sertifikatnya sebagai agunan. Lembaga pembiayaan formal selain BRI yang dapat diakses oleh masyarakat adalah pegadaian dan Bank Kredit desa. Pada ke dua lembaga ini proses peminjaman relatif lebih sederhana dibanding BRI, terutama pegadaian. Bagi masyarakat pegadaian merupakan lembaga pembiayaan yang sangat mudah diakses karena prosedur peminjaman yang sangat mudah dan sederhana, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain ke bank komersial, berdasarkan pengalaman empirik, tingkat aksesibilitas masyarakat pada pelepas uang (25,0%) dan famili/tetangga/teman (41,67%) relatif tinggi. Pada kedua lembaga inilah para petani dapat lebih akses. Hal ini antara lain disebabkan karena proses peminjaman kepada kedua lembaga ini sangat sederhana dan cepat, meskipun dikenakan bunga yang cukup tinggi.

Peran Lembaga Keuangan Mikro (Pandangan Historis)

Sektor keuangan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan yang sangat penting dalam mendorong peningkatan perekonomian nasional dan ekonomi masyarakat. Kegiatan sektor keuangan hampir seluruhnya bersifat jasa (keuangan), baik jasa perbankan maupun jasa non-perbankan. Perkembangan dan kemajuan pada sektor keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan menuntut adanya perbaikan yang terus-menerus, baik dari aspek kelembagaan organisasi, regulasi (kebijakan), maupun sumber daya manusia (SDM).

Peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor keuangan sampai saat ini masih dibutuhkan. Namun, partisipasi masyarakat khususnya pihak swasta sangat diharapkan untuk mendorong perkembangan dan kemajuan di sektor keuangan di Indonesia, termasuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan perbankan maupun non-perbankan. Pemerintah Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian

Melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Syari’ah (BMT; Alternatif Model LKM Sya’riah)

(6)

harus terus mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam kegiatan di sektor keuangan.

Diakui bahwa perbankan sebagai lembaga keuangan sampai saat ini telah menunjukkan suatu kemajuan yang signifikan terhadap perekonomian nasional dan ekonomi daerah yang terbukti dari pesatnya pertumbuhan lembaga perbankan (bank) di berbagai daerah di Indonesia, baik di kota maupun di kabupaten. Oleh karena itu adalah wajar apabila sektor perbankan menjadi sangat dominan dalam kegiatan usaha jasa keuangan di Indonesia sampai saat ini.

Keadaan perbankan di Indonesia tidak jauh berbeda dari perbankan di banyak negara di dunia, yaitu belum begitu banyak yang melayani kebutuhan kredit atau dana pinjaman pengusaha-pengusaha skala kecil dan skala mikro. Bank-bank di Indonesia, baik milik Pemerintah (Bank BUMN) maupun bank swasta nasional apalagi bank swasta asing, pada umumnya tidaklah dimaksudkan untuk melayani perusahaan-perusahaan kecil khususnya perusahaan mikro. Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program-program pendidikan, manajemen, sistem administrasi, cara dan prosedur pelayanan, serta falsafah perusahaan perbankan lebih diarahkan untuk melayani orang-orang yang sudah mapan dan berada (perusahaan besar dan menengah). Dengan demikian dapat diduga bahwa perbankan di Indonesia belum berperan dalam pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan bagi pengusaha kecil dan mikro. Hal tersebut tidak berarti bahwa tidak ada usaha ke arah pemerataan pendapatan bagi pengusaha kecil dan mikro. Bank Sentral (Bank Indonesia) telah merintis ke arah itu melalui berbagai kredit program, seperti Kredit Bimas, Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Keppres 14A, KIK/KMKP sampai dengan Rp. 75 juta, Kredit Keppres 29, Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Kredit Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI), Kredit Pencetakan Sawah, Kredit Profesi Guru (KPG), Kredit Mahasiswa (KMI), Kredit Asrama Mahasiswa, Kredit Perumahan Rakyat (KPR)

dan lain-lain. Kredit-kredit program yang tidak mementingkan jaminan dalam pemberian kredit tersebut disalurkan.

Selain sektor perbankan, penyelenggaraan jasa keuangan juga dilakukan oleh lembaga keuangan lain yang bukan bank, seperti lembaga pembiayaan (leasing), koperasi, pegadaian, dan perusahaan asuransi. Peran lembaga keuangan bukan bank tersebut dalam perkembangannya belum optimal dan belum maksimal dalam mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang sebagian besar merupakan pengusaha kecil dan mikro. Padahal lembaga keuangan bukan bank tersebut sudah diatur secara jelas dalam bentuk undang-undang.

Berdasarkan pada kenyataan dan perkembangan di dalam masyarakat saat ini, maka pembentukan suatu lembaga keuangan yang menyediakan dana atau modal bagi usaha skala mikro dan usaha skala kecil sangatlah penting dan urgent. Lembaga keuangan skala mikro ini memang hanya difokuskan kepada usaha-usaha masyarakat di pedesaan yang bersifat mikro. Sebenarnya di daerah pedesaan sudah ada suatu lembaga keuangan yang berskala mikro, seperti badan kredit desa (BKD), unit simpan-pinjam, lembaga kredit pedesaan. Berbeda dengan lembaga koperasi yang sudah ada di perkotaan dan di pedesaan, seperti KUD (Koperasi Unit Desa).

Badan Kredit Desa dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah berdirinya Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Diawali dengan berdirinya Lumbung Desa (LD) pada tahun 1987 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat. Lumbung Desa dan Bank Desa kemudian dikenal dengan nama Badan Kredit Desa (BKD), yang merupakan cikal bakal berdirinya Lembaga Perkreditan Kecil di Pedesaan atau sekarang lebih dikenal dengan istilah Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga ini banyak digunakan sebagai bahan studi banding oleh negara lain dalam mengembangkan keuangan mikro di negara masing-masing.

(7)

pembina dan pengawas BKD, mulai dari bagaimana cara menilai calon peminjam.

Jenis cicilan pinjaman yang cocok untuk calon anggota, besarnya pinjaman anggota, mengadministrasikan usaha simpan pinjam, pengelolaan uang Kas, memberikan bantuan modal kerja, mengatur cara penggajian para Juru Tata Usaha (JTU) dan Komisi BKD, mendidik JTU dan Komisi BKD dan sebagainya. Semua kegiatan pendampingan tersebut di atas dimaksudkan agar BKD mampu membiayai sendiri usahanya, dapat memupuk permodalan dan dapat membantu masyarakat pedesaan anggota BKD dalam meningkatkan usahanya maupun meningkatkan penghasilannya sehingga dapat meningkatkan perekonomian di pedesaan

Melihat keberhasillan BKD inilah, kemudian disusul berdirinya LKM lainnya baik yang didirikan oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Kelompok Masyarakat di pedesaan, seperti Lumbung Pitih Nagari di Sumatera, Lembaga Perkreditan Desa di Bali, Bank Pasar, Koperasi Simpan Pinjam, dan sebagainya. Sampai tahun 2002 terdapat 4.518 Bank Kredit Desa yang tersebar di berbagai pelosok desa di Jawa-Madura serta melayani sekitar 700.000 orang. Syarat dan prosedur pelayanan di BKD relatif mudah dan cepat. Nasabah BKD adalah perorangan yang berdomisili di desa bersangkutan. Rata-rata besar pinjaman biasanya dibawah Rp. 700.000. Jumlah angsuran umumnya adalah mingguan.

Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan, khususnya bank umum. Tetapi pengaturan dari aspek hukumnya belumlah jelas. Berbeda dengan pengaturan lembaga perbankan melalui UU Perbankan, lembaga koperasi melalui UU Perkoperasian, dan lembaga asuransi melalui UU Perasuransian.

Perkembangan lembaga keuangan mikro di Indonesia umumnya didahului oleh pendirian bank yang khusus ditujukan untuk

rakyat kecil yang disebut dengan Bank Priyayi atau Bank Pegawai (1875). Bank rakyat ini kemudian mengidentikkan dirinya menjadi sebuah ‘bank perkreditan rakyat’. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, perkembangan lembaga perbankan yang berorientasi pada usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) lebih banyak diperankan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI Unit Desa).

Yang menjadi persoalan selama ini adalah tidak semua usaha kecil, usaha koperasi dan usaha mikro yang mendapat fasilitas dana pinjaman atau kredit usaha dari BRI Unit Desa tersebut. Sampai saat inipun, BRI Unit Desa masih membantu sebagian usaha kecil, koperasi dan usaha mikro di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sistem dan manajemen yang diterapkan oleh BRI Unit Desa adalah berdasarkan sistem dan menejemen perbankan yang tunduk pada undang-undang perbankan dan peraturan Bank Indonesia (BI). Demikian juga dengan berdirinya BPR di berbagai daerah belum menyentuh seluruh usaha kecil, koperasi dan usaha mikro. Akses usaha kecil, koperasi dan usaha mikro terhadap lembaga perbankan, termasuk BRI Unit Desa dan BPR masih belum maksimal, karena BRI Unit Desa dan BPR adalah sama-sama lembaga perbankan yang menerapkan sistem dan manajemen bank yang cenderung menyulitkan usaha kecil, koperasi dan usaha mikro untuk berkembang, seperti dengan keharusan menyerahkan agunan untuk mendapatkan kredit.

Lahirnya Badan Kredit Desa (1987) merupakan cikal bakal dan menjadi sejarah lahirnya lembaga keuangan mikro yang berorientasi membantu masyarakat kecil dan miskin di daerah pedesaan. Badan ini dapat dikatakan bukan berbentuk bank dan bukan berbentuk koperasi. Keberadaan LKM menjadi sangat urgent karena belum termasuk dalam ketiga kelompok lembaga keuangan tersebut di atas (perbankan, koperasi dan asuransi). Tetapi yang menjadi perhatian ke depan adalah bahwa setiap usaha penghimpunan dana dari masyararakat, termasuk masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah harus dapat memberikan jaminan atas keamanan (perlindungan) terhadap dana simpanan tersebut. Bentuk perlindungan dimaksud Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian

Melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Syari’ah (BMT; Alternatif Model LKM Sya’riah)

(8)

haruslah dijamin dalam suatu peraturan hukum sehingga akan memberikan kepastian hukum apabila terjadi suatu perselisihan yang menyangkut dana simpanan dan dana pembiayaan usaha masyarakat.

Untuk memberdayakan LKM ke depan diperlukan langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengawasi dan membina LKM guna meningkatkan kemampuan LKM dalam melayani masyarakat miskin dan pelaku usaha kecil dan mikro. Langkah yang harus ditempuh pemerintah antara lain adalah:

Pertama, memperkuat kelembagaan LKM. Pemerintah hendaknya memiliki ’blue print’ LKM sebagai desain yang terstruktur untuk mengembangkan dan memperkuat LKM. Pemerintah juga harus memberikan pelatihan manajemen kepada para pengelola LKM. LKM kedepannya harus diarahkan sebagai lembaga keuangan khusus bagi rakyat kecil di pedesaan. LKM yang telah kuat akan bisa mengandalkan penerimaannya dari sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas individual. Karena itu pemerintah harus membuat kebijakan yang memberikan rasa aman bagi masyarakat yang ingin menaruh dananya di LKM.

Kedua, pemerintah juga sudah harus mempersiapkan instansi/lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah yang secara khusus membina dan mengawasi kegiatan operasional LKM di Indonesia, agar tumbuh sehat dan normal.

Ketiga, fokus pengembangan usaha kecil dan mikro di daerah pedesaan. LKM adalah lembaga yang mempunyai peran besar dalam menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil dan mikro di tingkat desa dan kecamatan. LKM harus fokus membantu masyarakat kecil dan miskin di pedesaan untuk meningkatkan produktivitasnya yang pada akhirnya dapat membantu pemerintah mengurangi kemiskinan, khususnya di daerah pedesaan.

Dari penjelasan dan uraian tersebut, ada beberapa permasalahan pokok yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan lembaga keuangan mikro, antara lain:

LKM harus memiliki suatu bentuk hukum yang jelas, sehingga akan menjamin adanya accountability dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

LKM harus memiliki ijin usaha atau ijin operasional dari lembaga atau instansi pemerintah (pemda) yang berwenang untuk itu. Lembaga/instansi pemerintah (pemda) pemberi ijin usaha atau ijin operasional LKM harus membina dan mengawasi kegiatan LKM, agar LKM dapat tumbuh sehat dan wajar.

LKM sebaiknya tidak memiliki cabang perusahaan dan tidak boleh memiliki diversifikasi usaha selain usaha jasa keuangan. Tujuannya adalah agar LKM lebih fokus dalam kegiatan usaha jasa keuangan mikro bagi masyarakat di pedesaan.

Sistem manajemen usaha LKM tidak boleh menyerupai sistem manajemen usaha di lembaga perbankan. Tujuannya agar LKM dapat berdiri dan berkembang dengan karakteristik sendiri yang berbeda dengan bank, sebab LKM bukanlah bank perkreditan rakyat.

Perlu adanya suatu sistem pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat membantu kepada masyarakat yang memperoleh pinjaman/pembiayaan dari LKM untuk meningkatkan usahanya.

Perlu ada suatu kepastian mengenai batasan jumlah modal (aset) usaha LKM pada saat pendiriannya. Hal ini penting untuk menjelaskan posisi LKM diantara lembaga keuangan yang ada saat ini.

Perlu ada kepastian mengenai batasan jumlah dana simpanan yang dapat dihimpun oleh LKM dari masyarakat.

Perlu ada kepastian mengenai jumlah maksimum dana pembiayaan usaha yang diberikan/disalurkan oleh LKM.

Perlu ada kepastian mengenai area wilayah operasional LKM, dan cakupan kegiatan usaha dari LKM tersebut, yaitu hanya bidang jasa keuangan yang berskala mikro/kecil.

(9)

Masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah tidak hanya membutuhkan pinjaman saja, tetapi juga membutuhkan jasa keuangan lainnya, seperti jasa simpanan/tabungan, asuransi, anjak piutang, sewa guna, dan jasa pengiriman uang.

Keuangan mikro merupakan alat yang sangat tepat untuk memerangi kemiskinan, karena masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya menggunakan jasa keuangan untuk meningkatkan pendapatannya, menambah asetnya, dan untuk berjaga-jaga (melindungi diri) apabila terjadi suatu kejadian tak terduga, seperti bencana alam, gagal panen, dan sebagainya.

Keuangan mikro akan jauh lebih bermanfaat secara optimal apabila terintegrasi dengan sistem keuangan nasional.

Keuangan mikro harus dapat menghidupi diri sendiri, agar dapat menjangkau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah lebih banyak lagi. Apabila lembaga keuangan mikro tidak mampu menghidupi sendiri (minimal mampu menutupi seluruh biaya), maka keberadaan mereka akan sangat terhambat, dan akan sangat tergantung dari bantuan pemerintah atau donor yang juga sangat terbatas.

Keuangan mikro mampu membangun lembaga keuangan lokal yang berkelanjutan, dimana lembaga tersebut dapat menghimpun dana dari masyarakat suatu wilayah tertentu dan diputarkan kembali dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat di wilayah yang sama. Dalam konteks Indonesia, hal ini juga akan mengurangi pelarian uang dari daerah ke pusat, atau dari desa ke kota seperti yang terjadi selama ini. Selain itu, prinsip ini juga sejalan dengan semangat membangun daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.

Keuangan mikro bukanlah segalanya dalam mengatasi kemiskinan, oleh karenanya dukungan program lainnya juga diperlukan, khususnya program yang ditujukan kepada masyarakat yang sangat miskin yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki kemampuan untuk membayar kembali pinjamannya.

Pembatasan ambang atas terhadap tingkat suku bunga justru akan menyulitkan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh pinjaman dalam jangka panjang. Apabila ambang atas tingkat suku bunga dibatasi yang menyebabkan tidak tertutupinya seluruh biaya, maka lembaga keuangan mikro itu akan punah cepat atau lambat. Ketika lembaga keuangan mikro banyak yang punah, maka masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah akan kembali mengalami kesulitan dalam mengakses pinjaman.

Peran pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi terselenggaranya layanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, dan bukan bertindak sendiri lembaga keuangan yang menyediakan jasanya secara langsung. Dari berbagai pengalaman menyatakan bahwa tidak pernah ada pemerintah yang berhasil mengelola pinjaman. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah cukup membuat kebijakan yang mendukung iklim usaha.

Dana dari donor seharusnya hanya dijadikan pelengkap saja, bukan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan modal usaha lembaga keuangan mikro. Dana dari donor sebaiknya diberikan untuk membantu sementara pada tahapan start-up sampai pada titik tertentu, dan ditempatkan dalam bentuk simpanan (bukan modal).

Pertumbuhan dan perkembangan keuangan mikro terhambat pada kapasitas kelembagaan dan kurangnya tenaga profesional. Oleh karena itu, lembaga donor seharusnya fokus untuk mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.

Keuangan mikro akan dapat bekerja baik apabila kinerjanya terukur dan terbuka bagi masyarakat. Lembaga keuangan mikro perlu membuat laporan kinerja keuangan yang akurat dan mudah dibandingkan agar meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut, serta perlunya membuat laporan kinerja sosial (misal jumlah nasabah yang terlayani, sektor usaha, dan sebaginya) untuk mengukur manfaatnya bagi pengentasan kemiskinan.

Pencanangan “The International Year of Microcredit” pada tahun 2004, di Markas Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian

Melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Syari’ah (BMT; Alternatif Model LKM Sya’riah)

(10)

Besar PBB – New York, merupakan sebuah pengakuan internasional terhadap eksistensi dan esensi keuangan mikro, terutama dalam kerangka pengentasan kemiskinan dunia. Sistem keuangan mikro selama ini telah terbukti sebagai alat yang sangat efektif untuk memerangi kemiskinan dalam kerangka Millenium Development Goals. Kemajuan di bidang keuangan mikro antara lain ditandai dengan kesuksesan pengelolaan LKM oleh Grameen Bank dari Bangladesh. Hal ini juga merupakan pengakuan internasional, bahwa pengentasan kemiskinan dapat efektif diperangi melalui LKM.

Kebijakan dan strategi yang dibuat untuk LKM di beberapa negara pada umumnya untuk memfasilitasi kemudahan bagi LKM dalam melakukan usahanya, terutama dalam penghimpunan dana dari masyarakat dengan pembatasan tertentu, seperti batas wilayah dan jumlah dana yang dapat dihimpun, atau lainnya. Dari berbagai riset yang dilakukan World Bank (1999) menemukan kebanyakan negara memberikan izin penghimpunan dana dari masyarakat hanya kepada lembaga keuangan formal (yang mendapatkan izin). Hal ini menunjukan perlu adanya pembedaan izin yang jelas kepada LKM informal, dengan menekankan perlu adanya treshholds yang menentukan pendekatan regulasi yang akan diambil. Sebagai contoh, LSM menghimpun dan menggunakan dana dari pihak lain, terutama dari donor, koperasi menghimpun dan menggunakan dana hanya dari anggota, dan bank menghimpun dan menggunakan dana dari masyarakat.

LKM yang menghimpun dana dari masyarakat seharusnya diatur dengan regulasi yang menerapkan prinsip kehati-hatian. Sedangkan hasil riset yang dilakukan CGAP (2002) menyimpulkan bahwa kebanyakan regulasi keuangan mikro bertujuan positif, yaitu baik memfasilitasi kemudahan pelaku baru untuk masuk kedalam industri keuangan mikro maupun kegiatan-kegiatan keuangan mikro itu sendiri. Namun demikian, ketika LKM dimungkinkan untuk menghimpun dana dari masyarakat, maka regulasi dengan prinsip kehati-hatian harus diberlakukan dengan tujuan untuk melindungi penyimpan dana/penabung.

Selain itu, apabila skala usaha LKM sudah sangat besar dan memberikan dampak yang signifikan kepada sektor keuangan sebuah negara, maka risiko sistemik harus menjadi pertimbangan penting dalam penetapan regulasi.

Sementara hasil studi yang dilakukan GTZ (2003) menjelaskan bahwa penekanan regulasi keuangan mikro adalah pada masalah kelembagaan dan fungsi. Di kebanyakan negara regulasi bagi LKM dengan bentuk lembaga khusus diatur tersendiri dengan Undang-Undang Keuangan Mikro. Sedangkan regulasi dengan pendekatan fungsi mengatur tentang pasar sasaran sesuai dengan fungsinya. Dengan demikian, keuangan mikro lebih dilihat sebagai aktivitas keuangan daripada jenis lembaganya

SISTEM KEUANGAN SYA’RIAH DALAM PERSPEKTIF

Prinsip Keuangan Syariah

Ekonomi Islam (Ekonomi Syari’ah) sebagai sebuah sistem ekonomi saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Di Indonesia, keberadaan sistem ekonomi syariah sedang mengalami pertumbuhan yang tajam, seperti jamur di musim penghujan. Maraknya lembaga keuangan yang bercorak Islam (syari’ah) menjadi satu indikator akan kebangkitan ekonomi Islam. Seperti menjadi trend, keberadaan lembaga keuangan mikro syari’ah ini, mulai Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang banyak beroperasi di pedesaan sampai koperasi keuangan syariah, dan Bank syariah, hampir tersebar di berbagai penjuru daerah. Bahkan beberapa bank dan lembaga keuangan konvensional melakukan diversifikasi produk dalam bentuk syari’ah.

(11)

yang bertujuan menciptakan kesejahteraan, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai suci Ilahiyah. Karakteristik syari’ah yang membatasi penumpukan kekayaan secara mutlak, serta meniscayakan distribusi ekonomi secara proporsional, dengan dilandasi pada semangat mengabdi (ibadah) maka akan semakin mendekatkan pada terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial.

Pada segi praktis, ekonomi syari’ah akan mampu menjawab berbagai persoalan-persoalan yang selama ini tidak mampu dijawab oleh sistem ekonomi kapitalistik, seperti persoalan pemerataan, kegiatan ekonomi yang fair, nilai relijiusitas dalam ekonomi dan keadilan sosial.

Sistem ekonomi syari’ah bertumpu pada prinsip -prinsip Al-Qur’an dan Assunah, seperti penerapan sistem keuangan tanpa bunga (tanpa riba), menyuburkan Zakat, infak, shodaqoh dan wakaf, penggunaan mata uang dinar dan dirham, mendorong amanah, kepemilikan terbatas, kerjasama dalam kebaikan, tanggung jawab sosial, distribusi ekonomi dan keadilan akan mampu mengantarkan kesejahteraan sosial yang adil dan merata. Secara pragmatis, ini merupakan peluang bagi umat Islam untuk mampu mengembangkan kegiatan ekonomi di satu sisi, dan mengembangankan ilmu ekonomi Islam di sisi lain. Karena bagaimanapun ekonomi Islam masih memerlukan banyak penyesuaian dan modifikasi sistem untuk mampu beradaptasi dengan kenyataan dunia pasca kapitalisme.

Melihat dominasi kapitalis yang hari ini sangat kuat, maka system keuangan syari’ah diharapkan mampu menjadi konter terhadap hegemoni tersebut. Adalah Antonio Gramsci yang menawarkan sebuah konsep untuk melakukan konter terhadap hegemoni (counter hegemony). Bagi Gramsci, hegemoni harus dilawan dengan upaya penyadaran akan hegemoni kultural dan keterpesonaan terhadap hegemoni kapitalis. Konter hegemoni akan terwujud jika ada para intelektual yang mengakar pada basis masyarakat, yang telah terhegemoni. Dalam hal ini, system keuangan syari’ah merupakan perangkat intelektual yang didasarkan sebagai

antitesis terhadap prinsip ekonomi kapitalis yang timpang.

Beberapa prinsip keuangan syari’ah, yang diharapkan sebagai counter hegemoni tersebut diantaranya adalah:

Prinsip amanah.

Islam menganggap berbagai jenis sumber daya yang ada merupakan pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Kegiatan tersebut kelak akan dipertanggung- jawabkannya di akhirat.

Prinsip ini tidak diakui dalam sistem kapitalis. Tidak ada “Tuhan dan akhirat”dalam urusan dunia. Mereka menganggap bahwa akhirat itu tidak ada, dunia hanya akan berakhir ketika mereka mati, sehingga kegiatan ekonomi bagi kapitalis tidak lain adalah pemenuhan kebutuhan duniawi semata.

Prinsip kepemilikan terbatas

Islam mengakui kepemilikan individu dalam batas- batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Kepemilikan individu dalam hal ini dibatasi oleh kepentingan masyarakat. Selain itu, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

Hal ini berbeda dengan prinsip kapitalis yang individualistik. Mereka menganggap bahwa apa yang dimiliki merupakan kepunyaan mutlak, yang didapatkannya dari hasil usaha, sehingga, tidak ada tanggung jawab moral untuk mempertanggungjawabkannya.

Kecenderungan ini mengarahkan manusia untuk menumpuk harta tanpa batas, tanpa memperhatikan orang lain.

Prinsip kerjasama dalam kebaikan.

Kekuatan penggerak utama system keuangan syari’ah adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT. Upaya pencapaian tujuan, harus selalu didasari dengan nilai- nilai Islam.

Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian Melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Syari’ah

(12)

Sistem kapitalis menafikan prinsip ini. Meskipun mereka mengakui adanya prinsip kerjasama, namun kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama yang berbasis kepentingan. Dasar keuntungan menjadi sandaran dalam setiap kerjasama, sehingga yang terjadi adalah maciavellian, lakukan apa saja, yang penting anda untung, meskipun itu dilakukan dengan menginjak orang lain, menipu, menindas dan memaksa.

Prinsip tanggung jawab sosial.

Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, Sistem keuangan syari’ah menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja.

Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, yakni kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum, sehingga kepemilikan kekayaan hanya terfokus pada segelintir orang saja. Yang akan terjadi, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Prinsip kepemilikan bersama.

Sistem keuangan syari’ah menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Namun demikian, hal ini bukan berarti Islam mendukung sosialis- komunis. Prinsip ini menekan Negara untuk pro- aktif terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang menggeser peran Negara, namun ekonomi Islam memberikan kewenangan

Negara (ulil amri) untuk menyeimbangkan sirkulasi kekayaan. Privatisasi liberal hanya akan melahirkan ketimpangan sosial yang jauh dari tujuan ajaran Islam.

Prinsip distribusi ekonomi.

Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya, yang ditujukan untuk orang miskin dan orang- orang yang membutuhkan. Lain halnya dengan kapitalisme yang menganjurkan kepemilikan

individu semaksimal mungkin. bahwa sistem keuangan syari’ah tidak perlu dibatasi, karena secara alamiah akan diseimbangkan oleh tangan- tangan gaibyang tak terlihat (invisible hand) yang bernama pasar.

Prinsip keadilan.

Islam melarang setiap pembayaran bunga atau riba atas berbagai bentuk pinjaman, karena riba hanya akan menyakiti salah satu pihak, dan akan melahirkan ketidakadilan. Islam menganjurkan jual beli yang fair, dan melarang riba. Islam sangat mengutuk orang yang melakukan riba, karena riba hanya akan melahirkan ketidakadilan dalam ekonomi. Sistem kapitalis menjunjung tinggi bunga atas uang. Eksploitasi dalam hal ini menjadi sesuatu yang niscaya, yang termanifestasi dalam sebuah sistem.

Ketujuh prinsip tersebut setidaknya akan menjadi konter hegemoni terhadap dominasi kapitalisme global yang mapan. Meskipun itu tidak dapat terjadi secara instan, namun upaya pembumian prinsip system keuangan syari’ah akan mampu membangun sistem yang lebih humanis.

(13)

ekonomi kontemporer (gejala perkembangan sistem ekonomi dunia). Juga bisa ditambahkan di sini perbandingan pemikiran antar para ekonom Islam itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Mohamed Aslam Haneef (1995) dalam bukunya "Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis".

Prinsip Lembaga Keuangan Syari’ah, secara umum adalah lembaga keuangan yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Lembaga Keuangan Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (La riba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syar’iah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah”.

Sistem perbankan Islam, seperti halnya aspek-aspek lain dari pandangan hidup Islam, merupakan sarana pendukung untuk mewujudkan tujuan dari sistem sosial dan ekonomi Islam. Beberapa tujuan dan fungsi penting yang diharapkan dari sistem perbankan Islam adalah:

Kemakmuran ekonomi yang meluas dengan tingkat kerja yang penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum (economic well-being with full employment and optimum rate of economic growth).

Keadilan sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata (socio-economic justice and equitable distribution of income and wealth);

Stabilitas nilai uang untuk memungkinkan alat tukar tersebut menjadi suatu unit perhitungan yang terpercaya, standar pembayaran yang adil dan nilai simpan yang stabil (stability in the value of money)

Mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan cara-cara tertentu yang menjamin bahwa pihak-pihak yang berkepentingan mendapatkan bagian pengembalian yang adil (mobilisation of savings)

Pelayanan efektif atas semua jasa-jasa yang biasanya diharapkan dari sistem perbankan(effective other services).

Mungkin ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa tujuan dan fungsi dari sistem keuangan dan perbankan Islam seperti yang diungkapkan di atas adalah sama dengan yang ada dalam kapitalisme. Walaupun nampak ada kesamaan, dalam kenyataannya terdapat perbedaan yang penting dalam hal penekanan, yang muncul dari perbedaan dua sistem tersebut dalam komitmennya terhadap nilai-nilai spiritual, keadilan sosial-ekonomi serta dalam persaudaraan sesama manusia. Tujuan-tujuan dalam Islam adalah suatu bagian tak terpisahkan dari ideologi dan kepercayaan Islam. Hal tersebut merupakan suatu input penting sebagai bagian dari suatu output tertentu. Tujuan-tujuan tersebut membawa kesucian dan, dalam hal yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tujuan-tujuan tersebut bukanlah semata-mata sebagai alat tawar politik dan kebijaksanaan, akan tetapi, strategi yang sangat penting bagi terwujudnya suatu tujuan yang merupakan suatu keunikan yang dapat disumbangkan oleh Islam.

Di samping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina(sewa beli) dan lain-lain.

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :

Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian

Melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Syari’ah (BMT; Alternatif Model LKM Sya’riah)

(14)

nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.

Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.

Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.

Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

Baitulmal Wattamwil (Bmt); Model Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah Pedesaan Dan Pertanian

Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan modal. Asset di negara berkembang tidak mampu menjadi modal kerja karena asset tersebut tersandung masalah kepemilikan (property right). Sedangkan pinjaman untuk keperluan penambahan modal diperlukan ketegasan kepemilikan.

Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT dapat ‘dihadirkan’ di daerah perdesaan.

Konsep BMT desa merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa. Dari data dilapangan harus diakui bahwa

konsep BRI Unit Desa sudah mampu ‘menjangkau’ komunitas perdesaan-terutama untuk pelayanan penabungan (saving). Kampanye pemerintah agar rakyat menabung efektif dilaksanakan masyarakat perdesaan hampir dua dekade (1970-80’an). Namun kelemahan dari konsep pembangunan masa lalu adalah terserapnya ‘tabungan masyarakat’ perdesaan ke ‘kota’ dan hanya sekitar sepertiga dana tabungan yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaaan.

Konsep BRI Unit Desa ini sebenarnya sudah bisa dijadikan semacam acuan untuk pengembangan daerah (desa), namun apakah BRI Unit Desa sudah dapat mengakses kelompok yang paling miskin di akar rumput? Mungkin secara teknis dan di atas kertas bisa saja. Namun jika dilihat dari karakteristik bisnis perbankan dan karakteristik peminjam, jawabannya tidak bisa! Maka dengan kekosongan pada pasar lembaga keuangan untuk tingkat paling miskin ini, institusi yang paling cocok adalah konsep baitul maal wat tamwil (BMT).

Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ (untuk tidak mengatakan mengurangi) permasalahan kemiskinan. Namun dalam beberapa hal konsep ini kadang ‘direduksi’ oleh pengurus BMT itu sendiri. Konsep yang paling utama dari BMT adalah jaminan/proteksi sosial melalui pengelolaan dana baitul maal. Proteksi sosial menurut Amartya Sen (2000) adalah jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan. Jaminan sosial ini dapat berupa insentif ekonomi (subsidi kepada kaum dhuafa-dalam konsep Islam berupa dana Zakat, Infaq, Shodaqoh-ZIS) ataupun berupa insentif sosial (kebersamaan melalui ikatan kelompok simpan pinjam ataupun kelompok yang berorientasi sosial seperti majelis ta’lim). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Sehingga terjadi komunikasi antara dua kelas yang berbeda.

(15)

Infak, Shodaqoh, dan Wakaf/ZISWAK) ini akan memberikan dampak pada kehidupan sosial ekonomi komunitas. Bagian lain dari BMT adalah Baitul Tamwil (bagian pembiayaan). Dalam konsep baitul tamwil pembiayaan dilakukan dengan konsep syariah (bagi hasil). Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi terutama di perdesaan.

Kelebihan konsep bagi hasil ini adalah adanyaprofit and loss sharing(bagi hasil/rugi) jika dana yang diserahkan ke pengelola BMT digunakan untuk investasi ekonomi. Konsep ini menyebabkan kedua pihak (pengelola BMT dan peminjam saling melakukan kontrol). Dan pengelola dituntut untuk menghasilkan profit bagi penabung dan pemodal.

Dalam hubungannya dengan mengatasi masalah kemiskinan, BMT memiliki kelebihan konsep pinjaman kebijakan (qardhul hasan) yang diambil dari dana sosial. Dengan adanya model pinjaman ini maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin. Karena sesuai dengan konsep pemberdayaan maka aktivitas sosial (non profit oriented) seperti pengorganisasian dan penguatan kelompok di tingkat komunitas (jamaah) menjadi langkah awal sebelum masuk pada aktivitas yang mendatangkan profit (seperti pinjaman/pembiayaan).

Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah perdesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep tersebut menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuan-tujuanya.

Pengakaran Jaringan BMT: BMT Desa Atas dasar pemikiran tersebut maka strategi pembentukan jaringan dan penguatan BMT yang ada harus menjadi prioritas kegiatan di Kota/Kabupaten, sedangkan untuk BMT-BMT yang telah kuat bisa membuat semacam ‘kantor

kas’ di setiap desa. Pentahapan yang harus dilakukan bisa seperti berikut: Tahap Pertama dengan mengembangkan kantor kas BMT. Tahap Kedua dengan mengembangkan Kantor Kas BMT menjadi BMT Unit Desa (bisa dengan musyawarah jamaah masjid). Tahap Ketiga mengembangkan BMT Unit Desa menjadi BMT Desa (sudah menjadi milik komunitas ditandai dengan besaran tabungan yang dihimpun dari anggota atau non anggota).

Strategi kedua adalah dengan membentuk langsung BMT Desa melalui jamaah masjid. Strategi ketiga dengan mengkonversi Lembaga Keuangan Mikro hasil ‘bentukan’ proyek pemerintah menjadi Koperasi berdasarkan Bagi Hasil (syariah). Strategi ini membutuhkan pewacanaan di tingkat komunitas tentang keuntungan-keuntungan konsep bagi hasil dibandingkan dengan konsep riba.

PENUTUP

Demikian telaah atas Sistem Keuangan Pedesaan dan Pertanian melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Syari’ah, dengan BMT sebagai model sebagai kajian akademis dan pengalaman penerapan di Indonesia, yang merupakan alternatif solusi bagi sistem perekonomian yang kerap senantiasa dilanda krisis dan ekonomi pedesaan dan pertanian yang dirundung berbagai kelemahan dan kemiskinan. Pengembangan ekonomi yang lebih humanis (bersandar pada pijakan Al-Quran dan Assunnah, serta realitas sosial) yang diharapkan dapat menghantarkan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera (Social welfare) yang berkeadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafii. 2001. “Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik”. Cet.I; Jakarta: Gema Insani, 2001.

Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Cet. II; Jakarta: Darul Haq, 2004. Al-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem

Ekonomi Alternatif Persepektif Islam, Cet.VII; Surabaya: Risalah Gusti, 2002. Sistem Keuangan Pedesaan Dan Pertanian

Melalui Peran Lembaga Keuangan Mikro (Lkm) Syari’ah (BMT; Alternatif Model LKM Sya’riah)

(16)

Baasir, Faisal (2003), Optimalisasi Regulasi Kerangka Kerja Bagi Keuangan.Mikro. Gema PKM.

Bell, Daniel. 1960.”The End of Ideology”. first editionBI and GTZ ProFI (2000), Legislation, Regulation, and

Supervision of Micro Institutions in Indonesia. CGAP. Guiding Principles On Regulation and Supervision of Microfinance. CGAP.

Capara, Fritjop. .2007.“Turning Point, Science, Society and the Rising Culture”. Jejak.Yogyakarta Galbaith, John K. 1987. ‘The New Industrial State”.

Princeton.Fatwa, A.M., Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa,(Jakarta: Yarsif Watampone, 2003).

Gema Insani. Jakarta Al Jawi, M Shiddiq 2010. Sistem Ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi.Jakarta

Helms, Brigit (2006). Access for All: Building Inclusive Financial Systems, CGAP. Holloh, Detlev and Prins, Hendriks. Regulation,

Supervision & Support of Non-Bank, Non Cooperative Micro-Finance Institution. ProfI-GTZ.

Holloh, Deltev. Microfinance Institution Study, Bank Indonesia, GTZ, dan Departemen Keuangan.

Ismawan, Bambang (2003), Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Gema PKM.

Ismawan, Bambang dan Setyo Budiantoro, Keuangan Mikro Sebuah Revolusi Tersembunyi Dari Bawah, (Jakarta: Gema PKM Indonesia, 2005).

JBIC (2003). JBIC & Microfinance: An Innovatie Financing Instrument to Support Sustainability in the Industry and Greater Outreach to Poor & Low-Income Families. JBIC.

Karim, Adiwarman A, Ekonomi Makro Islami, Cetakan ke-2, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. 2007

Ledgerwood, Joana (1999), Microfinance Handbook. The World Bank Washington. Laszlo, Ervin. 1997.”Third Millenium, the

Chalenge and the Vision ”.Gaia Books.

Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global,Cet. I; Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.

Martowijoyo, Sumantoro (2002), Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat terhadap Kinerja Lembaga Pedesaan. Jurnal Ekonomi Kerakyatan. Mihan, EF. 1967. “The Cost of Economic

Growth”. Stapless Press Mujahidin, Akhmad,Ekonomi Islam, Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007 al-Muslih, Abdullah dan Shalah Ash-Shawi, Ma Laa Yasa’ at-Tajira Jahluhu, Terjemahan

Nasution, M. E. Pengenalan Eksklusif Ilmu Ekonomi Islam.Jakarta: Kencana Group 2006

Nasution, Darmin (2003), Pointers Mengenai Kerangka Pengaturan Bagi Keuangan Mikro. Gema PKM.

Profi-GTZ (2005). Background Paper on Microfinance Policy and Strategy. ProFIGTZ.

Rudjito (2003), Peranan Lemabaga Keuangan Mikro Dalam Menggerakan

Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan. Gema PKM.

Rudjito (2010), Peran lembaga keuangan mikro dalam otonomi daerah guna menggerakkan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan studi kasus:

Bank Rakyat Indonesia,

dalamhttp://www.indonesiaindonesia.co m/f/8667-peran-lembaga-keuangan-mikro/, diakses tanggal 30 Agustus 2010. Staschen, Stefan (1999), Regulation and Supervision of Microfinance Institutions: State of Knowledge. GTZ.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesalahan ejaan pada makalah mahasiswa STKIP Al Hikmah berjumlah 150 kesalahan yang terdiri: (1) kesalahan penggunaan huruf

Pada dasarnya perangkat keras yang dibuat adalah sebuah wattmeter. Wattmeter ini berfungsi untuk mengukur daya yang dipakai oleh peralatan elektronik rumah tangga seperti

Pada studi yang dilakukan Anorital dkk tidak dapat diperoleh spesimen kotoran babi hutan sehingga tidak diketahui positif tidaknya kotoran tersebut mengandung telur

Media PCA setiap seri pengenceran disediakan 3 buah media, masing-masing dia mbil 0,5 ml, dituang pada media dan diratakan, untuk kontrol, terdapat 2 maca m ya itu

Dari pernyataan beberapa wirausahawan di pasar Gudang Garam unit 8 Kediri dalam wawancaranya dengan peneliti, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa persepsi pedagang pasar gudang

Model Penanggulangan Pekerja Seks Komersial adalah yang pertama adalah dengan penanganan melalui di dalam Panti Rehabilitasi, Panti yang berada di Surakarta adalah Panti

Peningkatan Keterampilan Menulis Narasi Ekspositoris Melalui Jurnal Pribadi Siswa Kelas IV di SDN Balasklumprik I/434 Surabaya setelah melalui lima tahap dalam setiap

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Fashion Involvement, Positive