• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Kebudayaan didefinisikan oleh Suparlan (1997: ) sebagai pedoman menyeluruh bagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Kebudayaan didefinisikan oleh Suparlan (1997: ) sebagai pedoman menyeluruh bagi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Teori Budaya

Kebudayaan didefinisikan oleh Suparlan (1997:102-103) sebagai pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Ia berkata:

kebudayaan adalah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Setiap orang sebagai anggota masyarakat adalah pendukung kebudayaan yang menggunakan model-model tatanan social masyarakatnya secara selektif, yang mereka rasakan paling cocok atau terbaik untuk dijadikan acuan bagi interpretasi yang penuh makna untuk mewujudkan tindakan-tindakan dalam menghadapi linkungannya dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang terkandung di dalamnya. Tindakan-tindakan dilakukan sesuai dengan dan berada dalam batas-batas pranata sosial yang cocok.

Manusia tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan, sebagai mana dikemukakan oleh Geertz (1992:529) bahwa kebudayaan sebagai perangkat mekanisme kontrol adalah rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, instruksi-instruksi untuk mengatur tingkah laku, bukan hanya dilihat sebagai adat- istiadat, tradisi-tradisi, dan kumpulan-kumpulan kebiasaan. Kebudayaan bersifat dinamis dan senantiasa perkembangan itu dilakukan untuk kemajuan masyarakatnya dalam menghadapi perubahan di lingkungan hidup, baik lingkungan fisik, alam, maupun sosialnya. Kebudayaan adalah suatu mekanisme kontrol yang terwujud dalam bentuk aturan dan resep yang menjadi nilai dan norma masyarakat dalam mengatur tingkah laku untuk mendorong terjadinya perubahan dan kemajuan kebudayaan. Hal ini dikarenakan kebudayaan terdiri atas perangkat-

(2)

perangkat yang menjadi sistem acuan atau model kognitif yang berlaku bagi berbagai tingkat pengetahuan, perasaan, dan kesadaran.

Kebudayaan sebagai suatu mekanisme kontrol yang terwujud dalam bentuk aturan-aturan dalam mengatur tingkah laku ini bersifat dinamis dan berkembang sejalan dengan kemajuan perkembangan di lingkungan masyarakatnya. Kehidupan masyarakat Jepang sampai pada masa sebelum Perang Dunia II semula adalah kehidupan petani dengan mata pencaharian pokok bertani. Masyarakat tradisional Jepang yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau adalah masyarakat nelayan dan petani. Mereka mengenal padi sejak dari permulaan zaman Yayoi (3 abad SM). Bagi petani di desa khususnya, beras bukan sekedar sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan rasa lapar, tapi juga merupakan salah satu makanan pokok.

2.2 Konsep Shinto

Shinto adalah kepercayaan tradisional atau kepercayaan asli masyarakat Jepang yang sering dikenal pula sebagai hati dari masyarakat Jepang. Sejak zaman dahulu Shinto telah menjadi bagian dari pandangan hidup orang Jepang.

Ono (1989:6) menjelaskan kata Shinto sebagai berikut:

Shinto terdiri atas dua huruf, yaitu shin yang bisa dibaca kami () dan to (道) yang bisa dibaca michi. Jadi Shinto berarti kami no michi atau jalan kami. Istilah kami sebenarnya merujuk pada penghormatan untuk jiwa yang mulia, suci, yang memiliki implikasi pada makna memuja, kebajikan, dan otoritas mereka.

(3)

一 般 いっぱん に『神道』といった場合、日本にほんみんぞく民 族などのこゆの神、 神 霊しんれいに もとづいての 信 念しんねんや伝的な祭り。としばかりでなく、広く生活 習 俗 しゅうぞく や伝承されている考え方などもその中に 含ふくまれる。

Secara umum Shinto adalah sebuah kata yang dipakai untuk mewakili kepercayaan terhadap dewa dan roh. Dan tidak hanya itu, secara luas ajaran Shinto juga menjadi pedoman bagi orang jepang dalam menjalankan kehidupannya.

Shinto sering dideskripsikan sebagai agama nasional Jepang berdasarkan cara hidup masyarakat Jepang yang menunjukan ketegasan religi Jepang. Kemunculan Shinto di Jepang menunjukan awal mula terbentuknya Jepang, baik pulau maupun masyarakatnya.

Karena itu Shinto adalah agama yang fokus terhadap keutuhan Jepang dan komunitasnya, juga dengan masyarakat Jepang dan keberadaannya di dunia. Shinto juga menggabungkan beberapa hal yang beragam, mulai dari yang berorientasi kepada kepercayaan tradisional hingga ke nasional dan politik (Reader, 1994:64-67).

Yamakage (1989) memberikan pengertian Shinto sebagai berikut:

かくのごとく、神道は(無 協 議むきょうぎ、無戒律むかいりつ、無 偶 像むぐうぞう)が立前である。 では、いかなる神聖物が神道にはあるのかということになるが、その 昔、神道の 聖 域せいいきには無かった。もちろん古代の神道は( 鏡かがみ)も無 く、 性 根しょうこんかざりぶつ飾 物 も無かったのである。(岩と樹木)があっただけ である。 Arti:

Shinto adalah suatu prinsip hidup yang bukan merupakan suatu agama, bukan juga firman tuhan, dan bukan pula penyembahan berhala. Lalu mengapa sebuah bangunan menjadi hal penting bagi Shinto, padahal pada zaman dahulu tidak

(4)

terdapat tempat suci kepercayaan Shinto. Shinto zaman dahuku tidak memakai cermin dan hiasan megah/agung untuk tempat pemujaannya. Mereka hanya menggunakan batu dan pohon.

Pandangan mengenai Shinto yang dikemukakan oleh Danandjaja pada buku yang berjudul Folklor Jepang, adalah sebagai berikut:

Walaupun mempunyai satu nama, agama Shinto merupakan gabungan kepercayaan primitive yang sukar untuk di golongkan sebagai suatu agama, namun bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan. Kepercayaan Shinto adalah berupa pemujaan terhadap leluhur, alam. Tuhan yang dipuja dalam kepercayaan Shinto disebut dengan kami (dewa). Menurut kepercayaan mereka, dewa dapat ditemukan dimana saja, seperti di pohon tua, air terjun, dan lain sebagainya (Danandjaja 1997: 164).

Tertulis pada What is Shinto? Dalam Japan Society (2007) Shinto adalah sebuah campuran yang kompleks antara ritual dan kepercayaan masyarakat setempat, pada dasarnya merupakan kepercayaan animisme yang percaya terhadap keberadaan dewa dan dewi dalam wujud tanaman, dan hewan yang keramat, serta berbagai benda yang tidak bernyawa sekalipun. Shinto juga mengenal beberapa warna yang dianggap sebagai keburuntungan seperti merah dan putih. Warna merah dianggap dapat mengusir roh jahat dan berbagai penyakit. Di Jepang, warna merah juga dianggap sebagai simbol dari kebaikan dan kejahatan, pertengahan antara surga dan neraka, kematian dan kehidupan, sehingga pada akhirnya dikatakan bahwa warna merah tidak hanya dikatakan sebagai simbol dari kejahatan dan penyakit saja melainkan juga simbol kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran. Sedangkan warna putih, merupakan simbol dari kesucian, sekaligus merupakan warna suci yang melambangkan para dewa ( Hibi, 2000:70)

Asal-usul Shinto terdapat dalam Nihonshiki dan Kojiki. Di dalam Nihonshiki dan Kojiki terdapat ulasan mengenai kepercayaan politheisme yang terkandung dalam aspek-aspek ajaran agama Shinto, seperti dewa yang merupakan pasangan suami istri Izanagi dan Izanami sebagai pembentuk pulau

(5)

Jepang. Dalam Nihonshiki dan Kojiki juga diceritakan mengenai asal-usul kekaisaran Jepang. Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan langsung dari para dewa.

Shinto menekankan hak, sensibilitas, dan sikap. Di dalam Shinto terdapat empatpenegasan atau penguatan (Greider, 2001), yaitu:

1. Tradisi dan keluarga : berhubungan dengan kelahiran dan pernikahan

2. Kecintaan akan alam : alam adalah suci, berhubungan dengan alam berarti berhubungan dengan hutan

3. Kebersihan fisik : mandi, mencuci tangan, membersihkan mulut

4. Matsuri : untuk pemujaan kepada para dewa dan roh leluhur

Perayaan musiman diadakan pada musim semi, musim panen, dan peringatan-peringatan khusus dari sejarah kuil atau pelindungan roh. Perayaan lain yang termasuk didalamnya adalah perayaan Tahun Baru atau shougatsu (正月) pada 1-3 Januari, Hinamatsuri (ひな祭り) pada 3 Maret,

Festival Bintang( 星祭り) pada 7 Juli, Onie no matsuri atau daijousai (大嘗祭) pada awal musim

gugur November.

2.2.1 Konsep Kami Dalam Ajaran Shinto

Dalam ajaran Shinto dikenal adanya kami atau dewa. Ishikawa (1989: 77) mengatakan bahwa terdapat banyak hipotesa mengenai asal-usul kata kami sejak zaman dahulu. Salah satunya adalah bahwa kami merupakan transformasi dari kata kakurimi yang memiliki arti sosok tersembunyi. Kata kami diambil dari suku kata pertama dan terakhir dari kata kakurimi.

(6)

Picken (1994: 94-121), menggolongkan kami menjadi dua bagian besar atau utama dimana di dalam dua bagian utama tersebut terdapat beberapa kelompok kami sebagai berikut:

1) Kami yang terdapat dalam mitologi Jepang adalah:

a) Amatsu-no-kami (dewa surga/langit) yang diketuai oleh Amaterasu no Omikami yang memiliki kuil di Ise.

b) Kunitsu-no-kami (dewa bumi) yang diketuai oleh Saruta Hito no Mikoto.

2) Kami yang tidak terdapat dalam mitologi Jepang adalah:

a) Kami yang berkaitan dengan fenomena alam. Yang termasuk dalam kategori ini adalah para dewa yang memiliki hubungan dengan kejadian-kejadian alam seperti adanya dewa api, angin, air, dan lain sebagainya.

b) Kami yang dikaitkan dengan sejarah personal. Berhubungan dengan orang-orang penting sepanjang sejarah yang kemudian namanya diabadikan dalam bentuk kuil. Contoh, Motoori jinja yang diperuntukan bagi Mootori Morinaga.

c) Kami yang berkaitan dengan asal politik. Dewa utama dalam kategori ini adalah Hachiman. Selainitu terdapat juga di dalamnya berbagai dewa yang melindungi negara Jepang.

d) Kami yang berhubungan dengan perdagangan, kemakmuran (ekonomi). Berkaitan dengan dewa-dewa pelindung pertanian. Yang paling terkenal adalah Inari (dewa yang berbentuk rubah). Selain itu terdapat juga Shici-fuku-jin (tujuh dewa keberuntungan) di dalam kategori ini.

(7)

Konsep dasar Shinto adalah kepercayaan terhadap kedewaan, maka di dalam Shinto juga terdapat dunia para dewa. Dewa-dewa yang berada di dunia, dewa tersebut adalah dewa-dewa yang dipuja oleh para pengikut Shinto. Menurut Honda (2006 : 148), beberapa di antara dewa-dewa Shinto tersebut adalah Shichifukujin (tujuh dewa keberuntungan), yang di dalamnya termasuk :

1. Ebisu (恵比須), yaitu dewa kemakmuran.

2. Daikokuten (大黒天), yaitu dewa kekayaan.

3. Benzaiten (弁財天), yaitu dewa kesusastraan, kesenian dan ilmu pengetahuan.

4. Bishamonten (毘沙門天), yaitu dewa keberuntungan.

5. Hotei (布袋), yaitu dewa kebahagiaan.

6. Fukurokuju (福禄寿), yaitu dewa umur panjang.

7. Jurojin (寿老人), yaitu dewa kebijaksanaan.

Menurut Picken (1994 : 120), Shichifukujin (tujuh dewa keberuntungan) berlayar dengan menggunakan kapal harta karun Takarabune. Di dalam kapal itu berisi topi yang membuat orang menjadi tidak kelihatan dan tas uang yang tidak akan pernah kosong.

Menurut Picken (1994 : 119- 120), dewa Ebisu adalah satu-satunya dewa dari ketujuh dewa yang ada dalam Shichifukujin yang berasal dari Jepang. Dewa Ebisu sangat populer sebagai dewa kemakmuran yang membawa berkat-berkatnya dari laut. Dalam Shinto, Ebisu sama dengan Kotoshironushi no mikoto. Ebisu pada umumnya digambarkan memegang alat pancing ikan atau kail di tangan kanannya dan membawa seekor ikan tai di tangan kirinya.

(8)

Menurut Picken (1994 : 120), Daikokuten adalah salah satu dari tiga dewa yang berasal dari India yang terdapat dalam Shichifukujin. Dalam Shinto, Daikokuten sama dengan Okuninushi no Mikoto. Daikokuten biasanya digambarkan bertubuh gemuk dan berwajah tersenyum. Dia digambarkan sedang berdiri atau duduk di atas dua karung beras dan memegang sebuah palu kayu ajaib pengabul di tangan kanannya dan membawa tas karung besar yang berisi harta yang digantungkan di pundak kirinya. Dewa Daikokuten merupakan dewa kekayaan.

2.2.2 Peralatan yang Digunakan dalam Shinto

Dalam setiap prosesi upacara yang sesuai dengan Shinto, terdapat berbagai peralatan yang dipergunakan, baik dalam ritual penyucian maupun dalam prosesi jalannya upacara. Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai peralatan yang biasanya digunakan dalam Shinto.

Dalam ritual penyucian, terdapat beberapa peralatan yang digunakan sebagai media penyucian. Dengan kata lain dengan mempergunakan peralatan tersebut secara simbolis tempat ataupun orang yang dianggap kotor atau tidak beruntung akan kembali menjadi suci dan bersih.

Menurut Picken ( 1994: 174), garam juga dipergunakan sebagai salah satu alat penyucian. Hal ini dikarenakan karena garam memiliki kekuatan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan air biasa. Garam juga dipergunakan sebagai persembahan dan diletakkan di altar Shinto bersamaan dengan air dan nasi. Selain garam Schumacher (2007) mengatakan bahwa api, air biasa, dan juga sake juga digunakan sebagai alat penyucian atau Oharai.

Ono ( 1992: 24-25) juga mengatakan bahwa peralatan lain yang dipergunakan dalam upacara Shinto adalah Haraigushi, spanduk, dan pedang. Haraigushi yaitu sebuah tongkat atau juga terkadang sebuah ranting pohon sasaki (cemara) yang disekelilingnya dipenuhi dengan kertas

(9)

panjang dan digunakan sebagai alat penyucian dalam Shinto, spanduk sebagai simbol kehadiran kami dan pedang yang berfungsi sebagai tanda kekuatan kami untuk memberikan keadilan dan kedamaian.

Menurut Ross ( 1989: 75) dalam ajaran Shinto terdapat benda-benda yang dianggap suci seperti pedang, kaca, dan perhiasan mutiara. Ketiga benda ini merupakan benda yang sangat penting bagi umat Shinto. Ross menjelaskan arti dari ketiga benda itu sebagai berikut:

The mirror reflects from it bright surface every object as it really is, irrespective or goodness or badness, beauty or the reverse. This is the very nature of the mirror, which faithfully symbolizes truthfulness, one of the cardinal virtues. The jewel signifies soft-hearted-ness and obedience, so that is becomes a symbol of benevolence. The sword represent the virtue of strong decision, i,e, wisdom. Without the combine strength of these three fundamental virtues, peace in the realm cannot be expected.

Cermin memantulkan atau mencerminkan dari permukaan terangnya setiap objek seperti bentuk objek itu sendiri, tanpa tergantung kebaikan atau keburukan, keindahan ataupun sebaliknya. Itu merupakan sifat dasar cermin yang dengan jujur menggambarkan keadaan yang sebenarnya, salah satu dari pokok kebaikan. Perhiasaan menandakan atau melambangkan kelembutan hati dan ketaatan ataupun kepatuhan, jadi perhiasan menjadi sebuah simbol atau lambang perbuatan baik atau kebajikan. Pedang menggambarkan kebaikan atau sifat baik keputusan yang kuat, yaitu kebijaksanaan. Tanpa gabungan atau kombinasi tiga kebaikan atau kebajikan dasar tersebut, kedamaian tidak akan terwujud.

Dalam peralatan upacara Shinto, terdapat juga alat musik yang turut serta sebagai pelengkap. Dalam suatu upacara atau perayaan terdapat acara pengisi sebelum acara utama. Biasanya acara pengisi tersebut berupa musik-musik tradisional, dan juga tarian-tarian. Acara ini disebut dengan gagaku. Peralatan musik yang dipergunakan adalah uchi-mono atau gong, sankan yang didalamnya terdapat tiga jenis alat musik tiup seperti fue (sejenis suling dengan enam lubang), sho (menyerupai angklung dengan jumlah tujuh belas tabung), dan hichikiri (sejenis suling dengan sembilang lubang) serta suzu atau rebana ( Picken, 1994: 183).

(10)

Turner (1989:3) mengungkapkan bahwa makna kata “ritual” berasal dari kata chidika, yang dalam bahasa Ndembu berarti “kewajiban”. Turner mengatakan:

“The Ndembu word for ritual is chidika, which also means a special engagement or an obligation. This is connected with the idea that one is under an obligation to venerate the ancestral shades.”

Menurut bahasa Ndembu makna kata “ritual” berasal dari kata chidika, yang mana sama artinya sama dengan obligasi. Ini berhubungan dengan ide-ide dimana salah satu dari obligasi untuk memuliakan arwah para leluhur.

Menurut Turner (1989:95), ritual merupakan kewajiban yang harus dilalui oleh seseorang dengan melakukan serangkaian kegiatan, yang menunjukkan suatu proses dengan tata cara tertentu. Seseorang atau kelompok yang menjalani ritual berada di dalam liminalitas, yaitu masa seseorang atau sekelompok menjalani suatu rangkaian kegiatan yang diperlukan dalam kehidupannya.

Rangkaian kegiatan ini dilakukan di suatu lingkungan yang bersifat umum dan terbuka sebagai sebuah peristiwa. Pada saat itu seseorang atau kelompok wajib menjalani ritual. Ia atau mereka diatur oleh aturan-aturan, tradisi, kaidah-kaidah, dan upacara yang berlaku selama peristiwa tersebut berlangsung. Liminial adalah sistem dalam proses ritual yang penyelenggaraannya bersifat terbuka, dan berada dalam struktur yang teroganisir secara teratur.

Sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pelakunya, ritual juga dihubungkan dengan kewajiban seseorang atau kelompok untuk menghormati dan memuliakan para leluhurnya. Ritual mempersiapkan seseorang atau kelompok memasuki tahap kehidupan sosial berikutnya yang belum pernah dialami. Dalam proses liminalitas, seseorang atau kelompok yang menjalani ritual dipisahkan dari kehidupan sehari-hari untuk sementara waktu dan bergabung dengan orang lain yang juga akan menjalani ritual. Liminalitas ini ditandai dengan adanya masa pemisahan, kebebasan, dan penyatuan di suatu lingkungan yang bersifat umum, yang terlepas dari lingkungan kehidupan

(11)

sehari-harinya, atau dari lingkungan induknya. Masa ini merupakan inisiasi, yaitu suatu proses ritual wajib dilalui oleh pelaku ritual.

2.4 Konsep Matsuri

Perayaan tahunan di Jepang dibagi menjadi dua bagian, yaitu matsuri (pesta rakyat) dan nenchuu gyouji (perayaan tahunan) yang juga sering disebut dengan Nenchu gyouji. Lawanda (2000: 55-58), mengatakan pengertian matsuri sebagai agama dan sosial menjadikan matsuri sumber dari dan untuk kehidupan masyarakat orang Jepang. Matsuri sendiri merupakan sistem kepercayaan keagamaan sekaligus merupakan ekspresi keyakinan keagamaan Jepang. Sebagai keyakinan, matsuri diselenggarakan dengan struktur-struktur yang terkait dengan dan ada di dalam matsuri yaitu Ie yang menjadi dasar dalam kehidupan sosial orang Jepang dan sumber hidup orang Jepang.

Matsuri ditetapkan atau disusun dan diselenggarakan oleh sekumpulan Ie yang meyakini dewa yang dipuja dalam setiap pelaksanaan matsuri. Pemujaan dewa oleh sekelompok Ie yang terintegrasi dalam dewa yang sama dipuja yaitu senso, untuk memperoleh berkah dari leluhur pendiri kelompok keturunannya. Dewa yang dipuja oleh suatu matsuri berpusat di kuil Shinto (jinja) dengan sekelompok Ie dibawah satu kepala Ie (honke) merupakan anggota jinja bersangkutan. Dalam Shinto seluruh kehidupan adalah kerukunan dan keserasian pemikiran dengan kami. Kehidupan sehari – hari dihormati sebagai pelayanan untuk kami yaitu sebagai dengan diadakannya matsuri, yang artinya lebih dalam dari pelayanan dan peribadatan. Matsuri dibuat besar – besaran dari yang sederhana hingga yang rumit. Setiap individu beribadat di depan altar dan persembahan pagi dan malam dilakukan oleh pendeta, ribuan orang bisa hadir dalam setiap matsuri.

(12)

Setelah membaca Nihon no matsuri karya Yanagita (1989: 43), pengertian matsuri yang diuraikan dalam karya tersebut berbeda dengan istilah matsuri dalam pengertian festival.

Kunio yanagita mengemukakan:

祭りは…..今で言うならば、「おそばにいる」である。奉仕と言って もよいか知らぬが、もっと具体的に言えば御様子をむかい、何でも 仰せごとがあれば昔、思召のままに勤仕しようと言う態度に他なら ぬ。ただ遠くなら敬意を表すると言うだけではないのであった。

Arti:

Istilah matsuri… sekarang ini berarti “berada di samping dewa”. Mungkin dengan istilah lain dapat dikatakan melayani dewa, tetapi sebagai wujud konkritnya matsuri adalah suatu sikap menyambut kehadiran dewa, dengan menyajikan segala sesajian yang ada dan menunjukkan sikap mengabdikan diri kepada dewa. Matsuri bukan berarti hanya menunjukkan penghormatan terhadap dewa dari kejauhan ( Yanagita, 1989: 43).

Menurut Ono (1998:51-52), ada empat unsur penting dalam matsuri:

a) Monoimi(Penyucian)

Monoimi adalah penyucian yang harus dilakukan ketika akan melaksanakan matsuri. Monoimi biasanya dilakukan oleh para Toya, yaitu pemimpin upacara ritual dalam matsuri itu sebagai orang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan matsuri. Monoimi diadakan dengan maksud untuk membersihkan diri dari dosa dan hal-hal yang bersifat kotor dalam diri manusia.

(13)

Monoimi terbagi atas tiga. Menurut Picken (1994 : 172) terdapat tiga bentuk cara penyucian, yaitu :

1) Harai

Harai merupakan penyucian yang dilakukan oleh pendeta dengan menggunakan harai-gushi (sebuah tongkat yang ditempelkan kertas putih yang berbentuk zig-zag). Harai-gushi tersebut dilambaikan pada tempat atau orang yang menginginkan penyucian.

2) Misogi

Misogi merupakan penyucian dengan menggunakan air. Misogi dapat dilakukan dengan cara mengambil air dengan tangan atau ember kecil atau dengan cara berdiri dibawah air terjun.

Schumacher (2007) juga mengatakan bahwa air digunakan sebagai salah satu bentuk penyucian. Hal ini dikarenakan bahwa air dianggap sebagai air mata dewa sehingga memiliki kekuatan yang besar untuk mengusir roh jahat. Api, garam, dan sake (arak beras khas Jepang) juga digunakan sebagai alat penyucian atau oharai. Dalam ritual upacara Shinto, pemercikan yang menggunakan air ini disebut dengan misogi.

3) Imi

Imi merupakan penyucian dengan cara menghindari kata-kata atau tindakan tertentu, seperti larangan penggunaan kata-kata “kiru” dan “deru” pada hari pernikahan.

b) Shinzen (Persembahan Sesajian)

Shinzen adalah sesajian yang diadakan untuk persembahan kepada dewa. Sesajian yang paling umum adalah kue mochi, arak (sake), ganggang laut, sayur-sayuran, buah-buahan, serta bunga-bunga petik. Menurut Picken (1994 : 183), ada empat jenis persembahan pada umumnya yakni :

(14)

1. Uang

Persembahan uang biasanya dilakukan dengan melempar koin ke dalam kotak persembahan di depan dekat altar atau dengan menyumbangkan dana untuk kepentingan kuil.

2. Makanan dan Minuman

Persembahan makanan berupa makanan yang belum dimasak maupun yang sudah dimasak. Persembahan ini berupa makanan kesukaan dari kami yang dihormati sebagai orang yang bersejarah.

3. Barang

Berbagai macam benda yang hebat termasuk ke dalam persembahan ini, seperti kertas zaman dulu, kain sutra atau katun, senjata, bahkan alat pertanian. Di beberapa kuil terdapat pula persembahan berupa hewan.

4. Kegiatan simbolis

Berbagai macam hiburan, seperti tarian, drama, gulat, dan panahan juga dianggap sebagai persembahan kepada kami. Musik dan tarian juga bertujuan untuk memberikan hiburan kepada kami tetapi para pemuja juga dapat menikmatinya. Berbagai hiburan itu disebut juga dengan gagaku yang sering ditampilkan pula di berbagai matsuri.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai musik dan tarian dalam Shinto (Picken, 1994 : 178) :

Music and dance include several separate forms that are arts in their own right. Kagura is a classical Japanese dance performed by shrine maidens (miko). Dance have a central place in Japanese religion, it was a dance that enticed Amaterasu out of cave. To the music of fue and the rhythm of drumbeats, the lion performs a sequence of dance.

(15)

Musik dan tarian termasuk beberapa bentuk yang terpisah yang memiliki unsur keseniannya sendiri. Kagura adalah sebuah tarian Jepang yang dipertunjukkan oleh gadis perrawan kuil (miko). Tari-tarian ini mempunyai bagian penting dalam agama orang Jepang. Tarian tersebut adalah tairan yang menarik Amaterasu untuk keluar dari gua. Seiring dengan alunan musik fue dan irama gendang, tarian singa mempertunjukkan rangkaian tariannya.

c) Norito (Doa)

Norito adalah doa-doa yang dibacakan oleh seorang kannushi (pendeta Shinto) dengan menggunakan gaya bahasa Jepang kuno untuk menjelaskan kepada dewa tentang arti dan alasan dalam mengadakan matsuri. Isi doa-doa tersebut adalah mengungkapkan rasa terima kasih kepada dewa serta memohon kepada dewa dengan tujuan untuk meminta kesejahteraan atau perlindungan kepada dewa.

d) Naorai (Jamuan Suci)

Naorai adalah jamuan makan bersama para peserta matsuri yang dilakukan pada akhir upacara Shinto. Makanan yang dimakan adalah sesajian yang telah disediakan bagi para dewa dan sudah di doakan oleh kannushi (pendeta Shinto).

2.5 Daijousai

Daijousai merupakan sebuah ritual persembahan kepada para dewa dan leluhur kaisar yang berasal dari hasil panen padi pada saat zaman kaisar Jinmu. Ritual tersebut setidaknya berlangsung pada akhir abad ke-7 dan dilakukan kembali pada saat zaman Meiji, menggantikan perayaan panen kekaisaran atau yang dikenal dengan niinamesai yang

(16)

menandai ritual penobatan takhta bagi seorang kaisar baru serta memperingati hari kembalinya fungsi kekaisaran pada zaman Meiji. Pada era modern yaitu pada saat penobatan tahta kaisar Hirohito, Daijosai diadakan di tahun yang sama dengan wafatnya kaisar yang terdahulu yaitu kaisar Yoshihito. Upacara daijousai biasanya diadakan pada awal musim gugur sekitar awal bulan November dan diadakan di dua buah bangunan sederhana yang berada di pekarangan istana yaitu Yuki-den dan Suki-den. Selain serangkaian upacara penobatan kaisar baru, daijousai juga menyuguhkan makanan-makan yang terbuat dari berbahan dasar beras, makanan-makanan tersebut akan dijadikan sebagai media persembahan kepada Amaterasu dan para nenek moyang. Sesuai dengan New York Times (1990) daijousai tidak hanya memiliki makna sebagai perwujudan rasa terima kasih kepada para dewa atas keberhasilan panen, dan penobatan tahta kekaisaran. Daijousai juga mempunyai makna yang istimewa, yaitu sebagai sebuah usaha keras bangsa Jepang untuk mengangkat tradisi pertanian padi, dan juga sebagai penegasan sisi keistimewaan dari kebudayaan Jepang. Pada tahapan Mitashizume, terdapat tiga regalia yang akan diberikan kepada calon kaisar. Regalia ini mempunyai makna bahwa tampuk kekaisaran Jepang telah berpindah kepada kaisar yang telah dinobatkan, regalia ini terdiri dari pedang Kusanagi, perhiasan Magatama, dan Cermin Kashiko Dokoro. Regalia ini mempunyai fungsi dan makna masing-masing, pedang Kusanangi adalah merupakan pemberian langsung dari dewi matahari Amaterasu kepada cucu laki-lakinya yaitu Ninigi sebagai bukti ia memiliki wewenang untuk memimpin dataran Jepang. Pedang Kusanagi tersebut sebagai tanda kekuatan dari para dewa atau kami untuk menjaga dan memberi perlindungan bagi manusia.

Selain itu terdapat perhiasan Magatama, berdasarkan Kojiki perhiasan ini merupakan hadiah dari kedelapan dewa kepada dewi Amaterasu agar ia mau keluar dari tempat persembunyiannya. Bentuk perhiasan ini kecil, berwarna hijau, dan berbentuk koma

(17)

melambangkan kepulauan negara Jepang yang kecil namun kuat. Selain melambangkan kepulauan Jepang, perhiasan Magatama juga melambangkan atau menandakan kelembutan hati. Yang terakhir adalah cermin perunggu atau Kashiko Dokoro. Cermin ini hadiah dari salah satu dewi, yaitu dewi Amano Uzume. Cermin ini diberikan kepada dewi Amaterasu agar ia dapat melihat dirinya sendiri dan melihat kesengsaraan yang ditimbulkan dirinya karena bersembunyi di dalam gua dan mengakibatkan bumi tanpa cahaya. Dalam ajaran Shinto terdapat benda-benda yang dianggap suci seperti pedang, kaca, dan perhiasan mutiara. Ketiga benda ini merupakan benda yang sangat penting bagi umat Shinto.

Referensi

Dokumen terkait

Antera untuk induksi androgenesis kelapa sawit dengan populasi mikrospora stadium uninukleat akhir sampai binukleat awal lebih dari 50% dapat diisolasi dari bunga pada

● Jika menang - bank draft diberi kepada bank sebagai deposit membeli rumah lelong ● Jika menang tapi tak lepas

Berdasarkan hasil evaluasi kemudian dipilih salah satu konsep yang dikembang, yakni konsep 3, karena mobilitasnya yang tinggi dan faktor keamanan yang baik sehingga

dilaksanakan dalam nama Yesus Kristus (lihat paragraf ketiga dari bagian “Yesus Kristus” dalam topik ajaran 1, “Ke-Allah-an,” dalam Dokumen Inti Penguasaan Ajaran; lihat juga 3

Pada pencitraan CT dan MRI dengan kontras, tampilan metastase pankreas sangat mirip dengan karsinoma pankreas tetapi adenokarsinoma pankreas umumnya tampak sebagai

Keuangan Kepada Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4972) sebagaimana telah diubah beberapa

Konservasi, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral sebagai salah satu instansi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konservasi bahan galian, dan sesuai dengan