• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Experiential Marketing dan Perceived value terhadap 1 Loyalitas Pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Experiential Marketing dan Perceived value terhadap 1 Loyalitas Pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur Medan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Pemasaran

2.1.1 Pengertian Pemasaran

Menurut Kotler (1993:4), pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dengan mana seseorang atau kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai. Pemasaran berarti bekerja dengan pasar guna mewujudkan pertukaran potensial untuk kepentingan memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. (Kotler, 1993: 12). Sedangkan menurut American Marketing Association 1960 dalam Assauri (2004:3), pemasaran adalah hasil prestasi kerja kegiatan usaha yang berkaitan dengan mengalirnya barang dari produsen sampai ke konsumen.

Gambar 2.1 Konsep-konsep inti pemasaran Sumber: Manajemen Pemasaran, Philip Kotler, hal. 4

Berikut ini beberapa definisi pemasaran lainnya dalam buku Manajemen Pemasaran yang ditulis oleh Tjiptono (2005:2):

1. Pemasaran merupakan proses dimana struktur permintaan terhadap produk diantisipasi atau diperluas dan dipuaskan melalui konsepsi, promosi, distribusi, dan pertukaran barang

2. Fungsi pemasaran memprakarsai, menegosiasikan dan mengelola relasi pertukaran dengan key interest groups dalam rangka mewujudkan

(2)

keunggulan bersaing berkesinambungan dalam pasar-pasar spesifik (Day & Wesley)

3. Pemasaran merupakan proses manajemen yang mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memasok kebutuhan pelanggan secara efisien dan menguntungkan (Chartered Institute of Marketing)

4. Pemasaran bertujuan untuk menjalin, mengembangkan, dan mengomersialisasikan hubungan dengan pelanggan untuk jangka panjang sedemikian rupa sehingga tujuan masing-masing pihak dapat terpenuhi. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pertukaran dan saling memenuhi janji (Gronroos)

5. Pemasaran didefinisikan sebagai aktivitas individual dan organisasional yang memfasilitasi dan memperlancar hubungan pertukaran yang saling memuaskan dalam lingkungan yang dinamis melalui pengembangan, distribusi, promosi, dan penetapan harga barang, jasa, dan gagasan (Dibb, Simkin, Pride & Ferrel)

6. Pemasaran merupakan pengantisipasian, pengelolaan, dan pemuasan permintaan melalui proses pertukaran (Evans & Berman)

7. Pemasaran merupakan sistem total aktivitas bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menetapkan harga, mempromosikan dan mendistribusikan produk, jasa, dan gagasan yang mampu memuaskan keinginan pasar sasaran dalam rangka mencapai tujuan organisasional (Miller & Layton) 8. Pemasaran merupakan proses manajemen yang berupaya

(3)

menjalin relasi dengan pelanggan utama (valued customers) dan menciptakan keunggulan kompetitif (Doyle).

2.2 Jasa

2.2.1 Pengertian Jasa

Beberapa pakar pemasaran jasa mendefinisikan jasa sebagai berikut.

A service is an activity or a series of activities which take place in interactions with a contact person or physical machine and which provides consumer satisfaction (Lehtinen dalam Lupiyoadi, 2001:5). Jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak pada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu (Kotler, 1993:96).

Selanjutnya, Valarie A. Zethaml and Mary Jo Bitner dalam Lupiyoadi (2001:5) memberikan batasan tentang service (jasa) sebagai berikut:

Service is all economic activities whose output is not a physical product or construction is generally consumed at that time it is produced, and provides added value in forms (such as convenience, amusement, comfort or health).

2.2.2 Karakteristik dan Klasifikasi Jasa

Produk jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan barang (produk fisik). Griffin dalam Lupiyoadi (2001:6) menyebutkan karakteristik tersebut sebagai berikut:

(4)

Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Nilai penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau rasa aman. 2. Unstorability

Jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang telah dihasilkan. Karakteristik ini disebut juga tidak dapat dipisahkan (inseperability) mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan.

3. Customization

Jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan, sebagaimana pada jasa asuransi dan kesehatan.

Jasa juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuh kriteria menurut Lovelock dalam Tjiptono (2005:26-28), yaitu:

1. Segmen pasar

Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang ditujukan pada konsumen aktif (misalnya taksi, asuransi jiwa, dan pendidikan) dan jasa bagi konsumen organisasional (misalnya biro periklanan, jasa akuntansi dan perpajakan, dan jasa konsultasi manajemen).

2. Tingkat keberwujudan

Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan menjadi tiga macam:

(5)

Dalam jenis ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk tertentu berdasarkan tarif yang disepakati selama jangka waktu tertentu. Konsumen hanya dapat menggunakan produk tersebut, karena kepemilikannya tetap berada pada pihak perusahaan yang menyewakannya. Contohnya penyewaan mobil, video games, VCD/DVD, villa, dan apartemen.

b. Owned-goods services

Pada tipe ini, produk-produk yang dimiliki konsumen direparasi, dikembangkan atau ditingkatkan untuk kerjanya, atau dipelihara/dirawat oleh perusahaan jasa. Jenis jasa ini juga mencakup perubahan bentuk pada produk yang dimiliki konsumen. Contohnya jasa reparasi (arloji, sepeda motor, komputer, dan lain-lain).

c. Non-goods services

Karakteristik khusus pada jenis ini adalah jasa personal bersifat intangible (tidak berbentuk produk fisik) ditawarkan kepada para pelanggan. Contoh penyedia jasa tipe ini antara lain supir, dosen, tutor, baby-sitter, pemandu wisata, penerjemah lisan, ahli kecantikan, pelatih renang, dan lain-lain.

3. Keterampilan penyedia jasa

(6)

non-professional services (seperti jasa sopir taksi, tukang parkir, pengantar surat, dan penjaga malam).

4. Tujuan organisasi jasa

Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat diklasifikasikan menjadi commercial services atau profit services (misalnya penerbangan, bank, penyewaan mobil, bioskop, dan hotel) dan non-profit services (seperti sekolah, yayasan dana bantuan, panti asuhan, panti wreda, perpustakaan umum, dan museum).

5. Regulasi

Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated services (misalnya jasa pialang, angkutan umum, dan perbankan) dan non regulated services (seperti jasa makelar, katering, kos dan asrama, serta pengecatan rumah).

6. Tingkat intensitas karyawan

Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja), jasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam: equipment-based services (seperti cuci mobil otomatis, jasa sambungan telepon jarak jauh, mesin ATM, internet banking, vending machines, dan binatu) dan people based-services (seperti pelatih sepak bola, satpam, akuntan, konsultan hukum, dan konsultan manajemen). People-based services masih dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu tidak terampil, terampil dan pekerja profesional (Kotler).

(7)

Berdasarkan tingkat kontak ini, secara umum, jasa dapat dibagi menjadi high-contact services (seperti universitas, bank, dokter, penata rambut, juru rias dan pegadaian) dan low contact services (misalnya bioskop dan jasa layanan pos). Bila dikaitkan dengan tingkat intensitas karyawan (rasio antara biaya tenaga kerja dan biaya modal) berdasarkan tingkat interaksi/kontak penyedia jasa dan pelanggan ini dapat dirinci menjadi empat tipe yaitu service factory, service shop, mass service, dan professional service (Fitzsimmons & Fitzsimmons).

Sementara itu jasa masih dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori lainnya (Lovelock & Yip dalam Tjiptono, 2005:30):

1. People processing services

Pelanggan menjadi bagian dari proses produksi yang berlangsung secara simultan dengan proses konsumsi. Contohnya, jasa transportasi penumpang dan jasa kesehatan. Dalam konteks ini, pelanggan harus mendatangi tempat jasa disediakan atau sebaliknya, penyedia jasa harus mendatangi lokasi pelanggan. Dalam kedua kasus ini, penyedia jasa harus memiliki fasilitas geografis lokal (local geographic presence).

2. Possession-processing services

(8)

di suatu lokasi secara rutin. Dalam beberapa kasus (misalnya, telemedicine), pemanfaatan teknologi elektronik bisa mengatasi masalah ketersediaan fasilitas secara fisik.

3. Information-based services

Tipe ini terdiri atas pengumpulan, interpretasi dan pengiriman data untuk menciptakan nilai tambah, contohnya perbankan, jasa konsultasi, akuntansi, dan pendidikan. Keterlibatan pelanggan dalam produksi jasa semacam ini bisa ditekan hingga minimum, misalnya dengan menggunakan teknologi telekomunikasi.

2.3 Experiential Marketing

Ada dua jenis pemasaran, yakni pemasaran secara tradisional dan pemasaran secara modern. Pemasaran modern telah mengalahkan pemasaran secara tradisional dengan menggunakan pendekatan terhadap pengalaman pelanggan dan pemasaran berdasarkan pengalaman (Kotler).

Experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan dengan menciptakan pengalaman-pengalaman positif dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap jasa dan produk mereka (Kertajaya dalam Yuwandha dan Sri Rahayu, 2010:193). Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan untuk memberikan informasi yang lebih dari sekedar informasi mengenai sebuah produk (Schmitt dalam Cahyadi, 2011:7).

(9)

pengalaman-pengalaman yang unik, positif, dan mengesankan kepada konsumen. Prinsip pokok dari experiential marketing yaitu bagaimana membuat konsumen lebih terlibat dengan produk/jasa baik secara fisik ataupun emosional. Sebab, apabila produk/jasa tersebut mampu untuk menghadirkan pengalaman positif yang tak terlupakan (memorable experience) yang menyentuh sisi afeksi mereka, konsumen akan menjadi fanatik dan secara sadar (atau tidak sadar) akan mengajak orang lain untuk mengkonsumsi produk tersebut (Schmitt, 1999 dalam Indriani, 2006, p.29).

Menurut Kertadjaya dalam Wiratmadja (2011:18), suatu produk memiliki kemampuan lebih baik dalam menciptakan pengalaman dalam berbagai bentuk, yaitu:

a. Membangun interaksi sensorial (sensory interactions), yaitu mempertegas sensasi produk dan layanan yang diberikan, seperti yang dilakukan oleh Absolute Vodka dengan kemasannya yang simple, tapi elegan

b. Membangun ketersediaan produk untuk membangun the experience of having one seperti Starry Night dan Vincent Van Gogh yang laku jutaan dollar

c. Menciptakan eksklusivitas produk dengan membentuk klub dan komunitas pelanggan, seperti yang dilakukan Harley Davidson dengan Harley Davidson Owner Club (HOC)

(10)

Menurut Schmitt dalam Wiratmadja (2011:20), ada empat ciri pokok yang membedakan experiential marketing dengan traditional marketing, yaitu:

a. Fokus pada pengalaman pelanggan

Berbeda dengan traditional marketing yang lebih memfokuskan pada masalah features dan benefits produk, experiential marketing memfokuskan pada pengalaman-pengalaman pelanggan. Pengalaman itu terjadi karena suatu proses dalam menghadapi, mengalami dan menjalani berbagai macam situasi dalam hidupnya. Pengalaman tersebut menstimulasi perasaan, hati dan pikiran pelanggan. Pengalaman tersebut mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian pada suatu merek tertentu atau suatu perusahaan tertentu.

Pengalaman-pengalaman semacam inilah yang akan membuat hubungan dengan perusahaan. Pelanggan akan lebih mempertimbangkan pengalaman dalam pembelian suatu produk atau jasa, karena pengalaman tersebut dapat mengganti nilai-nilai fungsional.

b. Menganalisis situasi konsumsi

Dalam experiential marketing, tidak berfokus pada produk atau jasa atau persaingan, tetapi berpikir mengenai produk seperti apa yang sesuai untuk situasi tertentu, bagaimana produk tersebut, bagaimana pengemasannya, promosinya yang dapat membuat pengalaman yang mengesankan bagi pelanggan.

(11)

dengan menghadirkan musik selama penerbangan, dan mengajak konsumen menikmati film sambil menikmati minuman ringan dari Virgin. Pengalaman dengan Virgin merupakan kombinasi antara penjualan, hiburan, makanan, musik, dan perjalanan. Pemasar experiential sangat tertarik dengan makna dari situasi konsumsi. Para peneliti seperti Russel Belk, Melania Wallendrof dan John Sherry menyatakan bahwa para konsumen modern memberikan arti jauh lebih besar kepada suatu produk tersebut.

Perbedaan yang mendasar pada pemasaran experiential, yaitu percaya bahwa kekuatan terbesar untuk mempengaruhi pelanggan atas suatu merek terjadi setelah pembelian. Pengalaman sesudah pembelian adalah kunci untuk menentukan kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan, sedangkan dalam pemasaran tradisional, fokus pada penjualan dan kurang memperhatikan mengenai apa yang terjadi setelah pembelian. c. Pelanggan bersifat rasional dan emosional

(12)

d. Metode yang digunakan bersifat elektik (elective) yaitu bisa memilih dari berbagai sumber

Pemasar tradisional menggunakan metode analitik, kuantitatif, dan verbal. Sedangkan pemasar experiential menggunakan cara yang lebih luas dan beraneka ragam. Singkatnya, pemasar experiential tidak terbatas pada suatu metode, tetapi metode apa saja yang dapat membantu mereka menemukan ide yang sesuai.

Dalam membentuk perspektif yang berdasarkan experiential bagi konsumen, penerapan experiential marketing harus didahului dengan mengidentifikasi dengan matriks dua unsur experiential marketing, yaitu experiential modules dan experiential providers (Schmitt, 1999 dalam Indriani, 2006, p.32).

2.3.1 Strategic Experiential Modules (SEMs)

Experiential modules terdiri dari lima unsur utama yang menitikberatkan pada penciptaan persepsi positif tertentu di mata konsumen (Schmitt, 1999 dalam Indriani, 2006, p.32), yaitu:

1. Sense marketing

(13)

ke sebuah hotel, mata akan melihat dekorasi dan layout hotel yang menarik, ruangan hotel yang sejuk dan bersih, serta merasakan enaknya makanan yang dihidangkan di restoran hotel. Pada dasarnya, sense marketing dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap loyalitas. Suatu produk dan jasa yang diberikan ke konsumen dimungkinkan tidak sesuai dengan selera konsumen, sehingga konsumen akan loyal dan pada akhirnya harga yang ditawarkan oleh produsen tidak menjadi masalah bagi konsumen.

Dalam sense marketing, terdapat tiga kunci strategi yang dapat digunakan untuk menstimulasi sense marketing:

a. Sense as differentiator

Pengalaman yang diperoleh melalui sense (panca indra) mungkin melekat pada pelanggan karena mereka tampil secara unik dan spesial. Cara yang dilakukan untuk menarik pelanggan melebihi batas normal, sehingga produk dan jasa tersebut sudah memiliki ciri khusus yang ada di benak konsumen.

b. Sense as motivator

Sense yang dapat memotivasi konsumen dengan tidak terlalu memaksa konsumen, tetapi juga jangan terlalu acuh terhadap keinginan konsumen.

c. Sense as value provider

(14)

Dari tiga kunci tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan strategis dalam sense marketing adalah untuk membedakan, memotivasi, dan untuk memberikan nilai tambah kepada pelanggan yang fokus pada sense (Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194).

2. Feel marketing

Feel marketing merupakan tipe experience yang muncul untuk menyentuh perasaan terdalam dan emosi pelanggan dengan tujuan menciptakan pengalaman yang efektif (Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194). Feel marketing adalah bagian yang sangat penting dalam strategi experiential marketing. Feel dapat dilakukan dengan service atau layanan yang baik, seperti keramahan dan kesopanan karyawan. Pelayanan yang menarik akan menciptakan feel good bagi konsumen. Agar konsumen dapat mendapatkan feel yang kuat terhadap produk dan jasa, maka produsen harus mampu memperhitungkan mood yang sedang dialami konsumen. Kebanyakan konsumen akan menjadi pelanggan apabila mereka merasa cocok terhadap barang dan jasa yang ditawarkan. Untuk itu, diperlukan waktu yang tepat yaitu pada saat konsumen berada pada kondisi good mood, sehingga produk dan jasa tersebut dapat memberikan memorable experience sehingga berdampak positif pada loyalitas konsumen.

3. Think marketing

(15)

Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194). Think marketing adalah salah satu cara yang dilakukan perusahaan untuk mengubah komoditi menjadi pengalaman (experience) dengan melakukan customization secara terus menerus (Kertajaya, 2005, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.194).

Dalam think marketing, terdapat dua konsep, yaitu: a. Convergent thinking

Bentuk yang spesifik dari convergent thinking adalah pemikiran yang muncul meliputi problem-problem rasional yang dapat dinalar.

b. Divergent thinking

Divergent thinking meliputi kemampuan untuk memunculkan ide baru, fleksibilitas (kemampuan untuk menyesuaikan dengan adanya perusahaan), kemampuan untuk memunculkan ide-ide yang luar biasa. Perusahaan harus selalu tanggap dengan kebutuhan dan keluhan konsumennya, terutama dengan persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan dituntut untuk selalu berpikir kreatif. Salah satunya mengadakan program yang melibatkan pelanggan, misalnya memberikan harga khusus bagi pelanggan korporat. Dengan memberikan sesuatu hal yang menyenangkan pelanggan, maka akan membuat pelanggan merasa puas dan kembali di kemudian hari.

4. Act marketing

(16)

pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Kertajaya, 2005, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.195).

Act marketing merupakan bagian dari Strategic Experiential Modules (SEMs). Act marketing didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen dalam hubungannya dengan physical body, lifestyles, dan interaksi dengan orang lain. Contohnya, dalam jasa perhotelan adalah penyambutan tamu dengan ramah, dsb. Hal ini dapat memberikan pengalaman kepada pelanggan agar merasa betah dan nyaman. Ketika act marketing ini mampu mempengaruhi gaya hidup konsumennya, maka act marketing dikatakan berpengaruh positif terhadap loyalitas konsumen.

5. Relate marketing

Relate marketing merupakan tipe experience yang digunakan untuk mempengaruhi konsumen dalam menggabungkan seluruh aspek sense, feel, think, dan act serta menitikberatkan pada persepsi positif di mata konsumen (Schmitt, 1999, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.195). Relate marketing merupakan salah satu cara untuk membentuk atau menciptakan komunitas pelanggan dengan berkomunikasi (Kertajaya, 2005, Yuwandha Anggia Putri & Sri Rahayu Tri Astuti, 2010, p.195).

(17)

komunitasnya. Relate marketing dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap loyalitas konsumen. Ketika relate marketing dapat membuat seseorang bangga untuk masuk ke dalam komunitas tertentu, maka akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap loyalitas konsumen. Contoh relate marketing yaitu Hotel “X” menjalin kerjasama dengan instansi atau perusahaan lain, sehingga tercipta suatu image yang positif di mata masyarakat.

2.3.2 Alat-alat Penting dari Experiential Marketing: Experiential Providers (ExPros)

Experience Providers (ExPros) merupakan komponen implementasi taktis dalam tahap penyelesaian pemasaran untuk menciptakan kampanye sense, feel, think, act, dan relate. Alat-alat penting yang diperlukan dalam pelaksanaan experiential marketing adalah (Schmitt, 1999 dalam Prayogi, 2007, p.19):

a. Komunikasi: mencakup periklanan, komunikasi internal, dan eksternal perusahaan sebaik kampanye hubungan publik (public relations) terhadap merek.

b. Identitas visual/verbal: mencakup nama, logo, dan lambang.

c. Kehadiran produk: mencakup desain produk, pengemasan dan penampakan produk, dan karakter merek yang digunakan sebagai bagian dari pengemasan dan poin dari material penjualan.

(18)

e. Lingkungan: mencakup bangunan, kantor, jarak pabrik, retail dan jarak publik, dan perdagangan.

f. Website dan media elektronik.

g. Orang: mencakup sales people, perwakilan perusahaan, penyedia jasa, penyedia pelayanan pelanggan dan siapa saja yang terlibat dengan perusahaan merek.

2.4 Perceived value

Nilai yang dipersepsikan pelanggan (customer perceived value) menurut Kotler dan Lane (2009: 136) adalah selisih antara penilaian pelanggan prospektif atas semua manfaat dan biaya dari suatu penawaran terhadap alternatifnya. Kotler dan Lane mendefinisikan total manfaat pelanggan (total customer benefit) sebagai nilai moneter kumpulan manfaat ekonomi, fungsional, dan psikologis yang diharapkan pelanggan dari suatu penawaran pasar yang disebabkan oleh produk, jasa, personel dan citra yang terlibat. Sedangkan total biaya pelanggan (total customer cost) adalah kumpulan biaya yang dipersepsikan yang diharapkan pelanggan untuk dikeluarkan dalam mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan, dan menyingkirkan suatu penawaran pasar, termasuk biaya moneter, waktu, energi, dan psikologis.

Perceived value menurut Agarwal dan Teas (2001) dalam Dewi (2012:57) ialah trade off antara kualitas dan pengorbanan yang dilakukan yang akan membawa dampak dimana kualitas memiliki hubungan positif terhadap nilai dan pengorbanan memiliki hubungan negatif terhadap nilai persepsian.

(19)

produk dengan didasarkan pada apa yang mereka terima dan apa yang mereka berikan. Sedangkan menurut Payne dan Holt (2001) dalam Ivonny Chandra dan Hartono Subagio (2013:3), customer perceived value adalah trade off antara manfaat yang dipersepsikan dan pengorbanan yang dipersepsikan (atau konsekuensi positif dan negatif).

Kotler dan Lane (2009:37) lebih lanjut menjelaskan langkah-langkah dalam analisis nilai pelanggan:

1. Mengidentifikasi atribut dan manfaat utama yang dinilai pelanggan Pelanggan ditanyai apa tingkat atribut, manfaat dan kinerja yang mereka cari dalam memilih produk dan penyedia layanan.

2. Menilai arti penting kuantitatif dari atribut dan manfaat yang berbeda

Pelanggan diminta memeringkat arti penting berbagai atribut dan manfaat. Jika peringkat mereka jauh berbeda, pemasar harus mengelompokkan mereka ke dalam berbagai segmen.

3. Menilai kinerja perusahaan dan pesaing berdasarkan nilai pelanggan yang berbeda dan membandingkannya dengan peringkat arti pentingnya

Pelanggan menggambarkan di tingkat mana mereka melihat kinerja perusahaan dan pesaing pada setiap atribut dan manfaat

(20)

Jika tawaran perusahaan melebihi tawaran pesaing atas semua atribut dan manfaat penting, perusahaan dapat mengenakan harga yang lebih tinggi (sehingga menghasilkan laba yang lebih tinggi), atau perusahaan dapat mengenakan harga yang sama dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih banyak.

5. Mengamati nilai pelanggan sepanjang waktu

Secara berkala, perusahaan harus mengulangi studi nilai pelanggan dan posisi pesaing ketika terjadi perubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan fitur.

Menurut Sweeney dan Soutar (2001:208) dalam Tjiptono (2005:298) pengukuran perceived value dibentuk oleh empat aspek:

1. Emotional value, yaitu utilitas yang berasal dari perasaan atau afektif/emosi positif yang ditimbulkan dari mengkonsumsi suatu produk. 2. Social value, yaitu utilitas yang didapatkan dari kemampuan produk untuk

meningkatkan konsep diri (sosial) konsumen.

3. Quality/performance value, yaitu utilitas yang diperoleh dari persepsi terhadap kualitas atau kinerja yang diharapkan atas suatu produk.

4. Price/value for money, yakni utilitas yang didapatkan dari produk dikarenakan reduksi biaya jangka pendek dan jangka panjang.

2.5 Loyalitas Pelanggan 2.5.1 Definisi Loyalitas

(21)

Customer loyalty is deefly held commitment to rebuy repatronize a preffered product or service consistently the future, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior.

Dari definisi di atas terlihat bahwa loyalitas adalah komitmen pelanggan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku (Hurriyati, 2005:128).

Loyalitas menurut Hermawan (2003:126) dalam Hurriyati (2005:128), merupakan bentuk manifestasi dari kebutuhan fundamental manusia untuk memiliki, men-support, mendapatkan rasa aman dan membangun keterikatan serta menciptakan emotional attachment.

Aaker dalam Kartajaya (2009:130) juga mengungkapkan “Brand loyalty is a measure of the attachment that customer has to a brand.” Dari definisi tersebut,

dijelaskan bahwa definisi loyalitas adalah keterikatan pelanggan terhadap suatu merek.

Selanjutnya Griffin (2002:13) dalam Hurriyati (2005:129) menyatakan, “Loyalty is defined as non random purchase expressed over time by some decision making unit.” Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa loyalitas

(22)

Sheth dan Mittal (2004) dalam Tjiptono (2005:387) mendefinisikan loyalitas pelanggan sebagai komitmen pelanggan terhadap suatu merek, toko atau pemasok, berdasarkan sikap yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Sementara itu, loyalitas pelanggan dalam konteks pemasaran jasa didefinisikan oleh Bendapudi & Berry (1997) dalam Tjiptono (2005:387) sebagai respons yang terkait erat dengan ikrar atau janji untuk memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan biasanya tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama atas dasar dedikasi maupun kendala pragmatis.

2.5.2 Karakteristik Loyalitas Pelanggan

Griffin (2003:31) menyatakan bahwa karakteristik pelanggan ialah sebagai berikut:

1. Melakukan pembelian berulang secara teratur 2. Membeli antarlini produk dan jasa

3. Mereferensikan kepada orang lain

4. Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing 2.5.3 Langkah-langkah Menuju Loyalitas

Griffin (2003: 19- 20) mengemukakan ada lima langkah-langkah menuju loyalitas:

1. Kesadaran

Langkah pertama menuju loyalitas dimulai dengan kesadaran akan produk. Pada tahap ini, perusahaan mulai membentuk “pangsa pikiran” yang

(23)

timbul dengan berbagai cara: iklan konvensional (radio, TV, surat kabar, billboards), iklan di web, e-mail, dll).

2. Pembelian awal

Pembelian pertama-kali merupakan langkah penting dalam memelihara loyalitas. Baik itu dilakukan secara online atau pun offline, pembelian pertama-kali merupakan pembelian percobaan. Perusahaan dapat menanamkan kesan positif atau negatif kepada pelanggan dengan produk atau jasa yang diberikan, mudahnya transaksi pembelian aktual, hubungan dengan pegawai, lingkungan fisik toko, dan bahkan waktu loading halaman situs web perusahaan atau mudahnya navigasi.

3. Evaluasi pasca-pembelian

Setelah pembelian dilakukan, pelanggan secara sadar atau tidak sadar akan mengevaluasi transaksi. Bila pembeli merasa puas, atau ketidakpuasannya tidak terlalu mengecewakan sampai dapat dijadikan dasar pertimbangan beralih ke pesaing.

4. Keputusan membeli kembali

(24)

5. Pembelian kembali

Langkah akhir dari siklus pembelian adalah pembelian kembali yang aktual. Untuk dapat dianggap benar-benar loyal, pelanggan harus terus membeli kembali dari perusahaan yang sama, mengulangi langkah ketiga sampai kelima sampai berkali-kali. Hambatan terhadap peralihan dapat mendukung pelanggan untuk membeli kembali. Pelanggan yang benar-benar loyal, menolak pesaing dan membeli kembali dari perusahaan yang sama kapan saja item itu dibutuhkan. Itu adalah jenis pelanggan yang harus didekati, dilayani dan dipertahankan.

2.5.4 Tahap-tahap Loyalitas

Tahap-tahap loyalitas pelanggan menurut Griffin (2003:35) ialah: 1. Tahap satu: suspect

Tersangka (suspect) adalah orang yang mungkin membeli produk atau jasa. Kita menyebutnya tersangka karena kita percaya, atau “menyangka”,

mereka akan membeli, tetapi kita masih belum cukup yakin. 2. Tahap dua: prospek

Prospek adalah orang yang membutuhkan suatu produk atau jasa dan memiliki kemampuan membeli. Meskipun prospek belum membeli, ia mungkin telah mendengar tentang produk atau jasa tersebut, membaca tentangnya, atau ada seseorang yang merekomendasikan produk tersebut kepadanya. Prospek mungkin tahu siapa, di mana, dan apa yang dijual suatu perusahaan atau bisnis, tetapi mereka masih belum membeli.

(25)

Prospek yang didiskualifikasi adalah prospek yang telah cukup dipelajari oleh perusahaan untuk mengetahui bahwa mereka tidak membutuhkan, atau tidak memiliki kemampuan membeli produk suatu perusahaan.

4. Tahap empat: pelanggan pertama-kali

Pelanggan pertama-kali adalah orang yang telah membeli satu kali. Orang tersebut bisa jadi merupakan pelanggan dan sekaligus juga pelanggan pesaing.

5. Tahap lima: pelanggan berulang

Pelanggan berulang adalah orang-orang yang telah membeli dua kali atau lebih. Mereka mungkin telah membeli produk yang sama dua kali atau membeli dua produk atau jasa yang berbeda pada dua kesempatan atau lebih.

6. Tahap enam: klien

Klien membeli apa pun yang dijual suatu perusahaan dan dapat ia gunakan. Orang ini membeli secara teratur. Perusahaan membeli hubungan yang kuat dan berlanjut, yang menjadikannya kebal terhadap tarikan pesaing.

7. Tahap tujuh: penganjur (advocate)

(26)

2.5.5 Jenis-jenis Loyalitas

Menurut Griffin (2003: 22-23), ada empat jenis loyalitas, yaitu: 1. Tanpa loyalitas

Pada jenis ini, pelanggan tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu. Secara umum, perusahaan harus menghindari membidik para pembeli jenis ini, karena mereka tidak akan pernah menjadi pelanggan yang loyal. Mereka hanya akan berkontribusi sedikit pada kekuatan keuangan perusahaan. Tantangannya adalah menghindari membidik sebanyak mungkin orang-orang seperti ini dan lebih memilih pelanggan yang loyalitasnya dapat dikembangkan.

2. Loyalitas yang lemah

Keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah (inertia loyalty). Pelanggan ini membeli karena kebiasaan. Ini adalah jenis pembelian “karena kami selalu

mengutamakannya” atau “karena sudah terbiasa”. Dengan kata lain, faktor

nonsikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli. Perusahaan bisa mengubah loyalitas lemah ke loyalitas lemah ke dalam bentuk loyalitas yang lebih tinggi dengan secara aktif mendekati pelanggan dan meningkatkan diferensiasi positif di benak pelanggan mengenai suatu produk atau jasa dibanding produk lain.

3. Loyalitas tersembunyi

(27)

Bila pelanggan memiliki loyalitas yang tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang.

4. Loyalitas premium

Yaitu jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi bila ada tingkat keterikatan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang yang juga tinggi. Pada tingkat preferensi paling tinggi tersebut, orang bangga karena menemukan dan menggunakan produk tertentu dan senang membagi pengetahuan mereka dengan rekan dan keluarga.

Pembelian berulang

Keterikatan relatif

Gambar 2.2 Empat Jenis Loyalitas Sumber: Griffin, Jill. Customer Loyalty, 2003

2.5.6 Tingkatan Loyalitas

Ada lima tingkatan loyalitas menurut Kartajaya (130-131), yakni: 1. Switchers/price sensitive

Pada tingkat ini, pelanggan tidak loyal kepada merek atau belum memiliki brand equity yang kuat. Setiap merek dipersepsikan memberikan kepuasan yang cukup. Nama merek berperan kecil dalam keputusan pembelian mereka. Pada tingkatan ini, pelanggan sensitif dengan penawaran yang

Tinggi Rendah

Tinggi Loyalitas premium Loyalitas tersembunyi

(28)

lebih murah. Untuk produk bagi segmen menengah ke bawah, harga sangat berpengaruh terhadap keputusan pembelian.

2. Satisfied/habitual buyer

Pada tingkat ini, pelanggan merasa puas terhadap produk atau setidaknya merasa tidak puas terhadap produk perusahaan. Pelanggan juga sensitif terhadap benefit baru yang ditawarkan kepada mereka. Sebagai contoh: pasar yang terbiasa makan permen rasa mint cenderung memilih permen apa saja asal memiliki rasa mint. Biasanya pada tingkatan ini, pasar memilih produk yang fast moving dan diferensiasi kecil.

3. Satisfied buyer with switching cost

Pelanggan merasa puas terhadap produk. Mereka harus mengeluarkan biaya tertentu apabila ingin berpindah merek. Pada tingkatan ini, pelanggan sensitif dengan benefit yang dapat melampaui biaya beralih merek. Sebagai contoh: penumpang pesawat kelas bisnis merasa lebih puas meski harganya lebih mahal dibanding kelas ekonomi, karena kelas bisnis menawarkan benefit. Meski penumpang harus membayar lebih untuk kelas bisnis.

4. Committed buyer

(29)

2.5.7 Manfaat Loyalitas

Griffin (2002:13) dalam Hurriyati (2005:129) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang diperoleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal antara lain:

1. Dapat mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik pelanggan yang baru lebih mahal)

2. Dapat mengurangi biaya transaksi

3. Dapat mengurangi biaya turn over konsumen (karena penggantian konsumen yang lebih sedikit)

4. Dapat meningkatkan penjualan silang, yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan

5. Mendorong word of mouth yang lebih positif, dengan asumsi bahwa pelanggan yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas

6. Dapat mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya penggantian, dll).

2.5.8 Pengukuran Loyalitas

Menurut Aaker (1991:45-46) dalam Durianto, Sugiarto dan Sitinjak (2001:132-134), ada lima variabel dalam pengukuran loyalitas:

1. Behavior measures (pengukuran perilaku)

(30)

2. Pengukuran switching cost

Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas pelanggan terhadap suatu merek. Pada umumnya, jika biaya untuk berganti merek sangat mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan dari kelompok pelanggan dari waktu ke waktu akan rendah.

3. Measuring satisfaction (pengukuran kepuasan)

Pengukuran terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan pelanggan suatu merek merupakan indikator penting dari loyalitas. Bila ketidakpuasan pelanggan terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya, tidak cukup alasan bagi pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada faktor-faktor penarik yang sangat kuat. Dengan demikian, sangat perlu bagi perusahaan untuk mengeksplor informasi dari pelanggan yang memindahkan pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan ataupun alasan yang terkait dengan ketergesaan mereka memindahkan pilihannya.

4. Measuring liking the brand (pengukuran kesukaan terhadap merek)

(31)

dapat dicerminkan dengan kemauan untuk membayar dengan harga yang lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut.

5. Pengukuran komitmen

Merek dengan brand equity yang tinggi akan memiliki sejumlah besar pelanggan yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan produk tersebut. Kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut kepada pihak lain, baik dalam taraf sekedar menceritakan mengenai alasan pembelian mereka terhadap merek tersebut atau bahkan pada tiba pada taraf merekomendasikannya kepada orang lain untuk mengkonsumsi merek tersebut. Indikator lain adalah sejauh mana tingkat kepentingan merek tersebut bagi seseorang berkenaan dengan aktivitas dan kepribadian mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam kaitannya dengan penggunaannya.

2.6 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

(32)
(33)
(34)

2.7 Kerangka Berpikir

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Sumber: Data diolah

Variabel independen: 1. Sense (X1) 2. Feel (X2) 3. Think (X3) 4. Act (X4) 5. Relate (X5)

6. Perceived value (X6) Variabel dependen:

Gambar

Gambar 2.1 Konsep-konsep inti pemasaran
Gambar 2.2 Empat Jenis Loyalitas
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses siklus I yang telah dilaksanakan peneliti tanggal 24 November 2018 terhadap kelas V MI Manna Was Salwa Sidoarjo terdapat beberapa kekurangan dalam

[r]

Sri Mulyani. Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Widya Dharma Klaten. Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pokok Bahasan Teorema

Bank BRI Syari’ah cabang Demak sebagai salah satu lembaga keuangan berbasis syari’ah melihat fenomena tersebut dan dalam memfasilitasi umat muslim untuk dapat menunaikan

Perhitungan atas biaya yang dilakukan dalam kegiatan produksi jasa angkutan, sesuai dengan hasil studi ITB dalam buku laporan Konsep Dasar Perhitungan Biaya

Secara umum, otot pada manusia terbagi menjadi 3 tipe, yaitu (1) otot polos yang bekerja di luar kesadaran (involunter), (2) otot lurik yang bekerja di bawah kesadaran

1. Kedua orang tua, kakak, adik, serta keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan nasehat dan do’a. Dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah berkenan membantu

Dari penelitian yang telah dilakukan juga diketahui bahwa keluhan nyeri dada ini lebih banyak dialami oleh mereka yang hasil pemeriksaan sputumnya +3, hal