• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP DINAMIKA SOSIAL DAN EKONOMI DI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA--PAPUA NEW GUINEA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP DINAMIKA SOSIAL DAN EKONOMI DI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA--PAPUA NEW GUINEA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP DINAMIKA

SOSIAL DAN EKONOMI DI KAWASAN PERBATASAN

INDONESIA--PAPUA NEW GUINEA

(Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua)

Andi Suriadi1, J. Kundjono2, Osnidar3 1 Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi FISIP-UI

Jl. Margonda raya no.1 Depok

2 Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat Jl. Sapta Taruna Raya no. 26, Pasar Jumat – Jakarta 3 Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat

Jl. Sapta Taruna Raya no. 26, Pasar Jumat – Jakarta

AbstrAct

Papua cross-road border infrastructure development in the border region of RI-PNG is basically expected to contribute in opening up isolated rural areas, thereby increasing social and economic conditions of society. The problem is how the role of the road towards the improvement of social and economic conditions that exist along the Papua cross-road border. Through qualitative research methods, revealed that the social side effects caused by road development is the changing pattern of increasing mobility, and increasingly good social relations among the indigenous tribes of Papua as well as with immigrants. Similarly, on the economic side, the construction of roads has resulted in increased public revenues due to the easy sale of crops and supply of basic necessities. However, it is not always a good road conditions. In the rainy season apparently have the opposite effect, inhibit social relationships occur, increasing transportation costs nearly three times, and increase 40-100% of the price of basic commodities.

Keywords: role of roads, papua tribes, immigrants, social dynamics, and economic dynamics

AbstrAk

Pembangunan infrastruktur jalan lintas Papua di kawasan perbatasan RI – PNG pada dasarnya diharapkan berperan untuk membuka isolasi daerah-daerah pedalaman sehingga dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana peran jalan terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di sepanjang jalan lintas Papua. Untuk itu, melalui metode penelitian kualitatif, terungkap bahwa dari sisi sosial dampak akibat pembangunan jalan adalah meningkatnya berubahnya pola mobilitas, serta semakin baiknya hubungan sosial antara sesama suku asli Papua maupun dengan suku pendatang. Demikian pula, dari sisi ekonomi, pembangunan jalan telah berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat akibat semakin mudahnya penjualan hasil bumi dan pasokan kebutuhan pokok. Namun demikian, tidak selamanya kondisi jalan baik. Pada musim hujan ternyata berdampak sebaliknya, yakni menghambat terjadi hubungan sosial dan meningkatnya biaya transportasi hampir 3 kali dan kenaikan harga kebutuhan pokok 40-100 %.

(2)

PENDAHULUAN

Jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Papua merupakan salah satu daerah cukup tertinggal. Ketertinggalan Papua sangat terkait dengan kurangnya dukungan prasarana dan sarana yang me-mungkinkan masyarakatnya melakukan aktivitas sos-ial dan ekonomi secara memadai. Sebenarnya, hal ini agak ironis karena Papua merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti tambang emas dan ha-sil hutan. Namun demikian, dalam realitasnya, mayori-tas penduduk Papua ternyata hidup dalam kemiskinan dengan kualitas hidup yang rendah di berbagai sektor kehidupan: kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

Hasil penelitian UNDP bersama akademisi dan LSM menyebutkan bahwa saat ini terdapat kesenjangan yang besar pada berbagai dimensi di Papua, yakni kes-enjangan antar-daerah dan komunitas; antara komuni-tas kota dan perdesaan/pedalaman; penduduk asli dan pendatang dalam hal akses pelayanan publik, sarana infrastruktur, dan fasilitas pembangunan lainnya (Trijo-no: 2006: 366). Bahkan, hasil perhitungan Indeks Pem-bangunan Manusia (IPM) tahun 2005-2006 oleh Badan Pusat Statistik, menunjukkan bahwa Provinsi Papua Barat menempati urutan ke-30 sedangkan Provinsi Papua meraih urutan terakhir yakni ke-33 dari seluruh provinsi di Republik Indonesia (BPS, 2007: 42-43).

Ketertinggalan tersebut juga sering dijustifikasi den-gan berbagai dalih oleh sejumlah pihak untuk mendis-kreditkan Papua. Pertama, kondisi geografis Papua sangatlah luas sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan pembangunan secara merata. Kedua, faktor kualitas sumber daya manusia yang masih rendah me-nyebabkan sulitnya penerapan berbagai jenis teknolo-gi. Ketiga, masih adanya ancaman keamanan dari or-ganisasi yang menginginkan Papua merdeka (OPM) sehingga menyulitkan melaksanakan pembangunan hingga ke pedalaman. Keempat, masyarakat suku asli Papua hidup secara menyebar dalam komunitas-ko-munitas kecil sehingga menyulitkan pelaksana pem-bangunan menjangkau secara keseluruhan dan seren-tak. Kelima, prasarana yang dibangun seringkali tidak ekonomis karena jumlah penduduk yang menikmati hasil pembangunan tidak sebanding dengan besarnya biaya yang dikeluarkan atau biaya yang harus dikelu-arkan tidak sebanding dengan keuntungan (manfaat) yang diperoleh.

Akan tetapi, saat ini dalih-dalih tersebut mulai me-lemah seiring dengan tumbuhnya kesadaran dan kem-auan (political will) terutama di kalangan pengambil kebijakan untuk membangun Papua sehingga dapat berdiri sejajar dengan daerah-daerah lainnya. Sejak

Otonomi Khusus Papua (berdasarkan UU Otsus No. 21 Tahun 2001) yang memberi perhatian khusus kepada pemberdayaan komunitas penduduk asli Papua dan pembentukan Provinsi Papua Barat (berdasarkan Kep-pres No. 1 Tahun 2003) untuk mempercepat rentang pelayanan publik kepada masyarakat.

Secara faktual, salah satu wujud keseriusan pemer-intah saat ini adalah adanya program (sebagian sudah dilaksanakan) membangun infrastruktur jaringan jalan di Papua untuk membuka isolasi dan memperlancar arus orang dan barang hingga ke pedalaman-pedal-aman. Berdasarkan data dari Ditjen Bina Marga, De-partemen Pekerjaan Umum, pembangunan beberapa ruas di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat telah dan akan dilaksanakan meliputi 11 ruas.

Di antara 11 ruas tersebut, salah satu di antara yang cukup menarik adalah pembangunan ruas Merauke – Waropko. Pertama, pembangunan ruas tersebut melintasi perbatasan negara Republik Indonesia (RI) -- Papua New Guinea (PNG) yang sangat rentan terhadap ancaman ketahanan dan pertanahan nasional. Kedua, terdapat beberapa suku (baik suku asli Papua maupun suku pendatang/transmigran) yang terlintasi oleh ruas jalan tersebut sehingga dari sisi dinamika kehidupan sosial dan ekonomi cukup kompleks, termasuk akses untuk suku di negara Papua New Guinea.

Pembangunan jalan ruas Merauke – Waropko di perbatasan Indonesia – Papua New Guinea yang men-jadi salah satu prioritas perlu mendapat perhatian kita semua. Bagaimanapun juga, jalan tersebut telah me-mainkan peran yang sangat strategis terutama bagi perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi ma-syarakat di sekitarnya.

Sebenarnya, penelitian kaitan infrastruktur jalan dengan aspek sosial dan ekonomi sudah pernah di-lakukan. Penelitian Direktorat Bina Teknik, Dep. Kim-praswil (2003) pernah meneliti tentang kaitan jalan dengan dampak soaial. Namun, penelitian tersebut lebih mengarah pada pemilihan variabel yakni demo-grafi masyarakat lokal, sosial budaya, sosial ekonomi, dan antisipasi dampak sosial yang dianggap signifikan sebagai dasar kriteria untuk menentukan seleksi priori-tas pembangunan jalan. Puslitbang Sebranmas (2005) melakukan penelitian tentang kajian sosial ekonomi masyarakat dalam pembangunan jalan lintas selatan Jawa. Namun, lebih banyak membahas tentang ke-bijakan serta respons pemda dan masyarakat terkait dengan pembangunan jalan lintas selatan Jawa. Se-mentara itu, kajian dampak pembangunan jalan ter-hadap daerah terisolasi telah dilakukan oleh Mashoed (2004), namun lebih terbatas pada pulau Jawa

(3)

(bu-dan ekonomi pada kawasan yang terisolasi, khususnya di daerah perbatasan antarnegara seperti di Papua New Guinea sejauh penelusuran literatur belum per-nah dilakukan. Penelitian terhadap masalah tersebut di perbatasan sangat penting karena kebijakan pemer-intah di masa lalu lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mendeskripsikan tentang: Bagaimana peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan Papua--Papua New Guinea?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menge-tahui dan memahami peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan Papua – Papua New Guinea. Secara khusus, dinamika sosial yang hendak diketahui dan dipahami meliputi hubungan sosial di antara sesama suku asli, antara suku asli dan pendatang, serta antara suku asli den-gan warga negara Papua New Guinea. Sedangkan dari sisi dinamika ekonomi adalah yang terkait dengan pe-menuhan kebutuhan pokok dan penjualan hasil-hasil bumi masyarakat.

Secara konseptual, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khu-susnya Pasal 5, disebutkan bahwa jalan memiliki be-berapa peran, yakni (a) sebagai prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, so-sial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan sebesar-besarnya un-tuk kemakmuran rakyat, (b) sebagai prasarana distri-busi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, dan (c) merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 tersebut, dapat dikatakan bahwa jalan sesungguhnya memainkan peran yang sangat vital bagi kelangsungan dan perkembangan berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial dan ekonomi.

Hubungan pembangunan jalan sebagai salah satu subsektor transportasi dengan dinamika sosial ekono-mi bukan hanya penting di daerah perkotaan, melain-kan juga di daerah perdesaan. Dinamika sosial ekono-mi yang dimaksud tersebut mencakup hubungan atau interaksi antarkelompok dengan berbagai motif dalam kehidupan sehari-hari mereka. Implikasi dari pola hubungan antarkelompok terutama ras (etnik) terse-but menurut Banton (dalam Sunarto, 2000: 152-153) dapat diikuti oleh proses akulturasi, dominasi, pater-nalisme, pluralisme, atau integrasi. Suparlan (2005: 31) menambahkan bahwa hubungan di antara warga yang berbeda sukubangsa yang terjalin sebagai hubungan saling menguntungkan, sebenarnya telah membuat

jembatan penghubung di atas batas-batas sukubangsa tersebut. Jembatan itu berupa hubungan pribadi seb-agai persahabatan, perkawinan, atau hubungan sosial, hubungan kerja/ekonomi, dan hubungan politik.

Menurut Mc. Kay, Reneche, dan Goshi (dalam Adis-asmita, 2005: 175) bahwa pembangunan jalan di perde-saan memberikan pengaruh pada biaya transportasi menjadi lebih rendah dan memudahkan pengiriman pupuk, insektisida, dan sarana produksi lainnya sampai pada tangan petani tepat pada waktu yang diperlukan. Oleh karena itu, perbaikan infrastruktur jalan dan digu-nakannya kendaraan bermotor memberi manfaat teru-tama pada produksi hasil-hasil pertanian yang semula daerah pemasarannya sempit atau terbatas yang dise-babkan ketidakmampuan sistem transportasi memind-ahkannya ke pasar yang lebih luas. Dengan perbaikan fasilitas, infrastruktur, serta aksesibilitas ke pasar dan biaya transportasi melalui penetapan harga kompeti-tif, maka pendapatan riil penduduk di perdesaan akan meningkat. Sebaliknya, jika tidak tersedia fasilitas me-madai, maka perusahaan angkutan dapat mempertah-ankan tarif angkutan pada tingkat yang tinggi sehingga produsen pertanian tidak dapat menjual hasil-hasil pertanian mereka dalam pasar yang kompetetif.

Secara empiris, studi Mashoed (2004: 148) di Wonosobo tentang pembangunan jalan terutama un-tuk membuka daerah terisolasi membuktikan adanya berbagai dampak positif akibat pembangunan jalan tersebut. Dampak positif yang ditimbulkan adalah me-ningkatnya mobilitas kendaraan; bertambahnya mo-bilitas orang dari desa-desa terisolasi; meningkatnya gairah masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang ada; serta meningkatnya kebutuhan kesadaran masyarakat akan pendidikan, penerangan, air bersih, dan sebagainya.

METODE PENELITIAN

Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah jalan lintas Papua di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Lokasi tersebut dipilih secara purposif dengan alasan (a) ja-lan lintas Papua merupakan jaja-lan yang mengikuti garis perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea sehingga dapat dilihat bagaimana kondisi jalan yang lo-kasi jauh dari pusat dan sejak dahulu jarang mendapat perhatian dan (b) ruas jalan lintas Papua merupakan salah satu urat nadi yang menghubungkan masyara-kat di perbatasan dalam menjalani kehidupan sosial dan ekonomi, baik terhadap masyarakat di ibukota Merauke maupun dengan masyarakat di Papua New Guinea. Adapun waktu pelaksanaan penelitian ini yak-ni pada tahun 2008.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Dipilihnya metode kuali-Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea

Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar

(4)

tatif karena melalui metode kualitatif, dapat dipelajari kualitas kehidupan sehari-hari, keadaan lingkungan sekitar masyarakat serta berusaha mengkonstruksi re-alitas dan memahami maknanya (Somantri, 2005: 58). Dengan demikian, fenomena peran jalan terhadap ke-hidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat perlu dipelajari, dikontruksi, dan dipahami makna dari reali-tas mencakupinya (Borgatta dan Marie, 1992: 1577) se-hingga dapat dipetik pelajaran dari peristiwa tersebut. Untuk memperoleh data, dilakukan empat teknik. Pertama, studi literatur dengan cara melakukan penel-usuran kepustakaan dan pencarian data sekunder lain-nya seperti hasil penelitian sebelumlain-nya, data lembaga yang berkompeten. Kedua, melakukan wawancara mendalam kepada pemda Merauke, masyarakat lokal (suku asli dan pendatang/transmigran) sebagai peng-guna jalan, dan pengusaha angkutan. Ketiga, melaku-kan observasi lapangan dengan menelusuri jalan lintas Papua dari Merauke hingga Muting (perbatasan Kab. Boven Digoel). Keempat, melakukan diskusi terkelom-pok terfokus (FGD) kepada para stakeholder (Pemda Kab. Merauke, tokoh masyarakat, dan pelaksana pem-bangunan jalan/SNVT).

Dalam menganalisis data, digunakan empat tahap (Neuman, 1997: 427). Pertama, tahap pemilahan (sor-tiring) terhadap data yang terkait dengan pembangu-nan jalan lintas Papua dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Merauke. Kedua, tahap klasifikasi (cat-egorizing) dengan melakukan tipologi tentang data mengenai pola hubungan sosial (penduduk asli dan

pendatang) serta distribusi barang (kebutuhan bahan pokok dan hasil bumi) masyarakat di sepanjang jalan lintas Papua. Ketiga, tahap komparasi dengan melaku-kan perbandingan antara data yang satu dengan yang lain (keadaan satu kampung dengan kampung yang lain dan hubungannya dengan jalan). Keempat, tahap sintesis (synthesizing) dengan melakukan penafsiran terhadap data peran jalan dan mengaitkannya dengan kerangka konseptual teori yang sudah dibangun sebel-umnya sehingga dapat dipahami fenomena peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi di kawasan per-batasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Pembangunan jalan Lintas Papua (sebagai jalan Na-sional) yang menghubungkan Merauke – Sota, Sota – Elikobel, serta Elikobel – Muting (dan Muting – Tanah Merah Kab. Boven Digoel) sepanjang 557 km. Namun, khusus yang masuk ke dalam wilayah Kab. Merauke ja-lan Nasional tersebut berjarak 271.000 km. Jaja-lan lintas Papua yang merupakan jalan nasional (jalan negara) tersebut juga didukung oleh jalan provinsi sepanjang 233.407 km dan jalan kabupaten sepanjang 1.026.438.

Akan tetapi, keadaan jalan di atas berdasarkan statusnya cukup beragam, baik dari segi jenis permu-kaannya maupun kondisi jalannya. Untuk jelasnya, ker-agaman keadaan jalan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1

(5)

Kondisi jalan tersebut secara umum digunakan oleh penduduk Kabupaten Merauke yang pada tahun 2007 berjumlah 175.389 jiwa. Luas wilayah Kabupaten Me-rauke adalah 45.071 km² dan kalau dikaitkan dengan jumlah penduduk, tingkat kepadatannya hanya menca-pai 3,7 per km². Jumlah tersebut terbagi ke dalam 20 Distrik (kecamatan). Namun, jika dilihat dalam lingkup yang lebih kecil, wilayah distrik yang terlintasi oleh Ja-lan Lintas Papua sebenarnya hanya lima: Distrik Me-rauke, Distrik Sota, Distrik Oligobel, Distrik Ulilin, dan Distrik Muting.

(Sumber: Bappeda Kab. Merauke, 2008 dan Puslitbang Sebranmas, 2008)

Gambar 1 : Wilayah Distrik yang Dilintas Jalan Lintas Papua di Kab. Merauke

(Sumber: BPS, Kab. Merauke, 2007) Grafik 2

Tingkat Pendidikan Penduduk di Kab. Merauke

(Sumber: BPS, Kab. Merauke, 2007) Grafik 1

Jumlah Penduduk Distrik yang Dilalui Jalan Lintas Papuadi Kab. Merauke

Jumlah penduduk dari kelima distrik tersebut berva-riasi dengan total 78.008 jiwa. Jumlah penduduk ter-besar berada di wilayah Distrik Merauke sekitar 80 %, Distrik Muting 6,4 %, Distrik Ulilin 5,2 %, Distrik Elikobel 5 %, dan Distrik Sota 2,8 %. Grafik berikut menunjuk-kan perbedaan jumlah penduduk pada kelima distrik yang dilintasi jalan lintas Papua.

Dalam hal pendidikan, tingkat pendidikan di Kabu-paten Merauke berdasarkan data tahun 2007 menun-jukkan bahwa proporsi terbesar masih di tingkat seko-lah dasar mencapai 57 % dan hanya 5 % yang saat

Rendahnya tingkat pendidikan di Kab. Merauke ter-kait dengan belum meratanya fasilitas sekolah di setiap kecamatan. Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, masih ada distrik yang belum memiliki sekolah seperti di Distrik Tamboji, Distrik Tubang, Distrik Ngguti, dan Distrik Kaptel. Terlebih-lebih lagi pada sekolah lanjutan atas, masih ada delapan distrik yang belum memiliki sekolah lanjutan atas, padahal jarak antara satu distrik dengan distrik lainnya sangat berjauhan, tetapi prasa-rana jalannya kurang baik dan saprasa-rana transportasi yang terbatas. Namun demikian, khusus pada distrik yang dilewati jalan Lintas Papua, paling tidak penduduk dapat mengakses jalan ini dengan lancar menuju seko-lah, seperti di Distrik Ulilin dapat mengakses jalan menuju sekolah di Distrik Muting atau Distrik Elikobel.

b. Dinamika Sosial di Perbatasan

Sejak dibangunnya jalan lintas Papua Merauke – Waropko, hubungan sosial di antara masyarakat yang berada di sekitar lokasi yang dilintasi jalan mengalami peningkatan. Hubungan sosial tersebut bukan hanya terjadi di antara suku-suku asli, melainkan juga terjadi antara suku asli dengan suku pendatang seperti para transmigran, pegawai, dan pedagang.

Hubungan Sosial di Antara Suku-suku Asli Papua

Sebenarnya, di Kabupaten Merauke terdapat be-berapa suku-suku besar dan subetnik, namun suku besar dan subetnik tersebut berasal dari satu etnik induk yang bernama Malind Anim. Etnik inilah yang kemudian menyebar dan membentuk sub-subetnik di sekitar wilayah Kabupaten Merauke. Silsilah dan sub-subetnik yang tersebar di Kabupaten Merauke dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

belajar di perguruan tinggi. Ini mengindikasikan bahwa secara umum pendidikan penduduk di Kab. Merauke relatif masih rendah.

Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono,

(6)

(Sumber: Pengelola Taman Nasional Wasur Merauke, 2008)

Bagan 1: Silsilah Suku Besar di Kabupaten Merauke

Gambar 2

Satuan Wilayah Etnik yang Dilalui Jalan Lintas Papua Khusus untuk wilayah yang dilalui oleh Jalan Lintas

Papua, dapat dilihat berdasarkan wilayah satuan sub-etnik. Gambar berikut memperlihatkan adanya

beber-apa satuan wilayah subetnik yang dilintasi pembangu-nan jalan lintas Papua.


 Suku
Bian
 Marind

 Suku
 Yei/
 Yeinan
 Suku
 Kanume
 Suku
 Marori
 Suku
Marind
 Pantai



(7)

Akan tetapi, jika ditelusuri jejak historisnya, sebe-lum dibangunnya jalan lintas Papua, hubungan sosial di antara suku-suku yang ada di wilayah Merauke bagian timur (di sekitar daerah perbatasan) dapat dikatakan masih sangat terbatas. Keterbatasan hubungan sosial tersebut terkait dengan sulitnya aksesibilitas untuk mencapai permukiman suku-suku yang ada di seki-tarnya yang letaknya berjauhan.

Indikator keterbatasan hubungan sosial digambar-kan oleh penduduk di daerah Sota (suku Kanum) bahwa ketika belum ada jalan, untuk mencapai wilayah kota Merauke ditempuh sekitar 2-3 hari jalan kaki. Hal yang sama juga dikatakan oleh warga di Kwel dan Erambu (suku Yeinan) bahwa satu-satunya prasarana untuk mencapai kota Merauke adalah melalui sungai. Untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok, masyarakat di Kwel dan Erambu harus menyusuri sungai Maro (Kali Maro) selama 1 hari hingga mencapai Merauke. Inten-sitas hubungan sosial di antara suku-suku yang masih terikat dalam satu ikatan suku besar sebelum adanya jalan berlangsung seperti biasa sesuai ukuran warga setempat, yakni mengunjungi sanak saudara pada saat ada peristiwa siklus kehidupan seperti pernikahan dan kematian.

Namun demikian, dengan adanya pembangunan jalan, hubungan sosial tersebut mengalami peningka-tan intensitas. Menurut warga di Sota, dengan adanya jalan yang menghubungkan Sota dan Merauke sebagai jalan utama, mereka sudah mudah melakukan kunjun-gan sosial denkunjun-gan kerabat dan sanak keluarga, baik di sekitar Sota (seperti Kampung Yanggandur) maupun Kampung di sekitar Taman Nasional Wasur (suku Ma-rori), bahkan hingga ke Merauke. Hubungan mereka juga bukan lagi hanya sekadar mengunjungi sanak ke-luarga, melainkan telah meningkat pada hubungan-hubungan perdagangan kendatipun sebagian masih bersifat subsisten.

Eksistensi jalan tersebut kemudian didukung oleh adanya fasilitas angkutan umum (Damri) yang setiap hari melayani Merauke – Sota semakin mempermudah warga melakukan mobilitas. Angkutan umum Damri tersebut melayani rute Merauke – Sota yakni (a) pukul 7.30 – 10.30 dan (b) pukul 11.00 – 14.00. Ketersedi-aan prasarana (jalan) dan sarana (angkutan transpor-tasi Damri) menyebabkan hubungan sosial di antara suku-suku yang ada menjadi semakin mudah. Saat ini, dengan mantapnya jalan khususnya Merauke – Sota, warga dapat mengakses jalan menuju kedua lokasi tersebut dengan biaya Rp 25.000,00 dan jika menggu-nakan ojek sepeda motor, biaya yang harus dikeluar-kan berlipat ganda, yakni mencapai Rp 100.000,00. Na-mun, bagi warga yang tidak mau mengeluarkan biaya transportasi, mereka umumnya menggunakan sepeda,

baik untuk jarak dekat (dalam Kampung) maupun jarak jauh (antarkampung).

Hubungan Sosial Suku Asli dengan Pendatang

Sejak adanya program transmigrasi terutama di daerah Muting, hubungan sosial antara suku asli dan pendatang sudah mulai intensif. Transmigran di dae-rah Muting merupakan bagian dari program transmi-grasi di kawasan perbatasan yang berjumlah 44.000 KK (yang mencakup wilayah Kab. Merauke dan Kab. Jayapura) (Sardjadidjaja, 2004: 37). Daerah Muting yang sejatinya termasuk dalam satuan wilayah adat suku Bian Marind dan Muyu, dengan adanya program transmigran menjadikan Muting menjadi bagian yang tak terpisahkan dari para transmigran yang berasal dari suku Jawa dan Sunda. Seiring dengan terbentuknya permukiman transmigran di Muting, hadir pula suku-suku lain yang menjadi pegawai seperti dari Toraja dan NTT serta pedagang dari suku Bugis.

Dengan adanya pembangunan dan peningkatan ja-lan, daerah Muting dan Ulilin yang sebelumnya relatif terisolasi menjadi semakin terbuka. Dampak dari ke-beradaan jalan lintas Papua juga dapat dicermati, sep-erti terjadinya heteogenitas suku dan bertambahnya jumlah penduduk secara signifikan.

Selain itu, kehadiran pembangunan jalan telah berdampak pada perubahan pola transportasi seba-gian besar suku asli Papua. Tradisi penggunaan sarana transportasi perahu yang dapat diakses melalui sun-gai-sungai seperti sungai Maro serta anak-anak sungai lainnya sudah mengalami perubahan. Perubahan dari moda transportasi sungai (perahu) ke penggunaan ja-lan (mobil) secara perlahan sudah mulai terjadi sejak adanya pembangunan jalan trans Papua melalui inter-aksi dengan pendatang.

Meningkatnya hubungan sosial dengan para pen-datang menyebabkan pola makan pokok yang sebel-umnya dari sagu, kini sebagian sudah mulai beralih ke beras (padi). Kehadiran para transmigran terutama di daerah transmigran Muting dan Kuprik telah memberi jaminan stock makanan pokok yang berasal dari be-ras bagi penduduk asli Papua. Suku asli di Papua juga sudah mulai beralih kendatipun tradisi berburu dan meramu belum sepenuhnya dapat ditinggalkan.

Sebaliknya, masyarakat pendatang senantiasa menghargai tradisi dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat suku asli Papua. Dalam kaitan den-gan pembukaan lahan (termasuk pembangunan jalan), misalnya, pendatang sudah mengetahui adanya lokasi-lokasi yang dianggap sakral oleh masyarakat asli dan tidak boleh diganggu, apalagi diokupasi. Keberadaan tempat-tempat sakral tersebut sangat terkait dengan sistem kepercayaan yang tumbuh dan hidup di alam Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono,

(8)

pikiran segenap suku asli Papua. Oleh karena itu, ke-tika pendatang hendak menggunakan tanah di wilayah sakral tersebut, mereka dapat memahami bahwa dae-rah tersebut harus dijaga. Jika perencana pembangu-nan (sebagian pendatang) hendak membangun jalan, maka trase jalan tersebut harus dibelokkan meng-hindari titik-titik yang disakralkan penduduk asli. Hal tersebut sangat terkait dengan sistem kepercayaan masyarakat asli (terutama suku Marind Anim) tentang konsep dema bahwa manusia adalah milik tanah; ta-nah adalah simbol dari seluruh alam. Oleh karena itu, hidup haruslah tertib sesuai hukum alam (Erari, 1999: 85).

Namun demikian, suku asli Papua juga menawarkan suatu model resolusi jika akan menggunakan sekitar daerah sakral tersebut. Syaratnya adalah memotong sekitar 3 babi yang disertai dengan prosesi adat den-gan tujuan agar roh tidak mengden-ganggu tempat terse-but, atau dalam ungkapan bahasa setempat, ”Sebagai syukuran kasih makan tanah.”

Hubungan Sosial dengan Warga Negara Papua New Guniea (PNG)

Suku-suku yang bermukim di Distrik Sota, Distrik Merauke, Distrik Ulilin, dan Distrik Muting sebena-rnya memiliki ikatan kekerabatan dengan suku-suku di wilayah perbatasan Negara Papua New Guinea (PNG), yang ditandai oleh adanya kesamaan bahasa, adat-isti-adat, dan mitologi. Ikatan kekerabatan tersebut terus

(Djohan dan Heri dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id). Dalam mitologi, disebutkan bahwa suku-suku yang ada di kawasan perbatasan pada dasarnya berasal dari satu keturunan. Hal ini dapat dilacak dari cerita rakyat se-tempat (folklor) yang menegaskan bahwa antara suku di Merauke Indonesia dan suku di Bensbach di PNG masih berasal dari satu keturunan.

Keberadaan pembangunan jalan lintas Papua pada dasarnya turut berpengaruh dalam mendukung hubungan sosial tersebut (kendatipun tidak terlalu besar karena suku-suku asli memang sudah berada di perbatasan dan tidak ada jalan utama yang

meng-hubungkan dengan PNG). Paling tidak, suku-suku yang ada di Kampung Rawa Biru, Kampung Yanggandur dan sekitar Taman nasional Wasur jika hendak menuju Dearah Weam dan Brensback (PNG) melalui Sota tentu melalui jalan lintas Papua.

Keberadaan pembangunan jalan lintas Papua pada dasarnya turut berpengaruh dalam mendukung hubungan sosial tersebut (kendatipun tidak terlalu besar karena suku-suku asli memang sudah berada di perbatasan dan tidak ada jalan utama yang meng-hubungkan dengan PNG). Paling tidak, suku-suku yang ada di Kampung Rawa Biru, Kampung Yanggandur dan sekitar Taman nasional Wasur jika hendak menuju Dearah Weam dan Brensback (PNG) melalui Sota tentu melalui jalan lintas Papua.

Hasil observasi empiris di perbatasan Sota, menun-(Sumber: Bappeda Kab. Merauke, 2008)

(9)

tradisi saling mengunjungi ketika ada acara (hajatan). Pada saat dilakukan penelitian lapangan, terdapat se-rombongan warga Merauke yang hendak menuju PNG dengan alasan menghadiri acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan PNG. Mereka semuanya menggunakan sepeda motor untuk melintas menuju PNG dengan membawa bekal seperti persediaan bahan bakar (ben-sin). Mereka juga membawa serta anggota keluarga (anak dan isteri) untuk menginap di rumah kerabatnya di PNG. Jalan yang dilalui untuk melintasi perbatasan hanyalah jalan setapak (jalan tanah).

Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Sota, bahwa sekitar tahun 1993 memang pernah terjadi semacam ”eksodus” ke PNG. Sebagian warga Sota

ter-paksa ke PNG karena adanya ancaman dari kelompok tertentu. Namun, dalam beberapa tahun kemudian mereka sudah ada yang kembali (sebagian juga be-lum pulang karena masih mendapat ancaman). Dalam konteks hubungan itulah sebagian mereka juga tetap saling berkomunikasi sebagai orang yang masih terikat hubungan darah.

Hubungan suku di Sota, Yanggandur, dan Erambu dengan suku di PNG juga terikat dalam kepemilikan tanah yang dikenal dengan dusun sagu (ladang sagu). Sebagai masyarakat pemburu dan peramu yang men-gandalkan makan pokok dari hasil berburu dan tana-man sagu, suku-suku tersebut sering mencari makanan melintasi batas-batas negara.

(Sumber: Bandiyono dkk, 2004)

Gambar 4

Peta Korespondensi Papua -- PNG

Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono,

Osnidar Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono,

(10)

Namun, dari sisi lain, untuk mengantisipasi pelin-tas illegal dan ancaman kelompok tertentu, TNI mendirikan sejumlah pos pertahanan untuk menjaga keamanan di sepanjang jalan lintas Papua. Menurut warga yang sering melintas, sejak dibangunnya pos pertahanan tersebut ancaman keamanan relatif sudah berkurang. Dengan terjaminnya keamanan di kawasan tersebut, ini berarti kesempatan melakukan hubungan sosial menjadi tidak terhalang lagi.

Akan tetapi, di balik eksistensi jalan lintas Papua

tersebut, kondisi jalan yang saat ini sudah mengalami banyak kerusakan telah menyebabkan adanya berb-agai hambatan. Kerusakan jalan banyak terjadi pada ruas Sota – Erambu – Ulilin – Muting. Kondisi jalan yang demikian telah menjadi hambatan bagi suku-suku yang ada di perbatasan (suku asli maupun pendatang) dalam melakukan hubungan sosial, termasuk aparat keamanan dalam melakukan patroli dan suplai logistik ke pos-pos pengamanan.

Tabel 2

(11)

c. Dinamika Ekonomi di Perbatasan

Pembangunan jalan lintas Papua (Merauke – Warop-ko), pada dasarnya untuk membangkitkan aktivitas ekonomi terutama di daerah-daerah yang terlintasi, bahkan hingga ke Kab. Boven Digoel. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke ta-hun 2006 daerah seperti Muting, Ulilin, dan Elikobel termasuk dalam Wilayah Pengembangan III (Kawasan Perkebunan Utara) dengan prioritas pengembangan perkebunan, peternakan, dan pertanian lahan kering (agropolitan) (Bappeda Kab. Merauke, 2007: V-17). Dengan demikian, jalan lintas Papua diharapkan dapat mendorong terjadinya kelancaran arus barang (teru-tama hasil bumi sektor pertanian) dari wilayah-wilayah yang dilintasi.

Secara empiris, keberadaan jalan lintas Papua ternyata memegang peranan penting dalam mendo-rong terjadinya dinamika ekonomi yang semakin in-tens, di sepanjang lokasi jalan lintas Papua. Dinamika tersebut secara tipologis, dapat dibagi ke dalam dua jenis kategori, yakni (a) distribusi pemenuhan kebutu-han pokok ke pedalaman dan (b) pemasaran hasil-hasil bumi dari pedalaman.

Distribusi Pemenuhan Kebutuhan Pokok ke Pedalaman

Sebagai daerah dengan masyarakat yang hidupnya cenderung mengelompok (enclave) dan lokasi yang berjauhan menyebabkan distribusi pemenuhan kebu-tuhan pokok dari pusat aktivitas ekonomi di Merauke

mengalami dinamika tersendiri. Dinamika tersebut sangat terkait dengan keadaan jalan lintas Papua yang terkait dengan musim (hujan atau kemarau). Jika musim kemarau, distribusi jalan lintas Papua dapat dikatakan lancar, namun menjadi masalah jika musim hujan tiba.

Distribusi barang kebutuhan pokok pada musim ke-marau seperti gula, bahan bakar, dan minyak goreng dapat terlaksana tanpa hambatan yang berarti (kecuali kalau ada jembatan yang rusak). Pada musim kemarau kendaraan seperti kijang, panther, avansa, xenia, dan APV dapat melintasi jalan lintas Papua hingga perba-tasan Boven Digoel. Demikian pula kendaraan seperti truck yang membawa barang kebutuhan pokok juga dapat sampai hingga perbatasan, bahkan ke Tanah Merah (ibukota Kab. Boven Digoel). Konsekuensi dari keadaan ini adalah semakin tumbuhnya peluang-pel-uang ekonomi baru seperti usaha warung. Data dari Bappeda Kab. Merauke yang terungkap pada saat FGD bahwa di Distrik Ulilin, sebelum tahun 2004 hanya ada 10 pedagang yang mengurus izin usaha, sampai 2008 ini telah ada 59 masyarakat mengurus izin perdagangan.

Menurut warga, jika musim kemarau tiba, berbagai jenis kebutuhan pokok dapat dengan mudah diperoleh. Harganya pun tidak semahal dibandingkan jika musim hujan. Warga mengungkapkan, selain kemudahan melakukan perjalanan, keuntungan lain pada musim kemarau adalah perbedaan harga yang lebih rendah. Berikut adalah perbandingan harga barang kebutuhan pada musim kemarau dan musim hujan.

Tabel 2

Dinamika Sosial di Kawasan Perbatasan

(Sumber: Diolah dari data lapangan di Muting, 2008)

Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono,

(12)

Data di atas menunjukkan bahwa perbedaan harga kebutuhan pokok pada saat musim kemarau (nor-mal) dengan musim hujan berkisar 40-100 %. Terlihat bahwa kebutuhan yang paling tinggi pada saat musim hujan adalah bensin yakni mencapai 100%. Tingginya harga bensin tersebut karena terbatasnya jumlah pe-masok (agen pertamina) dan borosnya pemakaian bensin ketika hujan.

Besarnya selisih harga pada musim hujan di atas, terkait dengan sulitnya menjangkau daerah-daerah pedalaman Papua, seperti biaya bahan bakar lebih banyak (sering terperosok dalam kubangan), ban cepat aus, dan onderdil mobil cepat rusak. Berikut adalah gambaran nyata kesulitan distribusi kebutuhan bahan pokok dari Merauke.

Pemasaran Hasil-hasil Bumi (Perkebunan dan Peternakan) dari Pedalaman

Seperti halnya pada pemenuhan kebutuhan pokok dari luar, pembangunan jalan juga sangat berperan ter-hadap pemasaran hasil-hasil bumi dari daerah pedala-man ke pusat-pusat perdagangan (Merauke dan Asiki Boven Digoel). Hasil identifikasi lapangan menunjuk-kan adanya dampak positif yang dirasamenunjuk-kan oleh ma-syarakat akibat adanya jalan lintas Papua.

Bagi masyarakat di sepanjang jalan lintas Papua dampak positif yang ditimbulkan adalah meningkatnya pendapatan. Para petani dan peladang dapat dengan mudah menjual hasil buminya dengan cepat. Berikut adalah daftar hasil bumi yang dijual keluar oleh warga di sepanjang jalan lintas Papua.

Sebaliknya, jika hujan terjadi, maka berbagai jenis hasil bumi tersebut tidak dapat laku dengan cepat sep-erti halnya ketika musim kemarau. Jika harus menjual keluar wilayah, maka warga mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk biaya angkutan. Sebagai contoh, masyarakat asli di Kampung Kweel harus mengeluar-kan biaya Rp 400.000,00 untuk biaya angkutan hasil bumi ke Merauke seperti pisang dan umbi-umbi, pada-hal jika musim kemarau umumnya hanya mengeluar-kan biaya sekitar Rp 150.000,00.

(Sumber: Observasi lapangan, 2008)

Tabel 4

Jenis Hasil Bumi (Perkebunan dan Peternakan)

(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2008)

Gambar 5

(13)

Hal yang sama dialami oleh warga di Muting. Ma-syarakat transmigran terpaksa harus mengeluarkan biaya transportasi ojek untuk menjual hasil bumi ke daerah Asiki (Kab. Boven Digoel) yang merupakan pas-ar yang terdekat. Jika dihitung antpas-ara hasil bumi yang dijual dengan biaya transportasi ojek ke pasar keuntun-gannya kecil sekali. Artinya, warga harus menjual hasil

bumi dalam jumlah besar, tetapi yang diperoleh hanya sedikit karena harus mengeluarkan biaya transportasi yang besar sekali. Berikut adalah komparasi antara ha-sil-hasil bumi yang dijual dan biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh seorang ibu yang merupakan transmigran asal Tasikmalaya Jawa Barat di pasar Asiki (kawasan perkebunan sawit).

Data di atas menunjukkan bahwa rusaknya jalan pada musim hujan ternyata berdampak pada rendahn-ya pendapatan rendahn-yang diperoleh warga (Rp 220.000,00). Warga yang hidup di pedalaman Papua terpaksa ha-rus menjual hasil bumi (cabe, kacang tanah, kelapa, dan ayam) dalam jumlah yang banyak, tetapi sisanya

hanya sedikit karena untuk biaya ojek yang mencapai Rp 800.000,00 (PP). Bila dibandingkan dengan saat musim kemarau, biaya transportasi hanya sekitar Rp 250.000,00 – Rp 300.000,00 (PP), maka sisa penjualan hasil bumi lebih tinggi sehingga dapat digunakan atau dibelanjakan untuk berbagai kebutuhan lainnya. (Sumber: Observasi lapangan, 2008)

(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2008)

Gambar 6

Kesulitan Menjual Hasil-hasil Bumi Akibat Rusaknya Jalan dan Jembatan

Tabel 5

Perbandingan Penjualan Hasil Bumi dan Biaya Transportasi Satu Kali ke Pasar Asiki pada Musim Hujan di Muting

Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono,

(14)

Dari data yang ada, peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi di kawasan perbatasan Merauke cu-kup kuat. Artinya, secara kualitatif terdapat hubungan yang cukup signifikan antara eksistensi jalan yang baik dan mantap terhadap semakin dinamisnya hubungan sosial dan ekonomi di kawasan perbatasan. Demikian pula sebaliknya, kondisi jalan yang rusak menyebabkan terhalangnya terbagai aktivitas sosial dan ekonomi ma-syarakat di perbatasan. Kondisi ini menunjukkan bah-wa amanat yang dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya Pasal 5 mengenai peran jalan mendapat validasi empiris di lapangan.

Dalam Pasal 5 tersebut dijelaskan bahwa jalan ber-peran (a) sebagai prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemak-muran rakyat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di bidang sosial (hubungan sosial sesama suku asli, dengan pendatang, dengan warga Papua New Guinea) menjadi semakin intens dengan tersedianya prasarana jalan.

bangsa, dan negara. Artinya, prasarana jalan senan-tiasa diarahkan sebagai jalur lalu lintas barang dan jasa sebagai urat nadi kehidupan masyarakat. Sebagai urat nadi kehidupan, jalan lintas Papua secara empiris me-mainkan peran sebagai urat nadi kehidupan bagi ma-syarakat di sekitar perbatasan, bahkan hingga ke Kab. Boven Digoel. Karena jika jalan lintas Papua terputus (jembatan rusak dan jalan berkubang lumpur), pasti akan memutus urat nadi peredaran barang dan jasa. Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, bahan bakar, dan kebutuhan lainnya yang umumnya dipasok dari Merauke tidak dapat sampai ke tujuan jika jalan tidak berfungsi secara maksimal. Sebaliknya, barang-barang hasil bumi seperti pisang, ubi, dan ke-lapa juga tidak bisa sampai ke pusat-pusat perdagan-gan di Merauke jika jalan rusak dan akan membusuk di tengah jalan jika hujan turun berturut-turut dalam beberapa hari.

Demikian pula pada butir terakhir ditegaskan bah-wa jalan (c) merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Jalan lintas Papua dapat dianalogi-kan sebagai tali yang melingkari wilayah perbatasan In-Tabel 6

Dinamika Ekonomi di Kawasan Perbatasan

(15)

baik dari satu daerah ke daerah lain. Artinya, untuk mengakses wilayah-wilayah di kawasan perbatasan di Merauke, tidak dapat dilakukan semudah mengakses wilayah-wilayah di belahan bagian Tengah dan bagian Barat Indonesia. Jika dilakukan perjalanan dari kota Merauke ke Tanah Merah (ibukota Kab. Boven Digoel) pada musim hujan, maka akan membutuhkan waktu sekitar 6--7 hari. Sesuatu yang tidak mungkin kita dapatkan di belahan bagian Tengah dan Barat Indone-sia antar ibukota kabupaten saja harus ditempuh seki-tar satu minggu (sebuah ironi), belum lagi biaya trans-portasi mobil yang harus dikeluarkan dapat mencapai Rp 750.000,00 per orang.

Kondisi di atas, jika dikaitkan konsep yang dike-mukakan oleh Mc. Kay, Reneche, dan Goshi (dalam Adisasmita, 2005: 175) bahwa pembangunan jalan di perdesaan memberikan pengaruh pada biaya trans-portasi menjadi lebih rendah, tampaknya memperoleh konfirmasi empiris di lapangan. Dengan adanya jalan lintas Papua, dalam pengertian kondisi baik (musim kemarau), dapat menekan biaya transportasi menjadi lebih rendah dibanding dengan pada saat musim hu-jan. Pembangunan jalan seperti yang dikemukakan di atas dapat dipahami juga dalam konteks perbaikan dan pemeliharaan jalan. Seandainya perbaikan dan pemeliharaan jalan senantiasa terus dilakukan dalam skala besar, maka tentu fluktuasi biaya transportasi berdasarkan musim (hujan dan kemarau) tidak akan terjadi secara drastis. Dengan demikian, apa yang di-katakan oleh Mc. Kay, Reneche, dan Goshi bahwa pe-rusahaan angkutan akan mempertahankan tarif yang tinggi, tidak mungkin terjadi. Sebaliknya, saat ini den-gan kondisi jalan dan jembatan yang rusak, maka selain biaya transportasi menjadi mahal, hasil-hasil pertanian penduduk seperti pisang, umbi-umbian, kelapa, dan sebagainya juga tidak mencapai harga yang maksimal.

Demikian pula konsep yang dikemukakan oleh Mashoed (2004: 148) bahwa pembangunan jalan ter-utama untuk membuka daerah terisolasi memberikan dampak positif seperti meningkatnya mobilitas pen-duduk terbukti di lapangan. Penpen-duduk yang berada di sepanjang jalan lintas Papua seperti Sota, Kweel, Erambu, Ulilin, dan Muting (baik suku asli maupun pendatang) sejak adanya jalan semakin memudahkan mereka melakukan hubungan sosial dan ekonomi den-gan daerah-daerah sekitarnya. Bahkan, seperti yang dikatakan Mashoed akan meningkatkan gairah menge-lola sumber daya alam juga terjadi. Jika sebelum adan-ya jalan umumnadan-ya suku asli hanadan-ya mengenal ekonomi subsistensi, sejak adanya jalan dan kehadiran transmi-gran kemudian juga berpengaruh pada pola pengelo-laan sumber daya alam yang orientasi pasar.

Pola hubungan yang diikuti oleh saling pengertian

dan akulturasi antara suku pendatang dan suku asli seperti penghormatan tempat-tempat sakral serta pe-rubahan ekonomi subsisten ke akumulasi modal, atau integrasi berupa perubahan pola konsumsi sebagian suku asli dari sagu menjadi beras menegaskan apa yang dikatakan oleh Banton (dalam Sunarto, 2000: 152-153) mendapat justifikasi empiris di lapangan. Demikian pula apa yang dikatakan oleh Suparlan (2005: 31) bahwa hubungan warga yang berbeda sukubangsa dapat menjadi jembatan bagi terjalinnya hubungan yang saling menguntungkan, baik dari sisi sosial mau-pun ekonomi terjadi akibat pengaruh keberadaan jalan lintas Papua di kawasan perbatasan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan data dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

(a) Peran pembangunan jalan lintas Papua ter-hadap dinamika sosial di kawasan perbatasan sangat kuat. Kuatnya peran jalan dapat diidentifikasi dari dimensi/indikator intensitas hubungan lebih tinggi, waktu tempuh singkat, jenis moda transportasi lebih bervariasi, heterogenitas sosial lebih tinggi, terjadinya akulturasi, terbentuknya integrasi, dan semakin muv dahnya melakukan mobilitas. Dampaknya adalah se-makin baiknya hubungan sosial di antara suku-suku asli (Bian Marind, Yei/Yeinan, Kanume, Marori, dan Marind Pantai); antara suku asli dan pendatang (Jawa, Sunda, Toraja, Flores, Maluku, dan Bugis); serta dengan warga negara Papua New Guinea (terutama di Brensback).

(b) Dari sisi dinamika ekonomi, peran pemban-gunan jalan lintas Papua telah mendorong lancarnya suplai bahan kebutuhan pokok (gula, minyak tanah, bensin, dan minyak goreng) ke daerah pedalaman ser-ta berkurangnya dispariser-tas harga. Demikian pula, hasil bumi (pertanian dan peternakan) yang dijual ke pu-sat-pusat pemasaran seperti Merauke dan Asiki (Kab. Boven Digoel) juga semakin lancar. Dampaknya adalah semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, baik suku asli maupun pendatang (transmigran).

(c) Rusaknya jalan lintas Papua terutama pada musim hujan menyebabkan dinamika hubungan sos-ial dan ekonomi menjadi terhambat. Hubungan sossos-ial terutama suku-suku yang lokasinya merupakan en-clave menjadi sangat terbatas. Kerusakan jalan juga telah berdampak pada meningkatnya harga kebutuhan pokok yang berasal dari luar yang mencapai 40-100%. Sebaliknya, harga hasil bumi (pisang, umbi, ketela, ka-cang tanah, cabe, dan kelapa) mengalami penurunan bila dibandingkan dengan biaya transportasi yang mel-onjak tajam hingga mencapai 3 kali lipat.

Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono,

(16)

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, dapat diajukan saran sebagai berikut:

(a) Saran akademik: perlu adanya penelitian lan-jutan yang bersifat kuantitatif untuk melihat besaran secara numerik peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi di kawasan perbatasan RI -- Papua New Guinea.

(b) Saran kebijakan: perlu adanya perhatian yang lebih serius dan koordinasi dari pemerintah pusat (me-lalui SNVT) dan pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah yang bersifat afirmatif (keberpihakan) untuk mengejar ketertinggalan Papua agar dapat berdiri sejajar dengan wilayah lainnya di Indonesia me-lalui pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya. Ke-beradaan suku-suku asli dan pendatang (transmigran) di pedalaman Papua yang secara perlahan mengalami akulturasi, integrasi, dan peningkatan kesejahteraan perlu difasilitasi dengan infrastruktur jalan yang man-tap agar mereka teman-tap merasa sebagai bagian dari neg-ara kesatuan RI kendatipun berada di jauh dari pusat pemerintahan.

Daftar Pustaka

Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Merauke. 2007. Buku Rencana Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke 2007-2027.

Badan Pusat Statistik. 2007. Indeks Pembangunan Ma-nusia 2005-2006. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bandiyono dkk. 2004. Mobilitas Penduduk di

Perba-tasan Papua-PNG: Sebuah Peluang dan Tantangan. Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Bina Teknik, Ditjen Prasara Wilayah, Dep. Kimpraswil.

2003. Analisa Dampak Sosial dalam Mendukung Pembangunan Jalan Lintas Selatan Kalimantan. Borgatta, Edgar F dan Marie L Borgatta. 1992.

Encyclo-pedia of Sociology. New York: Macmillan Publishing Company.

Djohan, Eniarti dan Herry Yogaswara, “Hubungan Sosial Budaya Penduduk Perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea: Kekerabatan, Ekonomi dan Mobilitas”. Prosiding Membangun Manusia Berkualitas di Ka-wasan Timur Indonesia: Menghadapi Era Globalisa-si. Dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/ searchkatalog/downloadDatabyId/1030/1030.pdf. Erari, Karel Phil. 1999. Tanah Kita, Hidup Kita:

Hubun-gan Manusia dan Tanah di Irian Jaya sebagai Per-soalan Teologis. Jakarta: Sinar Harapan.

Neuman, W. Laurence. 1997. Social Research Meth-ods: Qualitative and Quantitative Approaches. Bos-ton: Allyn & Bacon.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat, Balitbang, Departe-men Pekerjaan Umum. 2005. Kajian Sosial Ekonomi dan Peran Masyarakat dalam Pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa.

_______________. 2008. Kajian Sosial Ekonomi Ren-cana Pengembangan Jalan Lintas Papua.

Trijono, Lambang. 2006, “Otonomi Khusus dan Pem-bangunan Aras Lokal Papua”, dalam Analisis CSIS, Vol. 35 No. 4 Desember 2006.

Sardjadidjaja, Rukman. 2004. Transmigrasi: Pembau-ran dan Integrasi Nasional. Jakarta: Sinar Harapan. Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. Memahami Metode

Kualitatif. (Artikel) Makara Sosial Humaniora. Vol. 9 No. 2 Desember 2005.

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suparlan, Parsudi. 2005. Sukubangsa dan Huvbungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengemban-gan Kajian Ilmu Kepolisian.

Penulis:

1. Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi FISIP-UI

2. Mantan Kepala Bidang Penyiapan Norma Pedo-man Manual dan Diseminasi

3. Jabatan Fungsional PU, Bidang Tata Bangunan dan Perumahan

Gambar

Gambar  1 : Wilayah Distrik yang Dilintas Jalan  Lintas Papua di Kab. Merauke
Gambar 3 : Peta Tempat-tempat Sakral di Kab. Merauke

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor penghambat pencapaian efektivitas peran KPUD dalam penetapan calon anggota legislatif daerah, dimaksudkan adalah faktor-faktor yang diduga sebagai

Nilai tengah yang lebih baik dari kedua tetua nampak terlihat pada karakter tinggi tanaman, luas daun bendera, umur berbunga, jumlah floret hampa per malai, persentase

maldumat jadpal perjalanan ba s dan membuat penukaran maklumat. vi ) Kakitangan syarikat bas boleh rnemasuki sistem, mencapai maklu ma t dan mengemaskip\ ma klumat

Relation Database Management System (RDBMS) atau Sistem Manajemen Database Relation digunakan untuk menyimpan informasi dimana user dapat melihat dengan cara

Konteks ayat ini bila ayat ini dihubungkan dengan ayat 141 dalam surat yang sama adalah permusuhan antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir. Di tengah permusuhan keduanya

Citra Landsat multitemporal mampu digunakan sebagai sumber data dalam memperoleh informasi perubahan garis pantai, khususnya di pesisir Surabaya, Sidoarjo dan

Dengan demikian, apabila pemerintah daerah punya kesadaran bahwa di daerah tersebut masih ada dan hidup sekelompok masyarakat hukum adat dengan tatanan hukum adatnya

 Dari hasil pengukuran terlihat puncak yang selalu muncul pada setiap tegangan kerja dan puncak tersebut merupakan karakteristik dari detektor CdTe, yang merupakan hasil