• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arah Kebijakan Perbankan Syariah dalam M (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Arah Kebijakan Perbankan Syariah dalam M (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ARAH KEBIJAKAN PERBANKAN SYARIAH DALAM

MENGOPTIMALKANUSAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH; UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA*

Oleh

Oleh Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag.,M.H*

Abstrak

Penelitian ini menemukan bahwa Bank Indonesia akan memfokuskan kebijakan pengembangan perbankan syariah tahun 2013 pada hal-hal sebagai berikut: (1) pembiayaan perbankan syariah yang lebih mengarah kepada sektor produktif dan masyarakat yang lebih luas; (2) pengembangan produk yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor produktif, dan (3) transisi pengawasan yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang secara langsung memberi peluang bagi perbankan syariah dalam mengoptimalkan UMKM. Terdapat lima peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur perbankan syariah, namun cukup memberi peluang bagi perbankan syariah dalam mengoptimalkan UMKM, yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang Perekonomian Nasional; (2) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 22 tentang Pembiayaan Usaha Mikro; (3) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan Koperasi; (4) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang Penerima Fidusia; (5) UU No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat, Pasal 1 ayat 2 tentang Pemusatan Kekuatan Ekonomi.

Key Word: Perbankan Syari’ah, UMKM, Kekuatan Ekonomi

A. Latar Belakang Masalah

Sejak kelahirannya tahun 1991 hingga sekarang, perbankan syariah telah membuktikan kiprah sosialnya dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di negeri Indonesia.1 Hal ini ditunjukkan oleh Bank Muamalat, sejak 2005 telah menggalakan program pembiayaan terhadap UMKM. Bank Muamalat melakukan program aliansi dengan jaringan lembaga keuangan mikro syariah(BMT), sebagai salah satu strategi penyaluran pembiayaan. Saat dibuka kala itu, BMT yang dimiliki Bank Muamalat di seluruh Indonesia telah tercatat sekitar 3.043 unit. Bahkan, jaringan BMT tersebut juga dapat

*Makalah disampaikan dalam acara diskusi dosen pada tanggal 14 Maret 2013 di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1

Penggunaan terminologi UMKM seolah-olah menyatukan koperasi,usaha mikro, usahakecildan

usahamenengah dalam satuperspektifkelompok usahayang lemah dan perludilindungi.

(2)

dimanfaatkan sebagai perpanjangan pihak Bank Umum Syariah untuk menjangkau layanan pembiayaan kepada usaha kecil dan mikro, melalui program linkage.2

Bukan hanya Bank Muamalat yang peduli terhadap perkembangan UMKM. PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) termasuk bank yang gencar meraih pangsa pasar UMKM. Pembiayaan UMKM terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2005, posisi pembiayaan UMKM oleh BSM mencapai Rp 3,26 triliun. Pada 2006 naik lagi menjadi Rp 4,83 triliun. Tahun 2007 hingga 13 Oktober 2008 telah mencapai Rp 7,72 triliun. Pembiayaan yang disalurkan BSM pada tahun 2008 mencapai lebih dari Rp 13 triliun. Pada 2012, dana yang disalurkan oleh bank syariah kepada sektor UMKM telah mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu sebesar Rp 83,09 triliun atausebesar 61,29% dari total pembiayaan perbankan syariah. Potensi UMKM juga dicermati bank-bank umum yang memiliki unit syariah. Salah satunya adalah bank BII, yang menganggap UMKM sebagai salah satu sektor penting untuk penyaluran pembiayaan.3

Perkembangan perbankan syariah selama satu tahun terakhir, sampai dengan bulan Oktober 2012 cukup menggembirakan. Perbankan syariah mampu tumbuh ± 37% sehingga total asetnya menjadi Rp174,09 triliun. Pembiayaan telah mencapai Rp135,58 triliun (40,06%) dan penghimpunan dana menjadi Rp134,45 triliun (32,06%). Strategi edukasi dan sosialisasi perbankan syariah yang ditempuh dilakukan bersama antara Bank Indonesia dengan industri dalam bentuk iB campaign baik untuk funding maupun financing telah mampu memperbesar market share perbankan syariah menjadi ± 4,3%.4

Penghimpunan dana masyarakat terbesar dalam bentuk deposito, yaitu Rp78,50 triliun (58,39%) diikuti oleh Tabungan sebesar Rp40,84 triliun (30,38%) dan Giro sebesar Rp15,09 triliun (11,22%). Penyaluran dana masih didominasi piutang Murabahah sebesar Rp80,95 triliun atau 59,71% diikuti pembiayaan Musyarakah yang sebesar Rp25,21 triliun (18,59%) dan pembiayaan Mudharabah sebesar Rp11,44 triliun (8,44%), dan piutang Qardh sebesar Rp11,19 triliun (8,25%).Sebagaimana pencapaian pada tahun lalu, perbankan syariah tetap berkomitmen untuk menggerakkan sektor riil dan mengoptimalkan pencapaian tersebut. Pembiayaan sebagai upaya lembaga finansial dalam menggerakkan sektor riil telah mendapat perhatian tinggi dari perbankan syariah. Sebesar 80,85% dari total penyaluran dana perbankan syariah atau Rp135,58 triliun diinvestasikan ke dalam aktivitas pembiayaan, lalu Penempatan pada Bank Indonesia dalam bentuk Surat Berharga Bank Indonesia Syariah (SBIS), giro dan Fasilitas Bank Indonesia (FASBI) sebesar Rp18,52 triliun (11,04%),

2Yang dimaksud dengan linkage program dalah kerja sama antara Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat termasuk di dalamnyaBank dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dalam menyalurkan Pembiayaan kepada UMKM. Linkage program dengan polaexecutinga dalah pinjaman yang diberikan dari bank kepada Bank Perkreditan Rakyat Syariah dalam rangka pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah UMKM. Lihat: Penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaiankualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, 3.

Dari 8 BUS dan 4 UUS yang telah melaporkan pelaksanaan fungsi sosial dan linkage, jumlah dana yang telah dikumpulkan dan/atau disalurkan perbankan syariah selama tahun 2012 (s.d Oktober 2012) adalah: (i) dana CSR Rp 42,2 milyar, (ii) dana ZISW Rp 52,7 milyar, (iii) linkage program BPRS Rp 207,2 milyar dan (iv) linkage program BMT Rp 439,2 milyar, 16. Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013, 5; Lihat juga Ninik Haryati, Peran Bank Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Kota Yogyakarta, Tesis, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010, 1.

3Lihat: www.seputar-indonesia.com:Raih Dukungan BankSyariah dalam Ninik Haryati, Peran Bank

Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Kota Yogyakarta, Tesis, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010, 2.

4Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang sangat concern terhadap pengembangan sektor riil

(3)

kemudian penempatan pada Surat Berharga yang dimiliki sebesar Rp7,82 triliun (4,66%) serta penempatan pada Bank Lain sebesar Rp5,16 triliun (3,08%).5

Dalam rangka tetap menumbuh-kembangkan perbankan syariah, Bank Indonesia akan memfokuskan kebijakan pengembangan perbankan syariah tahun 2013 pada hal-hal sebagai berikut: (i) Pembiayaan perbankan syariah yang lebih mengarah kepada sektor produktif dan masyarakat yang lebih luas, (ii) Pengembangan produk yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor produktif, (iii) Transisi pengawasan yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah.

Untuk meningkatkan peran serta bank dalam mengoptimalkan UMKM. Bank syariah terus berusaha mengatur strategi melalui program kemitraan untuk usaha yang belum bankable, linkage program dengan lembaga keuangan mikro untuk perluasan pembiayaan syariah, seperti model penjaminan cash collateral dari instansi dan peningkatan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil. Pengembangan sektor UMKM ini, sebetulnya bukan hanya tanggungjawab bank syariah semata, Namun juga menjadi tanggungjawab Bank Indonesia.6Hasil penelitian Muzammir menyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam pemberdayaan UMKM karena perkembangan UMKM sangat vital dan menentukan upaya tercapainya proses keadilan sosial. Menurut Muzammir, peran pemerintah dalam memberikan layanan terbaik terhadap kelompok UMKM adalah satu hal yang wajib.7

Penelitian Mudrajad Kuncoro menyebutkan bahwa ada beberapa kendala8 dalam pengembangan UMKM di Indonesia, di antaranya: a) kebijakan makro pemerintah yang kurang mendukung; b) adanya pungutan liar mulai dari proses perizinan sampai pengadaan barang dan ekspor barang tersebut; dan c) permasalahan pembiayaan yang membebankan usaha kepada pengusaha UMKM, antara lain: proses pembiayaan lama dan bunga tinggi dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya.9Ditambahlagi pendapat Ninik Haryati yang menyatakan bahwa hambatan dalam mengoptimalkan usaha adalah manajemen yang tidak teratur, sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Faktor-faktor kendala yang sering timbul adalah modal karena usaha menengah sampai kecil terbentur modal yang ada dan mereka tidak dapat pinjaman karena agunan yang diberikan tidak memenuhi syarat.10

Berdasarkan uraian di atas, peran aktif dari perbankan syariah melalui peningkatan penyaluran kredit atau pembiayaan kepada UMKM sangat dibutuhkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan, yaitu bank syariah memiliki kebijakan yang berpihak kepada sektor UMKM

5

Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013, 6.

6Dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah

dengan UU No.3 Tahun 2004, kebijakan Bank Indonesia dalam membantu pengembangan UMKM sebagian kreditnya kepada usaha kecil; PBI No.6/25/PBI/2004 dan SE No.6/44/DPNP perihal Rencana Bisnis Bank Umum dalam Penyaluran Kredit UMKM, sehinggadiketahui komitmen bank dalam menyalurkan kredit UMKM; dan SE No.8/3/DPNP, di mana dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) bobot risiko untuk KUK dikenakan sebesar 85%. Lihat: Andang Setyobudi, Peran Serta Bank Indonesia dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 32-33.

7Muzammir, Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi

Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tidakdipublikasikan.

8Sampai saat ini belum ada satu kesepakatan antarlintas instansi dalam mendefinisikan usaha mikro,

usaha kecil dan usaha menengah (UMKM). Hal inilah yang kemudian menjadi kendala mendasar dalam menetapkan kebijakan untuk mengembangkan UKM. Berbagai pihak yang berkepentingan dengan UKM mempunyai definisi menurut sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Lihat, Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pembangunan KUMKM, 83.

9Mudrajad Kuncoro, Makalah Seminar PSAK “Catatan Tentang Sektor Industri & UMM 10 Tahun

Pasca Krisis” 2007.

10

(4)

sebagai salah satu pilar ekonomi yang sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional.Dengan studi ini akan diketahui sejauh mana peran perbankan dalam mengembangkan UMKM, sehingga akativitas usaha yang dijalankan UMKM dapat optimal. Di samping itu juga akan dikethaui peraturan perundang-undangan apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan UMKM dalam mengembangkan usahanya, sehingga menjadi peluang bagi pengembangan UMKM di masa mendatang.

B. Arah Kebijakan Perbankan Syariah 2013

Perbankan syariah sebagai bagian dari perbankan nasional, dalam menetapkan arah kebijakan perbankan syariah ke depan tidak terlepas dari kebijakan perbankan nasional sebagaimana yang telah disampaikan Gubernur Bank Indonesia dalam pertemuan Bankers Dinners tanggal 23 November 2012 lalu. Dalam rangka terus mendorong dan menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah, terlebih pada tahun 2013 yang merupakan tahun transisi pengawasam mikroprudential perbankan dari Bank Indonesia (BI) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mulai efektif pada tanggal 1 Januari 2014, Bank Indonesia memandang perlu dilakukannya langkah pengembangan dan kebijakan perbankan syariah yang difokuskan pada hal-hal berikut:11

1. Pembiayaan Perbankan Syariah yang Lebih Mengarah kepada Sektor Ekonomi Produktif dan Masyarakat yang Lebih Luas

Kebijakan perbankan syariah, di tahun 2013 diarahkan untuk mengembangkan pelayanan akan pembiayaan sektor-sektor produksi. Beberapa terobosan yang dapat ditempuh antara lain dengan memasuki sektor-sektor yang mendapatkan prioritas dari pemerintah seperti konstruksi, listrik dan gas, pertanian dan industri kreatif, sektor produktif untuk start up business, dan sektor UMKM, serta proyek-proyek skala prioritas dalam inisiatif MP3EI (master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia). Pada tahun 2012, fokus pembiayaan kepada sektor produktif ini sudah mulai terlihat hasilnya di perbankan syariah, di mana sebagai akibatnya terlihat dari melambatnya pertumbuhan pangsa sektor konsumsi (jasa dunia usaha + jasa sosial + lain-lain) terhadap total pembiayaan kepada berbagai sektor ekonomi dan melambatnya pertumbuhan pangsa pembiayaan jenis konsumsi terhadap total pembiayaan (modal kerja + investasi + konsumsi) dibandingkan tahun sebelumnya (posisi September).12

2. Pengembangan Produk yang Lebih Memenuhi Kebutuhan Masyarakat dan Sektor Produktif

BI akan terus menyempurnakan regulasi terkait produk perbankan syariah. Melanjutkan kebijakan pada tahun-tahun sebelumnya, BI menyelenggarakan forum kerjasama tripartite dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Ikatan Akuntan Indonesia dalam mempercepat pengembangan produk-produk baru atau non standard. Sebagaimana tahun sebelumnya, diagendakan untuk produk yang relevan dengan kebutuhan bank dan masyarakat. Sebagaimana tahun sebelumnya, bank syariah diarahkan untuk memperkuat unit kerja pengembangan produk guna mempercepat pengembangan aset dan mengakomodir kebutuhan masyarakat secara lebih luas. Dalam pengembangan produk tersebut, bank syariah kadang kala tidak seleluasa perbankan konvensional yang lebih bebas mengeksplorasi produk, sehingga acap kali membatasi bank syariah dalam inovasi produk. Jika keterbatasan tersebut tidak berkaitan dengan aspek kesyariahan, maka dapat dikaji bersama dengan

11

Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013, 35.

12

(5)

regulator dan asosiasi. Namun jika keterbatasan pada aspek syariah selain dikaji bersama dengan DSN, juga semestinya dipahami bersama, baik kalangan perbankan, regulator, maupun masyarakat bahwa perbankan syariah memberikan nilai lebih pada sistem keuangan yang diberikan dan kemaslahatan yang lebih arif.13

3. Transisi Pengawasan yang Tetap Menjaga Kesinambungan Pengembangan Perbankan Syariah

Pasca disahkannya Undang-undang No.21 Tahun 2011 tentang OJK, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk perbankan syariah yang sebelumnya dilakukan oleh BI akan beralih kepada OJK pada akhir tahun 2013. Dengan demikian, tahun 2013 merupakan periode yang sangat krusial dalam mempersiapkan pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan syariah dari BI ke OJK. Terbentuknya OJK, telah membagi dua kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk perbankan syariah, yaitu mikroprudential di OJK dan makroprudential di BI.

Dalam pelaksanaannya, terdapat kemungkinan terjadinya overlapping antara kebijakan mikroprudential dengan makroprudential, sehingga diharapkan dalam masa transisi pengawasan ini tidak akan mengganggu proses pengembangan dan pertumbuhan perbankan syariah itu sendiri. Selain itu juga masing-masing lembaga yang memiliki kepentingan dalam pengembangan dan pertumbuhan perbankan syariah, dalam masa transisi sudah seharusnya melakukan proses review dan menyelaraskan berbagai perangkat organisasi dan infrastrukturnya, serta menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mempersiapkan peranannya yang baru. Termasuk di antaranya adalah menyiapkan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan selain mekanisme dan proses koordinasi yang baru antara berbagai lembaga yang ada, baik nasional maupun internasional. BI sebagai lembaga yang diamanahkan UU OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudential semestinya sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya terkait dengan hal tersebut.14

Beberapa pengamat ekonomi menyatakan paket-paket kebijakan yang diterbitkan

pemerintah tersebut, belum layak disebut sebagai “paket kebijakan” karena cenderung hanya

merupakan kompilasi usulan birokrasi dan bukan turunan kebijakan yang jelas atau bureaucratic driven dan bukan policy driven. Paket kebijakan dinilai tidak menjawab masalah dan hambatan yang dihadapi sektor riil, seperti: infrastruktur, pasokan energi, bahan baku, kebutuhan kredit, pendanaan dan lainnya.15

Pengamat ekonomi umumnya berharap paket kebijakan yang diterbitkan pemerintah memiliki dampak luas terhadap ekonomi, serta mampu mengubah struktur pasar dan persaingan usaha yang sehat, sebagaimana Paket Deregulasi Oktober 1988. Semangat paket

kebijakan perlu mencontoh “Paket New Deal” yang dicanangkan oleh Presiden Roosevelt yang menetapkan tiga pilar kebijakan, yaitu: relief, recovery, and reform (3Rs). Pilar-pilar tersebut diterjemahkan keberbagai program, seperti: kebijakan ekonomi yang ekspansif, program kerja bagi pemuda yang menganggur, mendirikan work project administration yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja untuk membangun infrastruktur publik, dan sejenisnya. Terlepas dari penilaian negatif dari para pengamat ekonomi yang cenderung bertindak sebagai oposan kebijakan pemerintah; bagi sebagian besar pemangku kepentingan menyatakan Inpres ini dapat menghasilkan perbaikan upaya pemberdayaan UMKM yang terintegrasi dan lintas instansi. Inpres ini dapat mendorong lintas pelaku untuk memahami

13Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013, 40.

14

Lihat: Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013, 41.

15

(6)

dan mendalami permasalahan pembangunan UMKM, yang pada akhirnya akan meningkatkan peran sertanya dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia.

C. Terminologi UMKM Menurut Pemangku Kepentingan

Hingga saat ini, belum ada satu kesepakatan antarlintas instansi dalam mendefinisikan UMKM. Hal inilah yang kemudian menjadi kendala mendasar dalam menetapkan kebijakan untuk mengembangkan UKM. Berdasarkan hasil diskusi dengan pemangku kepentingan mengindikasikan perlunya membedakan antara koperasi, usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah. Pembedaan perspektif ini dinilai akan memudahkan bagi lintas pelaku untuk mengidentifikasikan akar permasalahan untuk setiap jenis kelompok usaha dan merumuskan program pemberdayaannya secara proporsional. Pemangku kepentingan relatif kesulitan membedakan antara terminologi ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan, ekonomi informal, dan UMKM; sehingga sering digunakan sebagai subtitusi satu terminologi dengan terminologi lainnya.

Kementerian Perindustrian memiliki konsep yang mirip dalam mendefinisikan UKM dengan Kementerian Koperasi dan UKM, hanya berbeda dalam besarannya. Kementerian Perindustrian mendefinisikan industri kecil dan menengah sebagai unit usaha yang mempunyai nilai investasi maksimal Rp 5 miliar. Hal ini masih sesuai dengan koridor Inpres No.10 Tahun 1999 tentang Usaha Kecil.

Bank Indonesia mempunyai definisi tersendiri mengenai UMKM. Kriteria yang digunakan oleh BI didasarkan pada plafond kredit. Usaha mikro mempunyai plafond kredit sampai dengan Rp 50 juta, usaha kecil memiliki plafond antara Rp 50 hingga 500 juta, sedangkan usaha menengah mempunyai plafond kredit lebih dari Rp 500 juta. Beberapa bank menggunakan definisi yang berbeda satu dengan yang lain untuk mendefinisikan kredit mikro, kecil dan menengah, serta kredit korporasi. Kredit mikro umumnya memiliki plafon maksimal Rp 50 juta per debitur, kredit kecil dalam kisaran Rp 50 juta – Rp 5 milyar per debitur, kredit menengah dalam kisaran Rp 5 sampai dengan 50 milyar per debitur, dan kredit korporasi umumnya di atas Rp 50 milyar per debitur. Selama ini, pelaksanaan penyaluran kreditatau pembiayaan kepada UMKM oleh bank syariah dijalankan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, baik aturan yang secara langsung maupun secara tidak langsung mengatur perbankan syariah.

Adanya berbagai definisi UMKM di atas menunjukkan tidak ada persamaan pemahaman dan persepsi mengenai definisi dan kriteria UMKM. Hal ini mengindikasikan bahwa UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan aturan pelaksanaannya belum dijadikan basis oleh seluruh instansi di Indonesia. Ketidakakuratan pemahaman mengenai definisi UMKM oleh aparatur pemerintahan terutama di daerah dapat dibuktikan melalui Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No.4 Tahun 2007 tentang Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Perda tersebut mendefinisikan usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan, hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah), modal usaha tidak lebih dari Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan.

(7)

terminologi UMKM masih sangat bias pada usaha mikro, serta mengindikasikan adanya misleading dalam memahami makna kekayaan bersih (aktiva dikurangi dengan kewajiban) dengan modal usaha, serta menjadi indikasi kedangkalan pemahaman terhadap UMKM.

Beberapa pemangku kepentingan menyatakan bahwa pembangunan UMKM masih ditempatkan dalam kerangka “alat atau wahana” pembangunan ekonomi dan sosial, dan bukan dimaksudkan untuk semata-mata memberdayakan UMKM. Hal ini mempertegas dualisme pemerintah dalam memandang UMKM sebagai subyek yang harus diberdayakan atau sebagai obyek untuk mencapai tujuan pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa para pemangku kepentingan secara umum menilai undang-undang ini tidak mengatur UMKM secara langsung, tapi memiliki dampak yang bersifat langsung terhadap upaya pembangunan UMKM. RPJP Nasional mendorong pengambil kebijakan untuk memprioritaskan pemberdayaan UMKM karena memiliki landasan hukum yang kuat, dan sekaligus memberikan rambu-rambu untuk perencanaan pemberdayaan UMKM sesuai dengan Tupoksi instansinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pemangku kepentingan menilai RPJP ini memiliki pengaruh langsung yang signifikan pada perencanan pembangunan UMKM di Indonesia pada masa mendatang melalui jalur birokrasi pemerintahan.

Salah satu perangkat hukum yang secara langsung mengatur bank syariah dalam pengembangan UMKM dapat dilihat pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 point (1) Penilaian atas kualitas pembiayaan dan penyediaan dana lainnya didasarkan pada kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberlakukan hanya untuk:16 (a) pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang berjumlah sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk satu nasabah individual atau nasabah grup; (b) pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh bank kepada nasabah UKM dengan jumlah: 1) di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah), bagi bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (i) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan sangat memadai; (ii) memiliki tingkat kesehatan cukup sehat atau paling kurang peringkat komposit tiga; dan (iii) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; 2) di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), bagi bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (i) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dari pembiayaan dapat diandalkan; (ii) memiliki tingkat kesehatan cukup sehat atau paling kurang peringkat komposit tiga; dan (iii) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku.

Keterbatasan permodalan dan akses pembiayaan usaha kecil ke sumber-sumber pembiayaan dinilai, seperti kredit perbankan, pinjaman lembaga keuangan bukan bank (leasing dan sejenisnya), modal ventura, pinjaman dari penyisihan sebagian laba BUMN, hibah, dan jenis-jenis pembiayaan lainnya. Salah satu kesulitan utama usaha kecil untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan formal adalah masalah legalitas, lemahnya kemampuan merumuskan kebutuhan pengembangan usaha dan manajemen keuangannya, serta keterbatasan agunan.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka peningkatan kemampuan usaha kecil mengakses pembiayaan usaha dengan bagi usaha kecil telah dilakukan dalam bentuk berbagai program,

16Lihat: Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank

(8)

seperti kredit program, pengembangan perbankan syariah dan modal ventura, serta pengembangan skema dana bergulir melalui koperasi. Pemangku kepentingan menilai kurang jelasnya konsistensi dan keberlanjutan program menyulitkan usaha kecil menyiapkan diri untuk berperan dalam program peningkatan akses pembiayaan untuk pengembangan usaha. Program yang bersifat tumbuh dan hilang, dan sering berganti nama program juga dinilai oleh pemangku kepentingan menyulitkan usaha kecil untuk mengakses secara baik.

D. Peluang Bank Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Menurut Peraturan Perundang-Undangan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak lain merupakan upaya optimalisasi usaha mikro dan kecil.Akan tetapi kebijakantersebut belum memadai untuk dijadikansebagai landasan penyaluran kredit kepada UMKM oleh bank syariah. Akibatnya UMKM belum dapat berkembang sebagaimana layaknya usaha dagang lainnya.

Berkaitan dengan hal itu, upaya mengembangkan UMKM agar lebih optimal. Berikut ini terdapat lima peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur, tetapi memberi peluang bagi bank syariah dalam mengembangkan UMKM di Indonesia, yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang Perekonomian Nasional; (2) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 22 tentang Pembiayaan Usaha Mikro; (3) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan Koperasi; (4) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang Penerima Fidusia; (5) UU No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat, Pasal 1 ayat 2 tentang Pemusatan Kekuatan Ekonomi.

1. UUD 1945

Dari sisi konstitusi atau UUD 1945, sebenarnya persoalan bank syariah sudah mendapatkan tempat, terutama pada Pembukaan UUD 1945 bahwa Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam yang harus diakomodasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut pendapat Hartono Mardjono, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menghendaki agar: (1) negara tidak memberlakukan undang-undang atau kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) negara meberlakukan undang-undang atau kebijakan bagi terwujudnya rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan (3) negara memberlakukan undang-undang yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.17 Pendapat ini sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja, setiap prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945 bermakna tidak boleh ada produk hukum nasional yang mengandung penentangan atau penolakan atau permusuhan terhadap ajaran agama.18 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa sebagai konsekuensi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa itu maka materi undang-undang bukan saja tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhan Yang Maha Esa tetapi pula harus merupakan pengejawantahan nilai-nilai terebut.19 Selain itu, dukungan konstitusi terhadap perbankan syariah dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip

17Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas

Yarsi, 1998), 77.

18Mochtar Kusumaatmadja, “Pemantapan Citra Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional pada Masa

Kini dan Masa yang Akan Datang,” Pro Justitia 2 (April 1997), 8.

19

(9)

keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Menurut hemat penulis, lembaga keuangan yang paling tepat untuk menerjemahkan Pasal di atas adalah perbankan syariah. Hal ini disebabkan adanya beberapa alasan, yaitu: (1) perbankan syariah sesuai dengan budaya Indonesia, hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia sebagian besar menjadi pelaku UMKM; (2) bank syariah mengedepankan kesejahteraan bersama daripada kesejahteraan individu; (3) bank syariah dapat dijadikan sebagai solusi pembiayaan bagi masyarakat ekonomi kecil, sehingga mereka dapat menikmati layanan perbankan dan dapat memberdayakan diri mereka; (4) bank syariah menolak atau menentang tindakan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan; (5) bank syariah telah mampu mengintegrasikan antara tuntutan bisnis dengan tuntutan syariah; dan (6) bank syariah sangat peduli terhadap pengembangan sektor riil, serta mendukung perekonomian nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Dengan demikian, makna demokrasi ekonomi adalah adanya kebersamaan atau kerjasama antarpelaku ekonomi. Kerjasama ini tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak ada rasa saling hormat-menghormati antarpelaku ekonomi. Berdasarkan UUD 1945, pelakuekonomi di Indonesia harus salingbekerjasama dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kerjasamaantarpelaku ekonomi merupakan pencerminan adanya sikap hormat-menghormati. Oleh karena itu, isi Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 ini sangat relevan dengan kebijakan bank syariah dalam mengembangkan UMKM dengan cara memberdayakan pengusaha mikro dan kecil, sehingga terciptanya kesejahteraan bersama.

2. Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dunia usaha saat ini, khususnya usaha mikro dan kecil mengalami perkembangan seiring dengan diterbitkannya UU tentang UMKM.20 Dengan dikeluarkannya UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, peluang perbankan syariah semakin terbuka lebar karena dimungkinkan untuk terlibat secara maksimal dalam pemberdayaan UMKM.21 Peluang itu

dapat dilihat pada Pasal 22 “Usaha mikro sangat dimungkinkan untuk meningkatkan dan memajukan, serta memberdayakan masyarakat ekonomi lemah sehingga keberaadaan UMKM akan mampu menciptakan perekonomian yang adil dan penuh kebersamaan, serta berpijak pada pemberdayaan masyarakat.”

Untuk itu, UMKM menjadi prioritas pemerintah. Hal ini disebabkan UMKM merupakan kata kunci untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran. Di samping untuk mengimbangi dominasi dari perusahaan nasional dan multinasional yang bisa mematikan usaha kecil.

Mengingat besarnya peran usaha kecil tersebut, maka dalam Pasal 8 huruf a juga diatur mengenai sumber pendanaan UMKM yang dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan non bank. Selanjutnya, dipertegas lagi dalam Pasal 8 huruf d yang menyatakan bahwa “Untuk membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan non bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah.”

Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa sumber pendanaan UMKM selain dapat dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, pembiayaan kepada UMKM dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara baik sistem bunga maupun berdasarkan prinsip syariah.

20Zubairi Hasan,Undang-undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional

(Jakarta: Rajawali Pers, 2009) Cet. Ke-1,242.

21

(10)

Berkaitan dengan pembiayaan, beberapa bank sudah melangkah maju ke depan, seperti yang terlihat pada BRI dengan BRI unit desanya. Bank lain, seperti Bank Danamon dengan Dana Simpan Pinjam (DSP) telah mencanangkan pembukaan ratusan DSP sebagai upaya untuk menjangkau UMKM.22 Melihat gencarnya perkembangan bank yang merambah ke sektor mikro, tidak sedikit dari pelaku Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mulai khawatir akan eksistensinya, karena keberadaan lembaga sejenis yang menginduk pada bank besar, seperti DSP yang menginduk pada Bank Danamon.23

Apakah yang dilakukan perbankan syariah terhadap UMKM? Sebetulnya sudah banyak, namun melihat kebutuhan riil masyarakat yang menjadi pelaku UMKM akan kebutuhan layanan perbankan syariah, maka apa yang sudah dilakukan perbankan syariah masih terasa kurang. Hal ini merupakan tantangan serius yang harus segera dijawab oleh perbankan syariah, tentunya dengan kerja cerdas dan kerja nyata.

Sebetulnya sudah sering didengung-dengungkan bahwa watak dasar perbankan syariah ini sangat sesuai dengan kebutuhan UMKM. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya UU tentang UMKM ini, maka langkah bank syariah menjadi semakin jelas. Untuk memasuki UMKM, sebenarnyaperbankan syariah sudah mempunyai mitra, yaitu BMT. Oleh karena itu, BMT perlu diberdayakan dengan segala cara, sehingga perbankan syariah mempunyai kaki untuk mengakses UMKM. Ditambah lagi, perbankan syariah tidak boleh segan-segan membangun kaki (kantor perwakilan) sendiri terutama di pusat-pusat ekonomi rakyat seperti di pasar dan di mall. Kenapa perbankan syariah tidak mau menggunakan kaki yang sudah ada, yakni BMT yang hingga tahun 2008 sudah berjumlah 3000 unit lebih. Hal ini, tentu harus menjadi perhatian kita semua.

3. Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi

Dalam UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Pasal 1 ditegaskan bahwa:

“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-perorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”24

Menurut Nur S. Buchori, konstitusi kita menempatkan koperasi25 sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Atas dasar itulah, kemudian koperasi sebagai suatu perusahaan yang permanen sangat dimungkinkan untuk berkembang secara ekonomis. Selain itu juga akan mampu memberikan pelayanan secara terus-menerus dan meningkatkan kesejateraan para anggota, serta masyarakat sekitarnya. Pada akhirnya, koperasi dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.26 Untuk

22Lihat: “Bank Danamon dan Hernando de Soto,” Majalah Tempo, Jakarta, 10 September 2006. 23Lihat: “Masihkah BPR menjadi ujung tombak pembiayaan usaha mikro dan kecil?”

Media Informasi Bank Perkreditan Rakyat, Jakarta, Edisi IV, Maret 2005.

24Undang-Undang Koperasi yang pertama lahir pada tahun 1915 dikenal dengan nama Verordening Op

De Cooperative Vereeningen (Koninkklijk Besluit 7 April 1915 Stbl No.431), yakni undang-undang tentang perkumpulan koperasi yang berlaku untuk segala bangsa, dan bukan khusus Bumi Putra saja. Pada tahun 1920 diadakan Cooperative Commissie (Komisi atau Panitia Koperasi) yang diketuai oleh Prof. DR. J.H Boeke. Tugas panitia ini adalah mengadakan penelitian apakah koperasi ini bermanfaat untuk Indonesia (d/h) Nedelandsch Indie).Lihat: Nur S. Buchori, Koperasi Syariah (Sidoarjo: Mashun, 2009), 9.

25Perbedaan pandangan pemangku kepentingan mengenai koperasi umumnya terletak pada bentuk

badan hukumnya atau “roh koperasi” berupa penerapan nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Adanya perbedaan pandangan ini mengindikasikan banyaknya badan hukum koperasi di Indonesia yang tidak menerapkan jatidiri koperasi secara benar. Koperasi sering dijadikan wahana untuk melegalkan kegiatan “bank gelap” dalam bentuk kegiatan simpan pinjam yang diindikasikan oleh banyaknya koperasi yang memiliki calon anggota bertahun-tahun, atau wahana untuk memperoleh dana perkuatan dan/atau program dari pemerintah. Lihat:Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pembangunan KUMKM, 83.

26

(11)

itu, fungsi koperasi adalah berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.27

Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (2), UU Perkoperasian disebutkan juga bahwa:

”Kelebihan kemampuan pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota koperasi.” Kelebihan kemampuan usaha koperasi dimaksud adalah kelebihan kapasitas dana dan sumber daya yang dimiliki oleh koperasi untuk melayani anggotanya, di samping juga bukan anggotanya. Pelayanan kepada yang bukan anggota koperasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggotanya, serta untuk memasyarakatkan koperasi.28Dengan demikian, koperasi dapat menjadi alternatif bentuk badanhukum bagi UMKM di masa mendatang.

4. Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Perbankan syariahmerupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usahanya menyalurkan uangpinjaman kepada masyarakat dengan menerima barang bergerak yang diikat dengan jaminan (collateral). Padahal, barang bergerak tersebut diperlukan nasabah untuk mendukungkegiatan usaha, maka barang bergerak tersebut diikat dengan jaminan fidusia.29

Menurut Pasal 1 angka 2,jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerakmaupun tidak bergerak khususnya bangunan yangtidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaanpemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikankedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Dari definisi yang diberikan tersebut di atas, sangat jelas bahwa fidusia merupakan suatu proses pengalihan hakkepemilikan dan jaminan tersebut diberikan dalam bentuk fidusia. Dalam hal ini, berarti UU Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan atas kreditor lainnya.

keinginan untuk menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Maka Patih tersebut mendirikan Koperasi kredit model Raif Fheisen seperti di Jerman. Dengan dibantu oleh Asisten Residen Belanda (Pamong Praja Belanda) yang pada

waktu cuti berkunjung ke Jerman. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengubah “Bank Pertolongan Tabungan” menjadi “Bank Pertolongan Tabungan dan Pertanian” mengingat bukan hanya pegawai negeri saja

yang menderita melainkan petani pun terjerat pengijon. Lihat: Nur S. Buchori, Koperasi Syariah (Sidoarjo: Mashun, 2009), 9.

27Pasal 4, UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinyatakan bahwa fungsi dan peran koperasi

adalah:

a) membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;

b) berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat;

c) memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan Koperasi sebagai sokogurunya;

d) berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

28Pasal 3, UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinyatakan bahwa koperasi bertujuan

memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

29

(12)

Menurut Pasal 27 ayat (3),hak yang didahulukan ini, tidak hapus karena adanya kepailitanatau likuidasi pemberi fidusia.

Selama ini, bank syariah selain melakukan kegiatan usaha dengan memberikan pinjaman berdasarkan hukum gadai juga melakukan kegiatan dengan jaminan hukumfidusia.30Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa pemberian kegiatan usaha di mana barang bergerak diperlukan untuk mendukung kegiatanusaha nasabah, maka barang bergerak tersebut harus diikat dengan jaminan fidusia. Hal ini dilakukan guna menjaga likuiditas bank syariah, sebagai salah satu lembaga keuangan yang kegiatan usahanya menyalurkan uang pinjamandengan sistem jaminan fidusia.Dengan adanya objek jaminan fidusia, apabila nasabah melakukan wanprestasi, maka bank syariah diperbolehkan untuk mengeksekusi terhadap barangyang menjadi objek jaminan tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undanganyang mengatur tentang jaminan fidusia.

Berdasar uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimungkinkan menjadi peluang bagi bank syariah. Jaminan fidusia menjadi solusi atas permasalahan nasabah (pelaku usaha UMKM) yang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.

5. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dengan diundangkannya UU No.5 Tahun 1999 tentang AntiMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, setiap warga negara termasuk pengusaha kecil mempunyaikesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaranbarang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapatmendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar secara wajar. Setiaporang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehatdan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi padapelaku usaha tertentu.31 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalammenetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponenharga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usahatidak sehat.32

Kehadiran UU No.5 Tahun 1999 dapat menjadi instrumen penting dalam mendorong terciptanya iklim usaha yang wajar. Pada kenyataannya, penyaluran kredit bank syariah hingga saat ini masih dimonopoli oleh pengusaha besar, yang notabenenya adalah perusahaan raksasa yang memiliki aset untuk dijaminkan kepada bank. Sementara bagi pengusaha kecil dikarenakan tidak memiliki aset untuk dijaminkan, seringkali pihak bank menolak permohonan pinjaman. Oleh karena itu, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan praktik monopoli.

Menurut Pasal 1 ayat (2) UU No.5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Praktik monopoli sebenarnya dibolehkan bagi suatu lembaga tertentu, asalkan ditunjuk oleh pemerintah yang pelaksanaannya harus ditetapkan dalam bentuk undang-undang dengan mendapat persetujuan DPR RI. Monopoli tersebut akan terjadi jika sangat sulit atau tidak memungkinkan sama sekali bagi pelaku usaha lain masuk ke pasar sehingga

30Dalam Pasal 1, UU No.4 Tahun 1996 dijelaskan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan

suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

31Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli; Menyongsong Era Persaingan Sehat(Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1999),26.

32

(13)

monopoli yang berada di tangan satu pelaku usaha merupakan pemecahan yang paling efisien.33

Di satu sisi, ketiadaan aset jaminan dari pelaku usaha kecil akan berpotensi merugikan pihak bank. Namun di sisi lain, jika bank syariah tidak memberikan pinjaman kepada pengusaha kecil, maka ia akan menghadapai keterbatasan-keterbatasan seperti permodalan, Sumber Daya Insani (SDI), jaringan kantor dan teknologi.

Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa keterbatasan-keterbatasan tersebut, menimbulkan problematika tersendiri bagi usaha bank syariah di Indonesia. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan bisa dengan melakukan pengaturan secara menyuluruh, agar bank syariah tidak dirugikan. Dengan adanya pengaturan yang jelas, tentunya akan tercipta iklim usaha yang kondusif dan tujuan untuk membantu usaha kecil akan mudah terwujud.

Dengan demikian, udang-udang sangat berpengaruh terhadap pengembangan UMKM. Proses penyusunan undang-undang di Indonesia relatif berjalan lamban, jika dibandingkan dengan produktivitas legislasi di berbagai negara maju. Dalam lima tahun masakerja DPR-RI periode tahun 2010 – 2014 direncanakan akan dibahas 284 rancangan undang-undang untuk ditetapkan sebagai undang. Menurut beberapa pemangku kepentingan undang-undang yang diterbitkan pada pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua adalah hasil usulan dari pemerintahan yang ada. Dalam kajian ini, undang-undang yang dibahas dan disahkan pada suatu masa pemerintahan dinilai sebagai produk perundang-undangan yang mencerminkan prioritas kebijakan dari suatu pemerintahan karena pembahasan di DPR-RI dilakukan bersama-sama dengan wakil pemerintah.34

E. Penutup

Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia akan memfokuskan kebijakan pengembangan perbankan syariah tahun 2013 pada hal-hal sebagai berikut: (1) pembiayaan perbankan syariah yang lebih mengarah kepada sektor produktif dan masyarakat yang lebih luas; (2) pengembangan produk yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor produktif, dan (3) transisi pengawasan yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang secara langsung memberi peluang bagi perbankan syariah dalam mengoptimalkan UMKM.

Terdapat lima peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur perbankan syariah, namun cukup memberi peluang bagi perbankan syariah dalam mengoptimalkan UMKM, yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang Perekonomian Nasional; (2) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 22 tentang Pembiayaan Usaha Mikro; (3) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan Koperasi; (4) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang Penerima Fidusia; (5) UU No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat, Pasal 1 ayat 2 tentang Pemusatan Kekuatan Ekonomi.

33Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonseia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2004),22-23.

34

(14)

DAFTAR PUSTAKA

“Bank Danamon dan Hernando de Soto,” Majalah Tempo, Jakarta, 10 September 2006.

“Masihkah BPR menjadi ujung tombak pembiayaan usaha mikro dan kecil?” Media Informasi Bank Perkreditan Rakyat, Jakarta, Edisi IV, Maret 2005.

Asshiddiqie, Jimly,Konstitusi dan Konstitusionallisme di Indonesia (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).

Bank Indonesia, Outlook Perbankan Syariah 2013.

Buchori, S. Nur, Koperasi Syariah (Sidoarjo: Mashun, 2009).

Fuady, Munir,Hukum Anti Monopoli; Menyongsong Era Persaingan Sehat(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999).

Haryati, Ninik, Peran Bank Syariah dalam Mengoptimalkan UMKM Kota Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010.

Hasan, Zubairi,Undang-undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) Cet. Ke-1.

Ka’bah,Rifyal,Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas Yarsi, 1998).

Kuncoro, Mudrajad,Makalah Seminar PSAK “Catatan Tentang Sektor Industri & UMM 10 Tahun Pasca Krisis,” 2007.

Kusumaatmadja, Mochtar, “Pemantapan Citra Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional pada

Masa Kini dan Masa yang Akan Datang,” Pro Justitia 2 (April 1997).

Muzammir, Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidakdipublikasikan.

Penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaiankualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank

Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Ramli, Rizal, Kompas 15 Juni 2007.

Tim Evaluasi Kementerian Koperasi dan UKM, Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pembangunan KUMKM.

Tim Naskah Akdemik, Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pergadaian (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2011).

Usman, Rachmadi,Hukum Persaingan Usaha di Indonseia(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara semi terstruktur dianalisis menggunakan teknik yang dipaparkan oleh Sugiyono (2014). Teknik pemeriksaan keabsahan data

Menurut Hitler masa depan Jerman yang gemilang dapat tercapai apabila pemurnian ras dapat dijalankan sejak awal, dalam hal ini Hitler menggunakan konsep Eugenetika atau

Ruas jalan Kabupaten Agam.Jalan yang dinaikan statusnya di kabupaten agam terdiri dari jalan Padang-Koto Gadang-Palembayan dan jalan Tanjung Ampalu- Bukit Bual-Si

Adapun saran-saran yang ingin disampaikan yaitu: (1) Pengembangan Buku Ajar Siswa Programmable Logic Controller Berbasis Problem Based Learning ini dinyatakan

Penelitian yang dilakukan oleh Sholihah (2008) yang berjudul ”Penerapan Strategi Active Learning Type Firing Line Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar

Antara Waktu Yang Tertutupi :

Penelitian dan pengembangan mengenai bahan ajar kurikulum 2013 untuk mencegah bahaya rokok, minuman keras dan NAPZA bagi kesehatan di kelas V Sekolah Dasar.. Tujuan penelitian

1) Apakah peningkatan hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dengan media Power Point lebih tinggi