BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi perilaku bullying
Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti “banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku Bullying sering disebut bully. Bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang
dilakukan oleh seseorang/sekelompok. (Semai Jiwa Amini, 2008)
Menurut Ken Rigby, bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti.
Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan
senang. (Ponny Retno Astuti, 2008)
Bullying sebagai bentuk kenakalan remaja dikalangan siswa, memerlukan
model intervensi yang baik dan terencana untuk sebuah perubahan. Selain itu bullying juga dapat berupa perilaku tidak langsung, misalnya dengan mengisolasi atau dengan sengaja menjauhkan seseorang yang dianggap berbeda. Baik bullying
langsung maupun tidak langsung pada dasarnya bullying adalah bentuk intimidasi fisik ataupun psikologis yang terjadi berkali-kali dan secara terus-menerus
membentuk pola kekerasan. (Sullivan, 2000)
Dari penjelasan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku penindasan yang dilakukan seseorang atau kelompok yang
mempermalukan, dan nonverbal) mengisolasi, meneror, menunjukkan gerakan tubuh yang kasar).
2.1.1Bentuk- Bentuk Perilaku Bullying
Sumber:
academia.edu/10078242/bullying_faktorfaktor_penyebab_bullying_dan_solusi_m engatasi_bullying
Bullying dapat dilakukan dalam satu bentuk diatas atau kombinasi dari beberapa bentuk perilaku bullying. pada perilaku bullying tidak memperhitungkan
alasan pelaku melakukan bullying. terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan bullying yang dilakukan. Pada umumnya anak laki-laki lebih sering melakukan bullying fisik. Hal tersebut dikarenakan hubungan
pertemanan diantara sesama laki-laki lebih keras, lebih kuat dan lebih agresif. Sedangkan perempuan lebih cenderung melakukan tindakan bullying verbal, hal tersebut dikarenakan hubungan pertemanan perempuan lebih sering menggunakan
Bentuk-Bentuk Perilaku Bullying
fisik memukul, mendorong, mencubit, me ncakar
sinis, menjulurkan lidah, memberikan ekspresi yang merendahkan
dikategorikan perilaku agresif fisik atau verbal
cyberbullying
mengganggu, mengejek melalui alat elektronik seperti sms, email, dan lain
ekspresi dan ucapan. Tetapi bukan berarti laki-laki tidak pernah melakukan tindakan bullying verbal dan sebaliknya.
2.1.2Sketsa Penyebab Dan Dampak Perilaku Bullying
Sumber http://ewintribengkulu.blogspot.co.id
kurangnya pengawasan dan tingkat kepedulian orang tua terhadap anak
Lingkungan / Teman Sebaya
berada dalam kelompok yang suka melakukan tindakan kekerasan
adanya pendiskriminasian kelompok
anak yang agresif untuk mendapatkan kekuasaan dan penghargaan dari teman sebaya
Media tayangan perilaku kekerasan dan saling ejek yang ditayangkan oleh
media elektronik (TV)
Dampak Perilaku Bullying
tidak tertarik pada aktivitas sosial yang melibatkan orang
lain
menjadi pribadi yang kurang percaya diri
sulit berkomunikasi dengan orang lain
sulit untuk percaya terhadap orang lain
sulit beradaptasi dengan lingkungan
mudah meluapkan emosi pada orang yang lebih muda
sumber : Prayatna,A.2010.let's end bullying:memahami, mencegah dan mengatasi bullying
2.2.Kekerasan Simbolik Pierre Bourdieu
Terdapat beberapa definisi mengenai kekerasan. Konsep kekerasan
menurut Susanto (kekerasan simbolik di sekolah Pierre Bourdieu, 2012:38) dapat didefinisikan dalam tiga makna. Pertama, kekerasan dipandang sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor. Kedua, kekerasan dimaknai sebagai sebuah produk
atau hasil bekerjanya struktur. Ketiga, kekerasan dimaknai sebagai jaringan sosial antara aktor dengan struktur.
Menurut fashri (dalam kekerasan simbolik di sekolah Pierre Bourdieu 2012:38) kekerasan dalam makna pertama banyak dibahas dari aspek biologi, fisiologi, dan psikologi, ketika perilaku kekerasan dimaknai sebagai sebuah
kecenderungan biologis sebagai hasil bawaan atau akibat adanya factor genetika yang mendominasi munculnya kekerasan. Konsepsi makna kedua mengasumsikan bahwa kekerasan bukan hanya berasal dari tindakan actor atau kelompok
melainkan karena dorongan biologis semata, yang diperluas oleh adanya struktur dalam hal ini masih dimaknai secara konvensional, yaitu struktur Negara dan
aparatnya. Pemaknaan ketiga berupaya melihat kekerasan sebagai serangkaian jejaring dialektis antara actor dan struktur. Definisi ini menunjukkan adanya hubungan dialektis antara kekerasan, actor, dan struktur, serta setiap hubungan
kekerasan yang membentuk jejaring yang saling berkaitan.
Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal
kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau
kekuasaannya dalam struktur sosial. Jadi, kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Modal simbolik merupakan media yang
mengantarkan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tersebut. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya yang ditujukan kepada pihak lain yang memiliki kekuasaan yang lemah, maka pihak lain tersebut akan berusaha
mengubah tindakan-tindakannya. Hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik melalui peran modal simbolik.
Untuk menjalankan aksi dominasi kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah untuk dikenali. Untuk itu, mekanisme kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan tersebut harus dilakukan bukan
dengan jalan kekerasan secara fisik yang nyata. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas terdominasi tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan
demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan
ini yang disebut sebagai kekerasan sombolik.
Kekerasan simbolis menurut Bourdieu, adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga
hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah. Konsep kekerasan simbolik terletak pada upaya actor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi
absah, dan makna sosial tersebut dianggap benar oleh actor lain. Kekerassan ini bahkan tidak dirasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan sehingga dapat berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial. Kekerasan simbolik merupakan kekerasan
yang dilakukan secara paksa untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai sebuah paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan
kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “ yang memang seharusnya
demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat di capai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus menerus.
Kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui dua cara :
1. Eufemisme : biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak Nampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih
secara “tidak sadar”. Bentuk eufemisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang pahala, atau belas kasihan.
2. Mekanisme sensorasi : kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral
2.3.Kelompok Sosial
Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di
antara individu-individu (manusia) kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial (social group) yang dilandasi oleh kesamaan-kesamaan kepentingan bersama.
Kelompok atau group adalah kumpulan dari individu yang berinteraksi satu sama lain, pada umumnya hanya untuk melakukan pekerjaan, untuk meningkatan hubungan antar individu, atau bisa saja untuk keduanya. Sebuah
kelompok suatu waktu dibedakan secara kolektif, sekumpulan orang yang memiliki kesamaan dalam aktifitas umum namun dengan arah interaksi terkecil.
Syarat kelompok menurut Baron dan Byrne:
a) Interaksi, anggota-anggota seharusnya berinteraksi satu sama lain.
b) Interdependen, apa yang terjadi pada seorang anggota akan mempengaruhi
perilaku anggota yang lain.
c) Stabil, hubungan paling tidak ada lamanya waktu yang berarti (bisa minggu, bulan dan tahun).
d) Tujuan yang dibagi, beberapa tujuan bersifat umum bagi semua anggota. e) Struktur, fungsi tiap anggota harus memiliki beberapa macam struktur
sehingga mereka memiliki set peran.
f) Persepsi, anggota harus merasakan diri mereka sebagai bagian dari kelompok.
Kelompok sosial adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran
anggota masyarakat. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku para anggotanya. Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan manusia yang saling hidup bersama dan menjalani saling ketergantungan dengan sadar dan
tolong menolong (R.M. Macler & Charles H. Page: Society, An Introductory Analysis, Macmillan & Co.Ltd., London, 1961: 213).
Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soejono Soekanto, 2006:104).
2.3.1.Ciri dan Syarat Kelompok Sosial
Berikut ini akan disebutkan beberapa ciri kelompok sosial.
1. Terdapat dorongan atau motif yang sama antar individu satu dengan yang lain.
2. Terdapat akibat-akibat interaksi yang berlainan terhadap individu satu
dengan yang lain berdasarkan rasa dan kecakapan yang berbeda-beda antara individu yang terlibat di dalamnya.
3. Adanya penegasan dan pembentukan struktur atau organisasi kelompok yang jelas dan terdiri dari peranan-peranan dan kedudukan masing-masing 4. Adanya peneguhan norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang
mengatur interaksi dalam kegiatan anggota kelompok untuk mencapai tujuan yang ada.
6. Adanya pergerakan yang dinamik.
Adapun syarat kelompok sosial sebagai berikut.
a. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.
b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya.
c. Terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan
yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain. d. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
2.3.2. Macam-macam Kelompok Sosial
Menurut Robert Bierstedt, kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan ada tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan
kesadaran jenis. Bierstedt kemudian membagi kelompok berdasarkan ada tidaknya organisasi hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran jenis menjadi empat
macam antara lain:
1. Kelompok statis, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak memiliki hubungan sosial dan kesadaran jenis di antaranya. Contoh: Kelompok
2. Kelompok kemasyarakatan, yaitu kelompok yang memiliki persamaan tetapi tidak mempunyai organisasi dan hubungan sosial di antara anggotanya.
3. Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi tidak terikat dalam
ikatan organisasi. Contoh: Kelompok pertemuan, kerabat, dan lain-lain. 4. Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya mempunyai
kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi maupun
kepentingan bersama. Dalam asosiasi, para anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi
formal. Contoh: negara, sekolah, dan lain-lain.
Berdasarkan interaksi sosial agar ada pembagian tugas, struktur dan norma
yang ada, kelompok sosial dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain: 1. Kelompok Primer
Merupakan kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang
anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan erat dalam kehidupan, sedangkan menurut Goerge Homan, kelompok primer merupakan
sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang yang acapkali berkomunikasi dengan lainnya sehingga setiap orang mampu berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara.
2. Kelompok Sekunder
Jika interaksi sosial terjadi secara tidak langsung, berjauhan, dan sifatnya kurang kekeluargaan. Hubungan yang terjadi biasanya bersifat lebih
objektif. Misalnya, partai politik, perhimpunan serikat kerja dan lain-lain. 3. Kelompok Formal
Pada kelompok ini ditandai dengan adanya peraturan atau Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) yang ada. Anggotanya diangkat oleh organisasi. Contoh dari kelompok ini adalah semua perkumpulan
yang memiliki AD/ART. 4. Kelompok Informal
Merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotan kelompok biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari
individu dan kelompok. Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal dan hanya berdasarkan kekeluargaan dan simpati. Misalnya, kelompok arisan dan sebagainya.
2.3.2.Kelompok Sosial Dipandang dari Sudut Individu
Suatu individu merupakan kelompok kecil dari suatu kelompok sosial atas dasar usia, keluarga, kekerabatan, seks, pekerjaan, hal tersebut memberikan kedudukan prestise tertentu/sesuai adat istiadat. Dengan kata lain keanggotaan
2.3.4. In Group dan Out Group
Summer membedakan antara in group dan out group. In group merupakan
kelompok sosial yang dijadikan tempat oleh individu-individunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Out group merupakan kelompok sosial yang oleh
individunya diartikan sebagai lawan in group jelasnya kelompok sosial di luar anggotanya disebut out group. Contohnya, istilah kita atau kami menunjukkan adanya artikulasi in group, sedangkan mereka berartikulasi out group. Perasaan in
group atau out group didasari dengan suatu sikap yang dinamakan etnosentris, yaitu adanya anggapan bahwa kebiasaan dalam kelompoknya merupakan yang
terbaik dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Sikap in group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok. Dan sikap out
group dapat dilihat dari kelainan berwujud antagonisme atau antipati. Sikap in group dan out group merupakan dasar sikap etnosentrisme. Anggota-anggota kelompok sosial tertentu sedikit banyak akan mempunyai kecenderungan untuk
menganggap bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik apabila dibandingkan dengan
kebiasaan-kebiasaan kelompok lain. Sikap etnosentrisme disosialisasikan atau diajarkan kepada anggota kelompok sosial, sadar maupun tidak sadar, serentak dengan nilai-nilai kebudayaan lain. Didalam proses tersebut sering kali digunakan
stereotip, yakni gambaran atau anggapa-anggapan yang bersifat mengejek terhadap suatu objek tertentukeadaan demikian sering kali dijumpai dalam sikap
2.3.5. Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder
Charles Horton Cooley mengemukakan tentang kelompok primer (primary
group) atau face to face group merupakan kelompok sosial yang paling sederhana, dimana para anggota-anggotanya saling mengenal, di mana ada kerja sama yang
erat. Contohnya, keluarga, kelompok bermain, dan lain-lain. Kelompok sekunder (secondary group) ialah kelompok yang terdiri dari banyak orang, bersama siapa hubungannya tidak perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya tidak
begitu langgeng, contohnya, hubungan kontrak jual beli.
2.3.6. Paguyuban dan Patembayan
Tonnies dan Loomis menyatakan bahwa paguyuban (gemeinschaft) ialah bentuk kehidupan bersama, di mana para anggota-anggotanya diikat oleh
hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal, dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang memang telah dikodratkan. Hubungan seperti ini dapat dijumpai dalam keluarga, kelompok
kekeluargaan, rukun tetangga, dan lain-lain. Patembayan (gesellschaft) yaitu berupa ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat
imajiner dan strukturnya bersifat mekanis sebagaimana terdapat dalam mesin. Ia bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka.
2.3.7. Formal Group dan Informal Group
J.A.A. Van Doorn membedakan kelompok formal dan informal. Formal
oleh anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan antara sesama, contohnya, organisasi. Informal group tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau yang pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk karena
pertemuan-pertemuan yang berulang kali, yang menjadi dasar pertemuan-pertemuan, kepentingan-kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang sama.
2.3.8. Membership Group & Reference Group
Membership group merupakan suatu kelompok di mana setiap orang
secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Reference group ialah kelompok-kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok-kelompok
tersebut) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Robert K. Merton dengan menyebut beberapa hasil karya Harold H. Kelley, Shibutani, dan Ralph H.Turner mengemukakan adanya dua tipe umum reference group yakni tipe normatif, yang
menentukan dasar-dasar bagi kepribadian seseorang dan tipe perbandingan, yang merupakan pegangan bagi individu di dalam menilai kepribadiannya.
2.3.9. Kelompok Okupasional dan Volunter
Kelompok okupasional adalah kelompok yang muncul karena semakin
memudarnya fungsi kekerabatan, di mana kelompok ini timbul karena anggotanya memiliki pekerjaan yang sejenis. Okupasional diambil dari kata okupasi yang berarti menempati tempat atau objek kosong yang tidak mempunyai penguasa,
dalam hal ini dicontohkan kelompok tersebut adalah orang-orang yang dapat memonopoli suatu teknologi tertentu yangmempunyai patokan dan aturan tertentu
kepentingan yang sama, namun tidak mendapat perhatian dari masyarakat. Kelompok ini dapat memenuhi kepentingan-kepentingan anggotanya secara individual, tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara umum.
2.4.Solidaritas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kata solidaritas
adalah, sifat (perasaan) solider, sifat satu rasa (senasip), perasaan setia kawan yang pada suatu kelompok anggota wajib memilikinya (Depdiknas, 2007:1082).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata sosial adalah berkenaan dengan masyarakat, perlu adanya komunikasi dalam usaha menunjang pembangunan, suka memperhatikan kepentingan umum (Depdiknas, 2007:1085).
Pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar terhadap struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara di mana solidaritas
sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk
menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi dua tipe solidaritas mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi
karena mereka terlibat aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat yaitu pemahaman norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif.
Kesadaran kolektif lebih terlihat dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanik daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organik. Masyarakat
modern lebih mungkin bertahan dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang yang dimiliki orang lain daripada bertahan pada kesadaran kolektif. Oleh karena itu meskipun masyarakat organik memiliki kesadaran
kolektif, namun dia adalah bentuk lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perubahan individual (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 92).
Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanik, kesadaran kolektif
melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, dia sangat diyakini, sangat mendarah daging, dan isinya sangat bersifat religious. Sementara dalam
masyarakat yang memiliki solidaritas organik, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok, tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang mendarah daging, dan isinya hanya kepentingan individu yang lebih tinggi dari pedoman moral
(George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 91-92). Masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah perilaku dan sikap.
Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim, seluruh anggota masyarakat diikat oleh kesadaran kolektif, hati nurani kolektif yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat
Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. Setiap anggota
menjalankan peran yang berbeda, dan saling ketergantungan seperti pada hubungan antara organisme biologis. Bisa dikatakan bahwa pada solidaritas
organik ini menyebabkan masyarakat yang ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, karena adanya saling ketergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada
sistem kerja dan kelangsungan hidup masyarakat. Keadaan masyarakat dengan solidaritas organik ini, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi
kesadaran kolektif melainkan kesepakatan yang terjalin diantara berbagai kelompok profesi (Kamanto Sunarto, 2004: 128).
Uraian diatas menggambarkan tentang konsep solidaritas dari sosiolog
Emile Durkheim. solidaritas sosial menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok di masyarakat berdasarkan pada kuatnya ikatan perasaan dan
kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menunjuk pada kekompakan untuk berbagi dan saling
meringankan beban pekerjaan satu sama lain. bentuk solidaritas sosial terbagi menjadi dua, yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik mempunyai ciri pokok yaitu: Sifat individualitas yang rendah, belum ada
lemah, sudah ada pembagian kerja yang jelas, dan dapat terlihat di dalam masyarakat modern atau komplek.
2.4.1. Bentuk-Bentuk Solidaritas Sosial
a. Gotong-Royong
Bentuk solidaritas yang banyak kita temui di masyarakat misalnya adalah gotong-royong. Menurut Hasan Shadily (1993: 205), gotong-royong adalah rasa
dan pertalian kesosialan yang sangat teguh dan terpelihara. Gotong-royong lebih banyak dilakukan di desa daripada di kota di antara anggota-anggota golongan itu
sendiri. Kolektivitas terlihat dalam ikatan gotong-royong yang menjadi adat masyarakat desa. Gotong-royong menjadi bentuk solidaritas yang sangat umum dan eksistensinya di masyarakat juga masih sangat terlihat hingga sekarang,
bahkan Negara Indonesia ini di kenal sebagai bangsa yang mempunyai jiwa gotong-royong yang tinggi. Gotong-royong masih sangat dirasakan manfaatnya,
walaupun kita telah mengalami perkembangan jaman, yang memaksa mengubah pola pikir manusia menjadi pola pikir yang lebih egois, namun pada kenyataanya manusia memang tidak akan pernah bisa untuk hidup sendiri dan selalu
membutuhkan bantuan dari orang lain untuk kelangsungan hidupnya di masyarakat.
b. Kerjasama
Selain gotong-royong yang merupakan bentuk dari solidaritas sosial adalah kerjasama. Menurut Hasan Shadily (1993: 143-145), kerjasama adalah
kelompok yang lain yang digabungkan itu. Kerjasama merupakan penggabungan antara individu dengan individu lain, atau kelompok dengan kelompok lain sehingga bisa mewujudkan suatu hasil yang dapat dinikmati bersama. Setelah
tercapainya penggabungan itu barulah kelompok itu dapat bergerak sebagai suatu badan sosial. Sehingga kerjasama itu diharapkan memberikan suatu manfaat bagi
anggota kelompok yang mengikutinya dan tujuan utama dari bekerjasama bisa dirasakan oleh anggota kelompok yang mengikutinya. Kerjasama timbul karena adanya orientasi orang-perseorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya)
dan kelompok lainnya (yang merupakan out-group-nya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada
tindakan-tindakan yang menyingung secara tradisional atau institusional yang telah tertanam didalam kelompok (Soerjono Soekanto, 2006: 66). Ada lima
bentuk kerjasama yaitu sebagai berikut:
1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong. 2. Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang
dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
3. Kooptasi, yaitu proses suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dalam suatu organisasi.
4. Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama.
5. Joint venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek tertentu
(Soerjono Soekanto, 2006: 68).
semakin kuat dan kompak, jadi intensitas kerjasama di antara mereka juga lebih tinggi, dikarenakan persamaan tujuan yang ada diantara mereka. Kerjasama dapat bersifat agresif apabila kelompok dalam jangka waktu yang lama mengalami
kekecewaan sebagai perasaan tidak puas karena keinginan-keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar
kelompok itu. Keadaan tersebut menjadi lebih tajam lagi apabila kelompok demikian merasa tersinggung atau dirugikan sistem kepercayaan atau dalam salah satu bidang sensitif kebudayaan (Soerjono Soekanto, 2006: 101).
2.5.Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian dari Irvan
Usman pada tahun 2013 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Gorontalo yang berjudul “Perilaku Bullying Ditinjau Dari Peran Kelompok Teman Sebaya dan
Iklim Sekolah Pada Siswa SMA Di Kota Gorontalo”, penelitian ini mengangkat bagaimana pengaruh kepribadian, komunikasi, kelompok teman sebaya dam iklim sekolah pada perilaku bullying siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah
kuantitatif dan teknik pengumpulan data adalah observasi dan penyebaran angket. Hasil dari penelitian ini adalah peran kelompok teman sebaya terbukti
berpengaruh negatif terhadap perilaku bullying pada siswa SMA di kota Gorontalo. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nation dkk (2007) yang menemukan bahwa perilaku bullying disebabkan oleh tekanan dari teman
sebaya agar dapat diterima dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya adalah sekelompok teman yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan siswa dapat
perubahan dan pengembangan dalam kehidupan sosial dan pribadinya. baik komunikasi interpersonal yang dibangun remaja dengan orangtuanya, semakin besar peran kelompok teman sebaya untuk mengajak temannya dalam
menerapkan norma-norma positif yang ada dalam mayarakat serta semakin kondusif iklim di sekolah maka semakin rendah perilaku bullying pada siswa
SMA di Kota Gorontalo. Lokasi penelitian ini dilakukan pada SMA di Gorontalo. Selanjutnya Penelitian yang dilakukan Dara Agnis Septiyuni pada tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Kelompok Teman Sebaya Terhadap Perilaku
Bullying Siswa Di Sekolah” peneliti ini menggunakan metode kuantitatif. Hasil dari penelitian ini adalah Berdasarkan hasil analisis koefisien korelasi, terdapat
hasil pengujian yang menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi antara variabel kelompok teman sebaya dengan variabel perilaku bullying adalah hubungan yang positif dan signifikan dengan nilai korelasi sebesar 0,360 dan ρ < 0,05 artinya
kelompok teman sebaya berpengaruh terhadap terjadinya perilaku bullying siswa di sekolah, dengan kontribusi pengaruh sebesar 13%. Penelitian ini di lakukan pada SMA Negeri di Kota Bandung.
Berdasarkan beberapa penelitian-penelitian terdahulu dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada pola hubungan pertemanan dikalangan siswa
yang mempengaruhi perilaku bullying. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih luas lagi adakah pengaruh hubungan pertemanan terhadap perilaku bullying di kalangan siswa SMA Kota Medan. Dan apa yang menjadi factor factor