• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Jenis Dekomposer Pada Pembuatan Kompos Dari Limbah Pelepah Kelapa Sawit Terhadap Mutu Kompos Yang Dihasilkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Jenis Dekomposer Pada Pembuatan Kompos Dari Limbah Pelepah Kelapa Sawit Terhadap Mutu Kompos Yang Dihasilkan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit

Klasifikasi botani kelapa sawit adalah sebagai berikut:

Divisio : Tracheophyta

Subdivisio : Pteropsida

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotiledonae

Ordo : Cocoidae

Familia : Palmae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guinensis

Varietas : Dura, Psifera, Tenera

Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang

hingga saat ini diakui paling produktif dan ekonomis dibandingkan tanaman

penghasil minyak nabati lainnya. Jika dibandingkan dengan minyak nabati lain,

minyak kelapa sawit memiliki keistimewaan terendiri, yakni rendahnya

kandungan kolestrol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang

tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan, tetapi juga untuk memenuhi

kebutuhan nonpangan (Hadi, 2004).

Pelepah dan daun kelapa sawit memiliki kandungan nutrisi bahan kering

(% BK) setara dengan rumput alam yang tumbuh di padang penggembalaan.

Kandungan zat-zat nutrisi pelepah dan daun kelapa sawit adalah bahan kering

48.78%, protein kasar 5.3%, hemiselulosa 21.1%, selulosa 27.9%, serat kasar

(2)

Limbah Perkebunan Kelapa Sawit

Menurut Sa’id (1996), berdasarkan lokasi pembentukannya, limbah hasil

perkebunan kelapa sawit dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Limbah lapangan

Limbah lapangan merupakan sisa tanaman yang ditinggalkan waktu panen,

peremajaan, atau pembukaan areal perkebunan baru. Contoh limbah lapangan

adalah kayu, ranting, pelepah, dan gulma hasil penyiangan kebun. Setiap

pembukaan perkebunan baru dihasilkan kayu tebangan hutan antara 40 – 50

m3/tahun. Satu hektar tanaman kelapa sawit akan menghasilkan limbah pelepah

daun sebanyak 10,40 ton bobot kering dalam setahun.

2. Limbah pengolahan

Limbah pengolahan merupakan hasil ikutan yang terbawa pada waktu

panen hasil utama, dan kemudian dipisahkan dari produk utama waktu proses

pengolahan. Menurut penggunaannya, limbah pengolahan terdiri dari tiga kategori

sebagai berikut.

a. Limbah yang diolah menjadi produk lain karena memiliki arti ekonomi yang

besar seperti inti sawit.

b. Limbah yang didaur ulang untuk menghasilkan energi dalam pengolahan dan

pupuk, misalnya tandan kosong, cangkang, dan serat (sabut) buah sawit.

c. Limbah yang dibuang sebagai sampah pengolahan.

Limbah pelepah sawit hanya dimanfaatkan menjadi pakan ternak dan

pupuk kompos. Analisa kimia terhadap pelepah sawit menunjukkan bahwa

(3)

bahwa pelepah sawit berpeluang untuk diolah lebih lanjut menjadi produk yang

bermanfaat dan bernilai ekonomis (Badan Pusat Statistik Riau, 2011).

Kompos

Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan

organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik lainnya. Kompos

mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan antara lain:

1) memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan

2) memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai

3) menambah daya ikat air pada tanah

4) memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah

5) mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara

6) mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit

7) membantu proses pelapukan bahan mineral

8) memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba

9) menurunkan aktivitas mikroorganime yang merugikan

(Indriani, 2001).

Menumpuknya limbah organik memerlukan penanganan agar tidak

menimbulkan pencemaran lingkungan seperti bau tidak sedap atau menjadi sarang

lalat. Jalan pintas yang sering dijumpai adalah dengan membakar. Pembakaran

limbah organik tersebut selain tidak memberikan manfaat, juga dapat

(4)

Tabel 1. Kandungan rata-rata hara kompos

Komponen Kandungan (%)

Kadar air 41,00 – 43,00

Sumber : Dari beberapa pupuk organik yang beredar di pasaran s/d 2002

(Musnamar, 2003).

Secara garis besar, membuat kompos berarti merangsang perkembangan

bakteri (jasad-jasad renik) untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan

yang dikomposkan hingga terurai menjadi senyawa lain. Penguraian bahan-bahan

tersebut dibantu oleh suhu 60° C. Proses penguraian tersebut mengubah unsur

hara yang terikat dalam senyawa organik sukar larut menjadi senyawa organik

larut sehingga berguna bagi tanaman. Pengomposan bertujuan untuk menurunkan

rasio C/N. Tergantung jenis tanamannya, rasio C/N sisa tanaman yang masih

segar umumnya tinggi sehingga mendekati rasio C/N tanah. Bila bahan organik

yang memiliki rasio C/N tinggi tidak dikomposkan terlebih dahulu (langsung

diberikan ke tanah) maka proses penguraiannya akan terjadi di tanah

(Lingga dan Marsono, 2001).

Prinsip Pengomposan

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio bahan organik hingga

sama dengan C/N tanah (<20). Dengan semakin tingginya C/N bahan maka proses

pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Waktu yang

(5)

tahunan. Hal ini terlihat dari pembuatan humus di alam, dari bahan organik untuk

menjadi humus diperlukan waktu bertahun-tahun (humus merupakan hasil proses

lebih lanjut dari pengomposan) (Indriani, 2001).

Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan

mikrobia agar mampu mempercepat proses dokomposisi bahan organik. Mikrobia

tersebut adalah bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik untuk bahan

baku kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ternak,

dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan adalah

kelembaban timbunan bahan kompos, aerasi timbunan, temperatur harus dijaga

tidak terlampau tinggi (60°C), suasana, netralisasi keasaman, dan kualitas kompos

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Pengomposan Aerob

Sistem pengomposan aerobik adalah proses dekomposisi bahan organik

dengan oksigen bebas dan sebagai hasil akhir diperoleh air, CO2, unsur-unsur

hara, dan energi. Energi yang dihasilkan pada pengomposan sistem aerobik adalah

484 – 674 kkal/mol glukosa. Energi tersebut dihasilkan dari perombakan bahan

karbon menjadi karbondioksida. . Reaksi keseluruhannya,

BO, m.o CO2 + H2O + Unsur hara + Humus + Energi

(Sa’id, 1996).

Dalam sistem ini, kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap (menjadi

CO2) dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama

proses pengomposan aerob tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan

berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat

(6)

menghasilkan temperatur yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Akan

tetapi, apabila temperatur melampui 65°C – 70°C, kegiatan mikroorganisme akan

menurun karena kematian organisme akibat panas yang tinggi (Sutanto, 2002).

Pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur yang cukup

kuat selama 3 – 5 hari pertama dan temperatur kompos dapat mencapai 55 – 70°C.

Kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan

mikroorganisme. Pada kisaran temperatur ini, mikroorganisme dapat tumbuh tiga

kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 55°C. Selain itu, pada

temperatur tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan

organik. Penurunan rasio C/N juga dapat berjalan dengan sempurna. Dilihat dari

fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperatur rendah (10 –

45°C) berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas

permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Sementara

itu, bakteri termofilik yang hidup pada temperatur tinggi (45 – 65°C) yang tumbuh

dalam waktu terbatas berfungsi untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein

sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat (Djuarnani, dkk., 2008).

Cara Macdonald

Bahan – bahan mentah (batang-batang kecil dan daun-daunan, serasah atau

sampah tanaman, sampah sayuran di dapur) dimasukkan ke dalam wadah.

Tumpukan bahan-bahan mentah itu usahakan agar mencapai tinggi sekitar 1

meter, dengan ketentuan setiap 20 cm tinggi tumpukan diberi aktifator misalnya

pupuk kandang atau buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah busuk yang

diperlukan untuk pengembangan bakteri. Dalam keadaan kering segera siramkan

(7)

Setelah 2 atau 3 bulan tumpukan benar-benar telah melapuk dan kompos dapat

segera digunakan (Sutejo, 2002).

Perubahan pada Pembuatan Kompos

Tumpukan bahan-bahan mentah (serasah, sisa-sisa tanaman, sampah

dapur, dll.) menjadi kompos dikarenakan telah terjadi pelapukan, penguraian atau

dengan lain perkataan telah terjadi perubahan-perubahan dari sifat fisik semula

menjadi sifat fisik baru (kompos). Perubahan ini sebagian besar adalah karena

kegiatan-kegiatan jasad renik sehubungan pula dengan kebutuhan-kebutuhan

hidupnya.

Perubahan-perubahan itu adalah karena terjadinya penguraian-penguraian,

pengikatan dan pembebasan berbagai zat atau unsur hara selama berlangsung

proses pembentukan kompos, sebagai berikut:

a. Hidrat arang (selulosa, hemiselulosa, dll.) diurai menjadi CO2 dan air atau CH4

dan H2.

b. Zat putih telur diurai melalui amida-amida, asam-asam amino, menjadi

amoniak, CO2 dan air

c. Berjenis-jenis unsur hara, terutama N di samping P dan K dan lain-lain, sebagai

hasil uraian, akan terikat dalam tubuh jasad renik dan sebagian yang tidak

terikat menjadi tersedia di dalam tanah. Apa yang terikat ini kelak akan

dikembalikan ke dalam tanah setelah jasad-jasad renik mati.

d. Ternyata pula unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik akan terbebas

menjadi senyawa-senyawa anorganik sehingga tersedia di dalam tanah bagi

keperluan pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

(8)

Selama berlangsungnya perubahan-perubahan tersebut akan terjadi pula

perubahan-perubahan pada berat dan isi bahan-bahannya atau dengan perkataan

lain akan berlangsung pengurangan-pengurangan, misalnya karena terjadi

penguapan dan pencucian. Dalam penguapan biasanya sebagian besar

senyawa-senyawa zat arang hilang ke udara (Sutejo, 2002).

Pengaruh Pupuk terhadap Sifat Fisika Tanah

Pengaruh pupuk terhadap sifat fisika tanah tergantung kepada sifat dan

jumlah koloid liat yang ada di dalam tanah. Pada dasarnya pupuk yang

ditambahkan ke dalam tanah tidak akan dapat menambah jumlah koloid tanah

(kecuali pupuk-pupuk organik), tetapi dapat mempengaruhi sifat kimia dari koloid

tanah. Umumnya pupuk organik lebih diutamakan untuk memperbaiki sifat-sifat

fisik tanah daripada untuk menambah kandungan unsur hara yang dapat diserap

oleh akar tanaman. Pemupukan dengan pupuk organik dapat meningkatkan

kemantapan agregat, ruang pori, kerapatan lindak dan kisaran air tersedia.

Pengaruh Pupuk terhadap Sifat Kimiawi Tanah

Pemberian pupuk organik bukanlah bertujuan untuk menambah unsur

hara, karena kandungan haranya rendah, tapi bila ditinjau dari pengaruhnya

terhadap sifat kimiawi tanah, pupuk organik mempunyai peranan yang penting

seperti peningkatan kadar humus di dalam tanah akan meningkatkan kapasitas

tukar kation (KTK), meningkatkan ketersediaan fosfat di dalam tanah dan dapat

(9)

Pengaruh Pupuk terhadap Sifat Biologi Tanah

Bahan organik merupakan sumber energi dari jasad-jasad mikro tanah.

Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah semakin besar aktivitas dan

perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Aktivitas mikroorganisme ini

sangat penting dalam hal perombakan bahan organis, pelapukan protein menjadi

asam-asam amino, proses nitrifikasi yang pada akhirnya membebaskan unsur hara

seperti N, P dan S serta unsur-unsur mikro (Damanik, dkk., 2010).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

Pembuatan kompos dipengaruhi oleh beberapa faktor:

1. Nilai C/N bahan

Semakin besar nilai C/N bahan maka proses penguraian oleh bakteri akan

semakin lama. Proses pembuatan kompos akan menurunkan C/N rasio sehingga

menjadi 12 – 20.

2. Ukuran bahan

Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses

pengomposannya karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan bakteri.

Pencacahan bahan yang tidak keras sebaiknya tidak terlalu kecil karena bahan

yang terlalu hancur (banyak air) kurang baik (kelembabannya menjadi tinggi).

3. Komposisi bahan

Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.

Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan

kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan

yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik,

(10)

4. Jumlah mikroorganisme

Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, actinomycetes, dan

protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam bahan yang akan

dikomposkan. Dengan bertambahnya jumlah mikroorganisme, diharapkan proses

pengomposan akan lebih cepat.

5. Kelembapan

Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembapan

sekitar 40 – 60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat

bekerja secara optimal. Kelembapan yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat

menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati.

6. Temperatur

Temperatur optimal sekitar 30 – 50o C (hangat). Bila temperatur terlalu

tinggi mikroorganisme akan mati. Bila temperatur relatif rendah mikroorganisme

belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme

dalam proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk

menjaga temperatur tetap optimal sering dilakukan pembalikan.

7. Keasaman

Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas

mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5 – 7,5 (netral). Jika bahan

yang dikomposkan terlalu asam, pH dapat dinaikkan dengan cara menambahkan

kapur. Sebaliknya, jika pH tinggi (basa) bisa diturunkan dengan menambahkan

bahan yang bereaksi asam (mengandung nitrogen) seperti urea atau kotoran

hewan

(11)

Perbandingan C/N

Perbandingan C/N bahan organik (bahan baku kompos) merupakan faktor

terpenting dalam laju pengomposan. Proses pengomposan akan berjalan dengan

baik jika perbandingan C/N bahan organik yang dikomposkan sekitar 25 – 35

(Simamora dan Salundik, 2006).

Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N)

dalam satuan bahan. Semua makhluk hidup tersebut dari sejumlah besar bahan

karbon (C) serta nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Bahan organik yang

mempunyai C/N yang tinggi berarti masih mentah. Kompos yang belum matang

(C/N tinggi) dianggap merugikan bila langsung diberikan ke dalam tanah.

Umumnya masalah utama pengomposan adalah kadar rasio C/N yang tinggi.

Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya

menambahkan mikroorganisme selulotik atau dengan menambahkan kotoran

hewan karena hewan mengandung banyak senyawa nitrogen (Yuwono, 2005).

C/N berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah. Penambahan bahan

organik yang nisbah C/N tinggi mengakibatkan tanah mengalami perubahan

imbangan C/N dengan cepat, karena mikroorganisme tanah menyerang sisa

pertanaman. C/N juga berfungsi menyeimbangkan ketersediaan nitrogen yang

dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Apabila bahan organik yang diberikan ke tanah

mempunyai nisbah C/N yang tinggi, maka mikroorganisme tanah dan tanaman

akan berkompetisi memanfaatkan nitrogen dan tanaman selalu kalah

(12)

Keasaman (pH)

Kisaran pH kompos yang optimal adalah 6,0 – 8,0 derajat keasaman bahan

pada permulaan pengomposan pada umumnya asam sampai netral (pH 6,0 – 7,0).

Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan

karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan mengubah

bahan organik menjadi asam organik. Pada proses selanjutnya, mikroorganisme

dari jenis yang lain akan mengkonversi asam organik yang telah terbentuk

sehingga derajat keasaman yang tinggi dan mendekati netral

(Djuarnani, dkk., 2005).

Menurut Sa’id (1996), pengomposan pada suasana aerobik akan bersifat

basa. Keasaman yang terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikan konsumsi

oksigen yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Agar proses

penguraian bahan-bahan kompos berlangsung cepat, maka pH tumpukan kompos

tidak boleh terlalu rendah. Dengan demikian perlu diberikan kapur atau abu dapur.

Namun pemberian tersebut harus disesuaikan dengan bahan yang dikomposkan.

Pada prinsipnya bahan organik dengan nilai pH antara 3 dan 11 dapat

dikomposkan, pH optimum berkisar 5,5 dan 8,0. Bakteri lebih senang pada pH

netral, fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam. Kondisi yang

alkali kuat menyebabkan kehilangan nitrogen, hal ini kemungkinan terjadi apabila

ditambahkan kapur padasaat pengomposan berlangsung. Kondisi sangat asam

pada awal proses dekomposisi menunjukkan proses dekomposisi berlangsung

tanpa terjadi peningkatan suhu. Biasanya pH agak turun pada awal proses

pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Dengan

(13)

kembali naik setelah berapahari dan pH berada pada kondisi netral. Variasi pH

yang cukup ekstirm menunjukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi

(Sutanto, 2002).

Rendemen

Rendemen adalah perbandingan berat kering terhadap berat basah dan

dinyatakan dalam persen. Rendemen dapat ditentukan dengan cara bahan

ditimbang sebelum diolah yang dinyatakan sebagai berat basah, kemudian setelah

selesai diolah bahan ditimbang kembali dan dinyatakan sebagai berat kering.

Rendemen dihitung dengan rumus:

Rendemen = berat akhir

berat awal x 100% ... (1)

(Taib, dkk.,1989).

Penghalusan

Penghalusan bahan meningkatkan permukaan spesifik bahan kompos

dengan demikian mempunyai pengaruh yang positif terhadap proses dekomposisi.

Penghalusan bahan juga menghasilkan ukuran partikel yang lebih seragam dan

membuat bahan lebih homogen pada saat dilakukan pencampuran. Partikel

berukuran 5 – 10 cm sesuai untuk pengomposan ditinjau dari aspek sirkulasi udara

yang kemungkinan terjadi. Partikel yang berukuran sangat kecil mendorong

kemungkinan terjadinya pemadatan bahan. Ukuran partikel yang lebih kecil hanya

(14)

Mutu Pupuk Kompos

Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI

19-7030-2004 dan peraturan menteri pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Di dalam

standar ini termuat batas-batas maksimum atau minimum sifat-sifat fisik atau

kimiawi kompos, termasuk di dalamnya batas maksimum kandungan logam berat.

Untuk memastikan apakah seluruh krietria kualitas kompos ini terpenuhi maka

diperlukan analisis laboratorium.

Tabel 2. Standar Kualitas Kompos

No Parameter Satuan Min Maks No Parameter Satuan Min Maks

Keterangan : *Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari minimum

SNI : 19-7030-2004 dalam Badan Standarisasi Nasional (2011)

Kadar hara kompos sangat ditentukan oleh bahan yang dikomposkan, cara

pengomposan dan cara penyimpanannya. Kompos yang baik merupakan kompos

yang penguraiannya sudah berhenti. Biasanya penguraian akan berhenti setelah

2,5 bulan. Kompos yang baik biasanya memiliki butiran halus berwarna cokelat

(15)

Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara

jumlah karbon dan nitrogen (C/N rasio). Jika C/N rasio tinggi, berarti bahan

penyusun kompos belum terurai secara sempurna. Bahan kompos dengan C/N

rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan

ber-C/N rasio rendah. Kualitas kompos dianggap baik jika memiliki C/N rasio

antara 12 – 15 (Novizan, 2005).

Mikroorganisme Lokal (MOL)

MOL adalah cairan yang berbahan dari berbagai sumber daya alam yang

tersedia setempat. MOL mengandung unsur hara makro dan mikro dan juga

mengandung mikroba yang berpotensi sebagai perombak bahan organik,

perangsang pertumbuhan dan sebagai agen pengendali hama penyakit tanaman.

Berdasarkan kandungan yang terdapat dalam MOL tersebut, maka MOL dapat

digunakan sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida organik

terutama sebagai fungsida (Sari, dkk., 2012).

Peran MOL dalam kompos, selain sebagai penyuplai nutrisi juga berperan

sebagai komponen bioreaktor yang bertugas menjaga proses tumbuh tanaman

secara optimal. Fungsi bioreaktor antara lain penyuplai nutrisi melalui mekanisme

eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan tanaman, menjaga stabilitas kondisi

tanah menuju kondisi yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dan kontrol terhadap

penyakit yang menyerang tanaman (Kurnia, 2009).

MOL tapai dibuat dengan mencampurkan tapai singkong dengan air dan

gula. Campuran tersebut disimpan di dalam botol dan didiamkan sampai 5 hari.

Setelah lima hari, MOL sudah dapat digunakan. 2,5 liter mol dapat digunakan

(16)

Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar

2 – 3 bulan bahkan 6 – 12 bulan. Pengomposan dapat berlangsung dengan

fermentasi yang lebih cepat dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme

lokal (MOL) merupakan salah satu aktivator yang dapat membantu mempercepat

proses pengomposan dan bermanfaat meningkatkan unsur hara kompos

(Subandriyo, 2013).

Menurut penelitian Waksman (dalam Sutejo, 2010), pupuk organik di

dalam tanah dapat memperbesar populasi jasad renik, seperti di bawah ini:

Tabel 3. Populasi jasad renik pada pupuk organik di dalam tanah

Perlakuan terhadap

Perbandingan Efektivitas MOL dengan EM4

Sekitar tahun 1980, Prof Dr. Teruo Higa dari Jepang mengembangkan

teknologi Mikroorganisme Efektif (ME) sebagai alternatif dalam mewujudkan

konsep pertanian alami. Mikroorganisme efektif adalah suatu larutan yang terdiri

dari kultur pertanian alami dan merupakan kultur campuran berbagai mikroba

yang bermanfaat bagi tanaman dan berfungsi sebagai bio-inokulan. Setiap spesies

mikroba mempunyai fungsi dan peranan masing-masing yang bersifat saling

menunjang dan bekerja secara sinergis. Larutan ME di pasaran umum

(17)

Mikroorganisme yang terdapat dalam EM4 terdiri dari bakteri fotosintesis

(Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), ragi

(Saccharomices sp), actinomycetes sp, dan asprgillus sp. Effective Microorganism

(EM4) dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan

ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta meningkatkan aktivitas serangga,

hama dan mikroorganisme patogen (Djuarnani, dkk., 2005).

Menurut Husen dan Irawan (2010), penggunaan MOL tergolong sangat

mudah, kemudian EM-4, M-Dec, Orgadec, dan Pukan Sapi. Sedangkan

penggunaan Probion, menurut petani, tergolong sulit yang diduga terkait dengan

aplikasi bahan tambahan (urea). Namun demikian, dari segi kualitas kompos yang

dihasilkan berdasarkan pengamatan petani tergolong cukup baik (MOL, M-Dec,

Pukan Sapi, dan Probion), baik (Orgadec), dan baik sekali (EM-4). Laju

penurunan rasio C/N kompos tercepat ditunjukkan oleh perlakuan M-Dec, EM-4,

dan MOL-pepaya.

Jeruk

Komposisi buah jeruk manis terdiri dari bermacam – macam, di antaranya

air 70 – 92 %, gula, asam organik, asam amino, vitamin, zat warna, mineral, dan

lain – lain. Buah jeruk yang semakin tua, kandungan gulanya semakin bertambah,

tetapi kandungan asamnya semakin berkurang (Pracaya, 2003).

Mangga

Mangga merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 30 m. Bunga

umumnya terdapat dalam tandan atau rangkaian. Setiap tandan dapat mempunyai

lebih dari 1000 kuntum bunga. Bunga pada pangkal tandannya umumnya jantan,

(18)

bunga pada ujung tandan adalah sempurna (hermaprodit) yang jumlahnya kurang

dari 8% (Sunarjono, 2000).

Nenas

Tanaman nanas merupakan rumput yang batangnya pendek sekali.

Daunnya berurat sejajar dan pada tepinya tumbuh duri yang menghadap ke atas

(ke arah ujung daun). Buah yang matang terasa gatal di tenggorokan karena

kandungan asam oksalat yang tinggi. Di dalam buah terdapat zat bromelin yang

bersifat sebagai pemecah protein (pelunak daging), tetapi daya protoelitiknya

lebih rendah daripada papain (Sunarjono, 2000).

Pepaya

Buah pepaya memiliki manfaat bagi kesehatan manusia. Kandungan

vitamin C pepaya lebih tinggi daripada jeruk. Berkat kandungan flavonoid,

vitamin C, E, dan betakriptoxantin (bagian dari karotenoid vitamin A), pepaya

memiliki sifat antioksidan yang kuat. Juga mengandung serat, asam folat, kalium

dan papain. Lebih dari 50 asam amino terkandung dalam buah pepaya, antara lain

asam aspartat, treonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valine,

isoleusin, leusin, tirosin, fenilalanin, histidin, lysin, arginin, tritophan, dan sistein

Gambar

Tabel 1. Kandungan rata-rata hara kompos
Tabel 2. Standar Kualitas Kompos
Tabel 3. Populasi jasad renik pada pupuk organik di dalam tanah

Referensi

Dokumen terkait

Mekanisme pencacahan daun serta pengempa rachis dan petiole pada pelepah pada mesin pengolahan limbah pelepah kelapa sawit akan menghasilkan bahan pengomposan dari

Beberapa alasan mengapa bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman antara lain adalah : 1) bila tanah mengandung

Pupuk organik cair adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan atau bagian hewan atau limbah organik lainnya yang telah melalui

Proses pengomposan dilakukan dengan penambahan kotoran ayam menggunakan aktivator campuran EM-4 dan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS).. Sampel

Proses pengomposan dilakukan dengan penambahan kotoran ayam menggunakan aktivator campuran EM-4 dan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS).. Sampel

Setelah itu larutan EM4 dicampurkan pada bahan organik yang tandan kosong kelapa sawit, lalu dilakukan pengomposan (bahan dimasukkan ke dalam terpal dan ditutup dengan rapat)

Setelah itu larutan EM4 dicampurkan pada bahan organik yang tandan kosong kelapa sawit, lalu dilakukan pengomposan (bahan dimasukkan ke dalam terpal dan ditutup dengan rapat)

Kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan, dalam penelitian ini bahan kompos