• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Konstruktivisme berada di titik temu dua aluran besar dalam sejarah

sosiolog: sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains

(sociology of science) (Kulka, 2003: 13). Istilah konstruksi sosial atas realitas

(social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L.

Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowladge” pada tahun 1966. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang

mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan

dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008: 189).

Asal mula konstruksi sosial dari paradigma konstruktivisme, yang dimulai

dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian

konstruktif kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang

secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila

ditelusuri, sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog

dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).

Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas

suatu realitas. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi,

pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural,

konstruksi juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas

tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif (Eriyanto,

2002: 16).

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Pola komunikasi

antarpribadi pada pasangan berbeda kebangsaan di kota Medan menggunakan

paradigma konstruktivisme karena masing-masing suami maupun istri yang

berbeda kebangsaan mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.

Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan

lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Hal tersebut jelas mempengaruhi

(2)

2.2 Komunikasi Antarbudaya

Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi

komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,

antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang

kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam

Liliweri, 2003: 11). Sedangkan menurut Stuward L. Tubbs komunikasi

antarbudaya merupakan komunikasi yang terjadi diantara dua anggota yang

berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik maupun

sosial-ekonomi (dalam Purwasito, 2003:122-124). Dapat disimpulkan bahwa

komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang

dilakukan oleh orang-orang yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri,

2003: 9).

Istilah „culture‟ berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani. Kata „colere‟, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam

(Soekamto, 1996: 188). Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang

membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang

pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan

perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya

maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.

E.B. Taylor, seorang antropolog memberikan definisi mengenai

kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakupi pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan

kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Bahkan beliau mengatakan bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan

dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya mencakup segala cara atau

pola berpikir, merasakan dan bertindak (dalam Soekamto, 1996: 189). Definisi

(3)

paling sederhana, yakni komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka

yang berbeda latar belakang kebudayaan.

Lebih lanjut, Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A.

Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader

komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda

kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial

(Samovar dan Porter, 1976: 25). Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa

komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang

latar belakang kebudayaannya berbeda (Samover dan Porter, 1976: 27).

Kemudian, Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya

meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,

antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang

kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991:

5).

Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik,

interpretatif, transaksional, kontekstual, yang dilakukan oleh sejumlah orang -

yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu – memberikan

interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam

bentuk prilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig dan Koester,

Intercultural Communication Competence, 1993: 21). Guo-Ming Chen dan

William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses

negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia

dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.

Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:

1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan

antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui

simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya

mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan

makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.

2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan

antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat

(4)

3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun

bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.

4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat

membedakan diri dari kelompok lain dan mengindentifikasinya dengan

pelbagai cara.

Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila

komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan)

adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema

pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar

belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang

disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang

berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.

Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi

antarbudaya sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Komunikasi Antarbudaya

Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998: 21

Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan

penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam

model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B

relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi

delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat

(5)

bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B. Dalam

setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini

menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit

berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini Budaya A Budaya B

Budaya C menunjukkan dua hal. Pertama, ada pengaruh–pengaruh lain di

samping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan

sesuatu kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang–orang dalam

suatu budaya pun mempunyai sifat–sifat yang berbeda. Penyandian dan

penyandian balik pesan antarbudaya dilukiskan oleh panah–panah yang

menghubungkan budaya–budaya itu. Panah–panah ini menunjukkan pengiriman

pesan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Ketika suatu pesan meninggalkan

budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna yang dikehendaki oleh

penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya

yang mengandung pola yang sama seperti pola yang ada dalam individu penyandi.

Ketika suatu pesan sampai pada budaya dimana pesan itu harus disandi balik,

pesan itu mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya penyandi balik

(decoder) telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam

pesan yang asli telah berubah selama fase penyandian balik dalam komunikasi

antarbudaya, oleh karena perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang

dimiliki decoder tidak mengandung makna–makna budaya yang sama seperti yang

dimiliki encoder. Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam

perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya

terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi–interaksi antara

orang–orang yang berbeda secara ekstrem hingga interaksi–interaksi antara

orang–orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai

subkultur dan subkelompok yang berbeda (Mulyana dan Rakhmat, 1998 : 20).

2.3 Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan suatu bidang ilmu komunikasi,

bidang ini setiap hari hadir dalam setiap hubungan antar manusia kapan dan

dimana saja. Seorang tukang kayu, tukang foto, dramawan dan sastrawan, pastor

dan haji, profesor dan musikus, pelajar dan mahasiswa dalam dunianya sendiri

(6)

pekerjaan dan profesi seseorang kepada orang lain, mungkin masih ditambah lagi

dengan cara berpikirnya, melahirkan perasaannya dan perilaku nyatanya. Ilmu

komunikasi, khususnya komunikasi antar pribadi mempelajari objek hubungan

antara manusia. Meskipun demikian banyak ahli juga berpendapat bahwa semua

yang menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya bermuara pada:

perspektif situasi. Perspektif situasi merupakan suatu perspektif yang menekankan

bahwa sukses tidaknya komuniksi antar pribadi sangat tergantung pada situasi

komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua orang atau sebagian

kecil orang dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati

satu dengan yang lain pada saat itu juga daripada memperhatikan umpan balik

yang tertunda (misalnya dalam hal komunikasi antar manusia bermedia seperti

surat menyurat, percakapan, telepon, faximile), menurut De Haan (dalam Liliweri,

1991: 31).

Masih dalam buku Alo Liliweri (2003: 31), ada tujuh sifat yang

menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi

antar pribadi dan bukan komunikasi lainnya yang terangkum dari

pendapat-pendapat Reardon. Sifat-sifat komunikasi antar pribadi itu adalah:

1. Melibatkan didalamnya perilaku verbal dan non verbal.

2. Melibatkan pernyataan/ungkapan yang spontan, scripted dan contrived.

3. Komunikasi antar pribadi tidaklah statis melainkan dinamis.

4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi

(pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya).

5. Dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.

6. Komunikasi antar pribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan.

7. Melibatkan didalamnya bidang persuasif.

Disamping itu, Halloran (dalam Liliweri, 2003: 48) mengemukakan bahwa

manusia sebenarnya berkomunikasi dengan orang lain karena beberapa faktor,

yaitu:

1. Perbedaan antar pribadi.

2. Manusia meskipun merupakan makhluk yang utuh namun tetap

mempunyai kekurangan.

(7)

4. Kebutuhan akan harga diri yang harus mendapat pengakuan dari orang

lain.

Masih dalam buku Alo Liliweri (2003: 48), Cassagrande juga berpendapat

hampir senada, bahwa orang berkomunikasi dengan orang lain karena:

1. Setiap orang memerlukan orang lain untuk saling mengisi

kekurangan dan membagi kelebihan.

2. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap.

3. Interaksi hari ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan

buat orang mengantisipasi masa depan.

4. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan pengalaman

yang baru.

Kita akhirnya dapat mengatakan bahwa komunikasi antar pribadi tidak

dapat dielakkan dalam hidup bermasyarakat itu. Suatu kesadaran akan kekurangan

yang dimiliki, suatu perbedaan kesadaran akan adanya perbedaan yang hakiki

antar pribadi, perbedaan dalam motif (dorongan-dorongan untuk mencapai

kebutuhan yang berbeda baik kebutuhan biologis, sosiologis) keinginan untuk

mendapatkan pengakuan dari orang lain menyebabkan setiap orang mencari relasi

dengan orang lain. Relasi, interaksi itu dapat dimulai oleh setiap orang mulai dari

dalam rumah, tetangga, kemudian meluas ke bidang pekerjaan.

Saling melengkapi kekurangan atas perbedaan tersebut senantiasa dialami

karena masyarakat terus berubah untuk memenuhi kebutuhan yang satu terhadap

kebutuhan lainnya yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Ia, manusia mencatat

pelbagai pengalamannya masa lalu dari relasinya dengan orang lain kemudian

mengantisipasikan, memperkirakan apakah komunikasi masih relevan dilakukan

untuk pemenuhan kebutuhan di masa datang. Oleh karena itu, pada saat sekarang

para ahli komunikasi menghendaki supaya seorang yang berkomunikasi harus

mampu mengubah cara berpikir, perasaan atau perilaku sesama, hal itu akan

tercapai kalau ia juga memberikan kesempatan pada pihak lain untuk dapat

mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan dan perilakunya.

Menurut Devito (2007: 259-266) terdapat sepuluh karakteristik

(8)

1. Keterbukaan

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari

komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang

efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini

tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua

riwayat hidupnya.memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak

membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk

membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya

disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Aspek

keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator

untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang

diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta

percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara

terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak

mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak

acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita

memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan

terhadap orang lain.

2. Empati

Henry Backrack (dalam DeVito, 2007: 192) mendefinisikan

empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk „mengetahui‟ apa yang

sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih.

Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang

mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan

yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu

memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap

mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.

Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non

verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati

(9)

ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat

meliputi komtak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan

kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.

3. Sikap mendukung

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana

terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang

perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi

yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang

tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan

bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic,

dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4. Sikap positif

Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi

interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif

dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita

berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari

komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina

jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.

Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya

sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih

menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak

menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap

situasi atau suasana interaksi.

5. Kesetaraan

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah

seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik,

atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang

benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini,

komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara.

Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak

(10)

mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu

hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan,

ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk

memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan

untuk menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita

menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan

nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau

menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

2.4 Pola Komunikasi

Devito (2007: 271) pola komunikasi didefinisikan sebagai komunikasi

yang terjadi antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang, dimana

terjadi proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan, dengan beberapa umpan

balik seketika. Sedangkan Djamarah (2004: 73), pola komunikasi merupakan

bentuk hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman pesan dan

penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat

dipahami dan dimengerti. Sehingga secara sederhana, dapat dikatakan bahwa

komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran, dan rasa antara

komunikator dengan komunikan (Mulyana, 2002: 53).

Lebih lanjut, pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari

proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi

dengan komponen lainnya (Soekamto, 1996 : 27). Pola Komunikasi diartikan

sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman,

dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Maka dari itu, suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara

dua orang atau lebih dalam proses mengkaitkan dua komponen yaitu gambaran

atau rencana yang menjadi langkah – langkah pada suatu aktifitas dengan

komponen – komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan

antar organisasi ataupun juga manusia.

Dari pengertian sebelumnya, maka suatu pola komunikasi adalah bentuk

atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan

(11)

komunikasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga merupakan jantung

kehidupan, guna menunjang interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga, di

samping mengeksplorasi emosi. Keluarga menentukan bagaimana bentuk

komunikasi yang disepakati dan akhirnya membentuk suatu pola tertentu yang

membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.

Pola komunikasi keluarga menentukan tingkat kepuasan anggota keluarga

didalamnya. Kehadiran komunikasi memberikan pengaruh yang sangat kuat

dalam menciptakan suasana kondusif dalam keluarga. Sebab, setiap masalah yang

mungkin muncul dalam sebuah keluarga dapat diselesaikan dengan cara

berkomunikasi. John Gottman (dalam Degenova, 2008: 42) menemukan bahwa

pola komunikasi pada keluarga atau pasangan sangat penting dalam kebahagiaan

pernikahan.

Triandis (1994: 64), menyatakan bahwa pola komunikasi di dalam

keluarga berbeda berdasarkan budayanya, dimana budaya Asia (atau sering

disebut budaya Timur) umumnya memiliki jenis komunikasi High Context

communication, dimana apa yang diucapkan belum tentu sama maksud yang

sebenarnya. Sementara budaya di negara-negara Barat lebih ke arah Low Context

communication, yaitu mengemukakan apa yang ingin disampaikan secara tegas

dan apa adanya bahkan di depan publik, apa yang disampaikan adalah apa yang

dirasakan.

Terdapat empat pola komunikasi antar suami dan istri menurut Joseph A.

DeVito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (2007: 277-278)

diantaranya :

1. Pola keseimbangan. Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori

dari pada prakteknya, tetapi Ini merupakan awal yang bagus untuk

melihat komunikasi pada hubungan yang penting. Komunikasi yang

terjalin antara suami istri sangat terbuka, jujur, langsung dan bebas.

2. Pola keseimbangan terbalik. Dalam pola keseimbangan terbalik,

masing-masing anggota keluarga (suami-istri) mempunyai orientasi

diatas daerah atau wewenang yang berbeda. Masing-masing suami istri

adalah sebagai pembuat keputusan konflik yang terjadi antara

(12)

istri karena keduanya memiliki keahlian sendiri-sendiri untuk

menyelesaikannya.

3. Pola pemisah tidak seimbang, satu orang dalam keluarga (si suami atau

istri) mendominasi.

4. Pola Monopoli. Dalam pola monopoli ini, si suami atau si istri

sama-sama menganggap dirinya sebagai penguasa. Keduanya (suami istri)

lebih suka memberi nasehat dari pada berkomunikasi untuk saling

bertukar pendapat

2.5 Pasangan Suami Istri

Relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi

keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika

terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan

adalah keberhasilan melakukan penyesuain di antara pasangan. Penyesuain ini

bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian

adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

Calhoun & Acocella, (dalam Sri Lestari, 2012: 63). Terdapat tiga indikator bagi

proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan Glenn (dalam Sri lestari, 2012: 64),

yakni konflik, komunikasi dan berbagai tugas rumah tangga. Keberhasilan

penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang

terjadi. Penyesuain dalam perkawinan tidak ditandai oleh sikap dan cara yang

konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif

merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang

konstruktif.

Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala aspek

kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting

komunikasi adalah membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Journal “Acta Diurna” Volume III. No.4. Tahun 2014 bila kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal itu menandakan

bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik Banyak

kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya dipadankan dengan

(13)

2012: 65). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang

dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada

kenikmataan, kesenangan, dan kesukaan. Perbedaanya adalah bila kebahagiaan

perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasaan perkawinan

berdasarkan pada evaluasi kognitif. David H. Olson dan Amy K. Olson (dalam Sri

Lestari, 2012: 68), terdapat sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan

yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu: komunikasi, fleksibilitas, kedekatan,

kecocokan kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiataan di waktu luang,

keluarga dan teman, pengelolahan keuangan, dan keyakinan spritual.

Di antara sepuluh aspek tersebut, lima aspek yang lebih menonjol adalah

komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi konflik.

Keterampilan dalam berkomunikasi dapat mewujud dalam kecermatan memilih

kata yang digunakan dalam penyampaian gagasan pada pasangan. Pemilihan kata

yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahan presepsi pada pasangan yang

diajak berbicara. Intonasi dalam melakukan komunikasi juga perlu untuk

diperhatikan. Penekanan pada kata yang berbeda, meskipun dalam kalimat yang

sama dapat menimbulkan respons perasaan yang berbeda pada pasangan.

Hal ini berkaitan dengan kesediaan dan kemampuan mengungkapkan diri

(self-disclosure). Pengungkapan diri adalah menyampaikan informasi pribadi

yang mendalam, atau segala hal yang kemungkinan orang lain tidak mengerti bila

tidak diberitahu. Informasi tersebut dapat berupa gagasan dan pemikiran, impian

dan harapan, maupun perasaan positif dan negatif. Kesalahpahaman dalam

komunikasi dapat menimbulkan konflik, yang sering terjadi karena menggunakan

gaya komunikasi negatif. Menurut Ali Qaimi (2002: 61) berlebihan juga sepasang

suami-isteri berbicara dengan gaya bahasa resmi dan dengan dialek seorang

pejabat atau pemimpin rakyat. Namun, yang dituntutadalah bersikap hati- hati

dalam berbicara. Sebab, ketergelinciran lidah adakalanya mendatangkan akibat

yang fatal.

2.6 Perkawinan Antarbudaya

Dipaparkan dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Riau Volume 2

(14)

penelitian ini disebut oleh ahli ilmu komunikasi dengan istilah yang berbeda-beda.

Romano (2008: 121) menyebutnya sebagai inter-cultural marriage. Sementara

Hondius (dalam Sri Lestari, 2012: 70) menamainya dengan istilah mixed

marriage. Para ahli lain menyebut feno-mena ini dengan istilah cross cultural

marriage, international marriage, interethnic marriage, intercultural

relationship, atau intermarriage. Falicov (dalam Romano, 2008: 229), salah

seorang peneliti di bidang ini menyebut istilah intercultural marriage sama saja

dengan istilah intermarriage dan cross-cultural. Ketiga istilah tersebut dapat

saling dipertukarkan.

Meskipun ada beragam terminologi yang digunakan untuk menamai

fenomena ini, penger-tian yang diberikan terhadap istilah ini ternyata relatif sama

yakni sebagai pernikahan dua orang invidu yang memiliki latar belakang budaya

berbeda (Romano, 2008: 11). Menurut Falicov (dalam Romano, 2008: 232), kata

budaya yang menyertai kata perkawinan dalam istilah ini pada kenyataanya

memiliki pengertian yang luas dan cair karena mencakup juga perbedaan agama,

etnik, status sosial, negara, bahkan ras. Apabila ditelusuri lebih jauh, pernikahan

antarbudaya ini sebenarnya bukanlah fenomena baru. Samsudin (2009: 71)

menyebutkan pernikahan yang melibatkan pasangan berbeda etnik atau budaya

atau agama telah terjadi sejak Masa lalu bahkan sebelum masehi. Nabi Musa yang

pe-nganut Yahudi misalnya, menikah Zypporah se-orang wanita asli Kenya,

sedangkan dalam contoh yang lebih dekat, John Lenon misalnya yang menikahi

Yoko Ono atau ibunda Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, dua kali

menikah dengan pria yang berbeda bangsa, satu dari Kenya dan satu lagi dari

Indonesia. Kalau kita mengambil contoh yang lebih aktual maka kita menemukan

contoh pernikahan Tiger Wood dengan Ellin Nordergen. Menurut Romano (2008:

318) kecenderungan melakukan pernikahan antarbudaya akan semakin menguat

pada abad 21 ini. Hal ini disebabkan oleh freukensi orang melakukan perjalanan,

pindah rumah, bersekolah, berwisata atau bekerja di luar negeri menjadi semakin

besar. Lebih dari itu merebaknya media sosial semakin memmudahkan orang

membangun kontak tanpa dibatasi oleh jarak. Media ini juga memungkinkan

mereka membangun hubungan yang bersifat personal. Meskipun belum ada angka

(15)

media sosial kecenderungan membangun kontak dan hubungan personal melalui

saluran ini semakin besar (dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Riau

Volume 2 Nomor 2, 2013: 4).

Menurut Maretzki (dalam McDermott & Tseng, 1977: 42) menyebutkan

bahwa perkawinan antar budaya (intercultural marriage) adalah perkawinan yang

terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.

Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan

tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut

keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Di dalam

perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda

(Koentjaraningrat, 1998: 12).

Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan.

Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan,

sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga, Purnomo (dalam

Natalia & Iriani, 2002: 31). Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa perkawinan antar etnis adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan

yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.

Menurut Tseng (1977: 36) terdapat faktor-faktor Pendukung Tercapainya

Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan budaya yaitu :

a. Adanya saling keterbukaan pikiran atau openmindedness.

b. Memiliki sikap fleksibilitas atau keluwesan.

c. Adanya toleransi yang tinggi.

d. Pengetahuan.

e. Kepekaan terhadap kebutuhan pasangan.

2.7 Mendidik anak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “mendidik” artinya memelihara

dan memberi latihan. dalam memeliahara dan memberi latihan diperlukan adanya

ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.

Sedangkan menurut Darmodiharjo (1982: 31), mendidik ialah menunjukkan usaha

yang lebih ditujukan kepada pengembangan budi pekerti, semangat, kecintaan,

(16)

Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun

1973, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.

Sebaliknya, dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah

diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990

disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.

Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia

antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang

belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang

Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006: 19).

Sementara itu, pengertian anak yang terdapat dalam Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 yaitu (https://www.bersosial.com):

1. Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas)

tahun dan belum pernah kawin.

2. Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau

anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut

peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat

bersangkutan.

3. Anak Terlantar adalah anak yang berdasarkan penetapan pengadilan

ditetapkan sebagai anak terlantar, atas pertimbangan anak tersebut

tidak terpenuhi dengan wajar kebutuhannya, baik secara rohaniah,

jasmaniah, maupun sosial disebabkan : Pertama, adanya kesalahan,

kelalaian, dan atau ketidakmampuan orang tua, wali atau orang tua

asuhnya. Kedua, statusnya sebagai anak yatim piatu atau tidak ada

orangtuanya.

Mendidik atau membimbing anak adalah suatu pekerjaan yang dipikul

oleh orangtua untuk mengarahkan anak-anak didik dalam belajar dan

dalam berprilaku yang baik, baik itu di lingkungan rumah atau di masyarakat.

Untuk mengarahkan anak-anak bersifat yang positif dan menjauhkan anak

(17)

mengajarkan anaknya, sehingga dengan mendidik yang baik atau cara ajar yang

bagus, maka terciptalah sifat anak yang positif baik itu dalam belajar dan dalam

berperilaku di masyarakat.

Mendidik memang bukan persoalan yang gampang dan sederhana. Pada

tataran filosofis, mendidik berkaitan dengan proses pembentukan kualitas manusia

dan peradaban yang akan dihasilkannya. Setiap anak memiliki kemampuan yang

berbeda-beda dan juga memiliki kelebihan masing-masing. Berbedanya seorang

anak dengan yang lain menunjukkan bahwa setiap anak adalah unik.

Cara orangtua mendidik anaknya juga berbeda-beda. Orangtua keturunan

China dianggap begitu superior terhadap anaknya sedangkan orangtua di

negara-negara Barat lebih demokratis dan menghargai individu anak. Buku 'Battle Hymn

of the Tiger Mother' karangan Amy Chua, seorang profesor sekolah hukum dari

Yale Law School menceritakan bagaimana ibu-ibu di China atau keturunan China

dengan didikan kerasnya mampu membuat anaknya berhasil. Hal yang sama

seperti dialami Amy ketika kecil hingga menjadi orang sukses seperti sekarang.

Amy kini menerapkan gaya didik orangtuanya kepada dua anaknya Sophia dan

Louisa yang sudah beranjak remaja. Anak-anaknya dilarang main game dan

nonton TV, menginap di rumah teman, harus mendapat nilai A, harus les biola

atau piano. Di negara AS misalnya, anak-anak yang didik orangtua keturunan

China jago matematika, pintar main piano dan sering jadi juara di kelasnya.

Mendidik dengan disiplin dan kontrol orangtua yang besar menurut Amy juga

dilakukan orangtua keturunan Korea, India, Jamaika, Irlandia dan Ghana. Dalam

salah satu penelitian terhadap 50 ibu di Amerika dan 48 ibu-ibu imigran China,

hampir 70 persen ibu-ibu barat mengatakan bahwa 'menekankan keberhasilan

akademis tidak baik untuk anak-anak' karena yang terpenting 'orang tua perlu

mendorong ide bahwa belajar adalah hal yang menyenangkan'. Sebaliknya,

sebagian besar ibu keturunan China mengatakan bahwa mereka percaya

anak-anaknya dapat menjadi siswa 'yang terbaik' karena 'prestasi akademik

mencerminkan orangtua yang sukses mendidik' dan 'jika anak-anak tidak unggul

di sekolah itu artinya ada masalah pada orangtua kenapa anak tidak mengerjakan

tugasnya'. Studi lain menunjukkan bahwa dibandingkan dengan orangtua Barat,

(18)

memantau aktivitas akademik anak-anaknya. Sebaliknya, anak-anak Barat lebih

banyak berpartisipasi dalam kegiatan dan tim olahraga ketimbang prestasi

akademik. Amy juga mengatakan ketika orangtua China menerapkan disiplin dan

pola didik yang terkontrol, anak-anak China juga akan menolak. Namun kuncinya,

kesabaran orangtua untuk mendampingi anak karena memang akan sulit dijalani

di masa-masa awal. Hal yang berbeda dengan tipikal orangtua barat yang

cenderung menyerah pada kemauan anak ketika anak menolak. Sebaliknya

orangtua Barat hanya meminta anaknya mencoba melakukan yang terbaik.

Mereka akan berhati-hati untuk tidak membuat anak mereka merasa tidak mampu

dan tidak akan pernah memanggil anaknya dengan sebutan 'bodoh', 'tidak berguna'

atau 'memalukan'. Orangtua China bisa melakukan seperti itu karena tradisi China

men-stigma anak-anak berutang ke orangtuanya yang telah berkorban banyak

sehingga mereka harus membayarnya dengan prestasi dan kebanggaan serta rasa

hormat kepada orangtua.Sebaliknya, orangtua di Barat tidak berpikir demikian.

Anak-anak tidak memilih orangtuanya dan bahkan mereka tidak memilih untuk

dilahirkan sehingga anak-anak tidak berutang apa-apa. Tugas mereka adalah

membuat anak-anak menjadi diri mereka sendiri. Orangtua Barat mencoba untuk

menghormati individua anak-anaknya, mendorong mereka untuk mengejar

keinginan mereka, mendukung pilihan mereka, dan memberikan dukungan dan

lingkungan yang positif. Sebaliknya, orangtua China percaya bahwa cara terbaik

untuk melindungi anak-anak mereka adalah dengan mempersiapkan masa depan

mereka, membekali anak dengan keterampilan, kebiasaan kerja yang tekun dan

disiplin, dan keyakinan batin yang tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang

Gambar

Gambar 2.1 Model Komunikasi Antarbudaya

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

[r]

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami mengundang perguraun tinggi saudara untuk mengajukan proposal hibah PDITT tersebut, baik untuk mata kuliah daring,

In sum, this study represents an initial research effort to identify corporate identity (communication and visual image; behavior, corporate culture, market condition) in which

Demografi dan Populasi kumbang Elaeidobius kamerunicus Faust ( Coleoptera : Curculionidae) Sebagai Penyerbuk Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis Jacq).. Program

Mineral adalah suatu senyawa atau benda padat anorganik pembentuk batuan dari kerak bumi yang terbentuk secara alami melalui proses – proses geologis yang tersusun oleh komposisi