• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS SALIVA DAN GINGIVITIS PADA PENDERITA GINGIVITIS SETELAH KUMUR EPIGALOCATECHINGALLATE (EGCG) DARI EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STATUS SALIVA DAN GINGIVITIS PADA PENDERITA GINGIVITIS SETELAH KUMUR EPIGALOCATECHINGALLATE (EGCG) DARI EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS SALIVA DAN GINGIVITIS PADA PENDERITA GINGIVITIS SETELAH KUMUR EPIGALOCATECHINGALLATE (EGCG)

DARI EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis)

SALIVA AND GINGIVITIS STATUS ON GINGIVITIS PATIENS AFTER GARGLING EPIGALOCATECHINGALLATE (EGCG) OBTAIN FROM GREEN TEA (Camelia

sinensis) EXTRACT

Alphiana Nirmaladewi1, Juni Handajani2 dan Regina TC.Tandelilin2 Kepaniteraan Senior, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada1 Bagian biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada2

ABSTRAK

Epigallocatechin gallate (EGCG) merupakan salah satu komponen polifenol teh hijau (Camellia sinensis) yang mempunyai rasa pahit dan sepat serta memiliki daya antibakteri terhadap bakteri plak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status saliva (volume dan pH saliva) serta status gingivitis setelah kumur EGCG ekstrak teh hijau.

Subyek penelitian terdiri dari 20 orang penderita gingivitis dengan kriteria ringan, dibagi menjadi 4 kelompok (kelompok bahan kumur 0,01%, 0,025%, 0,05% dan kontrol) yang masing-masing terdiri atas 5 orang. Berkumur dilakukan pada pagi dan malam hari selama lima hari dan pengukuran dilakukan pada hari ke-1 dan ke-6. Perubahan volume dan pH saliva serta skor GI didapat dari selisih pengukuran antara sebelum dan setelah berkumur dengan EGCG. Analisis data dilakukan dengan Uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan Uji Mann-Whitney.

Dari hasil Uji Kruskal-Wallis tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap kenaikan volume dan pH saliva setelah kumur EGCG antar kelompok perlakuan, sedangkan skor GI menunjukkan kumur EGCG berpengaruh menurunkan keparahan gingivitis. Hasil Uji Mann-Whitney memperlihatkan perbedaaan bermakna penurunan skor GI pada kelompok EGCG 0,05%. Dapat disimpulkan bahan kumur EGCG 0,05% dapat mengobati gingivitis dalam penelitian ini.

ABSTRACT

Epigallocatechin gallate (EGCG) represent one of the green tea’s (Camellia sinensis) polyphenol components, having bitter taste and also has antibacterial effect to plaque bacteria. The aim of this study was to determine saliva status (volume and pH of saliva) and gingivitis status after gargling using EGCG of extract of green tea.

The subject of this study consist of 20 mild gingivitis patients, divided into 4 groups (0,01%, 0,025%, 0,05% and control) that each group consist of 5 people. Gargling using EGCG was done at night and morning time for five consecutive days. The changing of volume and pH of saliva and GI score was measured before and after gargling. Data analysis was run by Kruskal-Wallis and Mann-Whitney tests.

Kruskal-Wallis test indicated that there was no significant difference on the increasing of volume and pH of saliva after gargling between treatment groups, while the GI score showed decreasitly significant. The result of Mann-Whitney test showing the significant of decreasing GI score obtained from EGCG 0,05% group. This study suggests that EGCG as a mouth rinse could have effected to decrease the GI score. The EGCG 0,05% was the most influence as a mouth rinse for gingivitis disease.

Keywords : volume and pH of saliva, gingivitis status, Epigallocatechin gallate (EGCG), green tea (Camellia sinensis)

(2)

PENDAHULUAN

Katekin (polifenol) teh merupakan flavanoid yang termasuk dalam kelas flavanol. Katekin teh memiliki sifat tidak berwarna, larut air, serta membawa sifat pahit dan sepat pada seduhan teh (Hartoyo, 2003). Menurut Naim (2003), katekin utama pada daun teh hijau adalah Epicatechin / EC, Epicatechin

gallate / ECG, Epigallocatechin / EGC dan Epigallocatechin gallate / EGCG.

Menurut Sakanaka dkk. (1995) polifenol teh dapat menghambat perlekatan

Porphyromonas gingivalis pada sel epitelium buccal sehingga dapat menghambat terjadinya

penyakit periodontal. Polifenol teh juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri plak. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan plak adalah sekitar 250-1000 µg per ml. Ho dkk. (1994) menyatakan bahwa polifenol teh hijau mengandung sekitar 49% Epigallocatechin

gallate (EGCG), jadi dalam 1000 µg polifenol

terkandung sekitar 490 µg Epigallocatechin

gallate (EGCG).

Saliva merupakan faktor penting dalam pencegahan karies gigi dan kelainan periodontal. Dalam melaksanakan fungsi pertahanan, dibutuhkan volume saliva yang cukup dan susunan saliva yang optimal. Namun ternyata bahwa hal ini sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan baik yang berhubungan dengan isi maupun dengan viskositas, derajat keasaman, susunan ion dan protein dalam saliva (Amerongen, 1991). Saliva dapat distimulasi antara lain melalui rangsang penciuman, pengecapan, pengunyahan, rasa sakit serta iritasi pada rongga mulut (Grant, 1972).

Derajat keasaman (pH) saliva rata-rata adalah 6,8 (Roukema, 1993). Suatu proses untuk menetralisir pH dinamakan sistem buffer. Kapasitas buffer saliva yang dirangsang terutama ditentukan oleh konsentrasi bikarbonat (85%), konsentrasi fosfat (14%) dan protein saliva (1%). Sistem bikarbonat sangat efektif dalam menetralisir asam dan berbanding lurus dengan kecepatan sekresi saliva. Hal ini mempunyai akibat bahwa pada kenaikan kecepatan sekresi, konsentrasi bikarbonat menjadi lebih tinggi

dan pH juga menjadi lebih tinggi (Amerongen, 1991).

Gingivitis merupakan proses peradangan di dalam jaringan periodonsium yang terbatas pada gingiva, bersifat reversibel, disebabkan oleh mikroorganisme yang membentuk suatu koloni serta membentuk plak gigi yang melekat pada tepi gingival. Bakteri penyebab penyakit periodontal bukan merupakan bakteri yang spesifik. Semua bakteri plak ikut berperan membentuk patogenesis dari flora subgingiva, yang dapat memperbesar kemampuannya untuk berkolonisasi dan menyerang pertahanan pejamu serta merangsang inflamasi dan kerusakan jaringan periodontal (Huis, 1993). Menurut Edgar (1976), derajat keasaman plak merupakan faktor penentu bagi derajat keasaman saliva karena meskipun aliran saliva meningkat dengan aktivitas berkumur, namun dalam banyak kasus derajat keasaman saliva akan tetap mengalami penurunan. Penurunan pH saliva ini disebabkan oleh produk-produk asam yang dihasilkan oleh bakteri plak maupun bakteri-bakteri yang berkoloni di jaringan lunak mulut termasuk dibagian dorsal lidah.

Kontrol plak yang efektif adalah dasar dari pencegahan dan pengobatan hampir semua keadaan inflamasi pada jaringan periodontal (Hoag dan Pawlak, 1990). Metode kontrol plak dapat dibedakan menjadi metode mekanis dan kimiawi. Kontrol plak secara mekanis merupakan cara yang paling baik yaitu dengan menyikat gigi, tetapi sikat gigi hanya mampu menghilangkan plak gigi pada permukaan yang terlihat secara nyata. Adanya keterbatasan tersebut maka kontrol plak secara kimiawi mulai digunakan (Cadha dkk., 1978).

Berkumur merupakan salah satu metode dalam cara membersihkan gigi dan mulut dan sering dilakukan setelah menyikat gigi (Ariadna dan Hani, 2000). Berkumur dapat dilakukan secara efisien apabila disertai dengan kemauan yang besar, kesediaan meluangkan waktu, cara berkumur yang baik dan fungsi yang normal dari otot-otot bibir, lidah dan pipi (Widodo, 1980).

Walaupun fenol telah dikenal dapat mengurangi gingivitis, tapi selama ini belum banyak yang meneliti tentang pengaruh

(3)

Epigallocatechin gallate (EGCG) ekstrak teh

hijau terhadap kenaikan volume dan pH saliva serta terhadap penurunan gingivitis. Permasalahannya adalah bagaimana status saliva (volume dan pH saliva) serta status gingivitis setelah kumur EGCG ekstrak teh hijau? Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status saliva dan status gingivitis setelah kumur EGCG.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah EGCG ekstrak teh hijau (Sigma), pH meter (Hanna), stopwatch dan alat diagnostic. Subyek penelitian berjumlah 20 mahasiswa Universitas Gadjah Mada penderita gingivitis yang berumur 18-25 tahun. Pemilihan subyek penelitian berdasarkan Gingival Index (Loe & Silness, 1963). Pada penelitian ini dipilih subyek dengan skor 0,1-1,0 (gingivitis ringan). Selain itu, terdapat syarat lain bagi subyek, yaitu: kesehatan umum baik, bukan perokok, tidak sedang menggunakan obat-obatan (yaitu: antibiotik, obat-obat parasimpatomimetik, tidak memakai alat ortodonsi atau gigi tiruan. Subyek disarankan agar tidak makan dan tidak menyikat gigi selama 2 jam sebelum pengambilan sampel saliva.

JALANNYA PENELITIAN

Bahan kumur EGCG ekstrak teh hijau dibuat menjadi 3 konsentrasi yaitu 0,01%, 0,025% dan 0,05%. Pengukuran status kesehatan gingiva menggunakan Gingival

Index / GI (Loe & Silness, 1963).

Subyek sebanyak 20 orang dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing terdiri atas 5 orang. Kelompok I diberi bahan kumur EGCG konsentrasi 0,01%, kelompok II diberi konsentrasi 0,025%, kelompok III diberi konsentrasi 0,05% dan kelompok IV diberi Bactidol sebagai kontrol.

Pengambilan saliva sebelum perlakuan dilakukan dengan cara: subyek berdiri tegak lurus dengan lantai lalu diinstruksikan untuk berkumur 5 ml akuabides selama 30 detik; baru subyek diminta

meludah, 5 menit kemudian subyek diminta untuk meludahkan salivanya ke dalam pot penampung dengan cara menundukkan kepala, dan selanjutnya diukur pH saliva (Haroen, 2002 sit Mahvash, 1993). Saliva dipindahkan dari pot penampung ke dalam gelas ukur dan dicatat volumenya. Untuk menjaga akurasi alat pH meter, dilakukan dengan cara dicuci menggunakan akuades lalu dikeringkan memakai kertas saring.

Subyek diinstruksikan untuk berkumur selama 5 hari pada pagi dan malam hari sebelum tidur sebanyak 5 ml setiap kali kumur dengan konsentrasi bahan sesuai kelompok masing-masing. Pengambilan saliva setelah perlakuan dilakukan pada hari ke-6, 2 jam setelah makan siang (Haroen, 2002 sit Mahvash, 1993). Lalu dilakukan pengukuran derajat keasaman (pH) dan volume saliva serta pengukuran kesehatan gingiva (status gingivitis).

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai status gingivitis dan status saliva penderita gingivitis setelah kumur EGCG ekstrak teh hijau dilakukan dengan mengamati volume saliva (ml/menit), pH saliva dan status gingivitis GI. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kenaikan volume dan pH saliva serta penurunan skor GI setelah dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah kumur. Hasil rerata dan simpangan baku volume saliva, pH saliva dan skor GI dapat dilihat pada Tabel I.

Dari Tabel I dapat diketahui selisih pengukuran skor GI pada hari ke-1 dengan hari ke-6 antara konsentrasi 0,01% dengan 0,025% tidak menunjukkan perbedaaan yang berarti. Untuk mengetahui pengaruh EGCG terhadap volume saliva, pH saliva dan skor GI, digunakan uji Kruskal-Wallis yang ditunjukkan pada Tabel II.

(4)

Tabel I. Rerata dan simpangan baku pengukuran volume saliva, pH saliva dan skor GI pada hari ke-1 dan hari ke-6 pada masing-masing kelompok perlakuan.

Hari Kelompok

Hari Ke-1 Hari Ke-6 Selisih

Kelompok I (EGCG 0,01%) Volume 3,3 ± 1,2 4,3 ± 1,7 1,0 ± 0,9 pH 6,54 ± 0,3 7,22 ± 0,2 0,68 ± 0,3 GI 0,83 ± 0,1 0,52 ± 0,1 0,31 ± 0,1 Kelompok II (EGCG 0,025%) Volume 2,24 ± 0,4 3,36 ± 0,8 1,02 ± 0,8 pH 6,5 ± 0,2 7,2 ± 0,1 0,7 ± 0,2 GI 0,94 ± 0,05 0,62 ± 0,05 0,32 ± 0,07 Kelompok III (EGCG 0,05%) Volume 3,2 ± 1,4 4,72 ± 2,2 1,52 ± 1,1 pH 6,58 ± 0,1 7,3 ± 0,2 0,72 ± 0,2 GI 0,92 ± 0,06 0,44 ± 0,06 0,48 ± 0,05 Kelompok IV (Bactidol) Volume 3,5 ± 1,3 4,0 ± 1,2 0,5 ± 0,4 pH 6,62 ± 0,1 7,2 ± 0,2 0,58 ± 0,2 GI 0,82 ± 0,1 0,58 ± 0,04 0,24 ± 0,1

Tabel II.Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap volume dan pH saliva serta skor GI setelah kumur EGCG.

Kelompok Perlakuan N Ranking Rerata

Chi-Square db Asymp Sig. Volume EGCG 0,01% EGCG 0,025% EGCG 0,05% Kontrol Total 5 5 5 5 20 8,60 9,60 18,00 5,80 3,239 3 0,356 pH EGCG 0,01% EGCG 0,025% ECGC 0,05% Kontrol Total 5 5 5 5 20 10,60 10,30 13,90 7,20 1,205 3 0,752 GI EGCG 0,01% EGCG 0,025% EGCG 0,05% Kontrol Total 5 5 5 5 20 10,80 12,00 11,00 8,20 11,850 3 0,008

(5)

Hasil uji Kruskal-Wallis pada Tabel II memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna terhadap kenaikan volume saliva dan kenaikan pH saliva setelah kumur EGCG antar kelompok perlakuan. Tetapi pada skor

GI menunjukkan tingkat signifikansi 0,008

yang berarti bahwa kumur EGCG berpengaruh dalam menurunkan skor GI.

Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan dapat dilihat dengan Uji Mann-Whitney pada p < 0,05 yang dirangkum dalam Tabel III. Hasil Tabel III menunjukkan perbedaaan bermakna diperoleh pada kelompok bahan kumur EGCG 0,05% dibandingkan konsentrasi EGCG lainnya dan kontrol.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa terjadi kenaikan volume saliva (Tabel I) pada setiap kelompok perlakuan. Hal ini dapat disebabkan karena stimulasi mekanis dan stimulasi kimia yang terjadi. Stimulasi mekanis didapat dari gerakan berkumur dan stimulasi kimia berupa rasa pahit dari EGCG. Kenaikan volume saliva tertinggi terjadi pada kelompok perlakuan III yaitu yang mendapat bahan kumur EGCG 0,05% sebesar 1,520 ml/menit. Hasil penelitian ini didukung oleh Hartoyo (2003) yang menyatakan bahwa

EGCG yang termasuk katekin mempunyai

sifat tidak berwarna, larut air serta membawa

sifat pahit dan sepat pada seduhan teh. Oleh karena itu makin tinggi konsentrasi EGCG maka sifatnya makin pahit dan sepat.

Tingginya konsentrasi EGCG pada

konsentrasi 0,05% membuat bahan kumur

tersebut diduga akan terasa lebih pahit

dibandingkan konsentrasi 0,01% maupun

0,025%.

Rasa pahit ini menjadi stimulasi kimia dalam meningkatkan volume saliva yang mengakibatkan kelompok perlakuan III mengalami kenaikan volume saliva tertinggi. Dari hasil uji Kruskal-Wallis kenaikan volume saliva (Tabel II), ternyata tidak terdapat perbedaan yang bermakna pengaruh konsentrasi EGCG. Keadaan ini dapat diakibatkan karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan sekresi saliva. Selain pengecapan sebagai faktor kimia dan berkumur sebagai faktor mekanis, kecepatan sekresi saliva dapat juga dipengaruhi oleh faktor emosi (Grant, 1972). Minasari (1999) menambahkan bahwa pada saat seseorang mengalami stres maka kecepatan sekresi saliva akan menurun. Pada penelitian ini, faktor emosi tidak dikendalikan, sehingga adanya gangguan seperti stres pada subjek kemungkinan dapat mengakibatkan berkurangnya volume saliva. Dengan demikian walaupun terdapat stimulasi mekanis dan stimulasi kimia dari kumur EGCG, Tabel III. Hasil Uji Mann-Whitney terhadap skor GI.

Sumber p (p < 0,05) I-II I-III I-IV II-III II-IV III-IV 0,754 0,009 0,347 0,009 0,172 0,009 Keterangan: I : Bahan kumur EGCG 0,01%

II : Bahan kumur EGCG 0,025% III : Bahan kumur EGCG 0,05% IV : Kontrol (Bactidol)

(6)

volume saliva tidak mengalami kenaikan yang berarti.

Hasil uji Kruskal-Wallis rerata kenaikan pH saliva (Tabel II), ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, yang berarti bahwa kumur EGCG tidak berpengaruh dalam menaikkan pH saliva. Hal ini dapat disebabkan karena pH saliva sangat dipengaruhi oleh sistem bikarbonat. Sistem bikarbonat sangat efektif dalam menetralisir asam dan berbanding lurus dengan kecepatan sekresi saliva (Amerongen, 1991). Hal ini mempunyai akibat bahwa pada kenaikan kecepatan sekresi, konsentrasi bikarbonat menjadi lebih tinggi sehingga pH saliva juga akan menjadi lebih tinggi. Pada penelitian ini kenaikan volume saliva antar kelompok perlakuan tidak terlihat berbeda bermakna yang akhirnya mengakibatkan kenaikan pH saliva antar kelompok perlakuan juga tidak berbeda bermakna.

Skor GI dalam penelitian ini ternyata mengalami penurunan setelah pemberian bahan kumur EGCG (Tabel I), ini kemungkinan disebabkan karena adanya efek mekanik dari gerakan berkumur. Dalam berkumur, seseorang akan menggerakkan otot pipi sehingga bahan kumur yang digunakan secara mekanis dapat melepaskan partikel-partikel debris yang banyak mengandung bakteri. Selain itu, dapat juga disebabkan karena adanya efek antibakteri yang dihasilkan oleh polifenol. Gingivitis merupakan radang pada gingiva yang disebabkan oleh bakteri plak (Hoag & Pawlak, 1990). Adanya efek antibakteri dari EGCG dapat menekan bakteri plak dan produk-produknya sehingga dapat menurunkan skor GI. Dari hasil ini dapat menunjukkan bahwa EGCG dapat digunakan sebagai bahan kumur untuk menurunkan skor

GI sehingga dapat menjadikan status gingivitis

menjadi lebih baik.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan yang bermakna dari penurunan status gingivitis antar kelompok perlakuan. Hal ini disimpulkan bahwa kumur EGCG semua konsentrasi (0,01%, 0,025% dan 0,05%) berpengaruh dalam menurunkan status gingivitis. Dari hasil uji Mann-Whitney ternyata EGCG 0,05% merupakan konsentrasi yang paling berpengaruh sedangkan

konsentrasi 0,01% dan 0,025% ternyata memiliki khasiat yang sama. Hal ini tidak sependapat dengan Sakanaka dkk. (1995) yang menyatakan bahwa konsentrasi polifenol minimum untuk menghambat plak berkisar antara 250-1000 µ/ml. Dalam polifenol terdapat Epigallocatechin gallate (EGCG) sebanyak 49% (Ho dkk., 1994). Jadi jika dikonversikan maka untuk daya hambat minimum terhadap plak setidaknya dibutuhkan bahan kumur EGCG 0,01%. Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa seharusnya konsentrasi 0,01% dan 0,025% mempunyai pengaruh yang cukup dalam mengurangi status gingivitis. Hanya saja dalam penelitian ini hal tersebut tidak terlihat. Kenyataan ini dapat dipengaruhi karena adanya faktor individu yang tidak dapat dikendalikan, seperti resistensi bakteri (Jawetz, 1986). Tidak terlalu berpengaruhnya konsentrasi 0,01% dan 0,025% dapat juga diakibatkan karena pada penelitian Sakanaka dkk. (1995) menggunakan ekstrak teh hijau secara keseluruhan yang mengandung polifenol lengkap, sedangkan dalam penelitian ini hanya menggunakan EGCG yang merupakan salah satu dari komposisi polifenol. Dengan tidak adanya komponen polifenol lain seperti EC, EGC maupun ECG, kemungkinan dapat mempengaruhi efek kerja dari EGCG dalam menghambat bakteri plak.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian ini. Ketaatan subjek dalam pemakaian bahan kumur dan daya tahan bahan kumur tidak menutup kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu dipengaruhi pula oleh pola makan sehari-hari dan kebiasaan dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut yang tidak dapat dikendalikan dalam penelitian ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : bahan kumur EGCG dapat berpengaruh terhadap kenaikan volume dan pH saliva serta penurunan skor GI. Bahan kumur yang paling efektif untuk pengobatan gingivitis dalam penelitian ini adalah EGCG konsentrasi 0,05%.

(7)

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah subek yang lebih besar sehingga pengaruh dari EGCG ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) terhadap status saliva dan status gingivitis dapat diketahui dengan lebih akurat agar akhirnya EGCG dapat digunakan sebagai obat kumur. Pengendalian faktor emosi seperti stres terhadap subyek perlu dilakukan pada penelitian selanjutnya agar pengaruh bahan kumur terhadap status saliva lebih jelas terlihat.

DAFTAR PUSTAKA

Amerongen, A.V.N., 1990, Ludah dan Kelenjar Ludah, Arti Bagi Kesehatan Gigi (terj.), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h:1-41, 157-193, 234-244.

Ariadna, A.D. dan Hani, S., 2000, Penelaahan Penggunaan Antimikroba Dan Antiseptik Pada Terapi Penyakit Periodontal., JKGUI, 7 (3): 20-25.

Cadha, M.K., Taneja, J.R. dan Vacher, B.R., 1978, Effect of An Antiseptic Mouthwash On Plaque Accumulation, J.Periodontol, 49 (5): 266-268.

Carranza, F.A., 1990, Glickman's Clinical Periodontology, 7th ed., W.B.Saunders Company, Philadephia, h: 100-110.

Edgar, W.M., 1976, The Role of Saliva in The Control of pH Changes in Human Dental Plaque, Caries Res., 10: 241-254.

Grant, D.A., Stern, I.B. dan Everett, F.G., 1972, Orban's Periodontics a Concept of Theory and Practice, The Mosby Company, Saint Louis, h: 99-105.

Haroen, E.R., 2002, Pengaruh Stimulus Pengunyahan dan Pengecapan Saliva Terhadap Kecepatan Aliran Dan pH Saliva, JKGUI. 9 (1): 29-34.

Hartoyo, A. 2003, Teh dan Khasiatnya Bagi Kesehatan, Kanisius, Yogyakarta, h:15-19.

Ho, C., Ferraro, T., Chen, Q., Rosen, R.T. dan Huang, M., 1994, Phytochemicals in Teas and Rosemary and Their Cancer-Preventive Properties, American Chemical Society, h: 2-19.

Hoag, P.M., dan Pawlak, E.A., 1990, Essential of Periodontics, 4th. ed., The Mosby Company, Philadelphia,h: 146-155.

Huis, 1984, Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan (terj.), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h: 58-104.

Jawetz, E., Melnik, J.L. dan Adelberg, E.A., 1986, Mikrobiologi Untuk Profesi Kedokteran edisi 16, EGC, Jakarta, h: 143-145.

Minasari, 1999, Peranan Saliva dalam Rongga Mulut, Majalah FKG USU, 4 (2): 33-39.

Naim, R., Teh Hijau Sebagai Pencegah Kanker ?, 2003, Oktober, Available from URL: http: // www.kompas.com / kesehatan / news / 0410 / 12 / 063446.htm.

Roukema, P.A., 1984, Ludah dalam Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan (terj.), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h: 104-121.

Sakanaka, S., Chen, X.F. dan Yamamoto, T., 1995, Anti-caries And Anti-Periodontal

Disease Effects Of Green Tea (Camellia sinensis) Polyphenols, Taiyo Kagaku Co., Yokkaichi Mie 510, Japan: 97-106.

Widodo, D.E., 1980, Peranan Kumur-kumur Dalam Perawatan Periodontal, Kumpulan Naskah Ceramah Ilmiah Kongres Nasional XIV PDGI, Jakarta, h: 140-144.

Gambar

Tabel II.Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap volume dan pH saliva serta skor GI setelah  kumur EGCG

Referensi

Dokumen terkait

Karena persamaan yang kedua dalam teorema di atas tidak ekivalen dengan persamaan yang pertama, maka penyelesaian dari persamaan yang kedua harus diisikan dalam

Sedangkan nilai keterampilan responden pada kelompok intervensi setelah diberikan penyuluhan didapatkan didapatkan nilai minimum sebesar 11, nilai maksimum sebesar

Algoritma Hebb-rule dan algoritma dapat digunakan pada pelatihan untuk menghasilkan bobot yang akan menentukan peranan dari masing-masing input variasi channel RGB

Hasil observasi oleh kolaborator kegiatan guru pada siklus 2 dengan kategori baik dengan skor 75% dari total skor 100%, atau 75% hal tersebut menunjukkan bahwa

Penelitian tindakanpun berlanjut pada siklus II untuk memperbaiki hasil belajar passing bawah bolavoli mini melalui media bola plastik pada siklus I, dimana

Oleh sebab itu berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dibahas, untuk memudahkan para penyandang difabel ketika melakukan kegiatan eliminasi dengan

Hasil penelitian menunjukan bahwa kapasitas lentur maksimum terbesar terjadi pada balok yang direndam dalam air dan kapasitas lentur maksimum terkecil terjadi pada balok