• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI PENGGUNAAN TRUE SEED SHALLOT (TSS) SEBAGAI SUMBER BENIH BAWANG MERAH DI INDONESIA ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI PENGGUNAAN TRUE SEED SHALLOT (TSS) SEBAGAI SUMBER BENIH BAWANG MERAH DI INDONESIA ABSTRAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PENGGUNAAN TRUE SEED SHALLOT (TSS) SEBAGAI SUMBER BENIH

BAWANG MERAH DI INDONESIA

Retno Pangestuti 1 dan Endang Sulistyaningsih 2

1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah

2

Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian UGM

ABSTRAK

Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) merupakan salah satu sayuran penting dengan berbagai manfaat. Pengembangannya di Indonesia mengalami masalah penurunan produktivitas dan kualitas. Hal ini salah satunya disebabkan kualitas benih yang rendah karena keterbatasan benih bermutu baik dari segi jumlah maupun harga. Penggunaan umbi sebagai sumber benih memiliki banyak kelemahan diantaranya produktivitas rendah dan cenderung menurun, butuh jumlah besar (1-1,5 ton/ha), biaya pengadaan mahal, rentan penyakit tular benih, terkendala dalam penyimpanan dan distribusi. Alternatif lain yaitu dengan menggunakan benih dari biji botani/true seed shallot (TSS). Dibanding penggunaan umbi sebagai bahan tanam TSS memiliki beberapa keunggulan, antara lain: produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan benih bentuk umbi, penggunaan benih untuk luasan per hektar lebih sedikit yaitu 3 - 7,5 kg/ha sehingga biaya produksi lebih rendah, bebas virus dan penyakit tular benih, proses distribusi benih lebih ringkas dan biaya angkut lebih murah serta bisa disimpan lebih lama. Penggunaan TSS sebagai sumber benih memiliki kelayakan dari segi teknis dan ekonomis untuk mendukung agribisnis bawang merah. Kendala utama pengembangannya adalah belum ditemukannya teknik produksi TSS skala komersial dalam jumlah besar dan belum tersosialisasikannya teknik budidaya dan keuntungan penggunaan TSS pada petani dengan baik.

Kata Kunci : bawang merah, benih, true seed shallots

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayur unggulan nasional yang telah lama diusahakan petani secara intensif. Komoditas ini termasuk dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap masakan. Selain sebagai bumbu utama masakan, bawang merah juga memiliki potensi dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti bawang goreng, tepung, irisan kering, irisan basah, oleoresin, minyak, pasta dan acar (Badan Litbang Deptan, 2005; Darmawidah et al., 2005; Ditjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian, 2006) dan sumber biofarmaka karena kandungan flovonoid, quercentin dan quercentin glikosida yang dapat digunakan untuk pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit seperti diabetes, kanker, jantung koroner, obesitas, hypercolesterolemia, hipertensi, katarak, gangguan pencernaan dan leukemia (Lanzotti, 2006; Merhi et al., 2008).

Hal ini akan menyebabkan kebutuhan bawang merah di masa mendatang akan terus meningkat sehingga harus diiringi dengan peningkatan produksi. Produksi bawang merah pada 2010 adalah 1.048.228 ton meningkat 8,6% dari produksi tahun 2009 sebesar 956.164 ton (BPS, 2011b). Namun peningkatan tersebut belum mencukupi kebutuhan bawang merah nasional sebesar 1.149.773 ton (BPS, 2010) sehingga masih dibutuhkan impor bawang merah sebesar 70,6 ton. Hal ini menunjukkan peningkatan kebutuhan bawang merah yang belum dapat diimbangi peningkatan produksi bawang merah dalam negeri. Selain itu impor yang besar disebabkan juga rendahnya kualitas bawang merah produksi dalam negeri sehingga sebagian konsumen lebih memilih bawang merah impor yang memiliki kualitas lebih baik.

Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam usaha peningkatan produksi bawang

(2)

merah adalah terbatasnya ketersediaan benih bawang merah bermutu pada saat dibutuhkan petani (Putrasamedja dan Permadi, 2001). Di Indonesia, budidaya bawang merah umumnya menggunakan umbi sebagai bahan tanam. Hal ini disebabkan penanaman dengan umbi dianggap lebih praktis dan mudah serta memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Namun pengunaan umbi sebenarnya memiliki banyak kelemahan terutama berkaitan dengan kualitas sebagai benih, penyediaan dan pengelolaan termasuk penyimpanan dan distribusinya. Penggunaan umbi dari varietas yang sama secara turun temurun juga menyebabkan kecilnya peluang perbaikan sifat/kualitas sehingga daya saing bawang merah Indonesia cenderung menurun.

Salah satu alternatif cara untuk mengatasi kekurangan bahan tanam untuk meningkatkan produksi dan kualitas bawang merah adalah dengan pengembangan bahan tanam bawang merah dari biji yang dikenal dengan nama TSS (True Seed Shallot). Arahan untuk menggunakan bahan tanam berupa TSS ini telah dimulai sejak tahun 1990 an namun hingga saat ini budidaya bawang merah dengan sumber benih TSS belum banyak berkembang. Tulisan ini bertujuan mengetahui potensi TSS sebagai sumber benih bawang merah di Indonesia serta kendala yang dihadapi dalam pengembangnnya.

SUMBER BENIH BAWANG MERAH

Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) pada dasarnya dapat dibudidayakan dengan dua jenis bahan tanam yaitu dengan cara vegetatif dan generatif. Cara vegetatif yang umum digunakan adalah dengan menggunakan umbi. Cara ini umum digunakan petani bawang merah di daerah tropis seperti Indonesia. Di Indonesia, bawang merah diusahakan petani secara intensif di 27 dari 33 propinsi dengan total luas panen pada tahun 2010 sebesar 109.468 ha dan total produksi 1,05 juta ton (BPS, 2011a). Total luas panen yang luas dan tersebarnya lokasi penanaman menyebabkan kendala dalam penyediaan umbi benih bermutu pada saat tanam antara lain karena :

1. Jumlah umbi benih yang dibutuhkan sangat besar, cenderung selalu kurang pada tiap daerah sentra. Sebagai contoh untuk tingkat daerah, di Jawa Timur untuk luas tanam 25,359 ha dibutuhkan 25,359 ton umbi benih (asumsi kebutuhan 1 ton/ha), namun umbi benih yang tersedia

hanya 10,31 ton (41%) dan terjadi kekurangan umbi benih 15,049 ton (Ismiyatiningsih & Sutardi, 2010). Penelitian Hanafi (2007) di Yogyakarta juga menunjukkan penangkar benih lokal di Kabupaten Bantul, sentra produksi Bawang Merah di DIY hanya mampu menyumbang pengadaan benih untuk kebutuhan sendiri sebanyak 30% dari hasil panennya. Secara nasional, jika per hektar rata-rata dibutuhkan 1, 5 ton umbi maka pada tahun 2010 dengan luas panen 109.468 ha dibutuhkan setidaknya 164.202 ton umbi benih, namun umbi benih yang tersedia hanya berkisar 40% (Badan Litbang Pertanian, 2005; BPS, 2011b). Kekurangan umbi benih dalam skala nasional ini selalu terjadi dari tahun ke tahun.

2. Biaya penyediaan umbi merupakan komponen biaya produksi yang besar.

Besarnya total umbi yang dibutuhkan sebagai sumber benih membuat total harga untuk penyediaan benih menjadi besar. Apabila harga umbi benih tiap kg rata-rata Rp 20.000 dan kebutuhan umbi per ha adalah 1-1,5 ton maka biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli umbi benih adalah Rp 20.000.000,00- Rp. 30.000.000,00. Menurut Nurmalinda et al. (1994) pengeluaran untuk pembelian benih merupakan proporsi terbesar dalam usaha tani bawang merah (32-41%). Semakin besar ukuran umbi yang digunakan maka akan semakin besar total umbi benih yang dibutuhkan dan semakin besar pula biaya benih yang dikeluarkan. Hal ini menyebabkan untuk jenis bawang merah yang menghasilkan umbi berdiameter besar sebenarnya tidak efektif menggunakan bahan tanam umbi yang juga besar (Sulisytaningsih, 2006). 3. Penyimpanan umbi membutuhkan

gudang/ tempat khusus karena jumlahnya yang besar dan adanya dormansi. Umbi mengalami masa dormansi selama 8 sampai 10 minggu (Sumanaratne and Palipane, 2004) dan membutuhkan penanganan khusus selama penyimpanan. 4. Umur peggunaan umbi benih singkat,

mutu akan menurun setelah 4 bulan dan rusak setelah 6 bulan.

5. Distribusi antar petani/ daerah sentra membutuhkan biaya besar karena massa

(3)

benih umbi yang besar.

6. Variasi mutu umbi benih tinggi, produktivitas rendah.

Petani umumya menggunakan benih yang berasal dari umbi konsumsi (Soetiarso et al., 1999, Putrasamedja, 1995; Sumarni et al., 2005). Menurut Putrasamedja dan Permadi (2001) benih dari umbi konsumsi yang biasa digunakan petani berkualitas rendah karena tidak dihasilkan dari proses seleksi, sehingga menyebabkan produktivitasnya rendah. Produsen benih bawang merah di sentra-sentra produksi biasanya adalah petani yang memiliki skala usaha relatif luas atau petani individual yang menyisihkan sebagian hasil panen untuk digunakan sebagai benih musim tanam berikutnya. Beragamnya pengetahuan serta teknologi perbenihan yang berkembang dalam sistem tersebut menyebabkan terjadinya variasi mutu benih yang tinggi. Sertifikasi benih umbi hampir tidak pernah dilakukan. Secara umum, variasi mutu benih/ bibit juga dapat mengarah pada pencapaian produktivitas yang cenderung di bawah potensi hasil.

7. Rentan penularan penyakit sistemik terutama virus.

Penggunaan umbi dari penanaman sebelumnya secara terus menerus menyebabkan penularan penyakit sistemik dapat terjadi melalui umbi benih yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Arisuryanti et al. (2009) di Yogyakarta dan Brebes menunjukkan bawang merah di Yogyakarta dan Brebes telah terinveksi Onion Yellow Drawrf Virus (OYDS) dan Leek Yellow Stripe Virus (LYSV). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil survai lapangan di Brebes yang dilakukan Sutarya et al. (1993) yang menunjukkan bahwa benih hasil produksi petani terinfeksi oleh virus OYDV dan campuran virus OYDV + SLV (Shallot Latent Virus) sebesar 29,75-75,5%. Adanya virus pada umbi bahan tanam ini, menurut Grubben (1994) dapat meyebabkan penurunan kualitas benih yang berpengaruh pada produksi. Menurut Sutarya et al. (1993) umbi yang dihasilkan oleh tanaman bawang yang terinfeksi virus OYDV, ukuran dan hasil umbinya dapat berkurang sampai 63%.

8. Tidak memungkinkan terjadinya perbaikan sifat karena sifat tanaman akan sama persis dengan induk/umbi sebelumnya. 9. Impor umbi benih membutuhkan biaya

yang tinggi.

Kurangnya umbi benih dapat diatasi dengan impor benih. Impor umbi benih selain untuk mengatasi kurangnya benih juga dilakukan sebagai akibat dari adanya permintaan konsumen dalam negeri terhadap bawang konsumsi kualitas impor (umbi besar dengan diameter 2,5-3 cm, bentuk bulat dan warna merah) yang meningkat tajam. Petani juga menyukai benih varietas impor karena selain kualitas produknya sesuai permintaan konsumen, daya hasilnya juga lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal (Basuki, 2010). Pada tahun 2010 tercatat impor umbi bawang merah yang diperuntukkan sebagai umbi benih sebesar 2,7 ribu ton dengan total biaya 1,2 juta $ (BPS 2011). Mahalnya harga umbi benih impor ini menjadi kendala bagi petani (Basuki, 2010).

Teknik lain yang dapat digunakan adalah cara generatif menggunakan biji karena bawang merah di daerah tropis bisa berbunga dan membentuk biji meski tidak di semua lokasi. True seed/ biji botani adalah bakal biji matang yang yang telah dibuahi, memiliki embrio, cadangan makanan dan lapisan pelindung (Kozlowski and Gunn, 1972 cit. Bhojwani and Bhatnagar, 1999). Biji berbentuk bulat, gepeng, berkerut dengan bentuk tidak beraturan dan memiliki lapisan pelindung berwarna hitam. Biji dihasilkan dari umbel bunga bawang merah yang telah masak (Gambar 1). True seed biasa digunakan petani dalam budidaya bawang merah di negara sub tropis. True Seed Shallots (TSS) telah lama menjadi benih komersial dan diproduksi oleh industri benih. Benih TSS yang baik akan menghasilkan umbi dengan produktivitas tinggi dan kualitas yang seragam.

POTENSI TRUE SEED SHALLOT (TSS) SEBAGAI SUMBER BENIH BAWANG

MERAH

Berbagai kendala dalam penggunaan umbi sebagai sumber benih bawang merah menjadi latar belakang diperlukannya bahan sumber benih lain selain umbi. Penggunaan biji (TSS) dapat menjadi alternatif yang menjanjikan. Penggunaan TSS sebagai

(4)

sumber benih memiliki beberapa keunggulan dibandingkan umbi, diantaranya :

A B

Gambar 1. Biji botani bawang merah / True seed shallot (A) dan bunga bawang merah yang mengandung biji (B)

1. Kebutuhan biji sedikit.

Penggunaan biji sebagai benih untuk luasan per ha hanya 3- 7,5 kg sedang umbi membutuhkan 1-1,5 ton/ha

2. Biaya penyediaan murah.

Dengan kebutuhan benih biji yang hanya 3-7,5 kg , maka biaya untuk penyediaan benih menjadi lebih murah. Jika rata-rata harga TSS per kg Rp 1.000.000,00 maka hanya dibutuhkan biaya Rp 3.000.000,00 – Rp 7.500.000,00 saja untuk pembelian benih atau dapat menghemat 62,5%- 80% biaya benih. 3. Penyimpanan benih lebih mudah

Tidak diperlukan bangunan/ruang yang besar untuk penyimpanan benih karena ukuran biji jauh lebih kecil dibandingkan umbi. Berat rata-rata 1000 biji berkisar 2-3 g (Rabinowitch & Currah, 2002), untuk varietas Katumi dan Sembrani yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman Sayur, ukuran biji sedikit lebih besar dengan berat 1000 biji masing-masing 3,6 g dan 3,8 g (BR PVT, 2008). 4. Umur simpan benih lama sehingga

fleksibel, dapat ditanam saat dibutuhkan.

Penyimpanan pada suhu dan kelembaban yang terjaga akan menjaga viabilitas benih dalam waktu lama. Penelitian Rao et al. (2006) pada biji bawang bombay menunjukkan penyimpanan dengan kantong alumunium dan penambahan silica gel pada suhu 25 °C dapat memelihara daya kecambah dan viabilitas biji lebih dari 1 tahun. 5. Mudah dan murah untuk didistribusikan.

Dengan pengemasan yang baik, kerusakan selama proses distribusi relatif sangat kecil

6. Variasi mutu benih rendah, produktivitas tinggi.

Benih TSS yang baik berasal dari induk homozygous atau galur murni sehingga variasi sifat/mutunya rendah (Sulistyaningsih, 2004). Hal ini menyebabkan bentuk dan ukuran umbi yang dihasilkan relatif lebih seragam dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan umbi. Penggunaan TSS sebagai bahan tanam dapat meningkatkan produktivitas bawang merah dengan kisaran 24- 34 ton/ ha tergantung varietas yang digunakan (Suwandi, 1995; Badan Litbang Deptan, 2001; van den Brink & Basuki, 2011). Hasil ini sangat tinggi jika dibandingkan produktivitas rata-rata bawang merah Indonesia tahun 2010 yang hanya 9,58 ton/ha. Pengujian yang dilakukan Balitsa bekerjasama dengan Wangeningen University pada tahun 2008 menunjukkan produktivitas bawang merah dapat ditingkatkan hingga dua kali lipat (36,2-42,5 ton/ha) dengan penggunaan biji (TSS) sebagai sumber benih dibandingkan umbi yang dihasilkan petani (17,1 ton/ha) dan umbi yang diimpor (23,2 ton/ha) (Tabel 1). Selain terjadi peningkatan hasil, persentasi jumlah umbi berukuran besar juga mengalami peningkatan. Jenis Tuk Tuk yang tidak membentuk agregat memiliki umbi berukuran >35 mm hingga 83% sedang varietas Sunren yang dapat membentuk agregat ukuran umbi berukuran > 25-35 mm mencapi 70% lebih tinggi 16% dibanding varietas Bima Curut dan 50% dibandig umbi impor Tanduyung (Van den Brink & Basuki, 2011).

(5)

Tabel 1. Masa tanam, hasil dan grading bawang merah dengan sumber benih TSS dan umbi

*: ha dengan 70% bedengan dan 30% parit

7. Jarang terkontaminasi virus dan penyakit sistemik/tular benih.

8. Memungkinkan dilakukannya perbaikan sifat melalui upaya-upaya pemuliaan. 9. Memberi keuntungan ekonomi yang lebih

tinggi pada petani

Penelitian Basuki (2009) menyatakan karena adanya peningkatan produktivitas, penggunaan benih TSS varietas Tuk Tuk dapat meningkatkan pendapatan bersih antara 60-70 juta rupiah per ha dibanding penggunaan benih umbi varietas Bima Curut yang dibeli di toko, antara 47-57 juta rupiah per ha dibending benih umbi varietas impor Tanduyung yang dibeli dari toko dan 22-32 juta rupiah per ha dibanding benih umbi varietas lokal Bima Curut yang berasal dari penyimpanan sendiri.

TEKNIK PEMBUATAN TRUE SEED SHALLOTS (TSS)

Banyaknya keuntungan yang diperoleh dari penggunaan TSS terutama yang berkaitan dengan produktivitas dapat diperoleh bila TSS yang dihasilkan bersifat homozigous atau mencapai galur murni. Suatu kultivar dikatakan merupakan galur murni jika berasal dari tanaman homozigot (murni secara genetik) yang dihasilkan dari persilangan inbred atau penyerbukan sendiri (selfing) secara terus menerus (Baenzinger et al., 2004). Tanaman bawang merah sendiri

bersifat heterozygous (Tashiro et al., 1982). Pada tanaman bawang merah yang bersifat heterozygous, biji-biji yang dihasilkan dari persilangan sendiri atau silang dalam kultivar yang sama akan mempunyai variasi sifat yang sangat tinggi dan apabila biji-biji tersebut ditanam akan didapatkan hasil umbi yang tidak seragam (Permadi, 1991). Untuk mendapatkan tanaman dengan galur murni dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1. Persilangan inbred/selfing secara terus menerus (6-7 generasi) untuk memisahkan variasi genetik menjadi galur individu yang dapat diseleksi. Kelemahan cara ini adalah waktu yang dibutuhkan cukup lama yaitu lebih dari 5 tahun (Sulistyaningsih, 2004). Kelebihannya, sifat yang dihasilkan tidak mudah berubah oleh faktor lingkungan.

2. Haploidisasi, yaitu dengan induksi tanaman haploid.

Haploid adalah individu yang tidak memiliki pasangan kromosom homolog karena hanya memiliki genom tunggal (Sulistyaningsih, 1997). Pada biji/benih haploid dapat dihasilkan dari kultur jaringan sel gamet (mikrospra, megaspora) yang terjadi di anther atau ovule bunga. Penggandaan (doubling) kromosom haploid menghasilkan tanaman yang homozigot. Dengan cara ini galur murni dapat diperoleh lebih cepat karena dapat dipilih genom dengan sifat-sifat spesifik tertentu yang diinginkan atau galur inbred. Siklus tunggal dari

Jenis Masa Tanam

(hari) Hasil dengan daun* (ton/ha) Grading (%) <25 mm 25-35 mm >35 mm TSS: Tuktuk 150 pl/m2 81 36.2 1 16 83 Sanren 150 pl/m2 75 42.5 17 70 13 Benih umbi: Tanduyung (impor) 56 23.2 80 20 0

Bima curut (petani) 57 17.1 36 56 8

(6)

haploidisasi dan penggandaan kromosom dapat memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan galur murni/homozigot dengan persilangan konvensional yang membutuhkan banyak generasi (Veilleux, 2004).

Induksi haploid pada tanaman bawang merah telah dilakukan dan dilaporkan oleh Sulistyaningsih et al. (1997, 2002) dengan kultur bunga secara in vitro menggunakan 2,4 D dan 6-BA masing-masing 2 mg/lt. Penggunaan kultur anther belum berhasil menghasilkan haploid yang diharapkan (Keller & Korzun,1996) . Tanaman bawang merah haploid memiliki serbuk sari (pollen) maupun ovum yang steril sehingga untuk dapat memanfaatkannya sebagai material perbaikan sifat tanaman bawang merah harus dilakukan penggandaan kromosom (double haploid) untuk memperbaiki fertilisasinya. Sulityaningsih et al. (1997) melaporkan bahwa tanaman bawang merah double haploid didapatkan dengan kultur meristem shoot (shoot tip) tanaman bawang merah haploid yang ditumbuhkan pada medium agar dengan perlakuan kolkhisin. Tanaman bawang merah double haploid tersebut memiliki fertilitas butir serbuk sari yang tinggi (72,4%) dan persentase ovule membentuk biji 4,16% (Sulistyaningsih, 2004) sehingga dapat diselfing (menyerbuk sendiri) untuk mendapatkan TSS secara lebih cepat. Kendala yang dihadapi dalah terjadinya open polination dan polen tanaman bawang merah bersifat lengket sehingga jumlah biji yang dihasilkan hanya sedikit Peningkatan efektifitas penyerbukan harus dibantu hand polination atau menggunakan lebah penyerbuk. Hasil tanaman double haploid ini dapat disilangkan dengan kultivar bawang merah lain atau spesies lain dari genus Allium (inbred) untuk menghasilkan F1 hybrid.

POTENSI TRUE SEED SHALLOT (TSS) SEBAGAI SUMBER BENIH BAWANG

MERAH DI INDONESIA.

Kelemahan dalam penggunaan umbi sebagai sumber benih bawang merah dan banyaknya keunggulan penggunaan TSS sebagai sumber benih membuat teknik ini merupakan alternatif pemecahan masalah perbenihan, peningkatan kuantitas dan kualitas yang sangat menjanjikan.

Tersebarnya daerah sentra serta luasnya wilayah pengembangan membuat penggunaan TSS sebagai sumber benih menjadi pilihan yang paling memungkinkan untuk distribusi antar daerah sentra yang selalu mengalami kekurangan benih. Biaya benih yang jauh lebih rendah serta tingginya produktivitas hasil bawang merah asal TSS juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Demikian juga kesulitan pengadaan benih akibat pergeseran musim tanam oleh perubahan iklim dapat diatasi dengan TSS yang memiliki fleksibilitas ketersediaan dan waktu penanaman.

Kendala terbesar pengembangan TSS di daerah tropis seperti di Indonesia adalah teknik produksi TSS relatif sulit jika dibandingkan produksi umbi benih. Hingga saat ini, TSS yang beredar secara komersial adalah benih TSS yang dihasilkan di luar negeri.

Kendala dalam produksi TSS yang sangat menojol adalah pembungaan yang tidak serempak dan sedikitnya biji yang terbentuk. Rendahnya persentase pembungaan disebabkan keadaan lingkungan iklim di Indonesia, terutama panjang hari yang pendek (<12 jam) dan rata-rata temperatur udara harian yang cukup tinggi (>18°C) tidak mendukung terjadinya inisiasi pembungaan (Sumiati, 1995) sedangkan bawang merah membutuhkan temperatur rendah (7-12 °C) dan fotoperiodesitas panjang (>12 jam) untuk keperluan inisiasi pembungaan (Brewster, 1994). Namun masalah tersebut dapat diatasi dengan aplikasi teknologi.

Penelitian secara simultan telah dilakukan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang sejak tahun 1990 an untuk mengatasi masalah ini. Ditemukan pemberian pelakuan temperatur rendah secara artifisial (vernalisasi) pada umbi bibit dengan suhu 10° C selama 4-5 minggu dapat meningkatkan pembungaan dan hasil TSS dengan hasil 4,5 kg/ha (Satjadipura, 1990; Putrasamedja, 1995a, Suwandi, 1995). Penelitian Sumarni dan Soetiarso (1998) di dataran medium Majalengka menunjukkan pembungaan dan produksi biji ini dapat ditingkatkan dengan pemilihan waktu tanam yang tepat yaitu pada musim kemarau (akhir Juni) dan penggunaan umbi bibit berukuran besar (>5 g). Pada kondisi ini dapat dihasilkan TSS 27,7 kg per ha.

(7)

yang memiliki kesesuaian agroklimat untuk pembungaan dan pembentukan biji. Daerah-daerah dataran tinggi dapat menjadi alternatif yang perlu dieksplorasi.

Pada dataran rendah, hasil pengamatan Sulistyaningsih (2006) di Bantul sebagai sentra bawang merah dataran rendah di DIY menunjukkan hampir semua varietas yang ditanam dapat berbunga dan menghasilkan biji apabila ditanam pada bulan Juli. Hal ini mengindikasikan, produksi TSS juga berpotensi dikembangkan di dataran rendah. Untuk industri TSS komersial, pengusaha atau penangkar benih dapat menggunakan bangunan/green house yang dimodifikasi agar kondisinya sesuai untuk pembungaan dan produksi biji, terutama suhu dan panjang penyinaran, sehingga produksi dapat dilakukan tanpa hambatan ketidaksesuaian lingkungan dan musim.

Pemerintah sebenarnya telah memberi arahan tentang penggunaan TSS sejak tahun 1990 dan sejak itu perhatian, penelitian dan program pengembangan terus dilakukan. Tahun 2001 benih TSS varietas Menteng dan Maja dengan potensi hasil 24 ton per ha telah ditawarkan untuk komersialisasi. Perakitan varietas bawang merah hibrida TSS juga dirintis di Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Putrasamedja (2005) melaporkan telah terseleksi 21 klon unggul untuk perakitan hibrida TSS dan telah dilakukan persilangan bawang merah untuk mendapatkan F1. Hingga saat ini varietas hibrida yang dihasilkan ini telah memasuki tahap uji multilokasi. Teknologi perbibitan, transplanting, pemupukan, jarak tanam serta kerapatan tanam untuk mendapatkan produksi bawang merah terbaik dari TSS telah dilakukan selama kurun waktu 2000- 2010 sehingga teknologi ini memiliki kelayakan teknis untuk dilakukan petani.

Sosialisasi penggunaan dan teknologi budidaya bawang merah dengan TSS telah dilakukan pada petani sejak tahun 2006. Pada pertemuan nasional Sinkronisasi Pelaksanaan Pembangunan Hortikutura tanggal 11-13 Maret 2008 di Solo telah dirumuskan dan disepakati bahwa penggunaan benih dari biji (TSS) akan disosialisasikan pada daerah-daerah sentra bawang merah sebagai alternatif cara mengatasi masalah kurangnya benih bermutu tepat waktu dan berdaya hasil tinggi (Bahar, 2008). Bantuan benih berupa biji telah diprogramkan, diantaranya bantuan 300 kg benih TSS varietas Tuk Tuk untuk

petani di Brebes, Jawa Tengah (Direktoral Jenderal Hortikultura, 2008). Kendala awal yang dihadapi adalah petani umumnya belum terbiasa dengan teknik persemaian benih dan waktu tanam yang lebih lama (19- 30 hari tergantung varietas) dan belum yakinnya petani pada keuntungan penggunaan teknologi ini. Telah dilakukan analisis bahwa kerepotan dan waktu tanam yang lebih lama ini dapat dikompensasi dengan tingkat keuntungan yang tinggi yaitu 60-70 juta rupiah per ha bila dibandingkan dengan benih umbi yang dibeli dari toko (hasil penangkaran benih) atau 22- 32 juta rupiah per ha jika dibandingkan menggunakan umbi benih yang disimpan sendiri (produksi sendiri) (Basuki, 2009). Tingkat keuntungan yang tinggi ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi petani untuk mengadopsi teknologi ini di masa mendatang.

KESIMPULAN

Pengembangan bawang merah di Indonesia mengalami masalah penurunan produktivitas dan kualitas sehingga memiliki daya saing yang rendah. Hal ini salah satunya disebabkan kualitas benih yang rendah karena keterbatasan benih bermutu baik dari segi jumlah maupun harga. Penggunaan umbi sebagai bahan tanam utama memiliki banyak kelemahan. Salah satu alternatif yang disarankan adalah dengan menggunakan benih dari biji botani/true seed shallot (TSS). Dibanding penggunaan umbi sebagai bahan tanam TSS memiliki beberapa keunggulan, antara lain: produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan benih bentuk umbi, penggunaan benih untuk luasan per hektar lebih sedikit yaitu 3 - 7,5 kg/ha sehingga biaya produksi lebih rendah, bebas virus dan penyakit tular benih, proses distribusi benih lebih ringkas dan biaya angkut lebih murah serta bisa disimpan lebih lama. Hasil pengujian menunjukkan penggunaan TSS sebagai sumber benih memiliki kelayakan dari segi teknis dan ekonomis. Kendala utama pengembangannya adalah belum ditemukannya teknik produksi TSS skala komersial dalam jumlah besar dan belum tersosialisasikannya teknik budidaya bawang merah dengan TSS pada petani.

DAFTAR PUSTAKA

Arisuryanti,T., B.S. Daryono dan S.Hartono. 2009. Pengembangan Metode Skrining Ketahanan Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Terhadap Virus

(8)

Menggunakan RT-PCR. Ringkasan Laporan Hibah Bersaing (Tahun Kedua) Universitas Gadjah Mada TA 2009. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3 hal.

Badan Litbang Deptan. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agrbisnis Bawang Merah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 37 hal.

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 629 hal.

Badan Pusat Statistik. 2011a. Produksi Sayuran di Indonesia. http://www.bps.go.id/tab_sub/

view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55 &notab=20. Diunduh tanggal

Badan Pusat Statistik. 2011b. Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah 2009-2010.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tab el=1&daftar=1&id_subyek=55& notab=14 Baenzinger, P.S., M. Erayman, H. Budak and

B.T. Champbell. 2004. Breeding Pure Line Cultivars. In. Encyclopedia of Plant and Crop Science. R.M. Goodman (ed). Marcel Dekker Inc. 196-201 p.

Basuki. R.S. 2009. Analisis kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah dengan benih biji botani dan benih umbi tradisional. J. Hort. 19(2) : 214-227 ___________. 2010. Sistem Pengadaan dan

distribusi benih bawang merah pada tingkat petani di Kabupaten Brebes. J. Hort. 20 (2) : 186-195.

Berita Resmi PVT. 2008. Pendaftaran Varietas Hasil Pemuliaan. http://ppvt.setjen. deptan.go.id/ ppvtnew/loket/file/berita/BR-PVHP-Balitsa-bw.merah.pdf

Bhojwani, S.S. and S.P. Bhatnagar. The Embriology of Angiosperms. Vikas Publishing House. New Delhi. 357 p. Brewster, J.L. 1994. Onion and other

vegetable allium. CAB International Cambridge. p 122-145.

Darmawidah, Dewayani, W. dan Cicu Purwani. 2005. Teknologi pengolahan bawang merah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian, Bogor 7-8 Sep 2005 Buku 1: proses dan pengolahan hasil/Munarso, J.;

Prabawati, S.; Abubakar; Setyadjit; Risfaheri; Kusnandar, F.; Suaib, F. (eds.) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Bogor: BB Litbang Pascapanen p. 628-636

Direktorat Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian. 2006. Road Map Pasca Panen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Bawang Merah. 17 hal. Grubben, G.J.H. 1994. Constraints for shallot,

garlic, and welsh onion in indonesia: a case study on the evolution of allium crops in the equatorial tropics. Abstract of Acta Hort. (ISHS) 358:333-340. http://www.actahort.org/books/358/358_55. htm

Hanafi, H. dan R. Hendrata. 2007. Prospek dan kebutuhan benih bawang merah dl lahan pesisir pantai selatan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi dan kelembagaan pertanian dalam upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat. Buku 2/Wardhani, N.K.; Mudjisihono, R.; Masyhudi, M.F.; Jamal, E.; Wirianata, H.; Suroso; Hartati, R.M.; Hermantoro; Sayekti, A.S.(eds.). Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Yogyakarta: BPTP Yogyakarta p. 607-610

Ismiyatinigsih dan Sutardi. 2010. Menghitung Laba Usaha Perbenihan Bawang Merah. Tabloid Swatani 3 September 2010. http://swatani.co.id/artikel/4/72/Menghitung -Laba-Usaha-Perbenihan-Bawang-Merah.html

Lanzotti, V. 2006. The analysis of onion and garlic. Abstract J. of Cromatogr Apr 21; 1112 (1-2) :3-22

Merhi, F., Auger J, Rendu, F and Bauvois B. 2008. Allium compounds, dipropyl and dimethyl thiosulfinates as antiproliferative and differentiating agents of human acute myeloid leukemia cell lines. Abstract Biologics. Dec 2(4):885-95.

Nurmalinda, A.Hidayat dan Suwandi. 1994. Analisis Biaya dan Pendapatan Bawang Merah pada Lahan Bekas Tanaman Tebu. Bul. Penel. Horti. 26 (2) : 65-71

Permadi, A.H. 1991. Penelitian pendahuluan variasi sifat-sifat bawang merah yang berasal dari biji. Bul. Penel.Hort. 20(40) : 120-131.

Putrasamedja, S. 1995. Pengaruh jarak tanam pada bawang merah (Allium ascalonicum

(9)

Bacher) berasal dari biji terhadap produksi. J. Hort. 5(1) : 76-80

Putrasamedja, S. dan A.H.Permadi. 2001. Varietas Bawang Merah Unggul Baru Kramat-1, Kramat-2, dan Kuning. J.Hort. 11(2):143-147.

Rao, R.G.S., P.M. Singh and M. Rai. 2006. Storability of onion seeds and effects of packaging and storage condition on viability and vigour. Sciencia Horticulturae 110 : 1-6.

Rosliani, R., N. Sumarni, dan Suwandi. 2002. Pengaruh Kerapatan Tanaman, Naungan, dan Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Produksi Umbi Bawang Merah Mini Asal Biji. J. Hort. 12(1):28-34.

Rosliani, R., Suwandi dan N. Sumarni. 2005. Pengaruh waktu tanam dan zat pengatur tumbuh mepiquat klorida terhadap pembungaan dan pembijian bawang merah (TSS). J. Hort. 15(3) : 192-198. Satjadipura, S. Pengaruh vernalisasi terhadap

pembungaan bawang merah. Bul.Penel. Hort. XVIII. (EK. No.2) : 61-70.

Soetiarso, T.A., Purwanto dan A. Hidayat. 1999. Identifikasi usahatani tumpanggilir bawang merah dan cabai merah guna menunjang pengendalian hama terpadi di Brebes. J Hort. 8(4) : 1312-1329.

Sulistyaningsih, E. 2004. Fertilitas tanaman bawang merah doubled haploid. J. Ilmu Pertanian. 11 (1) : 1-6.

Sulistyaningsih, E. 2006. Kajian awal potensi benih True Shallot Seed (TSS) untuk pemenuhan kebutuhan bahan tanam bawang merah di Bantul. Prosiding Seminar Penelitian Klaster Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 87-92.

Sulistyaningsih, E., K.I. Yamashita and Y. Tashiro. 2002. Haploid induction from F1 hybrids between CMS shallot with Allium galanthum cytoplasm and common onion by unpollinated flower culture. Euphytica 125: 139-144.

Sulistyaningsih, E., Y. Tashiro, M. Shigyo and S. Isshiki. 1997. Morphological and Cytological Characteristics of Haploid Shallot (Allium cepa L. Aggregatum group). Bull. Fac. Agr. Saga Univ. No 82 :7-15 Sumanaratne, J.P. and W.M.U. Palipane.

2002. Feasibility of small onion (Alliun cepa L. Aggregatum Group) cultivation from true

seeds. Annals of the Sri Lanka Departement of Agriculture. 4 : 39-46 Sumarni, N dan Soetiarso. 1998. Pengaruh

waktu tanam dan ukuran umbi bibit terhadap produksi dan biaya produksi. J. Hort. 8 (2) : 1085-1094.

Sumarni, N dan Sumiati, E. 2001. Pengaruh vernalisasi , giberelin, dan auxin terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah. J. Hort. 11(1):1-8.

Sumarni, N., E. Sumiati dan Suwandi. 2005. Pengaruh kerapatan tanaman dan aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap prosuksi umbi bibit bawang merah asal biji kultivar Bima. J. Hort. 15(3) : 208-214.

Sutarya, R., G. Van Vreden, E. Korlina, N. Gunaeni, dan A.S Duriat. 1993. Survei Virus Bawang Merah pada Beberapa Lokasi di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Bul. Penel. Hort. XXVI(1):97-104.

Veinlleux, R. E. 2004. Breeding Using Doubled Haploids. In. Encyclopedia of Plant and Crop Science. R.M. Goodman (ed). Marcel Dekker Inc. 207-210 p.

Gambar

Tabel 1. Masa tanam, hasil dan grading bawang merah dengan sumber benih TSS dan umbi

Referensi

Dokumen terkait

Mengawali sambutan ini, perkenankan kami, mewakili jajaran Dewan Pembina menyampaikan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa serta salam sejahtera untuk kita semua karena

Menurut Durianto, Sugiarto, dan Joko Budiman (2004; p.2) mendefinisikan merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi hal-hal tersebut untuk

[r]

Pemanggilan terhadap kreditur Menurut Pasal 168 a ayat (1), bila dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang ditawarkan telah

Oleh itu, perlaksanaan program dakwah merupakan suatu perkara yang diberikan perhatian oleh pihak Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) dalam usaha untuk memastikan

selain itu setelah peneliti melakukan obsevasi sebelum melakukan penelitian lebih lanjut bahwa mahasiswa yang mengikuti senam kecerdasan (anggota LP2SDM RTD) masih

Untuk mengatasi hal tersebut, dalam penelitian ini dibuatlah rancangan program aplikasi alat bantu pembelajaran IPA/Sains untuk SDLB bagian B khususnya materi sistem

Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa siswa tidak fokus dalam proses pembelajaran sehingga hasil evaluasi menunjukkan bahwa siswa kurang