115 BAB V
KESIMPULAN
Orang Bajo di desa Mola Wakatobi mengalami perubahan sosial yang begitu cepat,
khususnya pengaruh globalisasi yang menyebabkan desa Mola Wakatobi memiliki identitas yang
hybrid atau budaya hibrida. Budaya global masuk dalam tatanan masyarakat, yang memiliki
wujud lain, yaitu suatu pembangunan yang diselimuti oleh daya kapitalisme global dan
mempengaruhi tatanan nilai tradisional, serta mengubah identitas komunitas secara perlahan.
Selain itu, penetrasi globalisasi masuk dalam bentuk lain, yaitu hadirnya pariwisata di tengah
desa Mola Wakatobi. Pariwisata itu menjadikan orang Bajo sebagai bagian dari tatanan global,
yakni desa global yang memiliki pengaruh terhadap dunia luar. Karena itu, orang Bajo di desa
Mola Wakatobi merasakan perubahan nyata dalam pola kehidupan mereka, khususnya dalam
ritus siklus kehidupan orang Bajo, yang sarat akan identitas kultural di dalamnya. Perubahan itu
terlihat dalam pola kebiasaan orang Bajo dalam melaksanakan ritus siklus kehidupan mereka,
yang secara perlahan memiliki kompromi dan mulai mengalami perubahan atau pergeseran
makna di dalamnya. Ritual Duata yang menjadi salah satu ritual terbesar orang Bajo di desa
Mola Wakatobi, mulai mengalami perubahan makna dan berubah menjadi suatu ritual yang
dilandasi oleh budaya komersialisasi dan budaya global (pariwisata budaya) di dalamnya,
sehingga nilai-nilai kesakralan mulai tergeser seiring dengan berjalannnya waktu. Selain itu,
pengaruh migrasi di dalam masyarakat, yang menyebabkan pola kebiasaan orang Bajo di desa
Mola Wakatobi mulai mengalami perubahan demi perubahan. Orang Bajo di desa Mola
Wakatobi, mulai mengadopsi kebiasaan-kebiasaan hidup orang Bagai (Orang luar Bajo), di
antaranya: ketergantungan hidup di darat, hidup modern (pengaruh ilmu pengetahuan dan
teknologi), bangunan rumah yang sama dengan rumah orang Bagai, dan pola ritual yang sudah
116 cukup besar dalam terjadinya hibridisasi budaya di desa Mola Wakatobi, yakni terjadi suatu
pertemuan antara komunitas global dan lokal melalui pariwisata budaya dan pengaruh migrasi
dalam masyarakat Bajo menjadi hal yang berpengaruh dalam kebiasaan-kebiasaan orang Bajo.
Tantangan global merupakan persoalan pelik dalam setiap kebudayaan, karena jika tidak
diperhatikan secara serius, maka globalisasi dapat menjadi ancaman dan tekanan, yang akan
mengubah orientasi nilai dan tatanan sosial dalam masyarakat. Tak dapat dipungkiri, kebudayaan
lokal berperan dalam melemahkan dominasi kebudayaan global, namun perlu diketahui bahwa
tidak satupun kebudayaan dapat lepas dari pengaruh globalisasi, yang memberikan ancaman di
satu pihak sekaligus kesempatan di pihak lain. Dalam hal ini, orang Bajo melakukan elaborasi
terhadap kesempatan yang diberikan oleh globalisasi, yakni suatu strategi dalam
mempertahankan identitasnya dan menunjukkan bahwa orang Bajo menjadikan “pasar” sebagai
ruang untuk membentuk kembali nilai dan tatanan sosial dalam masyarakat Bajo. Karena itu,
diperlukan pendefinisian kembali (baca: redefinisi) kebudayaan orang Bajo di era global ini,
yang dibangun berdasarkan fakta bahwa sistem nilai telah mencair akibat proses global dan lokal
yang saling bertalian satu sama lain. Proses dalam redefinisi kebudayaan orang Bajo begitu
penting, sebab komunitas orang Bajo memiliki batas geografis yang tidak menentu satu sama
lain. Keterpisahan ini bukan berarti orang Bajo tidak memiliki pandangan yang sama tentang
kebudayaannya. Namun, melalui otonomi yang dibentuk oleh komunitas orang Bajo di berbagai
tempat, baik itu pendatang maupun penduduk setempat, secara langsung maupun tidak,
membentuk suatu pemahaman dan bangunan tentang kebudayaan sesuai dengan konteks serta
tekanan dari luar yang mempengaruhinya. Khususnya dalam setiap ritual kaka yang orang Bajo
117 dalam masyarakat Bajo, sehingga berfungsi sebagai pengingat dan pemersatu ikatan sosial di
dalam masyarakat.
Peneliti mengembangkan teori dari van Gennep mengenai ritus peralihannya, yakni
melalui identifikasi terhadap ritus siklus kehidupan orang Bajo, yang ditinjau melalui ritual
kelahirannya, sehingga melalui itu, dinamika dan perubahan sosial orang Bajo dapat dianalisis
dengan mendalam. Selain itu, peneliti membuat suatu skema dari perubahan dan dinamika yang
terjadi dalam masyarakat Bajo, khususnya mengenai pertemuan lokal dan global di dalamnya,
sehingga hal itu dapat menjadi suatu panduan dalam menganalisis kehidupan orang Bajo masa
kini sebagai cerminan masa akan datang.
Orang Bajo di desa Mola, Wakatobi, membentuk kembali sistem kebudayaannya, yang
telah dipengaruhi oleh budaya global, seperti yang terlihat dalam komunitas orang Bajo di desa
Mola yang membentuk pariwisata budaya, sehingga bertemunya komunitas lokal dan global
dalam desa itu. Hal ini memberi indikasi bahwa orang Bajo telah mulai membangun dirinya
sebagai masyarakat terbuka, yang membuka dirinya (sebagai komunitas) dalam persaingan di
bebas dunia. Tidak hanya itu, batas-batas fisik dari masyarakat Bajo di desa Mola semakin
melemah, akibat mobilitas penduduk dan pembangunan yang begitu cepatnya, sehingga
menyebabkan sistem sosial orang Bajo yang baru dapat terbentuk. Akibatnya, batas kebudayaan
mulai memudar, dan memberi ruang baru pada jaringan global, sehingga keterbukaan suatu
masyarakat menyebabkan berubahnya hubungan antara negara, pasar dan masyarakat.
Perubahan ini memberi kesan, bahwa suatu masyarakat saat ini tidak dapat lagi diintervensi
secara tegas dari atas ke bawah. Namun, diperlukan suatu proses yang menguntungkan kepada
setiap pihak, sehingga melalui proses yang dinamis ini dapat membentuk masyarakat yang
118 Orang Bajo tidak lagi dipandang sebagai suatu obyek dalam pembangunan, yang tidak
dapat melakukan apa-apa untuk dirinya. Namun kini, orang Bajo di desa Mola, Wakatobi,
memberi pandangan yang berbeda, bahwa orang Bajo harus menjadi subyek dalam
pembangunan, bukan semata-mata dilihat dari pembangunan fisiknya saja, lebih dari itu, orang
Bajo melihat pembangunan ke dalam komunitasnya, sehingga dapat melawan tantangan global
dengan bijak. Saran konstruktif bagi orang Bajo di desa Mola, agar membentuk dirinya sebagai
bagian dari komunitas global yang melakukan akselerasi terhadap setiap tantangan yang ada,
sehingg tidak lagi menjadi komunitas yang reaktif terhadap perubahan yang terjadi, namun orang
Bajo menjadi komunitas yang proaktif memberi ruang untuk memberdayakan komunitas lokal,
dan membentuk wajah baru di kancah global, mempertahankan sekaligus menunjukkan identitas
kebudayaannya di ranah public. Pada akhirnya, orang Bajo dapat membentuk dan membangun
kembali kebudayaannya sebagai kebudayaan yang bersifat komunal, global dan transformatif