• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS BUDAYA 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS BUDAYA 1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS BUDAYA

1

Oleh: Asep Rosadi

2

PENGANTAR

Tidak dapat disangkal lagi bahwa pariwisata dewasa ini sudah menjadi industri yang sangat menguntungkan, dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila semua negara berlomba-lomba menjadikan daerahnya sebagai daerah tujuan wisata. Paling tidak ada beberapa alasan mengapa kegiatan ini dianggap sebagai sektor yang menjanjikan, yaitu pertama: secara ekonomi kegiatan pariwisata memberikan sumbangan devisa yang signifikan dan memberikan penyerapan tenaga kerja yang besar, kedua: bidang ini tidak memerlukan investasi pembangunan yang besar karena infrastruktur pendukungnya (jalan, telepon, sumber air, dan listrik) biasanya disediakan oleh sektor lain, dan ketiga: dari sudut pandang lingkungan pariwisata dianggap sebagai industri yang “kurang beresiko” sehingga sering disebut sebagai smokeless industry, dan keempat: pariwisata dapat menjadi wahana bagi pengenalan kehidupan dan budaya lain sehingga dapat menumbuhkan dan meningkatkan toleransi dan pemahaman kehidupan yang berbeda.

Namun demikian, kita dapat menyaksikan bahwa tidak semua provinsi yang dianggap sebagai daerah tujuan wisata (DTW) utama Indonesia menunjukkan tingkat kunjungan wisatawan dan

1 Disampaikan pada Pembinaan Tenaga Teknis Kebudayaan di Bidang Kepurbakalaan, Sejarah, dan

Permuseuman Tahun 2005, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Bandung 12-13 Juli 2005

(2)

pembangunan pariwisata yang sama. Tidak seperti provinsi Bali, bagi sebagian besar DTW-DTW tersebut, kegiatan wisata berlangsung pada waktu-waktu tertentu atau bersifat musiman, waktu kunjungan wisatawan yang singkat, atau bahkan hanya menjadi tempat persinggahan sementara wisatawan. Permasalahan tersebut menjadi tantangan besar yang dihadapi semua stakeholder (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang menggeluti dunia kepariwisataan Indonesia, dan makalah ini tidak berpretensi untuk menjawab permasalahan yang kompleks tersebut.

PARIWISATA dan BUDAYA

Jawa Barat merupakan salah satu DTW utama yang ditetapkan pemerintah Indonesia, dan juga tidak luput dari permasalahan tersebut di atas. Dalam pandangan umum, apabila hendak berwisata ke Jawa Barat maka pilihan DTW utama yang dikunjungi adalah Pangandaran di Kabupaten Ciamis, Puncak di Kabupaten Cianjur, atau Bandung. Paling tidak daerah-daerah tujuan wisata tersebut menunjukkan tingkat kunjungan wisatawan yang cukup besar sehingga dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pendapatan daerah (PAD). Pangandaran dan Puncak yang lebih banyak dikunjungi wisatawan nusantara menempatkan alam (pantai dan gunung) sebagai atraksi utama, sementara Kota Bandung berbasis pada wisata budaya (belanja dan kuliner) 3.

3 dari pengamatan sementara di lapangan dengan parameter moda perjalanan dan perilaku belanja

wisatawan, sebagian besar pengunjung ke dua daerah tersebut berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah sementara wisatawan ke Kota Bandung dari golongan ekonomi menengah ke atas. Belum ada penelitian yang secara komprehensif membandingkan karakteristik wisatawan pada berbagai daerah tujuan wisata Jawa Barat ini, padahal terdapat thesis yang menyatakan bahwa apresiasi budaya berkaitan dengan

(3)

Pakar-pakar atau peneliti pariwisata beranggapan bahwa lama kunjungan wisatawan dapat diperpanjang dengan menambahkan atraksi wisata yang berbasis pada budaya, dan bagi Jawa Barat potensi budaya yang dimilikinya yang dapat dijadikan atraksi wisata yang menguntungkan sangat berlimpah.

Pada sesi-sesi sebelumnya sudah dibicarakan mengenai pengertian kebudayaan dan perkembangan kebudayaan di Jawa Barat sehingga untuk kebutuhan makalah ini pengertian kebudayaan hanya difokuskan dalam kaitannya dengan fenomena kepariwisataan.

Dalam pembicaraan sehari-hari konsep budaya sering dipahami dalam dua pengertian, yaitu pengertian yang sempit yang hanya mencakup suatu hasil karya manusia yang berbau keindahan, seperti kesusasteraan, berbagai ragam dan bentuk kesenian dan upacara adat, serta bermacam-macam benda dan artefak-artefak kuno. Dalam pengembangan kepariwisataan tradisional, kebudayaan dipahami dalam pengertian ini sehingga lebih banyak dipandang sebagai atraksi wisata – masyarakat dan kebudayaan lebih berfungsi sebagai ”komoditas” bagi kepentingan pariwisata.

Pemahaman kedua adalah pengertian yang luas yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan yang kompleks yang termasuk di dalamnya sistem pengetahuan, kepercayaan, kesenian, sistem moral, sistem hukum, adat kebiasaan, dan segala kemampuan yang dimiliki oleh manusia sebagai suatu anggota masyarakat. Dengan demikian kebudayaan suatu masyarakat mengandung: (1) solutions to the

(4)

problems of survival; (2) the ideals and values that shape rules of conduct; and (3) tools and other human-made objects (Hess at all,

1988:56).

Namun dalam perkembangannya, keberpihakan terhadap masyarakat atau komunitas sekarang ini tampak semakin meningkat.

Community based development on tourism dewasa ini menjadi

alternatif bagaimana memberdayakan dan meningkatkan partisipasi masyarakat menjadi lebih besar lagi sehingga peran mereka tidak lagi hanya sebagai “komoditas” pasif yang menjadi tontonan wisatawan, tetapi semakin aktif mengambil peran-peran yang lebih besar dan signifikan dalam pembangunan pariwisata. Untuk kebutuhan ini maka, pengertian kedua dari kebudayaan menjadi relevan.

Kedua pemahaman tersebut dalam pembangunan kepariwisataan menghadapi kendala-kendala pengembangan. Beberapa permasalahan pengembangan budaya sebagai atraksi wisata dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. jumlah aspek budaya tradisional yang masih hidup dan dikenal sekarang semakin sedikit. Seorang budayawan Cianjur menyatakan bahwa sebagai salah satu pusat budaya Sunda Cianjur memiliki lebih dari seratus unsur kesenian, namun sekarang tinggal belasan saja yang masih dikenal orang;

2. kalangan generasi muda lebih menyukai dan mengenali kesenian modern yang berasal dari barat seperti Rolling Stone, Red Hot Chilli

Papers, Spice Girls, dan kelompok musik barat lainnya dibandingkan

(5)

break-dance daripada tari-tarian tradisional. Data dari Saung

Angklung Mang Udjo pada tahun 2004 menunjukkan bahwa hanya daerah tujuan wisata utama di Kota Bandung yang berbasis pada budaya ini hanya didatangi 6.908 orang wisatawan domestik dan 12.868 orang wisatawan asing;

3. dari sisi potensi wisata budaya itu sendiri, karena kebudayaan menyangkut kehidupan suatu masyarakat yang mengenal ritme tertentu, maka seringkali suatu aspek budaya yang potensial dijadikan atraksi wisata tersebut hanya bisa dipertunjukkan pada waktu-waktu tertentu yang belum tentu sama dengan musim kunjungan wisatawan;

4. seringkali durasi suatu kesenian atau upacara tertentu terlalu panjang sehingga tidak sesuai dengan ketersediaan waktu wisatawan. Pengelola Desa Wisata Cinangneng di Kabupaten Bogor menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman, wisatawan yang mengunjungi tempatnya hanya betah menikmati pertunjukkan kesenian selama kurang-lebih 30 menit sehingga dia mengemas pertunjukkan kesenian selama itu pula.

Sementara itu, dalam rangka untuk lebih meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pariwisata, beberapa permasalahan yang mengemuka adalah rendahnya tingkat partisipasi, baik dalam ukuran jumlah orang yang terlibat maupun dalam intensitas kegiatan. Selain itu, banyak kasus di lapangan menunjukkan bahwa percepatan pembangunan pariwisata di daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata seringkali harus berhadapan dengan kerumitan sinkronisasi

(6)

sektor-sektor pembangunan yang terkait dengan pariwisata. Selama ini hubungan lintas sektoral sering menjadi kendala pengembangan pariwisata daerah – masing-masing sektor, baik sesama dinas/instansi pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat terlibat dan bertindak sendiri-sendiri dalam penanganan kepariwisataan. Padahal, pariwisata merupakan sektor pembangunan yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor-sektor lainnya dan dalam pelaksanaannya bersinggungan dengan aktivitas-aktivitas lain di sekelilingnya sehingga sering disebut sebagai multidimensional and multifaceted activity. Selain itu pariwisata juga merupakan sebuah produk jasa, baik yang bersifat tangible maupun intangible, dengan unsur utama berupa

leisure dan hospitality. Karena sifat-sifat tersebut, sebuah produk

wisata yang merupakan satu kesatuan dari Amenity (fasilitas utama dan pendukung, seperti sarana akomodasi, sarana makan-minum, infrastruktur dasar (listrik, air, telepon) dan sarana umum (sarana peribadatan dan kesehatan), tour operator, toko-toko souvenir, sarana parkir, dan lain-lain), Accessibility atau akses adalah sarana untuk mencapai daerah tujuan wisata tersebut, mencakup jalan dan sarana pencapaiannya, dan Attractions (atraksi atau objek wisata itu sendiri) sehingga sering disebut dengan 3-A, tidak dapat berdiri sendiri atau dipisahkan dengan bidang dan/atau sektor pembangunan lainnya.

Sebagai contoh bagaimana kompleksitasnya permasalahan pembangunan pariwisata dapat dilihat dari ilustrasi berikut: akses masuk dan/atau menuju suatu objek wisata yang merupakan salah satu komponen inti dalam menentukan suatu produk wisata (accessibility,

(7)

amenity, and attraction) sangat tergantung pada sektor/dinas yang

membawahi pembangunan prasarana jalan, sementara objek wisata itu sendiri misalnya bisa berada pada suatu lahan yang secara hukum ditetapkan sebagai kawasan lindung dan dikuasai departemen kehutanan serta secara turun temurun merupakan salah satu komponen religius dan sangat terkait dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.

PENUTUP

Pembangunan kepariwisataan secara komprehensif memerlukan rekayasa-rekayasa sosial tertentu yang dapat menjamin kesesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan seluruh stakeholder yang terlibat. Persoalannya kemudian adalah, sejauh mana seluruh stakeholder yang terlibat mau menerima perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian, dan peran apa saja yang mau dan dapat mereka perankan dalam pengembangan kepariwisataan di lingkungan mereka. Hal ini menyangkut strategi pemberdayaan dan pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pembangunan kepariwisataan.

Dipahami bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini dilakukan secara top-down dengan asumsi bahwa pemerintah menguasai sumberdaya ilmu pengetahuan, sumberdaya manusia dan administrasi keuangan untuk melakukannya. Masyarakat hanya menjadi sasaran pembangunan sehingga apabila dalam implementasinya ternyata berjalan sesuai dengan harapan dikatakan

(8)

bahwa masyarakat berpartisipasi dengan klasifikasi yang diperingkatkan tinggi-rendah.

Dekade terakhir ini dipahami bahwa respon dan proses adaptasi masyarakat pada suatu kebijakan pembangunan atau pun inovasi lainnya seperti pariwisata, bergantung pada basis masyarakat yang disebut modal sosial (social capital). Menurut Osram (2000) “Social

Capital is shared knowledge, understanding norms, rules, and expectation about pattern of interaction that groups of individuals bring to recurrent activity”. Selanjutnya Coleman (1988) menyebutkan bahwa: “Social Capital is defined by its function. It is not a single entity but a variety of different entities, with two elements in common; They all consist of some aspect of social structures and they facilitate certain actions of actors-whether persons or corporate actors - within the structure”.

Ada dua bentuk modal sosial yang secara konsep disusun terpisah/ dibedakan, namun yang dalam kenyataannya bersifat komplementer, yaitu:

1. Institutional Capital (modal kelembagaan), terdiri dari transaction,

roles, rules and procedures, sanctions, maximazing behavior, dan legal framework; dan

2. Relational Capital (modal relasional), terdiri dari relations, beliefs,

values, ideology, appropriate behavior, dan family, ethnicity, religion.

Konsep ini dipopulerkan oleh Putnam yang menemukan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara efektivitas pemerintahan provinsi di wilayah Itali dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam organisasi

(9)

komunitas yang bersifat sukarela dan masalah-masalah pembangunan lain pada umumnya. Putnam menyimpulkan bahwa kemampuan suatu masyarakat untuk berpartisipasi dalam organisasi komunitas tersebut ditentukan oleh modal sosial4 (social capital) yang dimiliki

masing-masing komunitas.

Walaupun di antara para pakar ilmu-ilmu sosial yang berkecimpung dalam masalah pembangunan belum ada kesepakatan mengenai konsep ini, di akhir tahun 1990-an, Bank Dunia mulai menguji coba konsep modal sosial ini pada beberapa negara yang menjadi anggotanya. Meskipun hasilnya belum sepenuhnya memuaskan, tetapi paling tidak berbagai metoda dan teknik-teknik aplikatif yang dapat dipergunakan untuk merekayasa modal sosial pada suatu masyarakat tertentu sudah mulai berkembang sehingga lebih mudah bagi kita untuk mengadopsinya dalam pembangunan kepariwisataan.

BAHAN BACAAN

Coleman, James S. Social Capital in the Creation of Human Capital, dalam Partha Dasgupta and Ismail Seregeldin. Social Capital. A

Multifaceted Perspectives. Washington: The World Bank, 2000

Fukuyama, Francis. Trust: The Social Virtues and the Creation of

Prosperity. New York: Free Press, 1995

__________. Social Capital and Civil Society. Prepared for delivery at the

IMF Conference on Second Generation Reforms, October 1, 1999

Hess at.all. Introduction to Sociology, 1988

4 Rujukan mengenai modal sosial, selain Putnam, adalah James Coleman (1989) yang telah lebih dahulu

melakukan penelitian mengenai social capital pada bidang pendidikan di Amerika. Untuk memperdalam pengertian mengenai konsep ini lihat misalnya Fukuyama (1995); Portes (1998), Lin (2001), Burt (2000, 2001), Dasgupta (2000).

(10)

MacCannell, Dean. The Tourist. A New Theory of The Leisure Class. Berkeley: University of California Press, 1976

Mc Intosh, Robert W., at all. Tourism. Principles, Practices, Philosophies (2nd ed). New York: John Wiley and Sons, Inc., 1995

Putnam, Robert D. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern

Italy Princeton: Princeton University Press, 1993

__________. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, melakukan suatu studi kelayakan untuk menentukan bentuk model organisasi CSIRTs yang sesuai pada perusahaan

Sesuai dengan hasil penelitian dan pengolahan data yang dilakukan diperoleh besarnya pengaruh struktur organisasi dan analisis pekerjaan bersama-sama terhadap

Batas toleransi kadar Aflatoksin, sebagaimana telah tercantum pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Pakan maupun perubahannya, pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan dan pada

Keibodan merupakan organisasi semi militer yang dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Anggotanya terdiri atas para pemuda usia 23 – 25 tahun. Tugas Keibodan adalah sebagai

Namun, dibalik keberagaman tersebut telah disatukan oleh Sejarah Budaya masa lalu yang membentuk Peradaban Sungai Pawan.

penguapan terlebih dahulu karena sumber panas bumi dalam kondisi water dominated .Sistem binary yaitu sistem yang memanfaatkan panas bumi dengan cara mentransfer

Kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja UMKM, hal ini menjelaskan bahwa jika adanya peningkatan kompetensi para SDM UMKM maka

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh beberapa konsentrasi sitokinin terhadap pembentukan buah partenokarpi pada tanaman cabai, dapat diambil