• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN ATAS HAK REPRODUKSI PEREMPUAN BALI DI DESA PEMARON, KABUPATEN BULELENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN ATAS HAK REPRODUKSI PEREMPUAN BALI DI DESA PEMARON, KABUPATEN BULELENG"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ATAS HAK REPRODUKSI PEREMPUAN BALI DI DESA PEMARON,

KABUPATEN BULELENG

Oleh:

Dra. Komang Sriningsih, M.Si. (PPKB Unud)

UNIT PELAYANAN TEHNIS

PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KAREKTER BANGSA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2017

(2)

2 KATA PENGANTAR

Puji sukur dipanjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, tulisan ringkas dari hasil penelitian untuk melengkapi materi perkuliahan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) bisa diselesaikan. Tulisan ini hasil dari penelitian yang sederhana dan dimaksud sebagai bahan pengajaran mata kuliah ISBD.

Pengambilan keputusan merupakan usaha untuk mencapai tujuan tertentu, supaya sesuai dengan ukuran (asas, norma, dan tujuan), yang berkaitan dengan posisi perempuan sebagai istri yang mempunyai hak reproduksi. Perempuan Bali dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal; faktor sumber daya pribadi, dan psikologi, faktor eksternal antara lain; faktor adat istiadat/agama, keluarga, teknologi, media massa, dan ekonomi. Dari faktor-faktor diatas tidak ada yang dominan, semuanya sangat berpengaruh yang disebabkan oleh kekuasaan suami dalam keluarga dan sistim kekerabatan patrilineal yang masih kuat dalam tradisi masyarakat Bali.

Mahasiswa bisa membaca dan dapatkan bahan ini ditaruh diperpustakaan fakultas hukum Universitas Udayana. Sekian dan terima kasih.

(3)

3 DAFTAR ISI

1. Latar Belakang dan Permasalahan ... 4

2. Pembahasan ... 5

2.1. Faktor Internal ... 6

2.1.1. Faktor Sumber Daya Pribadi ... 6

2.1.2. Faktor Psikologi ... 8

2.2. Faktor Eksternal ... 9

2.2.1.Adat Istiadat/Agama ... 9

2.2.2. Perempuan, Alam dan Feminisme ... 14

2.3. Faktor Keluarga ... 17

2.4. Faktor Teknologi ... 18

2.5. Faktor Media Massa ... 19

2.6. Faktor Ekonomi ... 21

2.7. Faktor Lingkungan ... 24

3. Kesimpulan ... 27

4. Saran ... 27

(4)

4 1. Latar Belakang dan Permasalahan

Pengambilan keputusan merupakan usaha untuk mencapai tujuan tertentu, supaya sesuai dengan suatu ukuran (asas, norma, dan tujuan), yang berkaitan dengan posisi perempuan sebagai istri yang mempunyai hak reproduksi. Perempuan Bali dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal; faktor sumber daya pribadi, dan psikologi, faktor eksternal antara lain; faktor adat istiadat/agama, keluarga, teknologi, media massa, dan ekonomi. Dari faktor-faktor diatas tidak ada yang dominan, semuanya sangat berpengaruh yang disebabkan oleh kekuasaan suami dalam keluarga dan sistim kekerabatan patrilineal yang masih kuat dalam tradisi masyarakat Bali.

Dewasa ini wacana tentang peranan perempuan serta isu gender tampaknya sedang menjadi pembicaraan cukup hangat di masyarakat, baik ditingkat Nasional maupun Internasional. Pembicaraan mengenai isu perempuan diberbagai kesempatan, pada umumnya membahas masalah status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dianggap subordinat, marginal, dan terkooprasi. Kondisi ini disebabkan oleh adanya konstruksi sosial budaya yang meletakkan peran laki-laki dan perempuan secara berbeda-beda, yang didasarkan pada pemahaman perbedaan biologis dan fisiologis dari laki-laki dan perempuan

Masyarakat Indonesia mengenal yang tunduk pada hukum adat, mengenal adanya tiga sistem kekerabatan, yakni sistem kekerabatan matrilineal (Minangkabau, Sumatera Barat), sistem kekerabatan parental (Jawa), dan sistem kekerabatan patrilineal (Bali dan Batak), yang menganut ideologi patriarki, artinya memberi posisi kepada kaum pria sebagai pihak yang berkuasa dan pihak pengambilan

(5)

5 keputusan terdepan, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat (Sudarta : 2006 : 65).

Berkaitan dengan pengambilan keputusan atas hak reproduksi, setiap pasangan atau individu untuk menetapkan secara bebas dan bertanggung jawab terhadap menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan menentukan waktu mempunyai anak. Hal ini termasuk segala hak untuk memutuskan dari hal-hal yang berkaitan dengan hak reproduksi yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan.

Hak reproduksi mengikut sertakan hak asasi manusia yang sudah dikenal dalam hukum nasional, dokumen-dokumen HAM internasioanal, dan dokumen konsensus PBB. Jadi hak atas kesehatan reproduksi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Sehubungan dengan semua uraian di atas, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi perempuan Bali di desa Pemaron Kabupaten Buleleng, berikut akan dijawab dalam pembahasan.

2. Pembahasan

Berbicara tentang faktor-faktor, berarti kita berbicara tentang beberapa hal yang menjadi penyebab sesuatu atau masalah. Berkaitan dengan judul di atas yakni, faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan atas hak reproduksi perempuan Bali di desa Pemaron. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi perempuan Bali, akan dikaji dari beberapa faktor ; faktor internal terdiri atas sumber daya pribadi dan faktor psikologi; faktor eksternal terdiri dari faktor adat istiadat/agama, faktor keluarga, faktor teknologi, faktor media massa, dan faktor ekonomi, yang akan dikupas dengan

(6)

6 mempergunakan teori pengambilan keputusan dan teori feminisme atas dasar pertimbangan agar perempuan mendapat legitimasi suami karena yang memikul resiko dalam reproduksi perempuan adalah perempuan itu sendiri.

2. 1 Faktor Internal

2.1.1 Faktor Sumber Daya Pribadi

Perempuan mempunyai potensi seperti, pendidikan, keterampilan, pekerjaan, pengetahuan ritual, tanah dan uang yang tidak berbeda dengan laki-laki, dengan perkembangan zaman dan teknologi sekarang ini dibandingkan dengan dasawarsa 1980-an. Perempuan tidak lagi bekerja diranah domestik saja, tetapi ruang lingkup kerjanya sudah meluas ke ranah publik. Bahkan ada ungkapan lama menganggap perempuan hanya ada disektor domestik, yaitu hanya mengurus urusan rumah tangga, mengasuh anak dan melayani suami dan anak-anak, namun sekarang perempuan sudah terjun disektor publik. Semua ini akibat dari pengaruh Iptek dan globalisasi dan juga kesadaran perempuan itu sendiri betapa pentingnya suatu pendidikan sebagai upaya untuk membebaskan diri dari belenggu kegelapan dan ketidak mengerti tentang hak reproduksi.

Sumber daya pribadi seperti pendidikan yang dimiliki perempuan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan untuk penentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan penentuan waktu mempunyai anak adalah merupakan hak reproduksi yang dimiliki kaum perempuan yang selama ini masih tersubordinasi oleh laki-laki.

Pada masyarakat yang menganut sistim kekerabatan patrilineal, suami dan istri menganggap wajar, jika suami lebih banyak mengambil keputusan dalam beragam hal yang menyangkut kehidupan rumah tangga, demikian juga atas hak

(7)

7 reproduksi perempuan seperti dalam penentuan jumlah anak, penjarakan kelahiran serta penentuan waktu mempunyai anak.

Sudarta (dalam Kembang Rampai Perempuan Bali. 2006:72), mengatakan bahwa kebudayaan saja tidak cukup untuk menjelaskan distribusi dan alokasi kekuasaan antara suami dan istri dalam rumah tangga. Untuk itu perlu diperhatikan bahwa sumber daya pribadi yang disumbangkan oleh suami dan istri dalam perkawinan (Blood dan Wolfe dalam Pujiwati Sayogja. 1983:41-42). Sejalan dengan hal tersebut di atas menurut Roger (1978:155) bahwa sumber daya pribadi atau personal resources yang disumbangkan suami dan istri dalam perkawinan, masing-masing mempunyai pengaruh besar terhadap distribusi kekuasaan serta wewenang dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga dan kebudayaan. Dalam hal ini termasuk dengan hak reproduksi perempuan. Jadi sumber daya pribadi yang dimaksud tersebut dapat berupa pendidikan, ketrampilan, pengalaman, pengetahuan ritual, tenaga kerja, uang, tanah, dan lainnya (Pujiwati Sajogyo. 1983: 42).

Fakih (2001:12) mengatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidak adilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yakni; marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan

(8)

8 politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi nilai peran gender.

Paparan di atas menunjukan bahwa kultur patriarkhi masih mendominasi pada masyarakat desa Pemaron, seperti dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hak reproduksi perempuan . Dengan demikian faktor yang mempengaruhi hak reproduksi perempuan adalah faktor sumber daya pribadi perempuan termasuk di dalamnya pendidikan yang belum memadai dan kultur patriarkhi yang membelenggu perempuan di desa Pemaron.

2.1.2 Faktor Psikologi

Landasan pemikiran perempuan Bali dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi di dasarkan pada resiko yang akan dialami oleh perempuan. Konsekuwensinya akan berdampak pada gangguan psikologis perempuan terhadap kesehatan reproduksi dan kultur masyarakat Bali.

Ada beberapa pertimbangan psikologis perempuan Bali dalam mengambil keputusan atas hak reproduksi. Jumlah dan jarak kelahiran anak dan umur perempuan juga menjadi gangguan psikologis. Gangguan psikologis terhadap jumlah dan jarak kelahiran anak, akan berpengaruh pada kesehatan perempuan, yang disebabkan perasaan tidak tenang dan was-was karena ada tuntutan untuk tetap hamil untuk mendapatkan anak dengan jenis kelamin tertentu (laki-laki) sedangkan dilihat dari usia dan kesehatan sudah tidak terlalu sehat (payah). Pada sisi yang lain faktor ekonomi dalam keluarga yang pas-pasan secara psikologi akan mengganggu perempuan terhadap kehidupan masa depan anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

(9)

9 Selanjutnya dalam konferensi Kairo disepakati 5 masalah pokok yang memerlukan perhatian bersama. Pertama, bagaimana rumusan, latar belakang dan tujuan dan cara-cara melaksanakan hak-hak reproduksi. Kedua, masalah keluarga berencana dalam pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan gerakan keluarga berencana di Indonesia. Ketiga, masalah penyakit yang ditularkan secara seksual dan pencegahan penyakit HIV- AIDS. Keempat, perhatian terhadap seksualitas dan hubungan antar gender. Kelima, masalah kesehatan reproduksi remaja. Paparan di atas terindikasi pembelajaran kepada perempuan untuk mengetahui hak-hak reproduksi dan pembelajaran kepada suami pada khususnya terhadap eksistensi perempuan dalam kehidupan perempuan, sehingga sedikit demi sedikit teratasi masalah psikologi perempuan terhadap bahaya yang akan menimpa dirinya.

Dalam berbagai praktek budaya patriakhi juga masih nampak dalam tradisi masyarakat Bali. Kiranya sentuhan-sentuhan pembelajaran yang dilakukan oleh instansi-instansi yang menangani masalah perempuan dapat memberikan angin segar sehingga masalah psikologis yang di hadapi perempuan di desa Pemaron sedikit demi sedikit dapat terobati. Memang disadari bahwa masalah psikologi perempuan dan hak reproduksi sangat kompleks hal ini untuk menggugah pemerhati perempuan untuk menemukan jalan dan sekaligus menentukan langkah stategis dalam upaya penanganan masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan.

2.2 Faktor Eksternal 2.2.1 Adat Istiadat/Agama

Adat istiadat mengandung norma-norma yang tumbuh dan berkembang pada suatu masyarakat sebagai rujukan masyarakat dalam etika moral untuk menuntun

(10)

10 masyarakat setempat. Wiana (2000:141) mengatakan perempuan dalam rumah tangga berkedudukan sebagai istri dan sebagai ibu rumah tangga, ibu adalah guru dalam keluarga yang berkewajiban untuk menanamkan pendidikan watak yang luhur. Kedudukan perempuan dalam agama Hindu sejajar dengan kaum laki-laki yakni memberikan perlindungan dan kebahagian kepada keluarga. Dalam masyarakat Bali yang menganut sistem patriarki merupakan tradisi Bali yang menempatkan laki-laki lebih dominan dalam mengambuil keputusan dalam keluarga.

Dengan masih kuatnya tradisi pada masyarakat Bali, maka perempuan Bali (etnis Bali) mengikuti apa yang sudah menjadi ketentuan dalam adat istiadat dan agama. Seperti pada penyelenggaraan upacara keagamaan dalam keluarga, misalnya, pada upacara perkawinan. Dalam upacara perkawinan di Bali dilakukan dipihak laki-laki, karena tradisi budaya yang menganut sistim kekerabatan patrilineal atau garis keturunan laki-laki, dimana semua penyelenggaraan upacara- adat, keagamaan berada dipihak keluarga laki-laki.

Tukiran (2001: 136) mengatakan bahwa peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat tidak terlepas dari sistem sosial budaya. Dengan demikian perubahan sosial budaya akan mempengaruhi kedudukan dan peranan perempuan. Dalam masyarakat Bali seperti telah di disinggung di atas bahwa kedudukan suami dalam tradisi Bali sebagai penanggungjawab dalam keluarga sehingga tradisi juga sebagai faktor penentu dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Keesing (1999), mengatakan bahwa perkawinan menentukan kedudukan sosial individu dan keanggotaanya dalam kelompok, menentukan hak dan kepentingan-kepentingan yang sah, menghubungkan individu-individu dengan kelompok kekerabatan di luar

(11)

11 kelompoknya sendiri; menciptakan unit ekonomi rumah tangga dan merupakan instrumen hubungan politik antara individu dan kelompok (Lola Wagner, 1977: 73).

Realitas di atas menunjukan bahwa tradisi masih kuat pada masyarakat di desa Pemaron. Dari pengakuan beberapa perempuan bahwa, tradisi juga merupakan media acuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pengakuan keberadaan perempuan di desa dilegitimasi oleh tradisi setempat sebagai warisan budaya. Hal ini sebagai bentuk kehidupan sosial kolektif dalam tataran norma yang diakui bersama untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Kesinambungan lingkungan sering pula disebut kesinambungan ekologi. Dalam kaitan ini juga diajukan agar melestarikan keserasian lingkungan, keserasian merupakan suatu hal yang relatif dan bersifat subyektif. Seperti apa yang dianggap serasi oleh seorang atau segolongan orang, belum tentu serasi bagi orang atau golongan orang lain. Namun, generalisasi dapat diteruskan oleh banyak orang, bahwa apa yang dianggap serasi pada suatu waktu tertentu, belum tentu serasi pada waktu yang lain. Atas dasar hal tersebut, keserasian bukanlah suatu hal yang bersifat kekal, melainkan berubah sesuai dengan hakikat suatu dinamika. Atas dasar itu pula, maka kesinambungan yang kekal tidak ada. Pembangunan pada hakikatnya adalah pengubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan atau memperbesar mafaat lingkungan (Soemarwoto, 2001:790).

Perempuan sebagai mahluk Tuhan maupun sebagai warga negara dan sumber daya insani pembangunan mempunyai hak dan kewajiban, kedudukan, peran serta dan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk berperan di berbagai bidang kehidupan dalam segenap kegiatan pembangunan. Di samping itu kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta perannya dalam pembangunan perlu

(12)

12 dipelihara serta terus ditingkatkan, sehingga perempuan sebagai mitra kesejajaran laki- laki dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besarnya bagi pembangunan dengan memperhatikan kodrat harkat dan martabatnya sebagai perempuan (Aida Natalaya, 2000).

Di akhir abad ke-20 timbul berbagai gerakan kesadaran masyarakat yang menaruh perhatian terhadap keadaan lingkungan, ini berkaitan dengan kesadaran untuk menjaga planet tempat tinggal manusia supaya bersih sehat dan hijau.Dalam masyarakat dikenal berbagai organisasi yang peduli akan ligkungan hidup serta menjadi kecenderungan gaya hidup orang-orang kota dalam berlibur dengan kegiatan seperti,dikenal dengan sebutan ekoturisme. Hal ini hendaknya sudah dipupuk sejak usia dini diberikan pendidikan lingkungan hidup, diajarkan menyayangi binatang dan lingkungannya dan memberi perhatian pada binatang-binatang langka.

Isu lingkungan berkaitan erat dengan isu perempuan, namun tidak banyak yang menyadari semua itu. Bahkan mitos-mitos yang ada dimasyarakat, perempuan sering diasosiasikan dengan alam misalnya perempuan diandaikan sebagai bumi, bunga, ayam, bulan dan padi. Kadang-kadang mitos tersebut bukanlah mitos-mitos yang mempunyai makna positif, tetapi justru banyak yang negatifnya.

Dari uraian isu lingkungan dan perempuan di atas, muncul permasalahan yakni, bagaimana peran serta perempuan dalam pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup.

Manusia merupakan mahluk yang diberi karunia kemampuan budaya yang melebihi mahluk lain. Dengan kemampuan budayanya itu, manusia telah mampu mengubah muka bumi, seperti apa yang kita saksikan saat ini. Kemampuan manusia memanfaatkan lingkungan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, yang disebabkan

(13)

13 oleh kamampuan manusia yang bervariasi, maka pemanfaatan sumber daya alam juga bervariasi. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut dibatasi oleh kemampuan budaya manusia, yang tingkat budayanya lebih tinggi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya, telah dapat merealisasikan sumber daya alam bagi hidupnya. Sebaliknya, sekelompok manusia atau masyarakat yang kemampuan budayanya masih terbatas, sumber daya alam yang tidak dimanfaatkan bahkan cenderung dirusak, seperti hutan, sungai, air terjun, dan sumber alam lainnya yang dipandang sebagai penghalang dan penghambat dari pada dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidupnya.

Pembangunan adalah perubahan dan kebudayaan, merupakan upaya manusia untuk menyempurnakan diri dalam kondisi kehidupannya. Pada tahap lepas landas pembangunan Indonesia, pengaruh perubahan yang terjadi pada berbagai dimensi kehidupan yang semakin komplek, sementra tujuan yang ingin dicapai melalui pembangunan menjadi semakin rumit, bukan karena cakupan ekonomi semata, melainkan juga terkait dengan kendala biogiofisik sosial budaya, karena itulah arah pembangunan Indonesia, perlu dipertautkan dengan kebudayaan (Emil Salim. 1987:10).

Dalam pembangunan jangka panjang, pengembangan sumber daya manusia perlu diperhatikan, mengingat sumber daya manusia yang kita miliki, masih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat konsumerisme atau pada umumnya, bangsa Indonesia pada saat ini memiliki budaya yang bersifat medio kritis, budaya yang berorientasi pada kepuasan hasil yang berkualitas kelas dua dan dapat bersaing (Loekman Soetrisno. 1988:11).

(14)

14 Berbicara pembangunan dan sumber daya manusia tidak lepas dengan perempuan, karena perempuan juga memiliki andil dalam pembangunan suatu bangsa, untuk itu potensi perempuan sebagai sumber daya pembangunan, sumber daya manusia, dalam wujud jumlah penduduk yang besar, merupakan salah satu potensi pembangunan yang disatu sisi merupakan modal pembangunan dan disisi lainnya merupakan beban pembangunan, perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya pribadinya, sehingga mampu mengisi berbagai peluang yang tersedia dalam proses pembangunan.

2.2.2. Perempuan, Alam, dan Feminisme

Dewasa ini wacana tentang peranan perempuan serta isu gender, tampaknya sedang menjadi pembicaraan yang hangat di masyarakat, baik ditingkat nasional maupun daerah. Pembicaraan tentang isu perempuan di berbagai kesempatan pada umumnya membahas masalah status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dianggap sub-ordinat marginal, dan streotype. Kondisi ini disebabkan oleh konstruksi sosial budaya yang meletakkan laki-laki dan perempuan secara berbeda-beda, yang didasarkan kepada permasalahan perbedaan biologis dan fisiologi dari laki-laki dan perempuan.

Partisipasi perempuan pada pengelolaan alam dan lingkungannya sudah seharusnya dilakukan dalam tradisi relegius dan kultural, perempuan sering dikatakan sebagai dekat dengan alam, alam dilihat sebagai feminin, maka dunia alam disimbulkan sebagai perempuan – ibu (Halkes. 2002:13). Alam dipersonifikasikan dengan perempuan, gadis ningrat, ibu alam: sebagai perempuan bijak atau sebagai ratu yang mengatur segalanya. Secara khusus pandangan yang paling sering muncul

(15)

15 adalah alam sebagai ibu yang memelihara, bumi yang memberi hidup (Halkes. 2002:24).

Persepsi tentang alam mengalami perubahan, sepanjang sejarah, yaitu alam sekarang semakin berpikir secara mekanis: beralih dari gambaran alam, sehingga organisme menjadi sebuah mesin. Pandangan ini amat penting, tidak hanya bagi alam, tetapi juga bagi perempuan. Dari pemuliaan alam, sampai yang ada dan melampaui budaya manusia: alam direduksi menjadi alat bagi manusia, dilihat sebagai kekuatan misterius, yang ditakuti atau dilenyapkan/kontrol. Semua interpretasi tentang alam ini mencerminkan identifikasi yang serupa tentang esensi perempuan.

Usaha pelestarian lingkungan dimengerti sebagai kesediaan manusia untuk mengikuti keterbatasannya bahwa ia tidak pernah memahami sepenuhnya kerja dunia dan semua unsurnya. Manusia mau bekerjasama dengan lingkungan alam untuk mengarahkan hidup ini secara bersama-sama untuk kesejahteraan seluruh komunitas dunia ini. Itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup sebagai mahluk sebagai subyek.

Feminisme merupakan suatu gerakan sosial yang bertujuan mendapatkan status yang sama bagi perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya (Soerjono Soekanto. 1985:17). Menurut Mira Diarsi (dalam Binar. 1998), feminisme merupakan suatu kesadaran terhadap kondisi ketertindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, dunia kerja, dan keluarga serta sebuah gerakan oleh laki-laki dan perempuan untuk mengubahnya. Adian (2001), menjelaskan bahwa feminisme merupakan aktivitas politik bagi perubahan sosial yang oleh kerenanya sarat dengan nilai. Feminisme ini merupakan aktivitas politik

(16)

16 baik ditataran wacana maupun praktis, yang berjuang merubuhkan budaya patriarki demi hubungan sosial dan budaya yang lebih menghargai kesetaraan gender.

Feminisme muncul untuk menanggapi ketimpangan antara jenis kelamin, diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan feminisme dan ekologis mempunyai tujuan yang saling memperkuat keduanya, hendaknya membangun pandangan terhadap dunia dan praktiknya yang tidak berdasarkan model-model dominasi. Ada kaitan yang sangat penting antara pola dominasi, terhadap perempuan dan perlakuan domonasi terhadap alam.

Ketidak adilan terhadap perempuan dan terhadap lingkungan ini berangkat, pertama-tama dari pengertian dari ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non manusia. Perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik, ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis. Menurut seorang ekofeminis, Karen J. Warren, hal ini tidak mengherankan, mengingat masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah laku yang memakai kerangka kerja sistem patriarki, dimana ada justifikasi hubungan dominasi dan sub-ordinasi penindatasan terhadap perempuan oleh laki-laki (Gadis Arivia. 1003: 143). Juga ditambahkan oleh Gadis Arivia bahwa dalam kenyataannya, perempuan selalu di ”alam” kan atau di ”feminin” kan. Di ”alam” kan bila diasosiasikan dengan binatang, seperti ayam, kucing, dan ular. Sementara itu, perempuan di ”feminin” kan dikaitkan dengan aktivitas seperti, diperkosa, dikuasai, dipenetrasi, digarap dan lainya yang sejenis. Kalau diperhatikan dari kata-kata tersebut yang dipakai menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam, misalnya tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, dan hutan yang diperkosa. Jadi

(17)

17 tidak mengada-ada bila perempuan dan alam mempunyai kesamaan secara simbolik, karena sama-sama ditindas oleh manusia berciri maskulin (Gadis Arivia. 2003:144).

Dalam teori Ekofeminisme, melihat individu secara lebih komperhensip, yaitu sebagai mahluk yang terikat yang berinteraksi dengan lingkungannya dan melihat adanya pergeseran paradigma, sosial konflik menuju paradigma struktural fungsional yang memberikan tempat terhadap adanya saling ketergantungan, individu dengan sebuah sistem (Megawangi. 1999:189).

Ekologi merupakan kajian yang menaruh perhatian kepada keterkaitan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya. Ellen Swallow (1842-1911) adalah penemu ilmu lingkungan. Dikalangan teoritikus feminis lingkungan dan tingkah laku menunjukkan bukti-bukti yang valid dari ”biaya-biaya” yang harus dibayar dalam kehidupan perempuan di dalam lingkunganya, khususnya dikota-kota yang tidak dengan cepat, mengakomodasi partisipasi perempuan di dalam angkatan kerja atau pola-pola keluarga yang berubah. Sebuah paradigma utama yang membimbing kepada penelitian feminis dan hak lingkungan adalah konsep keadilan, akan akses perumahan, transportasi dan pelayanan publilk bagi perempuan (Jurnal Perempuan No. 21 Tahun 2002:124)

2.3. Faktor Keluarga

Keluarga adalah sebuah komunitas yang selalu mengadakan interaksi baik keluarga inti maupun keluarga luas. Dalam tradisi Bali hubungan kekerabatan menjadi medan sosialisasi diri ditengah masyarakat. Sehubungan dengan hak reproduksi perempuan menjadi polemik, karena masih terikat pada tradisi. Memang

(18)

18 hal ini tidak bisa dipungkiri keterlibatan keluarga turut menentukan walaupun hal ini tidak terbuka dalam menentukan hak reproduksi perempuan.

Dari temuan dilapangan dilema yang di hadapi perempuan untuk menentukan hak reproduksinya, kalau dicermati sudah ada niat perempuan untuk menentukan hak reproduksi, tetapi interaksi keluarga baik kelurga inti maupun keluarga luas cukup berpengaruh terhadap hak perempuan, untuk menentukan hak reproduksinya. Dalam budaya patriarki berkaitan dengan sistem kekeluargaan patrilineal yang mengariskan bahwa anak laki-laki adalah penerus dinasti, wangsa maupun soroh (Panetje, 1986).

Wahid dkk (1996: 34) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi itu penting. Pendidikan kesehatan reproduksi meningkatkan aspek kognitif dari wanita sehingga dia tahu kapan dia sehat, kapan dia tidak sehat dari aspek reproduksi. Jadi aspek kognitif pada wanita, aspek lingkungan wanita itu dibina sehingga kondusif untuk menimbulkan perilaku sehat. Dalam perilaku sehat ini akan ada perubahan persepsi tentang penyakit, tentang gejala memperbaiki sikap mencari pertolongan.

2.4. Faktor Teknologi

Teknologi sangat berarti bagi manusia. Apapun bentuk teknologi yang manusia gunakan selalu memiliki tujuan sama, yakni sebagai alat atau cara yang dipakai untuk beradaptasi maupun mengelola lingkungan sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi. Atmadja (2000) menyatakan bahwa teknologi memberi kenyamanan, keefisienan, dan keefektifan bagi manusia dalam mengelola lingkungan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Demikian juga Campbell (1994: 41)

(19)

19 menyatakan teknologi untuk menopang kehidupan adalah dasar dari semua perubahan sosial. Seperti mesin cuci, kulkas, kompor gas, rice cooker, dan berbagai alat rumah tangga lainnya, yang dapat membantu bahkan menggantikan beberapa peran domestik seorang perempuan dan alat kontrasepsi ( KB) untuk mengatur kehamilan dan kelahiran anak. Hal ini juga berpengaruh pada perempuan pada usia subur produktif, khususnya bagi perempuan yang sudah berumah tangga untuk menentukan pilihan dalam penggunaan metode atau alat kontrasepsi yang cocok untuk menjaga kesehatan reproduksinya.

Dari temuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terutama berpengaruh terhadap wanita dan hanya sedikit atau tidak langsung terhadap lelaki, seperti misalnya teknologi kontrasepsi, menurut caranya yang banyak dipakai dan diterapkan pada wanita, meskipun sebetulnya banyak hal dapat diteliti dan diterapkan pada lelaki (Jacob, 1988:14). Seperti dapat dicermati bahwa sumber daya manusia ( pengetahuan atau pendidikan) yang dimiliki perempuan sangat menentukan termasuk pendidikan yang dimiliki perempuan sangat rendah dan terbatas terutama pemahaman terhadap temuan teknologi yang berkaitan dengan kesehatan dan hak reproduksi.

2.5. Faktor Media Massa

Media massa sebagai salah satu bentuk komunikasi modern, banyak bersentuhan dengan persoalan kemanusiaan yang sangat mendasar, sehingga berhasil membentuk suatu gaya hidup tertentu. Media adalah suatu alat yang dipergunakan oleh laki-laki untuk menyebar luaskan ideologi gender. Dari berbagai media seperti, film, televisi, majalah, koran, radio, penggambaran perempuan sifatnya stereotipikal

(20)

20 dan terdistorsi. Pesan-pesan mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan diulang-ulang secara konstan atau tetap, tentang kekerasan terhadap perempuan lewat tayangan-tayangan media massa.

Menurut Marwah Daud Ibrahim (1994:151-152) ada beberapa kemungkinan media massa kita cenderung memberikan porsi yang besar bagi penayangan berita yang berkonotasi seksual yang tidak pernah lepas dari sosok perempuan, antara lain : (1) di negara yang relatif stabil, berita politik cenderung tidak terlalu menarik. (2) ditempat yang kreativitas wartawannya terpasung oleh sejumlah perangkat aturan penguasa, biasanya cenderung mengalihkan berita kearah sensasi seksual dan sadistik yang dalam banyak hal dinilai lebih aman. (3) media massa ikut menyulut terjadinya berbagai kegiatan kejahatan(seksual) yang terjadi dalam masyarakat, seperti kita dapati ditelevisi berbagai macam film, iklan, sinetron, tabloid yang didalamnya terdapat perempuan-perempuan yang dengan murahnya memperlihatkan tubuhnya dihadapan publik. (4) berita seksual digunakan sebagai alat untuk membuat laku media massa. Media massa telah menjadi bagian dari kapitalis dan menyulut konsumerisme, yang tidak lagi memperhatikan norma dan etika pergaulan. (5) menutupi kemampuan pers yang masih kurang dalam hal menggali sesuatu yang lebih berarti dan lebih mendalam secara profesional. Dari beberapa kemungkinan di atas, dapat disimak bahwa, media massa merupakan salah satu alat/sarana untuk mengeksploitasi perempuan, dengan berbagai macam tayangan yang disajikan.

Media masa sebagai media pembelajaran untuk mengakses berbagai informasi termasuk hak reproduksi perempuan dirasakan belum memadai karena kendala-kendala yang di hadapi berupa ketersediaan surat kabar yang mengulas tentang hak reproduksi perempuan dan siaran tentang hak reprodukasi perempuan

(21)

21 dirasakan belum memadai sehingga menurut hemat penulis bahwa hak reproduksi perempuan walaupun sudah disuarakan pada media massa tetapi masih pada tingkat wacana.

2.6. Faktor Ekonomi

Sesuai dengan kodratnya kaum perempuan tampaknya tidak dapat mengingkari bahwa perempuan dengan segala pengetahuan, ketrampilan dan kedudukan yang dimilikinya telah berperan dalam bidang kesehatan. Bukti nyata yang mudah dipahami adalah peran perempuan dalam usaha memelihara kesehatan dirinya sendiri sebagai calon ibu, sebagai isteri dan ibu dari anak-anaknya ataupun keluarganya.

Di samping itu kaum perempuan dituntut untuk bisa berperan ganda dalam menjalani kodratnya sebagai perempuan (hamil, melahirkan, dan menyusui), tetapi akan sangat merugikan kesehatannya apabila seorang ibu hamil dan menyusui tetap bekerja keras untuk menambah penghasilan keluarga, di samping dituntut melaksanakan pekerjaan rumah tangga (Dep.Kesehatan RI ).

Faktor ekonomi mempunyai kaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan hak reproduksi perempuan. Banyak faktor yang mempengaruhi keluarga terutama perempuan terhadap masalah kesehatan dan hak reproduksinya serta tugas suci seorang ibu untuk hamil, melahirkan dan mengasuh anak serta melayani suami. Namun, dengan tingkat ekonomi yang kurang memadai juga merupakan dilema dalam menata kehidupan keluarga. Fakih (2003:65) mengatakan bahwa tujuan dan target harus mencapai kebutuhan dasar bagi semua rakyat dimanapun. Kebutuhan ini termasuk makan, air, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Termasuk perempuan dalam rumah tangga banyak

(22)

22 mengetahui seluk-beluk kebutuhan dalam rumah tangga dibandingkan dengan laki-laki, termasuk kebutuhan dasar keluarga. Sehubungan dengan hal tersebut maka kesehatan dan hak reproduksi perempuan perlu mendapat tempat dan perhatian dari kaum laki-laki. Beberapa pertimbangan yang dirasakan perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam kehidupan keluarga yakni kebutuhan seperti biaya sekolah anak, biaya upacara adat.

Nampak dalam peran gender, bahwa yang bertanggungjawab dalam keluarga bukan hanya laki-laki yang selama ini dijuluki sebagai penanggungjawab keluarga tetapi juga perempuan sebagai ibu rumah tangga mempunyai karakter yang tidak kalah dengan laki-laki, hal ini sebagai wujud kesetaraan. Untuk dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) hendaknya ada mitrakesejajaran antara perempuan dan laki-laki.

Terkait dengan permasalahan diatas dapat dikaji dari teori dan beberapa pendapat yang antara lain, teori pengambilan keputusan, dari Pudjiwati Sajogyo (1983; 58), mengungkapkan ada lima pola dalam pengambilan keputusan,

(1) pengambilan keputusan oleh istri sendiri, (2) pengambilan keputusan oleh suami sendiri,

(3) keputusan yang dibuat oleh suami-istri bersama dengan pengaruh istri lebih besar,

(4) keputusan antara suami-istri dengan pengaruh suami lebih besar, (5) keputusan suami-istri bersama yang setara.

Dalam pemikiran dari White dan Lestari Hastuti (dalam Pujiwati Sajogya,1983: 41) ada tiga faktor yang mempengaruhi suami-istri dalam pengambilan keputusan, yakni; perkawinan, pewarisan, dan sumber daya pribadi.

(23)

23 Pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekerabatan patilineal membawa konsekuensi bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang istri lebih rendah dari pada suami. Akan tetapi, karena dipihak lain ada pengaruh dari sumber daya pribadi yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dapat memberikan sumbangan untuk meningkatkan potensi perempuan dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini secara tidak langsung, akan dapat menimbulkan perubahan dalam pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga dan keluarga. Perubahan dalam distribusi kekuasaan dapat dilihat dan adanya perubahan pola pengambilan keputusan oleh laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga (Sajogya, 1983: Astiti, 1986).

Feminisme merupakan gerakan sosial yang bertujuan mendapatkan status yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan lainnya ( Soerjono, 1985). Dalam teori Feminisme gelombang ke tiga, yang salah satu di dalamnya adalah teori Ekofeminisme, yaitu suatu teori yang menyuarakan bagaimana penindasan atas perempuan.

Menurut Catriona Sandiland dalam Marselina Nope (2005:94) mengatakan bahwa dalam bentuk penciptaannya, dualisme seksual bahwa kealamiahan perempuan ditindas oleh kebudayaan laki-laki secara tidak disadari, terekspresi dalam pernyataan yang berkaitan dengan alam, yang disimpulkan bahwa penindasan atas perempuan berakar dalam pelabelan perempuan sebagai alam. Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini beranjak pertama-tama dari pengertian dari ketidakadilan yang dilakukan manusia terhadap alam, perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminisme dan ekologis (alam).

(24)

24 Sedangkan menurut pandangan teori Feminisme liberal (dikenal dengan nama kaum feminisme hak-hak perempuan). Feminisme ini pertama dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft dkk, termasuk di dalamnya Betty Friedan yang dalam tulisannya berjudul ”The Feminisme Mystique” dan ”The Second Stage” yang menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk kelingkungan publik (Ihromi, 1995: 86-87). Dimana masyarakat beranggapan bahwa perempuan, karena kondisi alamiah yang dimilikinya, kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibanding laki-laki (Ihromi, 1995: 86-87).

2.7. Faktor Lingkungan

Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan, selain itu pengambilan keputusan telah diratifikasi pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dalam UU No. 7 Tahun 1984. Namun kenyataan menunjukkan bahwa perempuan mengalami ketertinggalam atau ketidak beruntungan lebih banyak dibandingkan kaum laki-laki, diantaranya di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti penting dalam upaya mewujudkan kemitra sejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kemitera sejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan adalah suatu kondisi hubungan, kedudukan, hak dan kewajiban serta kesempatan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan

(25)

25 negara maupun dalam kegiatan pembangunan di segala bidang (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita. 1998).

Peranan perempuan dalam pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh perempuan pada status dan kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan dibidang ekonomi, politik, sosial dan budaya maupun pembangunan bidang pertahanan baik dalam keluarga dan masyarakat.

Pada dasarnya masyarakat yang berkembang akan dapat tersudut dan bertahan karena memiliki prinsip-prinsip kehidupan yang disesuaikan dengan lingkungan kehidupannya. Lingkungan fisik memberikan lahan dan sumber daya alam bagi kelangsungan hidup mereka, juga mengembangkan kemampuan mereka untuk menguasai atau menyesuaikan kehidupannya dengan mengembangkan teknologi yang berguna. Lingkungan sosial menginginkan mereka untuk mengadakan interaksi antara sesamanya atau pada lingkungan yang luas dengan masyarakat lainnya, dengan cara membentuk lembaga sosial fungsional.

Sementara itu lingkungan budaya menunjukkan pada kemampuan mereka untuk mengembangkan pranata budaya yang berarti bagi kehidupan mereka berupa aktivitas dan tradisi, adat dan kebiasaan serta norma dan nilai yang berguna bagi kelangsungan kehidupan masyarakat. Spradley (1986), mengatakan lingkungan merupakan ”pola dari” dan ”pola bagi”, perkembangan kehidupan masyarakat, karena pola perkembangan masyarakat mengembangkan kemampuan untuk mengadaptasinya, demikian juga lingkungan berpengaruh pada kehidupan masyarakat itu sendiri.

Di Indonesia strategi pembangunan yang melibatkan perempuan baru beberapa tahun teakhir di jalankan. Sebagai contoh penyediaan air bersih dari perusahaan

(26)

26 daerah air minum (PDAM), tahun 1977 bahwa melibatkan perempuan agar terjadi peningkatkan pelanggan PDAM. Selama ini penyuluhan tentang air bersih lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, pada hal pengguna dan pengelola air bersih lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Perempuan lah yang mengatur keputusan tentang air di dalam rumah tangga. Untuk mengupayakan peranan perempuan yang berwawasan gender/berspektif gender, dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender atau kemitera sejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Karena dalam proses pembangunan dalam kenyataan menunjukkan, perempuan sebagai sumber daya insani, masih mendapatkan perbedaan perlakuan (diskriminasi). Terutama, jika perempuan bergerak di sektor publik dirasakan banyak ketimpangan.

Untuk mewujudkan kemitera sejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan tersebut, perlu didukung perilaku saling menghargai atau saling menghormati, saling membutuhkan, saling membantu, saling pengertian, saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian tidak ada pihak-pihak (laki-laki dan perempuan) yang merasa dirugikan sehingga pembangunan akan sukses dan berhasil.

Dari apa yang dipaparkan di atas, nampak bahwa perempuan mempunyai peran serta yang cukup besar dalam usaha konservasi lingkungan. Ekofrminisme sangat menekankan perlunya mengakhiri permainan kekuatan dan mulai berbagai serta membangun solidaritas antara penghuni lingkungan, sehingga setiap penghuni dapat tinggal dengan aman dan damai bersma-sama.

Secara garis besar peran serta perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, salah satunya dibidang pengembangan dan pelestarian lingkungan hidup, hal ini perlu didukung oleh

(27)

27 perilaku saling menghargai, menghormati, saling membantu, saing peduli, saling membutuhkan dan saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan.

3. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpualan, berikut.

1. Dari faktor internal dan faktor eksternal, semuanya sangat mempengaruhi perempuan Bali di desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi, yang disebabkan karena sistem kekerabatan patriineal yang masih kuat dalam tradisi masyarakat Bali.

2. Perempuan Bali (etnis Bali) di desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi belum sepenuhnya diperoleh, terkait dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki laki-laki (suami).

3. Dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi masih meminta persetujuan dengan pasangannya (suami), dikarenakan suami memegang wewenang dan kekuasaan dalam keluarga dan sistem patriarki yang masih membelenggu perempuan.

4 . Saran

1. Untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender(KKG), faktor internal dan eksternal hendaknya lebih mendapat perhatian, dari semua pihak asalkan tidak bertentangan dengan keyakinan dan agama yang dianut.

2. Hak reproduksi perempuan termasuk hak pengambilan keputusan untuk menentukan jumlah, jarak dan penentuan waktu kelahiran harus dihargai oleh semua pihak termasuk keluarga dan masyarakat.

(28)

28 3. Masih perlunya sosialisasi dan penyuluhan tentang gender tidak hanya diperuntukan bagi kaum perempuan tetapi juga laki-laki secara berkesinambungan, baik di daerah perkotaan dan di pedesaan.

5. Daftar Pustaka

Astiti, TIP. 1986. Perubahan Ekonomi Rumah Tangga dan Status Sosial Wanita Dalam Masyarakat Bali Yang Patrilinial.(Tesis). Bogor: IPB.

Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Ketidak Seimbangan Nilai dan sikap Budaya Pradana dan Prurusa: Sumber Kekerasan dan Solusinya, Pidato Pengukuhan Guru Besar, IKIP Negeri, Singaraja.

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial Sketsa, Penilaian,Perbandingan Yogjakarta: Kanisius.

Fakih, Mansyur. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

--- 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisas. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Ihromi, 1995. Kajian wanita Dalam pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jacob, T. 1993. Manusia, Ilmu dan Teknologi:Pergumulan Abadi Dalam Perang dan Damai, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Keesing, Roger. M. 1999. Antropologi Bidaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Airlangga.

Panetja, I Gde. 1981. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Denpasar: CV. Kayumas.

(29)

29 Roger, Susan Carol. 1978. Womans Place: A Critical Review of Antrophological Theory, Camparative Studies In Society in History Vol. 20 No. 1 Cambrige, University Press.

Sayogja, Pujiwati. 1983. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: Rajawali.

Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Sudarta, Wayan. 2006. Pola Pngambilan Keputusan Suami-Istri Rumah Tangga Petani Pada Berbagai Bidang Kehidupan, dalam Ni Luh Arjani (ed), Kembang Rampai Perempuan Bali. Denpasar: CV Karya Sastra.

Wahid, Abdurrahman (dkk). 1996. Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan Ketimpangan Gende. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wagner, Lola dan Dani Irawan Jatim. 1997. Susatu Studi Antropologi: Seksualitas di Pulau Batam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wiana, Ketut. 2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar: Penerbit Bali Post.

Referensi

Dokumen terkait

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

public relatlons menjadi sumbcr infonrasi bagi pihak manajcmcr dalam proses pembuatan kebijakan yang men$ntungkan baik bagi organisasi maupun publik sehingga kisis

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul

Data mengenai pangan yang berpotensi sebagai pendorong dan penghambat zat besi dihitung dengan cara mengklasifikasikan bahan pangan yang dikonsumsi kedalam bahan

HONORARIUM PANITIA PELAKSANA KEGIATAN; HONORARIUM PEGAWAI HONORER / TIDAK TETAP; BANTUAN TRANSPORT NARASUMBER DAN BANTUAN TRANSPORT PESERTA; HONORARIUM NARASUMBER; BELANJA

Prinsip belajar menurut teori behaviorisme yang dikemukan oleh Harley dan Davis (1978) yang banyak dipakai adalah : proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut

Tujuan : Mengetahui perbedaan pemakaian antibiotik ceftriaxone dan non ceftriaxone terhadap infeksi luka operasi operasi (ILO) pada pasien apendisitis akut non komplikata

Peraturan Pemerintah Republik lndonesia Nornor g rahun 2003 tentang wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan pemberhentian pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik