• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file 005PUUIV2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANGUNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANGUNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN | SURYANINGSIH | Legal Opinion 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file 005PUUIV2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANGUNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANGUNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN | SURYANINGSIH | Legal Opinion 1 PB"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK KONSTITUSIONAL PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 005/PUU-IV/2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN

KEHAKIMAN

INDAH SURYANINGSIH / D 101 13 332

Pembimbing I Dr. Idham Chalid, S.H., M.H

Pembimbing II Leli Tibaka, S.H., M.H

ABSTRAK

Latar belakang pemikiran dan dasa r pertimba ngan hukum MK dalam memutus Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 berkaitan dengan hakim konstitusi yang tidak termasuk dalam objek penga wa san KY adalah tidak konsisten bahkan inkonstitusional dalam arti tidak ada ketentua n konstitusi yang menguatka n pendapat tersebut serta tidak mencerminkan prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum, karena pada hakikatnya penga wa sa n ditujukan untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Sebagaimana disebutkan Lord Acton, bahwa “power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Artinya, kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup juga secara absolut.

Putusan ideal atas perka ra Nomor 005/PUU-IV/2006 menurut penulis adalah pertama, menyatakan sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon (Hakim Agung) tidak memiliki legal standing atau permohonan pemohon terkait hal tersebut tidak dapat diterima, sebab tidak ada kerugiaan konstitusional pemohon (Hakim Agung) jika KY menga wasi hakim konstitusi. Kedua, menyatakan: Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20 UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 23 a yat (5); Pa sal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (4) UUKY bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Kata kunci : Konstiusional, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) pada Pasal 1 ayat (3) menegaskan

bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum Indonesia sebagaimana dikonsepsikan oleh Moh. Mahfud MD sebagai sebagai negara

hukum yang prismatik,

(2)

rechtstaat dengan kepastian hukumnya dan the rule of la w dengan rasa keadilannya secara integratif.1

Secara kosepsional teoritis, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang niscaya ada dalam negara hukum di samping kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman diatur dalam bab tersendiri dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman yang terangkum dalam 5 pasal dan 18 ayat. Pada Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan:

1) Kekuasaan kehakiman merupa kan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan diba wahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.

3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekua saan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

1

Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Penamedia Group, 2015., hlm., 17.

(selanjutnya disebut UUMK), menyebutkan bahwa MK memiliki kewenangan sebagai berikut:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai

politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undnag-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pengujian undang-undang (selanjutnya disebut UU) terhadap Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD), atau dalam bahasa Inggris disebut judicial review adalah merupakan akses bagi masyarakat untuk menguji UU yang merugikan hak konstitusionalnya.2 Menurut Martitah,

2

(3)

fungsi kewenangan tersebut merupakan upaya untuk mengontrol proses dan produk serta keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri

pada prinsip “the rule of majority.3

Pengujian UU ini kemudian akan melahirkan putusan yang menyatakan bahwa UU yang diuji telah sesuai atau bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yang sifatnya mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia sejak putusan di bacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Putusan sebagaimana dimaksud harus memperhatikan sepuluh rambu berikut4: sebagai dasar pembatalan UU lainnya;

4) MK tidak boleh mencampuri

masalah-masalah yang

didelegasikan oleh UUD kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya dengan atau dalam UU sesuai dengan pilihan politiknya sendiri;

3

Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negatif Legislature ke Positif Legislature?, Konpress, Jakarta, 2013, hlm. 2.

4

Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontoversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta 2012, hlm., 281-284.

5) MK tidak boleh mendasarkan pada teori yang tidak secara jelas dianut oleh konstitusi, yang harus menjadi dasar adalah isi UUD NRI Tahun 1945 dan semua original intent-nya;

6) MK tidak boleh melanggar asas nemo judex in causa sua, yakni memutus hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri;

7) Para hakim MK tidak boleh berbicara atau mengemukakan opini kepada publik atas kasus konkret yang sedang diperiksa MK, termasuk di seminar-seminar dan pada pidato-pidato resmi. 8) Para hakim MK tidak boleh

mencari-cari perkara dengan menganjurkan siapa pun untuk mengajukan gugatan atau permohonan ke MK.

9) Para hakim MK tidak boleh secara proaktif menawarkan diri sebagai penengah dalam silang sengketa politik antara lembaga negara atau antarlembaga-lembaga politik; 10) MK tidak boleh ikut membuat

opini tentang eksistensi atau tentang baik atau buruknya UUD, atau apakah UUD yang berlaku itu perlu diubah atau dipertahankan.

(4)

berlakunya suatu UU5. Sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, MK telah menentukan 5 (lima) syarat adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK, sebagai berikut6:

1) Harus ada hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;

2) Hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang; 3) Kerugian hak konstitusional

tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

4) Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;

5) Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Putusan MK No. 005/PUU-IX/2006 yang merupakan perkara uji konstitusionalitas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UUKY) dan Pengujian UU No.4 Tahun 2004

5

Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung 2012. hlm., 373.

6

Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi, Hukum Acara Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014, hlm., 306.

tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disbut UUKK) terhadap UUD NRI Tahun 1945, khusus mengenai pasal-pasal yang berkaitan dengan lingkup pengertian hakim, pengawasan hakim dan usul penjatuhan sanksi yang diajukan oleh 31 orang Hakim MA dengan hal-hal yang dimonhonkan untuk diputus (petitum) sebagai berikut:

1) Mengabulkan permohonan para Pemohon;

2) Menyatakan Pasal 1 angka 5; Pasal 20; Pasal 21; Pasal 22 ayat (1) tentang Komisi Yudisial serta Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3) Menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut pada angka 2 di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

Atau mohon putusan yang seadil-adilnya.

(5)

pemohon kesemuanya, sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau

Mahkamah Konstitusi” tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memperhatikan 5 (lima) syarat kerugian konstitusional yang disebutkan di atas Penulis berpandangan pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan hakim konstitusi dan melihat latar belakang dan dasar pertimbangan putusan tersebut dikaitkan dengan sepuluh rambu MK dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, menurut penulis putusan tersebut adalah tidak memiliki dasar konstitusional, melanggar rambu dan syarat konstitusional yang telah disebutkan di atas dan terpenting adalah tidak mencerminkan prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum karena dengan mengecualikan hakim konstitusi sebagai bagian dari hakim yang diawasi oleh KY adalah bentuk diskriminasi terlebih lagi pengecualian tersebut akan menyebabkan hakim konstitusi tidak terjaga keluhuran martabat serta perilakunya, yang

kemudian menyebabkan beberapa hakim konstitusi terlibat dalam kasus hukum yang mencoreng instansi MK dan pengadilan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1) Apakah latar belakang dan dasar

pertimbangan MK dalam memutus perkara nomor 005/PUU-IV/2006? 2) Bagaimana putusan yang ideal atas perkara nomor 005/PUU-IV/2006?

II. PEMBAHASAN

A. Latar Belakang dan dasar pertimbangan MK dalam memutus perkara nomor 005/PUU-IV/2006

(6)

(rechters als uitvoerder van rechterlijke macth) (Pasal 31 UUKK), hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 33 UUKK) yang secara inheren hakim juga secara individual menjaga kemandiriannya sebagai hakim, sehingga seorang ketua pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani perkara.7

Proses peradilan kasus a quo di MK objectum litis-nya adalah masalah konstitusionalitas UU yang lebih menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supreme la w), bukan semata-mata kepentingan individual. Oleh karena itu, dalam kasus a quo, penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban konstitusional yang lebih utama untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo. MK menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan tetap menjga prinsip imparsialitas dalam keseluruhan proses. Oleh karena itu asas nemo judex idoneus in propia

7

Putusan Mahkamah Konstitusi RI

No.005/PUU-IV/2006, hlm. 155.

causa (neimand is geschikt om als

rechter in zijn eigen zaak op te treden)

yang berarti bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri, tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo8 dengan alasan (i) tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; dan (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.9

Pasal 24A ayat (3) UUD NRI

Tahun 1945 berbunyi, “Calon hakim

agung diusulkan Komisi Yudisial

kepada Dewan Perwakilan Rakyat

untuk mendapatkan persetujuan dan

selanjutnya ditetapkan sebagai hakim

agung oleh Presiden”. Pengaturan yang

demikian menunjukkan keberadaan KY

8

Ibid., hlm. 152-153.

9

(7)

dalam sistem ketata negaraan adalah terkait dengan MA.10

Hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 juga tidak terdapat keterlibatan KY sama sekali.11

Ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenagan dan menghalang-halangi pemenuhan tanggungjawab MK dalam menjaga konstitusionalitas mekanisme hubungan antar lembaga negara yang kewenanagannya diberikan UUD NRI Tahun 1945.12

10

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.005/PUU-IV/2006, hlm. 181.

11

Ibid., hlm. 174.

12

Ibid., hlm. 174-175.

B. Putusan Ideal atas Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006

Legal standing pemohon tidak terpenuhi terkait permohonan pemohon atas hakim konstitusi, karena tidak dapat dibuktikan adanya kerugian konstitusional sesuai syarat sebagaimana telah disebutkan dimuka yang bersifat spesifik yang dialami oleh para Pemohon, selaku Hakim Agung, sebagai akibat dari berlakunya ketentuan yang mengatur tentang MK dan Hakim Konstitusi dalam UUKY. Sehingga menurut penulis pemohon tidak memiliki legal standing mengajukan permohonan terkait dengan hakim konstitusi atau dengan kata lain permohonan terkait MK dan hakim MK tidak dapat diterima.

Terhadap alasan MK

mengesampingkan asas nemo judex idoneus in propia causa (neimand is

geschikt om als rechter in zijn eigen

(8)

melakukan hal lain untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Terlebih lagi UUKY dibentuk oleh lembaga legislatif dan materinya merupakan masalah yang didelegasikan oleh UUD NRI Tahun 1945 kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya dengan atau dalam UU sesuai dengan pilihan politiknya dan menurut moralitas keadilan. Sehingga MK tidak boleh mencampurinya apalagi sampai memutuskan konstitusionalitasnya tanpa dasar yang konstitusional yang dapat diterima secara umum sebagaimana disebutkan dalam rambu keempat dalam sepuluh rambu pelaksanaan kewenangan pengujian UU terhadap UUD.

Di pengadilan dikenal asas ius curia novit bahwa hakim tidak boleh menolak perkara, tetapi tetap perlu diperhatikan asas nemo judex idoneus in propia causa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam beracara di MK dan pengadilan secara umum. Terlebih asas ini lebih menyelamatkan hakim dari kemungkinan adanya konflik kepentigan yang akan menguatkan prinsip imparsialitas hakim dalam memutus perkara. Kepentingan konstitusional bangsa dan

negara jika diputuskan oleh pejabat negara yang bersangkutan dengan kasus tersebut akan dipandang politis. Jika hal ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara tentulah lembaga legislatif dan pemerintah dalam membentuk UU ini lebih dahulu menyadarinya. Namun pada kenyataannya ketentuan pasal yang dimohonkan dalam perkara a quo merupakan suatu kesepakatan tanpa pertentangan dalam perumusannya. Sehingga akan lebih aman jika menyerahkan sepenuhnya kepada DPR dan Pemerintah untuk mereview kembali UU hasil bentukkannya atau menyerahkan kepada MPR untuk mengubah atau memperjelas maksud dari ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda.

Terhadap pengesampingan asas tersebut, Majelis eksaminasi yang dibentuk untuk mengeksaminasi putusan a quo berpendapat bahwa:

“ Pengesampingan asas ini tidak

(9)

telah diatur dalam Pasal 29 ayat (5) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:

Seorang hakim atau panitera wajib

mengundurkan diri dari

persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas

permintaan pihak yang

berperkara.”.13

Selanjutnya majelis eksaminasi menegaskan bahwa:

“ Penyimpangan atas suatu asas hanya dapat dilakukan jika diatur secara eksplisit di dalam UU, misalnya peradilan harus dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 19 (1) UU No. 4 tahun 2004). Ternyata UU MK dan Peraturan MK Nomor 006/PMK/2005 tentang hukum acara pengujian undangundang tidak mengatur secara spesifik tentang penyimpangan atas asas dimaksud. Karena itu MK tidak mempunyai alasan untuk menyimpang dari asas tersebut, kecuali bersandar kepada kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi perlu dicatat, argumen kekuasaan demikian berpotensi menimbulkan

13

Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi

Putusan Mahkamah Konstitusi No.

005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang

No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan

Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, (Yogyakarta, Pusat

Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum,

Universitas Gajah Madah dan Indonesian

Monitoring Court, 2006) hlm., 2.

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Akibat lebih lanjut, pemeriksaan perkara ini sarat benturan kepentingan (conflict of interest). Padahal untuk menjaga prinsip imparsialitas hakim konstitusi harus terbebas dari benturan kepentingan dalam membuat putusan. Atas dasar

demikian, karena

mengenyampingkan asas nemo judex idoneus in propria causa, maka hakim konstitusi telah melakukan judicial misconduct. Seharusnya hakim konstitusi tidak memutus permohonan sepanjang yang menyangkut diri mereka sendiri. Apalagi Pasal 29 ayat (6) UU No. 4 tahun 2004 menyatakan: Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana

berdasa rkan peraturan

perundangundangan.

Artinya, adalah benar seandainya MK mengabulkan permohonan ”deklarasi” KY yang meminta hakim konstitusi tidak memutuskan permohonan yang berkait dengan hakim konstitusi. Upaya KY tersebut harus dimaknai positif sebagai cara untuk membantu hakim konstitusi menjaga prinsip

imparsialitasnya.”14

Putusan ini menimbulkan diskriminasi terhadap hakim- hakim yang lain. Sejatinya pengawasan terhadap kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim adalah

14

(10)

bentuk penjagaan dari kemungkinan pelanggaran pelaksanaan tugas mengadili perkara yang menjadi hak konstitusional warga negara. Karena pada hakikatnya pengawasan oleh KY merupakan bentuk checks and balances dalam ketatanegaraan Indonesia, dimana setiap lembaga negara ada sederarat dan saling mengontrol agar kewenangan yang telag digariskan dalam UUD NRI Tahun 1945 dpat dijalankan sebagaimana mestinya bukan untuk mencederai kewenangan itu sendiri, dalam hal ini independensi hakim.

Menurut penulis tidak ada pertentangan yang berarti antara konsep hakim dengan pasal-pasal yang dimohonkan, karena cukup jelas hal-hal berkaitan dengan pengertian hakim, di dalam UUD NRI Tahun 1945 terdapat kata “hakim”, “hakim agung” dan “hakim konstitusi” yang ketiganya memiliki pengertian dan konteks yang berbeda yang disebutkan pertama adalah umum untuk seluruh hakim dan yang disebutkan selanjutnya ansih pada hakim dalam masing-masing instansi. Secara original intent “Hakim” yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah seluruh hakim termasuk hakim

Konstitusi, telah berubah menjadi tidak termasuk hakim konstitusi. Dua orang ahli yang dihadirkan di dalam persidangan permohonan tersebut yang mendukung pendapat ini adalah Moh.Mahfud MD dan Deny Indrayana. Menurut Mahfud MD :

“di dalam risalah tanggal 8 Juni 2000, dalam buku kedua jilid tiga halaman 434, dikatakan “Komisi Yudisial mengawasi Hakim Agung dan hakim pada semua tingkatan”, dan Ahli juga ingin mengatakan bahwa sampai berakhirnya perumusan Pasal 24B tersebut tidak ada satu pun yang membantah di dalam sidang Panitia Ad hoc tersebut. Kemudian tanggal 26 September 2000, Zein Badjeber

mengatakan bahwa ”Komisi

Yudisial bukan hanya menyangkut Hakim Agung, tapi seluruh ha kim”. Pernyataan-pernyataan tersebut muncul dan tertulis di dalam risalah, dan sampai akhir persidangan tidak ada yang membantah.15

Sementara Deny Indrayana menjelaskan beberapa cara penafsiran yang digunakan untuk mengetahui apakah kata “hakim” itu hanya terbatas pada hakim di bawah MA atau seluruh hakim, yaitu :

"melalui penafsiran metode literal dan legalistik; kaku dan dangkal; progressif; mengacu pada pengertian sebelumnya (stare

15Ibid

(11)

decisis); mengacu pada niat pembuat konstitusi (purposive); dan umum atau liberal. Berdasarkan keenam metode tersebut, tidak ada satupun metode yang dapat dikatakan mendukung dalil pemohon bahwa kata "hakim" pada ujung Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mencakup pengertian: hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc.Berdasarkan metode literal dan legalistik - terkadang disebut textualism, "hakim" harus dilihat sebagai kata pengertian "umum". Sedangkan "hakim agung", "hakim konstitusi", "hakim ad hoc", "hakim kepailitan", "hakim tindak pidana korupsi" dan jenis hakim lainnya adalah pengertian "khusus". Artinya, kata "hakim" mencakup semua jenis hakim sebagai profesi, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi, hakim ad hoc dan/atau hakim apapun yang di masa datang akan muncul berdasarkan peraturan perundangan. 16

Lebih lanjut Deny Indrayana menjelaskan bahwa :

"hakim konstitusi" kata mereka memang tidak secara jelas dibahas (di dalam risalah). Namun bukan berarti bahwa hakim konstitusi tidak termasuk kata "hakim" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Tidak dibahasnya hakim konstitusi itu lebih pada persoalan sistematika pembahasan amandemen UUD 1945 yang tidak runtut serta tidak pula terencana

16 Ibid

. Keterangan saksi ahli Deny Indrayana, pihak yang terkait langsung (Komisi Yudisial), hlm.98-100.

secara rapi. Namun jika dilihat di dalam blue print Mahkamah Konstitusi juga secara tegas menyatakan bahwa, "menjadi penting bagi Mahkamah Konstitusi, untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum maupun Mahkamah Konstitusi." (kursif penulis).17

Di dalam kesimpulan pendapatnya Deny Indrayana menegaskan kembali bahwa berdasarkan constitutional interpretation “hakim” menurut Pasal 24B adalah seluruh hakim, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc. Di dalam cetak biru Mahkamah Konstitusi secara eksplisit MK sebenarnya telah mengakui bahwa Hakim Konstitusi pun juga merupakan hakim yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini terlihat di dalam Bab IV Mewujudkan Akuntabilitas dan Transparansi MK bagian B Tujuan Strategis, MK menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang tercermin pada

17

(12)

kewenangan-kewenangan yang dimilikinya. Untuk mengimbangi dan menjaga agar MK tetap menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada mekanisme pengawasan terpadu terhadap MK. Menjadi penting bagi

MK, untuk memberikan

pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu. KY, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum maupun MK.18

Selain itu dalam menanggapi kewenangan Komisi Yudisial Jimly Asshiddiqie19, menyatakan bahwa:

“Dari ketetentuan mengenai KY ini dapat dipahami bahwa jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu KY. Pembentukan lembaga baru ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih lanjut ide pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang sudah berkembang selama ini. Akan tetapi, jika majelis semacam ini dibentuk di lingkungan internal MA,

18

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Jakarta, 2005, hlm.121.

19

Jilmy Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2013, hlm. 20.

maka sulit diharapkan akan efektif menjalankan fungsi pengawasan atas kehormatan hakim agung itu sendiri, karena kedudukannya yang tidak independen terhadap subjek yang akan diawasi. Di samping itu, jika lembaga ini dibentuk di dalam struktur MA, maka subjek yang diawasinya hanya terbatas pada hakim agung saja. Oleh karena itu, keberadaan lembaga KY ini dibentuk tersendiri di luar MA, sehingga subjek yang diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim di seluruh Indonesia. (kursif penulis)

Saksi Patrialis Akbar, sebagai mantan anggota Panitia Ad Hoc (selanjutnya disebut PAH) III dan PAH I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat, terkait dengan kewenangan dan maksud dibentuknya KY, menyatakan:

“Khusus berkenaan dengan kalimat "perilaku hakim" dalam kalimat terakhir Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut dimaksudkan kepada perilaku hakim secara menyeluruh dengan tidak terbatas pada hakim tertentu saja akan tetapi kepada seluruh Hakim sebagaimana ditegaskan dalam buku PANDUAN DALAM MEMASYARAKATKAN

UNDANG UNDANG DASAR

(13)

halaman 195 dan 196 buku tersebut menuntun para anggota MPR dalam memasyarakatkan Pasal 24B yang saksi kutip antara lain sebagai berikut:

"Adanya ketentuan ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi

pencari keadilan”20

Saksi Sutjipno juga memberikan keterangan terkait maksud pembentukan KY dan posisinya dalam ketatanegaraan RI, sebagai berikut:

“ Komisi Yudisial dalam rangka checks and balances adalah untuk mengontrol perilaku para hakim dalam seluruh jajajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Demi menjaga martabat dan kehormatan hakim keseluruhannya, maka yang menjadi sasaran utama KY adalah aspek administratif personil hakim yaitu para hakim dalam seluruh jajaran kekuasaan yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif;

KY pun juga bukan aparat yudikatif, KY tidak lain adalah semata-mata sebagai aparat pengawas atau aparat kontrol dan penjaga perilaku para hakim, yang berarti aspek-aspek administratif personil yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif

20

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.005/PUU-IV/2006, hlm., 53-54.

dengan maksud dan tujuan untuk terpeliharanya martabat dan kehormatan hakim;

KY sengaja dibangun secara ekstra struktural dengan maksud dan tujuan pula untuk menjamin adanya objektifitas pengawasan atau kontrol terhadap para hakim;

Untuk mencegah timbulnya unsur subjektifitas yaitu penilaian terhadap diri sendiri oleh diri sendiri, dan yang diputuskan oleh diri sendiri yang berada dalam satu tangan pasti sangat subjektif sehingga perlu dibangun secara ekstra struktural agar terwujud adanya check and balances yang baik dalam

pelaksanaannya;”21

Sehingga tidak ada perbedaan antara semua hakim, karena secara umum dan yuridis, hakim berarti pihak yang menjadi juri atau pengadil dalam suatu perkara apapun itu. Sedangkan hakim dalam konteks pelaku kekuasaan kehakiman adalah semua hakim dalam semua instansi kekuasaan kehakiman dan badan peradilan di bawahnya, yaitu hakim agung, hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi, hakim konstitusi dan hakim ad hoc tanpa memperhatikan masa jabatannya sebagai hakim.

Permasalahan penting yang perlu dibahas dalam UUKY tersebut adalah mengenai kejelasan bagaimana perilaku hakim yang akan diawasi dan

21

(14)

tata cara pengawasan hakim yang merupakan wujud dari kewenangan KY“ dalam Menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, serta perilaku

hakim” yang menurut penulis kurang

jelas. Menurut penulis putusan ideal atas perkara a quo adalah sebagai berikut:

MENGADILI

1) Menyatakan sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon tidak memiliki legal standing dan Permohonan terkait hal tersebut tidak dapat diterima, karena tidak ada kerugian hak atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik yang dialami oleh para Pemohon, selaku Hakim Agung, sebagai akibat dari berlakunya ketentuan yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi dalam UU RI No. 22 Tahun 2004 tentang KY (LN-RI Tahun 2004 No.89, Tambahan LN-RI No.4415).

2) Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

3) Menyatakan:

a. Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20 UU RI No. 22 Tahun 2004 tentang KY (LN-RI Tahun 2004 No.89, Tambahan LN-RI No.4415) tidak bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 2004 tentang KY (LN-RI Tahun 2004 No.89, Tambahan LN-RI No.4415), bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945; c. Pasal 34 ayat (3), yang

berbunyi, ”Dalam rangka

menjaga kehormatan,

keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, penga wasan dilakukan oleh KY yang diatur dalam

UU”, UU RI No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman (LN-RI Tahun 2004 No.8, Tambahan LN-RI No. 4358), tidak bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945; 4) Menyatakan Pasal-pasal di dalam

kedua UU tersebut di atas yang dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; 5) Menyatakan Pasal-pasal di dalam

UU RI No. 22 Tahun 2004 tentang KY (LN-RI Tahun 2004 No.89, Tambahan LN-RI No.4415) yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

6) Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah untuk memuat amar putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

7) Menolak permohonan untuk selebihnya.

III. PENUTUP A. Kesimpulan

(15)

penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Latar belakang pemikiran dan dasar pertimbangan hukum MK dalam memutus Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 berkaitan dengan hakim konstitusi yang tidak termasuk dalam objek pengawasan KY adalah tidak konsisten bahkan inkonstitusional dalam arti tidak ada ketentuan konstitusi yang menguatkan pendapat tersebut serta tidak mencerminkan prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum, karena pada hakikatnya pengawasan ditujukan untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Sebagaimana disebutkan Lord

Acton, bahwa “power tends to

corrupt and absolute power tends

to corrupt absolutely. Artinya, kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup juga secara absolut. 2) Putusan ideal atas perkara Nomor

005/PUU-IV/2006 menurut penulis adalah pertama, menyatakan sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan Hakim

Konstitusi, para Pemohon (Hakim Agung) tidak memiliki legal standing atau permohonan pemohon terkait hal tersebut tidak dapat diterima, sebab tidak ada kerugiaan konstitusional pemohon (Hakim Agung) jika KY mengawasi hakim konstitusi. Kedua, menyatakan: Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20 UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (5); Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (4) UUKY bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

B. Saran

(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi, Hukum Acara Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014.

Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negatif Legislature ke Positif Legislature?, Konpress, Jakarta, 2013.

Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontoversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta 2012.

Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta: Penamedia Group, 2015.

Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung 2012.

B. Jurnal/ Makalah

Jilmy Asshiddiqie, Struktur Ketatanega raan Indonesia setelah Perubaha n Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2003. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun

Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Jakarta, 2005.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Yogyakarta, Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum, Universitas Gajah Madah dan Indonesia n Monitoring Court, 2006).

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Undang undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Vision1 channel ini memiliki pola siaran yang lebih rumit dikarenakan kebanyakan program nya adalah program yang dibeli dari luar negeri dan acara nya live

Umumnya kepala silinder dibuat dari bahan alumunium paduan dengan sirip-sirip pendinginan, serta pada sekeliling ruang bakarnya di lengkapi dengan SQUISH AREA

Itulah beberapa kelainan pada mata yang dapat menyebabkan kerusakan bahkan jika tidak dirawat dengan benar kita akan kehilangan daya pandang atau terjadi kebutaan permanen.

dengan materi Gerak Melingar kelas XI yang telah tervalidasi kesesuaian- nya, (2) Berdasarkan uji desain, uji materi, dan uji 1-1 terhadap produk, maka produk

Salah satu media yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan diatas adalah “Pengembangan Buku Suplemen Dengan Teknologi 3D Augmented Reality Sebagai Bahan

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan dilakukan analisis pembahasan tentang supervisi akademik kepala sekolah yang dilaksanakan kepada kepala sekolah di SMP N1

1 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C Pada Pertambangan Pasir Tanpa Izin Di Desa Dawuhan Kecamatan Jatikalen Kabupaten

Selain itu, berkaitan dengan faktor internal dari peserta didik, penelitian Chania (2016), diperoleh hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara Gaya Belajar