• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN TEORI 1. Konsep LKS (Lembar Kerja Siswa) Sebagai Sumber dan Media Pembelajaran.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 KAJIAN TEORI 1. Konsep LKS (Lembar Kerja Siswa) Sebagai Sumber dan Media Pembelajaran."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB 2 KAJIAN TEORI

1. Konsep LKS (Lembar Kerja Siswa) Sebagai Sumber dan Media Pembelajaran.

Menurut Soekamto (2010;47) Lembar Kerja Siswa merupakan lembaran-lembaran yang berisi pedoman bagi siswa untuk melakukan kegiatan agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai. Sedangkan menurut Akhyar dan Mustain LKS adalah materi ajar yang sudah dikenal sedemikian rupa sehingga siswa diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut (Lismawati, 2010: 38). Berdasarkan definisi dari para ahli tersebut dapat disimpulkan Lembar Kerja Siswa adalah lembaran-lembaran yang berisi materi ajar yang memiliki tujuan untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan menguasai materi.

Menurut Lismawati (2010: 39) menjelaskan adapun ciri-ciri LKS adalah sebagi berikut:

(1) LKS hanya terdiri dari beberapa halaman, tidak sapai seratus halaman. (2) LKS dicetak sebagai bahan ajar yang spesifik untuk dipergunakan oleh satuan tingkat pendidikan tertentu. (3) Di dalamnya terdiri uraian singkat tentang pokok bahasan secara umum, rangkuman pokok bahasan, puluhan soal-soal pilihan ganda dan soal-soal isian.

Walaupun Lembar Kerja Siswa digunakan sebagai media yang efektif dalam pembelajaran karena media yang sederhana dan dapat menjangkau semua kalangan pelajar. Setiap media pasti memiliki keunggulan dan kekurangan, untuk keunggulan dan kekurangan dari media pembelajaran Lembar Kerja Siswa (LKS) dalam (Lismawati, 2010;40) sebagai berikut:

1. Keunggulan media Lembar Kerja Siswa

a) Dari aspek penggunaan: merupakan media yang paling mudah. Dapat dipelajari di mana saja dan kapan saja tanpa harus menggunakan alat khusus

(2)

b) Dari aspek pengajaran: dibandingkan media pembelajaran jenis lain bisa dikatakan lebih unggul. Karena merupakan media yang canggih dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar tentang fakta dan mampu menggali prinsip-prinsip umum dan abstrak dengan menggu-nakan argumentasi yang realistis.

c) Dari aspek kualitas penyampaian pesan pembelajaran yaitu mampu memaparkan kata-kata, angka-angka, notasi musik, gambar dua dimensi, serta diagram dengan proses yang sangat cepat.

d) Dari aspek ekonomi: secara ekonomis lebih murah dibandingkan dengan media pembelajaran yang lainnya.

2. Kekurangan media Lembar Kerja Siswa

a) Tidak mampu mempresentasikan gerakan, pemaparan materi bersifat linear, tidak mampu mempresentasikan kejadian secara berurutan. b) Sulit memberikan bimbingan kepada pembacanya yang mengalami

kesulitan memahmi bagian-bagian tertentu.

c) Sulit memberikan umpan balik untuk pertanyaan yang diajukan yang memiliki banyak kemungkinan jawaban atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang kompleks dan mendalam.

d) Tidak mengakomodasi siswa dengan kemampuan baca terbatas karena media ini ditulis pada tingkat baca tertentu.

e) Memerlukan pengetahuan prasyarat agar siswa dapat memahami materi yang dijelaskan. Siswa yang tidak memenuhi asumsi pengetahuan prasyarat ini akan mengalami kesulitan dalam memahami.

f) Cenderung digunakan sebagai hafalan. Ada sebagaian guru yang menuntut siswanya untuk menghafal data, fakta dan angka.Tuntutan ini akan membatasi penggunaan hanya untuk alat menghafal.

g) Kadangkala memuat terlalu banyak terminologi dan istilah sehingga dapat menyebabkan beban kognitif yang besar kepada siswa.

(3)

h) Presentasi satu arah karena bahan ajar ini tidak interaktif sehingga cenderung digunakan dengan pasif, tanpa pemahaman yang memadai. Peran dan fungsi sumber belajar menjadi penting dalam proses pembelajaran. Tidak hanya berorientasi pada siswa tetapi juga berorientasi pada kemampuan guru dalam menggunakan sumber belajar dalam proses pebelajaran. Selain ketepatan memilih sumber belajar, guru juga dituntut untuk bisa mnegoperasionalkan dan mengembangkan sumber belajar agar pembelajaran menjadi efektif. Tujuan pembelajaran tercapai secara singkat dengan sumber daya yang sedikit dalam arti efektif dan efisien (Musfiqon, 2012:128).

Sumber belajar merupakan daya dan kekuatan yang diperlukan dalam rangka proses pembelajaran. Secara garis besar sumber belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Sumber belajar harus mampu memberikan kekuatan dalam proses pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal.

b. Sumber belajar harus mempunyai nilai-nilai intruksional edukatif, yaitu dapat mengubah dan membawa perubahan yang sempurna terhadap tingkah laku sesuai dengan tujuan yang ada.

c. Dengan adanya klarifikasi sumber belajar, maka sumber belajar yang dimanfaatkan mempunyai ciri-ciri; (1) tidak terorganisasi dan tidak sitematis baik dalam bentuk maupun isi, (2) tidak mempunyai tujuan pembelajaran yang eksplisit, (3) hanya dipergunakan untuk keadaan dan tujuan tertentu atau secara insidental, dan (4) dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan pembelajaran.

d. Sumber belajar yang dirancang mempunyai ciri-ciri yang spesifik sesuai dengan tersedianya media (Rohani, 1997:103-104)

e. Sumber belajar dapat dipergunakan secara sendiri-sendiri (terpisah), tetapi juga dapat dipergunakan secara kombinasi (gabungan)

f. Sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber belajar yang tinggal pakai atau jadi. Sumber belajar yang dirancang adalah sesuatu yang memang dari semula dirancang untuk keperluan belajar, sedangkan

(4)

sumber belajar yang tinggal pakai atau jadi adalah sesuatu yang pada mulanya tidak dimaksudkan untuk kepentingan belajar, tetapi kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan belajar (Soeharto, 2003:78).

Dengan demikian LKS merupakan sumber belajar bagi seorang siswa dalam proses pembelajaran. Siswa hanya menggunakan LKS sebagai satu-satunya sumber pembelajaran. LKS merupakan sebuah pedoman dan acuan bagi siswa dalam memperoleh ilmu dan materi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.

Selain sebagai sumber belajar, LKS juga merupakan sebuah media pembelajaran. Media pembelajaran didefinisikan sebagai media yang membawa pesan-pesan bertujuan instruksional pengajaran. Sebagai media yang membawa pesan-pesan yang berupa ide, gagasan, dan penemuan-penemuan, media memiliki andil yang cukup besar dalam mengajar dan mendidik peserta didik untuk menjadi manusia yang seutuhnya pengajaran (Azhar Arsyad, 2013: 4).

Pesan-pesan yang tersalurkan dari media pembelajaran ini dikonsep dan disusun sedemikian rupa oleh pihak sekolah sehingga pembelajaran yang berlangsung selalu memuat nilai-nilai pendidikan dan moral. Media pembelajaran yang diambil dari Munadi (2008:8) didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan dari sumber terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif”.

“Sebagai suatu komponen integral dari sistem pembelajaran” (Daryanto, 2010), media berada di posisi yang sentral dalam proses kegiatan belajar mengajar. Media menjadi sarana penyaluran ide dari sumber yang dikemas dalam kode-kode yang tersampaikan secara tersurat dan tersirat sehingga pesan tersebut bisa tersalurkan dan ditafsirkan dengan baik oleh peserta didik.

Sebagai sarana yang dipergunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran, media memiliki beberapa fungsi menurut Munadhi, diantaranya adalah a) sebagai sumber belajar, b) fungsi semantik, dan c) fungsi manipulatif (2008:36). Fungsi-fungsi tersebut dapat dijabarkan dengan:

(5)

Media pembelajaran memiliki perumpamaan sebagai “bahasanya guru” dimana media pembelajaran bisa dapat menggantikan fungsi guru untuk menyalurkan informasi dan pesan ke peserta didiknya.

b. fungsi semantik.

Media pembelajaran memiliki fungsi semantik dimana maksudnya media pembelajaran memiliki kemampuan menambah perbendaharaan kata yang makna atau maksudnya benar-benar dipahami anak didik. Jadi dalam proses kegiatan belajar mengajar, media pembelajaran adalah alat efektif bagi guru/ pengajar untuk menyederhanakan materi/ kata/ kalimat sehingga mudah dicerna dan dimengerti oleh peserta didik. Dalam bahasa Indonesia ditemukan kata-kata serapan dan padanan kata yang banyak sekali, dengan adanya media flash card misalnya, ini diharapkan peserta didik dapat menambah dan meningkatkan kosa kata dan perbendaharaan kata.

c. fungsi manipulatif.

Media pembelajaran memiliki dua kemampuan yang menjadi karakteristik umum, yakni mengatasi batas-batas ruang dan waktu dan mengatasi keterbatasan indrawi.

Prinsip-prinsip dalam menggunakan media pembelajaran menurut Sanjaya didasarkan dengan a) untuk mempermudah pembelajaran, b) disesuaikan tujuan pembelajaran, c) disesuaikan materi pelajaran, d) sesuai kemampuan guru (2012: 77). Kesemua prinsip tersebut dapat dijabarkan dengan:

1. Media digunakan untuk mempermudah pembelajaran. Dalam memanfaatkan media pembelajaran, guru tidak sembarang memilih media yang akan digunakan di kelas, akan tetapi berdasarkan kebutuhan peserta didik.

2. Media yang digunakan disesuaikan tujuan pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran bukan saja didasarkan untuk mempermudah pembelajaran, untuk mengisi waktu luang, namun harus bisa digunakan sebagai jembatan mencapai tujuan pembelajaran.

3. Media yang digunakan sesuai dengan materi pelajaran. Prinsip ini harus diutamakan oleh guru dalam mengisi pelajaran dikelas. Hal ini

(6)

dikarenakan materi pelajaran memiliki keunikan yang jelas berbeda dengan materi pelajaran yang lain. dengan memanfaatkan media pembelajaran, diharapkan media tersebut benar-benar menunjang pelajaran sehingga apa yang ingin disampaikan guru kepada peserta didik bisa tersalurkan.

4. Media yang digunakan harus sesuai dengan kemampuan guru mengoperasikannya. Pertimbangan ini sangat penting sebelum memutuskan memilih menggunakan media pembelajaran yang

digunakan. Dengan disesuaikan kemampuan guru dalam

mengoperasikan media pembelajaran, diharapkan pembelajaran akan menyenangkan dan tidak mengalami kendala berarti.

Menurut Kemp & Dayton keberadaan media pembelajaran memiliki dampak positif diantaranya a) pelajaran menjadi baku, b) pembelajaran lebih menarik, c) peran guru lebih positif (Azhar Arsyad, 2013: 27). Dampak positif dari keberadaan media pembelajaran tersebut dapat dijabarkan:

1. Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku. Maksudnya adalah pesan atau informasi yang disampaikan oleh guru kepada muridnya bisa bersifat objektif dan adil ke semua peserta didik. Hal itu bisa meminimalisir kecemburuan sosial mengenai ilmu pengetahuan dan informasi.

2. Pembelajaran bisa lebih menarik. Fungsi media pembelajaran yang demikian digunakan ketika peserta didik sedang mengalami kejenuhan dan stress diakibatkan padatnya mata pelajaran ataupun kesibukan yang sedang dilakukan peserta didik. Sifatnya yang lebih simpel dan menghibur walaupun tetap sesuai peraturan, menjadi kelebihan bagi media pembelajaran ini untuk dipakai dan digunakan. 3. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif, dimana guru

dapat bergantian peran dengan media pembelajaran sebagai penyampai penjelasan mengenai isi-isi pelajaran.

Posisi LKS dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) digunakan sebagai pedoman di dalam pembelajaran serta berisi tugas-tugas yang harus

(7)

dikerjakan oleh peserta didik (Ningtyas, 2013:31). Buku LKS banyak digunakan untuk salah satunya menyediakan sumber-sumber belajar mandiri, dan memberikan landasan yang tidak memihak bagi penilaian hasil kerja (Kochhar, 2008:198). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Permana (2008:2), bahwa:

“LKS bahkan digunakan sebagai satu-satunya alat dan sumber utama dalam evaluasi pembelajaran. LKS kemudian memuat soal-soal faktual yang jawabannya sudah ada di dalam lembar materi. Siswa hanya tinggal menyalin jawaban dan tentu saja tidak ada pedoman kegiatan yang melibatkan seluruh kemampuan siswa.”

LKS dapat dikatakan sebagai sumber pembelajaran karena LKS merupakan satu-satunya sumber belajar siswa dalam memperoleh ilmu dan materi pembelajaran (Mustiqon, 2012: 130). LKS dikatakan sebagai media pembelajaran karena LKS merupakan media pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan sebuah pesan atau materi yang ada di dalam LKS tersebut kepada siswa (Sadiman, 2005:6).

Maraknya penggunaan LKS dalam proses pembelajaran di kelas yang terjadi saat ini bertujuan untuk mengetahui pergeseran fungsi LKS oleh seorang guru. Hali ini juga disampaikan oleh Yuningsih Anggraeni dari Universitas Semarang tahun 2005/2006 dengan judul Analisis LKS Biologi Kelas VII Semester I yang Digunakan SMP Negeri di Kota Semarang Tahun Pelajaran 2005/2006. Pembahasan yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah pergeseran fungsi LKS oleh seorang guru. Sehingga dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian isi LKS dengan kurikulum, tingkat pengaktifan siswa pada isi LKS dan persentase jenjang soal latihan berdasarkan muatan kognitif, psikomotorik dan afektif. Kesimpulan bahwa LKS biologi SMP kelas VII semester 1 yang digunakan SMP Negeri di kota Semarang tahun pelajaran 2005/2006 memiliki tingkat kesesuaian dengan kurikulum 2004 cukup, memiliki tingkat pengaktifan siswa sedang pada kategori petunjuk kegiatan dan gambar, tetapi masih rendah pada kategori soal-soal latihannya, serta jenjang soal yang tidak proporsional. Adapun saran yang bisa diberikan yaitu, adanya perbaikan pada isi LKS, terutama yang menyangkut aspek pengaktifan siswa.

(8)

Hal serupa juga disampaikan oleh Ni Made Sastri Dwi Sari dari Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja tahun 2013 dengan judul Pantaskah LKS Konvensional Digunakan Sebagai Sumber Ajar ? : Analisis Kesesuaian Konten LKS Konvensional Fisika SMA di Kota Singaraja Terhadap Tujuan Pembelajaran Kurikulum. Tujuan diusulkannya PKM-P ini adalah untuk mendeskripsikan kesesuaian LKS Konvensional Fisika SMA di Kota Singaraja dengan tujuan pembelajaran fisika kurikulum 2013. Berbeda dengan buku paket, LKS sebagai salah satu sumber ajar dalam kurikulum 2013 tidak disediakan oleh pemerintah pusat. Guru diberikan wewenang untuk menyusun LKS secara mandiri (Indriyani, 2013). Kebijakan ini menimbulkan permasalahan bagi guru. Banyaknya administrasi yang harus dilengkapi guru dalam kurikulum 2013 menyebabkan kurangnya kesempatan bagi guru untuk menyusun LKS, sehingga kebanyakan guru memilih untuk menggunakan LKS konvensional secara langsung dapat dibeli di pasaran (Prastowo dalam Indriyani, 2013). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan LKS konvensional memiliki keterbatasan dalam meningkatkan kompetensi dan karakteristik siswa. Materi, pertanyaan-pertanyaan bimbingan dan tugas-tugas dalam LKS konvensional tidak sesuai dengan kebutuhan siswa dan tidak kontekstual (Prastowo dalam Indriyani, 2013), sehingga kurang meningkatkan kompetensi siswa yang seharusnya dapat ditingkatkan seoptimal mungkin. LKS konvensional tidak terstruktur dengan baik. Studi pendahuluan menyatakan bahwa LKS konvensional telah digunakan oleh sebagian besar SMA Negeri di Kota Singaraja dalam pembelajaran fisika.

Kedua penelitian tersebut menekankan pada bergesernya fungsi LKS serta layak dan tidaknya LKS konvensional digunakan oleh seorang guru mata pelajaran. Sedangkan pada penelitian ini menekankan pada maraknya penggunaan LKS sebagai satu-satunya sumber dan media pembelajaran.

2. Tindakan Rasionalitas Max Weber dalam Penggunaan LKS.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori tindakan rasionalitas Max Weber untuk menjawab permasalahan yang telah dipaparkan penulis dalam

(9)

rumusan masalah. Seorang guru tentunya sangat berperan aktif dalam pemilihan dan penggunakan LKS sebagai sumber dan media pembelajaran di kelas. Peran dari seorang guru dalam pemilihan dan penggunaan buku LKS tersebut pasti juga terdapat sebuah landasan, pertimbangan, serta tujuan dalam pemilihannya. Oleh karena itu, disini penulis menggunakan teori tindakan rasionalitas Max Weber untuk mengetahui atau menjawab alasan pemilihan buku LKS sebagai sumber dan media pembelajaran dari seorang guru serta dampak dari penggunaan buku LKS tersebut bagi seorang guru dan siswa dalam pembelajaran.

Setiap ahli teori yang mau mendasarkan analisisnya mengenai pola-pola institusional dalam masyarakat pada orientasi-orientasi subyektif individu atau pola-pola motivasional, akan menghadapi masalah yang bermacam-macam dan kompleks. Weber memilih konsep rasionalitas sebagai titik pusat perhatiannya yang utama. Karena kriteria rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti subyektif. (Lawang, 2004:207).

1. Tindakan sosial melalui pemahaman subyektif

Sosiologi merupakan suatu ilmu yang hadir secara bersamaan untuk memahami makna subyekyif manusia yang diatributkan pada tindakan-tindakannya dan sebab-sebab obyektif serta konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Perlu diingat bahwa makna juga merupakan suatu komponen kausal dari suatu tindakan. Definisi Weber yang terkenal tentang tindakan tersebut adalah sebagai berikut “suatu tindakan sosial itu merupakan suatu tindakan yang subyektif yang juga melingkupi tindakan yang lainnya” dan diorientaskan dalam bentuk tindakan sosial”. (Zeitlin, 1995:254).

Dalam Lawang (2004:214) disebutkan bahwa Weber sangat tertarik pada masalah-masalah sosiologis yang luas mengenai struktur sosial dan

(10)

kebudayaan, tetapi dia melihat bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari individu-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Dia mendefinisikan sosiologi sebagai :

“Suatu ilmu pengetahuan yang berusaha memperoleh pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan demikian bisa sampai ke suatu penjelasan kausal mengenai arah dan akibat-akibatnya. Dengan “tindakan” dimaksudkan semua perilaku manusia, apabila atau sepanjang individu yang bertindak itu memberikan arti subyektif kepada tindakan itu . . . . Tindakan itu disebut sosial karena arti subyektif tadi sehubungan dengannya oleh individu yang bertindak, . . . . memperhitungkan perilaku orang lain dan karena itu diarahkan ke tujuannya”. (Lawang, 2004:214) Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada pemahaman subyektif sebagai metoda untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial. Bagi Weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Introspeksi bisa memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan-tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbolik. (Lawang, 2004:216).

Istilah yang “subyektif”, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Weber, merupakan suatu hal yang penting. Sebab dengan cara ini akan membedakan secara tegas orang yang mengabaikan arti dalam mempelajari manusia dengan orang yang meyakini bahwa arti itu merupakan suatu yang obyektif dan mutlak. Menurut Weber demikian pula Scheler, etika, estetika, dan beberapa cabang budaya itu kebenaran dan kevaliditasannya tidak ditentukan oleh standar transidental metafisika. Subyektif itu merujuk kepada makna dari aktor-aktor itu sendiri yang memberikan atribut pada tindakan mereka dimana

(11)

ini mengartikan bahwa seorang sosiolog haruslah berusaha keras untuk memahaminya. (Zeitlin, 1995:255).

Tindakan sosial atau perilaku sosial (Soziales Handeln) ialah tindakan atau perilaku, dimana arti subyektif yang terlibat, berkaitan dengan pribadi orang lain atau dengan golongan lain. Ada dua makna, dimana arti tindakan dapat dianalisis; dianalisis dalam acuan kepada arti konkrit yang dimiliki oleh tindakan bagi tiap orang pelaku tertentu, ataupun dalam kaitan dengan suatu jenis ideal dari arti subyektif dari pihak seorang pelaku hipotesis. Tindakan sosial meliputi setiap jenis perilaku manusia, yang dengan penuh arti diorientasikan kepada perilaku orang-orang lain, yang telah lewat, yang sekarang, dan yang diharapkan di waktu yang akan datang. (Giddens, 1986:186)

Bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tipe-tipe tindakan sosial meliputi :

1. Rasionalitas Instrumental

Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Weber menjelaskan :

Tindakan diarahkan secara rasional kesuatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri apabila tujuan-tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja,

(12)

dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif. (Lawang, 2004:220).

Weber menyebut bentuk tindakan yang khas dari mentalis rasional dengan Zweckrationales Handeln, atau tindakan yang bertujuan rasional. Secara umum, hal ini di dasarkan suatu asumsi bahwa kondisi yang dimiliki oleh manusia itu akan dapat diramalkan cara-cara mereka bertindak. Model tindakan yang bersifat rasional juga mendorong kita untuk mengetahui tindakan yang tidak rasional, yang digambarkan sebagai suatu awal menuju pada tipe ideal tersebut. (Zeitlin, 1995:256).

Dalam perilaku rasional ini, sang aktor secara rasional menilai, menjajagi hasil-hasil yang mungkin dari suatu tindakan tertentu dalam kaitan perhitungan sarana ke arah sasaran. Dalam hal mendapatkan suatu tujuan tertentu, biasanya ada beberapa sarana alternatif untuk mencapai tujuan itu. Aktor yang menghadapi alternatif-alternatif itu, mempertimbangkan efektivitas relatif dari tiap sarana yang mungkin untuk mencapai tujuan itu dan mempertimbangkan pula akibat-akibat dari perolehan sarana itu bagi sasaran lain yang dipegang oleh yang bersangkutan.(Giddens, 1986;187)

Tindakan rasional bersifat instrumental adalah tindakan yang ditujukan pada pencapaian tujuan-tujuan yang secara rasional diperhitungkan dan diupayakan sendiri oleh aktor yang bersangkutan. (Bachtiar, 2010:257)

2. Rasionalitas yang Berorientasi Nilai

Dibandigkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting bahwa alat-alatya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir

(13)

bersifat nonrasional dalam hal ini dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Lebih lagi, komitmen terhadap nilai-nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan, efisiensi, dan sebagainya tidak relevan. Juga orang tidak memperhitungkannya (kalau niliai-nilai itu benar-benar bersifat absolut) dibandingkan dengan nilai-nilai alternatif. Individu memperhitungkan alat untuk mencapai nilai-nilai seperti itu, tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada. (Lawang, 2004,221).

Weber menyebut tindakan rasionalitas nilai ini dengan Wertrationales Handeln. Dalam tipe ini sang aktor memiliki suatu komitmen untuk menanggulangi tujuan akhir atau nilai-nilai. Pemahaman tindakan ini lebih mudah dan sangat mirip dengan puncak tujuan yang dimiliki oleh sang aktor. (Zeitlin, 1995:256)

Tindakan rasional nilai ini di arahkan kepada suatu ideal yang berada di atas segala-galanya, dan tidak memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan lain apa pun. Hal ini masih merupakan tindakan rasional, karena tindakan itu melibatkan adanya objektif-objektif yang logis, ke arah mana seorang aktor menyalurkan kegiatannya. (Giddens, 1986;187)

3. Tindakan Tradisional

Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non rasional. Kalau seseorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional. Individu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya. Apabila kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan dan institusi mereka diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai

(14)

kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Satu-satunya pembenaran yang perlu adalah, bahwa “inilah cara yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kami, dan demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya: ini adalah cara yang sudah begini dan akan selalu begini terus”. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningktnya rasionalitas instrumental. (Lawang, 2004;221).

Tipe dari tindakan ketiga ini yaitu suatu tindakan yang dapat dipahami dalam tema-tema makna subyektif dari aktor-aktor tersebut. Cara-caranya sangat khusus dan praktik. Praktiknya telah begitu melekat dan bersifat kebiasaan sehingga ia tidak diorientasikan seluruhnya kepada tindakan yang bermakna. Tipe ini meliputi beberapa tindakan yang tersusun dari suatu kesadaran diri yang bersifat kebiasaan sampai kepada quasi otomatis (otomatis yang semu) yang berulang-ulang. (Zeitlin, 1995:257)

Tindakan tradisional dilakukan di bawah pengaruh adat dan kebiasaan. Hal ini berkenaan dengan jumlah yang sangat banyak dilakukan sehari-hari, yang telah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang. Dalam jenis ini, arti tindakan itu berasal dari ideal-ideal atau perlambangan-perlambangan yang tidak mempunyai bentuk logis tertentu yang dimiliki oleh tindakan yang dilakukan dalam rasionalitas nilai. Sepanjang nilai-nilai tradisional menjadi dirasionalisasi, maka tindakan tradisionalnya bergabung dengan tindakan rasional nilai. (Giddens, 1986:188).

4. Tindakan Afektif

Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya

(15)

pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya. Lawang, 2004;221)

Tindakan afektif ini merupakan suatu sumbangan yang penting dalam memahami jenis dan kompleksitas manusia. Dalam memahami afektual ini, sebagaimana yang ada dalam rasionalitas, maka empati intuisi simpatik itu diperlukan. Empati seperti ini tidaklah terlalu sulit, jika kita sendiri lebih tanggap terhadap reaksi-reaksi emosional. (Zeitlin, 1995:257).

Tindakan kasih sayang adalah tindakan yang dilakukan di bawah goncangan sesuatu jenis keadaan perasaan, dan berada di garis batas perilaku yang mempunyai dan yang tidak mempunyai arti. (Giddens, 1986:187)

Akhirnya suatu pemfokusan terhadap makna subyektif aktor tidak harus dikontruksikan bahwa aktor tersebut selalu menyadari terhadap tujuan dan maksud tindakan mereka. Tipologi tindakan Weber dengan secara jelas mengizinkan adanya tingkatan kesadaran yang bisa dipertimbangkan dalam dikotomi sadar dan tidak sadar. Dalam memfokuskan makna tidak berarti mengabaikan suatu fakta bahwa aktor sering tidak memiliki tujuan terhadap

konsekuensi-konsekuensi tindakannya bahkan mereka tidak

menyadarinya.(Zeitlin, 1995:258).

3. Kerangka Berpikir

Sumber dan media pembelajaran merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran di kelas. Guru biasanya menggunakan LKS sebagai satu-satunya acuan dan panduan dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam pemilihan sumber dan media pembelajaran ini tentunya guru memiliki alasan dan pertimbangan. Dalam pembelian buku LKS, seorang guru mata pelajaran bekerja sama dengan penerbit untuk menghasilkan atau mencetak buku LKS tersebut. Maraknya penggunaan LKS dalam proses pembelajaran dianggap sebagai suatu tindakan rasionalitas dari seorang guru mata pelajaran. LKS sebagai sumber belajar yang

(16)

dianggap lebih lengkap dari segi materi dan soalnya dari pada buku paket dan lebih praktis serta tidak menyulitkan bagi guru dan siswa dalam memberi atau menerima materi pembelajaran.

Gambar Kerangka Berpikir.

Teori Rasionalitas

Maraknya Penggunaan LKS dalam Proses Pembelajaran

Dampak Penggunaan LKS bagi guru dan siswa

guru dan siswa Penggunaan LKS dalam

proses pembelajaran

Alasan guru menggunakan LKS dalam proses pembelajaran

Pembelajaran hanya bertumpu pada LKS

Anggapan LKS lebih lengkap dan praktis dibanding buku paket

1. Guru tidak inovatif dan malas membuat soal 2. Siswa menjadi tidak

(17)

Gambar

Gambar Kerangka Berpikir.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam proses kegiatan belajar mengajar, penggunaan media yang tepat dapat meningkatkan hasil belajar dan membuat proses belajar mengajar menjadi menarik dan menyenangkan,

Hasil belajar yang dicapai siswa menurut Sudjana (2010 : 56), melalui proses belajar mengajar yang optimal ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai berikut. 1) Kepuasan dan

Kegiatan belajar dan mengajar adalah tema sentral yang menjadi inti pelaksanaan pendidikan, karena kegiatan ini merupakan aktifitas riil yang di dalamnya

1. Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengum- pulkan informasi tentang kebutuhan belajar siswa yang dibutuhkan sebagai media belajar serta dapat menjadi sumber

1) Sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar media pembelajaran dapat mewujudkan situasi belajar yang efektif karena dengan adanya media pembelajaran materi yang

hal ini sependapat dengan Achsin (1986:17-18) menyatakan bahwa tujuan penggunaan media pengajaran adalah (1) agar proses belajar mengajar yang sedang berlangsung

Meskipun kedua indikator tersebut berada di posisi yang paling rendah namun berdasarkan klasifikasi hasil persentase skor motivasi belajar siswa dapat dikatakan

Siswa merupakan salah satu komponen yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Sebab siswa atau anak didiklah yang menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan