BAB II
PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KHUSUS ANAK DI INDONESIA
A.
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berahlak mulia, dan sejahtra. Undang-Undang ini secara tegas mengatur mengenai
perdagangan anak42
Pasal 59 ayat (1) menegaskan “pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga
negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak .
43
. Perlindungan khusus kepada anak yang dimaksud dalam ayat (1)
diberikan kepada44
a.
Anak dalam situasi darurat;
:
42
Ibid, Halaman. 41.
43 Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
44 Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
b.
Anak yang berhadapan dengan hukum;
c.
Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d.
Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e.
Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya;
f.
Anak yang menjadi korban pornogafi;
g.
Anak dengan HIV/AIDS;
h.
Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i.
Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j.
Anak korban kejahatan seksual;
k.
Anak korban jaringan terorisme;
l.
Anak Penyandang disabilitas;
m.
Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n.
Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o.
Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi
Orang Tuanya.
Pasal 76F Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan
penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak”45
Pasal 83 Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Yaitu Setiap Orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah)”
.
46
Pasal 20 Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan, yang berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara,
pemeritah, masyarakat, keluarga dan orangtua atau wali. Kewajiban dan tanggung
jawab negara dan pemerintah dalam penyelenggaraan perlindungan anak, ditegaskan
dalam Pasal 21 sampai Pasal 25 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
.
47
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan
konprehensif tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan
jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
.
45
Pasal 76FUndang-UndangNomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
46Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
47
berpartisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk anak-anak korban perdagangan
manusia, mengingat karakteristik kejahatannya sangat khas, perlu diberikan perlindungan
khusus, antara lain sebagai berikut48
a.
Perlindungan berkaitan dengan identitas korban, terutama selama proses
persidangan
.
Tujuannya perlindungan ini adalah agar korban terhindar dari berbagai ancaman
atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama proses persidangan
berlangsung.
b.
Jaminan keselamatan dari aparat berwenang.
Korban harus diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar
keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian.
c.
Bantuan medis, psikologis, hukum, dan sosial, terutama untuk mengembalikan
kepercayaan pada dirinya serta mengembalikan kepada keluarga, dan
komunitasnya.
d.
Kompensasi dan restitusi.
Korban memperoleh kompensasi dan restitusi karena penderitaan korban juga
merupakan tanggung jawab Negara
48
B.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa perdagangan
orang adalah sebagai berikut:
“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam
negara maupun antar negara, untuk tujuan mengeksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang,
eksploitasi dijelaskan dalam Pasal 1 angka (7) yang menyebutkan bahwa :
“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi,
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,
organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
Unsur tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi tidak relevan lagi
atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam
defenisi diatas digunakan. Pelaku selalu menggunakan argumentasi bahwa korban telah
setuju atau adanya persetujuan dari korban atau korban mau atau sepakat untuk ikut. Pasal
26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak
pidana perdagangan orang. Unsur tindak pidana ini juga menunjukkan bahwa tindak pidana
perdagangan orang merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana
perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang sudah
dirumuskan dan tidak harus menimbulkan akibat49
49
Farhana, op.cit., Halaman. 25-26.
.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, pengertian perekrutan dan pengiriman terdapat dalam Pasal 1 angka
(9) dan angka (10) yang menyebutkan:
“Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa,
atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya
Pengiriman adalah tindakan yang memberangkatkan atau melabuhkan seseorang
dari satu tempat ketempat lain.”
Kekerasan dalam rumusan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa
menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi
nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.”
Ancaman kekerasan dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang lebih terinci. Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1
angka (12) menyebutkan bahwa ancaman kekerasan adalah:
“Setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol,
atau gerakan tubuh baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang
menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.”
Pemalsuan dalam tindak pidana perdagangan orang berkaitan dengan setiap yang
memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain
atau memalsukan dukumen negara atau dukumen lain, untuk mempermudah terjadinya
tindak pidana perdagangan orang (Pasal 19)50. Dokumen negara dalam ketentuan ini meliputi, tetapi tidak terbatas pada paspor, KTP, Ijazah, kartu keluarga, akta kelahiran, surat
nikah, dan dimaksud dengan dokumen lain dalam ketentuan ini meliputi, tetapi tidak
terbatas pada surat perjanjan kerja bersama, surat permintaan TKI, asuransi dan dokumen
terkait51
50Ibid., Halaman. 26-27.
51Penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Penyalahgunaan kekuasan dalam Undang-Undang Nomopr 21 Tahun 2007 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah menjalankan kekuasaan yang ada
padanya tidak sesuai dengan tujuan poemberian kekuasaan tersebut atau menjalankan
secara tidak sesuai dengan peraturan. Pengertian pemamfaatan posisi kerentanan tiadak
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang52
Pengertian penjeratan utang dalam Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa .
53
1.
Orang Perseorangan
:
“Penjeratan utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau
keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau
oorang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk
pelunasan utang.”
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang mengenal penggolongan pelaku perdangan orang, antara lain:
a.
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
52Farhana, op.cit., Halaman. 27.
53Pasal 1 angka (15)Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2).
b.
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia
dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau
eksploitasi di negara lain (Pasal 3)
c.
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara
Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia (Pasal 4)
d.
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu
atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi (Pasal 5), dan setiap
orang yang melakukan pengiriman anak kedalam negeri atau ke luar negeri
dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi (Pasal 6)
e.
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang dan tindak pidana itu tidak terjadi (Pasal 9), dan setiap
orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 10)
f.
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang
g.
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya
pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil
keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang
542.
Kelompok terorganisir
.
Kelompok terorganisir adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 orang atau
lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertiindak dengan tujuan melakukan
satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2007 yang bunyinya55
3.
Aparat Negara
:
“Dalam hal tindak pidana perdangan orang dilakukan oleh kelompok yang
terorganisasi, maka pelaku setiap tindak pidana perdagangan orang dalam
kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidan yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah sepertiga.”
Penyelenggara Negara, yaitu pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak
hukum, atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan atau
mempermudah tindak pidana perdagangan orang. Penyelenggara negara tidak dapat
menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan Pasal 8 UU RI No. 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang bunyinya:
54Ibid., Halaman. 122. 55
Pasal 8 ayat (1)
“Setiap penyelenggara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan
terjadinya tindak pidan perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, maka pidananya ditambah sepertiga dari ancaman
pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6.”
Pasal 8 ayat (2)
“Selain sanksi pidana sebagaiman dalam ayat (1), pelaku dapat dikenakan pidana
tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jababatannya.”
Pasal 8 ayat (3)
“Pidana tambahan sebagaiman dimaksud dalam ayat (2), dicantumkan sekaligus
dalam amar putusan Pengadilan56
4.
Korporasi
.”
Subjek tindak pidana korporasi dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republuk
Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 UU RI No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Isi dari Pasal tersebut sebagai berikut57
56Ibid ., Halaman. 143. 57
Ibid., Halaman. 142.
Pasal 13 ayat (1)
“Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-perorangan yang bertindak untuk
dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan
hubungn kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut, baik secara sendiri maupun secara bersama-sama.”
Pasal 13 ayat (2)
“Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan
pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.”
Pasal 14
“Dalam hal pangilan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus ditempat pengurus
berkantor, ditempat korporasi itu beroperasi atau ditempat tinggal pengurus.”
Pasal 15 ayat (1)
“Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
kepada korporasi berupa pidana denda dengan pemberian 3 kali dari pidana denda
Pasal 15 ayat (2)
“Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhkan pidan tambahan, berupa pencabutan ijin usaha, perampasan kekayaan
hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus
dan/atau, pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam
bidang usaha yang sama”
Tindak pidana percobaan perdagangan orang dapat dihukum sesuia dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 9
yang menyebutkan:
“Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supanya melakukan tindak
pudana perdagang orang, dan tindak pidana itu terjadi, dipidana dengan pidan
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta) rupiah dan paling banyak
Rp 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta) rupiah.”
Pasal 9 diatas sejalan dengan Pasal 163 bis KUHP ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
“Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam Pasal 55 ke-2,
mencoba menggerakkan oarang lain supaya elakukan kejahatan, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun penjara dan denda paling banyak tiga ratus
dengan ketentuan, bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat
daripada yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.”
Penyertaan dalam tindak pidan perdagangan orang diatur dalam Pasal 16 yang
menyebutkan bahwa:
“Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang
terorganisir, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok
yang terorganisir tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang
dimaksud dengan Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).”
Perlindungan kepada korban, selain diwujudkan dalam bentuk dipidananya pelaku
juga diwujudkan dalam pemenuhan hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang
dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang adalah sebagai berikut:
1.
kerahasian identitas korban tindak tindak pidana perdagangan orang dan
keluarganya sampai derajat kedua (Pasal 44)
Kerahasiaan identitas merupakan perlindungan keamanan pribadi korban dan ancaman
fisik maupun psikologis dari orang lain. Kerahasiaan identitas korban ini menghindari
penggunaan identitas korban seperti tentang sejarah pribadi, pekerjaan sekarang dan
masa lalu, sebagai alasan untuk menggugurkan tuntutan korban atau untuk
memutuskan tidak dituntut para pelaku kejahatan. Kerahasiaan identitas dan sejarah
korban selain itu juga tidak boleh menjadi cataratan publik secara terbuka, sehingga
sebagai manusia, perempuan atau anak kecuali jika diijinkan identitasnya
dipublikasikan oleh korban.
2.
Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa
dan/atau haratanya (Pasal 47)
Perlindungan keamanan dari ancaman terhadap diri, jiwa, dan/atau harta sangat
diperlukan oleh korban, karena kerentanan korban yang diperlukan kesaksianya,
dapat diteror dan di intimidasi dan lain-lain yang telah membuat korban tidak
berminat melaporkan informasi penting yang diketahuinya. Korrban perlu
ditempatkan pada suatu tempat yang dirahasiakan atau disebut rumah
aman.Perlindungan terhadap korban diberikan baik sebelum, selama, maupun
sesudah proses perkara.
3.
Hak untuk mendapatkan restitusi (Pasal 48)
Setiap korban atau ahli warisnya berhak untuk memperoleh restitusi berupa ganti
kerugian atas:
a.
Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b.
Penderitaan;
c.
Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau;
d.
Kerugian lain yang diderita korban bagai akibat perdagangan orang.
Kerugian lain yang dimaksud ketentuan ini adalah kehilangan harta milik, biaya
tranportasi dasar, biaya pengacara atau biaya yang berhubunga dengan proses hukum
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pemberian restitusi
dilaksanakan dalam 14 (empat belas) hari terhitungt sejak diberitahukan putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pemberian restitusi berupa ganti kerugian dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan
pengadilan tingkat pertama. Pelaku yang tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku
dikenai pidana kurungan penganti paling lama satu tahun.
4.
Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan,
dan reintegrasi sosial dari pemerintah (Pasal 51)
Penjelasan undang-ndang tersebut bahwa rehabilitasi kesehatan maksudnya
adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis. Rehabilitasi sosial
maksudnya adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan
pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan peranya kembali
secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Reintegrasi sosial maksudnya adalah penyatuan kembali korban tindak pidana
perdagangan orang kepada pihak keluarga atau penggatian keluarga yang dapat
memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak tas
pemulangan harus dilakukan dengan memberi jaminan bawa korban benar-benar
menginginkan pulang dan tidak beresiko bahaya yang lebih besr bagi korban
tersebut. Pemerintah dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggungjawab
dala bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial dan
pusat, propinsi, dan kabupaten/kota khususnya darimana korban berasal atau
bertempat tinggal.
5.
Korban yang berada diluar negeri herhak dilindungi dan dipulangkan ke
Indonesia atas biaya negara (Pasal 54)
Korban yang berada dilur negeri akan diberikan bantuanuntuk dipulangkan
melalui perwakilan diluar negeri, yaitu kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor
penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran
lainnya dengan biaya negara
58C.
Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
.
Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindunghan saksi dan
korban lahir pada tanggal 11 Agustus 2006. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban disahkan dan diberlakukan, sekalipun Undang-Undang ini
harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, berlakunya Undang-Undang ini cukup
memberikan angin segar bagi upaya perlindungansaksi dan korban kejahatan.
Undang Nomor 13 tahun 2006 direvisi sehingga melahirkan
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014. Dasar pertimbangan perlunya Undang-Undang-Undang-Undang yang
mengatur perlindungan korban kejahatan (dan saksi) disusun dengan jelas dapat dilihat
pada bagian menimbang dari Undang-Undang ini, yang antara lain meyebutkan: penegak
58
hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang
tindak pidana yang dilakukan pelaku karean tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau
korban yang disebabkan adanya ancamanfisik maupun psikis dari pihak tertentu. Saksi
(korban) dalam suatu proses pengadilan pidana menempati peran kunci dalam
mengungkapkan suatu kebenaran materil. Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi
ditempatkan pada urutan pertama diatas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa. Saksi (korban) pada saat akan memberikan keterangan,
tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut
sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan
untuk memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil
rekayasa apalagi hasil dari tekanan (pressure) dai pihak-pihak tertentu59
59Pasal 1 butir 26 KUHAP; yaitu orang dapat memberikan tentang suatu keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri.
.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menganut pengertian korban
dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik atau mental atau
ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi diantara ketiganya. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 1 angka (3) Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan
Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi
Pasal 5 Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengatur beberapa
hak yang diberikan kepada saksi dan korban yang meliputi60
a.
Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
:
b.
Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c.
Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.
Mendapat penerjemah;
e.
Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.
Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g.
Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h.
Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i.
Dirahasiakan identitasnya;
j.
Mendapat identitas baru;
k.
Mendapat tempat kediaman sementara;
l.
Mendapat tempat kediaman baru;
m.
Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n.
Mendapat nasihat hukum;
60
o.
Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan
berakhir; dan/atau
p.
Mendapat pendampingan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
nomor 13 Tahun 2006 Pasal 5 ayat (2), hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK61
Pasal 6 Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 .
62
(1)
Korban pelanggaran pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban
tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban
tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan
korban penganiayaan berat selain berhak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5, juga berhak mendapatkan:
:
a.
bantuan medis; dan
b.
bantuan rehabititasi psiko-sosial dan psikologis
(2)
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan
keputusan LPSK
61Ibid., Halaman. 154.
62Pasal 6Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi atau korban dalam suatu proses
peradilan pidana, meliputi :
a.
Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara
tersebut diperiksa, tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);
b.
Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya (Pasal
10 ayat 1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah
lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan
kepada saksi dan korban yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lembaga ini merupakan lembaga mandiri yang berkedudukan di ibukota Negara Republik
Indonesia, namun mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan63
D.
Perda Nomor 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
Perempuan dan Anak
.
Pemerintah Sumatera Utara membuat suatu langkah maju dengan melahirkan suatu
peratuaran daerah Trafiking yang disahkan pada tanggal 6 juli tahun 2004, oleh Gubernut
Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin dan diundangkan tanggal 26 juli 2004.
63
Perda ini memuat bahwa perdagangan perempuan dan anak merupakan tindakan
yang bertentangan dengan harkat dan martabat terhadap manusia dan melanggar hak asasi
manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap
masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi
terhadap penghormatan hak asasi manusia baik nasional maupun skala internasional.
Perempuan adalah penerus generasi bangsa yang merupakan makluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Kuasa, untuk itu perlu dilindungi harga diri dan martabatnya, serta dijamin hak
hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya, karena itu segala
bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam bergbagai
bentuk pemamfaatan dan ekploitasi yang tidak berprikemanusiaan harus segera dihentikan.
Sekelompok orang dalam kenyataannya masih ada yang dengan teganya telah
memperlakukan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis, yakni melalui perdagangan
manusia (Trafficking). Trafficking terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran
berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti barang dagangan yang
dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko
kematian64
Nilai-nilai yang dianut/terkandung dalam pelaksanaan RAP P3A ini adalah .
65
a.
Kepentingan terbaik untuk perempuan dan anak, yaitu bahwa dalam semua
tindakan yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah
maupun masyarakat, swata, lembaga peradilan, lembaga pemerintahan atau badan
:
64Chairul Bariah Mozasa, Op.cit., Halaman. 48-49. 65