• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Petra"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hingga saat ini konflik ketidakadilan gender masih menjadi sebuah fenomena sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi gender antara laki-laki dan perempuan. Konsep gender menurut Fakih menyebutkan bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, sifat-sifat ini dapat dipertukarkan, bisa berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (2013, p. 9). Sedangkan pengertian gender menurut Nasarudin Umar adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial (2001, p. 35). Nasarudin Umar menjelaskan bahwa penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelaminnya. Konsep tersebut memunculkan adanya fenomena patriarki dalam masyarakat. Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal telah membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002, p. 16). Menurut Caplan (1987) perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural.

Ketidakadilan gender dapat terjadi karena adanya perbedaan gender yang dikelompokkan oleh budaya dan masyarakat. Fakih menjelaskan bahwa terbentuknya perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal, yaitu dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Terdapat kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan

(2)

struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas (Fakih, 2013, p. 1). Perbedaan gender ini sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi permasalahan ternyata persoalan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan (Fakih, 2013, p. 12). Pola pemikiran masyarakat yang telah membudaya menambah bias gender dengan menempatkan kaum wanita hanya pada sektor domestik. Menurut Walby (2014, p. 34) ditempat kerja perempuan cenderung dipisahkan dalam kelompok pekerjaan tertentu dengan upah dan status yang lebih rendah dibanding laki-laki.

Teori ini berkaitan dengan ranah pekerjaan dalam dunia hiburan di Hollywood. Sebagai contoh, seperti yang dialami oleh aktris Jennifer Lawrence, dimana upah yang diterima olehnya lebih rendah dibandingkan dengan para aktor pemain dalam film American Hustle. Jennifer telah mengeluarkan tenaga dan effort

yang sama

dengan para aktor dalam film tersebut, namun Jennifer mengutarakan bahwa terdapat kesenjangan upah yang diterimanya (Lawrence, 2015).

Gambar 1.1 Artikel Jennifer Lawrence mengenai kesenjangan upah Sumber: (Lawrence, 2015)

Barbara Walters yang merupakan seorang wartawati, news anchor, dan juga penulis buku melakukan wawancara dengan aktor Bradley Cooper yang bermain bersama dengan Jennifer Lawrence dalam film American Hustle mengenai kesenjangan upah yang diterima oleh para aktris di dunia Hollywood. Cooper menjelaskan bahwa secara umum kita hidup di masyarakat yang patriarki.

(3)

Pandangan bahwa laki-laki adalah yang sosok yang berkuasa masih ada di pemikiran masyarakat dan mempengaruhi sektor lain dalam kehidupan perempuan. Di Indonesia sendiri ternyata juga terdapat diskriminasi upah yang diterima antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja perempuan rata-rata menerima sekitar 80% dari upah yang diterima pekerja laki-laki.

Peran gender dalam kehidupan sehari-hari menempatkan perempuan hanya sebagai objek untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Dalam masyarakat kaum perempuan dianggap bersifat memelihara, rajin, dan lemah lembut sehingga semua pekerjaan domestik dalam kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengurus anak-anak dan keperluan rumah tangga lainnya menjadi tanggung jawab seorang perempuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, perkasa, jantan dan rasional sehingga dianggap tidak cocok apabila mengerjakan pekerjaan domestik (Fakih, 1996, p. 8). Peran gender juga diungkapkan melalui peraturan perundang-undangan UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dalam pasal 31 (3) UUP menetapkan bahwa peran suami adalah sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya, dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1) sedangkan kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2). Peraturan ini menjadi bahan yang digunakan oleh para pengusaha untuk melakukan diskriminasi upah antara perempuan dan laki-laki karena menganggap pekerja perempuan sebagai pekerja lajang, sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga, meskipun mereka sebagai kepala keluarga (detiknews, 2017).

(4)

Gambar 1.2 Portal berita mengenai ketidakadilan gender Sumber: (detiknews, 2017)

Pemikiran yang telah tertanam dalam benak masyarakat menciptakan pemahaman bahwa perempuan tidak dapat mengambil bagian dalam kegiatan di luar sektor domestik. Baik dalam ranah politik maupun dunia hiburan seperti media massa perempuan masih dianggap hanya sebagai pelengkap. Film-film yang diproduksi pada tahun 1970-an menurut Sen (1987), mengungkapkan bahwa tampaknya peran perempuan masih digambarkan sebagai pelengkap cerita. Apabila perempuan menjadi pemeran utama, peran itu pasti selalu berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup domestik sebagai ibu, kekasih, atau anak perempuan yang penurut (Gardiner, 1996, p. 52). Dalam Jurnal Perempuan edisi “Perempuan dan Media”, dikatakan bahwa porsi dan keterlibatan perempuan dalam dunia media massa masih sangat minim. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan belum bisa sepenuhnya ikut mengambil peran dalam dunia massa.

Dalam jurnal berjudul “Menuju Keadilan Gender” dikatakan bahwa hakikat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat. Konteks pemahaman yang telah berkembang di masyarakat tersebut dikenal dengan nama budaya patriarki. Patriarki merupakan citra perempuan yang telah menjadi cap absolut di mana makna hidup perempuan

(5)

sepenuhnya bergantung pada laki-laki (Ridjal, 1993, p. 13-14). Konsep patriarki pada mulanya digunakan oleh Max Weber seorang pendiri ilmu sosiologi yang mengusung konsep patriarki pada bentukan sistem sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkup keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Saat ini istilah patriarki digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki (Bhasin, 1996, p. 1).

Menurut magdalene.co, sebuah media online yang menjadi alternatif untuk melakukan advokasi perempuan, menyebutkan bahwa terdapat tiga hipotesis mengenai alasan kesenjangan gender dan budaya patriarki masih ada di masyarakat, yaitu 1) peranan orang tua, 2) konstruksi sosial masyarakat tentang laki-laki, 3) peran media dalam menilai substansi seorang perempuan (Azliani, 2018). Budaya patriarki akan tetap ada selama masyarakat terus mengkontruksi mengenai status dan peranan dalam patriarki itu sendiri. Selain itu, hal lain yang mempengaruhi adalah media massa yang turut serta dalam penyebaran pandangan patriarki dalam masyarakat (Butsi, 2007). Salah satu alat atau sarana media massa dalam menyebarkan pandangan patriarki adalah melalui film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto; Komala; dan Karlinah, 2009, p. 3).

Industri hiburan baik dalam maupun luar negeri sering kali memunculkan unsur patriarki dalam produksi film mereka. Terdapat film bioskop berjudul “A Star Is Born” yang baru ditayangkan pada tanggal 19 Oktober 2018 yang menunjukkan secara tidak langsung penggambaran budaya patriarki di dalam film tersebut.

Gambar 1.3 Poster film A Star Is Born Sumber: (www.imdb.com, 2018)

(6)

Film bioskop dari dalam negeri juga memiliki unsur patriarki, seperti film Posesif yang dirilis pada tanggal 22 September 2017 dan disutradarai oleh Edwin. Film ini menceritakan mengenai bagaimana perjalanan cinta sepasang remaja yang tergolong dalam toxic relationship, dimana laki-laki cenderung berkuasa dan membatasi ruang gerak perempuan. Sutradara dari film Posesif memang ingin untuk menunjukkan unsur patriarki dalam filmnya. Dikutip dari hasil wawancara antara tirto.id dengan sutradara Edwin, mengatakan bahwa pemilihan karakter posesif dalam film ini ditonjolkan oleh sosok laki-laki karena berdasarkan dari realita sosial yang menunjukkan bahwa perempuan selalu menjadi korban dan dapat dikuasai oleh laki-laki, secara verbal Edwin ingin mengkritik sistem patriarki yang semakin kental di masyarakat. Pernyataan tersebut tidak sejalan dengan pengertian dari penelitian representasi dimana penelitan ini digunakan untuk melihat sebuah kontruksi yang ditampilkan secara tidak transparan atau ditunjukkan secara implisit. Apabila keinginan dari sutradara film Posesif adalah untuk menampilkan unsur patriarki maka tidak perlu dilakukan penelitian representasi karena film ini telah dirancang sedemikian rupa untuk secara gamblang memperlihatkan unsur patriarki.

Gambar 1.4 Artikel wawancara tirto.id dengan sutradara film Posesif Sumber: (Adam, 2017)

(7)

Selain itu, film lain yang mengandung unsur patriarki adalah film Madame Bovary yang dirilis pada tanggal 30 Agustus 2014. Film ini bercerita mengenai perjalanan hidup seorang perempuan yang menikah dengan seorang dokter muda namun kehidupan pernikahannya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan olehnya (Fikri, 2015). Karakter sosok suami yang menganut patriarki membuat dirinya hanya berperan sebagai istri di rumah dan tidak merasakan kebebasan dalam dirinya. Konflik yang dialami oleh tokoh wanita cukup rumit, dimana dia berada dibawah kekuasaan laki-laki, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun sosial. Film ini menunjukkan penggambaran perempuan yang dikontrol dalam segi ruang gerak dan juga seksualitasnya. Keadaan yang dialami oleh karakter perempuan membuat dirinya memilih untuk melakukan bunuh diri. Penggambaran patriarki dalam film ini menunjukkan bahwa budaya patriarki mengakibatkan tekanan dalam diri perempuan. Film ini masuk ke dalam dua nominasi penghargaan, yaitu di Deauville Film Festival dan Film by the Sea International Film Festival. Namun, film Madame Bovary tidak masuk ke dalam deretan film internasional yang diputarkan di bioskop Indonesia dan banyak review yang menyatakan bahwa alur cerita dalam film ini terlalu klasik dan membosankan untuk ditonton.

Film “A Star Is Born” bercerita mengenai kehidupan seorang musisi laki-laki terkenal bernama Jackson Maine yang memiliki latar belakang sebagai pecandu alkohol dan obat-obatan terlarang. Hidupnya sangat bergantung pada dua benda tersebut, yaitu alkohol dan obat terlarang. Suatu saat ia bertemu dengan Ally, seorang penyanyi di bar waria yang mengubah kehidupannya. Jackson sangat tertarik akan karakter suara yang dimiliki oleh Ally. Sebagai seorang musisi terkenal dia dapat mempromosikan Ally menjadi musisi wanita yang terkenal juga. Kesempatan tersebut digunakan oleh Jackson untuk mendebutkan Ally ke hadapan publik, Jackson berperan penting dalam kesuksesan yang diraih oleh Ally setelahnya. Saat awal mengenal Ally kehidupan Jackson mulai membaik dengan mulai mengurangi konsumsi alkohol dan obat terlarang bahkan setelah menikah dengan Ally ia mengikuti kelas meditasi diri. Namun, hal tersebut hanya berlangsung sementara hingga datanglah produser rekaman Ally yang mengacaukan pikiran Jackson hingga akhirnya ia memilih untuk melakukan bunuh

(8)

diri. Dalam film tersebut memang penggambaran budaya patriarki tidak secara gamblang dipertunjukkan.

Dari beberapa artikel yang peneliti dapatkan menjelaskan bahwa dalam film “A Star Is Born” tersebut secara implisit memberikan gambaran mengenai budaya patriarki. Dalam film ini, Ally merupakan seorang perempuan yang berperan sebagai anak, pegawai, sahabat, seorang penyanyi dan juga kekasih yang kemudian menjadi istri dari Jackson Maine. Kehidupan Ally berada dalam lingkup sosial yang mayoritas adalah laki-laki sehingga membuat Ally tanpa sadar telah di dikte oleh lingkungan sekitarnya. Film “A Star Is Born” telah di remake sebanyak tiga kali, film pertama rilis pada tahun 1937, sedangkan film kedua dan ketiga rilis pada tahun 1954 dan 1976. Seperti yang disampaikan dalam artikel tirto.id yang mengatakan bahwa keempat film tersebut memiliki kesamaan berupa hidup semua protagonis pria akan berakhir tragis. Di kala karier pasangannya meroket, karier mereka justru meredup. Seolah-olah, para perempuan itu tak bisa menjadi bintang, tanpa harus jadi ancaman buat hidup para pria.

Film “A Star Is Born” dari tahun 1937 hingga 2018 selalu dibingkai dengan cerita bias tentang pria yang berkuasa dan perempuan yang penurut. Hal ini menunjukkan bahwa pembingkaian media terhadap perempuan sudah terjadi sejak dahulu dan masih berlanjut hingga saat ini. Perempuan digambarkan masih terjepit di bawah kendali dan kekuasaan laki-laki. Namun, dalam versi milik Ally perempuan ditunjukkan lebih berani dalam mengutarakan pendapatnya dan memperlihatkan sisi pemberontak, meskipun pada akhirnya opini Ally masih tetap kalah (Adam, 2018). Selain itu, berdasarkan artikel dari cnnindonesia.com dengan judul “Ulasan Film: ‘A Star Is Born” mengatakan bahwa film produksi Cooper tahun 2018 ini memiliki keunggulan berupa muatan isu sosial di dalamnya. Film ini banyak mengusung isu diversitas, mulai dari keterlibatan unsur LGBT hingga masalah perundungan, kecanduan, dan depresi. Unsur LGBT yang kerap dianggap sebagai propaganda dikemas dengan natural dalam film ini. Kaum LGBT digambarkan sebagai sekumpulan kelompok yang menjadi tempat untuk Ally dapat menjadi dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Masalah perundingan alias bullying secara gamblang menggambarkan industri Hollywood,

(9)

baik musik maupun film, yang tidak seramah terlihat di layar. Penuh dengan penghakiman subjektif dan ketimpangan gender (Priherdityo, 2018).

Setelah peneliti melihat remake dari film “A Star Is Born” tahun 1954 dan 1976, peneliti menemukan bahwa di dalam kedua remake tersebut tidak ada kontrol atas seksualitas perempuan dan pembatasan akan ruang gerak perempuan, kedua hal yang ada dalam aspek patriarki. Apabila film milik Cooper menunjukkan adegan berupa Ally yang harus bekerja di luar dan di dalam rumah, lain halnya dengan film tahun 1954 dan 1976 yang tidak menunjukkan adegan perempuan menanggung beban ganda. Perempuan dalam film “A Star Is Born” tahun 1954 dan 1976 ditunjukkan melakukan pekerjaan rumah seperti mempersiapkan makanan dan bekerja di luar rumah atas dasar kemauan mereka sendiri. Perempuan juga digambarkan lebih banyak melakukan aktivitas di lingkup publik daripada di lingkup domestik.

Dilansir dari website tirto.id Bradley Cooper selaku sutradara, penulis naskah, dan juga pemeran dari tokoh Jackson Maine tersebut secara implisit juga menyelipkan tindakan penolakan terhadap gerakan feminisme yang digambarkan melalui adegan ketika Maine menandatangani dada seorang waria yang berdandan dan berpakaian selayaknya seperti Dolly Parton yang merupakan salah satu ikon dari feminisme, yang mendukung dan mensosialisasikan gerakan feminisme. Adegan tersebut menunjukkan bahwa patriarki ingin untuk menjatuhkan, menguasai dan menolak adanya gerakan feminisme.

Gambar 1.5 Artikel mengenai kritik Cooper dalam film “A Star Is Born” Sumber: (Adam, 2018)

(10)

Gambar 1.6 Capture adegan Maine menandatangani dada seorang waria Sumber: DVD film A Star Is Born, 2018

Laki-laki disekitar kehidupan sosial Ally pun selalu menuntut dirinya untuk tunduk dan menjadi penurut. Beberapa scene menggambarkan Ally yang selalu berkata “tidak” atau menolak, namun karena adanya paksaan dan dorongan dari para laki-laki tersebut perkataan “tidak” otomatis dianggap sebagai “iya” dalam pola pikir laki-laki, sebagai contoh seperti yang terlihat pada gambar 1.8 dan 1.9. Aja Romano dari Vox.com, mengkritisi tajam beberapa scene tersebut. Menurutnya, sikap menolak Ally yang selalu dikonversi menjadi “iya” oleh laki-laki di sekitarnya adalah cerminan dari budaya patriarki, yang akrab dengan budaya perkosaan (rape culture). “Pelecehan seksual dan pemerkosaan sebagainya terjadi karena pria diajarkan untuk melihat perempuan yang mengatakan ‘tidak’ sebagai ‘iya’, dan (diperbolehkan) mencerca perempuan melalui permintaan berulang sampai ‘tidak’-nya mereka berubah menjadi ‘ya’” ungkap Romano.

Gambar 1.7 Kritik Aja Romano dalam Vox.com Sumber: (Romano, 2018)

(11)

Gambar 1.8 Capture adegan Ally berkata tidak pada bosnya Sumber: DVD film A Star Is Born, 2018

Gambar 1.9 Capture adegan Ally menolak permintaan ayahnya Sumber: DVD film A Star Is Born, 2018

Namun, film “A Star Is Born” ini berhasil memperoleh berbagai macam penghargaan dan menjadi nominasi dari ajang penghargaan tingkat internasional. Terdapat empat penghargaan yang telah diterima oleh film ini yaitu, Satellite Award untuk sinematografi terbaik dan best motion picture, comedy, or musical, Critics’ Choice Movie untuk aktris terbaik, dan British Academy Film Award untuk musik film terbaik. Dalam Academy Awards film ini berhasil masuk dalam tujuh nominasi penghargaan, di ajang Golden Globes masuk dalam lima nominasi dan di Writers Guild of America Awards 2018 masuk dalam nominasi naskah adaptasi terbaik.

Dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai representasi budaya patriarki dalam film “A Star Is Born”. Peneliti ingin melihat hal-hal apa saja yang digambarkan melalui film tersebut terkait dengan

(12)

budaya patriarki serta pembingkaian media mengenai kaum perempuan. Fenomena budaya patriarki tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sosial yang hidup dilingkungan majemuk, multikultural, dan heterogen karena pandangan dan budaya yang telah melekat dalam diri masyarakat akan patriarki itu sendiri.

Penelitian terdahulu milik Alexandra Adyta dari Universitas Kristen Petra pada tahun 2009 yang berjudul “Representasi Patriarki dalam Film “Opera Jawa” juga memiliki kaitan mengenai budaya patriarki. Penelitian ini meneliti mengenai fenomena budaya patriarki dan mengkaitkannya dengan analisis semiotika milik John Fiske. Hal yang membedakan adalah subjek penelitiannya dan teori semiotika yang digunakan, dimana Alexandra menggunakan film “Opera Jawa” dengan teori kode televisi milik John Fiske. Kesimpulan yang didapat adalah pada akhirnya, ditemukan bahwa film dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan berupa representasi atas realita sosial yaitu kuasa laki-laki yang mendominasi perempuan yang disebut patriarki dalam bentuk ke empat aspek patriarki yang ada.

Terdapat penelitian terdahulu milik Agus Taufik dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada tahun 2017 yang memiliki judul “Representasi Patriarki dalam Film Cinta Suci Zahrana”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis representasi patriarki dalam film tersebut dengan menggunakan model analisis semiotik milik Roland Barthes. Subjek dan metode penelitian yang digunakan oleh Agus menjadi pembeda dengan penelitian ini. Penelitian milik Agus memiliki hasil akhir berupa hubungan antara aspek-aspek patriarki dan nilai Islami dengan data yang ditemukan di film Cinta Suci Zahrana dan dianalisis menggunakan teori semiotika milik Roland Barthes.

Selain dua penelitian diatas, terdapat penelitian lain milik Anantia Ridhanty dari Universitas Sebelas Maret pada tahun 2017 yang berjudul “Representasi Budaya Patriarki dalam Film”. Film yang digunakan adalah film Fifty Shades of Grey dengan analisis semiotika Roland Barthes. Penelitian tersebut dilakukan untuk menganalisis representasi ideologi patriarki yang dilakukan oleh karakter utama laki-laki dalam film ini, yaitu Christian Grey. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Anantia menunjukkan bahwa tokoh Christian Grey menerapkan ideologi patriarki berdasarkan aspek patriarki Kamla Bhasin. Terdapat beberapa scene yang dapat dijadikan data untuk dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes.

(13)

Penelitian ini akan meneliti mengenai representasi budaya patriarki dalam film “A Star Is Born”. Teknik penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode semiotika Charles Sanders Peirce sebagai tolak ukur peneliti. Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.

1.2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana representasi patriarki dalam film “A Star Is Born”?”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi patriarki dalam film “A Star Is Born”.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu komunikasi, terutama dalam penelitian dengan menggunakan metode semiotika C.S. Peirce.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat terkait pesan yang disampaikan dalam film. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai budaya patriarki dari sudut pandang pembingkaian yang dilakukan media terhadap perempuan.

1.5. Batasan Penelitian

Peneliti membatasi penelitian ini hanya terfokus pada film “A Star Is Born”. Peneliti menggunakan metode semiotika C.S. Peirce untuk mengetahui representasi patriarki dalam film tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah film "A Star Is Born”. Sementara yang menjadi objek penelitian adalah representasi budaya patriarki.

(14)

1.6. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah: 1. Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan sistematika penulisan. Didalam bab ini menjelaskan fenomena penelitian dan alasan memilih fenomena tersebut.

2. Tinjauan Pustaka

Pada bab ini berisikan landasan-landasan teori yang menunjang dalam penelitian ini. Adapun teori-teori yang akan dibahas adalah film, representasi, patriarki, serta semiotika. Di dalam bab ini juga dituliskan nisbah antar konsep dan kerangka pemikiran.

3. Metodologi Penelitian

Bab ini berisi mengenai teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penulisan penelitian, yang meliputi definisi konseptual, jenis penelitian, metode penelitian, unit analisis, sumber datanya, teknik pengumpulan dan analisis data serta uji keabsahan data.

4. Analisis Data

Bab ini berisi profil subjek penelitian yang membahas mengenai gambaran umum dalam film “A Star Is Born”, seperti sinopsis, profil sutradara, produser, dan para pemain dalam film tersebut. Selain itu, terdapat temuan data yang kemudian peneliti analisis dan interpretasi data.

5. Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bagian akhir penelitian, berisi kesimpulan dan saran yang diajukan oleh peneliti.

Gambar

Gambar 1.1 Artikel Jennifer Lawrence mengenai kesenjangan upah  Sumber: (Lawrence, 2015)
Gambar 1.2 Portal berita mengenai ketidakadilan gender  Sumber: (detiknews, 2017)
Gambar 1.3 Poster film A Star Is Born  Sumber: (www.imdb.com, 2018)
Gambar 1.4 Artikel wawancara tirto.id dengan sutradara film Posesif  Sumber: (Adam, 2017)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sama seperti pada unit analisis sebelumnya, Kompas.com mendapatkan indeks skor yang terendah bila dibandingkan dengan dua media online lainnya.. Berdasarkan

Hasil perhitungan menggunakan model indeks tunggal terhadap 11 saham anggota sampel, hasilnya menunjukkan hanya 3 saham yang mempunyai nilai excess return to beta

Hanya pengetahuan yang diperoleh dengan disiplin berpikir dan bekerja yang sesuai dengan standar akademik dapat digolongkan sebagai teori yang menjadi bagian suatu bidang

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua

Pn.Hjh.Ni Shafiah Bt Abdul Moin(Pengetua ) Pn.Norizan Binti Hamdan ( PK HEM ) Tn.Hj.Wan Ahmad Ridzuan Azwa Bin Wan Abdul Jalil ( PK Pentadbiran) Tn.Hj.Mohd Ariffin Bin Zainal (

(iv) penggunaan logo rasmi SKUM pada sijil penyertaan / penghargaan tertakluk kepada program dan aktiviti yang dijalankan oleh syarikat korporat, NGO dan badan-badan lain

Metode ini berbeda dari metode peleburan, dalam hal sumber unsur penentu tidak perlu pada air kristal asam sitrat, akan tetapi boleh juga air ditambahkan ke dalam bukan

Verifikasi hasil perhitungan dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan Excel dengan hasil perhitungan manual dengan metode yang ada pada buku teks untuk desain