• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL JOINT ECONOMIC LOT SIZING PADA PUSH DAN PULL DENGAN REMANUFAKTUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL JOINT ECONOMIC LOT SIZING PADA PUSH DAN PULL DENGAN REMANUFAKTUR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MODEL JOINT ECONOMIC LOT SIZING PADA PUSH DAN

PULL DENGAN REMANUFAKTUR

Ika Nurshanti, Suparno Jurusan Teknik Industri

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email: [email protected]; [email protected]

Abstrak

Isu lingkungan saat ini mulai menjadi isu penting di industri manufaktur. Salah satu peran industri dalam mengatasi permasalahan lingkungan adalah dengan melakukan pemanfaatan produk habis pakainya dan salah satu aktifitas tersebut adalah remanufaktur. Selama ini telah banyak penelitian yang membahas sistem persediaan dengan adanya aktifitas remanufaktur. Namun, dengan menerapkan aktifitas ini tidak hanya sistem di lantai produksi saja yang berubah tapi keseluruhan sistem persediaan mulai dari raw material inventory, manufacturing dan remanufacturing inventory dan serviceable inventory (persediaan produk jadi). Oleh karena itu, penelitian ini membahas integrasi keempat sistem tersebut dengan menggunakan model integrasi pembeli-pemanufaktur-pemasok oleh Lee (2006) dan economic lot sizing dengan remanufaktur oleh Teunter dan van der Laan (2005). Dari beberapa contoh numerik yang digunakan, model pull selalu menghasilkan total biaya yang lebih kecil daripada model push. Model pull dengan remanufaktur menghasilkan efisiensi total biaya hingga 36% dibandingkan dengan model pull tanpa remanufaktur.

Kata kunci: ukuran pemesanan, ukuran produksi, permintaan probabilistik, biaya transportasi Abstract

Nowadays , enviroment issues becoming an important issue in manufacturing industry. One of industrial role’s to avoid environment damage is with take back their own product and take a benefit of used product. One of that activity is remanufacturing. In many recent years, there are a lot of research about inventory system using remanufacturing, Applied this system would change many things start from raw material inventory needed, manufacturing inventory, remanufacturing inventory itself and serviceable inventory.This research proposed those four integrated system using reference such as Lee(2006). The develop model is create for two kind of different system, that are push and pull model. Develop the model with integrated four echelon of inventory system (serviceable, manufacturing, remanufacturing dan raw material inventory) using recent research about economic lot sizing (ELS) approach without remanufacturing by Lee (2006) and ELS between serviceable-remanufacturing inventory by Teunter and van der Laan (2005). Numerical example is using to evaluate both of model. Pull model always have lower total cost rather than push model. Based of develop pull model using remanufacturing can reduce 12% of total cost than without remanufacturing.

(2)

1. Pendahuluan

Aktivitas yang banyak dibicarakan oleh kalangan industri manufaktur saat ini adalah aktivitas penarikan produknya kembali ke industri untuk diproses kembali. Hal ini dilatarbelakangi oleh isu lingkungan dan kebijakan pemerintah terhadap pengolahan kembali produk yang sudah berakhir masa gunanya. Sehingga industri mulai menanggapi dengan melakukan suatu sistem yang bertujuan menarik produknya kembali dari konsumen untuk diproses dan dipasarkan kembali atau dibuang dengan cara yang benar sehingga produk akhir tidak membahayakan lingkungan dan mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan baku produk. Aktivitas ini dikenal dengan

reverse logistic. Salah satu proses lanjutan

dalam aktifitas reverse logistic setelah produk tersebut berada di pabrik antara lain remanufaktur. Di dalam reverse logistic, salah satu poin utama dalam proses ini adalah aktivitas produksi yang bertujuan memberikan fungsi atau nilai tambah ke produknya. Salah satu aktivitas tersebut adalah remanufaktur yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi produk seperti sediakala selayaknya produk baru sehingga industri manufaktur tidak lagi mengambil 100% kebutuhan raw material-nya dari alam tetapi dapat memanfaatkan produk yang telah habis masa pakainya untuk diolah kembali menjadi produk sejenis.

Pemanfaatan produk habis pakai (used

product) untuk diolah kembali tersebut

menimbulkan perubahan sistem secara menyeluruh di perusahaan terutama bagian produksi. Pertimbangan adanya produk habis pakai untuk diolah kembali akan mengubah berbagai keputusan perusahaan, seperti perubahan jumlah lot manufaktur produk yang harus dihasilkan serta perubahan jumlah lot pemesanan raw material. Penentuan jumlah lot optimal dalam kasus produk kembali (return

product) atau proses remanufaktur telah banyak

dibahas dalam penelitian terdahulu seperti Gelder dan Mabini (1992) dan Heuvela (2004). Mereka membahas mengenai penentuan lot yang optimal dengan remanufacturing pada sistem persediaan satu tingkat (persediaan di gudang produk jadi). Mitra (2006) menentukan lot optimal pada sistem persediaan dua tingkat (depot dan distributor) untuk kondisi push

remanufacturing, Teunter dan van der Laan

(2005) melakukan pencarian ukuran lot yang optimal dengan heuristik dengan kebijakan push dan pull remanufacturing.

Berbagai penelitian terkait remanufaktur tersebut rata-rata membahas penentuan ukuran lot produksi atau lot pengiriman yang optimal dengan mempertimbangkan sistem persediaan di beberapa titik saja. Seperti Teunter dan van der Laan (2005) yang melakukan optimalisasi ukuran lot manufaktur dan remanufaktur dengan integrasi sistem biaya di gudang produk jadi dan lantai produksi remanufaktur saja. Mitra (2006) merancang nilai pengiriman optimal ke depot konsumen dengan mempertimbangkan integrasi biaya persediaan di gudang produk jadi, depot dan gudang produk cacat. Beranjak dari penelitian-penelitian tersebut, pada kenyataannya minimasi total biaya sebuah produk dipengaruhi oleh biaya-biaya yang harus dikeluarkan mulai dari pemesanan dan penyimpanan raw material untuk melakukan proses manufaktur, banyaknya setup dan penyimpanan produk hasil manufaktur dan remanufaktur di lantai produksi sampai dengan pengiriman produk ke konsumen. Selama ini, penelitian terkait optimalisasi jumlah lot produksi atau pengiriman mulai dari persediaan

raw material sampai persediaan di gudang

pembeli telah banyak dibahas. Seperti Lee (2005) yang mengemukakan suatu model untuk penentuan ukuran lot pemesanan produk jadi dari gudang pembeli ke lantai produksi pemanufaktur, ukuran lot produksi pemanufaktur, dan ukuran lot pemesanan bahan baku dari pemanufaktur ke pemasok.

Terkait dengan isu reverse logistic saat ini dan semakin banyaknya penelitian-penelitian terkait remanufaktur maka penelitian yang mengintegrasikan sistem persediaan mulai dari

gudang raw material, lantai produksi

manufaktur dan remanufaktur, sampai ke gudang produk jadi belum dibahas. Oleh karena itu, penelitian tugas akhir ini akan difokuskan pada penentuan ukuran lot yang optimal bila suatu industri menerapkan sistem remanufaktur pada produknya dengan mengintegrasikan

serviceable inventory di gudang produk jadi, manufacturing dan remanufacturing inventory

di lantai produksi, dan raw material inventory di gudang bahan baku. Dengan mempertimbangkan integrasi ke empat sistem persediaan ini maka akan ditentukan ukuran lot

(3)

manufaktur, pengiriman produk manufaktur ke gudang produk jadi, dan lot pemesanan raw

material yang optimal. Model matematis

dikembangkan untuk dua sistem yaitu push dan

pull dengan mengintegrasikan model yang

dikembangkan oleh Lee (2005) dan Teunter dan van der Laan (2006) menggunakan metode dasar EMQ (Economic Manufacturing Quantity)

dan Economic Lot-Sizing dengan

remanufacturing.

1.1 Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah bagaimana merancang sebuah model penentuan ukuran lot (Economic

Lot Sizing/ELS) pemesanan raw material,

manufaktur dan remanufaktur yang optimal dengan adanya adanya integrasi sistem

persediaan raw material, manufaktur,

remanufaktur, dan serviceable pada model push dan pull.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini, yaitu:

1. Menghasilkan model push dan pull untuk menentukan economic lot sizing (ELS) yang lebih menggambarkan sistem nyatanya dengan mengintegrasikan empat sistem persediaan dengan adanya penerapan remanufaktur.

2. Mendapatkan ELS raw material, manufaktur dan remanufaktur.

3. Mengetahui efisiensi biaya yang dihasilkan dengan menerapkan aktifitas remanufaktur. 4. Membandingkan ELS dan total biaya dari

kedua sistem push dan pull.

1.3 Manfaat penelitian

Manfaat diadakannya penelitian ini, yaitu: 1. Mampu meminimasi total biaya persediaan

dengan adanya penerapan remanufaktur dan integrasi keempat sistem persediaan.

2. Dapat meningkatkan daya guna produk habis pakai melalui penerapan remanufaktur. 3. Mampu menentukan economic lot sizing

pemesanan raw material, produk manufaktur dan remanufaktur.

4. Mengetahui performansi sistem push dan

pull dengan aplikasi remanufaktur. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki batasan dan asumsi yang digunakan, yaitu:

1.4.1 Batasan

Pengembangan model pada Tugas Akhir ini dibatasi hanya pada penentuan

economic lot sizing pemesanan raw material

dan produksi (manufaktur dan remanufaktur) dan model dikembangkan untuk single product.

1.4.2 Asumsi

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Produk yang kembali (return product) ke industri disebabkan kondisi barang telah habis masa pakainya.

2. Tingkat pengembalian produk habis pakai (used product) diasumsikan menyerupai tingkat produksi remanufaktur.

2. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian merupakan gambaran penelitian secara keseluruhan sehingga diketahui proses, metode dan hasil yang diperoleh dalam penelitian.

1. Studi Literatur

Studi literatur merupakan pengkajian terhadap literatur buku, jurnal, dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, studi literatur yang digunakan berkaitan dengan Reverse

Logistic, Remanufaktur, model dasar EOQ dan

EMQ ,model integrasi pemasok-pemanufaktur-pembeli (Lee,2005), model Push dan Pull

Economic Lot Sizing pada remanufaktur

(Teunter dan van der Laan, 2006), persediaan, dan kualitas produk..

2. Perumusan Masalah

Setelah dilakukan studi literatur dapat dilakukan perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan masalah yang akan dibahas dan diselesaikan dalam penelitian ini.

3. Pengembangan Model

Pada tahap ini telah ditentukan model yang digunakan dalam penelitian diantaranya yaitu model Lee (2005), dan Teunter dan van der Laan (2006). Model Lee (2005) digunakan sebagai model dasar yang mengintegrasikan 3 sistem persediaan yaitu buyer inventory,

manufacturing inventory, dan raw material inventory. Sedangkan model Teunter dan van

der Laan (2006) digunakan sebagai model acuan yang menggunakan remanufacturing inventory dan serviceable inventory serta pembentukan model push dan pull. Model dikembangkan dalam bentuk formulasi matematis yang selanjutnya dicari solusinya dengan membentuk algoritma pencarian solusinya.

(4)

4. Pengujian Model

Model yang telah dikembangkan kemudian dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan yaitu uji konvenksitas dengan menggunakan determinan Hessian, uji numerik dan uji sensitifitas beberapa parameter terkait.. Data-yang digunakan yaitu data sekunder dari contoh nilai parameter Lee (2005) dan Teunter (2006). 4. Analisa dan Pembahasan

Dari hasil uji sensitifitas beberapa parameter maka dianalisa model yangdikembangkan sensitif terhadap parameter apa saja dan pada tingkat nilai berapa. Selain itu juga diketahui performansi model tanpa dan dengan remanufaktur. Dari uji numerik pun diketahui perbandingan total biaya yang dihasilkan antara model push dan pull yang dikembangkan. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu ukuran pemesanan bahan baku, ukuran pengiriman produk manufaktur dan remanufaktur yang optimal sehingga dapat meminimalkan total biaya.

5. Kesimpulan dan Saran

Setelah dilakukan pengolahan, interpretasi, dan analisa data maka ditarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan pengembangan model. Kesimpulan diambil untuk menjawab tujuan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian dapat diberikan saran-saran untuk penelitian mendatang yang berupa perbaikan maupun pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan.

3. Pengembangan Model 3.1 Proses Bisnis Sistem

Pada beberapa industri manufaktur,

terdapat aktifitas manufaktur dan remanufaktur produk dalam rangka memenuhi permintaan konsumen. Aktifitas manufaktur dan remanufaktur tersebut dilakukan di lantai produksi yang terpisah sehingga aktifitas remanufaktur sama sekali tidak mengganggu aktifitas manufaktur. Dengan adanya remanufaktur produk habis pakai (used

product), maka secara otomatis kebutuhan akan

produk manufaktur akan berkurang karena telah dipenuhi oleh produk hasil remanufaktur.

Ada dua model yang dapat dikembangkan dengan adanya aktifitas manufaktur dan remanufaktur, yaitu sistem dorong (push system) dan sistem tarik (pull system). Untuk setiap model pull dan push tersebut terdapat empat tingkat persediaan yaitu serviceable inventory,

manufacturing inventory, remanufacturing inventory, dan raw material inventory. Produk

jadi (finished goods) yang digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen disebut

serviceable inventory. Serviceable inventory

berada pada gudang produk jadi dan digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen. Pada tingkat persediaan manufaktur, terdapat tingkat produksi sebesar p. Proses manufaktur akan terus berjalan dengan kecepatan tersebut sampai mencapai tingkat tertentu untuk memenuhi kebutuhan permintaan di gudang produk jadi dimana tingkat produksi (p) lebih besar dari tingkat permintaan konsumen (λ) yang ada di tingkat persediaan gudang produk jadi. Sedangkan pada tingkat persediaan remanufaktur, proses remanufaktur tingkat produksinya dilakukan sesuai dengan tingkat produk cacat yang kembali dan dapat diremanufaktur (γ).

Berdasarkan keempat tingkat persediaan tersebut, di dalam sistem push, sejumlah produk manufaktur dan remanufaktur dikirimkan ke gudang produk jadi untuk menjadi serviceable

inventory setelah mencapai ukuran lot

pengiriman remanufaktur (Qr). Pada saat yang

bersamaan juga dilakukan pengiriman produk

manufaktur sebesar Qm ke gudang produk jadi.

Periode pengiriman itu setiap remanufaktur

mencapai ukuran lot pengirimannya (Qr) yaitu

terjadi tiap satu periode remanufaktur (Qr/γ).

Hal ini disebabkan akan lebih efektif bila pengiriman dilakukan secara bersamaan dari lantai produksi ke gudang produk jadi. Sedangkan pada sistem pull, pengiriman produk manufaktur dan remanufaktur dilakukan tepat pada saat kondisi serviceable inventory mencapai titik nol atau tepat pada saat dibutuhkan. Sehingga tidak terjadi penumpukan produk akhir di gudang produk jadi. Terakhir, untuk melakukan proses manufaktur perlu adanya raw material. Raw material dipesan ke supplier sesuai dengan kebutuhan produk yang akan dimanufaktur.

(5)

3.2 Alur Perancangan Model

Pada tahun 2006, Rahman telah yang mengembangkan model penentuan lot size yang optimal dengan mempertimbangkan kondisi 4 sistem persediaan yaitu raw material-assembly

lines, process raw material, ready raw material

sampai ke finished product inventory. Dalam modelnya, Rahman menerangkan bahwa

finished product berasal dari dua sumber, yaitu process raw material dan ready raw material

yang kemudian akan diproses menjadi finished

product. Pada tahun yang bersamaan, Lee

(2006) juga mengembangkan model integrasi dari pembeli, pemanufaktur dan pemasok. Kedua jurnal ini sama-sama menggambarkan integrasi dari beberapa tingkat persediaan namun tanpa melibatkan persediaan remanufaktur.

Penelitian lain, Teunter dan van der Laan (2005) dalam jurnalnya membahas sistem persediaan yang mengintegrasikan

manufacturing dan remanufacturing inventory

menjadi serviceable inventory. Namun, terdapat kekurangan dari jurnal tersebut yaitu tidak menggambarkan secara detail sistem persediaan manufakturnya.

Merujuk dari jurnal yang dijadikan dasar referensi tersebut maka penelitian Tugas Akhir ini akan mengadopsi rantai inventory Rahman mulai dari raw material, process raw

material, ready raw material sampai ke finished product. Namun, pada penelitian Tugas Akhir

ini terdapat aktifitas manufaktur dan remanufaktur dimana posisi Manufacturing

Inventory sama seperti process raw material dan

posisi remanufacturing inventory sama seperti

Ready Raw Material. Sedangkan finished product memiliki posisi yang sama dengan serviceable inventory. Sehingga rantai inventory

dan penelitian tugas akhir ini terdiri dari raw

material, manufacturing, remanufaktur, dan serviceable inventory.

Untuk merancang model matematis dari

ketiga sistem persediaan tersebut digunakan modifikasi dari model Lee (2006) dan untuk sistem remanufacturing inventory merujuk dari jurnal van der Laan (2005) sesuai model push (gambar 2) dan pull (gambar 3) yang dikembangkan seperti halnya dalam jurnal van der Laan. Dari gambar 2 diketahui pola

inventory dari keempat sistem persediaan.

Dalam gambar 2 dan 3 digambarkan detail pola (a)serviceable inventory (b)manufacturing

inventory (c) remanufacturing inventory dan (d) raw material inventory.

Gambar 2. Detail Pola Inventory pada Sistem Persediaan Push nQm/P n.Qm/f n.Qm/x.f x.n.Qm/f nQ/λ Qr QR Q/λ Q=Qm+Qr Serviceable Inventory Manufacturing Inventory Remanufacturing Inventory

Raw Material Inventory Q/λ n.Q/λ n.Qm/P n.Q/λ n a Qm (a) (b) (c) (d)

Gambar 3. Detail Pola Inventory pada Sistem Persediaan Pull

(6)

3.3 Komponen Model

Komponen model yang pertama adalah penentuan kriteria kinerja yaitu ukuran lot yang optimal / economic lot sizing (ELS) adalah dengan meminimasi total biaya gabungan (TC) dari biaya-biaya di keempat sistem persediaan yang dikembangkan. Berdasarkan kriteria kinerja yang ditetapkan maka variabel

keputusan yang dicari dari model push yaitu Qm,

Qr, n dan x, sedangkan untuk model pull yaitu

Q, n dan x. Notasi yang digunakan dalam model ini diantaranya adalah:

λ

: Permintaan produk (unit/tahun)

γ

: Pengembalian produk (unit/tahun)

P : Tingkat produksi (unit/tahun)

n : Jumlah lot pengiriman manufaktur untuk satu kali setup produksi

x : Jumlah pemenuhan raw material terhadap manufaktur

Qm : Ukuran lot pengiriman manufaktur

(unit/pengiriman)

Qr : Ukuran lot pengiriman pengiriman produk

remanufaktur (unit/pengiriman)

QM : Ukuran lot manufaktur (unit/setup)

QR : Ukuran lot remanufaktur (unit/setup)

QRM : Ukuran lot pemesanan raw material

(unit/pesan)

hs : Biaya simpan serviceable inventory

($/unit/tahun)

hm : Biaya simpan manufacturing inventory

($/unit/tahun)

hr : Biaya simpan remanufacturing inventory

($/unit/tahun)

hRM : Biaya simpan raw material inventory

($/unit/tahun)

Km : Biaya setup manufaktur ($/setup)

Kr : Biaya setup remanufaktur ($/setup)

S : Biaya pengiriman dari lantai produksi ke gudang produk jadi ($/pengiriman)

CRM : Biaya pemesanan raw material ($/pesan)

Asumsi model yang digunakan antara lain:

• Kualitas produk hasil manufaktur dan

remanufaktur sama (Teunter, 2008),

• Tingkat pengembalian dan permintaan

diasumsikan tidak saling berkaitan (independent),

• Tingkat pengembalian selalu lebih kecil

dari tingkat permintaan tiap periodenya,

• Tidak mempertimbangkan biaya

transportasi produk kembali,

Tidak mempertimbangkan assembly dan

disassembly cost

• Jumlah (n) lot pengiriman manufaktur

diasumsikan sama dengan jumlah (n) lot pengiriman remanufaktur,

• Tidak ada batasan kapasitas pengiriman

dari lantai produksi manufaktur dan remanufaktur ke gudang produk jadi.

3.4 Model Push

• Serviceable Inventory Biaya Simpan (Holding cost)

Biaya simpan rata-rata diperoleh dari pembagian total luas area dengan panjang satu siklus

serviceable inventory. Luas wilayah inventory

dibagi menjadi dua area. Area I merupakan area dari sejak pengiriman pertama datang dari gudang manufaktur dan remanufaktur sampai pada pengiriman terakhir manufaktur (n). Area II merupakan area setelah n manufaktur sampai dengan area setelah pengiriman terakhir datang (m). Sedangkan satu siklus serviceable

inventory merupakan rentang mulai dari pertama

kali pengiriman produk datang dari sampai dengan inventory di gudang mencapai posisi nol

yaitu sebesar /( . Sehingga

inventory rata-rata yang ada digudang produk

jadi ditunjukkan pada persamaan (1).

(1)

Biaya pengiriman (Shipment cost)

Pengiriman dilakukan dari lantai produksi manufaktur dan remanufaktur ke gudang produk

jadi. Pengiriman dilakukan setiap periode Qr/γ.

Pada periode tersebut, produk sejumlah lot pengiriman manufaktur dan remanufaktur akan dikirim bersamaan ke gudang produk jadi. Sehingga banyaknya pengiriman sama dengan banyaknya siklus remanufaktur, sehingga biaya pengirimannya yaitu:

(2)

• Remanufacturing Inventory Biaya setup (Setup cost)

Banyaknya setup remanufaktur ditentukan dari tingkat remanufaktur γ dibagi dengan lot remanufakturnya. Sehingga biaya setup remanufaktur terdapat pada persamaan (3).

(7)

Biaya Simpan (Holding cost)

Inventory maksimum di lantai produksi

remanufaktur merupakan luasan segitiga dibawah kurva dengan tingkat kenaikan (tingkat remanufaktur = pengembalian) γ. Sehingga

inventory maksimum sebesar . Dengan

panjang satu siklus remanufaktur . Sehingga untuk mendapatkan rata-rata inventory di remanufaktur maka maksimum inventory dibagi dengan panjang satu siklus remanufaktur. sehingga biaya simpan remanufaktur adalah:

(4)

• Manufacturing Inventory Biaya setup (Setup cost)

Setup dilakukan disetiap awal dimulainya

produksi satu lot manufaktur. Biaya ini dihitung dari hasil perkalian antara jumlah lot produksi dengan biaya setup per lot produksi. Jumlah lot manufaktur merupakan hasil bagi total kebutuhan manufaktur per ukuran lot produksi. Total kebutuhan manufaktur didapatkan dari tingkat permintaan konsumen (λ) dikurangi tingkat pengembalian yang dapat di remanufaktur (γ). Sehingga, biaya setup menjadi persamaan (5).

 

(5)

Biaya Simpan (Holding cost)

Manufaktur dilakukan sekaligus untuk memenuhi permintaan konsumen sebanyak m kali periode permintaan setelah ditambah

produk remanufaktur. Satu lot manufaktur (QM)

ini digunakan untuk memenuhi permintaan di

gudang produk sesuai dengan n kali Qm yang

optimal sehingga dapat menambah inventory remanufaktur di gudang serviceable inventory dan dapat memenuhi permintaan konsumen sampai dengan m kali siklus pengiriman. Namun, pengiriman produk manufaktur hanya dilakukan sampai n kali pengiriman.

Satu siklus manufacturing inventory dimulai dari proses produksi mulai dilakukan sampai dengan pengiriman terakhir produk manufaktur dilakukan yaitu sebanyak n kali periode

pengiriman (Qr/γ). Sehingga rata-rata

manufacturing inventory adalah maksimum manufacturing inventory dibagi dengan panjang

satu siklus manufacturing inventory (persamaan (6)).

(6)

Faktor pengali digunakan untuk menandakan bahwa kebutuhan manufaktur tidak sama dengan 100% permintaan konsumen yaitu

. Sehingga persamaan (6) dapat

ditunjukkan dengan persamaan (7).

(7)

• Raw Material Inventory Biaya Pesan (Ordering cost)

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

Nilai m merupakan kelipatan integer dari Q. Pemesanan bahan baku dilakukan sebanyak m

kali ukuran produksi pemanufaktur (QM).

Dengan kata lain, pemesanan bahan baku untuk beberapa lot produksi dilakukan dalam satu waktu.

(8)

o Kasus 2: 1, 2, 3, …, m

Nilai m merupakan pembagian dari Q. Pemesanan bahan baku dilakukan sebanyak m kali dalam satu ukuran produksi pemanufaktur

(QM). Dengan kata lain, dalam satu lot produksi

dilakukan m kali pemesanan bahan baku

Biaya Simpan (Holding cost)

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

Persediaan raw material terjadi saat produksi berlangsung dan tidak berlangsung. Saat produksi berlangsung, rata-rata bahan baku yang

disimpan adalah . Saat produksi tidak

berlangsung, rata-rata bahan baku yang disimpan adalah

Sehingga total persediaan bahan baku adalah penjumlahan dari kedua kondisi tersebut. Biaya penyimpanan bahan baku diformulasikan:

(9)

Seperti halnya penggunaan faktor pengali pada biaya simpan manufacturing inventory, maka pada biaya simpan raw material juga berlaku

(8)

hal yang sama sehingga biaya simpan dapat ditunjukkan pada persamaan (10).

(11)

o Kasus 2: 1/1, 1/2, 1/3, …, 1/m

Persediaan raw material hanya terjadi selama proses produksi berlangsung, sedangkan saat produksi produksi tidak berlangsung persediaan

raw material adalah nol. Biaya penyimpanan

raw material ditunjukkan persamaan (11).

(11)

Dan persamaan setelah menggunakan faktor pengali ditunjukkan pada persamaan (12).

(12)

• Total Biaya Gabungan

Total biaya gabungan dapat diformulasikan seperti pada Persamaan (13) dan (14).

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

Formulasi model matematis total biaya persediaan gabungan untuk kasus m=1, 2, …, m (TC1(x,n,Qm,Qr)) yaitu:

(13)

o Kasus 2: 1/1, 1/2, 1/3, …, 1/m

Formulasi model matematis total biaya persediaan gabungan untuk kasus m=1, 1/2, …,

1/m (TC2(x,n,Qm,Qr))yaitu:

(14)

Variabel keputusan dalam model ini yaitu x, n,

Qm dan Qr. Variabel keputusan ini didapatkan

dari hasil penurunan parsial total biaya persediaan gabungan terhadap variabel keputusan sama dengan nol.

• Variabel Keputusan x

Model dibuat melakukan iterasi mulai dari x = 1 sampai x= i dimana total biaya dari x = i+1 lebih besar dari x = i. Disebabkan oleh nilai x tidak dapat ditentukan dengan menggunakan rumusan bila ketiga variabel keputusan lain belum diketahui oleh sebab itulah perlu ditetapkan nilai x terlebih dahulu dan kemudian dilakukan iterasi untuk mencari x yang optimal.

• Variabel Keputusan n

Variabel keputusan n juga dibuat dengan melakukan iterasi dari n=1 sampai n= j dimana total biaya dari n=j+1 lebih besar dari total biaya n = i untuk setiap x. Sehingga tidak diperlukan pembuktian lagi nilai n ada dan unik.

• Variabel Keputusan Qm

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

(15)

o Kasus 2: 1/1, 1/2, 1/3, …, 1/m

(9)

• Variabel Keputusan Qr

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

(17)

o Kasus 2: 1/1, 1/2, 1/3, …, 1/m

(16)

Algoritma pencarian solusi optimal untuk dapat menyelesaikan model yang dikembangkan yaitu:

Langkah 1:

Tentukan nilai awal x = i = 1 dan n = j = 1

Anggaplah bahwa TC(x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1;n=j-1=

Langkah 2:

Untuk kasus 1, gunakan persamaan (4.15) untuk

menentukan Qm*x=i;n=j dan gunakan persamaan

(4.17) untuk menentukan Qr* x=i;n=j.

Jika Qm dan Qr yang dihasilkan tidak integer

maka lakukan pembulatan ke atas dan ke

bawah begitu juga dengan Qr.

Langkah 3:

Hitung total biaya gabungan dari kombinasi Qm

dan Qr dengan menggunakan persamaan (4.13).

Gunakan kombinasi Qm dan Qr yang memiliki

total biaya terkecil. Jika:

TC (x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1 n=j-1 > TC

(x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1;n=j, atau

TC (x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1;n=j = infeasible

maka lanjut ke langkah 5 dan jika tidak lanjut ke langkah 4.

Langkah 4:

Tentukan nilai n baru yaitu n = j+1, kemudian ulangi langkah 2 dan 3.

Langkah 5:

Untuk pertama kali memasuki langkah ini, tentukan x baru yaitu x = i+1, kemudian ulangi langkah 2 sampai 4.

Untuk kedua kali dan seterusnya, jika TC

(x*,n*,Qm*,Qr*)x=i; n=j< TC (x*,n*,Qm*,Qr*)

x=i-1;n=j, maka lanjut ke langkah 6, jika tidak lanjut

ke langkah 7. Langkah 6:

Tentukan x baru yaitu x = i + 1, kemudian ulangi langkah 2 sampai 4.

Langkah 7:

Tetapkan TC (x*,n*,Qm*,Qr*)x=i;n=j sebagai TC

(x*,n*,Qm*,Qr*), sehingga didapatkan

x*,n*,Qm* dan Qr* sebagai solusi dari variabel

keputusan yang optimal untuk kasus 1. Langkah 8:

Tentukan nilai awal x = i =1 dan n = j = 1

Anggaplah bahwa TC(x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1;n=j-1=

Langkah 9:

Untuk kasus 2, gunakan persamaan (4.16) untuk

menentukan Qm*n=i;x=j dan gunakan persamaan

(4.18) untuk menentukan Qr* n=i;x=j Jika Qm dan

Qr yang dihasilkan tidak integer maka lakukan

pembulatan ke atas dan ke bawah

begitu juga dengan Qr*.

Langkah 10:

Hitung Total biaya gabungan dari kombinasi Qm dan Qr dengan menggunakan persamaan

(4.14). Gunakan kombinasi Qm dan Qr yang

memiliki total biaya terkecil.

TC (x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1 n=j-1 > TC

(x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1;n=j, atau

TC (x*,n*,Qm*,Qr*)x=i-1;n=j = infeasible

maka lanjut ke langkah 12 dan jika tidak lanjut ke langkah 11.

Langkah 11:

Tentukan nilai n baru yaitu n = j+1, kemudian ulangi langkah 9 dan 10.

Langkah 12:

Untuk pertama kali memasuki langkah ini, tentukan x baru yaitu x = i+1, kemudian ulangi langkah 9 sampai 11

Untuk kedua kali dan seterusnya, jika TC

(x*,n*,Qm*,Qr*)x=i; n=j< TC (x*,n*,Qm*,Qr*)

x=i-1;n=j, maka lanjut ke langkah 13, jika tidak lanjut

ke langkah 14. Langkah 13:

Tentukan nilai n= j+1, kemudian ulangi langkah 10 sampai 12

Langkah 14:

Tetapkan TC (x*,n*,Qm*,Qr*)x=i;n=j sebagai TC

(x*,n*,Qm*,Qr*), sehingga didapatkan

x*,n*,Qm* dan Qr* sebagai solusi dari variabel

keputusan yang optimal untuk kasus 2. Langkah 15:

Bandingkan TC optimal dari kedua kasus. Pilih yang menghasilkan TC terkecil dan

tetapkan x*, n*, Qm*, Qr* sebagai solusi

optimal. Langkah 16:

• Hitung ukuran lot / Economic Lot Sizing (ELS) pemesanan raw material yang optimal

(QRM). Bila kasus 1 yang terpilih maka

(10)

QRM = x (n.Qm)/f

Namun, bila kasus 2 yang terpilih gunakan persamaan:

QRM = (n.Qm) /xf

• Hitung ELS untuk satu kali setup manufaktur dengan menggunakan persamaan:

QM = n.Qm

• Hitung ELS untuk satu kali setup remanufaktur dengan menggunakan persamaan:

QR = n.Qr

3.5 Model Pull

• Serviceable Inventory

Kebutuhan konsumen (λ) akan dipenuhi tiap periodenya sebesar ukuran lot optimalnya yaitu

Q. Dimana Q berasal dari Qr dan Qm.

Q = Qr + Qm

Biaya Simpan (Holding cost)

Biaya simpan rata-rata diperoleh dari pembagian total luas area dengan panjang satu siklus

serviceable inventory. Luas area di tunjukkan

sebagai berikut . Panjang satu siklus

serviceable inventory adalah

.

Maka, rata-rata serviceable inventory merupakan pembagian

maksimal serviceable inventory dengan panjang satu siklus serviceable, sehingga biaya simpan

serviceable inventory ditunjukkan pada

persamaan (17).

(17)

Biaya pengiriman (Shipment cost)

Pengiriman dilakukan dari lantai produksi manufaktur dan remanufaktur ke gudang produk jadi. Pengiriman dilakukan setiap periode Q/λ. Pada periode tersebut produk dengan jumlah lot manufaktur dan remanufaktur optimal dikirim bersamaan ke gudang produk jadi. Sehingga banyaknya pengiriman sama ditunjukkan pada persamaan (18).

 

(18)

• Remanufacturing Inventory

Besarnya satu lot pengiriman remanufaktur ( ) dapat diekspresikan pada persamaan (19).

(19)

Biaya setup (Setup cost)

Banyaknya setup remanufaktur sama dengan banyaknya permintaan dalam satu tahun dibagi

dengan n kali banyaknya lot pengiriman produk dari remanufaktur ke gudang produk jadi. Sehingga biaya setup remanufaktur adalah ditunjukkan pada persamaan (20).

(20)

Biaya Simpan (Holding cost)

Inventory di lantai produksi remanufaktur

merupakan luasan segitiga dibawah kurva dengan tingkat kenaikan (tingkat

remanufaktur=pengembalian) γ. Besarnya

ukuran lot remanufaktur adalah jumlah produk yang kembali selama satu periode Q/λ. Maksimal inventory di lantai produksi

remanufaktur adalah

.

Panjang satu siklus

remanufaktur yaitu Q/λ. Sehingga biaya simpan remanufaktur ditunjukkan pada persamaan (21).

(21)

• Manufacturing Inventory

Satu lot pengiriman manufaktur merupakan kebutuhan satu lot permintaan (Q) dikurangi dengan satu lot pengiriman remanufaktur yang dapat diekspresikan pada persamaan berikut

Biaya setup (Setup cost)

Total kebutuhan manufaktur didapatkan dari tingkat permintaan konsumen ( ) dikurangi tingkat pengembalian ( -γ) per n kali lot

pengiriman manufaktur ke gudang (Qm).

Sehingga, biaya setup menjadi:

dengan mensubtitusikan nilai Qm dengan

, sehingga didapatkan persamaan (22)

tanpa variabel Qm.

(22)

Biaya Simpan (Holding cost)

Manufaktur dilakukan sekaligus untuk memenuhi permintaan konsumen sebanyak nQ. Satu lot yang akan dimanufaktur ini digunakan untuk memenuhi permintaan di gudang produk sesuai dengan Qm yang optimal sehingga dapat menambah inventory remanufaktur di gudang

serviceable inventory. Jadi, pengiriman produk

(11)

Untuk satu siklus manufaktur inventory dimulai dari proses produksi mulai dilakukan sampai dengan pengiriman terakhir produk manufaktur

dilakukan

.

(23) Setelah dikali dengan faktor pengali maka didapatkan biaya simpan pada persamaan (24).

(24)

• Raw Material Inventory Biaya Pesan (Ordering cost)

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

Persamaan biaya simpan untuk model pll sama

halnya dengan model push, namun nilai Qm

dikonversi menjadi nilai sehingga

menjadi persamaan (25) tanpa Qm.

(25)

o Kasus 2: 1, 2, 3, …, m

(26)

Biaya Simpan (Holding cost)

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

Persediaan raw material terjadi saat produksi berlangsung dan tidak berlangsung. Saat produksi berlangsung, rata-rata bahan baku yang

disimpan adalah . Saat

produksi tidak berlangsung, rata-rata bahan

baku yang disimpan adalah  

. Sehingga total persediaan

bahan baku adalah penjumlahan dari kedua kondisi tersebut. Biaya penyimpanan bahan baku diformulasikan pada persamaan (27).

(27)

Persamaan setelah nilai Qm dikonversi menjadi

ditunjukkan pada persamaan (28).

  

(28)

o Kasus 2: 1/1, 1/2, 1/3, …, 1/m

(29)

Persamaan setelah nilai Qm dikonversi menjadi

ditunjukkan pada persamaan (30).

(30)

• Total Biaya Gabungan

Total biaya gabungan dapat diformulasikan seperti pada Persamaan (31) dan (32).

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

Formulasi model matematis total biaya persediaan gabungan untuk kasus m=1, 2, …, m (TC1(x,n,Q)) yaitu:

(31)

o Kasus 2: 1/1, 1/2, 1/3, …, 1/m

Formulasi model matematis total biaya persediaan gabungan untuk kasus m=1, 1/2, …,

1/m (TC2(x,n,Qm,Qr))yaitu:

(32)

Variabel keputusan dalam model ini yaitu x, n, dan Q. Variabel keputusan ini didapatkan dari hasil penurunan parsial total biaya persediaan gabungan terhadap variabel keputusan sama dengan nol.

(12)

• Variabel Keputusan x

Seperti halnya sistem push, variabel x dan n ditentukan terlebih dahulu dengan melakukan iterasi. Iterasi dilakukan mulai dari x = 1 sampai x = i dimana nilai x meningkat bila total biaya dengan nilai n pada x=i-1 mulai meningkat. • Variabel Keputusan n

Variabel keputusan n juga dilakukan iterasi dari n=1 sampai n= j untuk setiap n, dimana n akan berhenti bila n=j+1 memiliki total biaya lebih besar dari n=j sehingga tidak perlu dibuktikan bahwa n ada dan unik.

• Variabel Keputusan Q

o Kasus 1: 1, 2, 3, …, m

(33)

o Kasus 2: 1/1, 1/2, 1/3, …, 1/m

(34)

Algoritma pada sistem pull pada dasarnya sama dengan sistem pull. Perbedaannya hanya terdapat pada langkah terakhir untuk penentuan nilai Q.

Langkah 1:

Tentukan nilai awal x = i = 1 dan n = j = 1

Anggaplah bahwa TC(x*,n*,Q*)x=i-1;n=j-1=

Langkah 2:

Untuk kasus 1, gunakan persamaan (4.32) untuk

menentukan Q*

x=i;n=j. Jika nilai Q yang

dihasilkan tidak integer maka lakukan

pembulatan ke atas dan ke bawah .

Langkah 3:

Hitung total biaya gabungan dari nilai Q yang didapatkan pada langkah 2 dengan

menggunakan persamaan (4.30). Pilih nilai Q

yang memiliki total biaya terkecil. Jika:

TC (x*,n*,Q*) x=i-1 n=j-1 > TC (x*,n*, Q*) x=i-1;n=j,

atau TC (x*,n*, Q*) x=i-1;n=j = infeasible

maka lanjut ke langkah 5 dan jika tidak lanjut ke langkah 4

Langkah 4:

Tentukan nilai n baru yaitu n = j+1, kemudian ulangi langkah 2 dan 3

Langkah 5:

Untuk pertama kali memasuki langkah ini, tentukan x baru yaitu x = i+1, kemudian ulangi langkah 2 sampai 4. Untuk kedua kali dan

seterusnya, jika TC (x*,n*, Q*) x=i; n=j < TC

(x*,n*, Q*)x=i;n=j, maka lanjut ke langkah 6, jika

tidak lanjut ke langkah 7. Langkah 6:

Tentukan x baru yaitu x = i + 1, kemudian ulangi langkah 2 sampai 4.

Langkah 7:

Tetapkan TC (x*,n*, Q*)x=i;n=j sebagai TC

(x*,n*, Q*) sehingga didapatkan x*,n*, dan Q* sebagai solusi dari variabel keputusan yang optimal untuk kasus 1.

Langkah 8:

Tentukan nilai awal x = i =1 dan n = j = 1

Anggaplah bahwa TC(x*,n*, Q*)x=i-1;n=j-1=

Langkah 9:

Untuk kasus 2, gunakan persamaan (4.32) untuk

menentukan Q*

x=i;n=j. Jika nilai Q yang

dihasilkan tidak integer maka lakukan

pembulatan ke atas dan ke bawah .

Langkah 10:

Hitung total biaya gabungan dari nilai Q yang didapatkan pada langkah 2 dengan

menggunakan persamaan (4.30). Pilih nilai Q

yang memiliki total biaya terkecil. Jika:

TC (x*,n*,Q*) x=i-1 n=j-1 > TC (x*,n*, Q*) x=i-1;n=j,

atau TC (x*,n*, Q*) x=i-1;n=j = infeasible

maka lanjut ke langkah 11 dan jika tidak lanjut ke langkah 12

Langkah 11:

Tentukan nilai n baru yaitu n = j+1, kemudian ulangi langkah 9 dan 10.

Langkah 12:

Untuk pertama kali memasuki langkah ini, tentukan x baru yaitu x = i+1, kemudian ulangi langkah 9 sampai 11. Untuk kedua kali dan

seterusnya, jika TC (x*,n*,Q*) x=i; n=j < TC

(x*,n*,Q*) x=i-1;n=j, maka lanjut ke langkah 13,

jika tidak lanjut ke langkah 14. Langkah 13:

Tentukan nilai n= j+1, kemudian ulangi langkah 10 sampai 12

Langkah 14:

Tetapkan TC (x*,n*,Q*)x=i;n=j sebagai TC

(x*,n*,Q*), sehingga didapatkan x*,n*, dan Q*

sebagai solusi dari variabel keputusan yang optimal untuk kasus 2.

Langkah 15:

Bandingkan TC optimal dari kedua kasus. Pilih yang menghasilkan TC terkecil dan tetapkan x*, n*, dan Q* sebagai solusi optimal. Langkah 16:

(13)

• Tentukan nilai lot pengiriman remanufaktur yang optimal (Qr) dengan formulasi:

 

• Tentukan nilai lot pengiriman manufaktur yang optimal (Qm) dengan formulasi:

 

• Hitung ukuran lot / Economic Lot Sizing (ELS) pemesanan raw material yang optimal

(QRM). Bila kasus 1 yang terpilih maka

gunakan persamaan:

QRM = x (nQm)/f

Namun, bila kasus 2 yang terpilih gunakan persamaan:

QRM = (n.Qm) /xf

• Hitung ELS untuk satu kali setup manufaktur dengan menggunakan persamaan:

QM = n.Qm

• Hitung ELS untuk satu kali setup remanufaktur dengan menggunakan persamaan:

QR = n.Qr

3.6 Contoh Numerik

Parameter numerik yang digunakan antara lain:

P = 3200 unit/tahun Km = $ 400/unit λ = 1000 unit/tahun hm = $ 4 unit γ = 70% λ Kr = $ 400 unit f = 0,8 hs = $ 5/unit S = $ 25/unit hr = $ 4 /unit CRM = $ 2500 /unit hRM= $ 2 /unit

Model yang telah dikembangkan dicobakan dengan menggunakan contoh numerik diatas maka didapatkan solusi optimal sebagai berikut: Pada model push:

x* = 2 ; n* = 18 ; Qr* = 52 Qm* = 23, QM=414,

QR=936,QRM* = 1035, dan totalbiaya $3291,21.

Pada model pull:

x* = 5 ; n* = 20 ; Q* = 65, Qr* = 45, Qm* = 20,

QM=400, QR=900, QRM=2000 dan total biaya

$2623,94.

4 Analisa dan Pembahasan

Bagian ini dilakukan menganalisa hasil yang diperoleh. Analisa yang dilakukan diantaranya yaitu mengenai pengembangan model yang dilakukan, perbandingan antara model integrasi dengan model parsial serta perencanaan produksi dan persediaan bahan baku.

4.1 Pengaruh Biaya Pemesanan Raw Material (CRM)

Model dikembangkan untuk 2 kondisi biaya pemesanan raw material yang berbeda

yaitu %25 dan $2500. Dengan menurunkan parameter pemesanan raw material sebesar 99% mengakibatkan penurunan total biaya sebesar 64% untuk model push dan 74% untuk model

pull. Selain itu juga penurunan ukuran lot

pemesanan raw material (QRM) sebesar 73%

untuk model push dan 91% untuk model pull. Sehingga, sangat penting mempertimbangkan biaya pesan raw material. Selain itu, dalam model remanufaktur, kebutuhan raw material semakin berkurang sehingga biaya pemesanan yang rendah akan lebih memfleksibelkan lot pemesanan. Sedangkan dengan biaya pesan yang tinggi, perusahaan cenderung melakukan penyimpanan raw material secara besar-besaran.

4.2 Pengaruh Biaya Setup Remanufaktur (Kr)

Penurunan biaya setup remanufaktur sebesar 25% tidak akan mempengaruhi variabel

keputusan Q untuk model pull dan Qr dan Qm

untuk model push. Penurunan biaya setup sebesar 50% hanya mempengaruhi penurunan

sebesar 3% Q pda model pull dan 11% Qr dan

19% Qm pada model push. Bila ditinjau dari segi

total biaya yang dihasilkan penurunan biaya

setup manufaktur sebesar 25% dan 50% hanya

akan menurunkan total biaya keseluruhan sebesar 4% dan 11%. Sedangkan pada model

pull berdampak pada penurunan biaya sebesar

4% dan 9%.

4.3 Pengaruh Biaya Simpan di Gudang Produk Jadi (hs)

Kenaikan hs sebesar 33%, 133% dan 233%

menyebabkan kenaikan total biaya sebesar 3%, 19% dan 33% untuk model push dan 4%, 8% dan 12% untuk model pull. Dari perbandingan kenaikan total biaya kedua model tersebut juga dapat diketahui bahwa model push lebih sensitif terhadap perubahan biaya simpan serviceable

inventory bila dibandingkan dengan model pull.

Hal ini karena pada model pull gudang tidak melakukan penumpukan produk jadi seperti halnya model push sehingga persediaan yang disimpan di gudang pun cenderung stabil sesuai dengan permintaan konsumen. Pada model

push, penumpukan produk jadi yang besar

tersebut secara otomatis mempengaruhi total biaya simpannya sehingga model push sangat sensitive terhadap biaya simpan serviceable

inventory. Kondisi pull lebih baik dari push

tersebut berlaku bila tingkat biaya pengiriman produk cenderung rendah dan stabil. Pada kasus ini, disebabkan serviceable inventory adalah persediaan di gudang produk jadi (bukan buyer

(14)

inventory yang berada jauh jauh dari lantai

produksi) sehingga biaya pengiriman dari lantai produksi ke gudang produk jadi cenderung tidak rendah.

4.4 Pengaruh Tingkat Pengembalian Produk (γ)

Peningkatan produk kembali sebesar 67% dan 133% akan mengurangi total biaya persediaan sebesar 18% dan 33% untuk model

push dan 10% dan 23% untuk model pull. Hal

ini disebabkan oleh tingkat pengembalian produk mempengaruhi tingkat produk manufaktur, dan juga akan mempengaruhi jumlah raw material yang dibutuhkan. Semakin banyak/besar tingkat pengembalian maka semakin sedikit pula kebutuhan produk manufaktur, dan secara otomatis menyebabkan semakin sedikit jumlah raw material yang dibutuhkan, sehingga menghemat biaya pesan

raw material dan biaya simpan raw material.

Dari kedua model diketahui bahwa tingkat pengembalian lebih memiliki pengaruh terhadap total biaya pada model push. Hal ini disebabkan sistem persediaan di gudang produk jadi (serviceable inventory) yang terus menumpuk produk dari lantai produksi manufaktur dan remanufaktur.

4.5 Perbandingan Total Biaya Integrasi dengan Model Pull dengan dan tanpa Remanufaktur

Pada tingkat biaya pesan CRM=$2500,

terjadi penghematan biaya persediaan sebesar 36% dengan menerapkan remanufaktur pada tingkat pengembalian produk 70%. Sedangkan

pada tingkat CRM=$25 menghasilkan

penghematan total biaya sebesar 15%. Berdasarkan kedua tabel tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan remanufaktur, industri bisa menghasilkan profit lebih karena total biaya persediaan dapat ditekan ataupun dapat menjadi acuan bagi industri untuk mengalokasikan dananya pada sektor lain. Selain itu, dengan penerapan remanufaktur, berbagai variabel keputusan yang ada juga berubah terutama pada lot pengiriman manufaktur.

5. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan model yang dikembangkan maka dapat diketahui bahwa Secara overall, model pull menghasilan total biaya yang lebih

rendah bila dibandingkan dengan model push disebabkan oleh faktor biaya simpan di

serviceable inventory, dimana sistem pull

memiliki persediaan yang lebih rendah dan terkontrol bila dibandingkan dengan tingkat persediaan di sistem push dengan kondisi biaya pengiriman rendah dan stabil. Selain itu diketahui beberapa faktor yang sensitif dari model yang dikembangkan antara lain tingkat pengembalian (γ) sebesar 67% dapat menurunkan total biaya sebesar 18 % untuk sistem push dan 10% untuk sistem pull. Selain itu, dihasilkan efisiensi biaya sebesar 36% dengan tingkat pengembalian (γ) sebesar 70% untuk biaya pesan raw material $2500. Untuk biaya pesan raw material $25 model pull menghasilkan efisiensi sebesar 15%. Dari model yang telah dikembangkan maka dapat dilakukan pengembangan lebih jauh sehingga lebih mendekati sistem nyatanya. Antara lain adanya penelitian lebih lanjut yang mengembangkan model integrasi empat sistem persediaan yang stokastik, penelitian yang mempertimbangkan biaya trasportasi produk kembali dan penelitian yang mempertimbangkan defect produk kembali.

6. Daftar Pustaka

Arsham, H., (1994), Economic Order Quantity

and Economic Production Quantity Models for Inventory Management,

didownload tanggal 23 Febuari 2009, pukul 19.17, dapat dilihat di

http://home.ubalt.edu/ntsbarsh/Business-stat/otherapplets/Inventory.htm

Beullens, Patrick, (2005), Reverse Logistic in

Effective Recovery of Product from Waste Materials, Reviews in Enviromental Science & Bio/Technology, didownload 10

Februari 2009..

Brito, M.P. dan Dekker, R., (2004), A

Framework for Reverse Logistic, Reverse

Logistic, Springer.

Fleischmann M., Bloemhof-Ruwaard, J.M., dan Dekker R. , (1997), Quantitative Model for Reverse Logistic : A Review, European

Journal of Operation Research 103 (1997)1-17.

Kaebernick, H., Kara, S., dan Mazhar M. I., (2005), Reusability Assessment of Components in Consumer Products - A Statistical and Condition Monitoring Data Analysis Strategy, Proceedings of the 4th

(15)

Australian Life Cycle Assessment Conference - Sustainability Measures For Decision Support, Sydney, Australia.

Kerr, W. dan Ryan, C., (2001), Eco-efficiency

Gains from Remanufacturing: A Case Study of Photocopier Remanufacturing at Fuji Xerox Australia, Journal of Cleaner Production, Vol. 9.

Kiesmuller, G.P., (2002), A New Aproach for Controlling a Hybrid Stochastic Manufacturing / Remanufacturing System with Inventories and Different Leadtimes,

European Journal of Operation Research 147 (2003,) p. 62-71, Elsevier.

Lee, Wenyih, (2006), A joint economic lot size

model for raw material ordering, manufacturing setup, and %nished goods delivering, The International Journal of

Management science, Omega 33, 163-174,

Elsevier.

Lund, R., Remanufacturing: an American resource, Proceedings of the Fifth

International Congress Environmentally Conscious Design and Manufacturing,

June 16 and 17, 1998, Rochester Institute of Technology, Rochester, NY, USA. Maria, A. (2008), Reuse of Industrial Product –

A Technical and Economic Model For Decicion Support, Thesis of Mechanical

and Manufacturing Engineering School, The University of New South Wales-Sydney, Australia.

Maria A. dan Kaebernick, H., (2008), A Generic Methodology to Assets Quality and Reliability in the Reuse Strategi,

Proceeding Life cycle Engineering 2008.

Minner, Stefan dan Lindner, Gerd, (2004), Lot

Sizing Decision in Product Recovery Management, Reverse Logistic, Springer.

Mitra, Subrata, (2006), Analysis of a

Two-echelon Inventory System with Return, Omega 37 (2009) p. 106-115, Elsevier.

Mutha, A., dan Pokharel, S., (2008), Strategic

Network Design for Reverse Logistic and Remanufacturing Using New and Old Product Modules, Computer & Industrial Engineering, Elsevier.

Rahman, M.A.A, dan Sarker, B.R., (2006),

Supply chain models for an assembly system with preprocessing of raw materials, Production, Manufacturing and Logistic Journal, Elsevier.

Rogers, D.S. dan Tibben-Lembke, Ronald S., (1998), Going Backwards:Reverse

Logistics Trends and Practices.

Smith, Spencer B. (1989), Computer-Based

Production and Inventory Control,

Prentice Hall International, Inc. UK

Silver, Pyke, Peterson, (1998), Inventory

Management and Production Planning and Scheduling, 3rd edition, John Wiley &

Sons, New York.

Teunter R.H. dan van der Laan, (2005), Simple Heuristic for Push and Pull

Remanufacturing Policies, European

Journal of Operatin Research 175 (2006) 1084-1102.

Wibisono, Eric (2004), Komparasi Sistem

Manufaktur Push dan Pull Melalui Pendekatan Simulasi, Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Kristen Petra.

Gambar

Gambar 1. Proses Bisnis Sistem yang Dikembangkan
Gambar 2. Detail Pola Inventory pada  Sistem  Persediaan Push  nQm/Pn.Qm/fn.Qm/x.fx.n.Qm/f nQ/λQrQRQ/λQ=Qm+QrServiceable InventoryManufacturing InventoryRemanufacturing Inventory

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat nilai tambah yang dihasilkan untuk per kilogram bahan baku kedelai dan tempe yang digunakan dalam agroindustri keripik tempe, jika pengusaha ingin

Nur Hidayah, S.Pd, Waka Kesiswaan MI Tarbiyatul Islamiyah Tanjunganom Gabus Pati, wawancara pribadi pada tanggal 16 Pebruari 2017... merupakan faktor sentral dalam

berita merupakan hal yang diatur dalam manajemen redaksional (Junaedi:2014). Apabila manajemen redaksional pada perusahaan surat kabar tersusun baik, maka

Sebagus apapun portfolio/pengalaman dari agensi Adwords yang anda kontak, bila mereka tidak memahami bisnis anda, bagaimana mungkin mereka dapat membantu anda mencapai

Dari 6 siswa yang tidak mengerti Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Perubahan FisiologisPubertas Di Kelas 12 di SMA N 3 Binjai (Erlinda, Ani Nur

Pada saluran tanah (tanpa pasangan) yang masih baru, as saluran , batas tanggul, lebar tanggul masih terlihat profilnya, namun dengan berjalannya waktu tanda – tanda tadi

Menurut (Samani et al., 2021) penelitian tindakan sekolah berbentuk siklus metodologis yang berdaur (cyclical methodology cyclus) yang meliputi kegiatan perencanaan,