• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem I (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem I (3)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Dalam Pengelolaan Terumbu Karang

Fretty Anggreani W1,2W

1Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jalan WR Supratman, Kandang

Limun, Bengkulu 38371 A, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-21170 / +62-736-22105

2 Bidang Penyuluhan Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lebong, Jalan Dua Jalur Perkantoran, Tubei, Kabupaten Lebong, Provinsi

Bengkulu, Indonesia

ABSTRAK

Komunitas terumbu karang di Indonesia tercatat seluas lebih dari 20.000km2 yang meliputi karang hidup, karang mati, lamun, dan pasir (COREMAP, 2001). Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Dengan adanya kekayaan dan sumber daya yang melimpah ini, maka perlu dilakukan penelitian yang dapat memberikan data dan informasi yang sinoptik dan bersifat spasial untuk mengetahui distribusi dan kondisi (tingkat kerusakan) terumbu karang serta luasannya.

Masalahnya adalah tingkat kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang akibat aktivitas manusia tersebut sangat sulit dibuktikan, disamping arealnya sangat luas juga susah untuk menunjukkan dimana kerusakan itu terjadi. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dengan segala kelebihannya merupakan solusi paling efektif karena dapat memberikan data secara akurat dengan penyajian data yang cukup detail dan akses data yang direkam secara periodic. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi dan kondisi (tingkat kerusakan) terumbu karang yang terjadi dalam kurung waktu terakhir serta luasannya dengan menggunakan citra satelit. Identifikasi sebaran, kondisi, sebaran serta luasan Terumbu Karang dapat dilakukan dengan menggunakan citra yaitu Citra Satelit Quickbird, Landsat TM, Analisis Citra ALOS AVNIR-2, Citra Penginderaan Jauh Multispektral Dengan Filter 2d Gabor Wavelet Dan Knearest Neighbor.

▸ Baca selengkapnya: peralatan dalam penginderaan jauh yang dipasang pada sebuah wahan dan berfungsi sebagai alat perekam atau pemantau obyek dipermukaan bumi disebut

(2)

I. PENDAHULUAN

Terumbu karang merupakan rumah bagi ribuan hewan dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, berbagai jenis hewan laut mencari makan dan berlindung di ekosistem tersebut. Pada kondisi yang sangat maksimal, terumbu karang menyediakan ikan-ikan dan molusca hingga mencapai jumlah sekitar 10 – 30 Ton/Km2 per tahunnya. Ekosistem ini merupakan sumber plasma nuftah bagi makhluk hidup baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Selain itu, terumbu karang merupakan laboratorium alam yang sangat unik untuk berbagai penelitian yang dapat mengungkapkan penemuan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Keindahannya dapat menjadi sumber devisa pariwisata bagi pemerintah setempat, sehingga dapat menambah penghasilan manusia, terutama bagi masyarakat pesisir.

Secara umum pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang sangat minim sehingga terumbu karang banyak digunakan destruktif misalnya sebagai pondasi bangunan. Kerusakan terumbu karang juga terjadi karena aktivitas pelayaran dan penangkapan. Perahu motor yang berlabuh sering melabuh jangkar di daerah terumbu karang, karena ada musim-musim tertentu yang membuat para pemilik perahu motor menjadikan areal terumbu karang sebagai pelabuhan sementara. Di dunia terdapat dua kelompok karang yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaannya terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu. Kemampuan ini disebabkan adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis dalam jaringan karang hermatifik. Sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia (Guilcher, 1988). Dengan kata lain Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki kedua jenis kelompok ini.

Komunitas terumbu karang di Indonesia tercatat seluas lebih dari 20.000km2 yang meliputi karang hidup, karang mati, lamun, dan pasir (COREMAP,2001). Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Apabila terumbu karang mengalami kematian (rusak) maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat pulih kembali. Menurut Nybakken (1988), beberapa jenis terumbu karang membutuhkan waktu satu tahun untuk mencapai panjang 1 cm. Kaitannya dengan perilaku manusia/masyarakat dalam pemanfaatan terumbu karang, akhir-akhir ini banyak menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, terutama dengan menggunakan bahan peledak (bom) dan bahan kimia beracun (zianida) dalam penangkapan ikan-ikan karang.

Dengan adanya kekayaan dan sumber daya yang melimpah ini, maka perlu suatu bentuk pengelolaan yang benar-benar cocok melalui pemahaman karakteristik dan kondisi lingkungannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang dapat memberikan data dan informasi yang sinoptik dan bersifat spasial untuk mengetahui distribusi dan kondisi (tingkat kerusakan) terumbu karang serta luasannya. Untuk itu perlu diciptakan data base nformasi spasial karakteristik terumbu karang dan kondisi lingkungannya. Implikasi manfaat ketersediaan data base ini sangat luas, tidak hanya untuk tujuan pengelolaan namun juga untuk tujuan pengembangan dan promosi.

Mengingat luasnya jumlah terumbu karang itu maka perlu suatu teknik yang efisien dan ekonomis untuk mendapatkan informasi tersebut. Teknik penginderaan jauh merupakan pilihan untuk mewujudkan data base terumbu karang. Selain itu, oleh karena pemanfaatan data Landsat paling banyak yaitu 50,52% (Hanggono, 2000), maka studi eksploratif data ini untuk terumbu karang dapat menjadi pilihan yang efisien untuk wilayah Indonesia yang luas.

Terumbu karang dapat berkembang dengan baik di daerah tropis. Namun praktek eksploitasi terumbu karang serta degradasi lingkungan daratan dan lautan telah memperburuk ekosistem terumbu karang. Kondisi ini membuat masyarakat dunia mulai mengkhawatirkannya. Hal ini dapat juga dipandang sebagai perlunya pengelolaan terumbu karang, karena terumbu karang merupakan sumber daya perikanan laut dan juga dapat berkembang menjadi pulau kecil.

Masalahnya adalah tingkat kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang akibat aktivitas manusia tersebut sangat sulit dibuktikan, disamping arealnya sangat luas juga susah untuk menunjukkan dimana kerusakan itu terjadi. Hingga saat ini belum tersedia data dan informasi yang cukup sebagai acuan dalam usaha pengelolaan dan konservasi terumbu karang diwilayah ini.

Dewasa ini penelitian terumbu karang mengenai distribusi, kondisi (tingkat kerusakan) dan luasannya masih dilakukan dengan cara konvensional yang masih mempunyai banyak kelemahan, disamping membutuhkan biaya yang cukup besar juga sulit mendapatkan data secara sinoptik dan bersifat spasial dalam areal yang luas.

(3)

penginderaan jauh. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik mekanik maupun elektro magnetik.Sekarang sudah tersedia sarana satelit yang dapat digunakan untuk mendapatkan data secara sinoptik dan bersifat spasial dalam areal yang luas tersebut.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi dan kondisi (tingkat kerusakan) terumbu karang yang terjadi dalam kurung waktu terakhir serta luasannya dengan menggunakan citra satelit Penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah kelangkaan data secara sinoptik dan bersifat spasial terhadap distribusi, kondisi dan luasan terumbu karang dengan Teknologi Penginderaan Jauh.

II. PEMBAHASAN 1.Citra Satelit Quickbird

Salah satu citra satelit yang digunakan dalam pemetaan terumbu karang adalah citra satelit Quickbird, dimana lokasi penelitian pemetaan terumbu karang ditentukan dengan menggunakan citra satelit Quickbird. Citra yang digunakan adalah citra Quickbird dengan akuisisi 20 Mei 2011. Band yang digunakan adalah band 1 dan band 2 dengan menggunakan algoritma Lyzenga (Wouthuyzen, 2001). Siregar (2010) menyebutkan, dalam pengolahan citra satelit, tahapan yang harus dilakukan adalah:

a. Koreksi citra (koreksi geometrik dan koreksi radiometrik).

b. Pemotongan citra sesuai dengan lokasi penelitian atau yang disebut cropping.

c. Pemilihan training area, pemilihan training area sebanyak 30 titik.

Penentuan 30 titik dilakukan pada objek citra band 1 dan band 2 sebagai bagian dari ekosistem Terumbu karang yang diduga melalui pengamatan secara visual.

a) Penghitungan ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band 1 dan band 2 untuk mendapatkan nilai ki/kj dari algoritma Lyzenga.

b) Transformasi Lyzenga, menggunakan software ENVI 4.4 dengan menggunakan metode klasifikasi unsupervised-isodata dengan mengkelaskan menjadi 7 kelas.

c) Pengklasifikasian terumbu karang.

Hal ini dilakukan karena daratan tidak dipisahkan dengan lautan, sehingga pengkelasan dibagi menjadi beberapa objek. Dimana prosedur pengklasifikasian adalah peta hasil klasifikasi unsupervised-isodata di export ke software ArcGIS. Peta yang semula berupa data raster diubah menjadi data vektor sehingga dapat menambahkan informasi didalamnya berupa berupa pengkelasan nama berdasarkan warna hasil klasifikasi unsupervised-isodata. Selain dengan

menggunakan metode tersebut, dapat juga dilakukan dengan mengekspor attribute table ke microsoft excel dengan menggunakan tools pivot table. Pada tahapan analisis data, data yang dianalisis meliputi data citra Quickbird, penghitungan persentase penutupan terumbu karang pada saat pengambilan data lapangan serta uji akurasi antara data citra satelit dan data lapangan. Analisis data citra satelit menggunakan algoritma Lyzenga dengan mencari koefisien atenuasi terlebih dahulu, dimana koefisien atenuasi berguna untuk penajaman terumbu karang (ki/kj0 didasarkan pada penghitungan varian dan covarian (Siregar, 2010), yaitu :

Agar hasil pengolahan citra sesuai dengan data lapangan, maka yang dilakukan selanjutnya adalah membuat titik pada peta hasil penutupan terumbu karang masing masing kelas sebanyak 10 titik dan dibandingkan dengan citra satelit Quickbird dengan komposit RGB 321. Hal ini dikarenakan citra satelit Quickbird memiliki tingkat resolusi spasial yang sangat tinggi (Damayanti, 2011). Uji akurasi dilakukan terhadap kelompok piksel yang mewakili objek tertentu yang diambil sebagai sampel dalam suatu polygon objek dengan koordinat lokasi yang sama dengan di lapangan. Selanjutnya sampel yang telah diambil dari lapangan dibandingkan dengan piksel hasil klasifikasi dengan menggunakan metode error matrix atau confution matrix (Damayanti, 2011). Dalam penelitian lain mengenai pemetaan terumbu karang dengan menggunakan citra satelit Quickbird dijelaskan, metode pengumpulan data terdiri dari (Amri, 2010):

1. Penentuan ground control point 2. Pemetaan habitat ground truth point 3. Pengumpulan data ekologi

Meliputi karakteristik habitat atau tipe substrat dasar perairan.

(4)

memiliki ketentuan yaitu harus menggunakan 2 buah GPS yang bertipe sama. GPS pertama berfungsi sebagai stationer untuk koreksi GPS kedua dan GPS kedua sebagai mobile untuk menandai posisi pada saat waypoint maupun penentuan ground control (Amri,2010).

Untuk pengolahan data citra hampir sama dengan metode yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan tahapan yang dilakukan antara lain adalah pengumpulan peta dan citra, koreksi radiometrik dan geometrik, registrasi peta, ground truth dan ground control points, transformasi produk ke training area untuk penajaman klasifikasi citra, analisis data, konversi data raster ke vektor dan kartografi dengan urutan sebagai berikut (Amri, 2010):

 Koreksi radiometrik untuk menghilangkan faktor- faktor yang menurunkan kualitas citra dengan menggunakan metode histogram adjustment.

 Koreksi geometrik dengan acuan data lapangan dan dilakukan pada dua periode waktu yang berbeda. Koreksi ini dilakukan dengan transformasi geometris dan resampling dengan beberapa ground control point. Hal ini bertujuan menempatkan piksel citra pada posisi sebenarnya di permukaan bumi.

 Input algoritma Lyzenga dengan cara mengekstrak informasi distribusi spasial karakteristik dasar perairan dengan beberapa pendekatan seperti citra komposit, penajaman standar exponential attenuation (Lyzenga, 1978).

Klasifikasi image hasil transformasi Lyzenga dengan menggunakan metode maximum likelihood (ML). Metode klasifikasi ini mempertimbangkan beberapa faktor antara lain peluang dari suatu piksel dikelaskan dalam kategori tertentu (prior probabilitas) dengan menghitung persentase tutupan lahan pada citra yang akan diklasifikasi. Hasil klasifikasi diinterpretasikan untuk digunakan melihat karakteristik dasar perairan.

Untuk analisis hasil klasifikasi citra menggunakan bantuan data posisi dan data tipe substrat yang diperoleh dari pengamatan di lapangan. Data klasifikasi citra disusun dengan data lapangan untuk melihat kesesuaian data. Masih dalam penelitian yang sama yang menggunakan citra satelit Quickbird dijelaskan, citra satelit yang digunakan adalah citra Quickbird yang diperoleh dari Digital Globe akuisisi 28 September 2008. Sensor pencitraan pada Quickbird dilengkapi 5 band, yaitu pankromatik 725 nm, multispektral biru 479,5 nm, hijau 546,5 nm, merah 654 nm dan inframerah dekat 814,5 nm (Siregar, 2010). Resolusi spasial pada nadir untuk band pankromatik adalah 61 cm x 61 cm dan untuk band multispektral adalah 2,44 m x 2,44 m (Digital Globe, 2008). Penelitian ini menggunakan band dari multispektral band biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Penggunaan citra satelit ini digunakan untuk evaluasi citra Quickbird yang digunakan untuk pemetaan sebaran terumbu karang yang dilakukan gobah karang lebar dan pulau Panggang.

2. Landsat TM

Selain menggunakan citra satelit Quickbird, pemanfaatan citra satelit untuk pemetaan terumbu karang juga menggunakan citra satelit Landsat-TM. Salah satu penelitian yang menggunakan citra satelit Landsat-TM adalah studi distribusi dan kondisi terumbu karang, dimana penelitian tersebut menggunakan data satelit hasil rekaman satelit Landsat-TM pada tanggal 29 Maret 1997 dan 29 Maret 1992 sebagai data primer yang diperoleh dari Bank Data Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PUSPATJA-LAPAN) (Rauf, 2004).

Pengolahan data citra menggunakan software Ermapper 6.1 dan ArcView 3.2. Alat yang digunakan untuk pengamatan insitu antara lain GPS, speed boat, alat selam, roll meter, sabak dan alat tulis, underwater camera dan secchi disc. Peta yang digunakan adalah peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan peta batimetri dengan skala 1:50.000. Penelitian menggunakan citra satelit Landsat-TM dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu (Rauf, 2004) :

a.Pengolahan citra awal.

Empat bagian utama yang harus dilakukan untuk pengolahan awal citra satelit Landsat-TM,

yaitu pembatasan wilayah penelitian (cropping data), penajaman citra (image enhancement), koreksi adiometrik dan koreksi geometrik dengan menggunakan software Ermapper 6.1.

b.Transformasi citra.

Untuk mendapatkan informasi objek dasar perairan, hal ini dikarenakan informasi yang didapat dari citra awal masih tercampur dengan informasi lain seperti kedalaman air, kekeruhan dan pergerakkan muka air laut. Pengolahan yang dilakukan meliputi penghilangan efek air, ekstraksi informasi objek dasar laut dengan menggunakan metode yang didasari oleh Exponential Attenuation Model oleh Lyzenga (1978).

c.Klasifikasi citra.

Melakukan penentuan training area, analisis ketelitian training area dan klasifikasi untuk mendapatkan citra yang telah dikelompokkan dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan nilai reflektansi tiap-tiap objek, sehingga memudahkan dalam analisis dan pengecekkan di lapangan. d.Survei lapangan dengan melakukan penentuan stasiun dan pengambilan data.

(5)

e.Pengolahan akhir.

Proses pelaksanaan hampir sama dengan pengolahan awal hanya saja pada saat interpretasi citra dan identifikasi suatu objek harus dikonfirmasikan dengan data lapangan dimana klasifikasi tersebut harus didasarkan pada data lapangan dengan posisi yang sudah dicatat sebelumnya.

Analisa ini disebut analisa dengan klasifikasi supervised yaitu klasifikasi yang didasarkan pada data lapangan yang sudah ada. Untuk analisis citra satelit Landsat-TM dengan melakukan validasi klasifikasi dengan membuat matriks kontingensi yang biasa disebut dengan matriks kesalahan (confusion matrix). Jumlah piksel yang diuji didapat dari training area pada proses klasifikasi, kemudian dilakukan operasi tabulasi dan korelasi silang dengan citra hasil pengolahan dari setiap algoritma (Jupp,1988).

Metode lain dalam pengolahan data citra satelit Landsat-TM adalah dengan melakukan interpretasi citra dengan bantuan kaca pembesar. Interpretasi citra dengan menggunakan kaca pembesar dilakukan dengan cara (Saripin, 2003): 1. Membandingkan dan membuat batasan

perbedaan kenampakan objek pada citra menggunakan OH pen pada citra yang dilapisi plastik transparan.

2. Analisis citra berdasarkan perbedaan warna, pola dan tekstur yang tampak pada citra satelit berwarna dan ditekankan pada pengenalan jenis objek dan tipe lahan atau kawasan.

Selain dengan metode tersebut, metode lainnya untuk pengolahan data citra satelit Landsat-TM adalah dengan pengolahan awal dan pengolahan lanjut (Asriningrum, et al., 2004). Tahapan pengolahan awal citra satelit Landsat-TM meliputi pemilihan data untuk mencari data yang bebas dari tutupan awan termasuk proses koreksi radiometrik dan koreksi geometrik seperti pengolahan citra lainnya. Setelah proses ini selesai data dapat digunakan untuk mendapatkan informasi lanjutan dengan cara mengekstrak menggunakan metode yang sesuai dengan data yang dibutuhkan. Pengolahan lanjutan bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang objek yang diteliti dengan membuat citra komposit dan penajaman citra (Asriningrum, et al., 2004). Hal ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik terumbu karang. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dengan tujuan menonjolkan detail bentuk permukaan bumi dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan penajaman, sehingga aspekaspek morfologi,

morfognesis dan morfokronologi bentuk lahan dapat diidentifikasi. Langkah selanjutnya dilakukan interpretasi bentuk lahan secara visual melalui laptop dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi dan fasilitas memperbesar dan memperkecil liputan citra yang ada pada laptop agar lebih detail dan dapat diamati. Analisis geomorfologis dilakukan dengan pendekatan bentang lahan (landscape) dengan mengutamakan perhatian pada bentuk lahan, litologi, genesis dan prosesproses masa lampau dan saat ini yang bisa diamati dari citra satelit. Fungsi multispektral dilakukan dengan memilih 3 band, yaitu untuk membuat citra warna komposit dengan memasukkan setiap band kedalam filter merah, hijau dan biru (RGB), dan dari kombinasi tersebut diharapkan dapat menyajikan keragaman warna paling banyak agar diperoleh informasi yang optimal. diperoleh kombinasi warna komposit sebanyak C36=6!/(3!) (6-3)!=20. Untuk memperoleh urutan nilai OIF dari kombinasi 3 band tersebut, digunakan algoritma (OIF) berikut:

Dimana

Sk = Standar deviasi nilai spektral pada band Abs (rj) = Nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari 3 band

20 kombinasi warna tersebut yang merupakan hasil terbaik untuk interpretasi citra adalah yang memiliki nilai OIF tinggi. Sedangkan penajaman citra dilakukan sebagai tahap lanjutan setelah pembuatan model fusi band selesai, karena penajaman diaplikasikan pada model-model fusi band yang sudah terpilih (Jensen, 1986).

Identifikasi karakteristik terumbu karang menggunakan data Landsat - ETM dengan resolusi spasial 30 meter dan 15 meter dianggap cukup akurat untuk klasifikasi pada skala 1:50.000 dimana bentukan lahan dikelompokkan menjadi lebih dari 189 kelas dan untuk terumbu karang dikelompokkan menjadi 9 kelas. Sedangkan penutupan lahan/penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 28 kelas (F-G UGM-Bakosurtanal, 2000) 3. Analisis Citra ALOS AVNIR-2

Pengolahan awal meliputi penggabungan data dan koreksi geometrik. Koreksi geometrik dilakukan dengan metode registrasi (image to Image). Citra acuannya adalah citra georefernsi yang telah terkoreksi dengan koordinat peta dari

(6)

Transfomasi koordinat pada citra menggunakan model polynomial.

Setelah citra dikoreksi, dilakukan penajaman citra dalam bentuk komposit warna RGB (Red-Green-Blue) kanal 421. Untuk mendapatkan kenampakan citra wilayah perairan dangkal yang lebih formatif, dilakukan transformasi citra dengan menggunakan metode Lyzengga (1978). Pemanfaatan metode ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa spektral kanal biru dan hijau pada data AVNIR-2 mempunyai interval yang mirip dengan data Landsat-7 ETM yang umum digunakan untuk ekstraksi informasi dasar perairan (pemetaan terumbu karang) dengan menggunakan metode sama.

Ekstraksi informasi untuk identifikasi terumbu karang dapat menggunakan transformasi metode Lyzengga (1978) yaitu berdasarkan pada formasi nilai dari reflektansi atau energy yang dipantulkan dari suatu dasar perairan. Nilai refleksi tersebut berkaitan erat dengan obyek dasar perairan dan fungsi eksponensial dari kedalaman air laut. Metode Lyzengga menurunkan persamaan yang disebut Exponential Attenuation Model, seperti diperlihatkan pada persamaan 2-1.

Li = Li˜ + (0,54 Lib - Li˜ ) exp...(2-1)

Dimana :

Li = Refleksi pada kanal i

Li˜ = Rata-rata nilai reflekstansi pada perairan laut dalam

Lib = Reflektansi dasar perairan (0 m), kanal i z = Kedalaman perairan

ki = Koefesien atenuasi pada kanal i.

Pada persamaan 1 terdapat beberapa parameter yang belum diketahui nilainya, yaitu nilai reflektansi dasar perairan, koefesien atenuasi dan masing-masing kanal, dan kedalaman perairan untuk setiap pixel data. Oleh karenanya, persamaan selanjutnya dikembangkan dengan menggunakan dua kanal visible (cahaya tampak), yaitu : kanal

biru dan hijau. Dari hasil pengembangan menggunakan 2 kanal tersebut diperoleh persamaan sebagai berikut :

Y = ln (B1) – ki/kj. ln(B2)...(2-2)

di mana:

Y = Ekstraksi informasi dasar perairan B1 = Nilai reflektansi kanal biru B2 = Nilai reflektansi kanal hijau

Ki/kj = Rasio koefesien kanal biru dan kanal hijau.

Koefesien atenuasi dihitung dari slope bi-plot data yang telah ditrasformasikan dengan ln

(natural logaritma). Gradien bi-plot dihitung menggunakan persamaan 2-3.

Ki/kj = a + √ (a2 + 1)...(2-3)

Dimana :

a = var (B1)-var (B2)) / 2.cov(B1.B2)

Dengan menggunakan ekstraksi informasi pada persamaan (2-2), setiap piksel akan terkonversi menjadi indeks tipe dasar perairan yang terbebas dari pengaruh kedalaman. Nilai indeks piksel dari citra yang telah ditransformasikan dari penurunan algorithm Lyzengga dapat menunjukkan identifikasi kelas-kelas obyek perairan dangkal. Kunci obyek perairan dangkal berdasarkan Kerjasama COREMAP Puslitbang Oseanologi LIPI dengan Pusbangja LAPAN, 2001. Obyek interpretasinya adalah : Warna ungu muda sampai biru adalah laut, Warna cyan ke hijau muda kekeruhan jika menyebar dan batasnya tegas dan warna hijau kekuning-kuningan dengan batas tidak tegas adalah karang , warna hijau dengan warna kekuning-kuningan adalah karang dan pasir, Warna merah tegas ngeblok adalah pasir. Warna hijau kebiru-biruan tidak tegas samar bercak-bercak adalah lamun.

4. Citra Penginderaan Jauh Multispektral Dengan Filter 2d Gabor Wavelet Dan Knearest Neighbor

Citra penginderaan jauh terlebih dahulu dikoreksi radiometrik menggunakan dark channel prior dan dicari parameter ukuran slide window yang tepat. Dark channel prior dipilih atas dasar kemampuannya untuk menghilangkan kabut. Pada Sistem, dark channel prior digunakan untuk memperbaiki nilai piksel pada citra penginderaan jauh multispektral yang terkena gangguan tutupan atmosfer bumi. Citra hasil pengolahan dark

(7)

III. PENUTUP A. Kesimpulan

1. Masalahnya adalah tingkat kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang akibat aktivitas manusia tersebut sangat sulit dibuktikan, disamping arealnya sangat luas juga susah untuk menunjukkan dimana kerusakan itu terjadi.

2. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dengan segala kelebihannya merupakan solusi paling efektif karena dapat memberikan data secara akurat dengan penyajian data yang cukup detail dan akses data yang direkam secara periodic.

3. Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik mekanik maupun elektro magnetik.

4. Identifikasi sebaran, kondisi, sebaran serta luasan Terumbu Karang dapat dilakukan dengan menggunakan citra yaitu

 Citra Satelit Quickbird

 Landsat TM

 Analisis Citra ALOS AVNIR-2

 Citra Penginderaan Jauh Multispektral Dengan Filter 2d Gabor Wavelet Dan Knearest Neighbor

B. Saran

Diharapkan kedepan teknmogi pemanfaatanpenginderaan jauh dan Sistim informasi Geografis dengan menggunaakan Citra dapat selalu diperbaharui sesuai dengan kecanggihan teknologi yang ada untuk dapat menidentifikasi sebaran, kondisi dann luasan Terumbu Karang utuk dapat diselamatkan keragaman jenisnya sebagai salah satu sumberdaya hayati pesisir dan laut yang mesti dipertahankan dari kerusakan akibat ulah tangan manusia

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, R dan Surahman. 2015. Penentuan Sebaran Terumbu Karang Dengan Menggunakan Algoritma Lyzenga Di Pulau Maitara. Prosiding Seminar Nasional Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil, 1 (1) : 101-107

Suhana, MP. 2015. Pemetaan Sebaran dan Kondisi Terumbu Karang dengan Memanfaatkan Citra Satelit Quickbird, Landsat-TM, EO-1 Hyperion dan ALOS-AVNIR. Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

Sulistiana, N.I., Hidayat, B.,wardana, K.M.I. 2012 Identifikasi Terumbu Karang Berdasarkan Citra Penginderaan Jauh Multispektral

Dengan Filter 2d Gabor Wavelet Dan Knearest Neighbour.Telkom University.

Sulistyo B, 2007, Uji Ketelitian Identifikasi Penyebaran Terumbu Karang Berdasarkan Landsat TM Studi Kasus Di Pulau Enggano, Kab. Bengkulu Utara. Majalah Geografi Indonesia 212: 191-203.

Suwargana, N. Analisis Citra Alos Avnir-2 Untuk Pemetaan Terumbu Karang (Studi Kasus: Banyuputih, Kabupaten Situbondo). Deteksi Parameter Geobiofisik dan Diseminasi Penginderaan Jauh Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014, 588-596.

Referensi

Dokumen terkait

Memberikan pelayanan transaksi kas ataupun overbooking, serta memberikan pelayanan pembayaran dari dan ke nasabah untuk kepentingan bisnis BRI sesuai dengan sistem

Tujuan dari pemantauan ini untuk mengetahui kualitas udara laboratorium IEBE dan radioaktivitasnya, sehingga dapat mendukung sistem keselamatan bagi pekerja radiasi

Untuk memanggang atau memanggang makanan dengan suhu pemasakan yang sama, pada lebih dari 1 rak, tanpa pencampuran aroma.. Memasak se‐ cara

Reaksi itu tampil dalam tingkah laku malajusment, seperti, (1)agresif, melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi, dan senang mengganggu, dan (2) melarikan diri

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan stress pada remaja di SMP Negeri 3 Gamping Sleman Yogyakarta. Hasil penelitian ini

dengan melakukan pengukuran tingkat kecemasan khususnya pasangan infertil yang sedang menjalani pengobatan infertilitas, dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi

rRNA bakteri multiresisten antibotik yang diisolasi dari tanah Rumah Sakit di Purwokerto (isolat WK 45) menggunakan enzim restriksi HindIII.. Metode Penelitian: Jenis

Kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia masih dihadapkan pada kelangkaan tenaga ahli, spesialis, dan profesional dalam bidang logistik baik pada level manajerial maupun