• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kedudukan, Fungsi & Tugas, Susunan & Keanggotaan Dewan Pertimbangan Sebelum dan Setelah Amandemen ke-4 Undang- Undang Dasar 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan Kedudukan, Fungsi & Tugas, Susunan & Keanggotaan Dewan Pertimbangan Sebelum dan Setelah Amandemen ke-4 Undang- Undang Dasar 1945"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Perbandingan Kedudukan, Fungsi & Tugas, Susunan & Keanggotaan

Dewan Pertimbangan Sebelum dan Setelah Amandemen ke-4

Undang-Undang Dasar 1945

Kevin Denowarsyah Widayaputra, Nur Widyastanti

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

Email: kevtemn@gmail.com

Abstrak

Dewan Pertimbangan Agung atau disingkat DPA merupakan dewan penasihat dan pertimbangan untuk Presiden yang merupakan salah satu Lembaga Negara yang berkedudukan di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi sederajat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. DPA sudah ada sejak di sahkannya UUD Negara Tahun 1945. DPA beberapa kali mengalami perubahan. Dari mulai perubahan nama DPA, yang pernah berubah menjadi DPAS, Dewan Nasional, dan akhirnya kembali lagi menjadi DPA. Perubahan juga pernah terjadi di dalam susunan dan keanggotan DPA di dalam perannya sebagai penasihat dan juga dewan pertimbangan untuk pemerintah. Pasca Amandemen ke empat (4) Undang-Undang Dasar 1945, BAB IV tentang DPA telah dihapus dan melalui Pasal 16 UUD 1945 setelah amandemen ke-4 UUD 1945 mengamanahkan kepada Presiden untuk membentuk suatu dewan pertimbangannya yang selanjutnya dinamakan Dewan Pertimbangan Presiden atau biasa disingkat Wantimpres. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006, Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga pemerintahan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang berarti kedudukan Wantimpres menjadi di dalam kekuasaan eksekutif, atau di bawah Presiden (Pemerintah). Wantimpres di dalam fungsinya memberikan nasihat, opsi, ataupun pertimbangannya kepada Presiden, memiliki beberapa persamaan dan juga perbedaan jika dibandingkan dengan Dewan Pertimbangan Agung atau DPA pada masa sebelum adanya amandemen UUD Tahun 1945.

.

Comparison of Positions, Functions & Duties, Arrangement & Membership of The Advisory Council Before and After The Fourth Amendment of Undang-Undang Dasar

1945 Abstract

The Supreme Advisory Council (Dewan Pertimbangan Agung) or as known as the DPA is an advisory and consideration council for the President which is one of the Country’s Institution that constitutes under the People’s Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat), however is equivalent with House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat), the President/Vice President, the Supreme Court, and the Financial Investigation Bureau (Badan Pemeriksa Keuangan). DPA has been legitimated since the legitimation of the UUD of Republik of Indonesia year 1945. The DPA has encountered changes during the time of its existence. The changes range from a change of the name of DPA into DPAS, National Council, and then back to DPA. After the fourth Amendment of UUD 1945, CHAPTER IV concerning the DPA was erased and through Article 16 UUD 1945 after the fourth Amendment of UUD 1945, it is mandated to the President to form an advisory council that will further be named as President’s Advisory Council (Dewan Pertimbangan Presiden) or known as Wantimpres. According to Law Number 19 Year 2006, the President’s Advisory Council is a governmental institutaion that is in charge of providing advice and considerations to the resident, which means Wantimpres is positioned as part of the executive authority, or under the President (Government). Wantimpres functions on giving advice, options or considerations to the President, has a few similarities and differences if compared to the Supreme Advisory Council or DPA that existed before the Amendment of UUD 1945.

(2)

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum. Ketegasan itu dapat ditemukan dalam Penjelasan Umum UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Contoh lainnya, seperti Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 4 ayat (1), kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan lain-lain. Badan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 24 ayat (1)), segala warga Negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat (1)), dan lain-lain. 1

Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law atau modern law sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law.2 Sebagai Negara yang mengidealkan prinsip supremasi hukum tentu mengutamakan instrumen perundangan-undangan. Disamping mengatur keutamaan pemisahaan kekuasaan yang tegas antara cabang kekuasaan legislatif dan cabang kekuasaan eksekutif serta yudikatif.3

Terkait dengan hal diatas, mengkaji lembaga-lembaga Negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik. UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini bahkan menunjukan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih banyak ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini ke arah otoriter. Adanya kelemahan bawaan kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan ditangan presiden.4

1 Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, cet.2 ), hal. 74.

2 Bagir Manan, Op. cit.

3

Jimly Asshiddqie, Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 , (Yogyakarta: FHUII Press, 2005), hal. 26.

(3)

Pada masa awal pemerintahan, kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan bukan hanya sekedar berdasarkan Pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD yang berbunyi: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.“5

Dalam menjalankan fungsinya, Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan juga sekaligus sebagai kepala pemerintahan jelas membutuhkan pertimbangan dan juga nasihat terhadap setiap kebijakan yang akan diambil. Dalam sistem pemerintahan orde lama dan orde baru, pertimbangan dan nasihat bagi Presiden diberikan oleh Dewan Pertimbangan Agung atau biasa disingkat DPA, sebagaimana diatur di dalam Bab IV Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dewan Pertimbangan Agung adalah salah satu Lembaga Negara yang berkedudukan di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi sederajat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan.6 Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA–RI) merupakan salah satu alat perlengkapan negara yang mengalami perubahan dalam Amandemen UUD 1945. Didalam Penjelasan Pasal 16 UUD 1945 sebelum amandemen, tertulis “dewan ini adalah Council of State yang wajib memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah. Ia sebuah badan penasihat belaka”.7

Sedangkan didalam Undang-Undang Dasar setelah amandemen, terutama Pasal 16 ini menjadi multi tafsir dan perdebatan dari seluruh kalangan politik dan juga akademisi.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla yang dikenal dengan Kabinet Indonesia Bersatu, setelah berjalan selama lebih dua tahun, barulah membentuk Dewan Pertimbangan Presiden di akhir tahun 2006. Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, Wantimpres terbentuk. Dengan dibentuknya Dewan Pertimbangan yang fungsi dan tugasnya nyaris sama dengan lembaga-lembaga lain yakni sebagai lembaga pemberi nasihat, adanya menteri, staf ahli Presiden, dan juga dengan adanya Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), memberikan suatu pandangan tersendiri dengan

5 Ni‟Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hal. 112.

6 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1989, cet. 6), hal. 136.

7 Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Sebelum Amandemen, UUD 1945

(4)

banyaknya lembaga yang mempunyai fungsi yang sama seakan mengambarkan bahwa lembaga-lembaga yang sudah ada belum mampu memberikan masukan/nasihat atau pertimbangan dalam membuat keputusan yang dilakukan oleh Presiden.

Dengan melihat bahwa terdapatnya kesamaan serta perbedaan di dalam fungsi pemberian nasihat dan pertimbangan, kedudukan serta dasar hukum yang mengatur mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada masa sebelum adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan keberadaan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di zaman sekarang. Bahwa keberadaan Dewan Penasihat yang sudah pernah dihapuskan pasca amandemen UUD 1945, dan telah di „lahirkan‟ kembali dalam tubuh Dewan Pertimbangan Presiden tentunya menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan mengenai kedudukan, tugas dan fungsi, struktur keanggotaan antara Dewan Pertimbangan yang pernah dibentuk didalam sejarah Pemerintahan Indonesia, yakni perbandingan antara Dewan Pertimbangan sebelum Amandemen/Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dengan Dewan Pertimbangan setelah Amandemen ke-4 (empat) pada tahun 2002.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, yaitu:

1. Bagaimana kedudukan, fungsi, dan wewenang Dewan Pertimbangan sebelum amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar 1945?

2. Bagaimankah perbandingan Dewan Pertimbangan (Presiden) sebelum dan setelah Amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar 1945?

Berdasarkan latar belakang serta pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana Fungsi, Kedudukan, dan Wewenang Dewan Pertimbangan sebelum Amandemen UUD 1945.

2. Untuk mengetahui Perbandingan antara Dewan Pertimbangan sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945.

(5)

Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.8 Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, dimana penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya9, yang kemudian dianalisis sesuai dengan prinsip-prinsip dalam peraturan maupun praktik yang ada. Sesuai dengan metode yang digunakan, data yang diteliti dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh langsung dari bahan pustaka10, yang mencakup:

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.11 Dalam tulisan ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen keempat;

c. Undang-Undang No 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden; d. Dll.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.12 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang akan digunakan ialah buku-buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, artikel-artikel, antara lain:

a. AA Baramuli dan Abdul Gafur, DPA Dari Zaman Ke Zaman, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000);

8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 52; Soerjono

Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 13-14; Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukm dan Jurimetri, cet. 4, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11.

9 Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 50.

10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, hlm. 28. 11

Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 52.

(6)

b. Jimly Asshidiqie, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005);dan

c. Jimmly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Refromasi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006, cet. Ke-2)

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.13 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang akan digunakan ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, serta pedoman untuk penulisan guna memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan sebagai bahan tinjauan dalam penelitian ini. Data dalam pembahasan penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Bentuk hasil penelitian yang dihasilkan dari penelitian ini adalah laporan yang berbentuk deskriptif.

Tinjauan Teoritis

Setelah disahkannya Undang–Undang Dasar 1945 oleh sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agusutus 1945 dan terbentuknya kabinet pada tanggal 2 September 1945. Dalam waktu singkat pemerintah membentuk lembaga–lembaga Negara menurut Undang–Undang Dasar 1945. Guna melengkapi fungsi pokok kenegaraan dan pemerintah, tidak saja dalam arti untuk menghimpun dan mengkonsolidasikan kekuatan melawan penjajah, tetapi juga menunjukan keberadaan Republik Indonesia. Sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdauat serta mempunyai aparatur yang lengkap.14

Namun karena semua kondisi dalam keadaan darurat, maka pembentukan lembaga–lembaga Negara sebagai mana yang diinginkan belum dapat dilaksanakan mengikuti aturan yang seharusnya. PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 mensahkan Undang–Undang Dasar Republik Indonesia yang dikenal sebagai Dasar Republik Indonesia, yang didalam prakteknya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan mengikuti aturan–aturan sebagaimana mestinya dan tugas serta kegiatan pun belum sempat dijabarkan secara rinci. Lembaga penasehat pertama di Indonesia pun di bentuk dengan Pasal 16 Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber lahirnya lembaga Dewan

13

Ibid.

14

(7)

Pertimbangan Agung (DPA). Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung yang pertama dilakukan dengan diangkatnya anggota–anggota Dewan oleh Presiden Soekarno melalui Pengumuman Presiden.15

Dalam Penjelasaan Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya dinyatakan bahwa Dewan Pertimbangan Agung hanya dewan penasehat belaka. Dari kedua ketetapan tersebut diatas jelas sudah bahwa tugas dari Dewan itu hanya memberi nasehat kepada pemerintah yang dalam arti pasif, ia harus memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan juga nasehat yang bersifat aktif karena tanpa diminta ia boleh mengajukan usul kepada pemerintah. 16 Keanggotaan Dewan Pertimbangan Agung masa itu terdiri dari para tokoh masyarakat, para pejuang terkenal yang berbobot serta dari berbagai daerah, suku, dan keturunan. Walaupun belum ada persyaratan tertulis yang digunakan, tetapi kalau disimak dari gambaran figur-figur anggota dewan yang telah diangkat pada masa itu diperkirakan telah memakai ukuran–ukuran kriteria utama yaitu dari kalangan tokoh pejuang non kooperator yang berbobot, memiliki jiwa persatuan yang tinggi, serta pernah berkecimpung dibidang administrasi Negara.17

DPA dibentuk pada tanggal 25 September 1945. Pembentukan DPA kala itu tidak dengan Undang–Undang tetapi dilakukan melalui Pengumuman Pemerintah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia No. 4 Tahun 1945. Pengumuman Pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 25 September 1945 oleh Presiden Ir. Soekarno, itu merupakan keputusan pembentukan DPA untuk pertama kalinya yang memuat tentang pengangkatan sementara para anggota DPA sebanyak 11 orang.18

Perubahan dalam sistem pemerintahan yang dimulai dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 di mana Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

15 Pengangkatan tersebut tidak berdasarkan pada Undang–Undang sebagai ditetapkan oleh Pasal 16 ayat

(1) Undang- Undang Dasar 1945 karena Undang–Undang yang dimaksud belum ada pada waktu itu. Dapat dipahami DPA tidak dibentuk dengan Undang–Undang seperti yang dimaksud didalam UUD 1945, karena mengingat situasi pada saat itu serba darurat dan serba genting serta belum ada DPR sebagai badan legislatif yang bertugas menetapkan Undang–Undang bersama dengan Pemerintah. Yang diutamakan pada saat itu tentulah pelaksanaan tugas yang tercantum didalam ayat (2) Pasal 16 UUD 1945 oleh karena itu ia hanya bersifat sementara. Ibid.

16 Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembangunan Kekuasaan Menurut Sistem

Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 87.

17 DPA Periode Kemerdekaan, Buku 1, Op.cit., hal. 1.

(8)

berubah fungsi dari badan pembantu Presiden menjadi badan legislatif, diusul dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berisi tentang pergeseran kekuasaan eksekutif dari tangan Presiden kepada Perdana Menteri atas dasar usul BP KNIP melalui Pengumumannya No. 5 tanggal 11 November 1945.19 Dengan bergantinya sistem Kabinet Presidensial menjadi sistem kabinet Parlementer semenjak terbentuk nya Kabinet Syahril I tanggal 14 November 1945, maka ditinjau dari segi hukum tatanegara kehidupan DPA juga mengalami perubahan hakiki. Perubahan sistem Pemerintahan tanpa perubahan UUD itu tidak menyebabkan dihapusnya DPA, karena eksistensinya dijamin oleh ketentuan konstitusi. Bahkan DPA terus berfungsi selama 5 tahun yaitu sejak tanggal 25 September 1945 sampai terbentuknya Negara Kesatuan RI pada tahun 1950.20

Didalam masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang memang menganut sistem pemerintahan parlementer, baik sebelum pemilihan umum maupun sesudah pemilihan umum tahun 1955, tidak pernah terwujud stabilitas pemerintahan.21 Ketidakstabilan pemerintahan ini mengakibatkan ketidakmampuan kabinet untuk melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, sehingga pada gilirannya menumbuhkan ketidakpuasan didaerah-daerah luar Jawa yang seolah-olah di anaktirikan. 22

Pada 21 Februari 1957 di Istana Negara di depan pemimpin partai dan masyarakat Presiden Soekarno melontarkan gagasan politiknya tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada Pemerintah. Tindakan Kepala Negara itu tidak dalam kedudukannya sebagai Presiden konstitusional, melainkan lebih menonjol sebagai pemimpin rakyat yang benar–benar prihatin dan kecewa menyaksikan kekacauan Politik yang makin membahayakan keselamatan Negara. Presiden Soekarno menyebut gagasannya itu sebagai suatu konsepsi dan pidatonya itu kemudian diberi judul “Menyelamatkan Republik Proklamasi.”23

19 Ibid., hal. 18-19.

20

Ibid., hal. 20.

21 Berturut-turut sejak 6 September 1950 dimulai dengan Kabinet Mohammad Natsir, lalu kabinet–

kabinet Soekirman, Wilopo, Ali Sostroamidjojo II yang menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden pada 14 Maret 1957. Dikutip dari: A.A Baramuli, 2000, Op.cit., hal. 28-29.

22 Ibid., hal. 29.

(9)

Salah satu hal penting dari pidato Soekarno saat itu adalah mengenai pembentukan suatu Dewan, yaitu Dewan Nasional. Pembentukan Dewan Nasional ini berguna untuk menampung pertumbuhan kekuatan-kekuatan masyarakat yang terus bergerak dinamis aktif tetapi tidak tersalurkan dengan baik lewat lembaga-lembaga yang ada.24 Dewan Nasional ini dibentuk berdasarkan UU Darurat No. 7 Tahun 1957 tanggal 6 Mei 1957. Mereka yang duduk dalam Dewan ini adalah wakil-wakil atau orang-orang dari golongan fungsional di dalam masyarakat, sehingga merupakan percerminan dari masyarakat.25 Tugas dari Dewan Nasional adalah memberikan nasihat mengenai soal–soal pokok kenegaraan dan kemasyarakatan kepada pemerintah baik atas permintaan pemerintah maupun atas inisiatif sendiri. Sedangkan fungsi Dewan ini adalah selain mendampingi kabinet dan memberi kewibawaan kepada kabinet, juga menjadi jembatan antara masyarakat yang hidup dinamis dan pemerintah. Pemerintah atau kabinet ini yang sebetulnya merupakan perasan dari parlemen. Sedangkan Dewan Nasional merupakan perasaan dari masyarakat.26 Dewan Nasional dipimpin oleh seorang Ketua dan dijabat oleh Presiden Soekarno. Apabila Ketua Dewan berhalangan, maka Dewan Nasional dipimpin oleh wakil Ketua yang dijabat oleh Roeslan Abdulgani.27 Pembentukan Dewan Nasional menjadi program utama kabinet. Maka Dewan Nasional pun dibentuk, diketuai oleh Presiden sendiri. Dewan yang dibentuk di luar kemauan konstitusi ini dilantik oleh Presiden Soekarno pada 12 Juli 1957 dengan anggota sebanyak 43 orang.28

DPA Sementara dibentuk sebagai konsekuensi dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, di mana Presiden atas dasar pertimbangan, demi kepentingan Persatuan dam keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa menetapkan:

a. Pembubaran Konstituante

b. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS c. Agar segera dibentuknya MPRS dan DPA sementara

24

Ibid.

25 Dewan tersebut terdiri dari kaum buruh, tani, cendekiawan, pengusaha nasional, tokoh–tokoh

berbagai agama, wanita, pemuda, seniman, warga Negara keturunan asing, orang–orang yang dapat menyampaikan persoalan–persoalan daerah, para Kepala Staf semua Angkatan, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan beberapa Menteri yang penting. Ibid.

26 Ibid., hal. 32.

27 Ibid.

(10)

Dikeluarkannya Dekrit tersebut pada hakikatnya merupakan reaksi keras Presiden Soekarno dan sebagian Besar rakyat Indonesia terhadap penerapan demokrasi Liberal, yang ternyata menimbulkan desintegrasi dalam semua aspek kehidupan bangsa dan mencapai puncaknya pada kegagalan Konstituante untuk menghasilkan UUD (bukan sementara lagi) yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Langkah memberlakukan kembali Undang– Undang Dasar 1945 dan meninggalkan Undang–Undang Dasar Sementara sebagai landasan Republik Indonesia merupakan babak baru dalam sejarah perkembangan politik Negara dan bangsa, sebab masing–masing Undang–Undang Dasar tersebut berlandaskan politik demokrasi liberal yang berasal dari Negara–Negara barat. Sedangkan dipihak lain Undang– Undang Dasar 1945 menganut paham demokrasi asli yang berasal dari budaya bangsa Indonesia sendiri, oleh Presiden Soekarno dinamakan Demokrasi terpimpin/terbimbing. 29

Pada Juni 1966 berlangsung Sidang Umum MPRS IV yang mengeluarkan seperangkat ketetapan guna menyusun suatu tatanan ketatanegaraan yang didasarkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Ketetapan–ketetapan MPRS tersebut dianggap sebagai landasan konsepsional pertama Orde Baru dengan dikukuhkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 menjadi TAP MPRS No. IX/MPRS/1955 dan merupakan tonggak konstitusional pemerintahan Orde Baru.30

Pada awalnya Lembaga DPA diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, namun sesudah terjadi peristiwa G-30-S/PKI pada tahun 1965, Pemerintah menerbitkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1966 tentang DPA yang memuat perubahan–perubahan yang tidak bersifat fundamental terhadap Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959. Kemudian dengan Keputusan Presiden No. 83 tahun 1966 didakan pula perubahan komposisi dan personalia DPA di mana tidak ada lagi anggota-anggota PKI yang duduk dalam DPA. Anggota–anggota baru DPA yang telah diangkat oleh Presiden berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1966 itu tidak pernah dilantik.

Fungsi dan peran DPA sebagai badan penasihat yang mendampingi Presiden mempunyai arti penting pula dalam kaitannya dengan tugas Presiden selaku Mandataris MPR yang harus menjakankan haluan Negara menurut GBHN dalam kurun waktu lima tahun sebagai bagian

29

Ibid., hal. 34.

(11)

tak terpisahkan dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara bertahap, berencana, dan berkesinambungan. Oleh karena itu melalui sumbangan pemikirannya, DPA secara langsung ikut berperan pula dalam upaya mensukseskan pembangunan nasional. Sepanjang 32 tahun pemerintahan Orde Baru, terjadi 6 kali periode perubahan sususan DPA. Yang barulah pada akhir era Orde Baru ini, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998 bersamaan dengan turunnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto, DPA pun mengakhiri masa tugasnya.

Semenjak berakhirnya era Orde Baru dengan ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia yang pada waktu itu untuk ketujuh kalinya ditetapkan sebagai Presiden RI oleh SU-MPR. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 ditunjuk Wakil Presiden BJ. Habibie untuk menggantikan guna melanjutkan sisa masa jabatan Presiden/Mandataris MPR periode 1998–2003 yang diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung.31

Pertimbangan–pertimbangan DPA yang telah disampaikan secara tertulis kepada Presiden sejak Juni 1998 sampai dengan September 1999 berjumlah 21 pertimbangan, 69 pokok–pokok pikiran Dewan dan 21 berupa surat, sehingga secara keseluruhan berjumlah 111 saran pertimbangan yang meliputi berbagai aspek kehidupan Nasional di bidang politik dan hukum, ekonomi, keuangan, dan industri, kesejahteraan rakyat, dan pertahanan keamanan. Hal ini menunjukan jumlah produk yang signifikan, mengingat pula bahwa Presiden BJ. Habibie lebih aktif bertanya kepada DPA. Selain itu telah pula diadakan pertemuan konsultasi antara dewan dengan Presiden sebanyak 28 kali. Dengan demikian jika dibandingkan dengan DPA Periode 1993–1998 yang selama 5 tahun menghasilkan sebanyak 44 pertimbangan, maka periode DPA periode 1998–2003 dalam masa sekitar satu setengah tahun telah menghasilkan sebanyak 104 saran pertimbangan kepada Presiden. Bilamana dibandingkan hasil kerja pimpinan DPA pada waktu yang lalu, maka hasil kerja DPA periode 1998–2003 kuantitatif adalah sama dengan hasil kerja DPA selama 10 tahun. 32

Pada waktu keanggotaan DPA Periode 1998–2003 dibentuk, Negara dan bangsa Indonesia tengah menghadapi persoalan nasional yang berat dan pelik, terutama untuk menyelesaikan

31 Ibid., hal. 70.

(12)

krisis ekonomi dan politik. Dengan demikian selaku badan penasihat Presiden, maka DPA perlu melakukan perubahan cara kerja yang proaktif dalam membantu Presiden agar lebih sesuai dengan irama reformasi dan lebih banyak mendenganr aspirasi masyarakat guna dapat memberikan usul pertimbangan yang strategis konsepsional kepada Presiden/Pemerintah dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang tengah dialami oleh bangsa dan Negara.

Keberadaan DPA secara hukum telah dihapuskan dari UUD 1945 juga sejak disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Artinya sebagai organ konstitusi ia sudah tidak ada lagi. Namun keberadaanya sebagai organ administrasi Negara tentu saja masih ada. Di dalamnya masih ada anggota, masih ada karyawan, masih ada anggaran, dan masih ada gedung dan perlengkapan serta peralatan kantor yang semuanya merupakan objek penting dalam Hukum Administrasi Negara. Para anggota DPA baru berhenti dari jabatannya apabila sudah diberhentikan oleh Presiden.

Pasal II Aturan Peralihan menegaskan bahwa: “Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang–Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang–Undang Dasar ini”. Ketentuan ini sebenarnya haruslah dibaca sebagai pengaturan mengenai status kewenangan suatu organ konstitusi yang mengalami pergantian anggota. Untuk Kasus DPA, ketentuan Aturan Peralihan tersebut tidak dijadikan rujukan. Sebabnya ialah keberadaan DPA tersebut tidak diubah oleh UUD 1945, melainkan dihapuskan sama sekali keberadaannya sebagai lembaga tinggi negara, sebagai organ konstitusi atau subjek Hukum Tata Negara. Dewan pertimbangan baru yang dimaksud dalam Pasal 16 baru UUD 1945, bukan lagi lembaga yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga tinggi negara seperti status DPA. Lagi pula, menurut ketentuan Pasal 16 baru tersebut, keberadaan dewan baru ini masih harus diatur dalam undang–undang yang belum tentu dapat segera terbentuk dalam waktu dekat. 33

Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan berlangsung sejak lama yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan

33 Jimly Asshidiqie, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal.

(13)

suatu dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden masih tetap diperlukan, tetapi statusnya menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara yang berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Keberadaan dewan pertimbangan tersebut dituangkan pada Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 mengatur keberadaan suatu dewan pertimbangan yang disebut dengan Dewan Pertimbangan Presiden. Walaupun demikian, kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden tidak dimaknai sebagai sebuah dewan pertimbangan yang sejajar dengan Presiden atau lembaga negara lain seperti Dewan Pertimbangan Agung pada masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wantimpres berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.34 Dewan Pertimbangan Presiden ini, diadakan sebagai pengganti Dewan Pertimbangan Agung yang ada sebelumnya menurut UUD 1945 sebelum Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sebelum didakan perubahan ketentuan mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) diatur dalam Pasal 16 dalam bab tersendiri, yaitu Bab IV yang berjudul Dewan Pertimbangan Agung. Pasal 16 ini berisi dua ayat, yaitu (1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang -Undang, dan (2) Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah.35

Ketentuan Pasal 16 Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung tersebut, dengan Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002, dihapus dan diganti dengan rumusan baru Pasal 16. 36 Seperti yang tertulis didalam pasal diatas, ketentuan mengenai Pasal 16 baru itu tidak lagi

34 “Sekilas Dewan Pertimbangan Presiden”, http://www.indonesia.go.id/in/penjelasan-umum, diakses

pada 25 Maret 2014, pukul 17.25.

35 Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Sebelum Perubahan, Pasal 16.

“(1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang. (2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.”

36 Jimmly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Refromasi, (Jakarta:

(14)

ditempatkan dalam Bab IV yang berjudul Dewan Pertimbangan Agung. Bab IV dengan judulnya itu sudah dinyatakan dihapuskan, sehingga sebagai gantinya maka rumusan Pasal 16 baru itu ditempatkan menjadi Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dengan demikian berarti, keberadaan lembaga baru ini berada dalam lingkup cabang kekuasaan pemerintahan Negara. Posisi strukturalnya tidak lagi seperti kedudukan DPA di masa lalu yang diperlakukan sebagai salah satu lembaga tinggi Negara yang sederajat dengan presiden/wakil presiden, DPR, MA, dan BPK.37

Penyebutan Dewan Penasihat Presiden dimaksudkan agar tidak dimaknai seperti sebuah dewan pertimbangan yang sejajar dengan Presiden atau lembaga negara lain pada masa sebelurn perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tidak diatur mengenai nama dewan pertimbangan dirnaksud.38

Pembahasan

Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai dewan penasihat Presiden dan juga sebagai dewan pertimbangan yang telah jadi suatu sejarah lembaga tinggi negara Indonesia yang keberadaannya telah dihapuskan Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen keempat. Kedudukan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada masa sebelum dihapuskan pasca amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu, dewan ini merupakan Lembaga Tinggi Negara yang berada setingkat dengan Presiden, DPR, BPK, dan juga MA39. Yang berarti Lembaga ini bertanggung jawab secara langsung kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan Lembaga Tertinggi Negara. Kemudian kedudukan Dewan Penasihat ini berubah menjadi sebuah Dewan Penasihat dan Pertimbangan yang merupakan lembaga baru yang terbentuk Pasca Amandemen keempat UUD 1945 yang dikenal dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Dengan dihapuskannya Bab IV yang berjudul Dewan Pertimbangan Agung, dan diubah menjadi rumusan baru yaitu Pasal 16 yang kemudian ditempatkan didalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara, tentunya hal ini pun merubah secara struktural kedudukan Dewan baru ini dalam lingkup

37 Ibid.

38 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang

Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasehat Presiden, (Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia, 2006), hal. 7.

(15)

kekuasaan Pemerintahan Negara. Hal tersebut mempengaruhi kedudukan Dewan ini menjadi bukan lagi Lembaga Tinggi Negara seperti DPA terdahulu. Sesuai dengan Pasal 16 UUD 1945 pasca amandemen keempat40, bahwa Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, berarti Kedudukan Dewan Pertimbangan ini berada langsung dibawah Presiden, karena pembentukannya langsung oleh Presiden dan begitu pula pertanggungjawabannya adalah kepada Presiden dan bukan kepada MPR seperti DPA pada masa lalu. Dengan terbentuknya Wantimpres sebagai dewan baru, perubahan kedudukan dewan penasihat ini menjadi dibawah kekuasaan eksekutif, memberikan dampak pada kekuatan hasil dari perundingan para anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk memberikan nasihat dan juga pertimbangannya kepada Presiden mengenai jalannya Pemerintahan Negara.

Didalam Pasal 5 Undang-Undang No 19 Tahun 2006 disebutkan bahwa, dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pertimbangan Presiden melaksanakan fungsi nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan dan pemerintahan negara, yang dapat kita simpulkan bahwa fungsi dari Dewan ini adalah memberikan nasihat dan pertimbangan yang dimana hal ini pun dimiliki oleh DPA pada masa sebelum amandemen keempat UUD 1945. Didalam penjelasannya Pasal 5 disebutkan “dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Pertimbangan Presiden, Presiden dapat melakukan pembidangan, antara lain bidang politik, pertahanan dan keamanan, bidang ekonomi dan keuangan dan bidang kesejahteraan rakyat.41 Dengan melihat kedua perbandingan mengenai fungsi & tugas antara Dewan Pertimbangan Agung juga Dewan Pertimbangan Presiden berdasarkan UUD 1945, penulis berpendapat bahwa fungsi dan juga tugas antara kedua Dewan pertimbangan diatas adalah sama, yaitu antara DPA dan Wantimpres sama-sama berfungsi sebagai suatu Dewan Pertimbangan untuk Presiden (Eksekutif) yang bertugas untuk memberikan nasihat dan juga pertimbangan sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan Presiden kepada Dewan tersebut.

Pada masa pertama kali DPA berdiri jumlah anggota yang ada didalamnya berjumlah tidak lebih dari 11 orang. Tiga tahun berikutnya anggota Dewan ini bertambah lagi sebanyak 11 orang menjadi 22 orang, yang pada masa ini DPA diketuai bukan oleh Presiden secara langsung, namun Presiden mengangkat para anggota dewan ini dan juga mengangkat ketua

40 Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4, Op.cit., Ps. 16. 41 Indonesia, Penjelasan Atas Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden, UU No. 19 Tahun

(16)

serta wakil ketua untuk memimpin Dewan ini. Kemudian pada masa Dewan Nasional tahun 1957-1959, Dewan yang dibentuk diluar „kemauan‟ konstitusi ini diisi oleh anggota yang lebih besar lagi, yaitu sebanyak 43 orang. Susunan dan keanggotaan dari Dewan ini kemudian diubah lagi pasca dibentuknya DPA S pada tahun 1959, yang merupakan produk dari hasil dikeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Kemudian berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tentang DPAS, dipilihlah seorang ketua dan wakil ketua, yang dimana di dalam DPAS dipimpin oleh seorang ketua yang dijabat langsung oleh Presiden, dan wakil ketua yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Didalam perkembangannya, wakil ketua DPAS pun juga merangkap sebagai Menteri Koordinator bidang Dalam Negeri, dan juga Presiden Soekarno yang juga menjabat sebagai Ketua DPAS menambahkan satu lagi Wakil Ketua kedalam tubuh DPAS, sehingga pemimpin DPAS terdiri dari ketua yang dijabat oleh Preiden, Menko sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua I, dan Menko/Menteri Wakil Ketua II. Penambahan jumlah anggota juga terjadi pada tahun 1966, dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1966 yang menetapkan pemberhentian semua anggota DPAS dan mengangkat 66 orang anggota DPAS yang baru, walaupun anggota DPAS yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden tersebut diatas tidak pernah dilantik oleh Presiden karena suasana kemelut politik akibat pemberontakan G-30-S/PKI, dan pada masa itu fungsi DPAS dapat dikatakan dalam keadaan beku. Kemudian pada tahun 1968, Pejabat Presiden Jendral Soeharto berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1967 yang mengatur susunan DPA mengangkat 17 orang anggota DPA yang baru, yang berarti susunan keanggotan DPA pada masa ini berubah lagi, dari 66 orang menjadi 17 orang. Dilanjutkan kembali pada masa pemerintahan BJ. Habibie yang membentuk keanggotaan DPA periode 1998-2003, dengan dikeluarkannya Keppres No. 140/M Tahun 1998, diangkat sebanyak 45 orang anggota DPA yang baru yang dilantik pada 13 Juni 1998. Pada DPA periode 1998-2003 tidak ditemukannya lagi bahwa DPA diketuai langsung oleh Presiden, tetapi Ketua DPA pada masa ini dipimpin oleh H.A.A Baramuli, selaku anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.42

Didalam Undang-Undang No 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres diatur mengenai susunan dan keanggotan Dewan Pertimbangan dan Penasihat yang baru ini. Yaitu didalam Bab III Undang-Undang Wantimpres Pasal 7 ayat (1), bahwa Dewan Pertimbangan Presiden terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota dan 8 orang anggota, dan didalam ayat (2) disebutkan bahwa Ketua diatas dapat dijabat secara bergantian di antara para anggota dari Dewan ini yang telah ditetapkan oleh Presiden. Untuk pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan

42

(17)

ini pun diatur didalam Pasal 9 yang didalamnya mengatakan bahwa anggota dari dewan ini diangkat dan juga di berhentikan oleh Presiden, yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Masa Jabatan dari keanggotan Wantimpres ini ditegaskan didalam Pasal 10 Undang-Undang Wantimpres, yaitu masa jabatan dari anggota Wantimpres ini berakhir bersamaan dengan masa berakhirnya jabatan Presiden ataupun berakhir karena diberhentikan oleh Presiden.

Pertimbangan Agung terdahulu hasil dari rapat mereka akan dilaporkan pada sidang Tahunan MPR, sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR, bahwa semua Lembaga Tinggi Negara melakukan laporan tahunan ke MPR. Namun sekarang didalam Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) hanya bertanggung jawab dengan Presiden, karena itu semua pertimbangan, saran dan opsi yang diberikan Wantimpres kepada Presiden bersifat rahasia. Seperti yang tertulis pada Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden bahwa:43

“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak manapun.”

Dalam penjelasan umum, maksud dari Pasal 6 ayat (1) tersebut bahwa keterangan dan pernyataan apapun dari isi nasihat dan pertimbangan yang diberikan kepada Presiden tidak terbuka dan bersifat rahasia. Namun didalam prakteknya, DPA terdahulu tidak selalu harus menyampaikan hasil perundingannya didalam sidang tahunan MPR, namun juga bisa disampaikan dalam bentuk lisan langsung kepada Presiden. Salah satu bentuk dari hasil pertimbangan DPA juga dikeluarkan dalam bentuk sebuah keputusan. Juga dalam kaitannya dimana DPA harus menjawab pertanyaan yang diajukan Presiden, salah contohnya yang dapat dilihat adalah Keputusan Nomor: 6/Kpls/SSd/IV/ 1959 tertanggal 25 November 1959 yang merupakan Keputusan DPAS atas pertanyaan Presiden mengenai Undang-Undang Kepartaian.44

Pada masa Dewan Pertimbangan Agung terdahulu, tugasnya di tetapkan dalam Keputusan No. 2/Kep.DPA/SD.II/1998. DPA dapat melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap apa yang diusulkan dan pertimbangan yang telahi diberikannya. Dengan kedudukan DPA pada masa dahulu sebagai lembaga tinggi negara, tentunya hal ini pun berubah di dalam tubuh

43 Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2006, Op.cit. Ps. 6 ayat (1). 44 AA Baramuli, Op.cit., hal. 39-40.

(18)

Wantimpres yang tata kerjanya diatur diatur didalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden.

Wantimpres di dalam menjalankan tugasnya, oleh Presiden dapat dimintai mengikuti sidang kabinet dan mengikuti kunjungan kerja dan kunjungan kenegaraan.45 Tugas yang diberikan dalam hal mengikuti kunjungan dan ikut dalam sidang kabinet guna memudahkan kinerja Wantimpres dalam memberikan analisa dari permasalahan yang ada. Serta memudahkan Wantimpres dalam mencari informasi tentang permasalahan yang ada dengan lembaga-lembaga pemerintahan terkait, bahwa adanya hubungan antara Wantimpres dengan lembaga-lembaga pemerintah yang lain untuk mendapatkan informasi dalam membuat analisa terhadap keputusan yang akan diambilnya. Hal ini ditegaskan di dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007, Pasal 4, yang berbunyi: 46

“Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksudkan Pasal 3 anggota Dewan Pertimbangan Presiden dapat menerima informasi dari instansi pemerintah terkait dan lembaga negara lainnya.”

Pertimbangan ataupun usulan yang diberikan oleh Wantimpres kepada Presiden bersifat rahasia, pada hal apapun pertimbangan atau usulan yang diberikan Wantimpres kepada Presiden tidak dapat dipublikasikan. Jika dilihat pada masa DPA terdahulu, sampai dihapuskan pada tahun 2002 akibat dari amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil dari pertimbangan DPA dapat dipublikasikan terutama kepada Sidang Tahunan Majelis Perumusyawaratan Rakyat (MPR).

Di dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2007, diatur pula mengenai tata kerja Dewan Pertimbangan Presiden dalam memberikan pertimbangannya kepada Presiden. Pada Pasal 10 dan 11, dikatakan bahwa diberikannya hak kepada setiap anggota untuk menyampaikan pertimbangan dan nasihat secara perseorangan kepada Presiden dengan ketentuan harus adanya tanda tangan yang memberikan pertimbangan dan nasihat. Namun, tetap harus memberikan tembusan kepada Ketua dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang lain. Disebutkan juga bahwa nasihat dan pertimbangan yang diajukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden merupakan nasihat dan pertimbangan yang disetujui secara mufakat oleh seluruh

45 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pertimbangan Presiden, Op.cit., Ps. 6 ayat (2).

46 Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan

(19)

anggota Dewan Pertimbangan presiden, yang ditetapkan berdasarkan rapat yang dihadiri paling sedikit oleh 5 orang anggota Wantimpres, dan hasil dari nasihat dan pertimbangan tersebut di tandatangani oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang sudah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan seperti yang diuraikan di bawah ini.

1. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang pembentukannya berdasarkan Pengumuman Pemerintah No. 4 Tahun 1945 pada tanggal 25 September 1945, merupakan lembaga Penasihat dan Pertimbangan Presiden pada masa sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dewan ini merupakan Lembaga Tinggi Negara yang berada dibawah MPR, dan sederajat dengan Presiden, DPR, BPK dan Mahkamah Agung. Tugas dan Fungsi dari dewan ini yaitu sebagai dewan yang bertugas memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul dan berkewajiban memajukan pertimbangan kepada Pemerintah. Walaupun di dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung sering mengalami perubahan susunan keanggotaan baik dari sisi jumlah anggota dewan, juga pernah beberapa kali diketuai langsung oleh Presiden yang menjabat pada masa itu, dewan ini tetap dianggap sebagai bagian penting dari sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia. Dengan dihapuskannya Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung Pasal 16 pasca Perubahan Ke-4 UUD 1945, keberadaan Dewan ini dihapuskan dari struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, dan digantikan fungsinya dengan dibentuknya Dewan Pertimbangan Presiden pada tahun 2007.

2. Pasca Amandemen ke-4 UUD 1945, dengan dihapusnya Bab IV mengenai Dewan Pertimbangan Agung, lahir lah suatu Dewan Penasihat dan Pertimbangan yang baru berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dewan diatas dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 19 Tahun 2006 dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden atau biasa disingkat dengan Wantimpres. Dewan yang pertama kali di bentuk pada tahun 2007 ini didirikan oleh Presiden yang menjabat pada Periode 2004-2009 yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai realisasi dari perintah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 16, untuk Presiden membentuk Dewan Pertimbangan dan Penasihatnya sendiri. Kedudukan dari Wantimpres tidaklah sama dengan kedudukan DPA pada masa sebelum Amandemen ke-4 UUD 1945 sebagai

(20)

lembaga tinggi negara, namun Wantimpres berada dibawah kekuasaan pemerintah atau dibawah Presiden. Terkait dengan tugas & fungsi dari DPA dan Wantimpres terdapat banyak kesamaan apabila dilihat dari dasar hukumnya yang mengatur. Kemudian mengenai susunan dan keanggotaan, kedua dewan tersebut memiliki banyak perbedaan, dimana Wantimpres memiliki jumlah anggota yang lebih sedikit (9 Orang Anggota Dewan, termasuk salah satu di dalamnya merangkap sebagai ketua) jika di bandingkan dengan jumlah Anggota DPA yang mencapai jumlah 45 orang (termasuk satu orang ketua merangkap anggota). Wantimpres berdasarkan undang-undang yang mengatur yaitu UU No 19 Tahun 2006, disebutkan bahwa yang bisa menjabat sebagai ketua dari dewan tersebut adalah seorang anggota yang juga merangkap jabatan sebagai ketua. Sedangkan dahulu dalam DPA walaupun di atur bahwa yang bisa menjabat sebagai ketua dewan adalah anggota, namun di dalam perjalanannya pernah di ketuai langsung oleh Presiden yang menjabat, seperti pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno, dimana beliau pernah menjabat sebagai ketua dari Dewan Nasional dan juga DPAS. Antar DPA dengan Wantimpres juga terdapat perbedaan lainnya, yaitu di dalam cara kedua dewan ini menyampaikan hasil pertimbangannya. DPA dahulu sebagai sebuah lembaga tinggi negara, menyampaikan hasil pertimbangan atau nasihatnya kepada Presiden pada Rapat Tahunan MPR, sedangkan Wantimpres diatur di dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2006 di dalam memberikan pertimbangan, saran dan opsi kepada Presiden diberikan secara langsung dan bersifat rahasia.

Saran

1. Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di dalam tugasnya untuk memberikan pertimbangannya kepada Presiden, seharusnya diberikan wewenang yang lebih „memaksa‟ agar segala pertimbangan dan nasihat yang diberikannya kepada Presiden tidak hanya semena-mena sebagai pertimbangan dari dewan yang dibentuk berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 saja, tetapi memang dewan ini merupakan dewan penasihat yang benar-benar dibutuhkan oleh Presiden di dalam tugasnya sebagai Kepala Pemerintahan.

2. Hasil dari pertimbangan, nasihat, dan juga usul dari Dewan Pertimbangan Presiden seharusnya dapat di beritakan, sehingga ada

(21)

pertanggung jawaban secara moral dari dewan ini kepada rakyat Indonesia, bahwa keberadaan Dewan ini memanglah penting.

3. Anggota dari Dewan Pertimbangan Presiden haruslah dapat menjadi aspirasi yang positif di dalam perannya memberikan pertimbangan dan nasihat kepada Presiden di dalam menjalankan pemerintahan bangsa ini, yaitu dengan melakukan analisis juga penelitian yang kuat dari berbagai aspek terhadap permasalahan yang ada, dan bukan untuk kepentingan golongan tertentu saja.

4. Presiden/Pemerintah dapat memberdayakan dengan baik Dewan Pertimbangannya sebagai sebuah dewan yang dapat memberikan nasihat di dalam membantu Presiden menjalankan pembangunan bangsa, dan bukan hanya sebagai kepentingan politik sesaat, sehingga penggunaan Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) yang digunakan untuk „menghidupi‟ dewan ini tidak menjadi sia-sia.

Daftar Referensi

Buku

Aristeus, Syprianus. Hukum Nasional Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009.

Assat, Mr.. Hukum Tatanegara Republik Indonesia dalam Masa Peralihan. Yogyakarta: Penerbit Nasional, 1948.

Asmara, Puspita A. Republik Perancis, Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Depok: UI Volume II No. 1, 2006.

Asshiddqie, Jimly. Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta: FHUII Press, 2005.

______. Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

______. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1996.

(22)

______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Refromasi. cet. 2. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006.

Badudu, J.S dan Sultan Muhammad Zain. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 2001.

Baramuli, AA dan Abdul Gafur. DPA Dari Zaman Ke Zaman. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2000.

Bell Jhon; Sophie Boyron; and Simon Whittaker. Principles of French Law. Oxford University Press, 1998.

Departemen Pendidikan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke 3. Jakarta: Balai Pustaka, 2002

Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009

Huda, Ni‟Matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. ______. Hukum Tata Negara Indonesia. Ed. Revisi ke-6. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Kancil, C.ST. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Kusnardi, Moh. dan Bintan R Saragih. Susunan Pembangunan Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Gramedia, 1989.

Lotulung, Paulus Efendi. Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintahan. ed. 2. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1992.

Lubis, S.B. Hari. et.al., Teori Organisasi (Suatu Pendekatan Makro). Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Universitas Indonesia, 1987.

Mamudji, Sri. Et. Al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Manan, Bagir. Kedaulatan Rakyat. Hak Asasi Manusia. dan Negara Hukum. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

(23)

Projodikoro, Wirdjono. Asas–Asas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1977.

Radjab, Dasril. Hukum Tata Negara Indonesia. cet.2. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005. Soemantri, Sri. Perbandingan (Antar) Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni, 1971

______. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. dalam Drs Moerdjiono. Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia; 30 tahun kembali ke UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

______. Tentang Lembaga – Lembaga Negara Menurut UUD 1945 . Cet.6. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1989.

Tesis

Lahamid, Agus Wanti. Dewan Pertimbangan Presiden Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Yuridis Kewenangan dan Fungsi Dewan Pertimbangan (Presiden) Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945). Tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

Makalah

Asshidiqie, Jimly. “Hubungan Antara Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945” . Bahan ceramah pada Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara. Jakarta, 30 Oktober 2008.

______. “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca Perubahan UUD 1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia”’ Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca Perubahan UUD dan Lokakarya Pembaruan Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia” Jakarta, 7 September 2004.

Peraturan Perundang-undangan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasehat Presiden. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2006.

(24)

______. Proses Pembahasan Rancangan Undang -Undang Republik Indonesia tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Jakarta: Biro Persidangan DPR RI, 2006.

Indonesia. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Sebelum Amandemen.

______. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoesia Tahun 1945 Amandemen ke empat.

______. Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden. UU No. 19 Tahun 2006. Tambahan Lembaran Negara No.4670 Tahun 2006. TLN No.4670.

______. Keputusan Presiden tentang Anggota Dewan Pertimbangan Agung. Keppres No. 61 Tahun 1968. Salinan Sts. 264/2/68

______. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden. PP No. 10 Tahun 2007

Referensi

Dokumen terkait

Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan

Pengelolaan obat merupakan suatu siklus manajemen obat yang meliputi empat tahap yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan, Pengelolaan

Namun dalam penelitian yang dilakukan Catur Dewi Saputri menekankan pada perubahan sosial-ekonomi masayarakat pariwisata paska eropsi merapidi dusun kojor,

Dari analisis variansi diketahui bahwa H 0A ditolak, berarti ada pengaruh sistem penyelenggaraan pendidikan terhadap prestasi belajar matematika, karena sistem

Yaitu pada jarak 20 m, 40 m dan 60 m, parameter vegetasi yang mempunyai kontribusi besar terhadap pengurangan intensitas kebisingan adalah kerapatan vegetasi yaitu mampu

Makalah ini membuat tentang masalah dalam menentukan jalur terpendek atau terdekat menuju lokasi pelanggan yang memberikan keluhan, kemudian teknisi akan melakukan penugasan

1. Mengembangkan konsep dan gagasan berkarya patung objek ikan hiu dengan media limbah anorganik. Mengolah bahan anorganik besi pada proses visualisasi konsep berkarya

Bahasa Indonesia digunakan karena semakin cepatnya perkembangan jaman sehingga tidak sepenuhnya remaja Maluku bisa berbahasa Maluku, Bahasa Belanda digunakan untuk lebih