• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gejolak krisis moneter dan perekonomian yang terjadi pada pertengahan bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia. Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang umumnya dilakukan dalam bentuk dolar. Akibatnya banyak perusahaan di Indonesia mengalami kebangkrutan.1

Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif, efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat “nakal” untuk menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu menghindari penagihan.

1

(2)

hutang-hutangnya. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan untung, perusahaan berkembang dan berkembang terus, sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila kondisi perusahaan menderita rugi, maka garis hidupnya menurun.

Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar hutang (atau hutang-hutangnya).

Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan adil. Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan

(3)

dan PKPU) menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu, sementara Abdul R. Sulaiman mengatakan pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.2

Pemberlakuan lembaga paksa badan dibentuk sebagai upaya pembaharuan dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2000)

2 Abdul R. Sulaiman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Praktek, (Jakarta

(4)

kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan keseimbangan hukum dapat tercapai.3

Pada dasarnya bahwa menurut Perma No. 1 Tahun 2000 penerjemahan istilah gijzeling dengan kata "penyanderaan" dan kemudian seiring perkembangan waktu diubah menjadi "paksa badan". Namun keberadaan lembaga ini

Sebagai perbandingan, selain terhadap debitur yang memiliki keengganan dalam melunasi hutangnya, ketentuan lembaga paksa badan nantinya juga akan ditetapkan kepada wajib pajak yang memiliki kesengajaan atau keengganan untuk membayar pajak. Sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah mencoba menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan sanksi bagi wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan, namun keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. Hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang memenuhi kewajibannya, dan mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan.

3

Tanpa nama, Penyelesaian Hutang Piutang dengan Paksa Badan, http://

advokatku.blogspot.com/ 2008 /04/ penyelesaian-hutang-piutang-dengan.html., akses tanggal 30

(5)

mengundang kontroversial, terdapat beberapa kalangan yang beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan.4

Pendapat lainnya mengatakan bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang berusaha untuk melalaikan kewajibannya. Pemungutan pajak didasarkan kepada Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), yang kemudian dalam Amandemen Keempat diganti menjadi Pasal 23a UUD 1945, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa segala pajak dan pungutan untuk negara itu harus didasarkan kepada Undang-Undang.

Hal yang perlu diketahui bahwa paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.

5

4

Kemal Fasya, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak,

Penelitian ini dilandasi oleh keadaan sering adanya debitur yang beritikad tidak baik dalam pemenuhan kewajibannya atau debitur tersebut tidak kooperatif dalam melaksanakan pembayaran utang kepada kreditur.

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Keberadaan Lembaga Paksa Badan Dalam Kepailitan”

http://kemalfasya.blogspot.com/2011/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html., akses tanggal 1 Juli 2011.

5

(6)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan lembaga paksa badan di Indonesia ? 2. Bagaimana keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan ?

3. Bagaimana pelaksanaan dan efektifitas lembaga paksa badan dalam pemenuhan kewajiban debitur pailit ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan dengan metode ilmiah serta bertujuan untuk mendapatkan data baru. Pengertian dari penelitian itu sendiri adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul.6

6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 6. Tujuan penelitian lainnya secara praktis merupakan usaha untuk menjawab berbagai pertanyaan ilmiah seputar permasalahan hukum.

Tujuan penulisan skripsi ini pada khususnya adalah untuk memenuhi persyaratan agar memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun secara umum pembahasan mengenai aspek hukum lembaga paksa badan dalam kepailitan seperti yang dibahas dalam skripsi ini mempunyai tujuan yaitu :

(7)

1. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang aspek hukum termasuk dasar hukum pelaksanaan lembaga paksa badan dalam hukum kepailitan di Indonesia

2. Untuk menguraikan dan membahas lebih lanjut mengenai eksistensi/keberadaan lembaga paksa badan dalam hukum kepailitan di Indonesia di Indonesia.

3. Untuk memberikan gambaran yang lebih lanjut mengenai sejauh mana efektifitas lembaga paksa badan sebagai upaya untuk penagihan dan pelunasan pembayaran utang oleh debitur di Indonesia.

Suatu penelitian pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk mencari jawaban secara ilmiah terhadap persoalan-persolan yang timbul. Calire setz7

1. Manfaat Teoritis

dalam bukunya menyatakan bahwa titik tolak dari suatu penulisan/karya ilmiah adalah “….to discover answers to questions through the application of scientific

procedures…” yang berarti untuk menemukan jawaban-jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan tentang prosedur penerapan ilmu. Sehingga melalui penulisan suatu karya ilmiah diharapkan dapat menjawab setiap pertanyaan yang ada atas suatu permasalahan.

Adapun dalam penulisan skripsi ini nantinya dapat memberikan beberapa manfaat yaitu :

(8)

a. Memberikan pengertian dan pendalaman lebih luas kepada masyarakat tentang pengertian dari lembaga paksa badan dan hukum kepailitan termasuk aspek-aspek hukumnya

b. Memberikan gambaran umum dalam kaitan dengan manfaatnya secara praktis tentang keberadaan, tata cara pengajuan dan pelaksanaan lembaga paksa badan di Indonesia

c. Menumbuhkan sikap kritis dari masyarakat akan keberadaan lembaga paksa badan dan efektifitas lembaga paksa badan dalam penyelesaian masalah kepailitan di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Manfaat penelitian lainnya secara praktis diharapkan dapat menjadi rujukan ataupun referensi bagi para praktisi hukum maupun praktisi perbankan dalam hal menjadi rujukan dalam proses penyelesaian kewajiban pembayaran utang melalui lembaga paksa badan. Manfaat praktis lainnya juga dapat sebagai informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang syarat-syarat pengajuan lembaga paksa badan di Indonesia termasuk penyelesaian masalah kepailitan.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini adalah murni hasil karya ilmiah penulis sendiri yang belum pernah dipublikasikan dimanapun juga, meskipun terdapat beberapa karya tulisan lain yang hampir serupa memuat permasalahan kepailitan. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli dan apabila ditemukan karya ilmiah lainnya

(9)

yang memiliki kesamaan satu sama lainnya maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan Kepustakaan atau kepustakaan studi adalah suatu studi terdahulu yang berkenaan atau memiliki hubungan dengan topik yang ada secara relevan dengan menggunakan berbagai literatur atau bacaan dalam studinya. Adapun tinjauan kepustakaan ini mempunyai beberapa tujuan yaitu: 8

1. Memberitahu khalayak/pembaca tentang studi-studi atau penelitian terkait berkenaan dengan studi/ topik yang sedang dilaporkan.

2. Menghubungkan suatu studi dengan dialog yang lebih luas dan berkesinambungan tentang suatu topik dalam pustaka yang diperuntukkan untuk mengisi kekurangan dan memperluas studi-studi sebelumnya.

3. Memberikan kerangka bagi suatu studi dalam pembahasan ataupun penjelasannya secara ilmiah.

4. Sebagai landasan untuk membandingkan suatu studi dengan temuan-temuan lain.

Adapun kini yang menjadi kerangka studi atau tinjauan kepustakaan tentang karya ilmiah Analisis Yuridis Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam

Kepailitan ini terbagi dalam 2 sub bagian yaitu:

1. Pengertian Lembaga Paksa Badan 8

Achmad Djunaedi dalam karya ilmiah Penulisan,

http://www.mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjauan-pustaka.pdf , akses tangal 06 Mei 2011.

(10)

Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-undangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.

Paksa badan (Lifsdwang) adalah upaya penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu disuatu tempat tertentu terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik.9

Lembaga paksa badan oleh berbagai peraturan perundang-undangan diartikan bermacam-macam. Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa mengartikan paksa badan adalah

pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan

menempatkannya ditempat tertentu, undang-undang ini.10

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK/01/2000 Tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara mengartikan paksa badan (lifsdwang) sebagai upaya penagihan dalam rangka menyelamatkan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu di suatu tempat tertentu, terhadap debitur yang tergolong mampu namun beritikad tidak baik (Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 336/KMK/01/2000 Tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara) jelas dalam keputusan

9

Andryawal Simanjuntak, Gizeling/Lembaga Paksa Badan,

http://andryawal.blogspot.com/2010/07/gizeling-lembaga-paksa-badan.html, akses tanggal 28 Juli

2011.

10

Republik Indonesia, Udang-Undang No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pasal 1 angka 21.

(11)

menteri ini penyanderaan dikaitkan dengan upaya untuk memperoleh pemenuhan utang pajak oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Penyanderaan menurut keputusan menteri ini merupakan salah satu upaya paksa dan merupakan upaya terakhir dalam penagihan dengan surat paksa agar wajib pajak atau penanggung pajak melunasi utang pajaknya.

Penyanderaan ini merupakan salah satu penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama. maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif yakni harus memenuhiutang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik penanggung pajak. Indikasi itikad tidak baik tersebut antara lain penanggung pajak diduga menyembunyikan harta kekayaannya sehingga tidak ada atau tidak cukup barang yang disita untuk jaminan pelunasan utang- utang pajak, atau terdapat dugaan yang kuat bahwa penanggung pajak akan melarikan diri (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1998 tentang Penyanderaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa).

2. Pengertian Kepailitan

Kata pailit berasal dari bahasa Prancis failite yang berarti kemacetan pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk

(12)

membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.11 Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya.12

Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika debitur tersebut hanya memiliki satu orang kreditur dan debitur tidak mau membayar utangnya secara sukarela, maka kreditur dapat menggugat debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditur. Namun, dalam hal debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum13

11 Imran Nating, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: Raja Grafindo. 2004), hal. 2.

12

Tanpa Nama, Hukum Kepailitan, http:// clickgtg. wordpress.com

/2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/ , akses tanggal 2 Juli 2011.

13

Dadang Sukandar, Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang,

http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, akses tanggal 12 Agustus 2011.

(13)

Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur dengan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), terutama Pasal 1131 dan 1132 tentang piutang-piutang yang diistimewakan, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.

Pasal 1131 KUHPerdata:

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”

Pasal 1132 KUHPerdata:

“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU, mengatur bahwa:

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar

lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Sebelum dibentuknya Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, undang-undang yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Namun ternyata Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan juga ada kelemahan

(14)

sehingga perlu dibentuk undang-undang baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat maka diundangkanlah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) yang pada tanggal 18 Oktober 2004, dengan didasarkan pada pasal 307 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tersebut maka Undang-Undang Kepailitan yang lama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku:

Pada saat undang-undang tersebut mulai berlaku, Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissementsverordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.14

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata berlaku sebagai jaminan pelunasan utang kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada

14

Disriani, Hukum Kepailitan, http://disriani.multiply.com/journal, akses tanggal 20 Juli 2011.

(15)

pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar debitur. 15

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut:

Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPerdata yang merupakan jaminan pemenuhan pelunasan utang kepada para kreditur, maka Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih kreditur. Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan debitur pailit dapat diajukan sebagai jaminan pelunasan piutang semua kreditur, sehingga semua kreditur memperoleh pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara

Pari passu dan Prorata16

15

Dadang Sukandar, Hukum Kepailitan, http:// dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, akses tanggal 15Juli 2011.

16

Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitor.

http://diaz_fhuns.staff.uns.ac.id/files/2010/07/prinsip-prinsip-hukum-kepailitan.pdf., akses tanggal 30 Juli 2011.

. Pari Passu berarti harta kekayaan debitur dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan.

(16)

Dengan dinyatakannya pailit seorang debitur, sesuai Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan pengadilan, pengadilan melakukan penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur \pailit, yang selanjutnya akan dilakukan pengurusan oleh kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPerdata tentang hapusnya perikatan, maka hubungan hukum utang-piutang antara debitur dan kreditur itu hapus dengan dilakukannya “pembayaran” utang melalui lembaga kepailitan.

b. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Gugatan pailit dapat diajukan apabila debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal satu orang kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPerdata tentang perikatan-perikatan untuk memberikan sesuatu mengatur sebagai berikut:

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

(17)

Berdasarkan pasal tersebut, mengenai utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih adalah ketika debitur melakukan kelalaian dalam perjanjian, dan berdasarkan ketepatan waktu kelalaian tersebut dapat dibedakan atas:

1) Dalam hal terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian

Jika dalam perjanjian telah ditetapkan suatu waktu tertentu tentang kapan debitur harus melaksanakan kewajibannya melunasi utang, maka dengan lewatnya jangka waktu tersebut dan debitur tidak melaksanakan kewajiban utangnya, debitur sudah dapat dianggap lalai. Mulai sejak saat itu debitur dianggap lalai karena tidak melaksanakan kewajibannya, dan sejak saat itu pula muncul hak kreditur untuk melakukan penagihan pelunasan utang melalui lembaga kepailitan.

2) Dalam hal tidak terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian

Kepailitan, pada mulanya diatur dalam Failliessement Verordening,

Staatsblad 1905-217 juncto 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak

mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesaikan masalah utang-piutang dikarenakan memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan yang terdapat dalam

Failliessement verordening tersebut adalah.17

17

Sunarmi, Op Cit, hal. 11.

:

a) Tidak jelasnya batasan waktu (time frame) yang diberikan dalam menyelesaikan kasus kepailitan sehingga akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama

(18)

b) Jangka waktu untuk menyelesaikan utang melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga butuh waktu yang sangat lama yaitu sekitar 18 bulan

c) Apabila pengadilan menolak PKPU, pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitur dalam keadaan pailit

d) Kedudukan kreditor masih dianggap lemah.

Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan Faillissement Verordening tersebut dengan ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 9 September 1998, dengan berlakunya ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh kreditur-kreditur luar negeri (Dana Moneter Internasional/

International Monetary Fund), agar para kreditur luar negeri memperoleh

jaminan kepastian hukum.18

18 Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999), hal.1.

Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah

“the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againt whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntaru petition, or who has been adjudged a bankrupt.

(19)

"Kondisi atau status seseorang ( individu, persekutuan, korporasi, kotamadya) yang tidak mampu untuk membayar hutang nya sebagaimana adanya, atau jatuh tempo. Istilah meliputi seseorang againt yang suatu petisi tanpa disengaja telah disimpan, atau yang telah menyimpan suatu petisi, atau yang telah divonis bangkrut.”19

Pengertian kepailitan lain yang dikemukakan oleh para sarjana diantaranya adalah seperti yang dikatakan oleh Siti Soemarti Hartono bahwa kepailitan adalah mogok dalam melakukan pembayaran,

Dari pengertian tersebut maka pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

20

19

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2002), hal. 11.

20

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan, (Yogyakarta:Seksi Hukum Dagang FH UGM, 1981), hal. 1.

(20)

kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya.21

Sementara R Subekti menyatakan bahwa pailit berarti keadaan seorang debitur apabila ia telah menghentikan pembayaran hutang-hutangnya, suatu keadaan yang menghendaki campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya.

22

Sebagaimana diketahui, bahwasanya tujuan diaturnya kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah :23

a. Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya.

b. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

c. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur, atau debitur hanya menguntungkan kreditur tertentu.

d. Memberikan perlindungan kepada para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan e. Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding

membuat kesepakatan restrukturisasi hutang.

21

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang

terkait dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hal. 13.

22

R Subekti dan R Tjitrosudibyo, Kamus Hukum (Jakarta:Pradnya Paramita, 1973), hal.40.

23

Tanpa nama, Permohonan Gizeling dalam perkara-perkara Kepailitan,

http://www.redgage.com/blogs/advokatku/permohonan-gijzeling-dalam-perkara-kepailitan.html,

(21)

Adapun menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of

Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan, tujuan semua Undang-undang

Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitur yang tidak cukup nilainya ( "debt collection system"). Maka dari itu tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah: 24

a. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur” , yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan – tagihannya terhadap debitur. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para kreditur terhadap harta debitur berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya undang – undang kepailitan, maka akan terjadi kreditur yang lebih kuat akan mendapatkan bagan yang lebih banyak daripada kreditur yang lemah.

b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara pro-porsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditur

(22)

tersebut). Di dalam hukum Indonesia, asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUHPerdata.

c. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan seorang debitur pailit, maka debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan debitur menjadi harta pailit.

d. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang debitur perorangan (individual debitor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh Likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para krediturnya, tetapi debitur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada debitur tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial

fresh start. Debitur tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis

tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. menurut US Bankruptcy Code, financial fresh start hanya diberikan bagi debitur pailit perorangan saja, sedangkan bagi debitur badan hukum financial fresh start tidak diberikan. Jalan keluar

(23)

yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan debitur yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.

e. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam undang-undang kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan KUHPidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu di muat di dalam undang-undang kepailitan (Bankruptcy Law) negara yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan dengan kepailitan ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency

Act 1986.

f. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitur. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam undang-undang kepailitan Indonesia kesempatan bagi debitur untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para krediturnya diatur dalam BAB II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

(24)

Menurut pendapat Koentjaraningrat, yang dinamakan metode penelitian adalah dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : "methods") adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek dari sasaran yang bersangkutan.25 Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.26

Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial

process).27

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas

25

Danang Ari. Study Tentang Perlindungan Dagang, (Surakarta:UMM,2008) , hal. 9.

26

Ibid,.

27

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:Gratifi Press,2006), hal.118.

(25)

pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.28

Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.29

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analis yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang keberadaan dan efektifitas pelaksanaan lembaga paksa badan di Indonesia. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literatur

28

Ronny Hanintijo Soemitro Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 9.

29

(26)

Metode penelitian juga menggabungkan dengan studi kepustakaan

(libraly research ) dengan menggunakan media literatur yang ada maupun jurnal

ilmiah elektronik lainnya seperti internet dan tinjauan yuridis. 2. Sumber Data

Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal. Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualitas keilmuan.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks

(27)

majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya, dan kedua bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

4. Analisa Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

(28)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan pelaksanaan lembaga paksa badan.

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam usaha untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian dalam karya ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi kedalam susunan yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam setiap bab dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam bab pertama yang berisi pendahuluan ini, dipaparkan pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada pembahasan karya ilmiah ini. Meliputi latar belakang permasalahan, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan-kepustakaan, metode penulisan dan pengumpulan data yang digunakan serta sistematika penulisannya sendiri.

(29)

BAB II : KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN DI INDONESIA Didalam bab kedua ini akan dibahas mengenai ketentuan-ketentuan

hukum dalam pelaksanaan lembaga paksa badan di Indonesia yang mencakup pengertian dan dasar yuridis keberadaan lembaga paksa badan, lembaga paksa badan berdasarkan peraturan HIR maupun RBG dan perbedaan lembaga paksa badan dan lembaga penyanderaan.

BAB III : LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN

Didalam bab ketiga ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai bagaimanakah keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan, mencakup syarat-syarat kepailitan, proses dan akibat hukum dalam kepailitan, lembaga paksa badan dalam kepailitan, syarat-syarat pelaksanaan lembaga paksa badan dan para pihak dalam lembaga paksa badan.

BAB IV :PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN DEBITUR PAILIT

Pembahasan dalam bab yang keempat ini adalah merupakan pembahasan yang bersumber dari penelitian ( research ). Aspek yang akan dibahas dalam bab ini adalah mengenai proses dan pelaksanaan lembaga paksa badan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Perma No. 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan, pelaksanaan lembaga paksa badan dipandang dari segi hak azasi

(30)

manusia, perpanjangan dalam pelaksanaan lembaga paksa badan dan efektifitas pelaksanaan lembaga paksa badan dalam penagihan kewajiban debitur pailit.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari kesimpulan berdasarkan hasil pembasan setiap bab dalam permasalahan tersebut. Bab ini juga akan memaparkan beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan pemaparan kesimpulan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia.. Yang di sah kan oleh

[r]

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kelas VIIA MTs Muhammadiyah Tallo Makassar, peneliti dapat mengumpulkan data dengan menggunakan instrument test

Ketiga, hasil penelitian menemukan beberapa hubungan variable yang signifikan dalam memengaruhi penurunan rasio pembiayaan sektor konstruksi, sehingga pada penelitian

Berdasarkan hasil análisis data diperoleh kesimpulan bahwa minat belajar siswa mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 1 Uluiwoi

b) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan umpan dan pelarut (f/s), jenis antisolvent dan jenis pelarut terhadap ekstraksi likopen

Hasil analisis Tabel 2 menunjukkan warna yang sama yaitu pada bakso kontrol, bakso dengan pelapisan edible coating, bakso dengan pelapisan edible coating dekok