• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol. 12, No. 2, Desember 2015 DAFTAR ISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vol. 12, No. 2, Desember 2015 DAFTAR ISI"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Jurnal Penelitian

Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015

Catatan Redaksi iii Artikel

• PKB, Kegagalan Pelembagaan Shared Values dan Dampaknya Firman Noor 1–20 • Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/

Walikota di Indonesia

Eko Noer Kristiyanto 21–31 • Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi Lokal:

Studi Konflik di Bima

Septi Satriani 33–49 • Fenomena ‘Bosisme Lokal’ di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni

Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara

Eka Suaib dan La Husen Zuada 51–69 • Nilai Strategis Aliansi Indonesia dengan Amerika Serikat

dalam Pengamanan Blok Laut Ambalat

Yanyan M. Yani dan Ian Montratama 71–86 Resume Penelitian

• Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Non-Tradisional Athiqah Nur Alami 87–103 • Menata Ulang Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintah Daerah Demokratis, Akuntabel, dan Berkelanjutan

Kurniawati Hastuti Dewi 105–118 • Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah,

dan Aljazair

Muhammad Fakhry Ghafur 119–135 Review Buku

• Indonesia - Taiwan ECA: A Need of Strong Policy Action

René L Pattiradjawane 137–139

Tentang Penulis 141–142

Indeks 143–144

(2)
(3)

CATATAN REDAKSI

Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan

yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui kebiajkan-kebijakan publik yang dihasilkannya. Kebijakan publik tidak hanya berfungsi untuk mengatur berbagai segmen kehidupan bernegara tetapi juga sebagai perlindungan pemerintah atas kehidupan masyarakatnya. Proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik selalu menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Pada satu masa atau pada satu kelompok masyarakat, sebuah kebijakan publik dirasakan memberikan kebaikan, namun pada masa dan kelompok masyarakat yang lain, kebijakan publik justru menjadi penghancur usaha masyarakat menuju kebahagiaan hidupnya.

Proses perumusan kebijakan publik tentu idealnya berasal dari persoalan-persoalan mendasar yang ada di dalam masyarakat, serta memberikan ruang kepada masyarakat untuk terlibat langsung dan aktif dalam perumusan tersebut. Proses perumusan kebijakan publik amat sering mengalami politisasi dari penguasa atau elit politik. Tidak jarang sebuah kebijakan publik menjadi tidak dapat ditetapkan atau disahkan berkat campur tangan para elit yang merasa terganggu keberadaannya. Namun, di sisi lain, tidak mengherankan jika sebuah kebijakan publik yang justru merugikan rakyat malah didahulukan untuk ditetapkan.

Implementasi dari kebijakan publik pun mengalami berbagai persoalan. Tebang pilih, seringkali dilihat sebagai persoalan utama ketika implementasi sebuah kebijakan tidak diberlakukan sama rata. Hal yang juga seringkali dilupakan adalah menyiapkan perangkat peraturan pelaksana dan personil yang dapat mengawasi proses implementasi dari kebijakan tersebut. Pada tataran evaluasi, rekomendasi dari hasil evaluasi implementasi sebuah kebijakan publik seringkali diabaikan oleh para pemangku kebijakan. Hasil sebuah evaluasi seringkali

tidak menjadi rekomendasi utama dalam perumusan kegiatan-kegiatan pemerintah yang bersinggungan dengan kebijakan tersebut. Berbagai persoalan secara teoritik dan praktis dari politik dan kebijakan publik inilah yang mendorong Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 2, Desember 2015 kali ini mengangkat tema berbagai persoalan terkait dengan politik dan kebijakan publik dan beberapa isu yang terkait dengannya. Terbtan kali ini menyajikan lima artikel, tiga resume penelitian dan satu artikel review buku, yang kami sajikan di bawah tema “ Politik dan Kebijakan Publik: Perspektif Teori dan Praktis”.

Artikel pertama merupakan tulisan dari Firman Noor, yang membahas tentang “PKB, kegagalan Pelembagaan Shared Values dan Dampaknya”. Dalam tulisannya, Firman mengulas tentang kegagalan PKB dalam pelembagaan shared values, ia mencatat bahwa dari sisi substansi, muncul sebuah relativisme yang menyulitkan penciptaan distinctive values bagi partai ini dengan partai-pertai yang berlatar belakang NU lainnya. Pada sisi aplikasinya, nilai-nilai yang bekerja pada level keormasan

(civil society), yakni NU, tidak dapat dengan

mudah ditransformasikan pada level partai (political society).

Artikel selanjutnya mengulas tentang “Rekonstruksi Sistem Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/ Walikota di Indonesia” yang ditulis oleh Eko Noer Kristiyanto. Dalam tulisannya ini, Eko memberikan rekomendasi untuk perubahan kebijakan dalam hal sistem pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Dasar pertimbangan yang ditelaah dalam tulisannya didasarkan pada kajian terhadap kaidah-kaidah hukun dan asas-asas hukum yang selama ini mengatur tentang sistem pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, yang dilakukan secara langsung. Telaah yang dilakukan oleh Eko Noer menitikberatkan ketimpangan dan dualisme dari

(4)

kedudukan, peranan, fungsi dan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur di era otonomi daerah yang berbeda jika dibandingkan dengan Bupati/Walikota.

Artikel ketiga merupakan hasil karya dari Septi Satriani, yang melihat pada “Hubungan Negara-Warga dan Demokrasi Lokal: Studi Konflik Tambang di Bima”. Tulisan ini berangkat dari premis bahwa negara demokratis adalah sebuah negara yang jika hubungan Negara dan Warga tidak berbatas, lebih sejajar, lebih terlindungi dan ikatan untuk konsultasi juga lebih kuat. Dengan berpijak pada premis tersebut, Septi memperlihatkan dalam tulisannya bagaimana derajat demokrasi yang dibangun antara Negara (Bupati) dengan warga Kecamatan Lambu. Tulisan ini menyimpulkan bahwa hubungan politik Negara atau Bupati Ferry dengan Warga dalam konflik tambang di Kecamatan Lambu dalam posisi yang terbatas atau tidak luas, terbatas dalam hal aman terlindungi dan posisi konsultasi yang tidak saling mengikat.

Eka Suaib dan La Husen Zuada dalam artikel selanjutnya menulis tentang “Fenomena ‘Bosisme Lokal’ di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara”. Tulisan ini mengangkat seorang politisi di Sulawesi Tenggara, bernama Nur Alam yang cukup fenomenal sebagai pemimpin politik dan bahkan penguasa sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut. Dalam tulisannya tersebut, Eko menyebut Nur Alam sebagai “bos lokal” yang menguasai akses politik, birokrasi, hukum dan ekonomi di Sulawesi Tenggara, dengan didasarkan pada konsep yang disampaikan oleh John Sidel terkait “bos lokal”.

Artikel dengan judul “Nilai Strategis Aliansi Indonesia dengan Amerika Serikat dalam Pengamanan Blok Laut Ambalat” yang ditulis oleh Yanyan M. Yani dan Ian Montratama adalah artikel keempat yang disajikan dalam jurnal edisi ini. Artikel ini melihat berbagai manfaat bagi Indonesia untuk beraliansi dengan Amerika Serikat dalam kasus pengamanan perairan bermasalah di Blok Laut Ambalat. Lewat tulisan ini Yanyan dan Ian menunjukkan bahwa kemitraan strategis RI dan AS membuka jalan untuk meningkatkan kekuatan relatif bagi Indonesia, sekaligus menurunkan

kekuatan aliansi FPDA yang mana Malaysia merasa memiliki kekuatan yang lebih besar dari Indonesia di dalam aliansi tersebut.

Tiga artikel selanjutnya merupakan bentuk resume penelitian yang dihasilkan di Pusat penelitian Politik. Resume penelitian pertama dengan tema “Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Non-Tradisional”, ditulis oleh Athiqah Nur Alami. Penelitian ini merupakan assesment terhadap pola dan tren pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam empat isu keamanan non tradisional, yaitu lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional dan terorisme internasional. Kajian ini menganalisis perkembangan dan pengaruh isu-isu keamanan non tradisional yang strategis bagi politik luar negeri Indonesia.

Resume kedua adalah rangkuman dari penelitian dengan tema “Menata Ulang Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah Demokratis, Akuntabel, dan Berkelanjutan”, yang ditulis oleh Kurniawati Hastuti Dewi. Penelitian ini merumuskan model penataan ulang Pemilukada yang tepat bagi Indonesia. Melalui penelitian ini, tim merekomendasikan agar Pemilukada dilakukan secara “asimetris”, di mana Pemilukada dilaksanakan bervariasi levelnya tergantung kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah.

Resume selanjutnya berkenaan dengan “Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah dan Aljazair”. Resume penelitian yang ditulis oleh Muhammad Fakhry Ghafur ini menyajikan dinamika gejolak politik yang terjadi di Yaman, Suriah dan Aljazair. Ketiga negara tersebut dalam penelitian ini memperlihatkan gejala yang hampir sama, yaitu kecenderungan untuk kembali pada pemerintahan otoritarianisme.

Pada bagian terakhir kami menyajikan artikel berjudul “Indonesia-Taiwan ECA : a Need of

Strong Policy Actions” dalam bentuk review

buku yang ditulis oleh René L Pattiradjawane. Ia memberikan review atas buku yang berjudul “Indonesia-Taiwan Economic Cooperation Arrangement: Is it Feasible?”. René menjelaskan berbagai kemungkinan bagi Indonesia untuk membentuk kerjasama di bidang ekonomi

(5)

dengan Taiwan, mengingat semakin besarnya peran Taiwan dalam peta ekonomi dunia saat ini. Apakah Indonesia akan siap berada di antara dua kekuatan, Taiwan dan Beijing? Serta bagaimana menempatkan diri dalam hubungan bilateral dengan kedua negara yang saling berseberangan secara politik tersebut.

Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan Jurnal Penelitian Politik, mulai dari penulis, mitra bestari dan pengelola jurnal. Kami berharap semoga

kehadiran jurnal ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan dan praktis terkait dengan kebijakan publik dari sisi teori dan praktis. Selamat membaca.

(6)
(7)

Jurnal Penelitian

Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015

DDC: 324.23

Firman Noor

PKB, KEGAGALAN PELEMBAGAAN

SHARED VALUES DAN DAMPAKNYA

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm. 1-20

Kegagalan PKB dalam melembagakan shared

values memiliki dampak yang serius bagi keberadaan

partai ini. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni hadirnya shared values yang terlalu umum dan lemahnya komitmen membangun shared values yang dapat dijadikan working ideology dan identitas kolektif. Selain itu, peran serta lembaga lain di luar partai dalam proses pembentukan dan penyebaran

shared values justru cenderung mengacaukan proses

ini. Ada tiga dampak dari lemahnya keberadaan

shared values dalam PKB, terciptanya faksi-faksi

atau pengelompokan atas dasar pragmatisme, tumbuhnya loyalitas kepada tokoh dan bukan partai, dan munculnya gradasi pemahaman atas ideologi. Ketiga hal itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab bagi sulit terbangunnya soliditas dalam partai ini.

Kata Kunci: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai politik, pelembagaan.

DDC: 352.14

Eko Noer Kristiyanto

REKONSTRUKSI SISTEM

PEMILIHAN GUBERNUR DAN

PEMILIHAN BUPATI/ WALIKOTA DI

INDONESIA

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

21-31

Pemilihan kepala daerah dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yaitu gubernur di tingkat provinsi dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/ kota. Pengisian jabatan kepala daerah di tingkat provinsi adalah sama dengan pengisian jabatan kepala daerah di kabupaten kota, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Di Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Mengingat perbedaan kedudukan provinsi dan kabupaten/ kota serta perbedaan peranan antara gubernur dan bupati/ walikota, apakah cara pemilihan kepala daerah yang dilakukan di provinsi dan kabupaten/kota harus sama?. Tulisan ini menjelaskan bahwa pemilihan di provinsi sebaiknya dilakukan secara tak langsung, namun disisi lain pemilihan langsung harus tetap dipertahankan di tingkat kabupaten/ kota. Banyak hal positif jika dua mekanisme ini dilaksanakan dan cara ini tidak bertentangan dengan konstitusi.

Kata Kunci: pemerintahan daerah, kepala daerah, dekonsentrasi, desentralisasi.

(8)

DDC: 321.8

Septi Satriani

HUBUNGAN NEGARA-WARGA

DAN DEMOKRASI LOKAL: STUDI

KONFLIK TAMBANG DI BIMA

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

33-49

Tulisan ini mengkaji hubungan negara-warga dalam konteks berdemokrasi dengan menggunakan perspektif demokrasi Charles Thilly. Dalam perspektif yang sederhana, Charles Tilly mengatakan bahwa sebuah rezim yang demokratis adalah rezim yang pada tingkat hubungan politik antara negara dengan warganya pada posisi yang tanpa batas, setara, aman terlindungi serta pada posisi konsultasi yang saling mengikat. Sementara yang tidak demokratis jika hubungan antara negara dengan warga itu dangkal, kurang terlindungi, kurang sejajar posisinya dan hubungannya konsultasinya juga tidak erat. Jika mendasarkan pada parameter-parameter milik Charles Tilly ini derajat demokrasi di Bima dalam kasus konflik Lambu masuk dalam kategori perpotongan antara kapasitas rendah demokratis dan kapasitas rendah tidak demokratis.

Kata Kunci: Negara, Warga, Hubungan, Demokrasi Lokal.

DDC: 352.25

Eko Suaib dan La Husen Zuada

FENOMENA ‘BOSISME LOKAL’

DI ERA DESENTRALISASI: STUDI

HEGEMONI POLITIK NUR ALAM DI

SULAWESI TENGGARA

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

51-69

Artikel ini membahas tentang kemunculan Nur Alam sebagai bossisme lokal di Sulawesi Tenggara. Ia mengawali karir sebagai pengusaha di zaman Orde Baru. Reformasi dan desentralisasi membawa Nur Alam masuk dunia politik dengan menjadi deklarator Partai Amanat Nasional, lalu kemudian

memimpin PAN Sultra dan terpilih sebagai Gubernur. Pasca dipimpin Nur Alam, PAN Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan suara dan kursi pada Pemilu Legislatif 2004, 2009 dan 2014; mampu memenangkan pemilihan Gubernur 2007 dan 2012; serta memenangkan 10 dari 12 Pemilukada Kabupaten/Kota yang berlangsung tahun 2010 sampai 2013. Saat dipimpin Nur Alam, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara meningkat, angka kemiskinan menurun dan kualitas infrastruktur fisik semakin baik. Posisi Nur Alam sebagai ketua PAN sekaligus sebagai Gubernur menjadikannya sangat berpengaruh di Sulawesi Tenggara. Nur Alam semakin kuat secara ekonomi dan semakin berkuasa secara politik, berkat keberhasilannya menaklukkan lawan politiknya serta kemampuan menjalin kerja sama dengan para elit politik lokal lainnya. Ia juga mulai memanfaatkan kelonggaran pengaturan desentralisasi dengan mempersiapkan keluarganya sebagai pewaris tahta kekuasaannya.

Kata Kunci: bosisme lokal, desentralisasi, Sulawesi Tenggara.

DDC: 327.598.073

Yanyan. M. Yani dan Ian Montratama

NILAI STRATEGIS ALIANSI

INDONESIA DENGAN AMERIKA

SERIKAT DALAM PENGAMANAN

BLOK LAUT AMBALAT

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

71-86

Dalam era globalisasi, kekuatan besar semakin memiliki pengaruh yang lebih intens dan luas ke negara-negara lain yang lebih lemah di dunia. Secara teoritis, Walt berpendapat bahwa negara-negara sedang dan lemah terpaksa mendekati negara yang lebih kuat untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman. Namun dalam prakteknya, Indonesia tetap teguh untuk menjadi negara netral yang tidak beraliansi ke pihak manapun. Paper ini akan mengkaji manfaat bagi Indonesia untuk beraliansi dengan Amerika Serikat dalam kasus pengamanan perairan bermasalah di Blok Laut Ambalat.

Kata Kunci: globalisasi, kekuatan besar, negara sedang, kuasi-aliansi, Blok Laut Ambalat.

(9)

DDC: 327.598

Athiqah Nur Alami

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

DAN ISU KEAMANAN

NON-TRADISIONAL

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

87-103

Isu keamanan non-tradisional telah menjadi agenda politik luar negeri Indonesia sejak dua dasawarsa terakhir. Hal tersebut dipengaruhi oleh berakhirnya Perang Dingin dan semakin menguatnya ancaman keamanan non-tradisional yang sifatnya lintas negara yang membahayakan sendi-sendi kehidupan warga negaranya. Ancaman keamanan non-tradisional tersebut antara lain isu mengenai perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup, keamanan energi, migrasi internasional, dan juga terorisme internasional.Sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia juga tidak dapat terhindarkan dari ancaman keamanan non-tradisional yang memerlukan penanganan tidak hanya kebijakan domestik tapi juga kebijakan luar negeri. Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji urgensi isu keamanan non-tradisional dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Kata kunci: politik luar negeri Indonesia, keamanan non-tradisional.

DDC: 324.6

Kurniawati Hastuti Dewi

MENATA ULANG PEMILUKADA

MENUJU TATA KELOLA

PEMERINTAHAN DAERAH YANG

DEMOKRATIS, AKUNTABEL, DAN

BERKELANJUTAN

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

105-118

Penelitian ini merumuskan model penataan ulang Pemilukada yang tepat bagi Indonesia. Atas dasar berbagai temuan empiris evaluasi format Pemilukada dibawah UU No. 32/2004 selama tiga tahun berturut-turut (2012, 2013, 2014) penelitian ini

merekomendasikan Pemilukada “asimetris” dimana Pemilukada dilaksanakan bervariasi levelnya tergantung kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah. Selain itu, penelitian ini merekomendasikan berbagai intervensi regulative dan teknis untuk menata ulang Pemilukada yang demokratis, akuntabel, berkelanjutan.

Kata Kunci: pemilihan langsung kepala daerah (pemilukada), asimetris, pemerintahan daerah.

DDC: 297.272

Muhammad Fakhry Ghafur

PROBLEMATIKA KEKUATAN

POLITIK ISLAM DI YAMAN,

SURIAH, DAN ALJAZAIR

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

119-135

Gelombang revolusi atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring yang melanda Timur Tengah dewasa ini telah mengubah peta politik di kawasan tersebut dengan munculnya kekuatan politik Islam, dalam arti aktivitas politik yang didasari oleh prinsip-prinsip Islam baik dari titik tolak, program, agenda maupun tujuannya. Kendati demikian, di sejumlah negara masih saja ada sikap phobia terhadap Islam. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pembalikan kembali ke rezim otoritarianisme atau “backward

bending prosses” seperti yang terjadi di Tunisia,

Mesir, dan Libya, dimana rezim militer dapat berkuasa kembali. Demikian juga di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh digantikan oleh wakilnya yang berhaluan militer, Abd Rabbuh Manshur Hadi, sampai akhirnya harus terusir oleh gerakan separatis Al-Houti. Sedangkan di Suriah kekuatan politik Islam kerap mendapat serangan dari rezim Bashar Al-Assad yang sampai saat ini masih berkuasa. Adapun di Aljazair –meskipun tidak melebihi gejolak politik seperti yang terjadi di Yaman dan Suriah- gerakan Islam yang terdiri dari Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafiyyah membentuk aliansi dan meraih suara signifikan dalam pemilu parlemen 2012 meskipun pada akhirnya rezim militer dapat mendominasi kehidupan politik negara. Fenomena kekuatan politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair akan menjadi fokus kajian ini.

(10)

DDC: 3.375.980.512

Rene L. Pattiradjawane

KERJA SAMA EKONOMI

INDONESIA-TAIWAN: PERLUNYA

KEBIJAKAN YANG KUAT

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015, Hlm.

137-139

Ulasan buku ini membahas tentang kemungkinan diadakannya perjanjian kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Taiwan. Meskipun Indonesia dan Taiwan tidak memiliki hubungan diplomatik, akan tetapi dengan melihat berkembangnya investasi dan perdagangan di antara kedua negara, Taiwan dapat dilihat sebagai salah satu mitra penting bagi Indonesia di dalam konteks kerja sama ekonomi. Studi ini memaparkan bahwa pembentukan perjanjian kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Taiwan akan memperkuat aliran investasi,

dan akan meningkatkan hubungan ekonomi antara Indonesia-Taiwan. Selain itu, perjanjian kerja sama ekonomi dapat dipertimbangkan sebagai sebuah kebijakan yang mungkin dilakukan oleh kedua negara. Permasalahan dalam mendorong lebih jauh kerja sama di antara kedua negara ini adalah adanya kebijakan “Satu China”. Dengan adanya perubahan geopolitik di kawasan Asia Timur, Indonesia perlu mempertimbangkan adanya peluang untuk merumuskan ulang pemahaman Indonesia tentang kebijakan “Satu China”, dan membuat sebuah kebijakan yang kuat untuk mengatur hubungannya dengan Taiwan.

Kata Kunci: perjanjian kerja sama ekonomi, hubungan Indonesia-Taiwan, kebijakan Satu China

(11)

Jurnal Penelitian

Politik

Vol. 12, No. 2, Desember 2015

DDC: 324.23

Firman Noor

PKB, THE FAILURE OF SHARED

VALUES INSTITUTIONALIZATION

AND ITS IMPACTS

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 1-20

The failure of PKB to institutionalize shared values has provided deep impact of its existence. The presence of vague or indistinct values and party less commitment to establish shared values as working ideology and collective identity are factors behind such a failure. Moreover, the massive role of outsiders in assisting party to create and socialize shared values also becomes the thing that confuses the value infusion process. There are three impacts of the absent of shared values in PKB namely, the establishment of internal factions or grouping based on the spirit of pragmatism, the growth of loyalty dedicated to the figures rather than the party itself which over time overshadows cadres’ loyalty to the party and the appearance of different or gradation in understanding party’s ideology. Those three impacts eventually have become reason behind catastrophic condition that ruins party’s internal solidity.

Keywords: PKB, political party,

instituionalization.

DDC: 352.14

Eko Noer Kristiyanto

THE RECONSTRUCTION OF

ELECTION SYSTEM OF GOVERNOR

AND REGENT/MAYOR IN INDONESIA

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 21-31

Local elections are meant to elect the provincial governors and regents/mayors in the district/ city. Filling the post of the head of the region at the provincial level is the same as charging regional head office in the city district, which is elected directly by the people. In Indonesia, the enforcement of government embraces the principles of decentralization, deconcentration, and assistance mandate. Deconcentration and assistance mandate are conducted since not all authorities and administration tasks can be performed by using the principle of decentralization. Decentralization is simply defined as delegation of authority. While deconcentration is the delegation of authority from central government to governor as government’s representative in the province. Given the differences in the position of the provincial and district/city as well as the difference between the role of governors and regents/mayors, must the implementatiom of local elections be the same among regions?. This paper explains that the elections in the province should be indirect, on the other hand, direct elections must be maintained at the district/city level. There will be many positive things if these two mechanisms are implemented. These mechanisms also do not contradict to the constitution.

Keywords: local government, district head,

(12)

DDC: 321.8

Septi Satriani

STATE-CITIZEN RELATIONS AND

LOCAL DEMOCRACY: A STUDY ON

MINING CONFLICT IN BIMA

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 33-49

This paper examines the state-citizens relation in a democratic context based on Charles Tilly’s approach. Charles Tilly argues that the degree of democratic regime can be seen based on the state’s capacity to accommodate public engagement. Following Charles Tilly’s argument, a democratic regime provides equal political relation. On the contrary, state-citizen relation in an undemocratic regime is unequal. Based on Charles Thilly’s perspective on state-citizen relations, Lambu’s mining conflict, at district of Bima, West Nusa Tenggara Province is in the intersection category between low capacity democracy and low capacity undemocracy.

Keywords: State, Citizen, Relation, Local

Democracy.

DDC: 352.25

Eka Suaib dan La Husen Zuada

THE PHENOMENON OF

‘LOCAL BOSSISM’ IN THE

DECENTRALIZATION ORDER: THE

STUDY OF NUR ALAM POLITICAL

HEGEMONY IN SOUTHEAST

SULAWESI

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 51-69

This article discusses the emergence of Nur Alam as local bossism in Southeast Sulawesi. He started his career as an entrepreneur in the New Order era. Reform era and decentralization brought Nur Alam in political world by becoming the declarator of Amanat National Party (PAN) in Southeast Sulawesi, then lead the party and elected as a governor. After Nur Alam lead PAN in Southeast Sulawesi, this party has significant vote in the

legislative elections in 2004, 2009 and 2014; was able to win the governor election in 2007 and 2012; and won 10 of 12 local election which took place in 2010 to 2013. During his leadership in Southeast Sulawesi, the economic growth was increased, the poverty rate was decreased, even the quality of physical infrastructure. His position as the leader of PAN as well as the governor in Southeast Sulawesi makes Nur Alam has big influence. He becomes stronger economically and more powerful politically because of his success in conquering his political opposition as well as his ability to collaborate with other local political elites. He also began to utilize the weakness of decentralization regulation by preparing his family as heir to the throne of his power.

Keywords: local bossism, decentralization,

Southeast Sulawesi.

DDC: 327.598.073

Yanyan. M. Yani dan Ian Montratama

STRATEGIC VALUE OF ALLIANCE

BETWEEN INDONESIA AND THE

UNITED STATES OF AMERICA IN

DEFENDING AMBALAT SEA BLOCK

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page 71-86

In globalization era, great powers pose more intense and wider influence toward other lesser states in the globe. Theoritically, Walt argues that medium and lesser states tend to align toward greater powers to have protection against threat. However, in practice, Indonesia keeps standing to become a neutral state that does not ally to any power blocks. This paper will examine the benefit for Indonesia to ally with the United States OF America in a case of securing the trouble water in Ambalat Sea Bloc.

Keywords: globalization, great power, medium state,

quasi-alliance, Ambalat Sea Bloc.

DDC: 327.598

Athiqah Nur Alami

INDONESIAN FOREIGN POLICY

AND NON-TRADITIONAL SECURITY

ISSUES

(13)

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page

87-103

Non-traditional security issues have become Indonesian foreign policy agenda since the last two decades. It is influenced by the Cold War and the growing strength of non traditional security threats that are transnational and endanger the life of people. The non traditional security threats include climate change and environmental destruction, energy security, international migration, and international terrorism. As part of international community, Indonesia is also unavoidable from non-traditional security threats that require the handling of not only domestic policy but also foreign policy. To that end, this paper will examine the importance of non-traditional security issues in Indonesian foreign policy.

Keywords: Indonesian foreign policy, non traditional

security.

DDC: 324.6

Kurniawati Hastuti Dewi

REFORMULATING DIRECT LOCAL

ELECTIONS TO ACHIEVE A

DEMOCRATIC, ACCOUNTABLE AND

SUSTAINABLE LOCAL GOVERNANCE

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page

105-118

This research formulated a better model of direct local elections for Indonesia. Based on the depth findings of three series of researches (2012, 2013, 2014) on direct local elections under Law No. 32/2004, this research recommended the “asymmetrical” direct local elections model in which direct local elections shall be varied in level depends on the quality of human development index and regional budget capacity. This research also suggested regulative and technical interventions to achieve democratic, accountable and sustainable direct local elections.

Keywords: direct local elections, assymmetrical,

local government.

DDC: 297.272

Muhammad Fakhry Ghafur

PROBLEMS OF THE POWER OF

POLITICAL ISLAM IN YEMEN, SYRIA

AND ALGERIA

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page

119-135

The wave of democratization in the Middle East today has changed the political map of the region with the emergence of the power of political Islam, in the mean of political activity based on the principles of Islam both from the point of departure, the program, agenda and objectives. Nevertheless, in some countries there is still an attitude phobia against Islam. This shows the regime’s efforts to return to authoritarianism or “backward bending prosses” as an example in Tunisia, Egypt, and Libya, where the military regime can return to political power. Similarly in Yemen, Ali Abdullah Saleh’s regime was replaced by his deputy military, Abd Rabbuh Mansur Hadi, who must be driven by the separatist movement Al-Houti. Whereas in Syria the Islamic political forces are always under attack from the regime of Bashar Al-Assad which is still in power. As for the Algerian Islamic movements like the Muslim Brotherhood and Salafiyyah, they form alliances and achieve a significant voice in the parliamentary elections in 2012 although the military regime may dominate the political life of the country. The phenomenon of the power of political Islam in Yemen, Syria, and Algeria will be the focus of this study.

Keywords: Political Islam, Yemen, Syria, Algeria.

DDC: 3.375.980.512

Rene L. Pattiradjawane

INDONESIA – TAIWAN ECA : A NEED

OF STRONG POLICY ACTIONS

Jurnal Penelitian Politik

Vol. 12, No. 2, December 2015, Page

137-139

(14)

This review discuss about the feasibility of economic cooperation agrrement between Indonesia and Taiwan (Republic of China). Although Indonesia do not have yet diplomatic relation with Taiwan, but in the economic context, Taiwan is one of important economic partner for Indonesia, since investment activity and trade between two countries are flourishing. This study promotes that the establishment of Economic Cooperation Agreement (ECA) between Indonesia and Taiwan will strengthen investment flows and enhance Indonesia-Taiwan economic relations. Besides, ECA will be considered as a fesible policy for both sides. The problem in enhancing further bilateral cooperation is the One China Policy. Because of the changing of geopolitical conditions in East Asia, Indonesia needs to consider the opportunity to reformulate the “One China Policy” and takes strong policy action in their relations.

Keywords: Economic Cooperation Agrrement,

(15)

PKB, KEGAGALAN PELEMBAGAAN SHARED VALUES

DAN DAMPAKNYA

PKB, THE FAILURE OF SHARED VALUES INSTITUTIONALIZATION

AND ITS IMPACTS

Dr. Firman Noor, MA (Hons)

Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta

E-mail: firman.noor@yahoo.co.id

Diterima: 6 Agustus 2015; direvisi: 11 September 2015; disetujui: 20 Oktober 2015 Abstract

The failure of PKB to institutionalize shared values has provided deep impact of its existence. The presence of vague or indistinct values and party less commitment to establish shared values as working ideology and collective identity are factors behind such a failure. Moreover, the massive role of outsiders in assisting party to create and socialize shared values also becomes the thing that confuses the value infusion process. There are three impacts of the absent of shared values in PKB namely, the establishment of internal factions or grouping based on the spirit of pragmatism, the growth of loyalty dedicated to the figures rather than the party itself which over time overshadows cadres’ loyalty to the party and the appearance of different or gradation in understanding party’s ideology. Those three impacts eventually have become reason behind catastrophic condition that ruins party’s internal solidity.

Keywords: PKB, political party, institutionalization.

Abstrak

Kegagalan PKB dalam melembagakan shared values memiliki dampak yang serius bagi keberadaan partai ini. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni hadirnya shared values yang terlalu umum dan lemahnya komitmen membangun shared values yang dapat dijadikan working ideology dan identitas kolektif. Selain itu, peran serta lembaga lain di luar partai dalam proses pembentukan dan penyebaran shared values justru cenderung mengacaukan proses ini. Ada tiga dampak dari lemahnya keberadaan shared values dalam PKB, terciptanya faksi-faksi atau pengelompokan atas dasar pragmatisme, tumbuhnya loyalitas kepada tokoh dan bukan partai, dan munculnya gradasi pemahaman atas ideologi. Ketiga hal itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab bagi sulit terbangunnya soliditas dalam partai ini.

Kata Kunci: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai politik, pelembagaan.

Pendahuluan

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah satu di antara partai yang paling dinamis dalam konstelasi politik era reformasi. Partai ini diprediksi akan tumbuh kuat dan solid serta akan muncul menjadi kekuatan politik yang disegani. Dalam dua kali pemilu di awal reformasi partai

ini terbukti mampu menjelma menjadi partai dengan jumlah pemilih terbesar ketiga, setelah Golkar dan PDIP. Selain itu, K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) salah satu deklarator partai pun terpilih menjadi presiden pertama di era reformasi.

(16)

Namun demikian, dalam perkembangannya, prediksi tersebut tidaklah seutuhnya terjadi. Belum genap tiga tahun berdiri, PKB tidak saja mengalami konflik internal, namun juga perpecahan yang berujung pada muncuknya kepengurusan kembar. Sejarah kemudian mencatat bahwa tidak ada partai di Indonesia yang mengalami perpecahan dan melahirkan kepengurusan kembar sebanyak partai ini. Begitu juga tidak ada satupun partai yang menyelenggarakan muktamar atau kongres nasional hingga tujuh kali dalam periode sepuluh tahun keberadaannya. Perpecahan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dalam partai ini.

Berangkat dari fenomena tersebut, tulisan ini bermaksud menganalisis mengapa partai kalangan Nahdliyin ini memiliki potensi perpecahan yang demikian tinggi. Untuk kepentingan tersebut tulisan ini mencoba menawarkan jawaban dengan mengaitkan fenomena itu dengan kondisi internal partai yang jauh dari ideal, dimana kondisi yang jauh dari ideal itu sendiri diasumsikan adalah sebagai efek dari lemahnya pelembagaan partai.

Berdasarkan asumsi sedemikian, tulisan ini akan mengkaji situasi pelembagaan yang ada dalam PKB. Meski demikian, tulisan ini tidak bermaksud menelaah keseluruhan dimensi yang menentukan kuat atau lemahnya pelembagaan. Tulisan ini hanya akan menelaah satu dimensi saja yakni, pelembagaan nilai-nilai bersama (shared values) atau umum secara teoritis dikenal sebagai value infusion. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan dimensi yang lain, namun lebih karena keterbatasan penulis. Selain itu, kajian mengenai shared values termasuk yang paling prinsipil tidak saja dalam melihat dampak pelembagaan dalam sebuah partai, namun pula dalam memahami hakekat partai itu secara hampir keseluruhan.

Dalam pada itu, kajian mengenai PKB telah dilakukan oleh banyak pihak, mencakup banyak aspek dari partai ini. Berbagai kajian itu, telah dengan baik memotret kondisi internal partai1. Namun kajian-kajian yang melandaskan

1 Kamarudin, Konflik Internal PKB, (Depok: Akses Publishing,

2008); A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002); A. Effendy Choirie,

Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi,

(Jakarta: Pensil-234, 2008); Yenny Zannuba Wahid, A. Effendy Choirie, M. Kholid Syeirazi, (Eds), 9 Tahun PKB Kritk dan

diri pada perpektif pelembagaan masih belum banyak. Padahal kondisi pelembagaan partai tidak dapat dikesampingkan manakala kita akan membahas situasi internal sebuah partai politik. Studi Randall dan Svasand2 mengindikasikan peran penting kondisi pelembagaan dalam memahami kehidupan internal partai politik. Kajian mereka mengisyaratkan sejumlah keunggulan, di antaranya adalah cukup dapat menangkap apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa penting dalam sebuah partai. Persoalan konflik internal PKB, misalnya, tidak hanya dilihat dalam soal bagaimana konflik itu berlangsung, namun apa yang menyebabkan potensi konflik itu eksis dan belakangan demikian mudah tersulut.

Sehubungan dengan tujuan penulisan di atas ada tiga hal yang akan dikaji dalam tulisan ini. (1) eksistensi (potensi) shared values yang ada dalam PKB, (2) kondisi infusi shared

values dalam partai ini, dan (3), dampak yang

ditimbulkan dari kondisi nilai-nilai bersama itu bagi soliditas PKB. Adapun periode pembahasan akan difokuskan pada periode 1998-2008, atau dekade awal reformasi, dimana soliditas partai demikian cair yang kemudian menimbulkan dampak yang kompleks bagi PKB.

Kerangka Konseptual

Pelembagaan partai (party institutinalisation) telah menjadi sebuah perspektif yang kembali bangkit dalam beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu politik, terutama dalam membahas kondisi internal partai-partai, dengan tidak harus terkait dengan sistem kepartaian. Kajian Maurice Duverger3

, misalnya, dipandang

sebagai kajian pembuka bagi kehadiran

perspektif pelembagaan ini. Beberapa kajian

dengan perspektif pelembagaan kemudian

bermunculan

4

, membawa beberapa dimensi

Harapan, (Jakarta: Panitia Nasional Harlah Ke-9 PKB, 2007).

2 Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization

in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8 January/1/2002.

3 Maurice Duverger, Political Parties: Their Organisation and

Activity in the Modern State, (London: Methuen, 1964).

4 Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study of the

Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, (New York:

The Free Press, 1966); Samuel P. Huntington, Political Order

(17)

dan aspek baru dalam kajian pelembagaan

partai ini.

1. Infusi Nilai-Nilai Bersama sebagai Dimensi Pelembagaan

Perlu disampaikan bahwa dalam perpektif pelembagaan partai, dimensi infusi nilai-nilai termasuk dalam aspek khusus. Ada dua aspek lain dalam teori-teori pelembagaan partai yang bersifat “non-nilai-nilai” yang umum diketahui. Pertama, aspek internal, yang terutama berhubungan dengan keberadaan dan kedudukan prosedur atau aturan main partai. Biasanya para teoretisi pelembagaan membahas aspek ini dengan mengaitkannya pada soal seberapa besar tingkat konsistensi partai dalam melaksanakan regulasi internal, eksistensi manajemen konflik, rekrutmen dan kaderisasi yang sistematis. Partai yang terlembaga, dengan demikian, adalah partai yang konsisten menerapkan aturan main dan memiliki kelengkapan untuk melaksanakan aturan main itu.

Kedua, aspek eksternal. Dalam aspek ini

titik fokus kajiannya adalah mengevaluasi pola hubungan antara partai politik dengan elemen-elemen yang melingkupi dan mempengaruhi kehidupannya. Aspek eskternal ini melihat sejauhmana kemampuan sebuah partai untuk bertahan dalam sebuah sistem politik. Secara spesifik, aspek eksternal ini mencakup hal seperti kemandirian dalam pengambilan keputusan, kemampuan beradaptasi dan pengembangan hubungan yang mapan dengan masyarakat berdasarkan identitas bersama (reification), dan keberlanjutan berpartisipasi dalam pemilu.

Aspek nilai-nilai, di sisi lain, tidak dapat dimasukan dalam kedua aspek di atas. Dapat

1968); Kenneth Janda, Political Parties: A Cross National

Survey, (New York: The Free Press, 1980); Angelo Panebianco, Political Parties: Organization and Power, (Cambridge:

Cambridge University Press, 1988); James W. McGuire,

Peronism without Peron. Unions, Parties and Democracy in Argentina, (Stanford: Stanford University Press, 1997); Steven

Levitsky “Institutionalisation and Peronism: the Case, the Concept and Case for Unpacking the Concept”, Party Politics, Vol.4, No.1, 1998; Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8 January/1/2002; Mathias Basedau dan Alexander Stroh, “Measuring Party Institutionalization in Developing Countries: A New Research Instrument Applied to 28 African Political Parties”, GIGA Working Papers, (Hamburg: GIGA Research Program, 2008).

diartikan sebagai aspek ketiga yang terkait dengan soal-soal yang bersifat substansial, yang berkenaan dengan upaya-upaya menegakkan dan memantapkan nilai-nilai bersama, melalui infusi nilai (value infusion) di sebuah partai. Berbeda dengan aspek-aspek ”non-nilai” yang terlihat bersifat prosedural dan ”teknis”, aspek ini menekankan arti penting hal-hal seperti, norma, keyakinan atau ideologi, nilai-nilai bersama,

platform, kebiasaan, tradisi, figur atau bahkan

romantisme atas kejayaan masa lalu5. Levitsky mengatakan bahwa persoalan bagaimana nilai-nilai itu ditransformasikan dan memunculkan rasa hormat, bahkan ketergantungan, kader dan pendukung terhadap partai merupakan indikasi dari terlembaganya partai. Di sini, partai telah pada level atau status “bernilai karena keberadaanya” (valued for itself) di mata para anggotanya 6. Dalam tulisan ini, dengan demikian eksistensi PKB akan dilihat dalam konteks eksistensi nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai itu ditransformasikan dan berperan dalam memberikan identitas kolektif.7

2. Dampak atas Hilangnya Shared Values Keberadaan seperangkat shared values dapat berdampak positif terhadap partai. Hal ini terutama berperan sebagai sesuatu yang memotivasi kader untuk dapat bergerak tanpa berharap imbalan-imbalan material. Dengan kata lain, keberadaannya dapat menumbuhkan idealisme atau pemantapan nilai-nilai, yang pada akhirnya dapat memelihara komitmen kader untuk terus menjaga keberlangsungan hidup dan jati diri partai. Tidak selamanya sebuah partai yang mampu menjalankan rutinitas manajerial dapat menjamin keberlangsungan hidup partai sebagaimana yang diharapkan8.

Selain itu, adanya nilai-nilai bersama yang ditanamkan dan berkembang dalam sebuah

5 Steven Levitsky, “Institutionalisation and Peronism: the Case,

the Concept and Case for Unpacking the Concept,” Party

Politics, Vol. 4, No. 1, hlm. 77-92.

6 Ibid., hlm. 82.

7 Deliar Noer, “Ideologi, Politik dan Pembangunan”, (Jakarta:

Yayasan Perkhidmatan 1983) dalam Kamarudin, Partai Politik

Islam di Pentas Reformasi. Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004, hlm. 50.

(18)

partai mampu menciptakan identitas kolektif di setiap kadernya. Di sini, arti penting partai tidak saja terkait dengan upaya menjaga tujuan-tujuan politiknya, melainkan telah pada posisi sangat pribadi dimana partai menurut Selznick sudah menjadi “pemuas kebutuhan personal”9

.

Partai telah mewakili keyakinan asasi para

anggotanya dan menjelma menjadi “the

’receptacle’ of group idealism” (“wadah dari

idealisme kelompok”).

10

Lebih dari itu, nilai-nilai bersama itu dapat pula menjadi petunjuk (guidance) atas sebuah standard perilaku yang dikehendaki. Menurut McGuire, infusi nilai-nilai memiliki peran fundamental pada upaya partai meningkatkan kemampuan organisasi untuk membentuk dan memaksakan tingkah laku (yang dapat diterima) pada sebuah periode waktu yang lama11. Keberadaan komitmen ini juga mendorong kader memperbaiki perilakunya menurut nilai-nilai ini,12 dengan kata lain menjadi code of conduct.

Keberadaan shared values untuk jangka waktu yang panjang secara teoritis menjadi suatu hal yang turut mendorong soliditas partai.13 Di sisi lain, ketiadaan atau lemahnya peran shared

values canderung akan memberikan peluang

kepada tiap anggota partai untuk dapat bertindak secara bebas sesuai dengan kepentingan masing-masing. Keadaan ini berpotensi menyuburkan sikap inkonsistensi, perilaku pragmatis atas dasar kepentingan diri sendiri, dan terciptanya perselisihan yang sulit dikompromikan. Dengan kata lain, lemahnya soliditas partai dan lemahnya pelembagaan akan nilai-nilai bersama di sebuah partai adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.

PKB Selayang Pandang

Keberadaan PKB secara normatif terkait erat dengan upaya mengembalikan kedudukan

9 Philip Selznick, Leadershp in Administration: A Sociological

Interpretation, (New York: Row, Peterson and and Company,

1957), hlm. 17. 10 Ibid., hlm. 22.

11 James W. McGuire, Peronism without Peron. Unions, Parties

and Democracy in Argentina, (Stanford: Stanford University

Press, 1997), hlm. 8. 12 Ibid., hlm. 8.

13 Randall dan Svasand, op.cit., hlm. 13.

NU dalam kancah politik nasional, disamping menjadi saluran bagi ide-ide dan kepentingan kalangan santri tradisional yang selama ini tenggelam. Kedudukan ini membuat PKB merupakan simbol kebangkitan bagi politik NU, meski dalam prakteknya ada pula kalangan NU yang mendirikan partai lain atau menjadi anggota partai lain. Meski demikian, kalangan santri tradisional dan ulama menyadari, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, bahwa peran yang dimainkannya melebihi sekadar memperjuangkan kepentingan kalangan santri tradisonal. Ini menjadi salah satu alasan dibalik dipilihnya kata “Bangsa” dan bukan “Ulama” atau “Ummat”.

Upaya menghadirkan sebuah partai yang menaungi kepentingan NU ini telah datang tidak lama setelah reformasi bergulir. Kalangan NU dari seluruh penjuru Indonesia, terutama di Jawa, mendorong Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk membentuk partai yang dapat menyalurkan aspirasi mereka. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, ada yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama parpol, lambang parpol, bentuk hubungan dengan NU, ada yang mengusulkan visi dan misi parpol, AD/ART parpol, nama-nama untuk menjadi pengurus parpol, ada juga yang mengusulkan semuanya. Di antara yang usulannya paling lengkap adalah Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai KH M Cholil Bisri dan Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Jawa Barat.

Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat PBNU menanggapinya secara hati-hati. Hal ini didasarkan pada adanya kebijakan khittah yang menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. K.H Abdurrahman Wahid, sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU sendiri pada awalnya menolak jika PBNU harus berurusan dengan pembuatan partai. Namun dalam perkembangannya PBNU tidak dapat mengelak dari keinginan masyarakat NU yang bersemangat untuk membuat partai. PBNU akhirnya mengambil jalan tengah yakni, bersedia untuk mendirikan partai tanpa harus menjadi partai. Atas dasar kepentingan seperti itulah PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan

(19)

Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi pendirian partai. PBNU kemudian membentuk Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima14.

Setelah Tim Lima dan Tim Asistensi menyelesaikan tugasnya PBNU memutuskan hari pendeklarasian partai. Pada tanggal 23 Juli 1998, bertempat di kediaman Gus Dur, PKB dideklarasikan oleh lima orang tokoh NU yakni, K.H Munasir Ali, K.H. Ilyas Ruhiyat, K.H. Muchid Muzadi, K.H. Abdul Mustofa Bisri dan K.H. Abddurahman Wahid. Deklarasi ini dihadiri oleh ribuan santri NU. Hadir pula politisi, agamawan, cendikiawan, diplomat dan tokoh-tokoh nasional yang bersimpati dengan konsep perjuangan PKB. Beberapa kalangan merespons positif kehadiran partai ini dan beberapa diantaranya memprediksikan bahwa PKB akan memainkan peran penting pada Pemilu 1999 dan percaturan politik nasional.

Proses kelahiran partai ini memperlihatkan bagaimana PKB menjadi satu-satunya partai yang difasilitasi oleh NU. Meski PBNU menjaga agar NU tidak terikat dengan PKB, pertumbuhan PKB di daerah-daerah banyak pula disokong oleh pengurus NU di daerah. Dalam perkembangannya, peran NU tidak saja bersifat seremonial dan administratif, namun pula dalam hal yang bersifat esensial, seperti nilai-niai bersama, pemikiran, dan budaya politik. Masa pendirian partai dan kampanye merupakan era ketika nilai-nilai bersama itu marak digembar-gemborkan. Pada situasi semacam itulah kesadaran sebagai kelompok Nahdliyin yang berideologikan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) dengan tradisi pesantren yang kuat

14 Tugas kedua tim ini secara prinsip adalah dalam

menginventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU. Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya. Tanggal 26 - 28 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Pertemuan ini menghasilkan lima rancangan: Pokok-pokok Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, Mabda’ Siyasiy, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART dan Naskah Deklarasi.

berikut pemahaman dan peran kebangsaannya coba untuk didengung-dengungkan.

Namun upaya itu tidak berlangsung lama dan berkelanjutan. Khofifah Indar Parawansa membenarkan situasi ini dengan menyatakan bahwa kesadaran tentang shared values itu ada pada masa pembentukan partai dan kampanye untuk kemudian menghilang15. Hal mana terlihat kemudian dengan munculnya fenomena konflik internal yang berlangsung secara beruntun. Pada tahun 2001 PKB terpecah menjadi PKB-Kuningan dan PKB-Batu Tulis. Sekitar empat tahun kemudian muncul kepengurusan kembar yakni PKB-Alwi dengan PKB-Gus Dur. Menjelang Pemilu 2008, konflik kembali melanda yang berujung pada munculnya kepengurusan PKB-Ancol dan PKB-Parung. Berbagai persitiwa itu memancing berbagai spekulasi atas kemunculan fragmentasi yang nampak nyaris tiada hentinya itu.

Pada masa-masa berikutnya, khususnya pasca wafatnya Gus Dur, upaya untuk mendekat kepada warga Nahdiyin dengan menawarkan ideologi Aswaja dan spirit kebangsaan ini mulai dikedepankan lagi16. Situasi ini terkait dengan upaya untuk kembali menyatukan elemen-elemen NU dan PKB yang telah tercerai berai pascakonflik berkepanjangan, dalam rangka menjaga eksistensi PKB yang berpotensi terancam hilang pada Pemilu 2014 jika elemen-elemen partai itu tidak mau juga bersatu. Hal ini kembali membuktikan tesis bahwa kesadaran untuk menumbuhkan semangat Aswaja sebagai shared values muncul pada masa-masa khas terutama dalam rangka membangun sebuah barisan. Kerja-kerja untuk membangun kembali shared values dan upaya untuk mengimplementasikannya secara lebih konsisten belakangan nampak mulai membawa hasil.

15 Wawancara dengan Khofifah Indar Parawansa, Menteri

Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001), Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu DPP PKB (2002-2005), di Jakarta, 20 Oktober 2010.

16 Wawancara dengan Ahmad Shodiq Noor, Sekretaris Jenderal

(20)

Shared Values dalam PKB: Sintesa

As-waja, Supremasi Kyai dan Kebangsaan

Bagian ini membahas shared values dalam PKB. Pembahasan di bawah memperlihatkan bahwa

shared values yang dimiliki PKB pada dasarnya

masih bersifat potensi ketimbang manifes. Sebagai partai yang didirikan oleh warga NU dan difasilitasi oleh PBNU, PKB tidak dapat melepaskan dari tardisi dan nilai-nilai ke-NU-an. Sejauh ini ada beberapa nilai yang mengikat kaum Nahdiyin pada khususnya dan kader PKB pada umumnya, yang berangkat dari tradisi Islam Tradisional yakni (1) paham Aswaja, (2), tradisi kepatuhan santri atas kyai (supremasi kyai) dan (3), nilai-nilai kebangsaan, termasuk di dalamnya penghormatan terhadap pluralisme dan demokrasi menjadi nilai-nilai yang dikembangkan dalam partai ini17. Ketiga hal itulah merupakan norma-norma yang berpotensi berperan menjadi shared values dan juga shared

values yang mengikat secara naluriah

orang-orang NU pada umumnya.

Ketiga nilai itu pulalah yang kemudian dirangkum dan coba dikembangkan oleh para pendiri PKB di awal pendiriannya. Hasil dari rangkuman nilai-nilai itu menurut Kacung Marijan, salah seorang penyusun ideologi PKB versi Rembang, merupakan sebuah sintesa yang termaktub dalam ideologi “kebangsaan dalam semangat Islam Aswaja”, atau “nilai-nilai keAswajaan dalam semangat kebangsaan”18. Dua nilai pokok yang ditopang oleh tradisi pesantren ini merupakan sokoguru yang tidak dapat dilepaskan dalam ideologi politik yang diyakini oleh para warga NU.

Namun demikian, “ideologi PKB” dengan ketiga nilai yang ada dalam tubuh NU itu tidak serta merta dapat ditegakkan dengan mudah. Dalam konteks internal, yang seharusnya dapat

17 Tentang pemahaman Aswaja lihat H. Munawir Abdul Fattah,

Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,

2008). Tentang Tradisi Pesantern lihat Zamakhsyari Dhofier,

Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,

(Jakarta: LP3ES, 1982); Kacung, Marijan Quo Vadis NU: NU

setelah Khittah 1926, (Surabaya: Penerbit Erlangga, 1992).

Tentang Paham Kebangsaan lihat A. Effendy, Choirie,

Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi,

(Jakarta: Pensil-234, 2008).

18 Wawancara dengan Prof. Dr. Kacung Marijan, Pengamat

Politik NU dan Anggota Tim Asistensi Pendirian PKB versi Rembang, di Jakarta 26 November 2010.

mengatur kesamaan pandang dan tingkah laku, nilai-nilai ini seolah menjadi hambar. Ada semacam missing link manakala nilai-nilai, yang demikian tumbuh dan berkembang dalam NU itu, masuk dalam dunia politik, yang menyebabkan nilai-nilai itu tidak saja mengalami gradasi, namun cenderung terabaikan.

1. Paham Aswaja

Menurut HA Thoyfer MC, seorang politisi NU, paham Aswaja mengatur kegiatan kalangan Nahdliyin tidak saja dalam konteks individu namun pula berorganisasi19. Nilai-nilai itu sendiri dilembagakan dalam tradisi NU dan dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat secara jelas dalam agenda perjuangan organisasi yang menempatkan perjuangan penegakan Aswaja sebagai salah satu alasan utama (raison de etre) berdirinya NU20.

Namun demikian kesibukan para mujtahid

Aswaja atau aparatus ideologi dalam memberikan

rel berpolitik PKB cenderung melupakan kerja-kerja penafsiran yang mengarah pada pembentukan kedisiplinan dan loyalitas kader dalam lingkup internal. Dalam prakteknya nilai Aswaja ini lebih difokuskan pada posisinya sebagai pembimbing pilihan kebijakan (policy

domain). Namun sebagai sebuah identitas

yang mengikat (identity domain) persoalan itu dianggap telah selesai taken for granted tanpa ada sebuah upaya sistematis menjadikannya sebagai tuntunan perilaku berorganisasi.

Situasi ini menyebabkan paham ini belum menjadi nilai yang dilembagakan dan menentukan pembentukan code of conduct dalam PKB. Hal ini tidak saja menyebabkan munculnya berbagai penafsiran mengenai ideologi Aswaja, namun juga berpotensi menyebabkan masuknya paham atau nilai-nilai lain dalam kehidupan berpolitik orang NU dan kader PKB. Keterbengkalaian inilah yang menurut Khamami Zada menyebabkan banyaknya kader PKB di era reformasi yang

19 HA Thoyfoer MC, Politik Kebangsaan NU. Tafsir Khitah

Nahdlatul Ulama 1926, (Yogyakarta: Mutiara, 2010), hlm.

92-93.

20 Mengenai Aswaja sebagai agenda utama NU lihat Choirul

Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010); Kacung Marijan, Quo Vadis NU: NU

setelah Khittah 1926, (Surabaya: Penerbit Erlangga, 1992);

Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003).

(21)

dengan mudahnya memutuskan loncat pagar dan masuk dalam pangkuan organisasi lain, terutama dalam menyalurkan aspirasi politiknya21.

Lebih dari itu, upaya pengembangan penafsiran atas nilai yang belum komprehensif menyebabkan ideologi Aswaja tidak mendapat warna yang substantif di PKB, dan masih cenderung lebih menjadi identitas ke-NU-an. Oleh karena itu, secara umum PKB dalam hal ini dapat dikatakan belum mampu membangun sebuah

shared values yang khas dirinya yang kemudian

dapat diimplementasikan dalam konteks internal partai secara baik. Ketergantungan ideologis (idelogical dependency) semacam ini memperlihatkan sebuah sisi negatif dari “fenomena copy paste” NU, baik secara organisatoris maupun ideologis22, dalam tubuh partai yang didirikannya sendiri.

2. Supremasi Kyai

Pada soal nilai ketaatan santri kepada kyai merupakan sebuah potensi shared values di antara warga NU juga menunjukan gejala problematik yang sama. Sebenarnya dalam lingkup nonpolitik nilai ini nyaris bersifat absolut, dan dalam konteks sosial keagamaan telah menjadi karakter yang memberikan identitas khusus bagi NU. Peran menonjol kyai, yang dalam bahasa Dhofier adalah “raja kecil”23, telah ada dalam komunitas ini bahkan jauh sebelum jamiya terbentuk. Situasi ini terus dilestarikan, dan terjadi dengan sendirinya mengingat peran kyai dalam kehidupan santri mulai dalam persoalan membangun masyarakat dan negara hingga menyentuh persoalan paling privat dalam kehidupannya24. Tidak mengherankan jika kyai

21 Khamami Zada, “NU, Politik dan Khidmat Umat“, Kompas,

15 Desember 2006.

22 A. Effendy Choirie, “Menjadikan PKB Partai Nasional dan

Terbuka“, dalam Yenny Zannuba Wahid, A. Effendy Choirie, M. Kholid Syeirazi, (Eds), 9 Tahun PKB Kritk dan Harapan, (Jakarta: Panitia Nasional Harlah Ke-9 PKB, 2007), hlm. 189-190. Lihat juga A. Effendy, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB

Studi Komparasi dan Diplomasi, (Jakarta: Pensil-234, 2008).

23 Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup

Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm.58.

24 Wawancara dengan Anas Nashikin, Sekertaris Jenderal

Garda Bangsa, di Jakarta, 26 Oktober 2010. Lihat juga Ibid, hlm. 57-60.

bagi sementara pengamat merupakan penuntun tingkah laku para santri.

Alasan supremasi kyai ini pulalah yang mendorong NU keluar dari Masyumi di tahun 195225 dan mendorong pendukung PKB untuk bersedia berkorban jiwa raga membela Gus Dur, Sang Guru-Wali, yang tengah menghadapi

impeachment di tahun 2001. Dalam AD/ART

PKB refleksi dari nilai ini adalah dengan menempatkan para kyai dalam Dewan Syuriah yang merupakan the real leader dalam organisasi itu. Sedangkan Dewan Tanfidz, yang diisi para putra kyai dan santri pada umumnya, hanyalah merupakan pelaksana dari kebijakan yang telah digariskannya.

Namun demikian, kondisi tradisi di atas cenderung menjadi relatif dalam dunia politik. Naluri komunitas NU mengandalkan tradisi supremasi kyai, yang salah satunya berintikan aspek ketaatan, tidak terjaga dengan baik dalam konteks politik dan kekuasaan. Dalam dunia politik pola tersebut cenderung menjadi relatif, kabur dan bahkan berantakan. Dalam lingkar elite, beberapa fenomena dalam tubuh NU dan juga pada akhirnya PKB, menunjukan pola bagaimana kelompok santri kerap melakukan penyeimbangan peran bahkan perlawanan terhadap kehendak dan aspirasi kyai, yang tercermin dari konflik antara Dewan Syuro (representasi kyai) dan Dewan Tanfidz (representasi santri).

Peran dan kedudukan Dr. Idham Cholid, Ketua Dewan Tanfidz terlama dalam sejarah NU (1952-1984), vis a vis Dewan Syuriah yang ulang kali menyebabkan pergesekan diantara ke dua badan itu dan belakangan menciptakan faksionalisasi dalam tubuh NU yakni “Kelompok Cipasung” dan “Kelompok Situbodo”, menjadi contoh simbolik situasi ini. Kondisi ini disimpulkan dengan baik oleh Mahrus Irsyam dengan menyebutnya sebagai sebuah fenomena “simbiosis mutualisme”26. Pola hubungan yang disebabkan persaingan kyai dan santri ini memunculkan fenomena

25 Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU

1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003); Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999).

26 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik. Upaya Mengatasi

(22)

persaingan vertikal diantara keduanya, yang biasanya diredakan jika kemudian bisa saling menguntungkan. Fenomena semacam ini menunjukan tidak berlakukan pola patron-client dalam tubuh komunitas NU manakala memasuki atau menyentuh wilayah politik27

.

Di sisi lain, tradisi ketaatan ini pun tidak berjalan dengan mulus pada level akar rumput. Fenomena berpikir dan berkehendak bebas ini dalam batas-batas tertentu merasuki ranah dunia pesantren dan memiliki implikasi yang cukup rumit, terutama dalam konteks politik. Situasi ini sejalan dengan berkembangnya masyarakat ke arah yang semakin individualistik dan independen. Beberapa fenomena kegagalan PKB dalam memenangkan hati warga NU dalam pilkada, meski telah “mengunci” kyai berpengaruh di sebuah wilayah, membuktikan adanya gradasi pandangan masyarakat terhadap peran kyai sebagai “juru arah aspirasi”. Situasi inilah yang kemudian dipahami sebagai munculnya fenomena masyarakat pragmatis atau masyarakat yang semakin “rasional”28.

Fenomena di atas memperlihatkan adanya sebuah persoalan besar, baik pada level elit (hubungan Dewan Syuriah dan Dewan Tanfidziyah) dan akar rumput (hubungan kyai dan santri serta masyarakat sekitar), dalam upaya pemantapan tradisi supremasi kyai ini di dalam konteks politik. Yang dapat disimpulkan bahwa tradisi supremasi kyai nampak tidak terlalu kokoh dalam dunia politik.

Dalam situasi seperti itulah NU mewariskan salah satu shared values-nya yang potensial itu kepada PKB. Sayangnya partai tidak menerimanya secara kritis, dengan menengok sejarah dan gejala kontemporer yang ada. Nilai tersebut cenderung dianggap statis dan diterima apa adanya, dengan harapan kepatuhan itu akan ada dengan sendirinya. Penerimaan pasif itu tercermin dari kurangnya komitmen membenahi pola hubungan kyai-santri dalam ranah politik

27 Ibid., hlm. 7-8.

28 Wawancara dengan Ali Masykur Musa, Wakil Ketua Umum

Dewan Tanfidz PKB (2005-2010) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB-Versi Parung (2008-2009), di Jakarta 19 Oktober 2010. Lihat juga sikap kritis santri Dr. Faisal Ismail, MA, “Pilihan Politik Kiai dan Daya Kritis Jamaah NU”, dalam Dr. Faisal Ismail, MA, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1999), hlm. 27-34.

yang problematik itu. Kondisi inilah yang menyebabkan potensi shared values dalam diri tradisi patronase itu tidak berkembang dengan lebih baik, ataupun mampu dijadikan sebagai penjaga disiplin perilaku para kader partai. 3. Komitmen Kebangsaan

Komitmen kebangsaan sebenarnya merupakan

shared values yang berkembang dalam tubuh NU

begitu pula dalam PKB. Kesadaran kebangsaan ini merupakan salah satu ciri khas keduanya yang diakui banyak kalangan. Dalam soal paham kebangsaan, nilai-nilai keagamaan NU yang sarat dengan ajaran seperti tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), dan fleksibel mampu membuat dirinya beradaptasi dan menjadi garda terdepan bagi pembelaan dan penguatan nilai-nilai keindonesiaan29, bahkan sejak bangsa ini belum berdiri hingga di era Reformasi30. Nilai-nilai semacam ini telah menjadi pengikatan warga NU, mengingat praktek keagamaan yang sarat dengan pergumulan nilai-nilai lokal setempat dan keislaman. Dalam perkembangannya, nilai-nilai ini diperbaharui dengan lebih kontekstual lagi oleh Gus Dur.

Namun demikian pengembangan ide kebangsaan dalam ranah keagamaan sebagaimana di atas tidaklah dimiliki oleh NU atau juga PKB semata. Hampir semua ormas dan orpol yang berbasiskan komunitas Islam mengakui hubungan tak terpisahkan antara agama dan kebangsaan. Bahkan PKS yang tumbuh dalam lagam pemikiran neo-reivalisme, juga semakin menunjukan prilaku kebangsaannya. Situasi ini menyebabkan dalam titik tertentu muncul semacam “relativisme identitas” yang pada akhirnya turut menopang kebebasan berpihak dan bertingkah laku bagi warga NU dalam menjalankan dan menyalurkan aspirasi kebangsaannya itu. Oleh karena itu, muncul pemikiran bahwa kebangsaan versi NU atau PKB dalam prakteknya dapat diterapkan pada banyak

29 Ali Masykur Musa, “Politik NU dan Pragmatisme Parpol”,

dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul

Ulama, Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 71-72.

30 Pembahasan mengenai keterkaitan Aswaja dengan paham

kebangsaan lihat misalnya Eimar Martahan Sitompul, NU dan

Gambar

Tabel 1. Pelaksanaan Muktamar/Muktamar Luar  Biasa di PKB (2002-2008)
Gambar 1. Peta Lokasi Kecamatan Lambu,  Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel 1. Perbandingan Perolehan Suara Ferry  dengan Jumlah Pemilih per Kecamatan pada Pilkada  2005 dan Pemilukada 2010 8
Tabel 2. Kronologis	Konflik	Negara	(Bupati	Ferry)	 dengan Warga Lambu 10
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah saham yang ditawarkan 2.300.178.500 Saham Biasa Atas Nama dengan nilai nominal Rp 100,- (seratus rupiah) setiap saham.. Penjamin Pelaksana

otomotif , peralatan rumah tangga dan kemasan makanan.. Di antara serat alami ini, serat daun nanas memiliki kelebihannya tersendiri, yaitu kandungan selulosa yang

Strategi untuk perusanaan-perusahaan yang berusaha bergerak ke arah globalisasi dapat dikelompok berdasarkan pada tingkat kompleksitas disetiap pasar asing yang

PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA YOGYAKARTA MAJELIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH SEKOLAH MENENGAH ATAS.. SMA MUHAMMADIYAH 5 YOGYAKARTA TERAKREDITASI

Untuk menampilkan informasi yang ada pada papan informasi dgital berbasis web, Raspberry pi harus terhubung dengan layar monitor yang yang memiliki port HDMI

Pada penulisan ilmiah ini Penulis membuat sebuah desain dan bentuk website dengan menggunakan Macromedia Dreamweaver MX yang menyajikan mengenai informasi maskapai

Pada kesempatan ini, penulis ingin memanfaatkan cara kriptografi yang berarti penulisan rahasia dalam bahasa Yunani yaitu Crypto dan Graphia, untuk mengamankan data-data

Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA SOLOK TENTANG PENJUALAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN PELELANGAN TERBATAS..